2 | Miftakhuddin
Sejauh mengenai kolonialisme, rupanya tidak sesederhana
pemaknaan secara umum yang selalu diidentikkan dengan penindasan
dan pemerasan publik. Pengalaman mengkaji dan menganalisisnya
membuka mata penulis bahwa paradigma kolonialisme tidak gampang
dijelaskan dengan teori-teori belaka, maupun penuturan pengalaman
oleh pelaku sejarah yang sarat subjektivitas dan etnosentrisme. Perlu
banyak pendapat pakar, sumber otentik, dan berbagai hasil riset untuk
mengungkapkan seperti apa sebetulnya paradigma kolonialisme
sekaligus dinamika yang menyertainya.
Buku ini adalah paparan dari sekelumit kajian kepustakaan yang
bersumber dari berbagai bentuk; berupa hasil riset historis, hasil telaah
ilmiah sumber-sumber primer dan sekunder yang terdapat dalam arsip
perpustakaan atau perorangan yang kemudian diterbitkan, laporan
perjalanan atau ekspedisi, beberapa artikel, bahkan pendapat para pakar
yang tertulis dalam jurnal ilmiah. Peranan penulis adalah mengumpulkan
semua jenis bahan tersebut untuk kemudian disajikan dalam suatu uraian
teoritis yang rapi, mulai kemunculan kolonialisme, perkembangannya,
dan efek lanjutan yang menyertainya.
Teks-teks mendasar yang terakumulasi di dalam buku ini dapat
memberi gambaran berbeda dari konsep kolonialisme yang selama ini
dikenal dalam historiografi pada umumnya, sehingga dapat melengkapi
khazanah pengetahuan dan perspektif pembaca soal bentuk-bentuk
paradigma kolonialisme. Namun demikian, harus diakui bahwa
akademisi dan bahkan catatan perjalanan oleh juru tulis di suatu
ekspedisi hanya membicarakan hal-hal yang menarik perhatian mereka
saja. Tentu masih banyak hal yang lolos dari perhatian mereka, lebih-
lebih adanya unsur prasangka maupun perbedaan persepsi dan
etnosentrisme. Oleh sebab itu, setiap tulisan hendaknya diapresiasi
secara objektif dan menurut konteks dan porsinya masing-masing.
Miftakhuddin
4 | Miftakhuddin
KATA PENGANTAR ............................................................................. 3
DAFTAR ISI............................................................................................ 5
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 7
BAB II KONSEP DASAR KOLONIALISME ..................................... 11
A. Sejarah Kolonialisme .................................................................. 11
B. Hukum Kolonial ......................................................................... 30
C. Kolonialisme dan Imperialisme .................................................. 54
D. Macam-Macam Kolonialisme..................................................... 59
BAB III PERGESERAN PARADIGMA KOLONIALISME ............... 66
A. Sebab-Sebab Pergeseran ............................................................. 66
B. Faktor Pendukung ....................................................................... 68
C. Dampak ....................................................................................... 70
BAB IV MANIFESTASI KOLONIALISME ....................................... 75
A. Amerika ...................................................................................... 75
B. Australia ...................................................................................... 84
C. New Zealand ............................................................................... 99
D. Hong Kong ................................................................................ 103
E. Singapura .................................................................................. 107
BAB V NEOKOLONIALISME .......................................................... 115
A. Neokolonialisme ....................................................................... 115
B. Pelaku Neokolonialisme ........................................................... 119
C. Sistematika dan Teknis ............................................................. 124
D. Target Akhir .............................................................................. 126
6 | Miftakhuddin
KOLONIALISME, imperialisme dan feodalisme adalah tiga hal yang
mustahil dipisahkan, kecuali dipisahkan secara definitif. Sebab,
ketiganya adalah suatu paham yang jika salah satu diaplikasikan, maka
paham lainnya akan ikut menyertai sebagai penyokong. Ibarat kursi
dengan dua kaki, jika imperialisme adalah bagian yang melintang tempat
menopang tubuh, maka kolonialisme dan feodalisme adalah kaki-
kakinya.
Kolonialisme adalah paham pendelegasian kekuatan politik ke
luar wilayah yang sah untuk memberdayakan wilayah lain. Tentu saja,
hak dan wewenang hingga kewajiban mereka dikontrol penuh oleh
negara asalnya sebagai pusat pemerintahan. Secara administratif,
wilayah baru itu menjadi vassal (negara bawahan) dengan sistem
pemerintahan sentralisasi dan bertanggung jawab langsung kepada
nagara pusat. Sedangkan imperialisme adalah paham ekspansi wilayah
yang ditempuh melalui penaklukan ataupun aneksasi terhadap wilayah
lain, dengan sistem pemerintahan sama dengan kolonialisme. Adapun
feodalisme adalah paham pendelegasian kekuasaan sosio-politik oleh
aristokrat (bangsawan monarki) untuk mengendalikan suatu wilayah
(umumnya berupa sebidang tanah) melalui kerja sama dengan para
pemimpin lokal sebagai mitra. Pemimpin lokal itulah yang kemudian
disebut sebagai tuan tanah atau tuan feodal. Nah, bagaimana hubungan
ketiganya?
Kolonialisme adalah paham pembentukan koloni di luar batas
wilayah teritorial yang sah, tidak peduli apakah lokasi baru itu sudah
berpenghuni atau belum. Praktis, dengan berdirinya koloni di sana, maka
suatu kerajaan telah melakukan praktik perluasan wilayah
(imperialisasi). Di sini harus dimengerti bahwa kolonialisme adalah
salah satu manifestasi imperialisme. Bilamana sejauh imperialisasi
mengalami hambatan berupa serangan masyarakat pribumi, maka suatu
kerajaan harus “menjinakkan” mereka sebagai mitra (tuan tanah/tuan
8 | Miftakhuddin
Permasalahan kolonial seperti ini, lantas dikemukakan sebagai proses
“pembentukan sebuah komunitas” di daerah jajahan.
Bermula dari situ, sampai hari ini kolonialisasi diidentikkan
dengan penjajahan. Kolonialisme yang sekarang dikenal orang adalah
kolonialisme yang telah bergeser paradigmanya, baik secara teoritis
maupun secara praktis. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang punya
pengalaman dijajah kolonial selama bertahun-tahun, tentu mengklaim
bahwa kolonialisme adalah paham yang “murni” mengajarkan praktik
penjajahan dan penindasan terhadap pribumi.
Tampaknya, perubahan perspektif sekaligus stigma terhadap
kolonialisme adalah kesalahan pelaku kolonial itu sendiri. Sebab,
mereka sendiri yang mengubah paradigma kolonialisme dalam
implementasinya. Pergeseran paradigma ini agaknya memang tidak
terlepas dari sifat alami manusia yang tak pernah merasa cukup. Sesuai
dengan salah satu teori ekonomi; kebutuhan manusia itu tidak terbatas.
Karena begitu satu kebutuhan terpenuhi, akan muncul kebutuhan-
kebutuhan lainnya. Sebagai makhluk yang terkadang amoral, manusia
dengan hasrat pemenuhan kebutuhannya kerap kali melanggar nilai-nilai
kemanusiaan.
Akan tetapi, terlepas dari siapa yang salah atas pergeseran
paradigmanya, kolonialisme sebagai usaha perebutan dan penaklukan
wilayah bercorak imperialistik-feodalistik memiliki pola yang sama,
yakni kemenangan yang selalu didapatkan oleh pengkoloni/pendatang.
Banyak sejarawan dan sarjana sejarah akhirnya berasumsi, bahwa
pengkoloni selalu mempunyai strategi, teknologi dan peradaban yang
lebih mumpuni ketimbang pribumi. Artinya, modernitas pengkoloni
lebih unggul ketimbang pihak yang dikoloni (pribumi). Para sejarawan
dan sarjana sejarah dengan mengacu kolonialisme era penjelajahan
Spanyol dan Inggris, juga menyimpulkan bahwa dalam kolonialisme ada
harapan, bahwa dengan dikuasainya pribumi maka modernitas akan
ditularkan, sebab kolonialisme yang diraih melalui penaklukan akan
bertahan dengan imperialisme dan feodalisme.
Namun demikian, melencengnya praktik kolonial dari hakikat
yang sesungguhnya menjadi penjajahan, membuat kolonialisme juga
dianggap sebagai suatu upaya modernisasi yang gagal. Chandra (1978)
10 | Miftakhuddin
A. Sejarah Kolonialisme
Secara garis besar, wujud kolonialisme sebagai suatu ide atau
gagasan adalah pergerakan suatu masyarakat sebagai respons atas
kondisi alam yang tidak lagi menguntungkan. Penelusuran historis
menunjukkan kolonialisme rupanya lahir lebih dulu ketimbang
imperialisme dan feodalisme. Karena sejak manusia meninggalkan gaya
hidup nomaden, kebutuhan akan makanan lebih urgent daripada
kebutuhan akan luasnya tempat tinggal (daerah kekuasaan), maupun
sistem politik tertentu (feodalisme).Oleh sebab itu, sekelompok manusia
yang telah mengklaim suatu wilayah sebagai tempat tinggalnya secara
tetap, harus menerima kondisinya. Jika ternyata ada kebutuhan pokok
yang tidak terpenuhi oleh lingkungannya, maka ada dua opsi; pindah
lagi atau bertahan.
Terkait dua pilihan tersebut, suatu contoh -katakanlah- migrasi
bangsa Arya. Setelah memporak-porandakan bangsa Dravida di Harappa
dan Mohenjo-daro (lembah Sungai Indus), sebagian menetap di India
dan Pakistan menyatu dengan sisa bangsa Dravida, dan sebagian lainnya
bermigrasi ke barat, yang pada gilirannya dikenal sebagai bangsa
Jermanik atau barbar (Frank, Goth, Anglo, Saxon, dll). Adapun yang
migrasi ke timur menjadi suku-suku bangsa Amerika Tengah
(Mesoamerika), yang kini lebih dikenal sebagai suku Indian (Aztek,
Maya, Inca, Olmek, Cahokia, dll).
Bila dicermati, pola migrasi mereka semi nomaden. Artinya,
menetapnya suatu komunitas tidak sepenuhnya permanen. Nyatanya ada
yang memilih tinggal dan ada yang memilih migrasi. Sebenarnya, ini
tidak hanya terjadi pada bangsa Arya, tapi juga pada bangsa di lembah
sungai Nil dan beberapa suku bangsa di Mesopotamia (Sumeria,
Akkadia, dan Babylonia). Gaya hidup menetap secara “resmi” terjadi
1Dalam beberapa literatur, polis disebut pula negara kota (city state)
2Sebelum kedatangan bahasa asing, Akaia sudah mendirikan dua peradaban maju, yaitu;
Minos (Minoa) dan Mikenia (Myceneae).
12 | Miftakhuddin
2. Kolonisasi Yunani
Iklim mediteran membuat Yunani selalu mendapat hembusan
angin laut sehingga suhu udara tidak terlalu panas, ditambah hujan yang
biasanya turun pada September dan Mei, memungkinkan penduduk
menaman zaitun, gandum anggur, dan tanaman semitropis lainnya
(Sumobroto, dkk., 1989). Tapi kualitas tanahnya tergolong kurang baik.
Arus sungai yang deras dan kering pada musim panas tidak dapat
dimanfaatkan untuk irigasi (Sudrajat, 2010). Inilah mengapa mereka
membentuk koloni di luar polis untuk bertani dan berdagang. Oleh sebab
colonus adalah perpanjangan tangan dari polisnya, maka segala aktivitas
dan distribusi hasil pertanian dikontrol penuh oleh polisnya sebagai
induk pemerintahan. Fase pembentukan polis ini terjadi sejak 800-600
SM. Pada perkembangan berikutnya terjadi penyatuan polis membentuk
kekaisaran Yunani secara bertahap. Ketika masing-masing polis sudah
terbentuk, berlanjut pada fase ekspansi atau kolonisasi (800-600 SM).
Koloni ke arah timur mencapai Troya (Asia Kecil/Anatolia), dan koloni
ke arah barat mencapai Italia Selatan bahkan mencapai La Corse,
Prancis (Utomo, 2016).
Bangsa Ionia dan Aeolia mendirikan koloni ke wilayah pantai
Macedonia dan pulau-pulau di Laut Aegea, bahkan mendirikan
Perserikatan Dua Belas Kota bernama Perserikatan Aeolia, juga
mendirikan Perserikatan Dua Belas Kota di Anatolia bernama
Dodecapolis. Mereka memperluas koloni sampai Sicilia untuk
mendirikan kota Gella dan Syracusa, dan menaklukkan semenanjung
Apenina untuk mendirikan kota Tarentum dan Croton. Dua kota ini,
pada perkembangan berikutnya menjadi pusat peradaban Hellenisme,
dengan sebutan Magna Graecia3. Kolonisasi Ionia dan Aeolia akhirnya
meluas ke sekitar Prancis dan Spanyol. Sementara pada 660 SM bangsa
dari polis Megara mendirikan koloni di tepi Laut Marmora, bernama
Byzantium. Kota ini pada masa Romawi diubah namanya menjadi
3 Istilah “Graecia”, menurut Sudrajat (2010), kemungkinan menjadi rujukan kenapa Yunani
disebut “Greece” dalam bahasa Inggris. Padahal, orang Yunani sendiri menyebut nama negara
mereka sebagai Hellas atau Ellada, dan menyebut diri mereka sebagai warga negaranya
sebagai Hellen. Sedagkan dalam bahasa Indonesia, Yunani kemungkinan diambil dari kata
“Ionia”.
14 | Miftakhuddin
Tengah pun secara perlahan juga menjamin kesejahteraan ekonomi dan
stabilitas sosial masyarakat Yunani. Praktis, persoalan penyebab
kolonisasi telah teratasi dengan gamblang. Sampai fase ini, di mana
koloni berdiri di sana-sini, sudah mulai menampakkan konstruksi
imperialisme dalam sistem pemerintahan setiap polis. Masing-masing
polis ingin wilayah kekuasaannya semakin banyak dan menyeret garis
batas teritorial wilayah semakin jauh.
Perluasan demi perluasan dilakukan setiap polis hingga terjadi
gesekan dan berakhir dengan peperangan sekaligus penaklukan. Ini
terjadi pada 600-400 SM, yang merupakan fase kejayaan polis-polis
Yunani. Fase ini ditandai kemenangan Athena dalam perang melawan
Persia, yang membuat polis Yunani lain bersekutu dengan Athena dan
mendirikan Liga Delia (Delian League). Namun ternyata, dominasi dan
hegemoni Athena sebagai pemimpin liga dimanfaatkan untuk
kepentingannya sendiri, seperti; pembangunan monumen-monumen
keagamaan di Acropolis dan pembangunan benteng Pyreus.
Sementara itu, seolah menjadi tandingan Liga Delia, Sparta
membentuk Liga Peloponnessos. Bedanya, Liga Delia terbentuk karena
minat pribadi polis untuk bergabung, sedangkan Liga Peloponnessos
terbentuk atas penaklukan-penaklukan bangsa Doria. Nah, inilah fase
yang disebut sebagai masa kejayaan polis-polis Yunani, yaitu
terkonsentrasinya dua kesatuan politik ke dalam dua kekuatan besar.
Sayangnya, Athena sempat mengalami perselisihan internal hingga
membuat kedua liga berseteru. Oleh karena Liga Peloponnessos dibantu
Persia, maka runtuhlah Liga Delia. Athena sebagai pihak yang kalah
dipaksa merobohkan bentengnya dan menjadikan Athena sebagai koloni
Sparta. Sekalipun perang dimenangkan Sparta, tapi perang selama 27
tahun itu membuat Yunani mengalami kemiskinan dan penderitaan. Raja
Philip II dari kerajaan Macedonia melihat melemahnya Yunani sebagai
suatu peluang. Akhirnya atas invasi Maceodonia, resmilah Yunani
runtuh dan menjadi kekuasaan Macedonia. Inilah fase keruntuhan
Yunani (400-300 SM).
Walau secara praktis Yunani telah runtuh, tetapi kebudayaan dan
ilmu-ilmu sains dari Yunani tetap berkembang. Malahan, Aristoteles
yang berguru filsafat dan etika politik kepada Plato menjadi guru dari
16 | Miftakhuddin
mempunyai kemajuan peradaban yang lebih unggul. Infiltrasi kultural
pengkoloni di dalam masyarakat koloni agaknya memang telah menjadi
ciri khas tertentu. Ibarat membeli sapi, pasti akan mendapat talinya jua.
Namun demikian, entah mengapa filsafat, sains dan politik tetap menjadi
ikon peninggalan Yunani. Barangkali karena masyarakat berkiblat pada
data historikal dalam mengkaji fenomena alam dan mengambil
keputusan terkait filsafat, sains dan politik berdasar hasil kajian historis.
Lebih-lebih jika masyarakat Eropa dilihat menggunakan peta kultural
pada masa sebelum masehi, akan tampak wilayah Yunani mencapai Asia
Kecil, semenanjung Apenina (Magna Graecia), Afrika Utara dan
wilayah pantai di Perancis selatan seperti Marseillas hingga Spanyol.
Maka wajar bila daerah-daerah itu memiliki kesamaan budaya, gaya
hidup dan sistem pemerintahan, termasuk konsepsi kolonial.
4. Feodalisme Romawi
Romawi berdiri sejak 753 SM, di mana Yunani sedang gencar-
gencarnya melakukan ekspansi melalui kolonisasi. Meski kala itu koloni
Yunani mencapai Italia, belum ada sumber valid yang memastikan
apakah Romawi termasuk koloni Yunani atau bukan. Tetapi, jika
bertolak pada argumen para sejarawan dan studi literatur, akan
mengerucut pada klaim bahwa Romawi adalah sebuah kerajaan
(monarki) yang berdiri sendiri, bukan merupakan bekas koloni Yunani.
Justeru, Romawi yang menginvasi Yunani dari Macedonia dan seluruh
koloninya, termasuk Mesir yang saat itu dipimpin Cleopatra pada 275
SM.
Ketika memperluas kekuasaannya, Romawi sempat berbenturan
dengan Kartago (pemerintahan dirian bangsa Fenesia tahun 814 SM)
dalam Perang Punic, tapi Romawi keluar sebagai pemenang. Kalahnya
Kartago membuat wilayahnya dimiliki Romawi, termasuk Spanyol,
kepulauan Sardinia, dan Korsika (Prancis). Sayangnya, pasca
kemenangan ini Romawi dilanda krisis. Perang saudara, korupsi,
pemberontakan militer, dan ketidakpuasan publik terhadap senat terjadi
terus menerus. Pembentukan triumvirat (tiga serangkai pemimpin
perang) hanya mampu menangani persoalan militer saja. Julius Caesar
selaku anggota triumvirat, merasa bentuk pemerintahan republik tidak
18 | Miftakhuddin
(perdamaian Romawi). Guna mempertahankan dan memperluas
kekuasaannya, Octavianus menggunakan politik devide et impera (pecah
belah), yang kemudian banyak diadopsi para pengkoloni era
penjelajahan samudera. Pasca kematian Octavianus dan digantikan
kaisar-kaisar berikutnya, kejayaan Romawi mulai merosot hingga
mengalami keruntuhan. Penyebabnya bermacam-macam dan amat
kompleks.
Pertama, sistem pergantian kaisar yang “tidak jelas”. Umumnya,
tahta akan diwariskan kepada putra kaisar, tapi Octavianus tidak
memiliki anak. Inilah pemicu kekacauan internal dari berbagai kalangan
politik dan militer yang menggerogoti pemerintahan Romawi. Jabatan
kaisar tidak lagi diwariskan, melainkan dipilih berdasarkan keahliannya
dalam bertarung/berperang. Kendatipun demikian, kesalahan terbesar
Romawi ialah tidak digunakannya dewan kabinet (senat) dalam
pemilihan kaisar. Akibatnya, aktor penangkal keruntuhan menjadi tidak
kompak.
Kedua, diresmikannya agama kristen menjadi agama kerajaan
pada pemerintahan kaisar Konstitianus5 sebagai kaisar pemeluk kristen
pertama. Gereja kristen menjadi organisasi terkuat, yang mampu
menghimpun anggota sampai 10% penduduk. Pembangunan gereja di
berbagai tempat dan militansi pendakwah kristen membuat masyarakat
lebih mementingkan urusan rohani dan akhirat (pengampunan dosa).
Lunturnya sifat materialis menjadi religius, secara masif menghentikan
roda perekonomian masyarakat. Penduduk kelas petani dan pedagang
tidak lagi terobsesi pada urusan duniawi, seperti; pajak dan militer. Di
samping melemahkan pertahanan, tentu saja ini membuat siklus
perekonomian mandek. Alhasil, terjadilah inflasi besar-besaran di
seluruh Romawi.
Ketiga, gempuran dari bangsa bar-bar (jermanik) yang datang
dalam gelombang yang hampir bersamaan. Mereka berasal dari leluhur
yang sama, yakni ras Arya. Komposisi bangsa jermanik yang menyerbu
6
Perubahan nama Byzantium menjadi Konstantinopel sebagai penghormatan kepada kaisar
Konstantinus, karena pernah mendamaikan perselisihan penduduk penyembah dewa Yunani
dengan para umat kristen. Ia mendudukan kedua tokoh keduanya ke dalam satu forum.
20 | Miftakhuddin
petani. Sehingga anak tuan feodal akan menjadi tuan feodal, dan anak
petani akan menjadi petani. Begitu juga dengan kelas masyarakat lain.
Ditinjau dari strata feodalisme, tuan feodal (vassal) adalah
bangsawan level kedua (level pertama ialah kaisar). Sebagai tuan, ia
memiliki bawahan yang wajib menyetor upeti, mereka ialah para petani
(serf). Praktik ini, -dalam konteks feodalisme- dikenal sebagai pertanian
bangsawan atau manorial estate, yang kemudian lebih dikenal sebagai
manor7. Inti dari feodalisme adalah tanah sebagai sumber kekuasaan.
Siapa yang punya tanah, dialah yang berkuasa. Sebagaimana yang
terjadi, krisis ekonomi di Romawi Barat membuat kaisar menegaskan
seluruh tanah di Romawi adalah miliknya, sesuai dogma kekristenan;
city of God, yakni tanah adalah milik kaisar sebagai wakil Tuhan di
bumi. Doktrin gereja ini membuat vassal dan rakyat berstatus sebagai
penyewa dan penggarap tanah. Tanah kaisar ini bisa diberikan kepada;
pegawai/tentara sebagai gaji, keluarga kerajaan dan biarawan untuk
mendukung pendidikan kekristenan.
Sekurang-kurangnya ada dua faktor penyebab munculnya
feodalisme. Pertama, urgensi sistem kepemilikan tanah. Status
kepemilikan tanah di Romawi menjadi teramat penting, sebab perang
yang tidak berkesudahan dan militansi kristiani membuat roda
perekonomian menjadi mandeg. Ini membuat petani yang tak sanggup
membayar pajak mengalihkan tanahnya kepada tuan feodal untuk
disewakan kepada para petani miskin. Kesepakatannya, petani miskin
mendapat perlindungan dan kesejahteraan. Dengan kata lain, petani yang
tak punya hak milik atas tanah garapannya berstatus setengah budak.
Kedua, masuknya bangsa Jermanik yang membawa kebiasaan
pembagian hasil rampasan perang dari panglima kepada para prajurit
sebagai imbalan atau balas jasa. Pola bagi hasil ini kemudian diadopsi
dalam hubungan feodal antara lord dengan vassal. Asimilasi faktor eko-
kultural inilah yang menjadi platform implementasi feodalisme.
Meski sepintas tampak tak adil, feodalisme tidak bisa
disejajarkan dengan kolonialisme (penjajahan). Sebab, dalam feodalisme
7 Manor adalah sebidang tanah dengan “hak milik” dipegang bangsawan (vassal), ia tidak
hanya sebagai penguasa tanah, melainkan juga pelindung, hakim dan kepala kepolisian dalam
teritorial tanah miliknya.
22 | Miftakhuddin
hanya tersisa Romawi Timur (Konstantinopel) atau dikenal juga sebagai
Roma baru. Bagi Konstantinopel, masalah terbesar bukanlah bangsa
Jermanik, melainkan perselisihan dengan kristen Eropa Barat (Paus)
yang terlalu ambisius dan ekspansi Arab, yang saat itu telah menguasai
Turki, Yerussalem, Suriah, Afrika Utara, dan Spanyol. Singkatnya, tiga
kekuatan ini akhirnya terlibat ke dalam Perang Salib, yang berakhir
dengan kemenangan Arab dan runtuhnya Romawi pada 1453.
Seiring keruntuhan Romawi, feodalisme sebagai upaya
mempertahankan eksistensi dan kedaulatan Romawi berubah bentuk.
Feodalisme tak lagi berprinsip pada keturunan, tapi kinerja. Kinerja atau
tinggi rendahnya mobilitaslah yang menjadi tolok ukur status sosial.
Bentuk pergeseran ini menghasilkan suatu paham baru, yakni
kapitalisme, suatu paham yang menjadi wajah baru dari kelamnya dark
ages, sekaligus penanda dimulainya renaissance di Italia. Paham
kapitalisme memandang penguasa tidak selalu berasal dari keturunan
bangsawan. Kapitalisme lebih bebas dan terbuka, di mana penguasa
adalah siapapun yang memiliki modal. Entah dari kasta manapun,
selama dia memiliki modal maka dia adalah penguasa.
Perlu diketahui, abad pertengahan adalah masa di mana tren
feodalisme diperkenalkan secara tak sengaja oleh kaisar Romawi. Krisis
ekonomi ditambah ledakan penduduk menampakkan takdir seolah
berpihak kepada kaisar untuk menerapkan feodalisme dan
mempertahankannya. Saking populernya feodalisme di abad
pertengahan, beberapa paper sejaran menyatakan feodalisme sebagai ciri
khas abad pertengahan. Praktik feodalisme bertujuan mengkatrol kondisi
ekonomi yang melemah, namun karena sistem kerja feodalisme yang
sedemikian rupa, maka melahirkan suatu bentuk intimidasi dari kalangan
penguasa, (terutama oleh vassal). Sistem feodalisme merupakan sebuah
hierarki sosial yang besar, lebih besar dari sistem kasta Hinduism.
Kendatipun jauh dari nilai-nilai demokrasi, namun feodalisme memiliki
undang-undang dan angkatan militer (knight).
5. Kebangkitan Kolonialisme
Primadona bangsawan semasa imperium Romawi adalah
imperialisme dan feodalisme, sementara kolonialisme sempat tidak
24 | Miftakhuddin
menurutnya telah ada petunjuk untuk menuju India. Kegagalan Diaz lalu
digantikan Vasco da Gama melanjutkan ekspedisi, yang sampai di
Calicut pada 1498 (Nugroho, 2016). Sepulangnya da Gama ke Portugis,
ia membawa serta rempah-rempah sebagai hadiah dari raja India untuk
raja Portugis.
Sayangnya, daya jelajah Portugis dipandang iri oleh Spanyol
yang juga menginginkan laba besar dalam perdagangan. Kala itu,
cendekiawan Spanyol masih berselisih paham soal ukuran bumi. Ada
dua pandangan; pertama, teori Ptolomeus yang menganggap bumi lebih
kecil dari ukuran sebenarnya, dan kedua adalah anggapan ilmuwan
Universitas Salamanca yang mengklaim bumi lebih besar dari perkiraan
Ptolomeus. Seorang pelaut Italia, Cristopher Columbus termasuk yang
meyakini Ptolomeus. Ia menyatakan jika berlayar ke barat, maka dia
akan mencapai India dalam dua bulan. Sementara ilmuan Universitas
Salamanca menyatakan dia memerlukan waktu empat bulan. Tetapi Ratu
Isabella lebih percaya pada Columbus dan bersedia mensponsori
pelayarannya pada 3 Agustus 1942. Bahkan, menurut Hart (1978), Ratu
Isabella menjanjikan Colombus posisi gubernur di pulau mana pun yang
ditemuinya. Disebutkan oleh Columbus sendiri dalam Journal of the
First Voyage of Columbus oleh American Journeys Collection (2003)
hlm. 90-91,
I left the city of Granada on the 12th day of May, in the
same year pf 1942, being Saturday, and came to the town
of Palos, which is a seaport; where I equipped three
vessels well suited for such service; and departed from
that port, well supplied with provisions and with many
sailors, on the 3rd day of August of the same years, being
Friday, half an hour before sunrise,taking the route to the
islands of Canaria...
Keberangkatan Columbus diarmadai tiga kapal penjelajah; Nina,
Pinta dan Santa Maria. Setelah dua bulan berlayar melintasi samudra
Atlantik, sampailah dia di benua Amerika. Di sana ia bertemu pribumi
yang oleh Columbus dinamai Indian (orang India), sebab Columbus
mengira kalau dia sudah sampai di India. Perlu diketahui, meski pelaut
Viking (Leif Ericson) telah sampai di Amerika bertahun-tahun sebelum
26 | Miftakhuddin
atas kaum borjuis, petani, buruh dan individu. Absolutisme kerajaan
barangkali memang tidak bisa dipersalahkan, tapi penutupan utang
nasional akibat perang yang ditanggulangi dengan penarikan pajak yang
tidak berimbang, hanya akan meruntuhkan pemerintahan itu sendiri.
Persis dengan apa yang terjadi pada imperium Romawi.
Sedangkan Revolusi Industri adalah revolusi teknologis, yang
melahirkan alat-alat produksi, peralatan logam, dan teknologi lainnya.
Gara-gara revolusi industri lah masyarakat Inggris yang semula agraris
menjadi industrialis. Mereka bertransformasi menjadi masyarakat
modern. Penemuan metode pemanfaatan batu bara untuk memurnikan
besi, membuat penemuan-penemuan industrial semakin maju, sehingga
diproduksilah senapan dan persenjataan perang. Penemuan mesin uap
oleh Thomas Newcomen yang dipatenkan James Watt pada 1769 juga
memicu penemuan alat-alat berat seperti kapal perang, meriam dan
lokomotif. Inggris memiliki sumber daya industri lebih baik ketimbang
negara lain, oleh sebab itu Inggris menjadi basis industri. Sementara
negeri lain fokus pada revolusinya masing-masing, seperti bidang
komunikasi, pertanian, dan transportasi. Akhirnya, Inggris-lah yang
menjadi kiblat bagi bangsa Barat dalam mengembangkan teknologi.
Revolusi Industri dan revolusi Prancis adalah “duet maut”
korelatif dalam renaissance. Paham kapitalis misalnya, infiltrasi paham
kapitalis membuat masyarakat Inggris menjadi terkotak-kotak. Mana
pemilik modal (borjuis) dan mana pekerja, menjadi jelas kembali.
Kendatipun demikian, bedanya feodalisme Romawi dengan modernitas
Inggris ialah status pekerja yang tidak menjurus pada perbudakan.
Pekerja adalah individu yang punya hak merdeka. Adapun sumbangsih
Revolusi Industri terhadap Revolusi Prancis adalah penemuan-
penemuan piranti material yang memungkinkan paham baru dari
Revolusi Prancis dapat diwujudkan dan disebarkan. Paham kapitalis
membuat penganutnya obsesif atas kekuasaan dan kepemilikan modal,
dan cara mendapatkannya adalah dengan kolonisasi dan imperialisme.
Upaya menjalankan keduanya hanya akan lancar bila menjalin kontak
dagang dan kontak politik dengan Inggris. Dengan demikian Prancis
mendapat apa yang dibutuhkan, pun juga sebaliknya.
8Sebutan untuk kaum muslimin dari Timur Tengah dan Afrika Utara (Kartodirdjo, 1993).
9 Diawali oleh Cortez, yang mendarat di Meksiko (1519) dan menjajah Indian Aztek. Sementara
Columbus mencari jalan ke Jepang dan Cina namun akhirnya dihukum Ratu Isabella karena
terlalu ambisius.
28 | Miftakhuddin
dengan fakta bahwa memang Barat baru bisa menjangkau dunia Timur
secara masif pasca Revolusi Industri.
Kebangkitan koloni sampai ke Timur awalnya murni
kepentingan niaga (menguasai perdagangan). Makanya koloni Vasco da
Gama di India pun berbentuk pos perdagangan10. Koloni Spanyol di
Amerika juga berniat menguasai perdagangan. Hanya saja, Columbus
menemukan sumber daya mineral milik suku Indian, akhirnya koloni
yang berdiri ialah untuk industri. Apalagi jalur Amerika bukanlah jalur
perdagangan. Namun tidak menutup kemungkinan pula, sumber daya
dari Amerika juga diperdagangkan kepada Inggris yang saat itu sedang
butuh-butuhnya sumber daya mineral.
Bermula dari kepentingan ekonomi, berubah menjadi
kepentingan hegemoni perdagangan yang wujudkan dengan kolonisasi.
Portugis dan Spanyol pada perkembangan berikutnya juga menguasai
daerah-daerah di Asia (termasuk Jepang, Singaphore, dll.), yang
kemudian diperebutkan pula oleh Prancis dan Inggris. Inilah era
kolonialisme. Sebuah zaman yang mempertontonkan secara terus terang
suatu kerajaan mengkavling-kavling daratan dan perairan dunia menjadi
miliknya (Portugis, Spanyol, Prancis, dan Inggris).
Umumnya kolonialisme memang dibarengi imperialisme, namun
keduanya tak bisa dipandang sama, sebab tujuan kolonialisme adalah
dominasi ekonomi, dan tujuan imperialisme adalah perluasan wilayah.
Kolonialisme juga sering diwarnai legitimasi kepercayaan koloni, bahwa
moral pengkoloni lebih mulia ketimbang yang dikoloni.
10Koloni di India tak banyak menghasilkan, sebab India bukan penghasil rempah sesungguhnya,
melainkan Nusantara. Maka Portugis mengirim Alfonso de Albuquerque ke Nusantara
(mendarat di Malaka) dan mulai melakukan kolonisasi di Malaka dan sekitarnya. Capaian
Alfonso kemudian menarik bangsa Barat lain untuk juga mendirikan koloni di sana. Spanyol
mengirim Ferdinand Magelhaens (mendarat di Filipina tahun 1521) dan Sebastian del Cano
(mendarat di Maluku tahun 1521). Belanda mengirim Cornelis de Houtman (mendarat di Banten
tahun 1596). Inggris mengirim Sir James Lancaster (mendarat di Banten tahun 1602) dan Sir
Henry Middleton (mendarat di Maluku pada 1604).
30 | Miftakhuddin
1. Kolonialisme Portugis
Abad 16, Nusantara kedatangan penjelajah Eropa. Alfonso de
Albuquerque sampai di Malaka tahun 1511, dan Belanda sampai di
Banten tahun 1596. Di sanalah kekuasaan kolonial menemukan
basisnya. Mereka bukan saja datang sebagai pedagang melainkan juga
sebagai pengembara mencari tempat tinggal baru untuk dijadikan koloni.
Semua berawal saat Raja Portugal mendapat berita dari Vasco da Gama
kalau penghasil rempah rupanya ialah Nusantara, maka dikirimlah
Diogo Lopes de Sequeira. Semula ia diterima baik, tapi banyak saudagar
muslim meyakinkan Sultan Mahmud Syah di Malaka tentang bahaya
Portugis, maka Diogo sekaligus armadanya diusir. Pengusiran yang
menyulut amarah raja Portugis ini membuat Alfonso de Albuquerque
dikirim dari Goa (India) untuk menguasai Malaka pada 1511.
Berdasarkan catatan ekspedisi Tomé Pires11, alasan Portugis
bersikeras menguasai Malaka ialah karena Malaka mempunyai
kedudukan strategis dan memiliki peluang ekonomi yang potensial.
Disebutkan oleh Tomé Pires dalam laporan ekspedisinya; kala itu
Malaka punya pengurus perdagangan yang dipilih sendiri oleh para
pedagang asing dari berbagai kelompok bangsa untuk mengurusi
kepentingan niaga mereka. Pengurus tersebut dinamakan syahbandar.
Syahbandar terdiri atas empat orang. Pertama, syahbandar yang
mengurusi para pedagang Gujarat; kedua, syahbandar yang mengurusi
para pedagang Keling, Bengali, Pegu, dan penduduk Pasai; ketiga,
syahbandar yang menjaga kepentingan para pedagang Jawa, Maluku,
Banda, Palembang, Kalimantan, dan Filipina (Sulu dan Mangindanau);
dan keempat adalah syahbandar yang menjaga dan mewakili para
pedagang Cina dan kepulauan Liu-Kiu. Kedudukan Malaka seperti
inilah yang mendorong Portugis tetap ngotot berusaha menguasainya.
11Tomé Pires, dalam bukunya, Suma Oriental. Buku ini sebenarnya adalah naskah laporan resmi
untuk Raja Emanuel di Portugal tentang potensi dan peluang ekonomi di wilayah-wilayah yang
baru di kenal Portugis selama ia mendampingi Alfonso de Albuquerque dalam pelayarannya
(1512-1515). Oleh sebab itu, laporan yang terdiri atas enam jilid ini tidak pernah diterbitkan
sama sekali. Namun, berdasarkan versi salinannya yang ditemukan di Perpustakaan Chambre
des Deputes di Paris, Armando Cortesão menerbitkan terjemahannya dalam bahasa Inggris
pada tahun 1944.
Sumber: archive.org
32 | Miftakhuddin
Setakluknya Malaka, Portugis memulai masa kolonialnya
melalui perdagangan langsung dan terbuka dengan penghasil rempah
lain, seperti; Ternate, Banda, Seram, Ambon, dan Timor sembari
memperluas kekuasaannya ke Maluku. Namun berbeda dengan di
Malaka. Portugis di Maluku menjumpai perselisihan kerajaan Ternate
dan Tidore. Portugis kemudian membantu Ternate untuk mengalahkan
Tidore yang saat itu dibantu Spanyol. Sebagai imbalannya, Portugis
meminta hak monopoli perdagangan cengkeh dan pala di Ternate.
Kesuksesannya di Malaka mempermudah penyebaran agama, dan
keberhasilannya di Ternate memperlancar dominasi ekonomi. Sampai di
sini, mulai tampak Portugis satu langkah lebih maju untuk perdagangan
rempah di Eropa nantinya. Sebagaimana M.C. Ricklefs (2010) dalam
bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Portugis berusaha
mendapat rempah-rempah, yang berarti menemukan jalan ke Asia
dengan tujuan memotong jalur pelayaran para pedagang Islam, yang
melalui tempat penjualan mereka di Venesia, yang terletak Laut Tengah
(Mediterania). Dengan begini, Portugis bisa memonopoli impor rempah-
rempah ke Eropa.
Hanya dua kebijakan Portugis di Maluku. Pertama, pewajiban
penduduk Ternate menjual cengkeh dan pala kepada Portugis dengan
harga yang ditetapkan Portugis. Kedua, optimalisasi militansi kristen. Di
Nusantara, Portugis memperkenalkan kristen dengan kekerasan berazas
jiwa pemberontakan dan permusuhan tradisional terhadap islam, yakni
memburu orang-orang Moor (Kartodirdjo, 1993). Bagi Portugis, semua
muslim adalah Moor, dan merupakan musuh yang harus diperangi.
Memang demikianlah orang-orang Portugis dan Spanyol menjelang abad
ke-16 sengaja datang ke berbagai pelosok dunia antara lain untuk
memerangi islam dan meng-kristen-kannya (Suminto, 1985).
Ekspansi ini memang dapat dilihat sebagai kelanjutan Perang
Salib, tapi metode penaklukan dengan militansi yang hebat ini justru
membangkitkan lawan-lawannya bereaksi. Lihat saja hubungan baik
Sultan Ternate dengan Portugis sampai sultan mengizinkan Portugis
mendirikan benteng. Hubungan itu menjadi rusak karena para misionaris
terlalu memaksakan kristenisasi masyarakat Maluku, ditambah lagi
perilakunya yang dinilai tak sopan. Akibatnya, pangeran-pangeran
2. Kolonialisme Spanyol
Perjanjian Tordesillas (diprakarsai Paus Alexander VI pada
1494), membagi dunia menjadi dua. Spanyol mengkoloni layaknya
Portugis, dengan visi dan misi yang sama persis, yakni daerah
kekuasaan, kekayaan (monopoli perdagangan rempah-rempah), dan
politik anti-Islam yang terkenal dengan semangat reconquista atau
penaklukan kembali. Spanyol mengirim Columbus sebagai conquistador
(penakluk) untuk menuju sumber rempah-rempah dan mendirikan koloni
di sana, namun ia malah mendarat di Amerika. Setelah pendaratan
susulan oleh conquistador lainnya, Hernando Cortez, pendirian koloni
dilakukan dengan menjajah suku Indian Aztek.
Ketika conquistador Sebastian del Cano mendarat di Maluku,
Spanyol menggunakan Kerajaan Tidore sebagai pion untuk berebut
dominasi dengan Portugis. Melalui devide et impera, keduanya baik
Portugis maupun Spanyol memperoleh keuntungan berupa monopoli
perdagangan di masing-masing kerajaan. Tapi karena persaingan
keduanya tidak kunjung usai, maka dibuatlah perjanjian Zaragoza pada
1529 untuk mempertegas perjanjian Tordesillas tentang mana jatah
wilayah Portugis dan mana jatah Spanyol. Hasil perundingan Zaragosa
menyebut wilayah Spanyol membentang dari Mexico barat sampai
kepulauan Filipina, dan wilayah Portugis membentang dari Brazil ke
timur sampai kepulauan Maluku. Maka secara de jure, Maluku menjadi
milik Portugis, dan Spanyol memfokuskan kegiatan di Filipina, yang
telah ditemukan Magelhaens pada 1521 atas perintah Raja Karel V.
Menurut Allen (1997), penjelajahan Spanyol ke Filipina
mempunyai dua motif pokok, yang kemudian diejawantahkan menjadi
Gold, Glory, dan Gospel. Pertama adalah pembukaan pos perdagangan
baru dan memperluas perdagangan ke Asia. Kedua adalah penyebaran
34 | Miftakhuddin
agama Katholik. Sebagaimana surat wasiat terakhir Ratu Isabella,
(dalam Ahmat, 2006):
...Tujuan utama negara kita adalah senantiasa untuk
menukarkan agama penduduk-penduduk pulau-pulau
Hindia dan Terra Firma kepada agama suci kita dan
menghantar mereka biskop-biskop, mubaligh dan orang
terpelajar yang lain untuk mengajar, mendidik dan
melatih mereka supaya bertata-tertib...
Magelhaens, kali pertama tiba langsung menggelar upacara
Missa, dan atas nama raja ia memasang salib sebagai tanda pulau
tersebut merupakan koloni Spanyol beragama Katholik. Atas tindakan
tanpa kompromi itu, terjadi konflik dengan pribumi yang berakhir
dengan tewasnya Magelhaens. Anak buah yang tersisa lantas kembali
dan menamakan pulau itu sebagai St. Lazarus. Baru tahun 1526 raja
mengirim Hernando Cortez, sang conquestador Mexico, ke St. Lazarus.
Karena orang-orang Filipina -yang saat itu muslim- sulit ditundukkan,
maka tahun 1542 raja mengirim bantuan yang dipimpin Ruy Lopez dan
Vilalobos12.
Kendatipun demikian, Spanyol kesulitan menaklukkan penduduk
Filipina, terutama kaum muslim di bagian selatan. Tercatat sepanjang
kolonialisme Spanyol kaum muslim Filipina di selatan tak dapat
ditundukkan secara total, mereka adalah yang disebut barangai13.
Sedikitnya ada enam kali pertempuran bangsa Moor14 Filipina melawan
Spanyol. Perang pertama adalah penolakan terhadap kolonisasi Spanyol.
Karena pada perang pertama Filipina kalah hingga kehilangan sebagian
wilayahnya, maka perang kedua sampai kelima adalah perang perebutan
kedaulatan oleh rakyat Filipina. Dan perang keenam adalah perang
melawan Spanyol dibantu Amerika yang telah saat itu telah merdeka.
12 Ia yang mengganti nama St. Lazarus menjadi Philipinese pada 1560, sebagai penghormatan
kepada Don Philips II, putera Raja Karel V
13 Barangai adalah kesatuan non-politik yang terdiri atas kumpulan keluarga besar pedagang
muslim (moor) di bagian selatan (Mindanao dan Sulu). Istilah itu diambil dari nama perahu
mereka (Corpus, 1965)
14 Bagi bangsa Spanyol, moor (moro) artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan
36 | Miftakhuddin
adalah wakil raja di tanah jajahan dan bertanggung jawab langsung
kepada Raja Spanyol di Madrid. Sedangkan urusan
keagamaan/pendidikan menjadi wewenang uskup yang bertanggung
jawab langsung kepada Paus di Roma. Kebijakan kolonial itupun pada
gilirannya memunculkan desa-desa katholik dengan sangat cepat.
Terlebih padri menyesuaikan medium penyebaran dengan kearifan lokal.
Sebagai contoh, para padri menerjemahkan Injil ke dalam bahasa
Tagalog, untuk memudahkan cara penggunaannya bagi pribumi.
Melalui adaptasi dan beberapa keramahan itu, para padri
kemudian diberi hak dan kepercayaan untuk menguasai tanah-tanah
yang luas. Pemberian hak ini, otomatis membuat padri menjadi tuan
tanah atau feodal. Mereka kemudian memanipulasi harga tanah, yang
akhirnya berdampak pada kekuatan ekonomi dan perdagangan dunia.
Membanjirlah para padri katolik dari Eropa tidak dengan motif tugas
suci, melainkan memperkaya diri. Mereka lalu menjadi tuan tanah yang
serakah dan mengakuisisi tanah milik rakyat seenaknya.
Sebagai tuan tanah mereka punya kekuatan mengintimidasikan
penduduk yang “dipaksa” berstatus sebagai penyewa tanah. Mereka
mempekerjakan, menekan, memeras, dan memonopoli aktivitas ekonomi
rakyat Filipina.
Sejak 1589 bangsa Spanyol memungut upeti tahunan
kepada setiap pria dewasa yang berusia antara 18-60
tahun. Upeti ini tidak hanya dibayarkan dalam bentuk
mata uang tetapi juga tenaga kerja dan barang-barang.
Pajak tahunan ini dikumpulkan melalui raja atau
encomeinda (hibah) swasta yang dihadiahkan sebagai
penghargaan atas jasanya kepada raja (Ricklefs, 2013).
15
Pemimpin gerakan nasional Filipina pertama (Liga Filipina). Ia menulis novel El Filibusterisme
dan Noli me Tangere. Melalui novelnya ia mengkritik pemerintah Spanyol dan otokrasi gereja
(Wiharyanto, 2008).
38 | Miftakhuddin
samping pemerintahan gubernur jenderal. Meski berbagai
pemberontakan dan pergerakan rutin dijalankan, namun selalu ditumpas
kolonial Spanyol. Sampai akhirnya Filipina bekerja sama dengan
Amerika. Tapi seperginya Spanyol, Amerika malah menjadi penjajah
baru yang lebih kuat. Baru 4 Juli 1946 Filipina diberi kemerdekaan oleh
Amerika Serikat.
3. Kolonialisme Belanda
Sebelum politik etis (tahun 1900-an), sistem pemerintahan
sentralisitik di koloni Belanda (Nusantara) dianggap cara terbaik
memperoleh keuntungan maksimal. Sebab, dengan begini partisipasi
perangkat lokal dapat dibatasi, dan otonomi untuk mengatur sendiri
rumah tangga daerah dapat dikendalikan. Konstitusi Belanda pun sampai
mendarah daging pada pola hukum yang berlaku di Nusantara bahkan
setelah merdeka. Menurut Hartono (2015), sejak tahun 1816 peraturan
umum mulai dimuat dalam lembaran resmi yang diterbitkan Pemerintah
Hindia Belanda (Staatsblad dan Bijblad). Sistem hukum dan berbagai
peraturan ini sebagian besar hampir tidak berubah, atau tidak sempat
diubah pada masa pendudukan Jepang, karena masa pendudukan Jepang
yang relatif amat singkat.
Sebagaimana Abdullah (2010), salah satu pengaruh kolonialisme
dalam politik hukum Indonesia adalah banyaknya peraturan perundang-
undangan yang bersifat kolonialistik (dibuat untuk melindungi dan
memperkuat kolonialisme), yang mana beberapa perundang-undangan
tersebut masih ada yang diberlakukan hingga sekarang. Misalnya; Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUH-Per). Padahal, politik hukum yang dibuat dalam
masyarakat yang pluralistik, harus ada suatu unifikasi hukum. Artinya,
harus ada hukum yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat
Indonesia.
Meski demikian, proklamasi kemerdekaan telah mengubah
tradisi masyarakat dari keadaan terjajah menjadi masyarakat bebas
(merdeka). Tujuan hukum pun harus berubah secara berbalikan, dari
tujuan mempertahankan dan melestarikan penjajahan, menjadi mengisi
kemerdekaan dengan etos yang juga berubah dari penjajahan menjadi
40 | Miftakhuddin
Berdasar petunjuk Jan Huygen van Linscoten16, pada 1596
armada Belanda di bawah komando Cornelis de Houtman mendarat di
Banten. Karena hubungan Banten dengan Portugis sedang memburuk,
Belanda disambut baik dengan harapan akan membela Banten dalam
penyerangan ke Palembang. Namun harapan itu tidak terwujud.
Houtman ditangkap karena hanya mau membeli rempah saat musim
panen, itupun melalui tengkulak Cina. Ia lalu ditangkap dan baru
dibebaskan setelah membayar tebusan.
Bertolak dari Banten mereka menuju Bali. Tapi karena di Bali
juga mengalami pengusiran, Houtman hanya membawa pulang sedikit
rempah. Kendatipun tergolong gagal, Houtman tetap disambut baik dan
dianggap pelopor pelayaran menuju Nusantara. Saat pelayaran kedua
dengan delapan kapal di bawah Jacob van Neck dan Wybrect van
Waerwyck pada 1598. Belanda berhasil mengangkut tiga kapal rempah
dan mengirimnya ke Belanda. Sementara lima kapal sisanya menuju
Maluku. Maluku yang berkonflik dengan Portugis membuat Belanda
diterima baik.
Singkat kata, kesuksesan ekspedisi menemukan sumber rempah
memicu para pedagang swasta Belanda berdatangan ke Nusantara.
Persaingan sesama pedagang Belanda, perompakan oleh bajak laut, dan
persaingan dengan Spanyol dan Portugis membuat pedagang Belanda
rugi. Lebih-lebih persaingan dengan East India Trading Company (EIC),
kongsi dagang Inggris yang telah berdiri sejak 1600 dan berpusat di
Calicut-India. Akhirnya, tahun 1602 Pangeran Maurits dan Johan van
Olden Barnevelt memprakarsai pendirian perserikatan dagang yang
terdiri atas kongsi-kongsi dagang Belanda, bernama Verenigde Oost-
Indische Compagnie (VOC). Baru kemudian disusul Prancis dengan
mendirikan French East India Company pada 1604.
VOC dibentuk tahun 1602 sebagai bentuk penyatuan (merger)
beberapa serikat dagang Belanda. Kepada VOC pemerintah Belanda
memberi hak octroi (hak-hak istimewa), seperti; hak monopoli
16 Jan Huygen Van Linscoten adalah pelaut Belanda yang pernah ke Indonesia karena bekerja
untuk kongsi dagang Spanyol pada 1579 dan bekerja untuk kongsi dagang Portugis pada 1583-
1598 di Goa – India. Ia memetakan beberapa tempat berpotensi rempah di Pulau Jawa yang
terbebas dari Portugis
42 | Miftakhuddin
1. Verplichte Leverantie, yaitu penyerahan wajib hasil
bumi dengan harga yang telah ditetapkan VOC.
Peraturan ini juga melarang rakyat menjual hasil
buminya selain kepada VOC.
2. Contingenten, yaitu kewajiban bagi rakyat untuk
membayar pajak berupa hasil bumi.
3. Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman
rempah-rempah yang boleh ditanam.
4. Ekstiparsi, yaitu hak VOC untuk menebang tanaman
rempah-rempah agar tidak terjadi kelebihan produksi
yang dapat menyebabkan harganya merosot.
5. Pelayaran Hongi, yaitu pelayaran dengan perahu kora-
kora (perahu perang) untuk mengawasi pelaksanaan
monopoli perdagangan VOC dan menindak keras
pelanggarnya.
44 | Miftakhuddin
dan bodoh. Mereka bahkan tak mampu membeli barang yang dijual
Belanda, termasuk beras dan makanan lainnya.
Ini terjadi karena VOC; 1) membeli hasil bumi dengan murah,
tapi menjual produk Belanda dengan mahal. 2) menjaga jumlah barang
monopoli. Stabilitas jumlah barang diawasi agar permintaan pasar dan
harga tetap seimbang. Jika permintaan tinggi, maka pengeluaran
dilebihkan, dengan syarat harganya tidak jatuh. Jika persediaan berlebih,
maka dikurangi dengan memusnahkan pohon atau mengubur hasil yang
berlebihan itu, supaya harga tetap tinggi. Contoh, jika harga lada sedang
naik di Eropa, maka penduduk dipaksa menanam lebih banyak lada, -
padahal tanaman ini butuh waktu bertahun-tahun untuk berbuah-. Tapi
jika waktu panen harganya sudah jatuh, maka untuk menjaga stabilitas
harga persediaan di gudang-gudang akan dimusnahkan. Harga yang
dibayar kepada penanam juga dikurangi. Jelas, VOC tidak mendapat
banyak faedah dari monopoli yang tidak optimal itu. Terlebih para
pedagang Arab, Compagnie des Indies (kongsi dagang Portugis), dan
East India Company yang menjual bahan pokok (seperti; kain, dll)
dengan harga lebih murah ketimbang VOC. Persaingan ini, menurut Day
(1966), adalah sebab utama kemerosotan VOC dalam abad delapan
belas. 3) menjaga monopoli tanaman. Di samping menjaga kuantitas
stok barang, VOC mengawasi jumlah tanaman agar tidak melebihi
permintaan pasar dengan melakukan pelayaran Hongi untuk
memusnahkan tanaman yang melanggar aturan. Pelayaran ini, selain
biayanya mahal, juga menimbulkan dendam dari penduduk yang
tanamannya dirusak. Di sisi lain, Perancis dan Inggris menggalakkan
penanaman pohon-pohon tersebut di tanah jajahan mereka. Tidak lama
kemudian Sri Lanka dan India menghasilkan kayu manis dan bunga
cengkih untuk Inggris. Sedangkan pangkalan Inggris di Bangkahulu
memperoleh rempah-rempah dari pedagang-pedagang setempat.
Keadaan ini membuat VOC sekali lagi mengalami kerugian (Khoo,
1976).
Kedua, cara kerja yang tidak efektif dan efisien. Mulanya VOC
berdiri sebagai badan usaha, tapi setelah berubah menjadi badan
pemerintah, anggaran sipil atas seluruh wilayah kuasaan melebihi laba
yang didapat. Implikasinya ialah pembengkakan anggaran pegawai. Apa
46 | Miftakhuddin
Pasca pembubaran VOC, administrasi jajahan VOC diurus oleh
Aziatische Raad (Dewan Asia), bukan lagi de Heeren XVII (Gentlemen
Seventeen). Adapun posisi gubernur jenderal dijabat Pieter Gerardus van
Overstraten. Ia berhasil menangkis serangan Inggris yang dipimpin
Admiral Ball atas bantuan raja-raja Jawa (Wiharyanto, 2007). Saat posisi
gubernur jenderal akan digantikan Johannes Siberg, sebelum dilantik ia
mengirim dua komisaris ke Hindia Belanda (Nederburg dan van
Hogendrop), untuk memperkirakan politik kolonial apa yang nantinya
bakal diterapkan. Namun keduanya berbeda pandangan.
Nederburg cenderung konservatif. Usulannya mempertahankan
dan melanjutkan sistem perekonomian dibangun VOC. Sedangkan Van
Hogendrop berpendirian sangat liberal. Menurutnya, persoalan politik
dan ekonomi harus dipisah. Perbedaan dua tokoh ini akhirnya
diakomodir melalui Charter 1904 sebagai kompromi dua pendirian itu.
Menurut Charter 1904, kebijakan lama yang masih dipandang baik perlu
dipertahankan, dan akan dilakukan pembaharuan-pembaharuan bila
dibutuhkan. Akhirnya, Belanda yang pada periode VOC mementingkan
urusan ekonomi, kini lebih tertarik ke ranah politik (imperialisme).
Di dalam bahasan tentang persoalan tersebut, ada dua hal yang
perlu diketengahkan. Pertama, ekspansi Belanda periode sebelum tahun
1850 dapat dikategorikan ke dalam kolonialisme marxistis (kapitalis),
sebab terdapat akumulasi modal dan kelebihan produksi di pihak
Belanda. Kedua, kebijakan politik kolonial Belanda setelah tahun 1850
harus diterangkan tidak hanya dari segi motif ekonomik saja, tetapi juga
harus dipelajari dari segi perluasan militer, perluasan pegawai, perluasan
politik dan agama, dan masing-masing berperan sebagai faktor penentu
atau faktor pembantu.
Hasil mufakat Charter 1904 menggariskan penguasa tertinggi
Hindia Belanda ialah Gubernur Jenderal yang dibantu empat orang raad
van indie, di mana mereka sendiri juga dibantu generale secretarie yang
terdiri dari commisaris general dan gouvernement secretarie. Keduanya
juga membantu Gubernur Jenderal, tapi sejak 1819 keduanya digantikan
dengan algemene secretarie, yang fokus membantu Gubernur Jenderal
memberi pertimbangan keputusan. Namun tetap, berdasarkan Undang-
Undang Hindia Belanda, pemerintah tertinggi adalah Raja yang
48 | Miftakhuddin
regering in Nederlandsh Indie (atau Regerings Reglement/R.R), yang
mengatur kebijakan pemerintahan di Hindia Belanda.
Pada masa berlakunya aturan tersebut, menurut Hartono (2015),
dibuat peraturan sebagaimana disebutkan di bawah ini.
a. WvS voor Nederlandsch-Indie. Ini berlaku untuk semua golongan
dan mulai diterapkan sejak 1 Januari 1918. (sebelumnya, hukum
pidana yang berlaku dibedakan antara; golongan Eropa, yaitu
WvS voor Europeanen dan golongan pribumi, yaitu WvS voor
Inlander)
b. Rechtsreglement voor de Buitengewesten - RBg (Reglement
untuk daerah seberang)
c. Agrarisch Wet (Agraria)
d. Indishe Comptabiliteitswet - ICW (Perbendaharaan Negara)
e. Auteursrecht (Hak Cipta)
f. Faillisementsverordening (Kepailitan)
Sederhananya, kontrol kebijakan menjaga ketaatan penduduk,
diwujudkan dengan memberlakukan dua sistem hukum, yakni; hukum
pidana dan acara pidana, dan hukum perdata dan acara perdata. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) mengatur soal
tindak kejahatan dan pelanggaran. Sedangkan Kitab Undang-Undang
Acara Pidana (Wetboek van Strafprocesrecht) mengatur bagaimana
proses peradilan berlangsung, sejak penyidikan polisi hingga
pengambilan keputusan oleh pengadilan.
Adapun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur soal
kekayaan dan perjanjian. Oleh karena sebagian besar perdagangan
melalui perantara Cina. Maka hukum ini dibuat untuk mempermudah
pembuatan kontrak dan menjamin kepastian hukum pedagang Belanda,
sekaligus mendudukan Cina atas Eropa. Selain KUH-Per, ada juga Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), yang
dibuat khusus untuk orang-orang Cina18. Sementara untuk pribumi
50 | Miftakhuddin
2. Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur
Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda.
Perkembangan berikutnya, corak desentralisasi dalam
pemerintahan semakin jelas. Berdasarkan Undang-Undang Perubahan
tahun 1922, Hindia Belanda dibagi ke dalam beberapa provinsi dan
gewest (wilayah). Provinsi memiliki otonomi, sedangkan wilayah tidak.
Daerah administratif yang dikelompokkan ke dalam provinsi adalah;
Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sementara daerah
administratif yang dikelompokkan ke dalam gewest meliputi; Kesultanan
Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Gewest Sumatera, Gewest
Kalimantan Borneo, dan Gewest Timur Besar (Grote Oost) yang terdiri
atas Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat.
Keputusan desentralisasi itu akhirnya membuat Belanda memerlukan
bumiputera bukan sebatas penguasa daerah, tapi juga mengerjakan
administrasi pemerintahan untuk urusan sipil, medis, dan militer. Maka
dari itu, agar dapat bekerja dengan baik mereka harus sekolah.
Praktis, atas kebijakan tersebut membuat Hindia Belanda hampir
berubah bentuk dari koloni menjadi negara baru. Sebab, desentralisasi
berdampak pada meningkatnya liberalitas stakeholder kolonial. Lebih-
lebih asimilasi dengan feodalisme yang telah ada “di bawah tanah”
memunculkan Indonesian-isasi. Tanpa disadari, sistem kepengurusan
Nusantara sejauh mungkin harus dilakukan orang Nusantara. Inilah
penyebab lahirnya Volksraad (Dewan Rakyat), yang pada gilirannya dari
provinsi dibentuk keresidenan (afdeling), kabupaten, kawedanan
(kotamadya), kecamatan hingga desa.
Pengecualian untuk jabatan kepala desa, tidak termasuk dalam
struktur birokrasi pemerintah kolonial (tidak termasuk dalam korps
pegawai Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda). Pejabat pribumi
(inland bestuur) yang termasuk dalam departemen dalam negeri adalah
Pangreh Praja atau pemangku kerajaan, yang oleh masyarakat lokal
lebih dikenal dengan sebutan priyayi. Sedangkan kepala desa,
berhubung bukan merupakan anggota korps Departemen Dalam Negeri
Hindia Belanda, maka tidak diangkat maupun digaji pemerintah. Ia
dipilih dan digaji oleh rakyat melalui tanah desa (tanah béngkok) yang
diserahkan kepadanya selama menjabat.
4. Kesimpulan
Pokok aturan main kolonisasi (telah bergeser menjadi
penjajahan), adalah menghisap sumber daya alam secara terstruktur dan
sistematis. Lihat saja Portugis selaku pengkoloni pertama Nusantara.
52 | Miftakhuddin
Melesetnya Vasco da Gama ke India membuat raja mengutus Alfonso ke
Malaka, sebab India bukan penghasil rempah utama. Menariknya,
sampai tahap ini kolonisasi tidak dimaksudkan untuk “mengambil”
sumber daya, melainkan dimaksudkan untuk “membeli”.
Interaksi antara pendatang dengan pribumi -lah yang kemudian
membuat perdagangan menjadi tidak harmonis. Ini telah dibuktikan oleh
kontak sosial dan ekonomi antara bangsa Eropa dengan kerajaan-
kerajaan di Asia Tenggara. Mula-mula pribumi menyambut baik
kedatangan Barat, tapi sikap dan kepentingan yang tak sesuai
pakem/adat pribumi, maka mereka dianggap menyalahi aturan, yang
pada gilirannya menimbulkan konflik. Contoh; kedatangan Spanyol di
Filipina. Awalnya pribumi tidak agresif dan paranoid terhadap Spanyol,
namun karena Magelhaens tiba-tiba memasang salib, dan atas nama
kerajaan, pulau Cebu di Filipina diklaim beragama Katholik, maka
timbullah perlawasan pribumi (konflik). Begitu juga dengan Belanda di
Banten. Kebaikan pembesar Banten menyambut Belanda malah dibalas
dengan sikap kaku dan upaya memonopoli harga rempah, maka
berujung pada pengusiran dan konflik yang berkelanjutan.
Pola-pola interaksi ini agaknya sama, antara di Jawa, Maluku,
bahkan Filipina. Tendensi akan penguasaan dan pemaksaan tampaknya
merupakan corak utama yang khas dalam setiap perjumpaan pertama
pendatang terhadap pribumi. Baru pada ekspedisi kedua dan seterusnya,
upaya penaklukan dan pelemahan pribumi (kolonisasi) mulai berhasil.
Sebagaimana diulas dalam bagian awal buku ini, kolonisasi ialah
pendelegasian kekuasaan sosio-politik, dan menampakkan corak
pemerintahan sentralistik dalam setiap implementasi kebijakannya. Baik
Portugis, Spanyol, maupun Belanda.
Namun begitu, sentralistik rupanya bisa berubah jika terjadi
penaklukan atas pengkoloni. Sebab jatuhnya pengkoloni jelas akan
menghapuskan hegemoni dalam kolonialnya. Lihat saja pengalaman
Belanda saat diduduki Prancis, yang berdampak pada pembubaran VOC
dan penerapan sistem pemerintahan desentralisasi di Hindia Belanda
(Nusantara). Memang secara serampangan, bisa dikatakan kolonial
Prancis tak mau kehilangan “tambang emas” Belanda, yakni Nusantara.
Akan tetapi, asumsi ini tampaknya cukup mewakili sifat kolonial itu
54 | Miftakhuddin
Secara prinsipil, perbedaan keduanya terletak pada tujuannya,
meski pada akhirnya, keduanya dimanifestasikan dalam bentuk
penjajahan yang terkesan mengandung obsesi ekonomi. Saat Britania
memperluas imperiumnya, mereka memandang penjajahan sebagai
pembangunan masyarakat untuk kebaikan dunia, sebab daerah jajahan
dinilai masih terbelakang. Oleh sebab itu, kini imperialisme dimengerti
dengan merujuk pada sistem pemerintahan serta hubungan ekonomi-
politik negara kaya dan berkuasa (imperialis), mengawal dan menguasai
negara lain yang dianggap terbelakang dan miskin disertai eksploitasi
sumber-sumbernya untuk sekaligus menambah kekayaan dan kekuasaan
negara imperialis.
Sekiranya dapat diketengahkan, prinsip kolonialisme adalah
pendelegasian kekuatan sosio-politik, sedang imperialisme berprinsip
pada hubungan ekonomi-politik (perluasan wilayah, tapi bukan koloni).
Imperialisme lebih menonjolkan sifat-sifat superioritas atau keunggulan
negara imperialis terhadap negara jajahan. Selain bertujuan menambah
pemasukan di sektor ekonomi, kepercayaan bahwa pihak imperialis
adalah bangsa yang lebih mulia (ethnosentrism) juga menyebabkan
imperialisme dimaksudkan membangun masyarakat jajahan. Maka dari
itu kebanyakan negara imperialis menganut chauvinisme. Contohnya,
negara-negara dengan nenek moyang suku bangsa ras Arya (Jerman,
Inggris, Prancis, dan Italia). Faktor ini pula yang menyebabkan
imperialis ingin mencapai taraf kekuasaan lebih tinggi dan memerintah
dunia melalui pengaruhnya. Sebagaimana penegasan Edward Said,
bangsa Eropa tahun 1914 telah menguasai 85% wilayah bumi ini sebagai
koloni, wilayah perlindungan, jajahan, dominion dan persemakmuran.
Pengalaman imprealisme dan kolonialisme selama ratusan tahun telah
menimbulkan implikasi pada semua penjuru dunia, baik di pihak
penjajah maupun yang dijajah (Lubis, 2006).
Smith (1999), mendeskripsikan bentuk imperialisme Eropa awal
abad 19 setidaknya dalam empat kecenderungan atau cara yang berbeda
antara lain: (1) imperialisme sebagai ekspansi ekonomi; (2) imperialisme
sebagai pendudukan negara lain (the Other19); (3) imperialisme sebagai
19 Makna dan maksud istilah ini dijelaskan dalam bab “post-kolonialisme” di buku ini.
56 | Miftakhuddin
− kolonialisme itu berwatak expansive, yang selalu ingin
meluaskan kuasa politiknya dari yang kecil menjadi
lebih besar dan lebih besar lagi. Ini sejalan dengan
watak kapitalisme yang dibawanya, yaitu selalu ingin
mendapat keuntungan lebih besar dari orang lain
daripada apa yang dapat diberikannya pada orang lain.
− kolonialisme itu berwatak diskriminatif, anti-
demokrasi, dengan menciptakan iklim ketergantungan
abadi antara penjajah dan rakyat jajahan; sernua
ditentukan berdasarkan hierarki kekuasaan dari “atas”
dengan bantuan sistem feodalisme yang sudah ada
dalam masyarakat.
− kolonialisme itu berwatak menindas (oppressive)
dengan memaksakan semua kehendak penjajah kepada
rakyat jajahan. Ada banyak sistem yang dipaksakan
kepada rakyat jajahan, baik hukum, politik-ekonomi,
dan budaya;
− kolonialisme itu berwatak menguras (exploitative),
dengan memeras potensi SDM dan SDA secara
maksirnal untuk kepentingan penjajah, sedangkan
hasilnya diangkut ke negeri penjajah.
58 | Miftakhuddin
beradaptasi dengan perkembangan zaman sebagaimana terjadi pada
imperialisme. Sebagai contoh, Freeport, yang telah beroperasi menjadi
koloni Amerika selama bertahun-tahun di era modern, dan baru bisa
renegosiasi akhir-akhir ini. Ada garis besar yang patut disoroti, yaitu
pendapat Rohman (2009) yang berangkat dari argumen Ania Loomba,
bahwa;
Kolonialisme menggerakkan roda kapitalisme.
Kapitalisme berpuncak pada imperialisme, demikian
Lenin dan Kautsky memberikan makna baru pada
imperialisme, yang termaktub dalam Imperialism, the
highest stage of capitalism (1947). Kapitalisme inilah
yang kemudian membedakan antara kolonialisme dan
imperialisme.
D. Macam-Macam Kolonialisme
Perubahan formasi dan rupa kolonialisme yang amat penting
diketahui dan dipelajari, adalah perubahan kolonialisme zaman
penjelajahan menjadi neokolonialisme era damai di bawah pengawasan
PBB. Menurut kajian teori para tokoh post-kolonial, transformasi itu
memberikan efek tertentu pada perilaku suatu bangsa. Namun terlepas
dari berbagai perubahan itu, ada pula variasi kolonialisme yang perlu
dipahami bersama. Sebab, pengetahuan akan macam-macam
kolonialisme ini akan memetakan dan meranking kolonialisme seperti
apa yang telah terjadi pada bangsa atau ras tertentu.
1) Kolonialisme Eksploitasi
Kolonialisme eksploitasi adalah paham kolonisasi untuk
mengeksploitasi SDA dan SDM. Maksud dari eksploitasi SDM bukan
berarti pribumi yang diambil secara kuantitatif, melainkan pemerasan
tenaganya untuk bekerja. Contoh kolonisasi eksploitasi adalah Belanda
kepada Nusantara, Spanyol terhadap Filipina, dan praktik koloni
eksploitasi lainnya. Belanda mengeksploitasi Nusantara dengan
mendirikan VOC pada periode pertama, dan menggunakan hegemoni
pemerintahan Hindia Belanda pada periode kedua. Di dalam
kolonisasinya, Belanda mengincar SDA dengan melibatkan SMD
2) Kolonialisme Deportasi
Kolonialisme deportasi diartikan sebagai paham penguasaan
daerah untuk mendeportasi, yang mana umumnya deportasi dilakukan
terhadap narapidana atau pelanggar hukum. Setiap negara memiliki
alasan tertentu mengapa hal ini perlu dilakukan. Terdapat beberapa
alasan mengapa ini perlu, seperti; adanya ancaman bahaya bila ditahan
di dalam kerajaan, memberi efek jera yang tak berkesudahan, ataupun
sekadar menjaga nama baik kerajaan. Contoh koloni deportasi adalah
Australia sebagai koloni narapidana Inggris, dan Kepulauan Pasifik,
seperti; pulau Tahiti, Samoa, Society, Marquesas, dan pulau-pulau
Polinesia lainnya yang oleh Prancis didirikan penjara untuk
mendeportasi narapidananya.
60 | Miftakhuddin
Sebelum Australia dikoloni Inggris, benua ini ditemukan Pedro
Fernandez de Quiros, seorang Portugis dalam misi kedinasan Spanyol.
Rumornya, berdasar legenda Yunani, benua ini bernama Terra Australis,
namun Pedro mempersembahkannya untuk raja Philip III, Raja Spanyol
berdarah Austria, dan mengubah namanya menjadi Austrialia, yang
kemudian lebih dikenal Australia. Sayangnya, pada perkembangan
selanjutnya bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris dan Belanda bebas
keluar masuk Australia, seolah tidak ada satu kekuasaan pun sedang
berdaulat di sana. Maka ketika James Cook berhasil memetakan pantai-
pantai di New South Wales, ia menyatakannya sebagai milik Britania
pada 1770, dan menggunakannya sebagai koloni orang-orang terhukum
pada 1788, dengan 11 kapal bermuatan sekitar 1.500 orang (pria dan
wanita) melalui pelabuhan Sydney. Akan tetapi, jumlah pria lima kali
lipat jumlah wanita membuat kaum wanita hidup di bawah ancaman
eksploitasi seksual, walau napi yang kembali melanggar hukum
dicambuk dan kejahatan kecil bisa dihukum gantung.
Suku Aborigin (pribumi) malah lebih menderita lagi. Sebab
posisi mereka menjadi tergusur. Kehilangan tanah leluhur dan kematian
akibat penyakit yang dibawa narapidana mengganggu pranata sosial
dalam kehidupan tradisional mereka. Mandeknya aktivitas kultural
masyarakat Aborigin ini menjadi salah satu alasan kenapa saat ini
budaya Aborigin kurang dominan.
Begitu juga dengan pulau-pulau Polinesia abad 19. Setelah
ditemukan penjelajah Belanda pada abad ke 16, dan disusul James Cook
pada abad ke 18, Prancis di bawah Napoleon III kemudian
menguasainya satu per satu untuk mendeportasi tahanan nasional. Bagi
Kaledonia Baru saja, setelah Prancis mendirikan Port de France (kini
menjadi Noumea, ibukota Kaledonia), telah menjadi lokasi pembuangan
22.000 narapidana sejak 1864 hingga 1897. Jumlah itu baru menyusut
drastis setelah Gubernur Prancis, Paul Fillet, memberi amnesti dan
kesempatan kepada para napi untuk kembali ke kampung halamannya.
Prancis memang lebih tertarik pada penaklukan wilayah
ketimbang perdagangan seperti Belanda dan Portugis. Memang benar,
raja-raja dan aristokrat Prancis tidak pernah benar-benar tertarik dengan
pekerjaan dan wilayah yang letaknya jauh, namun sebenarnya hal itu
3) Kolonialisme Penduduk
Kolonialisme penduduk adalah kolonisasi yang mengakibatkan
terdesak dan tersingkirnya penduduk pribumi. Kolonial ini disebut juga
kolonial domisili, sebab terjadi perubahan domisili penduduk sipil dari
induk ke koloni. Menurut Rahayu (2007), kolonisasi penduduk
dilakukan dengan migrasi besar-besaran ke negeri asing dan
menjadikannya sebagai tanah air baru. Pribumi sebisa mungkin ditekan,
disingkirkan bahkan digenosida. Bila demikian, kolonisasi Inggris
mendeportasi napi dapat pula digolongkan dalam kolonisasi ini, karena
secara teknis, suku Aborigin tersingkirkan oleh kehadiran narapidana
Inggris, kendatipun tujuan kolonisasi semula tidak untuk menggeser
kaum pribumi. Hal yang sama dengan koloni Spanyol di Amerika, yang
membuat suku Indian terjajah. Kejadian migrasi Spanyol sebagai kaum
ras kulit putih, pada gilirannya menghasilkan keturunan kulit putih
Amerika Tengah, Amerika Selatan dan Kanada.
Bicara soal migrasi penduduk secara masif, tahun 1976 hingga
1996 di Pulau Galang (Indonesia) juga terjadi migrasi penduduk dari
Vietnam. Mereka bermigrasi sebagai pengungsi pasca perang melawan
Amerika. Mereka dirampok, diperkosa, dibunuh, tewas karena penyakit,
62 | Miftakhuddin
bahkan ada yang memilih bunuh diri. Meski peperangan dimenangkan
Vietnam, nyatanya pemerintah Indonesia bersama United Nations High
Commissioner for Refugees (UNHCR)-lah yang memberikan bantuan
kepada para pengungsi berupa pembangunan fasilitas untuk memenuhi
kebutuhan hidup sekitar 250.000 pengungsi. Atas beberapa perlakuan
diskriminatif yang terjadi atas mereka, hanya sedikit yang bertahan dan
berpindah ke Australia, Amerika dan Kanada untuk memulai kehidupan
baru.
Apa yang terjadi pada warga Vietnam di atas, memang sepintas
tampak seperti kolonisasi penduduk. Tapi bila dicermati, perpindahan ini
tak bisa dikatakan perwujudan kolonialisme Vietnam di Indonesia, sebab
tidak ada peraturan dari negara induk yang mengikat dan mengatur
koloni itu. Malahan, terjadi pembiaran oleh pemerintah induk, sama
seperti aktivitas etnis Rohingnya di Myanmar baru-baru ini yang juga
tak bisa dikatakan sebagai koloni. Sehingga koloni tersebut tidak
termasuk satupun dari lima jenis kolonialisme yang dibahas dalam sub
bab ini. Barangkali, suatu saat nanti akan ditemukan sebuah istilah yang
sesuai untuk menggambarkan kondisi tersebut di atas.
4) Kolonialisme Transmigrasi
Kolonialisme ini dilakukan dengan maksud menampung
kepadatan penduduk akibat ledakan demografi. Beberapa tulisan malah
menyebut praktik ini sebagai “kolonialisasi kelebihan penduduk” atau
koloni libensraum. Kolonisasi ini pernah dilakukan oleh Italia dan
Jepang. Italia melakukannya ke Somalia, Eritrea dan Libya pada abad
19. Hal itu disebabkan pasca tiga kali perang kemerdekaan Italia terjadi
kekosongan kekuasaan, karena Prancis mengabaikan garnisunnya di
Roma. Konstitusi Albertino (Statuo Albertino) kemudian meluas dan
menjadi dasar penyatuan Italia. Konstitusi itu menyediakan kebebasan
asasi bagi masyarakat kelas apapun, tetapi undang-undang eletoral
mengecualikan golongan miskin dan tak terdidik dari pemilihan umum,
yang kebetulan berada di Italia Selatan dan pedesaan Utara. Saat wilayah
Italia Utara terindustrialisasi dengan cepat, wilayah Italia Selatan dan
pedesaan Utara masih belum terbangun dan mengalami kelebihan
5) Kolonialisme Sekunder
Kolonisasi sekunder memandang suatu daerah yang tidak
mengutungkan negara induk, tapi perlu dipertahankan untuk
kepentingan strategis (Rahayu, 2007). Biasanya, koloni sekunder
bewujud pangkalan-pangkalan sementara, baik berupa pangkalan dagang
maupun pangkalan militer. Koloni dagang misalnya; VOC di Batavia,
kongsi dagang Portugis di India, koloni pedagang independen di
pelabuhan-pelabuhan italia, dan East India Company yang berdiri di
berbagai tempat di dunia. Koloni dagang semacam ini, kerap kali dalam
64 | Miftakhuddin
beberapa artikel disebut sebagai koloni penunjang atau tiang penunjang
koloni.
Adapun koloni sekunder untuk pangkalan militer (koloni defensi)
banyak terjadi semasa Perang Dunia II, dimana hampir seluruh dunia
saling rebut wilayah/pulau sebagai lokasi benteng pertahanan. Jauh
sebelum itu pun, ketika Spanyol menjajah Filipina, koloni defensi telah
berdiri di pulau Corregidor sebagai pertahanan Spanyol atas serangan
Amerika. Kekalahan Spanyol membuat pulau itu menjadi basis militer
koloni Amerika. Saat Perang Dunia II, setelah mendadak
menghancurkan Pearl Harbour tahun 1941, Jepang juga menyerbu pulau
ini, agar Amerika tak menghalangi penguasaan wilayah-wilayah di Asia
Pasifik. Karena tentara Filipina dan Amerika kalah jumlah dan kurang
pengalaman, maka pada 1942 Jepang sukses menguasai seluruh Filipina.
Baru pasca pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mengaku
kalah dan mengembalikan pulau Corregidor kepada Amerika. Sekitar
3.000 tentara Jepang di pulau itu kemudian memilih harakiri, yakni
bunuh diri untuk menjaga kehormatannya sebagai pejuang21.
21
ksatria Jepang, dalam kekalahannya di suatu duel atau perang, memilih bunuh diri ketimbang
menyerah dan menjadi tawanan musuh. Bagi mereka, lebih baik mati daripada hidup
menanggung malu.
66 | Miftakhuddin
untuk dilakukannya kolonisasi, seperti; alat transportasi darat dan air,
serta peralatan pertanian. 3) mulai terbentuknya sistem administrasi
pemerintahan yang baik.
Saat koloni pertanian Yunani hanya menghasilkan produk
pertanian, maka dilakukanlah perdagangan di Laut Tengah untuk
mendapat barang lain seperti kain, gerabah, dan lain-lain. Adanya
aktivitas perdagangan inilah yang menyebabkan berdirinya pelabuhan-
pelabuhan dagang (koloni perdagangan). Pembentukan koloni dagang di
pantai-pantai utara Yunani otomatis mengubah paradigma koloni dari
aktivitas mencari lahan pertanian subur menjadi aktivitas perniagaan.
Hal ini sekaligus membuktikan pendapat Harsono di atas, soal terjadinya
pergeseran paradigma akibat sistem yang dianut tidak lagi memuaskan,
adalah benar adanya.
Memasuki periode imperium Romawi, kolonial perdagangan
sempat mati suri. Hingga mendapat sokongan kuat dari Revolusi Industri
dan Revolusi Prancis yang mengubah pola tradisional ke pola modern.
Penemuan mesin pemintal benang untuk mengolah bulu domba menjadi
pakaian, dan penemuan teknologi pemanfaatan batu bara untuk
memurnikan besi, menjadikan peradaban Eropa maju drastis. Tetapi,
industrialisasi itu menyebabkan kelebihan produksi. Di saat yang
bersamaan rempah-rempah yang diperdagangkan pedagang muslim dan
India mengalami kelangkaan. Maka dilakukan penjelajahan untuk
memasarkan hasil produksi sekaligus mencari sumber rempah.
Penjelajahan akhirnya bermuara menjadi kolonisasi di wilayah-
wilayah penghasil rempah-rempah (Asia). Penaklukan demi penaklukan,
penjajahan demi penjajahan terus berganti. Tapi poin pentingnya adalah,
pada fase ini terjadi perubahan kolonialisme lagi, dari masyarakat
industri menjadi masyarakat penjajah. Artinya, tujuan masyarakat
memproduksi dan memperdagangkan telah berganti menjadi upaya
invasi dan eksploitasi sumber daya manusia pribumi. Secara teknis, juga
terjadi pergeseran dari bentuk koloni pertama, yang semula kolonis
turun tangan langsung melakukan aktivitas pertanian, kini dengan
pendelegasian. Masa ini adalah masa di mana pribumi berperan sebagai
penghimpun bahan baku sekaligus pasar atas produk-produk Eropa.
B. Faktor Pendukung
Pergeseran paradigma kolonialisme disebabkan kebutuhan
pengkoloni, maka dinamika paradigma pun terjadi akibat kebutuhan
pengkoloni yang selalu dinamis sesuai perkembangan teknologi,
ideologi dan lingkungan (alam maupun sosial). Begitu juga dengan
faktor-faktornya yang selalu dinamis sesuai kondisi kekinian pada
masanya. Faktor-faktor itu dapat diklasifikasikan menjadi faktor ideal
dan faktor material. Faktor ideal adalah faktor yang bersumber dari ide-
ide atau gagasan tentang pembaharuan, dan faktor material adalah faktor
berwujud kebendaan. Satu-satunya pemicu kedua faktor itu menjalankan
fungsinya adalah jatuhnya Konstatinopel. Keruntuhan Romawi Timur
mengakibatkan kedua faktor di atas berjalan simultan dan amat radikal,
68 | Miftakhuddin
sebab selain muslim melarang dan menutup perdagangan orang-orang
Eropa disana, terjadi pula renaissance.
Penutupan perdagangan mengakibatkan bangsa Eropa haus akan
barang-barang yang selama ini diperdagangkan. Sedang hadirnya
renasissance sebagai runtuhnya otokrasi gereja dan titik balik
kebangkitan ilmu pengetahuan (reformasi kerangka berpikir),
berdampak pada penemuan-penemuan di berbagai bidang. Penemuan di
bidang maritim seperti kompas dan kartografi, ditambah lagi skeptisme
manusia akan teori-teori geografi yang menyatakan bumi itu bulat,
memicu adanya penjelajahan dan pembuktian-pembuktian ilmiah
tentang bumi.
Sementara itu, para pengungsi Perang Salib -yang terdiri atas
pedagang- mengungsi ke Portugis dan Spanyol, mereka memberitahukan
lokasi-lokasi perdagangan dan wilayah potensial di Asia-Afrika. Berita
ini, bagi Eropa yang kehilangan akses perdagangan, seakan menjadi oase
di tengah panasnya gurun. Akhirnya, dengan disepakatinya perjanjian
Tordesillas, dilakukanlah penjelajahan samudra yang dipelopori oleh
Spanyol dan Portugis.
Menguasai sumber rempah memang telah banyak disepakati
sebagai alasan dilakukannya penjelajahan. Padahal lebih dari itu, aji
mumpung Spanyol dan Portugis akan melakukan perjalanan panjang,
paus menitipkan misi suci untuk membalaskan kekalahan nasrani dalam
Perang Salib dan mengkristenkan orang-orang di luar kerajaan agar
menjadi manusia yang taat dan beradab. Oleh sebab itu penjelajahan
Portugis dan Spanyol memuat misi penyebaran agama (Gospel).
Tujuannya jelas, dengan dilakukannya penyebaran Nasrani, maka di
samping mendapatkan sumber rempah, wilayah kekuasaan Spanyol dan
Portugal sebagai negara nasrani meluas. Praktis, imperialisme adalah
juga merupakan misi atas penjelajahan samudra (Glory), demi
meningkatkan citra sang raja. Sebab, ada kepercayaan kuat kewibawaan
seorang raja atau ratu tercermin dari seberapa luas wilayah
kekuasaannya.
70 | Miftakhuddin
aristokrat sebagai pegawai negeri, diberi gaji dan dipilih. Padahal
menurut adat, kedudukan raja hanya bisa diperoleh dari keturunan, dan
digaji oleh rakyatnya melalui pembayaran upeti.
Legalitas yang didapat raja dan bupati sekaligus menandai kalau
di tingkat pusat, disusun sistem pemerintahan berdasar pembagian
kekuasaan trias politica milik Montesquieu (eksekutif, legislatif dan
yudikatif). Sehingga raja dan bupati berperan sebagai lembaga eksekutif,
termasuk menghimpun pendapatan warga untuk diserahkan kepada
gubernur. Penggubahan prosedur elit politik dan bangsawan ini otomatis
merontokkan kewibawaan tradisional kaum penguasa pribumi, karena
amat terbatasnya wewenang dalam politik kerajaan. Di dalam kondisi
ini, ada beberapa penguasa tradisional justru mengalihkan perhatinanya
kepada bidang sastra. Misalnya, Mangkunegara IV menyusun kitab
Wedatama, Paku Buwono V memerintahkan penulisan serat Centhini,
dan lain sebagainya.
Demikianlah pemerintah kolonial mengintervensi persoalan
kerajaan supaya pribumi tetap tunduk. Masyarakat Nusantara yang
semula giat bertransaksi antar kerajaan, menjadi terisolasi di pulaunya
masing-masing. Secara perlahan kolonialisme mengekang mobilitas
pribumi agar tetap beraktivitas di tanah pertaniannya. Pergerakan tak
lagi dilakukan keluar, melainkan ke dalam, sehingga menyuburkan
feodalisme. Terlebih, adanya monopoli membuat perdagangan menjadi
hak prerogatif pengkoloni, sedangkan hak pribumi sebatas tanam-
menanam dan panen-memanen di pedalaman. Peran Belanda adalah
eksportir, dengan perantara Cina, sedang pribumi sebagai pengecer
(itupun jika sempat).
Pembagian tugas menurut komposisi masyarakat otomatis
menciptakan gap yang cukup besar dan mereformasi stratifikasi sosial
sebelumnya. Pribumi menduduki kelas sosial paling rendah, di mana
kelas tertinggi adalah orang Eropa dan kedua adalah Indo dan orang
Timur asing. Maksud golongan Indo adalah peranakan Eropa dengan
bangsa pribumi, sedangkan timur asing adalah orang-orang Asia yang
berdagang di Nusantatra, seperti Cina dan Arab. Adapun pribumi
melingkupi tukang kayu, tani dan pekerja rendahan lainnya. Hal inilah
72 | Miftakhuddin
yang disebutkan di atas mengandung substansi positif, lantas apa alasan
yang tepat untuk menjawab pertanyaan “mengapa sistem itu masih
dipertahankan?”.
Oleh sebab itulah kolonialisme tidak selamanya harus dilihat
sebagai pemerasan, perusakan dan penurunan derajat kemanusiaan
warga pribumi, melainkan dapat kiranya dipandang dari sisi lain sebagai
proses pembangunan masyarakat dan pemerintahan sipil. Segala
kerugian karena Belanda menjadikan kita sebagai objek jajahan, adalah
realitas historis yang tak boleh dilupakan. Tapi peninggalan materi dan
non materi kolonial yang masih kita pakai juga bukan merupakan opini
yang patut disanksikan.
Lagi pula, tidak semua manusia Belanda maupun dari kelas
sosial Eropa setuju dengan praktik penjajahan, baik semasa VOC
maupun pemerintah Hindia Belanda. Douwer Dekker misalnya, ia salah
satu cendikiawan golongan Eropa yang tak ada sangkut pautnya dengan
penjajahan. Meski pernah menjadi pegawai pemerintahan, justru
kesewenang-wenangan yang dilihat dari pengalamannya memberi
inspirasi untuk memihak golongan Indo dan pribumi. Melalui bukunya,
Max Havelaar, ia mengkritik habis-habisan ketidakadilan yang menimpa
pribumi. Sayangnya, ia sempat ditahan pemerintah dengan tuduhan
pengkhianat, padahal telah menggunakan nama samaran “Mulatuli”.
Perkembangan berikutnya, ia malah tergabung dalam tiga
serangkai dengan Ki Hadjar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo,
meletakkan dasar-dasar nasionalisme Indonesia. Eduard Douwes Dekker
adalah satu dari sekian bukti yang menunjukkan bahwa seyogyanya
kolonialisme tidak dipahami secara parsial, melainkan harus dimengerti
secara komprehensif. Bila akan diapresiasi, suatu peristiwa semacam
kolonialisme hendaknya dipandang dari arah yang berbeda-beda dan
dikaji sesuai dengan konteks dan porsinya masing-masing. Sebagaimana
diulas dalam bab kedua buku ini, imperialisme dan kolonialisme
sebenarnya bersifat ambivalen. Amerika, Australia dan Singapura adalah
contoh lain betapa hebatnya kolonialisme dalam membangun
masyarakat. Setidaknya begitulah ungkapan kaum pro-kolonialisme.
Barangkali bangsa tertentu, penjajahan adalah harga yang harus dibayar
74 | Miftakhuddin
A. Amerika
Rumornya, nenek moyang Amerika berasal dari Asia. Mereka
datang dengan menyeberangi Selat Bering saat masih dapat dilewati
dengan berjalan kaki di zaman es. Saat ini, “jembatan darat” itu telah
tertutup air sejak akhir zaman es. Sebagai masyarakat nomaden, mereka
bermigrasi mengikuti hewan buruan hingga sampai di daratan besar
yang kini disebut benua Amerika. Mereka kemudian menjadi Indian
(masyarakat pra Columbus).
Kendati sejak abad ke-11 bangsa Viking telah mendirikan koloni
di Greenland dan sekitarnya, tapi pendaratan Columbus di Kepulauan
Karibia menjadi pintu masuk kolonial Spanyol ke Amerika. Sebab,
kepulangannya membawa berita tentang daratan yang luas dan jalur baru
menuju dunia Timur. Seiring runtuhnya koloni Viking, koloni Spanyol
mulai berdiri sejak akhir abad ke-15 dan 16, dengan pendirian benteng
di Saint Augustine, Florida.
Sementara di daerah yang kini dikenal sebagai Meksiko, koloni
didirikan dengan menaklukkan dan menjajah Indian Aztek, lalu
menamainya Neuva Espana (Spanyol Baru). Segala perlawanan yang
selalu ditumpas, dan migrasi demi migrasi pada gilirannya menekan dan
mereduksi populasi Indian lain, seperti; Inca, Maya, dll. Selama kurang
lebih tiga abad setelah penemuannya, koloni Spanyol meluas ke
Amerika Tengah, sebagian besar Amerika Selatan, Meksiko, bahkan
sampai ke Amerika Utara hingga Alaska. Utamanya, penjajahan ini
didasarkan beberapa tujuan, yakni; eksploitasi kekayaan alam,
memperkuat relasi perdagangan, dan memperoleh tenaga kerja dengan
harga murah. Inilah penyebab kepunahan Indian dan akulturasi
kebudayaan.
22Pelabuhan di Brazil dan India nantinya diserahkan kepada Spanyol berdasarkan Perjanjian
Zaragoza.
76 | Miftakhuddin
selatan, dan anak sungainya hingga Kanada. Secara resmi, kali pertama
kedatangan Prancis diawali Giovanni Verrazarro pada 1524 untuk
menyelidiki alur menuju Hindia. Namun penyelidikan itu malah
membuka jalan migrasi Prancis menuju tanah harapan baru (Kanada).
Adapun secara nonformal, koloni Prancis juga berdiri karena deportasi
atau pelarian atas penindasan pemerintah Prancis terhadap kaum
Protestan.
Pemerintah mengakui sekte Katholik dan menekan sekte
Protestan hingga meletus Perang Hogenut. Protestan sebagai pihak yang
kalah, akhirnya melarikan diri ke Amerika Utara, agar memperoleh
kebebasan moral dalam beragama, tanpa tekanan pemerintah (Katholik).
Koloni mereka maju dengan mengekspor ikan, gula dan bulu domba
untuk pembuatan wool.
Beberapa saat setelahnya, Lord Baltimore, seorang bangsawan
Prancis, mendirikan koloni di sebelah utara Virginia pada 1632.
Koloninya dinamai Maryland (sekarang Washington D.C), yang diambil
dari nama Ratu Prancis, Henrietta Maria. Hampir semua artikel (daring)
tentang koloni ini menyebutkan bahwa sejak awal berdirinya, koloni
Maryland berkembang pesat. Keluarga Baltimore kemudian menjadi
aristokrat, karena koloni ini dikelola perusahaan keluarga. Namun pada
1715, Maryland diambil alih pemerintah Inggris, dengan tetap memberi
hak istimewa kepada keluarga Baltimore.
Hebatnya, walau Inggris adalah bangsa Eropa yang datang
belakangan, yakni tahun 1585 di Pulau Roanoke yang tak berlangsung
lama karena perebutan, namun perkembangannya cukup pesat begitu
satu koloni mampu bertahan di tahun 1607, yaitu koloni di Jamestown,
Virginia. Koloni ini pun sebetulnya hampir gagal bertahan, akibat
serangan wabah penyakit dan kelaparan.
Namun saat Sir Walter Raleigh mencari emas untuk
mempertahankan koloni itu, ia menemukan pada orang Indian,
tumbuhan aneh yang dapat dinikmati asapnya (tembakau). Dicontohkan
oleh Indian, setelah tumbuhan itu kering, kemudian digulung, dibakar,
dan dimasukkan ke dalam mulut untuk dihisap asapnya sehingga
menimbulkan kecanduan (merokok). Ia sendiri termasuk penggemar
tumbuhan tersebut. Maka muncullah kebiasaan/kebutuhan akan rokok di
78 | Miftakhuddin
Disamping diskriminasi di wilayah kerajaannya, pemerintah
Inggris juga menindas bangsa Ir (Eire) penganut Katholik di wilayah
Irlandia (termasuk vassal Inggris). Tekanan politik Inggris makin keruh
ketika pemilik tanah di Irlandia (bangsawan Inggris) menaikkan sewa
tanah. Ketidakmampuan menyewa tanah tentu saja berakibat pada
masalah-masalah sosial, ditambah lagi ketiadaan wakil bangsa Ir di
parlemen Inggris, membuat hak-hak bangsa Ir tidak ada yang membela.
Maka mereka melakukan migrasi mengikuti jejak Puritan dengan
maksud yang sama. Tapi Puritan telah mencapai taraf perkembangan
yang mengesankan. Politik di koloni Plymouth cenderung stabil, sebab
prioritas mereka adalah pembangunan masyarakat ketimbang sekadar
menemukan emas. Lebih-lebih perjanjian damai sesama kolonis maupun
dengan Indian telah disepakati.
Sebagai kaum pelarian kristen, mereka hidup dengan prinsip
etika kristen. Sehingga aspek pendidikan cukup diutamakan. Sejak 1636
mereka telah berpikir tentang sekolah untuk anak-anak mereka. Setiap
50 keluarga mendirikan sekolah untuk membaca, menulis dan
aritmatika. Adapun setiap 100 keluarga, dibangun Grammar School,
sebagai persiapan pendirian College (sekolah menengah). Di sinilah
lahirnya Harward College (sekarang Harward International
College/HIC). Di perguruan inilah banyak anak petani diajari ilmu
hukum. Pesatnya kemajuan yang sampai mengalahkan kemajuan di New
England (Inggris), pada gilirannya membuat parlemen Inggris
memberikan wewenang kepada kongsi dagang Inggris, Massachusets
Bay Company, dan mengubah namanya menjadi New England, sebagai
penghormatan kepada dewan New England di Inggris yang telah
memberi izin menanamkan usaha di Amerika Utara. Tampaknya,
prestasi Inggris di Amerika memang cukup membanggakan dibidang
ekonomi dan daerah administratif, karena mampu menyaingi koloni
Spanyol. Lebih-lebih saat Roger Williams diusir dari Massachusetts dan
mendirikan koloni di Rhode Island, teritorial atas nama kerajaan Inggris
makin meluas.
Berdasarkan uraian di atas, ada tiga tujuan pokok pengembangan
koloni Inggris di Amerika. Pertama, alasan ekonomi dan industri berupa
ditemukannya tembakau dan emas. Ini tidak terlepas dengan fakta
23 Aruba, awalnya dijajah Spanyol selama satu abad, namun karena beriklim panas dengan
landscape tumbuhan kaktus, maka Spanyol kurang memperhatikan Aruba. Sebab tak cocok
untuk perkebunan maupun perdagangan budak Belanda kemudian mengakuisisi pada 1636
(id.wikipedia.org).
80 | Miftakhuddin
New England, walau punya peternakan-peternakan kecil, tapi
lebih bertumpu pada perikanan, perkapalan, dan industri. Koloni Selatan
memiliki perkebunan tembakau dan kapas. Perkebunan semula digarap
pekerja sewaan, tapi kemudian dikerjakan para budak yang didatangkan
dari Afrika dan Hindia Barat. Adapun koloni Tengah hanya memiliki
peternakan kecil. Guna mempertahankan masyarakatnya, ketiga belas
koloni itu mengikat diri pada perekonomian Atlantik antara Amerika,
Hindia Barat, Eropa, dan Afrika, untuk melakukan perdagangan budak,
hasil ternak, dan produk industri seperti rum dan gula.
Saat Inggris memenangkan perang atas Prancis dalam Perang
Tujuh Tahun, sebagai pihak kalah Prancis dipaksa menyerahkan
koloninya di Kanada kepada Inggris, dan menyerahkan Louisiana ke
Spanyol, (Spanyol menyerahkan Florida ke Inggris). Inggris kemudian
mengeluarkan Proklamasi 1763, yang menyatakan orang dari tiga belas
koloni tidak boleh menetap di sebelah barat Pegunungan Appalachia,
atau dikenakan pajak.
Bagi para kolonis, pemberlakuan pajak amat tidak adil. Terlebih
kebijakan itu dinilai inkontitusional, sebab kolonis tak punya hak suara
di parlemen Britania. Mereka menyatakan, “tiada pajak tanpa
perwakilan”. Pajak-pajak yang dipersoalkan ialah Sugar Act (1764),
Stamp Act (1765), Townsend Duties (1767), dan Tea Act (1773). Selain
mengupayakan partisipasi kolonis di parlemen mereka menunjukkan
protesnya melalui Boston Tea Party, yakni aksi membuang ratusan
kotak berisi teh dari kapal di Pelabuhan Boston, sebagai respons atas
Tea Act. Aksi itu kemudian diikuti oleh beberapa perang kemerdekaan di
Lexington dan Boston.
Agar perang mereda, tentara Britania lalu mengambil alih kota
Boston dan mendirikan Kongres Kontinental, yang terdiri atas orang-
orang yang dianggap mewakili tiga belas koloni. Mereka adalah
Benjamin Franklin, John Adams, Thomas Jefferson, John Hancock,
Roger Sherman, dan John Jay. Seorang aktivis dan politikus radikal
Britania, Thomas Paine, kemudian menulis dan menyebar pamflet
bertajuk Common Sense pada 1776, yang menyatakan koloni-koloni
harus merdeka dari Britania. Alhasil, tahun itu juga (4 Juli 1776), terjadi
Revolusi Amerika. Ketiga belas koloni sepakat pada Deklarasi
82 | Miftakhuddin
Berakhirnya era kolonial rupanya justru menjadi babak baru
perbudakan di negara-negara bagian Selatan. Sebab di Selatan,
masyarakat bertumpu pada sektor agraris, sehingga amat memerlukan
budak. Maka perbudakan adalah sesuatu yang legal. Berbeda dengan
Utara yang bertumpu pada sektor industri, di sana tidak diperlukan
budak. Sehingga negara-negara bagian Utara menginginkan
dihapuskannya perbudakan. Semasa Abraham Lincoln terpilih menjadi
presiden, peta geopolitik Amerika tak lantas berubah dari kondisi
demikian. Malahan, banyak negara budak melepaskan diri membentuk
negara baru, yakni negara konfederasi Amerika, yang beribukota di
Richmond, Virginia.
Praktis Amerika terbelah menjadi dua; Konfederasi (pro-selatan)
dan Union atau Pemerintah (pro-utara). Terbelahnya Amerika berlanjut
dengan perang saudara bertahun-tahun. Sekalipun Abraham Lincoln
mendeklarasikan Proklamasi Emansipasi tahun 1863 pada salah satu
kemenangan Utara, nyatanya deklarasi itu tak cukup mampu
menuntaskan perang dan perbudakan. Justru pasca tewasnya Lincoln
atas suatu penembakan, budak-budak dibebaskan dan menjadi warga
biasa yang mempunyai hak suara, berdasarkan amandemen konstitusi
Amerika.
Komposisi Amerika tersusun atas bangsa Inggris, Belanda,
Jerman, Prancis, bahkan China dan Israel (Yahudi). Di antara golongan-
golongan itu, etnis Jerman sangat berpengaruh dalam revolusi
kemerdekaan. Mereka prajurit dengan tradisi militer tangguh (khas suku
bangsa Arya). Sementara Yahudi datang pada masa kolonial karena
pemerintah Inggris memang memberi kebebasan. Mereka golongan
Yahudi Sephradik (Sefardi), yang telah berabad-abad meninggalkan
tanah leluhurnya dan menyebar ke Eropa sebagai minoritas dengan
perlakuan kurang baik, namun semerdekanya Amerika, populasi mereka
meningkat. Adapun etnis China datang sebagai buruh kontrak, yang
boleh dikatakan lebih sukses ketimbang di negerinya sendiri. Sampai-
sampai orang kulit putih -sesama pekerja- merasa iri. Sebab meski
bergaji kecil, mereka terkenal sebagai petani ulet, tekun dan rapi.
Hubungan Amerika-China baru mulai efektif setelah adanya ketertarikan
akan sutera China yang dibawa pedagang Yankee. Selain China, buruh
B. Australia
Proses penemuan Australia bukanlah fokus sub bab ini, sebab di
samping polemis, konsentrasi pembahasan adalah gambaran deskriptif-
kronologis kolonialisme Inggris di benua ini. Pembicaraan soal
penemuan hanya sebatas pengantar yang mengacu pada sumber-sumber
umum, seperti anggapan bahwa suku Aborigin datang ke Australia
dengan perahu di akhir zaman es, dan tidak adanya teks yang
menerangkan dari mana asalnya.
Sebatas perkiraan, Elkin (dalam Darmawan, 2010), menyatakan
mereka masuk dari utara melalui garis pantai mulai semenanjung York
sampai pantai daerah Kimberley. Menurut Shaw (dalam Darmawan
2010), kemungkinan mereka datang karena terdesak bangsa lain. Dari
India melalui semenanjung Malaysia mereka ke selatan dan melalui
Indonesia (Laut Timor, Laut Arafuru, dan Selat Tores). Jika benar
demikian, bisa jadi suku Aborigin termasuk ras Dravida yang terdesak
atas kedatangan ras Arya. Namun demikian, penegasannya adalah jauh
sebelum Eropa, Aborigin telah menghuni Australia. Bangsa Eropa
mencari Australia pada Era of Great Voyage abad 16 hanya ingin
membuktikan mitologi Yunani kalau di bumi bagian selatan ada benua
84 | Miftakhuddin
besar yang berfungsi menyeimbangkan benua di utara, yakni Terra
Australis.
Ada sumber yang menyatakan pelaut Portugis dalam tugas
kedinasan Spanyol (Pedro Fernandez de Quiros) menemukannya pada
1606. Sang wakil kapten, Luis de Torres, yang memimpin
pemberontakan dalam perjalanan malah sampai di laut selatan Irian
(Papua Nugini). Meski demikian, namanya diabadikan untuk nama selat
antara Australia dengan Irian. Ada pula yang menyebut Australia
ditemukan James Cook dan menyatakannya sebagai milik Britania.
Bahkan ada yang menyatakan kalau orang Belanda (Willem Jansz) juga
menemukan dan menamainya New Holland pada abad ke 17 sebelum
kedatangan James Cook. Hanya saja, hasil ekspedisi Belanda di
Australia tak dilanjutkan sebab dinilai kurang menguntungkan karena
tampak gersang, makanya Belanda lebih memprioritaskan pada
Nusantara (Scott, 1943).
Tetapi, bertentangan dengan historiografi Anglo-Saxon yang
disebarluaskan para pengajar sejarah Australia, G. Arnold Wood dan Sir
Ernest Scott, yang menyiratkan Australia dilihat pertama kalinya pada
1606 oleh seorang Belanda bernama Jansz, peta Prancis-Portugis yang
dibuat di Dieppe antara 1536 dan 1566 berdasarkan catatan asli yang
diam-diam disimpan di Casa da India di Lisabon sampai kehancurannya
akibat gempa bumi 1755, membuktikan Australia ditemukan orang-
orang Portugis sekitar seratus tahun sebelumnya (Dorléans, 2016)24.
Sebagaimana Van (2003), bahwa jalur pelayaran Portugis ini membuka
jalan menuju penemuan benua Australia oleh bangsa Eropa dari arah
Barat25.
Terlepas dari siapa dan kapan penemuannya, masa awal
kolonisasi Inggris dapat ditinjau berdasarkan laporan Joseph Bank,
seorang botani Inggris yang tergabung dalam tim ekspedisi James Cook
ke dunia timur pada 1766 hingga 1775, di mana ia menyebut ada
wilayah di pantai timur Australia yang punya karakteristik geografis
24 Dorléans, Bernard. 2016. Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI Sampai dengan
Abad XX. Terjemahan Parakitri T. Simbolon. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
25 Van, Samuel. 2003. Negara dan Bangsa Jilid IV. Asia dan Australia. Jakarta: Grolier
26 Setiawan, Bagus. 2016. Sejarah Australia & Oceania. Garis Besar Kolonisasi Inggris di
Australia. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
27 ibid
28 Saat penjara darat penuh, pemerintah Inggris menggunakan kapal tidak layak/tidak dapat
86 | Miftakhuddin
Koloni deportasi Inggris sejak 1607 di Amerika, namun karena
koloni di sana mengalami ledakan demografi sekaligus perang
kemerdekaan, maka deportasi ke Amerika tidak bisa dilanjutkan
(George, 1989). Untungnya, pada pertengahan abad 18 James Cook
menemukan Australia (New South Wales), yang mana dinilai cocok
untuk diisi narapidana Inggris, sebab punya kemiripan geografis, sangat
berbeda dengan yang dilihat Belanda (VOC) di sisi lainnya.
Siboro (1989) menegaskan, Arthur Philip tiba di Botany Bay29
dengan armada 11 kapal pada 18 Januari 1788. Namun tempat ini
dianggap tidak layak huni karena gersang dan sedikit air bersih, maka
dicari pelabuhan lain dan menemukan suku Aborigin, yang terdiri atas
banyak klan di pelabuhan Jackson (sekarang Sydney) pada 26 Januari30
1788. Pendatang Britania menyebut mereka eora, karena saat ditanya
dari mana asalnya, mereka menjawab “eora”, yang artinya “dari sini”
atau “dari tempat ini” (Miftahul, 2011). Di pelabuhan inilah Philip
menurunkan orang-orangnya.
Sebagaimana Kitley (1989), Inggris mendirikan koloni di New
South Wales (NSW) dengan jumlah ±1500 orang, termasuk 750 di
antaranya narapidana. Koloni Inggris didirikan sejak 7 Februari 1788,
walau sebenarnya kepemilikan resmi baru dinyatakan pada 26 Januari
1792 (Holder, 1985). Pendirian koloni di NSW juga bermaksud
mengefisienkan pelayaran/perdagangan dengan Cina. Karena dengan
begini, Inggris mempunyai basis dagang di pelabuhan Sydney, yang
berfungsi sebagai supply base kapal-kapal Inggris yang akan melintasi
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik untuk perdagangan (Miftahul,
2011). Beberapa tahun setelahnya, tahun 1798, Matthew Flinders dan
George Bass untuk pertama kalinya berhasil mengitari Australia dan
membuat peta pertama benua Australia. Menurut Hudaidah (2004),
Flinders adalah orang pertama yang memakai nama “Australia” untuk
benua ini, dari sebelumnya “Austrialia”. Ketika ia menyiapkan
manuskrip tahun 1814 berisi laporan perjalanan berjudul A Voyage to
Terra Australis, Joseph Bank menyarankan untuk menggunakan nama
29 Sebelumnya bernama Stingray Harbour. Diubah menjadi Botany Bay karena Joseph Bank
mengumpulkan cukup tumbuhan dari sana.
30 Tanggal ini kemudian menjadi hari nasional Australia
88 | Miftakhuddin
No. Gubernur Jenderal Peran dan Kebijakan
1. Arthur Philip • Memberdayakan narapidana sebagai
tenaga kerja dalam pembangunan di
NSW
• Gaji narapidana berupa sebidang tanah
untuk diusahakan atau dimanfaatkan
sendiri
2. New South Wales • Monopoli perdagangan berazaskan
Corporation31 feodalisme; pemberian hadiah tanah
(NSWC) kepada para perwira yang kemudian
diusahakan dengan melibatkan
narapidana, sedangkan hasil buminya
dijual kembali kepada pemerintah
Inggris
• Narapidana dibayar dengan rum, bukan
lagi dengan sebidang tanah
3. Hunter • Menentang hegemoni NSWC
• Penertiban rum di kalangan narapidana
4. Philip Gidley King • Larangan impor rum, karena akan
dibuka pabrik rum dan pembukaan
pemukiman baru di beberapa wilayah
5. William Bligh • Pemberhentian operasi pabrik rum,
karena dianggap merusak moral para
narapidana
6. Lachlan Macquarie • Melumpuhkan hegemoni NSWC
• Eksplorasi besar-besaran garis pantai
hingga pedalaman Australia.
• Mengedukasi suku Aborigin
31Korporasi NSWC dipimpin seorang perwira, yang bukan merupakan gubernur, tetapi bisa
berkuasa di atas gubernur berkat monopoli perdagangan rum. Siapapun mengganggu
kepentingannya, pasti ditentang, termasuk keputusan gubernur. Sampai-sampai berselisih
dengan tiga gubernur setelah Philip. Hunter dituduh tidak layak, King dihina, dan berpuncak
pada penjeblosan gubernur William Bligh ke penjara. Peristiwa itu terkenal sebagai Rum
Rebellion (Hudaidah, 2004).
90 | Miftakhuddin
pemukiman Tasmania; Hobart dan Lounceston, awalnya masing-masing
dipimpin letnan gubernur dari NSW pada 1803. Namun di tahun 1810,
David Collins selaku pendiri dan gubernur Hobart meninggal, dan
Paterson selaku gubernur Lounceston kembali ke Inggris. Maka
Macquarie menyatukan keduanya di bawah pimpinan Kolonel Davey
pada 1813.
Davey adalah perwira angkatan laut yang mengupayakan
wilayah tersebut menjadi koloni swasembada dengan memprioritaskan
pembangunan di sektor pertanian untuk mencegah kelaparan, dan
menjadikan Hobart sebagai pelabuhan bebas. Kendati demikian, Davey
kurang disenangi gubernur NSW karena kurang disiplin dan suka mabuk
(Hudaidah, 2004). Sifatnya yang kasar dan merosotnya wibawa
pemerintahannya berdampak pula pada lemahnya pengawasan, sehingga
banyak tahanan yang kabur. Atas rendahnya kredibilitas Davey, maka ia
diganti kolonel William Sorell.
Sejak pemerintahannya tahun 1817 hingga 1824, Sorell berusaha
memajukan Tasmania dengan membangun jalan yang menghubungkan
Hobart dengan Launceston, memajukan peternakan domba merino yang
telah ada sejak zaman kejayaan New South Wales Corporation, dan
melakukan ekspor gandum. Ia juga membangun penjara khusus
Macquarie Harbour untuk menahan napi dengan kejahatan paling buruk
(Siboro, 1989). Namun hadirnya penjara khusus untuk kriminal berat,
justru membuat masyarakat merasa khawatir. Sebab mereka
dipekerjakan kepada masyarakat.
Guna meredakan kekhawatirannya, masyarakat memperlakukan
napi dengan kejam. Sekali hakim menerima keluhan penduduk atas
narapidana, maka narapidana itu diseret ke penjara dan dicambuk.
Akibatnya, banyak narapidana yang melarikan diri dan hidup sebagai
bushrangers (perampok kasar dan ganas). Ini adalah risiko hidup di
Tasmania kala itu. Membayangkan ini, tampaknya koloni yang telah
mapan semestinya tidak lagi menerima masuknya narapidana.
Ketika Sorell diganti Kolonel George Arthur pada 1824, setahun
kemudian (1825) pemerintah Inggris memisahkan Tasmania dengan
NSW. Demikianlah Arthur menjadi gubernur jenderal pertama di
Tasmania dan terwujudlah usaha Davey yang tidak terwujud pada masa
32Van Diemen adalah Gubernur Jenderal VOC yang menugaskan Abel Janszoon Tasman
melakukan ekspedisi, hingga akhirnya menemukan Tasmania.
92 | Miftakhuddin
putih Inggris juga melakukan genosida pada homo tasmanianus (pribumi
Tasmania), setelah gagal menangkapnya hidup-hidup.
Selama ±13 tahun pemerintahannya, koloni Tasmania sudah
maju karena pertanian dan peternakan biri-biri. Akan tetapi
penggantinya, Sir Jhon Franklin, tak mampu mengembangkan lebih dari
itu. Dia merupakan sarjana pecinta buku, yang berencana menyediakan
pendeta untuk guru sekolah, tapi tak terlaksana hanya karena jabatannya
yang tak lebih dari “kepala suatu penjara”.
Melewati tahun 1840, masyarakat sipil mulai sadar bahwa
narapidana-lah yang memperburuk Tasmania. Sebagai koloni yang
berhak mengatur pemerintahannya sendiri, mereka mengusulkan
penghapusan sistem narapidana di Tasmania, yang baru disetujui tahun
1852. Perkembangan berikutnya, setelah disahkannya Australian
Colonnies Government Act tahun 1855, Tasmania mengalami
kemunduran ekonomi sekitar 1860-an, namun tertolong berkat
penambangan tembaga, perak, dan mineral lainnya serta kemajuan
sektor agraris dengan komoditi utama apel (Setiawan, 2016), dan hasil
sektor peternakan yang dapat diekspor, seperti; daging, susu dan keju
(Scott, 1943).
Sementara itu, pantai barat Australia yang belum pernah
terjamah mulai diselidiki Prancis pada abad 19. Sebab, Belanda meski
melihat dan sempat menamainya “New Holland” pada 1606, tidak
mengklaim sebagai milik Belanda seperti yang dilakukan James Cook
terhadap NSW. Belanda menilai daratan itu kurang potensial, maka
Belanda lebih fokus pada Nusantara yang saat itu dijajahnya. Adanya
rumor kalau Prancis akan menduduki wilayah itu membuat gubernur
NSW, Darling, “kebakaran jenggot”. Sebab, terlalu jauh bila harus
mengawasinya dari Sydney. Ia pun mengutus Mayor Lockyer
mendirikan pos di King George Sound atau Albany sejak 1827
(Hudaidah 2004).
Di tahun yang sama, James Stirling menyelidiki daerah Swan
River, dan sangat ingin mendudukinya karena dinilai amat potensial.
Gubernur Darling lalu merekomendasikannya untuk langsung ke Inggris
meminta pemerintah membuka koloni di sana. Karena permohonannya
ditolak dengan alasan biaya, Stirling lalu mendekati para pemilik modal
94 | Miftakhuddin
Kabar baiknya, walau pemerintah Inggris mengucurkan banyak
dana untuk pengiriman sekitar 600 orang narapidana dan 300 orang
penduduk bebas tiap tahun, telah terjadi perubahan yang
menggembirakan. Jumlah penduduk dan biri-biri naik lima kali lipat,
luas tanah pertanian bertambah sepuluh kali. Otomatis nilai ekspor pun
meningkat tajam. Bangunan-bangunan (fasilitas publik) dan infrastruktur
pun juga terbangun karena pekerjaan para narapidana.
Gambar: peta koloni Western Australia
96 | Miftakhuddin
Demikian pula Australia bagian selatan. Karya Wakefield, A
Letter from Sydney tahun 1829 (dalam Setiawan 2016), menegaskan
wilayah Australia Selatan memotong areal seluas 300.000 mil2 wilayah
NSW sebelah selatan. Tahun 1830, rombongan perusahaan swasta tiba
di Pulau Kangaroo. Tapi karena tidak layak huni, mereka bermukim di
daerah yang sekarang Adelaide. Memasuki 1840, koloni tersebut hampir
bangkrut karena kondisi politik dan ekonomi terpuruk dan tidak stabil.
Setelah kehadiran George Grey sebagai pemimpin koloni itu, barulah
koloni mulai merangkak naik. Sebab pada masanya, ditemukan tambang
tembaga di Kapundan, pembangunan sektor pertanian dan peternakan di
Adelaide, dan berupaya men-swasembada-kan wilayah koloni tersebut.
Atas pencapaian dan berdasarkan Australian Colonnies Government Act,
koloni Australia Selatan lantas mengajukan permohonan pemisahan diri
kepada pemerintah Inggris. Sedangkan Australia bagian utara hanya
menjadi wilayah teritorial.
Gambar: peta wilayan koloni Australia Selatan
98 | Miftakhuddin
Australia pun menjadi wilayah kosmopolitan (surat kabar Kompas tahun
2009, dalam Darmawan: 2010).
C. New Zealand
Abel Tasman adalah orang pertama yang datang ke New
Zealand, pada 13 Desember 1642, dan menamainya Tasman “Staten
Landt”. Namun rombongannya melakukan kontak pertama dengan suku
Māori pada 18 Desember 1642, meski komunikasi tidak berjalan lancar
karena bahasa. Akibat mispersepsi pula, saat terjadi tabrakan kano
antara milik Māori dengan Belanda, berujung pada terbunuhnya
beberapa pelaut Belanda. Tasman pun harus meninggalkan Selandia
Baru, setelah sebelumnya mendatangi Pulau Utara. Setelah
kedatangannya, baru kemudian James Cook mendarat di sana pada 6
Oktober 1769 (unair.ac.id).
James Cook berangkat dari Inggris pada 1768, dengan tujuan
Tahiti untuk melaksanakan tugasnya mengamati “Transit of Venus”.
Rombongannya sampai di sana pada 1769 dan melakukan
pengamatannya. Setelah tugas pertama selesai, ia mulai bergerak untuk
menemukan daratan, namun karena cuaca buruk, diputuskan untuk
menyelidiki New Zealand. Ia mendarat di pantai North Island (Poverty
Bay), lalu ke utara dan berhenti di sebuah teluk. Di sana ia melanjutkan
pengamatan peristiwa astronominya, “Transit of Mercury”. Ketika
berlabuh ia melihat kepulan asap, yang membuatnya sadar bahwa dia
bukan satu-satunya orang yang ada di sana. Untungnya, salah satu kru
James Cook adalah orang Tahiti yang punya kesamaan bahasa. Sehingga
komunikasi Inggris dengan suku Māori berjalan lancar
(freeinfosociety.com).
Suku Māori berasal dari Hawaiki yang merupakan ras Polinesia.
Sebenarnya nama “māori” sendiri baru disandang saat kedatangan
bangsa Eropa. Mereka tak menyebut dirinya “māori”, melainkan “iwi”
yang berarti tulang. Maksudnya adalah, orang yang terikat garis
keturunan dari satu nenek moyang yang sama (Yulianti, 2016).
Sedangkan menurut teks-teks anonim dalam ensiklopedia (daring)
sekelas Wikipedia, istilah māori berarti “biasa” atau “normal”, merujuk
pada manusia yang berbeda dengan para dewa. Istilah itu didasarkan
33 Wikipedia ialah ensiklopedi bebas yang tak bisa menjadi patokan yang kokoh. Masih
diperlukan sumber lain yang benar-benar valid bila ingin mendalami asal-usul suku Māori
100 | Miftakhuddin
• Bangsa Maori dijamin mempunyai hak seperti warga
Inggris
102 | Miftakhuddin
Semenjak itu Inggris berdaulat penuh atas New Zealand, dengan tetap
menghormati Perjanjian Waitangi, yang menjamin kehidupan suku
Maori.
Kecuali kepemilikan atas negara bagian, New Zealand dan
Australia sama-sama koloni Inggris yang diperoleh dengan penaklukan
atas pribumi, sama-sama didatangi imigran dengan berbagai profesi dan
kewarganegaraan, dan tentunya berbagai kebudayaan. Maka tidak
mengherankan bilamana diketahui New Zealand hari ini merupakan
negara kosmopolitan. Malahan, bila dibanding suku Aborigin di
Australia, -ditinjau dari perjalanan hubungan suku Maori dengan
Inggris- tampaknya suku Maori lebih terbuka dan lebih “pandai” dalam
menyikapi kedatangan Inggris. Suku Maori mampu menyodorkan
kepentingan eksistensinya dalam perjanjian Waitangi, agar di kemudian
hari bisa berdampingan dengan para pakeha. Hebatnya lagi, akhir-akhir
ini keberadaan dan peninggalan Maori masih dihormati bahkan menjadi
identitas pemersatu Selandia Baru.
D. Hong Kong
Sekitar tahun 1800-an, Inggris dan Cina terlibat perdagangan.
Inggris ke Cina membeli teh dan kain sutera, namun Cina tak mau
membeli apapun dari Inggris. Maka Inggris menjual opium/candu dari
India, meskipun tidak sepenuhnya legal. Sebab, opium adalah telah lama
dinikmati Cina jauh sebelum kedatangan Inggris. Saat kaisar Cina, Tao
Kwang, menyita dan memusnahkan opium Inggris -tahun 1800- sebagai
upaya penghentian peredaran opium di Guangzhou dan Canton,
pemerintah Inggris meresponsnya dengan menyatakan perang. Maka
meletuslah Perang Opium atau Perang Candu pada 1838-1842.
Atas kekalahan Cina dalam perang tersebut, dinasti Qing (dibaca
Ching) dipaksa menandatangani perjanjian di atas kapal perang Inggris
HMS Cornwallis di Nanjing pada 1842. Sebagaimana Rengganik
(2009), perjanjian itu berisi 12 pasal, dengan poin utamanya adalah
penyerahan Hong Kong kepada Inggris. Secara umum, isi dari Treaty of
Nanjing kurang lebih begini; 1) Cina harus membayar upeti 21 juta dolar
sebagai ganti rugi. 2) Cina harus membuka kembali pintu perniagaan ke
104 | Miftakhuddin
Telah jadi rahasia umum, perniagaan akan lancar bila para
pengusaha, aset dan jalur bisnisnya memperoleh keamanan yang
terjamin. Maka, Inggris juga menjadikan Hong Kong sebagai pangkalan
dan markas Angkatan Laut Kerajaan, agar bila diperlukan, tentara dapat
diterjunkan ke daratan Cina untuk membela perniagaannya. Persiapan
Inggris bahkan sudah sampai pada pembangunan garnisun dan galangan
kapal di pelabuhan untuk bersandar dan memeriksa kapal seusai patroli.
Dan memang benar, mereka pernah dikerahkan untuk menumpas
pemberontakan boxer tahun 1900 dan meredakan kerusuhan di
Shanghai. Tidak cukup dengan pangkalan militer, Inggris memperluas
wilayahnya sebagai zona penyangga untuk mengantisipasi serangan
darat. Sebagaimana Miners (1995), perbatasan koloni Inggris diperluas
pada akhir abad 19. Melalui Konvensi Peking II, kawasan Kowloon
disewakan kepada Inggris selama 99 tahun sebagai New Territories,
terhitung sejak 1898 sampai 30 Juni 1997. Keputusan ini selain untuk
memperluas jangkauan dagang juga untuk menjamin keamanan seluruh
pantai utara dan sekitarnya. Itulah mengapa di awal masa kolonial, Hong
Kong menjadi pusat perdagangan internasional.
Sampai fase ini, Hong Kong benar-benar dikuasai Inggris yang
dibangun atas dasar demokrasi-liberal, sedangkan Cina tetap
menjalankan pemerintahannya sendiri dengan sistem sosialis-komunis.
Kendatipun begitu, dengan pengaruh perkembangannya yang sampai ke
daratan Cina, Hong Kong menjadi “jendela” Cina untuk menengok
perkembangan di dunia luar. Sebab, sebelum perang opium dan
kesepakatan dengan Eropa, Cina sama sekali mengisolir dirinya, kecuali
perniagaan dengan asing di Canton, itu pun sangat terbatas (Rengganik,
2009).
Memasuki abad 20, Hong Kong dimasuki imigran Cina dalam
jumlah besar. Tapi kehadiran mereka rupanya membantu Hong Kong
menjadi pusat manufaktur. Hal ini juga memberi pertumbuhan ekonomi,
energi dan industri ke kota. Lokasinya yang strategis kontan membuat
daratan Cina menjadi negara dengan ekonomi amat baik. Kombinasi
antara posisi strategis untuk bisnis dan strategi pertahanan yang masif
membuat nilai Hong Kong semakin tinggi. Sekalipun di luar
berkecamuk Perang Dunia I, Perang Dunia II, Kemerdekaan Cina tahun
106 | Miftakhuddin
Supaya tidak “kaget” dengan sistem komunis, pemerintah Cina
yang kala itu dipimpin Deng Xiaoping mengizinkan sistem kapitalis
tetap berjalan 50 tahun berikutnya, dengan menjadikan Hong Kong
sebagai Special Administration Region (SAR)34. Dengan begini, Hong
Kong berjalan sebagai negara dengan prinsip “one country, two system”
(satu negara dua sistem). Melalui kerangka kebijakan ini, Hong Kong
diberikan otonomi khusus dalam hal sistem hukum, bea cukai, mata
uang, dan imigrasi. Hal-hal yang tidak termasuk dalam dualisme itu
hanyalah urusan terkait pertahanan nasional dan diplomatik. Urusan
tersebut adalah wewenang pemerintah pusat di Beijing. Akan tetapi,
menurut Samsuri (2007), penyerahan kedaulatan kepada RRC juga
berdampak pada proses politik yang mengikuti budaya politik China,
yaitu dominan dipengaruhi Konfusionisme.
Demikianlah Hong Kong berdiri di atas sistem kapitalis,
sementara “induknya” berdiri di atas sistem sosialis. Terlepas dari sistem
politik Hong Kong yang terkesan tidak jelas karena pengaruh kolonial
Inggris di masa lalu, nyatanya sistem one country, two system berjalan
dengan konsisten, dan kestabilan politik tetap terjaga. Malahan,
hubungan Beijing dengan Hong Kong membuat iklim investasi
meningkat dan terjadi transfer pekerja terlatih (Sharif, 2011). Di
samping kekayaan materil, Inggris juga meninggalkan budaya antre dan
mendahulukan pejalan kaki dalam berlalu lintas.
E. Singapura
Sebuah kawasan yang kini adalah Singapura, dulunya bagian dari
kerajaan Sriwijaya. Kabarnya, dinamakan demikian karena akhir abad
ke 13 atau awal abad 14, pangeran Kerajaan Sriwijaya berburu ke
sebuah pulau, di mana ia melihat binatang yang belum pernah dia lihat,
seperti harimau tapi bukan. Binatang itu anggun gerakannya, tangkas
dan berani, dengan bulu bagian kepalanya yang hitam, putih di bagian
lehernya dan coklat di bagian badannya. Rombongannya terkesan,
kemudian seorang tua memberi tahu pangeran, bahwa nama binatang itu
34Hong Kong adalah SAR pertama Cina, sebelum akhirnya disusul Macau pada 1987 pasca
kolonial Portugis untuk menghubungkan perdagangan Cina dengan Jepang, dan Lisabon
dengan Nagasaki.
35Catatan Tionghoa itu mungkin ada benarnya, sebab dalam kitab Negarakertagama (1365),
menyebutkan deskripsi yang sama, tentang adanya kota berisi etnis Melayu dan Cina bernama
Temasek.
108 | Miftakhuddin
3. Di samping itu sering terjadi kericuhan intern, para
pemimpinnya sering terlibat dalam perebutan kekuasaan
dan pengaruh demi kepentingan pribadinya masing-
masing. Mereka tidak berdisiplin dalam tugasnya.
37 Menurut adat Melayu, calon sultan harus berada di sisi sultan sekiranya ia ingin dilantik
menjadi sultan.
38 Saat berunding dengan Sultan Johor, Raffles masih menjabat Letnan Gubernur Bencoolen
(kini Bengkulu).
110 | Miftakhuddin
dengan peran amat penting, padahal dulunya hanya kota nelayan yang
kurang diperhatikan.
Namun begitu, banyaknya etnik ternyata membuat Singapura
kurang kondusif. Maka Raffles mencanangkan Raffles Town Plan pada
1822 (dikenal juga sebagai Jackson Plan), untuk mengatasi
ketidakteraturan antar penduduk koloni yang multikultur. Kebijakan itu
memisahkan pemukiman menjadi empat wilayah menurut etnisnya.
Orang Eropa dan Asia yang saat itu notabene kaya, ditempatkan di
European Town. Etnis Tionghoa diletakkan di China Town (sekarang di
tenggara Singapore River). Etnis India ditempatkan di Kampong Chulia
(sebelah utara China Town). Sedangkan warga muslim, etnis Melayu,
dan Arab ditempatkan di Kampong Glam.
Kebijakan tersebut, kemudian dilanjutkan dengan Konstitusi
Singapura pada 1823. Berdasarkan konstitusi itu, Raffles menggariskan
agar Singapura menjadi masyarakat yang berdasarkan moral baik di
mana perbudakan dan penggunaan narkoba dilarang. Raffles membuat
Singapura berkembang menjadi pelabuhan bebas dengan toleransi
budaya dan fokus pada pendidikan. Di masa ini, sekolah berbahasa lokal
dibangun, bisnis diizinkan berkembang, dan orang-orang diperbolehkan
mendalami dan menyebarkan agama yang mereka pilih.
Program pemberdayaan Raffles tersebut makin meningkatkan
citra Singapura, hingga dikenal sebagai pelabuhan terpenting, dengan
lebih dari 10.000 penduduk di tahun 1824 (Sudrajat, 2009). Menurut
Nach (1976), pedagang Cina merupakan bagian terbesar penduduk
Singapura, sebab kalau dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Asia
Tenggara yang juga kebanjiran orang-orang Cina, Singapura
menunjukkan suatu keistimewaan (Sudrajat, 2009). Sekalipun terkenal
di kalangan perompak sebagai markas bajak laut Cina, tidak lantas
membuat Singapura berhenti berkembang di bawah komando Inggris.
Saat perkembangan seolah mencapai klimaks, Belanda sang
penguasa Nusantara kembali untuk merebut Singapura, sebab di masa
lalu Inggris merebut Singapura dari Belanda. Tapi Inggris perseteruan
akhirnya diselesaikan dengan Treaty of London pada Maret 1824, untuk
mengukuhkan mana koloni Inggris dan mana koloni Belanda.
Berdasarkan kesepakatan itu, Kepulauan Melayu bagian utara yang
112 | Miftakhuddin
seolah mempersilakan Singapura menjalankan pemerintahannya sendiri.
Tampaknya, Inggris menebus janjinya saat perang melawan Jepang.
Buktinya Inggris membubarkan Straits Settlement dan hanya
membentuk BMA (British Military Administration) untuk membimbing
pemerintahan Malaya. Namun karena tak disukai rakyat akibat termakan
doktrin anti-Barat, BMA digantikan Malayan Union, untuk menyatukan
semua kerajaan di Semenanjung Malaya di bawah kepemimpinan
Gubernur Inggris. Inipun tetap diprotes, sebab dianggap menghapuskan
kedaulatan raja-raja. Malayan Union ditentang dengan menyatukan
semua organisasi Melayu ke dalam satu organisasi nasional bernama
United Malay National Organization (UMNO) pada 1946.
Jadi selama periode 1945 hingga 1960-an Singapura berada
dalam ketidakjelasan status. Apakah menjadi koloni, anggota federasi,
ataukah negara persemakmuran (commonwealth). Toh kemerdekaan pun
juga belum diraih. Dilakukannya pemilu pertama tahun 1955 memang
menghasilkan David Marshall sebagai ketua menteri39, tapi permohonan
David diajukan ke London soal kemerdekaan Singapura tidak direspons
serius. Sebab pengaruh komunis di Singapura dinilai masih terlalu besar.
Oleh sebab itu, Singapura bergabung menjadi anggota
Persekutuan Tanah Melayu bersama Sabah dan Sarawak untuk
membentuk Malaysia pad 1963. Federasi agaknya lebih mengarah ke
suatu kerja sama, sebab Singapura sebagai -calon- negara berukuran
kecil membutuhkan proteksi dari wilayah yang lebih besar seperti
Malaysia. Sedangkan Malaysia ingin Singapura tidak menjadi komunis,
karena banyak petinggi Singapura berhalauan “kiri”. Demi suksesnya
master plan ini, Malaysia sampai melakukan transmigrasi ke Singapura
untuk menyeimbangkan komposisi penduduk yang mayoritas etnis
Tionghoa.
Namun ekspetasi Malaysia tidak terpenuhi. Transmigrasi
berujung pada diskriminasi etnis Tionghoa terhadap warga Malaysia di
Singapura. Di sisi lain, terjadi konflik antara partai yang berkuasa di
39 Sebelumnya, sudah pernah ada pemilu pada 1948 untuk memilih enam wakil rakyat, dan
pemilu pada 1951 yang malah membuat wakil rakyat semakin bertambah banyak. Dua pemilu
itu tak bisa menghasilkan satu wakil tunggal, makanya dilakukan pemilu tahun 1955 untuk
memilih seorang wakil menteri.
114 | Miftakhuddin
A. Neokolonialisme
Berbeda dengan kolonial sebelum Perang Dunia,
neokolonialisme lebih terlihat bersih dan anti perang. Umumnya,
neokolonialisme memakai ekonomi kapitalis untuk menundukkan elit
bangsa yang lemah nasionalismenya, dan mengontrolnya. Itulah
instrumen neokolonialisme. Sebagaimana Choussudovsky (dalam
Razmin, 2013), sejak abad 20 penaklukan negara bermaksud menguasai
aset produktif, buruh dan SDA. Tidak ada kepentingan menjajah dengan
mengirim tentara. Meski begitu, neokolonialisme tetap membidik
wilayah potensial. Adapun wataknya sama; dominasi dan hegemoni
(Rohman, 2009). Nah, apa yang bervariasi adalah metode pengkoloni
dalam menundukkan para elit. Kadang kala melalui pinjaman, politik
etis, promosi budaya, bahkan pendidikan, seperti halnya Mafia of
Berkeley di Indonesia semasa orde baru. Bila ditinjau dari sisi yang lain,
barangkali neokolonialisme boleh disebut neo-feodalisme, sebab
petinggi negara menggunakan pajak yang terakumulasi dalam APBN
untuk mengakomodir ancaman pengkoloni.
Menurut Littlejohn & Karen (2009), apa yang disebut
neokolonialism sama halnya dalam wacana kontemporer tentang “orang
lain” (the others). Neokolonialisme memakai istilah “Dunia Pertama”
dan “Dunia Ketiga” untuk menunjuk negara maju dan negara
berkembang, dalam pemindahan besar-besaran dan invasi budaya
Amerika ke setiap bagian dunia. Amerika memperlakukan ras non kulit
putih sebagai the others dalam medianya, the others yang
menguntungkan. Presiden Soekarno dalam satu pidatonya di hadapan
para pemimpin Eropa mengatakan;
...I hate imperialism. I detest colonialism. And I fear the
consequences of their last bitter struggle for life. We are
determined, that our nation, and the world as a whole,
116 | Miftakhuddin
negara terjajah. 3) deklarasi-deklarasi kemerdekaan negara-negara
terjajah yang diikuti pengakuan kedaulatan.
Ada sedikitnya dua faktor bagaimana sebab-sebab itu berjalan.
Pertama, arus globalisasi. Globalisasi adalah peng-global-an. Artinya,
penyeragaman warga dunia ke dalam satu warna universal, baik
komunikasi, berperilaku, maupun aktivitas kultural lainnya. Sebagai
proyek yang diusung negara adikuasa, globalisasi mewujudkan tatanan
baru dengan menghapus batas-batas geografis, ekonomis dan kultural.
Sudut pandang ini menilai globalisasi adalah kapitalisme termutakhir.
Negara kuat mengendalikan ekonomi dunia, sementara negara
berkembang mengikuti arus tanpa menciptakan arus (Irhandayaningsih,
2011)
Suatu contoh; dahulu komunikasi personal jarak jauh via kirim
surat (pos), setelah penemuan telepon dan e-mail, pola komunikasi
berubah, dan berubah lagi tatkala ditemukan telepon genggam
(handphone), yang sesuai mobilitas user. Tingginya intensitas
komunikasi mendorong penyebaran inovasi. Alhasil, pola komunikasi
modern yang semula terkonsentrasi di Barat, tersebar ke luar hingga
mengglobal. Adanya penyamaan inilah, membuat dunia mengalami
penyeragaman. Arus dari Barat mengontrol masyarakat hilir; sebab
kalangan hulu (Barat) mencontohkan, kalangan hilir menirukan. Tata
krama bersapa via telepon misalnya. Sapaan ala Barat berupa “hello”,
kemudian -misalnya- Indonesia mengadaptasinya dengan “halo”, bukan
assalamulaikum ataupun kulo nuwun. Peristiwa inilah yang oleh
antropolog disebut “lunturnya jati diri bangsa” akibat globalisasi.
Sukmono (2013), mempertegas dengan menyatakan perkembangan
teknologi, khususnya televisi, menggeser budaya luhur seperti petuah
“kalau mau membeli sesuatu, harus menabung dahulu”. Nilai itu diganti
melalui propaganda kapitalis, dengan menyebut dalam iklan industrial,
“beli dulu bayar belakangan; kalau tidak mampu, ngutang aja”.
Tanpa sadar, neokolonial meluas dan mendikte bangsa lain.
Terlebih pergerakan pola hidup menuju konsumtif kian menguntungkan
negara adikuasa sebagai pusat industri, sebab produksi masal mereka
telah menjumpai pasar ideal. Implikasi final atas proyek ini tak lain ialah
ketergantungan. Demikianlah neokolonial menciptakan ide-ide untuk
118 | Miftakhuddin
mengabaikan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), yakni Indonesia
harus membayar kemerdekaan kepada Belanda senilai 4,3 miliar gulden
(jika di kurs kan dengan emas, senilai 150 miliar dollar). Sebagaimana
De Vries40 (2011), dalam publikasinya di eurasiareview.com;
Under the Marshall plan the Dutch were receiving large
loans from America to finance the post-war restoration of
the country. America therefore threatened the Dutch that
unless they halted their efforts to bring Indonesia back
under their control, the Marshall aid would be stopped.
United Nations kemudian mendesentralisasi kewenangannya
melalui badan-badan khusus, seperti; UNESCO yang menangani
pendidikan dan kebudayaan, WHO menangani kesehatan, FAO
menangani pangan dan pertanian, IMF menangani soal pemenuhan
kebutuhan finansial global (loan), dan lainnya. Bagi negara peminjam
PBB melalui IMF maupun World Bank yang menggadaikan aset negara
dan tak mampu melunasi hutang, maka urusan internal akan dicampuri.
Di antara yang sering terlibat fenomena ini adalah Indonesia,
Afghanistan, Ghana, Nikaraguai dan lainnya (Razmin, dkk., 2013).
Maka wajar bila ada anekdot “IMF adalah lintah darat dunia”. Belum
lagi IMF didominasi pihak tertentu, sebab pemasukan IMF berasal dari
iuran anggota, dan donatur tertinggi akan berperan sentral (Razmin,
dkk., 2013)
B. Pelaku Neokolonialisme
Berdasar hasil Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1961,
berikut siapa-siapa saja yang bertindak sebagai agen neokolonial.
1. Kedutaan-kedutaan kolonial dan misi-misi terselubung. Biasanya,
lembaga ini melakukan spionase pelemahan negara tertentu.
Misalnya; CIA (Amerika), KGB (Uni Soviet), MI6 (Inggris) dll.
2. Lembaga pemberi bantuan (World Bank, IMF, dan WTO
3. Militer dan kepolisian, yang dibina melalui latihan di negeri
imperialis.
40 Konsultan manajemen internasional dengan fokus urusan geopolitik, ekonomi dan Islam.
120 | Miftakhuddin
Mengkaji pengalaman pra-Soeharto, Indonesia pernah mutlak
menganulir berdirinya MNC dengan mencabut UU-PMA pada 1958. Ini
demi mengakomodir gagalnya pemulihan ekonomi pasca kemerdekaan
hingga 1950-an, yang menyebabkan inflasi, karena “dipermainkan”
Belanda dan Amerika. Sebelum mencabut UU-PMA, keputusan pertama
Soekarno ialah mengubah halauan politik dari ekonomi liberal-kapitalis
menuju sosialis-komunis. Sedang keputusan kedua ialah menasionalisasi
perusahaan asing. De Vries (2011) dalam publikasinya berjudul
Neocolonialism and The Example of Indonesia Analysis, menyatakan;
Starting in 1957 Dutch interests in Indonesia wee seized
and nationalized. Starting in 1963, British firms were
nationalized. And starting in 1964 American firms as well.
Ultimately, in 1965 foreign investment in Indonesia was
completely disallowed with the repeal of the Foreign
Investement Law of 1958.
Kebijakan Soekarno menasionalisasi MNC, pembatalan sepihak
hasil KMB, dan pencabutan keanggotaan di PBB membuat Amerika
menyusun rencana baru. Mengutip dari De Vries (2011), Maxwell41
dalam risetnya tahun 1965, menemukan surat bertanggal Desember 1964
yang menyatakan Indonesia siap jauh ke pangkuan Barat melalui kudeta
komounis dan menjadikan Soekarno sebagai tahanan. De Vries juga
bersandar pada buku Legacy of Ashes: The History of the CIA karya
Weiner, yang menjelaskan berjalannya rencana itu. Disebutkan, CIA
merekrut Adam Malik dan membentuk troika, pemerintah bayangan
yang terdiri atas Adam Malik, Soeharto dan sultan penguasa Jawa
Tengah. Malik mengatur pertemuan rahasia dengan Amerika soal
rencana pembersihan komunis (Gestapu). Sedangkan Soeharto mengatur
penculikan jenderal sekaligus pembantaian simpatisan PKI sesuai daftar
nama yang disediakan CIA.
Satu langkah Soeharto sebagai pimpinan tertinggi ialah mengutus
tim ekonom ke konferensi di Swiss yang diselenggarakan Time Life
Corporation of America. Profesor dari Northwestern University,
122 | Miftakhuddin
2. Badan Keuangan Internasional
IMF memberi pinjaman jangka pendek, yang biasa digunakan
mengatasi krisis moneter. Sedangkan World Bank (WB) menyediakan
pinjaman jangka panjang, yang biasa digunakan membangun
infrastruktur, rumah sakit dan sekolah (Razmin, dkk., 2013). Celakanya,
pemberi hibah tertinggi mempunyai posisi dan peran dominan; AS dan
Eropa. Ia memilih warga negaranya untuk menjadi pemimpin dalam
badan tersebut (Wade, 1998). Sebagaimana Swedberg (1986),
berdasarkan gentleman agreement, sudah menjadi tradisi, IMF diketuai
perwakilan dari benua Eropa, dan World Bank diketuai orang Amerika.
Tujuan WB ialah mengurangi kemiskinan dengan memberi
pinjaman dan mempromosikan investasi. Sementara IMF,
mengkondisikan kerja sama moneter global, perdagangan internasional,
mempromosikan kesempatan kerja, dan mengamankan stabilitas
keuangan negara anggota. Bahkan IMF mengawasi kebijakan ekonomi
makro suatu negara untuk melihat dampaknya terhadap nilai tukar mata
uang. Ada sedikitnya dua poin penting. Pertama, ketidakberuntungan
karena secara tradisional presiden WB adalah Amerika. Kedua, IMF
mengawasi kebijakan ekonomi makro suatu negara. Artinya, jika
perkembangan ekonomi suatu negara dianggap “membahayakan”, maka
IMF akan ambil sikap.
Terbukti, pemerintah memprivatisasi 12 BUMN selama 1991-
2001, dan 10 BUMN selama 2001-2006. Privatisasi memang
dikehendaki, sebagaimana diatur Letter of Intents bersama IMF, dan
dalam Legal Guidelines for Privatization Programs bersama WB.
Berdasarkan dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008,
disebutkan lembaga bantuan Amerika bersama WB aktif soal privatisasi
di Indonesia. Malahan, Asian Development Bank (ADB), dalam Project
Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization
Program tahun 2001, memberi pinjaman 400 juta dollar AS, untuk
privatisasi BUMN (Indonesia, 2011).
Bila perannya sejauh ini, maka bisa saja IMF memunculkan
krisis ekonomi untuk menggiring pemerintah mengambil tawaran
pinjaman. Berkat konsentrasi modal dan kuasa, mereka bisa mendikte
syarat-syarat pinjaman kepada negara lemah (Müller, 2005).
124 | Miftakhuddin
banyak negara di bawah satu atap. Meski begitu, ada kalanya model
neokolonisasi ini bertahan lama, kadang pula mengalami rekonstruksi
bahkan dekonstruksi. Straits Settlements saja, pasca pendudukan Jepang
mengalami perombakan menjadi British Military Administration,
kemudian bertransformasi lagi menjadi Malayan Union hingga akhirnya
menjadi United Malay National Organization (UMNO). Berbeda
dengan commonwealth Inggris yang bertahan konstan seperti Australia,
New Zealand, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Maladewa.
D. Target Akhir
Skala prioritas dan visi neokolonialisme lebih kompleks dan
strategis ketimbang kolonialisme yang menonjolkan dominasi politik-
ekonomi. Menurut Mayjen TNI (Purn), Hotma Marbun (2008),
sasarannya adalah semua sendi kehidupan bernegara, meliputi; 1) Front
Sosial-Ekonomi. 2) Front Psikologi. 3) Front Politik Dalam Negeri. 4)
Front Politik Luar Negeri. 5) Front Militer.
1) Front Sosial-Ekonomi
Kader neokolonial dikirim melakukan infiltrasi ekonomi ke
perusahaan-perusahaan strategis, berusaha memegang peran,
membentuk opini, berpartisipasi di perdagangan internasional, dan
perlahan mengambil alih posisi pimpinan. Tujuan infiltrasi tentu
memunculkan tekanan-tekanan ekonomi agar tergiring dalam
neokolonisasi. Penting untuk diketahui, prioritas dalam proyek
penekanan ekonomi ini adalah kebutuhan primer, agar timbul keresahan
126 | Miftakhuddin
dan kekacauan yang kemudian ditingkatkan ke ekonomi sekunder,
termasuk merusak sistem industri strategis untuk menciptakan
penggangguan dan krisis ekonomi. Akhirnya wibawa pemerintah
menjadi jatuh di mata publik.
Tahap kedua setelah pengambilalihan ialah konsolidasi, yakni
menghapus kepemilikan individu/swasta. Tahap ini secara simultan
dibarengi dengan pembentukan dan penyusupan kepada organisasi
politik, kemahasiswaan, buruh, bahkan militer. Nah, mereka semua
dikoordinir suatu kekuatan tanpa saling tahu adanya kedekatan
relasional (terselubung), jadi mereka bergerak seolah sebagai ormas
independen. Tahap berikutnya ialah membentuk hierarki paralel,
dengan menempatkan para kader ke jabatan-jabatan kunci di komposisi
pemerintahan untuk membuat perundang-undangan sesuai kepentingan
nekolim.
2) Front Psikologi
Front ini didesain untuk mengisi psikis massa melalui agitasi,
agar timbul rasa tidak puas atas suatu kondisi, sehingga menjelma
sebagai sikap kritis dan menentang setiap kebijakan (demoralisasi).
Meluasnya sikap ini diharapkan bakal mengkurasi kepercayaan publik
terhadap pemerintah, dan berujung pada hubungan layaknya buruh dan
majikan, bahkan pemogokan umum. Bagi masyarakat multikultur seperti
Indonesia, lazimnya menggunakan isu SARA sebagai senjata pokok
penyebab masalah. Kala stabilitas sosial tak terkendali, agen neokolonial
melancarkan aksi sugestif untuk “menghipnotis” publik melalui kegiatan
sosial sambil membentuk opini melalui propaganda, agar publik yakin
kalau keadaan baru yang lebih baik akan ada jika mau bergerak bersama
melakukan perubahan.
5) Front Militer
Front militer adalah upaya terakhir, sebab keamanan dan
ketertiban yang terganggu akan mempermudah pembentukan front lain.
Gangguan biasanya dimulai para kriminal dan residivis melalui agitasi,
teror, adu domba, pembunuhan, penyanderaan hingga fitnah. Jelas, agar
masyarakat terpecah dan saling curiga. Saat di mana instabilitas
merebak, angkatan bersenjata mulai dibentuk, dibina dan ditempatkan di
basis-basis gerilya, terutama di kawasan-kawasan rawan subversi. Tahap
ini ditandai dengan perekrutan masyarakat kelas bawah sebagai
kekuatan bersenjata yang melawan pemerintah dengan bergerilya.
128 | Miftakhuddin
A. Association of South-East Asian Nations (ASEAN)
Sejak kejatuhan Konstantinopel, Asia Tenggara menjadi pusat
perebutan tarik-menarik dominasi. Makanya kawasan ini menjadi
“pusaran konflik” selama Perang Dunia II dan Perang Dingin. Salah satu
respons untuk Perang Dingin ialah berupa penyelenggaraan Konferensi
Asia-Afrika tahun 1955 dan pembentukan Gerakan Non Blok (GNB)
tahun 1961. Tujuan GNB juga termaktub dalam arsip KAA dan GNB
sebagai UNESCO Memory Of the World (2015), bahwa;
GNB yang lahir dari spirit KAA 1955 adalah kenyataan
historis yang tidak menginginkan dunia hanya dipisahkan
oleh dua blok, dua warna atau dua arah: hitam/putih atau
timur/barat. GNB menawarkan arah atau warna ke tiga
yang bukan hitam dan bukan putih atau bukan timur dan
bukan barat. Setiap negara harus berani untuk
menentukan nasib dan masa depannya sendiri.
Namun kerja sama regional itu tak mampu meredam efek Perang
Dingin (Sukmayani, dkk., 2008), sehingga didirikanlah forum
Maphilindo (Malaysia, Philipina dan Indonesia) untuk bekerja sama
bidang politik, ekonomi dan budaya. Tapi kedudukannya sebagai forum
kerjasama pun melemah saat Inggris -yang sedang menjajah Singapura-
membentuk federasi Melayu. Bagi Indonesia dan Filipina, federasi ialah
produk neokolonial. Maka Filipina mengklaim Sabah dan Sarawak.
Sementara Indonesia melancarkan Dwikora, yang terkenal dengan
seruan “ganyang Malaysia”. Bagi Soekarno, jika federasi berdiri sebagai
boneka Inggris, maka akan muncul “China kedua” yang mendominasi
ekonomi dan politik di Asia Tenggara (Prihatyono, 2009). Menurut
Sukmayani, dkk. (2008), konfrontasi berlanjut resolusi jajak kehendak
130 | Miftakhuddin
berkembang, yang haus investasi dan hutang. Jelas, walau ASEAN
dibangun atas tiga pilar, nampaknya hanya economic community yang
diprioritaskan. Hingga saat ini, kekayaan alam anggota ASEAN dibawah
kontrol negara luar yang dikerjakan dalam model investasi neokolonial,
sehingga arah kebijakan dan anggaran publik diatur melalui utang luar
negeri yang melahirkan ketergantungan (Marut, 2015).
Berdasarkan ASEAN Statistical Yearbook (2009), tahun 2000-
2008 Uni Eropa menduduki peringkat pertama dalam mengalirkan dana
investasi (US$ 93,6 miliar), disusul Jepang (US$ 48,2 miliar), dan
Amerika (US$ 34,9 miliar). Hal yang mengejutkan, rupanya kebijakan
itu mereka ambil justru akibat krisis finansial di sana. Krisis mendorong
agresivitas untuk menguasai pasar ASEAN, mengontrol sumber daya,
pasar keuangan, dan jasa. Sebab dengan begini mereka mampu
memindah beban krisis dan membentuk keseimbangan global baru;
diraih dengan menghisap negeri-negeri miskin lebih dalam (Putusan MK
Tahun 2011). Lebih-lebih taktik yang dipakai bukan hanya investasi,
melainkan juga penawaran hutang. Sehingga penawaran utang membuat
ASEAN seakan menghiba kepada lembaga keuangan internasional dan
negara maju melalui Chiang-Mai Initiative Multilateralisation (CMIM),
Asian Bond Markets Initiative (ABMI) dan Credit Guarantee and
Investment Facility (CGIF).
Putusan MK di atas juga menyebut Jepang menyiapkan US$ 20
miliar, Cina US$ 10 miliar, Amerika US$ 526 miliar tahun 2009 untuk
anggota ASEAN (kecuali Brunei), dan Australia US$ 50 juta (2002-
2008) untuk integrasi ekonomi melalui mekanisme proyek jangka
menengah dan memperkuat daya saing melalui kegiatan kolaboratif.
Soal proyek ambisius ini, Asian Development Bank (ADB) mengajukan
program pembentukan ASEAN Infrastructure Fund (AIF) yang
modalnya bersumber dari anggota masing‐masing US$ 150 juta. Modal
ini lalu di‐leverage dengan mengeluarkan surat utang AIF yang
diharapkan akan dibeli bank‐bank sentral di ASEAN. Parahnya lagi,
bunga dan pegembalian utang dipakai untuk membangun konektivitas
ASEAN (Marut, 2015).
132 | Miftakhuddin
transportasi Yahudi dari Eropa ke Palestina (Solichien, 2008). Atas
usaha Zionis melobi Inggris, Prancis, Rusia dan Amerika, maka Israel
mampu mendeklarasikan negara pada 1948. Pimpinan Zionis, Haim
Weizman, lalu mengadakan pertemuan rahasia dengan Presiden
Amerika, Harry Truman, untuk meminta dukungan mendirikan negara
Yahudi (Saleh, 2012).
Meski Suriah, Mesir dan negara arab lain menentang Israel
karena dinilai ilegal dan merupakan negara boneka di “jantung” Timur
Tengah (Aulia’, 2015), Amerika kembali campur tangan dengan
memberi bantuan Israel untuk melawan koalisi negara arab; Mesir,
Suriah, Irak, Libanon, Yordania, dan Arab Saudi dalam Perang Yom
Kippur. Tidak sampai disitu, dukungan Amerika bahkan sampai melobi
PBB. Alhasil, terjadi pengusiran ratusan ribu warga Palestina.
Presiden Amerika 1966, Johnson, bahkan menekan PBB
menghentikan bantuan untuk pengungsi Palestina yang melakukan milisi
melawan Israel, dengan dalih mengganggu stabilitas keamanan dunia.
Amerika mengancam keluar dari Dewan Keamanan PBB dan
menghentikan bantuan finansial kepada PBB kalau PBB tak menerima
usulan Israel (Saleh, 2012). Sementara pada era Ronald Regan, tahun
1988, juru bicara White House menyatakan lebih baik Palestina dan
bangsa Arab lain menyerahkan Palestina. Pada era Obama, memang
intervensi Amerika menurun. Tapi di era Donald Trump, konflik itu
muncul lagi.
Memang Israel adalah tempat menjual senjata Amerika,
sekaligus penjaga terusan Suez dan tambang minyak bumi di sana
(Rahmatullah, 2015). Apa boleh buat. Seruntuhnya Soviet, Amerika
adalah yang terkuat. Keadilan dan HAM yang sering dikhotbahkan
agaknya hanya ceritera. Pidato bergelora di forum-forum internasional
yang membela emansipasi hanya “hangat-hangat tahi ayam”. Sebab
begitu menghadapi Amerika, seolah semua obsesi gugur tanpa syarat.
Terlihat pada lumpuhnya KAA dalam mengatasi konflik Israel-
Palestina. Lebih-lebih desentralisasi kewenangan Dewan Keamanan
dalam melakukan kekerasan kepada organisasi regional tak bertentangan
dengan Piagam PBB. Ini tidak saja didukung sejumlah penafsiran
134 | Miftakhuddin
succeeding generations from the scourage… (Sianturi, 2014). Guna
mewujdukannya, maka dibentuklah UNESCO, ILO, WHO, WTO, dan
lainnya. Nah, satu di antara yang bervisi mengentaskan kemiskinan ialah
WTO, yang mengangkat kesejahteraan dengan fasilitas sistem
perniagaan. Demi tugasnya memastikan perdagangan antar anggota
berjalan lancar, kredibel dan sebebas-bebasnya, WTO mengatur hal-hal
pokok baik perniagaan barang (goods), jasa (services), maupun
kekayaan intelektual (property rights).
Sewaktu masih berupa GATT, badan ini menurunkan tarif
perdagangan agar situasi kondusif. Tapi setelah diperbarui menjadi
WTO, kebijakannya melingkupi anti-dumping dan penyelesaian
sengketa (Trade Dispute Settlement). Meski begitu, ia tak luput dari
persepsi curiga dan tuduhan neokolonial. Sedang bagi WTO sendiri,
stigma ini ada kesalahpahaman. Publikasi sekretariat WTO dalam
depts.washington.edu berjudul 10 common misunderstanding about the
WTO menyebutkan satu persatu dan mengklarifikasinya, suatu contoh;
The WTO does not tell governments how to conduct their
trade policies. Rather, it’s a “member-driven”
organization. That means: 1) the rules of the WTO system
are agreements resulting from negotiations among
member governments. 2) the rules are ratified by all
member’s parliaments, and 3) decisions taken in the WTO
are generally made by consensus among all members. In
other words, decisions taken in the WTO are negotiated,
accountable and democratic. ...In fact: it’s the
governments who dictate to the WTO.
Jelas, WTO dirancang bukan sebagai organisasi monitoring,
melainkan bertindak atas komplain yang diajukan, sehingga lebih
condong ke forum perundingan. Sebagaimana Nuryadin (2015) yang
mengutip James Petras, penggerak globalisasi ekonomi perdagangan
adalah imperial pusat, perusahaan multinasional dan bank yang
didukung lembaga keuangan internasional. Hal ini pun diamini WTO
dalam klarifikasinya soal tuduhan perdagangan bebas.
It’s really a question of what countries are willing to
bargain with each other. The WTO’s role is to provide the
136 | Miftakhuddin
is not the solution ... The relationship between trade and
employment is complex. Freer-flowing and more stable
trade boosts economic growth. It has the potential to
create jobs, it can help to reduce poverty, and frequently
it does both.
In the WTO, liberalization is gradual, allowing countries
time to make the necessary adjustments. Provisions in the
agreements also allow countries to take contingency
actions against imports that are particularly damaging,
but under strict disciplines. At the same time,
liberalization under the WTO is the result of negotiations.
When countries feel the necessary adjustments cannot be
made, they can and do resist demands to open the
relevant sections of their markets ... In developed
countries, 70% of economic activity is in services, where
the effect of foreign competition on jobs is different if a
foreign telecommunications company sets up business in
a country it may employ local people, for example. While
about 1.5 billion people are still in poverty, trade
liberalization since World War II has contributed to
lifting an estimated 3 billion people out of poverty.
PBB agaknya tak beda jauh dengan organisasi internasional abad
19, yang visinya mulia tapi ditunggangi kepentingan negara hegemoni.
Ulasan soal IMF dan World Bank di bab sebelumnya telah
menggambarkan bagaimana negara adikuasa merombak kebijakan PBB
agar semua menjadi legal, sebagaimana konflik Plestina-Israel dan
konflik Laut Cina Selatan.
138 | Miftakhuddin
kristalisasi menjadi mimpi yang ingin dicapai. Hanya ada dua
kemungkinan; pertama, Soekarno keliru dalam menafsirkan dan
menerjemahkan nilai luhur bangsa menjadi Pancasila. Kedua, dinamika
sosio-politik menggeser pandangan hidup menjadi lain, akibat
liberalisme yang “kebablasan”. Kelihatannya Pancasila yang digadang-
gadang mampu menangkal ketidakadilan publik juga harus bertahan di
tengah infiltrasi neoliberal dan radikalis.
Celakanya lagi, ada kecenderungan Pancasila sebagai ideologi
fundamental lebih bersifat simbolik, terutama bagi generasi Y dan
generasi Z. Kebetulan mereka lahir di era milenial, di mana globalisasi
mengaburkan batas-batas kultural antar negara. Akibatnya nasionalisme
yang lahir dari Pancasila era tersebut mengalami pendangkalan. Lihat
saja secara tidak permanen nasionalisme lebih sering muncul saat
upacara kenegaraan dan rapat parpol. Hasilnya, korupsi di berbagai
lapisan birokrasi, berkembangnya gerakan radikal separatis, dan
peningkatan sikap intoleransi. Inilah celah masuknya nekolim dan
neolib. Jaringan Islam Liberal (JIL) dan kaum LGBT yang berjuang
demi status hukumnya adalah secuil contoh. Lebih lanjut, liberalitas
akan membangunkan gerakan radikal yang mendiskreditkan golongan
lain. Akibatnya, bangsa Indonesia amnesia terhadap Pancasila sebagai
ideologi bersama (Ma’arif, 2009).
Menimbang urgensi tersebut, nampaknya Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) perlu diterapkan kembali, meski pada
era reformasi dibubarkan melalui Tap MPR Nomor XVIII/MPR/1998
karena dinilai tak sesuai kondisi kekinian. Harus diakui memang orde
baru menghadirkan ironi hebat. Masa penggalakan P4 juga masa
pelanggaran Pancasila sekaligus (pelanggaran HAM, KKN, pembatasan
hak berpolitik dan berekspresi, dan teror Petrus). Namun terlepas dari itu
semua, apa yang perlu disoroti ialah tak ada pemerintahan otoriter hari
ini. Pancasila memang “diperalat” orde baru untuk membungkam suara
kritis masyarakat atas penyalahgunaan kekuasaan (Samsuri, 2013).
Menurut Tim Kerja Sosialisasi MPR (2009-2014), ada dua alasan
pentingnya sosialisasi Pancasila. Pertama, faktor dalam negeri, meliputi;
a) lemahnya penghayatan dan pengamalan agama, b) fanatisme
kedaerahan akibat pengabaian pembangunan di masa lalu, c) merosotnya
140 | Miftakhuddin
Jelas sekali, ada relasi kausalitas antara kegagalan ideologi dalam
membangun karakter, dengan tingkat kesejahteraan publik. Semakin
orang Pancasilais, semakin orang itu sejahtera. Sesuai hasil International
Social Survey Programme (ISSP) yang melibatkan 23 negara pada 1995,
dan melibatkan 34 negara pada 2003, bahwa ada korelasi positif antara
semangat kebangsaan dengan tingkat kemakmuran sebuah bangsa
(Cholisin, 2011). Belum terpecahkannya masalah karakter inilah
penyebab Indonesia enggan beranjak dari sistem kapitalis. Padahal,
hubungan Indonesia dengan pendonor (IMF, World Bank, ADB) dan
pemberi pinjaman (seperti; AS, European Union) sudah mendekati
hubungan layaknya pengemis dengan pemberi sedekah (Hadi, 2003).
Sekurang-kurangnya ada dua pandangan kenapa ini bisa terjadi;
pertama, adanya pencampakan Pancasila oleh para elit. Kedua,
munculnya ideologi tandingan (Cholisin, 2011). Pencampakan
maksudnya Pancasila tak lagi mendasari pengambilan kebijakan. Tak
sinkron ketika para elit mengumbar Pancasila, sementara kebijakan yang
diambil tidak representatif pada falsafah Pancasila. Suatu contoh ialah
Kontrak Karya Freeport yang melanggar konstitusi, tepatnya pasal 33
UUD 1945. Ada pula soal penjualan blok Cepu kepada Exxon Mobil,
dan penjualan Indosat kepada Singapura. Sedangkan ideologi tandingan
maksudnya kehadiran gerakan agamis maupun komunis yang hendak
menggeser Pancasila, seperti PKI, DI/TII, dan baru-baru ini ada HTI.
Barangkali para kritikus ada benarnya. Di era ini, kesaktian
Pancasila diuji setelah sekian lama menjadi pedoman pengkondisian
rakyat. Malahan, sebagian pihak menilai Pancasila telah usang dan tak
mungkin berlaku selamanya. Hebatnya, mereka mengajukan konsep
yang monopolis di negara yang pluralis komposisi demografinya. Itulah
mengapa P4 perlu direvitalisasi. Lagi pula jika dicermati konten pasal 1
dan 4 dalam P4, merupakan kekuatan dari implementasi Pancasila.
Bersamanya segala perbedaan dilebur dan dalam satu pandangan.
Harapannya Pancasila dapat meredam, menangkal dan mematikan mata
rantai radikalisme sekaligus mensejahterakan masyarakat. Apalagi pasca
reformasi 1998, masyarakat berubah dari represif ke demokratis. Hanya
saja, kebebasannya disalah-artikan dengan menggunakan hak sebebas-
bebasnya (Saputra, 2017). Era reformasi adalah era kebebasan yang
142 | Miftakhuddin
Kelemahan P4 harus diperbaiki sesuai perkembangan global, nasional,
dan lokal, yang akhirnya mengarah ke kepentingan bangsa.
B. Wawasan Kebangsaan
Wawasan kebangsaan adalah cara suatu bangsa dalam
memahami dirinya. Ada yang mengatasdasarkan etnik atau ras seperti
Nasional-sosialis (Nazi), atas dasar agama (India dan Pakistan), atas
dasar ras-agama seperti (Israel), atas dasar konsep etnis-agama
(Malaysia), dan atas dasar geopolitik, geostrategi, dan pluralitas
(Indonesia). Bagi Indonesia, kompleksitas inilah yang membuat
wawasan kebangsaan harus dimengerti dalam dua dimensi; sebagai
geopolitik dan sebagai geostrategi. Sebagai geopolitik artinya berperan
sebagai konsep persatuan dan kesatuan, sedangkan sebagai geostrategi
artinya berperan sebagai konsep manajemen pembangunan nasional.
Sayangnya, fungsi wawasan nusantara pun mengalami krisis
multidimensional. Dibuktikan oleh disorientasi Pancasila, pergeseran
nilai-nilai etika, infiltrasi kebudayaan luar, melemahnya kemandirian,
dan masuknya paham kontra Pancasila (Samsuri, 2013). Dampaknya,
timbul gejala awal krisis kepercayaan diri (self-confidence crisis) dan
krisis rasa hormat diri (self-esteem crisis). Krisis kepercayaan diri
berupa keraguan mengatasi persoalan-persoalan mendasar, seperti;
kemiskinan, konflik sosial, dan gerakan subversif. Jika pada selanjutnya
bidang politik dan ekonomi juga mendekati krisis ini, maka Indonesia
(nation) sedang di ujung tanduk (Hadi, 2003). Ini amat kontras dengan
tujuan awal sebagaimana Anhar Gonggong (dalam Hadi, 2003), bahwa
founding fathers memproklamirkan kemerdekaan untuk mengubah
sistem feodalistik-kolonialis menjadi modern dan demokratis.
Sejauh ini, lebih dari penyebab umum, disintegrasi tidak melulu
soal kurangnya rasa persatuan. Kadang perlakuan tak adil pemerintah
memicu sikap separatis dengan membawa nama golongan sebagai bukti
adanya keterikatan (primordialis). Sehingga gerakan separatis sebagai
kelirunya pemahaman wawasan kebangsaan terbagi tiga kategori;
pertama, akibat ketidakadilan pemerintahan (OPM, RMS, Riau
42Ada dua faktor penyebab berdirinya GAM. Pertama ialah ideologi peninggalan DI/TII. Kedua
adalah ketidakadilan pemerintahan orde baru di bidang ekonomi.
144 | Miftakhuddin
tidak berhenti pada penolakan, melainkan terus berupaya
mengganti tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan
yang lain. Kaum radikalis berupaya kuat untuk
menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan
yang sudah ada. Ketiga, kuatnya keyakinan radikalis akan
kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa.
C. Pluralitas Masyarakat
Berbeda dengan multikulturalisme yang terfokus pada interaksi
kultural, pluralisme hanya terfokus pada entitas perbedaan (Syaifuddin,
2006). Ada sedikitnya tiga sebab mengapa keanekaragaman budaya itu
ada. Pertama, pembangunan imperium (contoh: imperium Romawi).
Kedua, proses kolonisasi. Pluralistik dengan sebab ini cukup rumit,
sebab kerap terjadi akulturasi dan asimilasi (contoh: Amerika, Australia
dan Kanada). Ketiga, pemersatuan atas dasar kesamaan cita-cita, latar
belakang historis, dan kedekatan budaya/rumpun (contoh: Indonesia,
India, dan Thailand).
Indonesia saja, berdasar sensus tahun 2000, ada 101 suku bangsa
dengan total penduduk 201.092.238 jiwa (Suryadinata, 2003). Ini
membuat Indonesia mempunyai banyak perspektif, tapi juga rentan
perpecahan. Sejauh pluralitas dapat dipahami dan dimaklumi, agaknya
tak jadi soal. Tapi beberapa peristiwa amuk massa adalah bukti kalau
pluralitas dimaknai lain, seperti; kerusuhan Timor-Timur 1985,
Lampung 1989, Rengasdengklok 1997, Makassar 1997, Ambon 1998,
Sampit 2001, dan kerusuhan daerah lainnya. Lebih dari itu, bagi Sudiadi
(2009) pemahaman agama -lah yang lebih dekat dengan semua ini.
Tumbuhnya ormas yang bertindak atas kepentingannya adalah indikator
intoleransi. Apalagi, adanya materi dakwah dengan dalih konsolidasi
umat, yang memacu konflik. Agama hanya pemicu yang sebelumnya
didahului masalah tertentu. Mulai persoalan kecil perebutan lahan parkir
hingga masalah politik. Tampaknya, agama memang “kambing hitam”
atas berbagai persoalan.
Berbeda dengan Sudiadi, Zastrow (2000) menganggap konflik
SARA muncul atas prasangka kalau kehadiran golongan lain
mengancam tatanan yang ajeg. Akhirnya, berkembanglah etnosentrisme,
146 | Miftakhuddin
diperangi layaknya sebuah kesalahan melalui bahasa politik “asas
tunggal”. Heterogenitas seakan dosa dan aib karena akan dilabeli
“pemberontak” atau “subversif”, istilah yang hampir tak pernah muncul
dewasa ini (Abdullah, 2006).
Bahasa Indonesia, misalnya. Adalah benar memposisikan bahasa
Indonesia sebagai pemersatu bangsa lewat alat komunikasi universal.
Tapi bahasa daerah tak boleh dinafikan, apalagi dibiarkan mati perlahan.
Karena di samping bahasa daerah mengandung nilai kesopanan,
pemakaian bahasa Indonesia dapat menghilangkan mode ekspresi
terdalam. Kebijakan bahasa nasional di satu sisi, dan penghapusan
bahasa daerah di sisi lain ialah kekeliruan, karena melahirkan sistem
sosial yang seragam dan mengingkari bahasa daerah yang hierarkis.
Bahasa daerah karam akibat ketiadaan komitmen untuk memelihara
pluralitas dalam bentuk-bentuk yang jelas (Abdullah, 2006).
Tak menutup kemungkinan, bila nanti ada konflik di daerah,
negara seolah menutupi realitas kemajemukan dengan
mengatasnamakan “kesatuan bangsa” atau “stabilitas nasional” (Hanum,
2005). Bagaimanapun juga konflik sosial boleh dikata akibat
pengingkaran atas kemajemukan. Memang benar apa yang dikatakan
para pakar sosiologi Barat; Bhineka Tunggal Ika masih menjadi cita-cita,
belum merupakan suatu realitas. Barangkali Indonesia memang
demikian adanya, pluralistik tanpa pluralisme: perbedaan hanya diakui
tanpa dihormati. Padahal makna pluralisme, menurut (Hanum, 2005),
lebih luas dari sekadar keberagaman. Pluralisme berkenaan dengan hak
hidup kelompok masyarakat, bahkan punya implikasi politis, sosial dan
ekonomi yang memenuhi prinsip-prinsip demokrasi. Sementara menurut
Rahman (dalam Deniawati, 2014),
Pluralisme membangun toleransi. Karenanya pluralisme
bukan actual plurality yang justru menggambarkan kesan
fragmentasi, bukan juga lawan fanatisme, melainkan
pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban
(genuine engangement of diversity within the bonds of
civility).
Lantas, model multikulturalisme seperti apa yang cocok untuk
Indonesia?. Sejauh pengamatan penulis mempelajari naskah publikasi,
148 | Miftakhuddin
Bilamana menentukan satu model untuk Indonesia, hendaknya
didasarkan pada kondisi obyektif, seperti; geografis, diversitas etnis,
agama, kesenjangan kelas sosial, proyeksi masa depan, dan arus besar
(mainstream) politik dan ekonomi global. Model multikulturalisme
harus menjadi bentuk sosio-kultural adaptif yang sesuai kompleksitas
problem masyarakat. Model pertama jelas tak relevan, sebab sejak
sebelum dikenal istilah multikulturalisme, Nusantara mengenal Bhinneka
Tunggal Ika. Model kedua juga tak mungkin, sebab persoalan rasial
sesungguhnya tak dominan. Kalaupun ras Cina sempat mengemuka di
abad 20, itu lebih kepada urusan ekonomi-politik, bukan dalam
pengertian nasionalitas-etnik Jerman. Lagi pula, beberapa kebijakan
seperti asimilasi tahun 1960-an justeru menunjukkan negara ingin
mendekatkan etnik Cina dengan pribumi. Seolah aklamasi, tampaknya
model ketiga -lah yang paling pas. Sebab eksistensi segala etnis beserta
haknya diakomodasi negara. Sesuai dengan rasionalitas pentingnya UU
Otoda No. 22 tahun 1999 menurut Abdullah (2006); (i) model
pembangunan telah bergeser ke desentralisasi, sehingga tiap daerah
boleh berkompetisi dan membuka diri; (ii) ide multikulturalisme dan
otoda merupakan redefinisi atas sentralisasi yang sebelumnya gagal; (iii)
dalam hubungan vertikal, pemerintah menjadi fasilitator atas ekspresi
kebudayaan, tanpa melihat asal etnis.
Jika multikulturalisme di atas sukses, maka Indonesia bakal
seperti Amerika, yang bahkan lebih majemuk. Pengalaman Amerika,
sebagaimana Harahap (2006), semula warganya diintegrasikan dengan
teori Melting-Pot dan teori Salad-Bowl, tapi keduanya gagal. Melting-
Pot menyatukan seluruh budaya dengan peleburan jadi satu (asimilasi),
sedangkan Salad-Bowl mengakulturasinya. Setelah mengenal
multikulturalisme, keduanya dikoreksi dengan; 1) membuka ruang
publik untuk seluruh etnis guna mengekspresikan diri dalam tatanan
budaya bersama, dan membuka ruang privat untuk tiap etnis
mengekspresikan budayanya secara leluasa, 2) membangun kebanggaan
sebagai satu bangsa dan satu negara, 3) menghargai hak-hak sipil, dan
hak-hak kelompok minoritas. Harapannya, orang-orang terkondisi hidup
secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur (Suparlan,
2005). Individu dilihat sebagai refleksi kesatuan sosial-budaya. Sehingga
D. Ketergantungan Publik
Ketergantungan bukan hanya karena krisis ekonomi, tapi
kelimpahan materi yang tak merata membuat kapitalis dapat “bermain”.
Sehingga terjadi ketergantungan yang tak seimbang dan menimbulkan
kepatuhan dari kalangan bawah (Martin, 1995). Liberalisme, kemiskinan
dan ketergantungan ialah fenomena yang pasti terjadi di semua negara
berkembang, ditambah lagi pengaruh globalisasi dan hutang luar negeri
yang membuat kran ketergantungan terbuka kian lebar (Sholeh, 2011).
Adam Smith pernah mengingatkan, masalah ekonomi hanya
terselesaikan dengan mekanisme pasar, di mana keseimbangan
penawaran dan permintaan akan terwujud melalui pasar persaingan
sempurna. Teori ini menilai peran pemerintah tak diperlukan, karena
menyebabkan perekonomian mengalami distorsi dan inefisiensi. Tapi
faktanya, individu dengan motifnya masing-masing lebih sering
melakukan cara non produktif. Sehingga tiada pasar yang efisien selama
keseimbangan pelaku pasar belum tercapai. Sebab liberalisme
memunculkan persoalan baru, seperti; kemiskinan, keterbelakangan,
pengangguran, disruption, disparitas pendapatan, dan ketergantungan.
Praktis, persoalan ekonomi merembet ke persoalan struktur politik.
Lingkup ASEAN, misalnya. Karena terdiri atas negara serumpun
harusnya jenis kebutuhan tak jauh beda. Tapi Indonesia butuh impor
plastik/barang plastik dan mesin/pesawat mekanik dari sesama Dunia
Ketiga, seperti; Malaysia dan Thailand.
Pola perdagangan semacam ini akan selalu ada, sekalipun
Indonesia kaya. Apalagi, adanya warisan hutang tiap tahun. Nah, WTO,
APEC, ASEAN Community, dan lainnya itulah yang kemudian menjadi
ajang pencarian laba. Pemerintah dalam hal ini agaknya berada di posisi
“maju kena mundur kena”. Utang luar negeri seolah dapat terlunasi
dengan mengizinkan penambangan, perdagangan, dan hubungan
kapitalis lainnya. Harapannya pajak perizinan akan mendatangkan
150 | Miftakhuddin
manfaat bagi rakyat, meski mau tak mau, sembari “memberi makan”
rakyat, negara harus pasrah. Nafis (2008) dalam tesisnya soal penerapan
konsensus Washington untuk kebijakan ekonomi-politik Indonesia,
menyatakan utang luar negeri adalah masalah ekonomi, sosial dan
politik sekaligus, yang produk akhirnya berupa reproduksi kapital.
Oleh sebab itu meski orang menuding negara tak becus mengatur
rumah tangga sendiri, tak lantas membuat pemerintah menghentikan
hubungan bilateral kecuali stabilitas ekonomi telah kondusif. Barangkali,
inilah yang dimaksud Sholeh (2011) sebagai penyesuaian proteksionis,
maupun langkah perubahan tata ekonomi dan tata sosial sebagai
paradigma ekonomi baru. Berkaca pada negara maju, Jepang misalnya.
Mengapa meski impor ia bisa menekan ketergantungannya? Jika karena
Jepang terlajur maju dengan modal dan tenaga ahli, dan hipotesis itu
dihadapkan teori ketergantungan (dependency theory), maka itu bisa
diterima. Namun ada asumsi lain bahwa neoimperial menyedot surplus
dari negara pinggiran (berkembang) ke negara pusat (maju). Akibat
pengalihan ini, negara pinggiran kehilangan surplus pokok. Praktis, di
satu tempat proses ini melahirkan pembangunan, dan di tempat lain
melahirkan keterbelakangan.
Kemiskinan dan keterbelakangan bukan faktor kultural dan
struktural yang primitif, melainkan invasi negara maju ke negara
berkembang. Negara Dunia Ketiga (pheriphery) hanya bisa lepas dari
kondisi itu jika mampu secara selektif, dan terencana membangun
hubungan dengan kapitalis (Amien, 2005). Lihat B.J Habibie sebelum
diangkat wapres. Ia bekerja untuk Jerman karena ilmunya kurang
terakomodir, atau mungkin “terlalu berharga” bagi Indonesia. Persepsi
awam kadang menilai nasionalisme Habibie rendah, sedang lainnya
menilai Habibie bernasib naas. Padahal, itu sesuai arus utama
neoimperialis; menciptakan pembangunan di Jerman, dan
keterbelakangan di Indonesia.
Sebagaimana Indonesia, negara-negara Amerika Latin pun
demikian; bergantung pada AS. Raul Prebisch yang melakukan riset
sebagai tugas dari PBB menemukan penyebab kemiskinan dan
ketergantungan ialah eksploitasi pihak asing akibat hubungan ekonomi
yang tak adil. Kemiskinan dan keterbelakangan di negara berkembang
152 | Miftakhuddin
kapasitas 1,3 juta barel per hari. Sementara Indonesia hanya 800.000
barel per hari untuk 240 juta penduduk (Perdana, 2015).
Mengutip dari Detik Finance edisi Selasa 11 Februari 2014,
Perdana menegaskan sepanjang 2013 Indonesia juga impor dari
Malaysia senilai US$ 6,4 miliar, Kuwait senilai US$ 906 juta, dan
negara lain seperti; Arab, Qatar, Korea Selatan, Uni Emirat Arab,
Taiwan, China, bahkan Rusia. Saking tingginya ketergantungan itu,
mantan Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo mengatakan
Indonesia akan tumbang jika lima hari saja Malaysia dan Singapura
tidak ekspor minyak. Berkat kilangnya, Singapura kaya dengan membeli
bahan baku murah dan menjualnya dalam barang jadi dengan harga
mahal. Jelaslah Singapura maju bukan dalam pertambangan, tapi dalam
pengolahan.
Kondisi faktual ini, otomatis mempertegas teori keunggulan
komparatif para ekonom klasik. Bahwa setiap negara bersaing dengan
keunggulannya masing-masing. Hanya saja dalam hubungan center dan
perifer, terjadi defisit pada neraca pengekspor bahan mentah. Efek
lanjutannya tentu gerak ekonominya melambat, bahkan terhenti. Inilah
sebab tersusunnya struktur ketergantungan yang menghambat
pertumbuhan ekonomi negara pinggiran. Di samping itu, mereka dipaksa
menghasilkan komoditas primer untuk diekspor. Harga jualnya pun
rendah karena yang diekspor adalah barang primer (mentah).
Mengacu diagram Sholeh (2011), dapat disimpulkan pola relasi
eksploitasi center terhadap perifer, yang digambarkan dalam skema
berikut.
Periferi
Periferi Periferi
Periferi Periferi
Periferi
Gambar: Pola relasi eksploitasi dan ketergantungan antara center dan
perifer.
154 | Miftakhuddin
Menurut teori di atas, membangun berarti meleburkan diri dalam
kegiatan ekonomi, sebab tiap negara pasti saling tergantung. Namun
begitu, perekonomian kapitalis jelas tak akan setuju, mengingat
mekanisme kapitalis ialah pemusatan modal dan meminimkan
pengeluaran demi pendapatan maksimum. Implikasinya,
keterbelakangan yang meski perekonomiannya merangkak naik di
kapitalisasi pasar bebas, membawa kerusakan lingkungan akibat
eksploitasi berlebih. Straihm melalui bukunya Kemiskinan di Dunia
Ketiga (1999), menggambarkan 42% hutan tropis sebelum era kolonial
rusak tanpa perbaikan. Di Afrika Barat dan Timur 72%, di Amerika
Tengah dan Selatan 37%. Di Asia Selatan 63%, dan di Asia Tenggara
38%, disusul kebakaran hutan di Borneo dan konversi lahan. Sejalan
dengan pandangan umum, Amien (2005) menawarkan cara menghapus
kemiskinan dan keterbelakangan melalui pemutusan kontak relasional
dengan negara maju. Proses pembangunan harus secara mandiri tanpa
bantuan investasi asing. Inipun didukung Presbich bahwa negara
terbelakang jika ingin maju harus melakukan industrialisasi, terutama
terhadap barang substitusi impor dan harus pemerintah berupa
pemberian subsidi (Sholeh, 2011).
E. Konklusi
Boleh dibilang tiap sub bab di atas ialah indikasi
neokolonialisme. Mulai ideologi, wawasan kebangsaan yang keliru,
kurang terakomodirnya pluralitas, hingga tingginya ketergantungan yang
sulit diurai. Tidak heran jika solidaritas pun melemah. Jajak pendapat
sebagaimana dimuat Kompas dan hasil survei UIN Syarif Hidayatullah
telah membuktikan dengan data numerik. Jumlah yang selalu >50%
menandakan kerendahan nasionalisme, dan tingginya primordialisme
islamik. Padahal, Indonesia bukan negara islam, tapi hanya negara yang
mayoritas penduduknya islam. Hanya karena hukum Indonesia adopsi
Hindia Belanda, bukan berarti hukum islam dapat menggantinya begitu
saja.
Jangan lupa, penjajah menguasai Nusantara memakai devide et
impera. Mereka menebar isu murahan dan janji bantuan. Bisa jadi akan
terulang lagi, terlebih ketergantungan publik amat mengkhawatirkan,
156 | Miftakhuddin
memicu swasembada beras tahun 1984. Namun revolusi hijau
menguntungkan petani bertanah luas. Produksi naik, tapi pendapatan
turun akibat mahalnya input pertanian. Term of trade petani pun turun
dan distribusi pendapatan makin timpang. 3) Liberalisasi pertanian oleh
IMF dan WTO, ditandai bebas masuknya produk pertanian beras, gula,
jagung, dan buah yang memberatkan petani. Liberalisasi ini
menguntungkan korporat besar penguasa input pertanian (benih, pupuk,
dan obat-obatan).
Rupanya, ungkapan Soekarno soal neokolim masih relevan
setelah lebih dari 50 tahun. Sebagaimana ditegaskan Mubyarto (2006),
Soekarno tahun 1955 berapi-api mengatakan colonialism has also its
modern dress in the form of economic control, intellectual control, (and)
actual physical control by a small but alien community within a nation.
Mubyarto juga mempertanyakan jika kita sadar kolonialisme belum
mati, berapa banyak di antara kita yang berani mengakui kenapa kita
membiarkan proses “rekolonisasi”? Apa sebab kaum cendekiawan
banyak tak menyadari bahaya penjajahan intelektual ini? Presiden
sekarang tak mungkin bicara lantang seperti Bung Karno, sebab
Indonesia telah di cengkeramkekuasaan global (global empire)
berbentuk “corporatocracy”, yang menjadi sumber utang. Ia meyakini,
satu-satunya sikap yang harus dikembangkan adalah rasa percaya diri.
Jika Francis Fukuyama menggaungkan pentingnya kepercayaan (trust)
bagi perkembangan taraf kehidupan yang dinamis, Indonesia harus
saling percaya sebagai bangsa, bukan malah percaya pada negara
adikuasa. Ego kedaerahan harus dipinggirkan demi membela
kepentingan nasional.
158 | Miftakhuddin
Day, postkolonial merujuk pada kehidupan masyarakat pascakolonial
tetapi dalam pengertian lebih luas. Wijanarko (2008) pun dengan
bersandar pada professor teologi di Universitas Drew, C. Keller,
menyatakan istilah post yang dimaknai sebagai sesudah adalah keliru,
sebab maknanya melampaui. Menurutnya, banyak orang jatuh pada
pengertian yang salah saat mengasosiasikan terminus “post” dengan
berakhirnya kolonial. Keller menegaskan, ‘Post’ in this discourse never
means simply ‘after’ but also ‘beyond’- as an ethical intention and
direction. Pascakolonialisme ialah pandangan atas peristiwa yang hadir
sesudah periodisasi kolonial. Tapi postkolonialisme ialah teori yang
tidak semua orang setuju, lebih-lebih mengerti tentang postkolonialisme.
Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” (Nurhadi, dkk.,
2011). Ini berarti studi postkolonial hadir sebagai respons dari
fenomena pasca kolonial representatif.
Maka sasaran postkolonialisme adalah kondisi daerah yang
pernah terkolonisasi maupun masyarakat yang dibayangi pengalaman
kolonialisme. Maka kritik postkolonialisme adalah strategi mengkaji
konfrontasi dalam proses kolonialisme lalu memproyeksikannya pada
kehidupan masyarakat pasca koloniali. Makannya, postkolonialisme
menitikberatkan perhatiannya untuk menganalisis apa-apa saja yang
terjadi pada era kolonial, bagaimana dampaknya, dan membangkitkan
kesadaran bahwa penjajahan juga berbentuk psikis-kultural.
Melalui kesadaran itu lalu muncul kesadaran lain bahwa masih
banyak yang perlu dilakukan, seperti; memerangi neoimperialisme,
orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni lain. Baik
material maupun spiritual, baik dari bangsa asing maupun bangsa sendiri
(Hidayati, 2008). Adapun tema-tema yang dikaji amat kompleks
meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan. Ratna (2004) mengurainya
satu persatu, menjadi; politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah,
antropologi, ekonomi, kesenian, etnisitas, bahasa, sastra sekaligus
dengan bentuk praktik di lapangan, seperti: perbudakan, transmigrasi,
pemaksaan bahasa, dan berbagai invansi kultural lain.
Postkolonial lahir untuk menggugat konstruksi kolonial yang
menindas kaum marjinal, yang melahirkan rasisme, yang membuat
hubungan kekuasaan tak seimbang, yang menimbulkan budaya
160 | Miftakhuddin
Kedua adalah identitas. Pendekatan postkolonialisme berpusat
pada kategorisasi yang menunjukkan Barat dan Timur, Utara dan
Selatan, kulit hitam dan kulit putih, serta penjajah (colonizer) dan
terjajah (colonized ). Adapun perlawanan (resistance), adalah upaya
memperjuangkan kesetaraan dari pihak terjajah. Postkolonialisme lalu
mendekonstruksi wacana yang terstruktur oleh Barat, termasuk
pemetaan politik dan kekuasaan.
Boleh dikatakan, teori postkolonial ialah pisau analisis
penggugat nekolim yang melahirkan kehidupan rasisme, ketimpangan
politik, dan subalternitas (Angkasa, 2015). Sebagaimana Rohman
(2009), postkolonialisme menjadi strategi politis-teoritis untuk
membongkar hegemoni Barat. Ia berusaha menyingkap hubungan antara
persoalan yang ada saat ini dengan pengalaman kolonialnya. Ini
sebenarnya telah dimulai sejak Edward Said, menerbitkan bukunya
Orientalism (1978) yang berisi perspektif Barat terhadap Timur.
Nurhadi, dkk (2011) menambahkan, ada juga buku Said yang lain
seperti; Covering Islam (1981) dan Culture and Imperialism (1993) yang
merupakan sekuel dari Orientalisme. Ada juga The Empire Writes Back
(1989) suntingan Bill Ashcroft, Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin yang
sering dirujuk dalam pembahasan teori poskolonial.
Ringkasnya, postkolonialisme lahir sebagai respons golongan
pembela kaum marjinal atas upaya rekonstruksi hegemoni Barat melalui
propaganda dan karya sastra. Sebab di bekas jajahan, kolonialisme dan
imperialisme menyisakan persoalan tidak hanya material dan moral, tapi
degradasi mentalitas dan persoalan sosial-budaya lainnya. Widyaresmi
(2012), dalam tugas akhirnya di Ilmu Filsafat UI, memberi gambaran
operasional soal mentalitas terjajah. Bahwa kebiasaan duduk di deretan
bangku belakang adalah kebiasaan masa penjajahan Belanda. Di mana
saat itu, penduduk pribumi (inlander), digolongkan kelas ketiga setelah
Belanda dan pendatang Asia. Sebagai kasta terendah, pada setiap
pertemuan ada aturan tak tertulis, pribumi harus duduk paling belakang
karena dianggap bukan tamu penting dan tak punya kepentingan suara.
Inlander adalah sebutan yang diberikan Belanda. Mental
inlander ini ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai
sebuah bangsa. Memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju.
162 | Miftakhuddin
Secara sederhana, perselisihan antara Barat dan Timur dapat
dicermati melalui penjelasan berikut; kajian postkolonial cenderung
memakai argumentasi yang terposisi pada dua kutub, atau bisa juga
disebut sebagai oposisi biner. Oposisi biner adalah sistem berpikir yang
membagi dunia ke dua kategori berbeda secara diametral. Sesuatu
dimasukkan kategori X karena ia bukan kategori B. Sesuatu dikatakan
benar kalau ia tidak salah. Seperti dikemukakan Lubis (dalam Kusmarni,
2010), bagi pemikiran oposisi biner, seseorang hanya dihadapkan pada
salah satu pilihan “ini” atau “itu” sebagai salah satu yang dinyatakan
benar. Misal; Timur dan Barat, diri sendiri (self) dan orang lain (the
other), subyektivitas dan obyektivitas, masa kini versus masa lalu,
subyek dan obyek, dan seterusnya.
Model berpikir oposisi biner menempatkan kedudukan Barat,
penjajah, self, dan subyek, dan seterusnya dianggap memiliki posisi
unggul ketimbang dengan kedudukan Timur, terjajah, orang lain, obyek,
dan seterusnya. Sementara itu, hubungan penjajah-terjajah/atau bekas
jajahan adalah hubungan hegemonis. Penjajah sebagai kelompok
superior atas pihak terjajah yang inferior, dan dari hubungan ini
kemudian muncullah apa yang disebut dominasi dan subordinasi.
Kemudian dari pola hubungan seperti ini muncul lagi gambaran-
gambaran tak mengenakkan tentang pihak terjajah sebagai kelompok
masyarakat barbar, tidak beradab, bodoh, aneh, mistis, tidak rasional dan
lain sebagainya.
Nah, saat penggiat postkolonial berusaha mendekonstruksi
(membongkar) pandangan oposisi biner itu, Edward Said adalah tokoh
yang paling menonjol dalam menolak skema oposisi biner tersebut. Ia
ingin membubarkan sikap konservatif pada doktrin awal. Menurutnya,
pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum orientalis) yang
merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai
konstruksi sosial-budaya tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan
mereka, yang didorong motif-motif kekuasaan yang buas. Karena itu,
pandangan dan teori yang dihasilkannya tidak sekadar kajian akademis
yang netral dan obyektif, melainkan dimotifi hasrat politik prasangka
atau rekayasa sosial-budaya. Bahkan lebih dari itu, soal kesenjangan
164 | Miftakhuddin
objektif terhadap permasalahan dalam hubungan historis Barat dan
Timur. Istilah itu dipopulerkan Hasan Hanafi, tapi ada oksidentalis-
oksidentalis Barat seperti Nietzsche, Scheller, Husserl, Bergson, Hazard
dan lain-lain yang mengkritik Barat dengan istilahnya masing-masing.
Hanafi beranggapan, kritik Barat atas Barat sendiri dibutuhkan sebagai
sarana mengkritik dan melihat krisis yang dialami Barat. Sehingga
Hanafi menggagas Oksidentalisme untuk melihat Barat dari perspektif
non-Barat, yakni Timur.
Secara objektif dari pihak Timur sendiri, gagasan oksidentalisme
muncul akibat adanya ketidakseimbangan antara Barat dan Timur yang
didorong motif-motif kekuasaan Barat, sehingga melahirkan gerakan
pemikir dunia Timur yang menginginkan kedekatan relasional yang
seimbang antara Barat dan Timur. Oleh sebab itu, oksidentalisme hadir
untuk menjadikan menjadikan Barat sebagai the other yang diselidiki
ego Timur.
B. Tokoh-Tokoh Post-Kolonial
Bilamana dikaitkan teori postrukturalisme lain, studi postkolonial
tergolong relatif baru, sehingga banyak tanggapan muncul tentang teori
ini. Makannya cukup sulit menentukan secara pasti kapan sebenarnya
teori ini lahir. Di dunia Anglo-Amerika postkolonialisme dirintis
Edward Said. Pertama kali dikemukakan tahun 1978 melalui bukunya
berjudul Orientalism (Hidayati, 2008). Sebagimana telah disinggung
sebelumnya, dalam perspektif postkolonialisme Said tidak sendiri, di
belakangnya ada ilmuwan lain yang menyumbangkan pemikirannya,
seperti; Homi K. Bhabha, Gayatri C. Spivak dan Frantz Fanon dengan
masing-masing gagasan khasnya. Said dengan orentalisme, Spivak
dengan subalternitas, dan Bhabha dengan hibriditas, mimikri dan
ambivalensi.
Edward Said adalah seorang Arab-Palestin kelahiran Jerussalem
(saat itu masih dikuasai Britania) pada 1935. Sebagai anak dari saudagar
Arab ia pernah bersekolah di Victoria College di Kairo yang kala itu
merupakan sekolah elit di Timur Tengah. Ia kemudian pindah ke
Massachusets pada usia 15 tahun dan menjadi warga Amerika pada usia
18 tahun. Ia belajar sastra, musik dan filsafat di Princeton selama satu
Sumber: wikimedia.org
166 | Miftakhuddin
payung PLO, suatu organisasi pembebasan Palestina. Namun karena lobi
internasional lemah, tahun 1980 Said mengkampanyekan hak bangsa
Palestina melalui sejumlah jurnal, surat kabar, radio dan televisi. Ia
menulis tentang self-determination atau hak-hak untuk menentukan
nasib sendiri bagi rakyat Palestina (Dahlan, dalam Kusmarni: 2010).
Said menggunakan “media massa” dan “penjajah” sebagai landasan
faktual dan historis dalam objek studinya. Oleh sebab itulah dalam
membaca karyanya -termasuk orientalisme-, pembaca dituntut memilih
berpihak kepada apa yang diperjuangkannya atau tidak membaca sama
sekali (Kusmarni, 2010). Partha Chatterjee, sejarawan postkolonial India
(dalam Gandhi, 2001) mengemukakan:
“Saya akan selalu ingat pada hari saya membaca
Orientalisme… Bagi saya, arah dari satu perjuangan
antikolonial yang berhasil. Orientalisme mengisahkan
tentang hal-hal yang saya rasa sudah tahu semua
sebelumnya, tetapi tidak dapat menemukan kata-kata
untuk merumuskannya dengan tepat. Seperti buku-buku
hebat lainnya, buku ini kelihatannya mengatakan padaku
untuk pertama kalinya tentang apa yang orang selalu ingin
katakan.”
168 | Miftakhuddin
Argumentasi Said adalah kekuasaan imprealisme Barat selalu
menghadapi perlawanan.
Sejalan dengan itu, Utami (2012) juga mengakui bahwa
pemikiran kritis Said soal teori postkolonial telah membuka cakrawala
pemikiran yang amat luas, sehingga membawa implikasi pada
perlawanan atas wacana-wacana yang dikembangkan Barat. Sebab
dengan adanya wacana postkolonial, muncul suatu kesadaran yang
dipicu berlangsungnya kolonialisme pada ranah tertentu, khususnya
ranah ideologi. Sebab meski penaklukan fisik telah usang, tapi
penjajahan pikiran, jiwa dan budaya masih cukup trendy
(neokolonialisme). Penjajahan pikiran (colonizing mind) merupakan
senjata utama kalangan bekas penjajah (Barat) untuk membuat bangsa
terjajah tetap tunduk dalam kekuasaan, yang menjelma dalam bentuk
lain.
Said meneliti juga adanya saling ketergantungan antara wilayah-
wilayah kultural (budaya) di mana kaum terjajah dan kaum penjajah
hidup bersama, karena budaya Timur maupun Barat sesungguhnya
bukan budaya yang ada begitu saja. Keduanya hasil perjuangan dan
konstruksi manusia. Ia membuktikan teks budaya tidak pernah otonom,
tetapi sarat dengan nilai-nilai ideologis dan kepentingan tertentu.
Edward Said sendiri tidak mengkonstruksi Timur sebagai paradigma
alternatif, ia sangat tegas mendestruksi rezim-rezim lama (orientalis),
akan tetapi tidak mengonstruksi paradigma atau rezim baru
(postkolonial) sebagai alternatifnya. Kritik Said terlalu menekankan
kepasifan penduduk pribumi (terjajah) serta tidak memperhitungkan
bagaimana cara-cara masyarakat lokal dan etnis Timur menggunakan,
memanipulasi dan mengkonstruksi respons-respons positifnya sendiri
dalam menentang kolonialisme menggunakan konsep-konsep orientalis
sendiri (Kusmarni, 2010).
Padahal, kalangan Timur sebenarnya memiliki cara-cara sendiri
untuk “membaca” kondisi penjajahan. Problem utama masyarakat
terjajah adalah persoalan emansipasi dan peningkatan martabat agar
pribumi setara dengan kaum penjajah. Maka dari itu, salah satu cara
ditempuh ialah hibriditas, yang diwujudkan dengan mimikri atau
peniruan. Gagasan soal hibriditas (mimikri) ini dipopulerkan guru besar
45Homi K. Bhabha kelahiran tahun 1949, adalah profesor sastra Amerika dan Inggris sekaligus
direktur Pusat Studi Kemanusiaan di Universitas Hardvard. Sebagai tokoh dalam disiplin
postkolonial, sumbangannya dalam literatur tampak pada penciptaan istilah-istilah dan konsep-
konsep baru, yang menggambarkan masyarakat yang menolak diskriminasi, penindasan dan
penjajahan (Huddart, 2006).
170 | Miftakhuddin
penjajah. Penyelarasan diri dengan identitas penjajah justru bermaksud
memalingkan wajah dari kuasa penjajahan. Ini adalah wahana survival
sekaligus resistensi. Beginilah cara Bhabha menolak oposisi biner, yakni
dengan mengusulkan mimikri sebagai “ruang ketiga” dalam oposisi
biner antara penjajah dengan terjajah. Boleh dikata, ruang ketiga ini
adalah alternatif menghindari ketegangan antara identitas penjajah dan
terjajah sebagai suatu identitas yang ajeg dan senantiasa stabil (mapan).
Ruang tersebut adalah ruang negosiasi di mana identitas dan
budaya diartikulasikan sehingga melahirkan kemungkinan baru dalam
melihat budaya atau identitas. Konsep ini digunakan untuk
menggambarkan bergabungnya dua bentuk yang memunculkan sifat-
sifat tertentu dari masing-masing bentuk, dan sekaligus meniadakan
sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya (akulturasi). Artinya, hasil
dari penggabungan ini malah menghasilkan budaya baru yang serupa
tapi tak sama. Hibriditas menunjukkan adanya sifat yang “saling
melengkapi” antara budaya yang berkuasa dengan yang dikuasai.
Gambar: Homi Bhabha
Sumber: reado.in
172 | Miftakhuddin
prosesnya berupa peniruan, mimikri berproses sebagai akibat adanya
diferensiasi identitas penjajah dengan pribumi. Pengkoloni melakukan
penaklukan yang kemudian berpengaruh pada pribumi, terutama pribumi
yang mengalami proses pendidikan gaya penjajah. Sebagai contoh,
mimikri penduduk Indonesia atas penjajahan Belanda yang lebih banyak
melalui gaya hidup, di mana menurut Bhabha merupakan hasrat
masyarakat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kepada
kemajuan dan menempatkan diri setara dengan penjajah.
Perlawanan melalui peniruan ini merupakan strategi untuk
menghadapi penjajah agar memperoleh peningkatan dan penyetaraan
martabat, yang mana cara mencapainya memerlukan representasi subjek,
yakni pengkoloni (Bhabha, 1994). Hanya dengan kesetaraan derajat di
kedua belah pihak, tidak ada lagi perlakuan diskriminatif. Golongan
bangsawan Indonesia misalnya, yang mengikuti pendidikan di sekolah
Belanda. Aspek gaya hidup, regenerasi pendidikan dan lain-lain yang
ditampakkan mencerminkan budaya baru yang bukan Indonesia dan
bukan Belanda, namun tetap mengandung unsur-unsur kebudayaan
keduanya.
Percepatan pendidikan ala Barat ini merupakan agenda
modernisasi dan westernisasi melalui poitik etis. Melalui pengajaran
kepada kaum bangsawan Indonesia, maka kaum bangsawan itu akan
menjadi rekan bagi “kita” (Belanda) dalam kehidupan sosial dan budaya.
Sementara alasan kenapa targetnya adalah bangsawan, karena orang-
orang Jawa, khususnya para priyayi atau aristokrat tradisional, memiliki
peran sentral. Mereka target yang paling mungkin dibentuk menjadi
kelompok warga Hindia yang termodernisasi dan terwesternisasi.
Hubungan seperti inilah yang menutup gap antara penjajah dengan
terjajah, dan menghasilkan sesuatu yang baru. Suatu contoh untuk
dinamika ini ialah, pemakaian jas (beskap) yang berasal dari Barat
dikombinasi dengan jarik yang menjadi seragam resmi di kalangan
priyayi Jawa.
Strategi itu, karena bersifat “saling melengkapi”, maka sedikit-
banyak juga bermanfaat bagi keduanya, yaitu kesempatan untuk survive.
Pengkoloni bertahan sebagai penjajah dan menghindari
pengusiran/pemberontakan, sementara pribumi bertahan sebagai terjajah
174 | Miftakhuddin
keluarga bersikap ganda. Artinya, saat keputusan itu diambil dengan
imbalan peningkatan income sebagai nyai, di saat bersamaan ia dikecam
dan dianggap aib, sebab kedudukan nyai dianggap sama dengan pelacur.
Terlepas dari makian yang ia dapat, sesungguhnya kehidupan sebagai
nyai merupakan sarana untuk survive. Melalui statusnya dia memperoleh
simbol ke-ningrat-an Barat berupa; tingginya status dan atribut
kehormatan Barat. Sebaliknya, pihak penjajah dapat memanfaatkan nyai
untuk menggali informasi tentang kehidupan sosial dan budaya pribumi.
Kolonisasi sebagai historical context memang tak lepas dari
pertumpahan darah, tapi jangan diacuhkan bahwa dalam kolonisasi juga
terjadi proses lain dalam aspek budaya, agama, pendidikan dan lainnya.
Melihat alasan yang mendasari fenomena budak rumahan di Amerika
dan fenomena perempuan nyai Belanda di Nusantara, membuat penulis
cukup berani mengatakan kalau dalam pandangan postkolonialisme versi
Bhabha (mimikri), rupanya kelunturan tradisi dan budaya pribumi tidak
disebabkan lemahnya dan tidak teguhnya jati diri dalam setiap individu,
melainkan pribumi sengaja membuang dan menggantikannya dengan
budaya dan tradisi pengkoloni. Mereka tak punya pilihan lain untuk
mendapatkan haknya untuk hidup dan mempertahankan eksistensinya.
Akulturasi dengan budaya pengkoloni adalah opsi terakhir. Praktis,
bukan budaya pribumi yang didoktrinasi budaya asing, melainkan
pribumi yang sengaja memoles budayanya agar setara dengan asing.
Tentu saja keputusan ini dalam rangka mempertahankan eksistensi dan
emansipasi sebagai manusia (kesetaraan). Lagi pula, nasionalisme belum
begitu populer kala itu.
Sebagai bukti lain, lihat saja potret penampilan militer keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, yang menggabungkan unsur Jawa dengan
kolonial Belanda. Bagi konstruksi orientalisme dan studi kolonialisme,
hal ini dihakimi sebagai ketundukan kaum terjajah kepada dominasi
budaya penjajah, sedangkan menurut perspektif si penjajah (Belanda),
itu adalah tanda “kedangkalan” budaya. Tapi bagi Homi Bhabha, hal ini
justeru bentuk manifest dari transformasi budaya melalui ruang ketiga
yang tercipta dari hubungan keduanya oleh si terjajah. Alih-alih
memperhadapkan keduanya dalam posisi saling bertentangan,
pascakolonial Bhabha menunjukkan kelicinan kaum terjajah dalam
176 | Miftakhuddin
recalcitrance which coheres the dominant strategic
function of colonial power, intensifies surveillance, and
poses an immanent threat to both “normalized”
knowledges and disciplinary powers.
46 Dalam konteks lain dan non-hegemonik, ketika emansipasi perempuan telah diraih, LGBT
merupakan “pendatang baru” yang langsung menjadi kaum marginal karena tersisih secara
sosial dari ranah publik.
47 Hegemoni adalah konsep yang menjelaskan soal “penguasaan” tiran atau elite terhadap
mereka yang lemah. Konsep ini dipopulerkan pemikir Italia, Antonio Gramsci. Makanya, setiap
pakar yang membahas imperialisme, kolonialisme dan feodalisme, sedikit banyak merujuk pada
gagasan Gramsci soal hegemoni.
48 Gayatri Spivak lahir tahun 1924 di Calcutta, India. Saat kelahirannya, India sedang mengalami
kelaparan semu, tepatnya lima tahun menjelang kemerdekaan India dari penjajahan Inggris. Ia
termasuk generasi intelektual pertama India pasca kemerdekaan. Sedangkan nama Spivak ia
dapat dari mantan suaminya, Talbot Spivak, seorang novelis berkebangsaan Amerika. Spivak
menyelesaikan studi Sastra Inggris di Universitas Calcutta pada 1959 dan melanjutkan ke
Universitas Cornell, Amerika, sehingga memperoleh gelar MA dan Ph.D dibidang yang sama
(Masduki, 2007). Meski begitu, ia tak mau disebut orang Amerika maupun India, ia bahkan tak
mau diberi label filsuf. Ia menganggap dirinya sebagai kritikus sastra.
178 | Miftakhuddin
kelompok sosial subordinat, yakni kelompok masyarakat kelas inferior
yang menjadi subyek hegemoni kelas-kelas berkuasa. Petani, buruh, dan
kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses kepada kekuasaan
“hegemonik” bisa disebut sebagai kelas subaltern.
Istilah itu kemudian diadopsi pertama kali oleh Ranajit Guha,
sejarawan India, ketika menuliskan kembali sejarah India dalam On
Some Aspects of the Historiography of Colonial India (1982). Ia
mendefinisikan subaltern sebagai mereka yang bukan elite. Guha
memberi penjelasan lebih menarik dengan mempertegas siapa kawan
dan siapa lawan. Sebab dalam gagasannya, ia menggeser dikotomi
menindas-ditindas yang berorientasi pada kolonial-antikolonial
(pribumi). Ia mengungkap penindasan rupanya tidak hanya dari luar,
melainkan juga dari dalam kelompok tertindas. Ia mengubah dikotomi
“menindas-ditindas”, menjadi “elite-subaltern”. Kata elite dalam
kerangka pikirannya adalah kelompok dominan baik pribumi maupun
asing. Asing adalah pejabat Inggris, dan elite pribumi dibagi dua, yakni
mereka yang di tingkat nasional (tuan feodal dan pegawai pemerintah
kolonial), dan mereka yang di tingkat regional atau lokal (anggota
kelompok dominan). Secara teoritik, diperoleh asumsi bahwa sipil bisa
menindas sipil, buruh bisa menindas buruh dan seterusnya.
Berkat sumbangan Guha tersebut, paradigma penindasan yang
selama ini berangkat dari kehadiran aktor-aktor luar, objek kajiannya
mesti ditambah dengan memperhatikan aktor-aktor dalam. Selanjutnya,
Spivak menggunakan istilah itu dalam publikasinya berjudul Can the
Subaltern Speak?: Speculations on Widow-Sacrifice. Naskah itu
menceritakan kisah Bhuvaneswari Bhaduri, adik neneknya, yang mati
gantung diri karena merasa gagal menjalankan misi dari kelompok
rahasia untuk melawan penjajahan Inggris di India. Berangkat dari kasus
itu ia mendeskripsikan subaltern itu sendiri.
Sumber: baceleb.org
180 | Miftakhuddin
absolut tidak punya suara dan tidak dapat berbicara
(Spivak, dalam Hartiningsih & Ninuk: 2006).
Tapi walau Spivak juga berkata kalau suara subaltern tak dapat
dicari karena mereka “tak bisa bicara”, intelektual tidak boleh
meromantisir kemampuan mereka untuk menggali dan mencari suara-
suara subaltern. Sebab jika dilakukan, klaim-klaim itu malah bersifat
kolonial, karena ia menyamaratakan keberagaman (menghomogenkan)
para kelompok subaltern, dan pada akhirnya ia menjadi “kekerasan
epistemologis”. Relasi yang terjalin antara intelektual dengan subaltern
pun layaknya relasi “tuan-hamba”.
Selain itu, setiap upaya dari luar untuk memberi mereka
kemampuan bicara secara kolektif juga akan menghadapi sejumlah
persoalan. Pertama, asumsi logosentris tentang solidaritas kultural di
antara masyarakat yang heterogen. Kedua, ketergantungan kepada
intelektual untuk berbicara atas nama kondisi subaltern daripada
membiarkan mereka berbicara atas nama diri mereka sendiri. Maka
dapatlah ditegaskan, bahwa dengan memperoleh kembali identitas
kultural kolektif melalui cara itu, malah membuat subaltern akan
kembali ke posisi subordinat dalam masyarakat.
Subaltern dalam definisi Spivak adalah golongan tertindas, itulah
mengapa mereka “tak bisa bersuara”. Satu-satunya cara membantu
subaltern memperoleh emansipasinya, menurut Spivak, adalah
intelektual bukan untuk bertujuan tertentu atau pragmatis demi mencari
perhatian kaum subaltern, tapi harus hadir sebagai pendamping atau
wakil subaltern. Mereka harus menjadi penyambung lidah. Seorang
intelektual harus menyertai dirinya dengan “pesimisme intelektual dan
optimisme kemauan”, agar mampu menunjukkan di mana dan
bagaimana posisi mereka yang terpinggirkan. Apabila para intelektual
masih tidak sanggup -atau malah sengaja tidak mau- menjadi
penyambung lidah, maka pertanyaan “di mana dan bagaimana peran
kaum intelek pascakolonial dalam membela kaum subaltern yang
tertindas?” akan terus langgeng.
Hubungan dan fenomena ini bila diproyeksikan dalam konteks
ke-Indonesia-an hari ini, akan tampak dalam sepak terjang aktor-aktor
C. 1st World Country, 2nd World Country, 3rd World Country, dan
Teori Pembangunannya
Ada beberapa jenis pembagian tipikal negara di dunia dalam
khazanah wacana internasional. Umumnya pembagian itu dilakukan
negara maju maupun organisasi atau lembaga internasional yang
berkepentingan dengan klasifikasi tersebut. Tapi yang harus benar-benar
dipahami ialah perihal tidak adanya ketentuan baku atau kriteria pokok
yang mengaturnya. Semua bergantung pada kepentingan dan indikator
suatu pihak. Oleh karenanya, bisa jadi suatu negara dikatakan maju oleh
satu pihak, namun pihak lain mengatakan negara itu sebagai negara
berkembang atau bahkan sangat miskin. Begitu juga sebaliknya.
Sebagai contoh, tahun 1950-an Prancis mengelompokkan negara
di dunia berdasarkan tingkatan sosial ekonominya, menjadi; a) negara
maju atau telah berkembang, b) sedang berkembang, dan c) negara dunia
ketiga atau negara selatan yang miskin. Kemudian tahun 1960-an (masa
Perang Dingin), terjadi pengelompokan negara di dunia berdasarkan
politik ekonominya menjadi; a) negara Dunia Pertama, yaitu negara-
negara maju atau negara industri dengan corak ekonomi pasar. Mereka
182 | Miftakhuddin
adalah negara-negara Barat (mantan penjajah) penganut kapitalis. b)
negara Dunia Kedua, yaitu negara-negara dengan ekonomi terencana
secara sentral. Mereka adalah negara-negara penganut sosialis-komunis
atau yang biasa disebut sebagai negara tirai besi. c) negara Dunia
Ketiga, adalah negara-negara miskin, sedang berkembang dan baru
merdeka.
Selain klasifikasi itu, ada pula pengelompokan dengan
pengidentifikasian menurut kemajuan negaranya, yakni menjadi negara
Utara dan negara Selatan, yang populer pada tahun 1980. Negara Utara
ialah mereka yang kaya atau negara maju (telah berkembang).
Dinamakan demikian karena mereka ada di belahan bumi Utara.
Sedangkan negara Selatan adalah mereka yang miskin atau negara
belum dan sedang berkembang. Dinamakan demikian karena letak
mereka ada di belahan bumi Selatan, seperti; Benua Afrika, Amerika
Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Bahkan World Bank pun pernah mengklasifikasikan negara
berdasarkan pendapatan dan sektor ekonomi yang diandalkannya.
Menurut Wolrd Bank, negara dunia dapat dikelompokkan menjadi
negara maju (berpendapatan tinggi dari sektor industri), negara
berkembang (berpendapatan menengah dari sektor industri), negara
dunia ketiga (berpendapatan rendah dan tidak punya sektor industri).
Ada juga kelompok negara pengekspor minyak yang tidak dimasukkan
dalam tiga kategori sebelumnya, sebab pertumbuhan ekonominya
fluktuatif sesuai harga minyak dunia yang relatif naik. Klasifikasi
menurut World Bank pernah pula dilakukan berdasarkan pendapatan per
kapita, menjadi; negara berpendapatan rendah, menengah ke bawah,
menengah ke atas, dan berpendapatan tinggi.
Sebagaimana dinyatakan di alinea pertama sub bab ini, standar
masing-masing pihak tidaklah sama, sehingga berimplikasi pada klaim
yang tidak menentu dan variatif. Misalnya negara-negara di jazirah
Arab, menurut klasifikasi Utara-Selatan mereka tergolong negara
miskin, tapi menurut World Bank, mereka justru negara berpendapatan
tinggi (kaya). Begitu juga dengan Australia dan New Zealand yang
meski ada di belahan dunia Selatan yang miskin menurut teori Utara-
Selatan, faktanya mereka tergolong berpendapatan tinggi. Berbeda lagi
184 | Miftakhuddin
1) Klasifikasi Negara
Klasifikasi negara menjadi tiga kelas dimulai pasca Perang
Dunia II, atau semasa Perang Dingin. Saat itu, secara geopolitik dunia
terbelah menjadi dua; Blok Barat (kapitalisme) dan Blok Timur
(komunisme). Blok Barat diisi negara-negara kapitalis beraliran
demokrasi-liberal dengan Amerika sebagai tokoh utama yang didukung
Inggris, Jerman Barat, Belanda, Jepang, Spanyol, Prancis, dll. Dukungan
juga datang dari Kanada dan bekas koloni Inggris lain seperti Australia
dan New Zealand. Mereka semua kemudian disebut negara “Dunia
Pertama”. Sedangkan Blok Timur diisi Union of Soviet Socialist
Republics (USSR) atau Uni Soviet sebagai sentralnya, yang didukung
Jerman Timur, Hungaria, Polandia dan negara sosialis-komunis lain
seperti China dan Kuba. Mereka yang tergabung dalam Blok Timur ini
kemudian disebut sebagai negara “Dunia Kedua”.
Saat banyak negara menentukan pilihannya untuk berpihak, ada
kelompok negara yang memutuskan tidak berpihak (Non Blok).
Sebagian besar mereka adalah negara yang sedang sibuk mengukuhkan
kemerdekaannya karena baru mentas dari efek pra-klimaks Perang
Dunia II. Mereka memilih membangun negara dan mensejahterakan
rakyatnya ketimbang berebut pengaruh di planet ini, sampai-sampai
membentuk koalisi dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
(KAA) untuk membantu negara-negara berkembang sesama bekas
jajahan, membantu kemerdekaan bagi yang masih terjajah, dan
menghapuskan rezim apartheid di Afrika Selatan. Negara-negara Non
Blok ini terdiri dari negara-negara di Afrika, Asia, Timur Tengah dan
Amerika Latin. Nah mereka -lah yang kemudian disebut sebagai negara
“Dunia Ketiga”.
Naasnya, kebetulan Dunia Ketiga mayoritas diisi negara sedang
berkembang dan miskin karena baru merdeka, sementara Dunia Pertama
diisi negara maju. Inilah penyebab stereotip Dunia Ketiga diidentikkan
sebagai negara miskin/berkembang, meski esensi historisnya ialah
mereka yang tidak berpihak semasa Perang Dingin. Arab, misalnya.
Saudi Arabia termasuk negara Dunia Ketiga karena Non Blok (tak
berpihak), namun tidak bisa jika kemudian Arab dimasukkan dalam
kelompok Dunia Ketiga dengan alasan miskin/berkembang. Sebab
Sumber: nationsonline.org
186 | Miftakhuddin
Walau istilah yang diperkenalkan PBB sejak 1940-an ini sudah
dinilai usang, namun tetap valid untuk menunjuk negara-negara
kapitalis, industri, kaya, dan maju karena dilambangkan sejajar dengan
pentolannya semasa perang dingin, yakni Amerika, di samping Britania
Raya, Jepang, dan Australia. Sebutan Dunia Pertama sekalipun dinilai
tak lagi relevan menurut Huntington, dkk. (1989), pada kenyataannya
masyarakat kontemporer memandang mereka sebagai negara
berekonomi maju, pengaruh terbesar, standar hidup tinggi, dan teknologi
terbaik.
Dasar pemilihannya adalah seberapa beradab suatu negara.
Adapun jika dilihat dari riwayat kolonialnya, tampaknya golongan
Dunia Pertama adalah mereka bekas jajahan Inggris. Lihat saja Amerika,
Kanada, Australia, Singapura, dan Selandia Baru. Dan jika boleh
diperiodisasi masa kolonial sejak keruntuhan imperium Romawi atau
Perang Salib, periode pertama adalah masa kolonial era perjanjian
Zaragosa antara Spanyol dan Portugis. Periode kedua adalah masa
kolonial Inggris, Belanda, dan Prancis yang melakukan kolonisasi ke
Asia dan Australia, dan periode ketiga adalah masa kolonial Amerika
dan Jepang menuju Perang Dunia. Selebihnya merupakan masa
neokolonialisme.
Apabila diamati, Dunia Pertama adalah bekas jajahan Inggris
yang dijajah masa kejayaan Inggris. Artinya, masa kolonisasi yang
mereka alami adalah masa di mana Revolusi Industri sedang gencar-
gencarnya. Konsekuensinya, terjadi penyebaran teknologi dan sains.
Itulah sebab mereka kini cenderung maju, kaya, dan berteknologi.
Jepang dan Hong Kong contohnya. Berbeda dengan Dunia Ketiga
seperti di Asia, misalnya, yang mengalami penjajahan oleh Belanda
(bukan Inggris), ditambah lagi terjadi perebutan-perebutan dengan
kongsi dagang Inggris (EIC), pemberontakan inlander, dan tujuan
kolonisasi terfokus pada perniagaan, bukan eksploitasi sumber daya
mineral guna pengembangan teknologi seperti di Amerika, Australia dan
New Zealand. Alhasil, peninggalan kolonial berupa teknologi (hasil
revolusi Industri) hampir tidak ada, menyisakan mental terjajah, dan
sistem pemerintahan feodalistik yang masih berjalan hingga abad 21.
Negara Dunia Ketiga di Asia, terutama Nusantara, Filipina, dan
49Bagi Soviet, Asia potensial untuk memasarkan senjata Soviet dan penghimpunan kekuatan
untuk menandingi Amerika, yang juga menghimpun kekuatan di Asia untuk memperkuat Blok
Barat. Asia hanya “papan catur” bagi Blok Barat dan Blok Timur di Eropa.
188 | Miftakhuddin
Korea bagian utara, dan Amerika menduduki Korea bagian selatan, yang
akhirnya berdasar Konferensi Yalta, Korea dibagi dua; Utara berpaham
sosialis-komunis, dan Selatan berpaham demokrasi-liberal.
5) Resolusi
Revolusi 1989 yang mengakhiri Perang Dingin dengan tuntas,
secara laten meruntuhkan pembagian geopolitik dunia, namun secara
manifest tidak demikian. Walau penggunaannya sebatas
menggambarkan kesejahteraan, makna dan definisi atas istilah Dunia
Pertama, Dunia Kedua dan Dunia Ketiga telah berubah dari yang
semula bertumpu pada ideologi politik menjadi bertumpu pada ekonomi
negara dan kesejahteraan rakyat. Apalagi teori tiga dunia ini telah
190 | Miftakhuddin
banyak dikritik karena dinilai tidak lagi representatif terhadap situasi
global terkini. Terlebih pemeringkatan itu sudah tercemar stigma
negatif, terutama untuk Dunia Ketiga
Atas dasar itu, sosiolog dan pemikir pembangunan menawarkan
istilah “maju”, “berkembang” dan “terbelakang” dalam stratifikasi
global, meski teori tiga dunia masih cukup populer di sastra kontemporer
dan media. Hal ini dapat menyebabkan variasi semantik antar istilah
yang menggambarkan entitas politik. Melalui terminologi ini, akan hadir
jalan yang luas dalam mengkategorikan negara-negara di bumi menjadi
tiga kelompok berdasarkan divisi sosial, politik, budaya dan ekonomi.
Maka secara konseptual, tipe pembagian mana yang akan dipakai
bergantung pada perspektif mana yang dianut.
Di sinilah titik temu apa yang tadi diargumentasikan Huntington,
dkk. sebagai bentuk pembagian yang tidak lagi relevan, namun masih
dipakai; yakni terjadi pergeseran makna dalam terminologi teori tiga
dunia, yang semula didasarkan pada divisi ideologi politik-ekonomi
menjadi berdasar pada divisi sosial budaya dan ekonomi. Terlebih untuk
penyebutan negara Dunia Ketiga, yang tidak mewakili Arab, Swiss dan
Irlandia. Namun terlepas dari itu semua, ketertinggalan Afrika, Asia dan
Amerika Latin sebagai Dunia Ketiga (dalam pengertian lama),
sebenarnya juga disebabkan manuver-manuver ekonomi, politik dan
militer Perang Dingin.
Akhirnya, muncullah pemikir-pemikir pembangunan yang
merumuskan teori untuk menjelaskan fenomena-fenomena proses
perkembangan negara-negara di dunia, sekaligus menyiapkan strategi
yang cocok untuk membangun mereka yang miskin dan tertinggal.
Kemudian dihasilkanlah beberapa teori pembangunan untuk
memberikan penawaran jalan keluar kepada negara-negara miskin atau
terbelakang, seperti; teori modernisasi, teori perubahan sosial, teori
dependensi (ketergantungan), dan teori pembangunan kontemporer.
Namun dalam perkembangannya, teori pembangunan yang paling kukuh
dan banyak dikritisi ialah teori modernisasi dan teori ketergantungan.
Hatu (2013) dalam bukunya berjudul Sosiologi Pembangunan
menegaskan teori modernisasi dirumuskan untuk menjawab
permasalahan baru yang terkait pembagian masyarakat dunia dalam tiga
192 | Miftakhuddin
Lauer (1993) melihat sejumlah efek tersebut melingkupi aspek;
demografi, sistem stratifikasi sosial, pemerintahan, pendidikan, serta
nilai sikap dan kepribadian. Pertama, bidang demografi dibuktikan
dengan terjadinya pertumbuhan penduduk sebagai akibat penurunan
angka mortalitas, meningkatnya mobilitas dan kapasitas tenaga kerja
dari desa ke kota (urbanisasi sebagai perubahan sektor agraris menuju
industri), dan meningkatnya usia harapan hidup. Kedua, soal sistem
stratifikasi sosial. Sanggar (2006) memaparkan perubahan itu meliputi;
a) pembagian kerja yang semakin kompleks sejalan dengan
meningkatnya spesialisasi, b) status sosial yang dulunya diperoleh
berdasarkan keturunan atau askripsi (ascribed status) menjadi
berdasarkan capaian kerja (achieved status), c) peran pekerja dari
kegiatan untuk memberikan kepuasan, bergeser ke kegiatan untuk
meningkatkan kesejahteraan, d) imbalan (reward) yang tersedia
meningkat dan terdistribusikan lebih merata, e) terjadi pergeseran dalam
distribusi gengsi sosial dan peluang kehidupan berbagai strata sosial.
Ketiga, perubahan dalam pemerintahan yang semula berdasar
kepentingan dan loyalitas kedaerahan berganti kepentingan dan loyalitas
nasional. Begitu juga demokratisasi politik yang lebih menjangkau
masyarakat lapisan bawah. Keempat, dalam bidang pendidikan,
perubahan dapat diamati dengan melihat peningkatan pelajar/mahasiswa
secara kualitatif, dan peningkatan lembaga pendidikan secara kuantitatif.
Efek modernisasi membuat pendidikan diarahkan untuk menghasilkan
lulusan yang profesional, agar compatible untuk pasar kerja yang makin
terspesialisasi. Kelima, perubahan nilai dan sikap kepribadian atau
pranata sosial di pedesaan, yang dulunya bersifat solidaritas sosial dan
kekeluargaan, telah menjadi individual dan efisiensi.
Memang lima perubahan di atas adalah tanda kemajuan, tapi efek
sampingnya berupa rusaknya lingkungan dan menurunnya rasa
kemanusiaan atau empati, sekaligus lunturnya nilai-nilai sosial yang
mapan. Indonesia adalah representasi nyata yang menggambarkan teori
modernisasi sebagai teori yang paling dominan menentukan wajah
pembangunan. Hatu (2013) membuat kerangka ciri-ciri perspektif
modernisasi berupa; 1) modernisasi merupakan proses homogenisasi.
Sebab sudah tak bisa dibantah, modernisasi menuntut kemiripan dan
194 | Miftakhuddin
7) teori modernisasi sebagai doktrin pra-syarat. Asumsinya adalah
seperangkat ciri tertentu merupakan prasyarat yang harus dipenuhi
bagi modernisasi masyarakat, yang berarti peniruan (replikasi) sifat-
sifat budaya tertentu masyarakat maju atau Barat.
8) teori modernisasi sebagai doktrin menyamaratakan keadaan
(konvergensi). Asumsinya, masyarakat sedang berkembang
dianggap tidak terarah dan cenderung mengikuti jejak langkah
masyarakat industri Barat dengan harapan dapat menyamai mereka;
dan melambangkan masyarakat industri modern merupakan prestasi
tertinggi. Padahal universalitas produk akhir sebenarnya tidak harus
sama dengan contoh dan cara-cara awal (Barat).
Sejumlah kritik di atas belum semua, namun cukup mewakili
seluruh kritik yang ada. Kondisi di atas ialah bentuk kelemahan teori
modernisasi yang kerap disoroti dalam implementasinya. Padahal konten
yang substansial dari model pembangunan Barat atau modernisasi
adalah industrialisasi produksi, yang jelas-jelas menjadi syarat mutlak
untuk model pembangunan manapun (jika suatu masyarakat ingin
merealisasikan mimpi untuk hidup lebih baik). Pemikiran berikutnya,
lalu memunculkan teori yang berusaha menjelaskan mengapa program
pembangunan Dunia Ketiga dalam meniru taraf kemajuan negara
industri maju kurang berhasil. Teori yang mengakomodir persoalan tak
terpecahkan itu ialah teori dependensi atau ketergantungan (dependency
theory).
Secara konsepsional, ada dua teori yang ingin menjelaskan
fenomena kemiskinan dan keterbelakangan yang berkepanjangan di
negara berkembang. Teori pertama cenderung mempermasalahkan
faktor-faktor dalam diri masyarakat sebagai inner drive dan
penyebabnya, meliputi; rendahnya modernitas, mindset dan nilai-nilai
budaya tradisional (etos kerja tradisional, kurang menghargai waktu,
bangga dengan keturunan (dinasti dan askripsi), menyerah pada nasib
dan tunduk pada alam). Nah, teori ini adalah teori modernisasi.
Sedangkan teori kedua cenderung mempersalahkan faktor-faktor diluar
dari masyarakat sebagai outer drive dan penyebabnya, meliputi;
bermainnya kekuatan luar yang dominan dan eksploitatif, atau adanya
196 | Miftakhuddin
Ada sedikitnya dua perspektif rasional yang menarik soal kenapa
negara maju melakukan hal ini kepada negara berkembang, sebagaimana
dikutip dari kaum Marxis Klasik oleh Hatu (2013). Pertama, negara
pinggiran yang pra-kapitalis adalah kelompok negara yang tak dinamis
dengan cara produksi Asia, tidak feodal dan dinamis seperti tempat
lahirnya kapitalisme, yaitu Eropa. Kedua, negara pinggiran akan maju
ketika telah disentuh negara pusat yang membawa kapitalisme ke sana.
Ibaratnya, negara pinggiran adalah putri tidur yang akan bangun dan
mengembangkan potensi kecantikannya setelah disentuh pangeran
tampan. Pangeran tampan itulah yang disebut negara pusat, dengan
ketampanan yang dimilikinya, yaitu kapitalisme. Pendapat ini yang
kemudian dibantah penggiat teori dependensi, sebab nyatanya
kecantikan itu tidak membawa perubahan yang diharapkan kepadanya
diri si putri, melainkan hanya dimanfaatkan negara pusat dengan
kapitalismenya yang mengikat.
Menganggap seolah Dunia Ketiga mampu bangkit tanpa
intervensi Dunia Pertama, Hatu menegaskan ada bantahan lagi dari teori
dependensi; 1) negara pinggiran pra-kapitalis ini punya dinamika
tersendiri yang berbeda dengan dinamika negara kapitalis. Bila tak
tersentuh negara kapitalis yang telah maju, mereka akan bergerak
dengan sendirinya mencapai kemajuan yang diinginkan. 2) justru karena
dominasi, sentuhan dan campur tangan, negara pra-kapitalis tak bisa
maju karena selalu bergantung kepada negara maju tersebut.
Hal yang perlu digaris bawahi adalah dengan campur tangan
negara kapitalis, bukannya memajukan negara miskin malah semakin
memiskinkan negara pinggiran. Ketergantungan ada dalam format
neokolonialisme yang diaplikasikan tanpa harus menghapuskan
kedaulatan Dunia Ketiga. Keterbelakangan ekonomi Dunia Ketiga
bukan hanya disebabkan terintegrasinya mereka dalam tata ekonomi
kapitalisme di negara maju, namun juga disebabkan tindakan
pengawasan ketat dan monopoli modal asing, serta penggunaan
teknologi maju pada tingkat internasional dan nasional.
Ketika teori modernisasi menawarkan solusi dengan cara
membangun masyarakat tradisional menjadi masyarakat dengan
modernitas tinggi, teori ketergantungan menawarkan solusi dengan
198 | Miftakhuddin
Bilamana ditelaah dan dicermati, kritik yang menempel pada
teori dependensi merupakan kebalikan atau “pembalasan” teori
modernisasi. Hubungan di antara keduanya bukanlah suatu perdebatan,
melainkan lebih kepada suatu hal yang lazim karena dasar, paradigma
dan perspektifnya berbeda secara diametral. Rumpun teori modernisasi
membela sistem masyarakat kapitalistik, dengan tendensi etnosentrisme
yang menempatkan sosok masyarakat industri kapitalis (Barat) sebagai
parameter keberhasilan pembangunan, keunggulan, kemajuan, dan
kesejahteraan hedonis. Sedangkan rumpun teori dependensi melawan
sistem masyarakat kapitalistik, dengan bertumpu pada teori konflik
historikal Karl Marx, yang mana intervensi eksternal menyebabkan
penindasan dan penderitaan masyarakat kelas pekerja dalam masyarakat
industri yang kapitalistik.
Baik teori dependensi maupun modernisasi patut dihargai
kontribusinya dalam menjelaskan fenomena kemiskinan dan
keterbelakangan yang berkepanjangan. Tapi menurut Suryono (2012),
kendatipun sering menjadi rujukan, keduanya belum bisa menjelaskan
sepenuhnya akar persoalannya secara ideologi-sentris. Sebagai contoh,
Suryono mengangkat kasus petani desa Indonesia yang dulunya rajin
dan prestisius dalam menguasai dan menyikapi lingkungan alam
sebagaimana masyarakat modern. Meski mereka masih hidup dalam
sistem ekonomi yang tradisional, namun beberapa generasi terakhir
menampakkan penurunan produktivitas dan kinerja; cenderung malas.
Pertanyaannya, mengapa penurunan etos kerja dan produktivitas ini bisa
terjadi?
Demikian juga Immanuel Wallersten (dalam Hatu, 2013), tata
ekonomi kapitalis tidak bisa dijelaskan dengan kedua perspektif di atas.
Faktanya, negara-negara di Asia seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan,
Hong Kong, Malaysia, dan Singapura mampu mencapai pertumbuhan
ekonomi tinggi tanpa mengaplikasikan teori modernisasi sebagaimana
dipropagandakan Amerika, maupun mengalami ketergantungan
sebagaimana diusulkan teori dependensi. Menurut Wallersten (dalam
Hatu, 2013), dunia awalnya dikuasai kekuatan lokal dengan sistemnya
masing-masing, lalu kekuatan ini saling menjalin hubungan walau masih
terpisahkan lokalitas, dan kemudian terjadi penggabungan sistem melaui
200 | Miftakhuddin
mampu mengawal sebagai institusi politik tertinggi dalam suatu
kawasan.
3) Negara menjalankan kebijakan internal untuk memandirikan
perekonomian negaranya sendiri dan terbebas dari dominasi negara
pusat. Ini diwujudkan dengan politik dumping atau proteksi atas
produk industri dalam negeri yang membanjiri pasar dalam negeri.
Selain itu pemerintahan negara pinggiran harus mempersiapkan
tenaga ahli dalam negeri, karena pada saatnya nanti dapat
mengembangkan teknologi industri domestik. Hasilnya tentu
industri dalam negeri dapat bersaing di pasar global. Survive-nya
industri domestik merupakan pertanda baik bahwa pendapatan
nasional mengalami surplus pertumbuhan ekonomi, dan surplus
pertumbuhan ekonomi dapat membawa kesejahteraan dan
kemakmuran.
202 | Miftakhuddin
masyarakat terpaksa berkoloni ke luar polis. Kedua, perselisihan antar
polis. Persoalan politik yang berujung pertentangan/peperangan
membuat pihak yang kalah harus mencari suaka baru untuk
penyelamatan diri51. Beberapa literatur ada yang menyatakan terdapat
alasan ketiga, yakni jiwa petualang masyarakat Yunani yang tumbuh
karena kerasnya kondisi alam Yunani. Tapi jika dipertimbangkan, itu
tidak berbeda dengan alasan pertama.
Penyebab pergeseran kolonialisme amat kompleks dan tumpang-
tindih, di mana jika diklasifikasikan akan menjadi tiga kategori utama,
yakni; sebab ideal, sebab sosial, dan sebab material. Sebab ideal
merupakan sebab yang bersumber dari munculnya gagasan atau ide-ide
tertentu, seperti; agama, ideologi dan paham-paham politik baru. Sebab
sosial adalah sebab yang bersumber dari problem-problem sosial
kemasyarakatan. Sebab material adalah sebab yang bersumber dan
berkaitan dengan materi, bisa berupa harta benda maupun teknologi.
Sebab ideal, tercermin dari kasus masuknya koloni militan
kristen ortodhoks ke imperium Romawi untuk menyebarkan agama,
yang mana kemudian menjadi salah satu sebab keruntuhan Romawi, di
samping gempuran bangsa barbar (jermanik) dan sistem pergantian
kaisar yang tidak jelas. Saat Konstitianus sebagai kaisar pertama
pemeluk kristen menjadikan agamanya sebagai agama kerajaan, gereja
kristen menjadi organisasi terkuat yang bisa menghimpun 10%
penduduk. Pembangunan gereja di berbagai tempat dan militansi
pastor/pendeta membuat masyarakat hanya berpikir soal akhirat
sehingga mengabaikan urusan duniawi (materi). Lunturnya sifat
materialis ini secara masif menghentikan roda perekonomian. Mereka
tidak lagi patuh pada kewajiban membayar pajak, wajib militer, dan
lainnya. Alhasil, terjadilah inflasi besar-besaran di seluruh Romawi.
Ketika memasuki era penjelajahan, sebab ideal ini semakin jelas
dengan Gold, Glory dan Gospel sebagai platform dilakukannya
kolonisasi bangsa Spanyol. Sebagaimana surat wasiat terakhir Ratu
Isabella, (dalam Ahmat, 2006):
51Bila ini dihadapkan pada ungkapan Loomba di atas, maka ada dua opsi yang harus diambil
pihak yang kalah, yakni menjadi rakyat terjajah atau menjadi manusia merdeka dengan
bermigrasi.
204 | Miftakhuddin
koalisi dan berseteru hingga berpuncak pada Perang Dunia dan Perang
Dingin, PBB yang saat itu menjadi organisasi internasional paling
berwenang mengatur dunia baru agar tak terjadi lagi kolonialisme.
Namun demikian, itu bukanlah akhir dari kolonialisme di dunia.
PBB sebagai organisasi yang mengawasi perdamaian hanya
menyelesaikan persoalan kasat mata (kolonialisme fisik). Padahal di era
perdamaian, faktor politik telah mentranformasi kolonialisme dan
imperialisme menjadi neokolonialisme dan neoimperialisme. Artinya,
apa yang disebut sebagai sebab ideal merupakan penyebab paling masif
dan terstruktur bahkan sampai sekarang.
Sebab sosial, dapat dibuktikan dengan mengamati kolonialisme
penduduk, kolonialisme deportasi, dan kolonialisme transmigrasi
sebagaimana penulis ulas dalam bab sebelumnya. Sebab sosial, menjadi
suatu alasan nyata terjadinya mengapa paradigma kolonialisme bergeser,
meski sementara (kontemporer). Sebab sosial telah muncul sejak Yunani
menemui persoalan demografi berupa kurangnya ruang publik. Tidak
seimbangnya kuantitas penduduk dengan luas lahan di suatu polis
menyebabkan berbagai persoalan sosial seperti kriminalitas,
kesejahteraan pangan, kemiskinan, dll. Akhirnya masyarakat polis
Yunani melakukan kolonisasi transmigrasi.
Persoalan sosial lain penyebab perubahan cara pandang
kolonialisme bisa dilihat pula dalam sejarah Inggris yang mendeportasi
rakyatnya ke Australia, Prancis yang mendeportasi narapidananya ke
kepulauan di Pasifik, dan kerajaan Bali yang memenjarakan rakyatnya
ke Pulo Rossa (Nusa Penida) karena dianggap menentang raja
(Dorléans, 2016). Begitu juga dengan persoalan sosial yang bersumber
dari invasi bangsa asing, seperti dilakukan suku Indian saat kedatangan
Columbus dan bangsa Spanyol lainnya, dan suku Aborigin yang
kedatangan narapidana Inggris di Australia. Mereka sebagai suku asli
yang merasa tertekan pada akhirnya harus tersingkir dan mendirikan
koloni.
Bila dilihat dari sudut pandang pengkoloni barangkali ini
menjadi sebab politik, namun dari sudut pandang pribumi, kolonial ini
terjadi karena sebab sosial. Sementara, cara pandang kolonialisme kala
itu hanya berlaku terbatas pada etnis dan masyarakat tertentu. Sejenak
206 | Miftakhuddin
juga merupakan sebab material ialah hadirnya piranti-piranti pendukung
seperti ditemukannya kompas, bubuk mesiu, mesin cetak, dan produk
renaissance lainnya.
B. Periodisasi
Perjumpaan historis dunia Barat dan Timur sudah sangat lama
terjadi. Tapi titik perjumpaan paling masif terjadi melalui serangkaian
Perang Salib. Sebenarnya, itu sekadar perang antara kerajaan-kerajaan
Kristen Eropa melawan negeri-negeri Islam untuk memperebutkan
dominasi di Palestina. Kendatipun demikian, perang ini menjadi
kulminasi dari sekian pra-anggapan yang diwariskan keduanya, seperti
anggapan tentang Kristen dan anggapan tentang Islam. Dampak perang-
perang ini menciptakan relasi dan persepsi khas yang diwariskan pada
era sesudahnya, terutama ketika pedagang Eropa muncul di perairan
Asia Tenggara dan berjumpa dengan pedagang-pedagang Muslim.
Sekitar abad lima belas dan selanjutnya, berkembang pula kota-
kota pelabuhan dagang di Eropa, seperti; Venesia dan Genoa yang
mengembangkan perdagangan ke Laut Mediterania. Karena pedagang
muslim di sana tergeser oleh aktivitas pedagang Eropa, pedagang
muslim mulai berdagang ke Asia. Kota-kota seperti Venesia dan Genoa
inilah yang mendobrak pola-pola tradisonal dan menjadi landasan
dimulainya Abad Penjelajahan bangsa Eropa. Mereka tak lagi
membatasi diri pada perdagangan di Laut Mediterania, melainkan
mencari jalan masuk untuk sampai ke dunia Timur yang dipercayai
sebagai sumber kekayaan Eropa. Kekuatan politik Eropa kemudian
menggantikan para pedagang setelah secara massal Eropa menemukan
dunia Timur. Demikianlah kolonialisme berkembang dari motif ekonomi
politik yang terbatas, menjadi proyek peradaban untuk menguasai dunia
Timur. Proyek ini berhasil terutama sejak abad 19 dan tahun 1914. Tak
kurang dari 85% wilayah di dunia ini dikendalikan bangsa Eropa.
Di luar itu, ironisnya sumber kekayaan tersebut sebagian malah
dipakai membiayai peperangan panjang antar bangsa (Perang Dunia I
dan Perang Dunia II). Untungnya seusai perang disepakati dibentuknya
organisasi dunia (United Nations) untuk menjaga perdamaian.
208 | Miftakhuddin
dan pembangunan. Hal ini ditampakkan oleh aktivitas para colonus yang
berkembang secara sporadis dan senantiasa memberdayakan dan
memeras alam untuk membangun masyarakatnya. Adanya fakta ini
sekaligus sebagai indikasi hadirnya bibit imperialisme dalam
pemerintahan. Perebutan wilayah strategis selalu diupayakan dalam
kerangka perluasan teritorial kekuasaan. Kemenangan polis Athena
melawan Persia misalnya, yang mana kemudian berlanjut dengan Liga
Delia. Begitu juga dengan terbentuknya Liga Peloponessos sebagai
perwujudan unifikasi penaklukan polis Sparta terhadap polis-polis
lainnya.
210 | Miftakhuddin
penguasaan dilakukan tentara islam, ditambah dengan serbuan dari
bangsa barbar membuat Romawi terdesak dan terpaksa memecah
Romawi menjadi dua; Romawi Barat beribukota di Milan, dan Romawi
Timur beribukota di Byzantium (Konstantinopel). Senggang beberapa
waktu pasca keruntuhan Romawi Barat karena invasi militer dan inflasi
yang tak terkontrol, hanya tinggal Romawi Timur yang masih bertahan
dengan otokrasi gereja yang kuat. Namun desakkan tentara islam yang
telah menguasai Turki, Jerussalem dan Suriah pada akhirnya memicu
Perang Salib (the crusades) yang berlangsung hampir dua abad lamanya.
Kemenangan islam yang ditandai jatuhnya Konstantinopel ke
tangan Turki (Arab) menandai berakhirnya Romawi Timur dan menjadi
timing titik balik Abad Pertengahan menuju Abad Pencerahan
(renaissance). Revolusi Protestan sebagai bentuk perlawanan terhadap
doktrin gereja dan penemuan sains sebagai bentuk bangkitnya filsafat
materialistik menjadikan renaissance lebih bermakna. Ada tiga
penemuan penting yang membuat renaissance semakin cepat, yakni;
mesiu, seni cetak dan kompas (Saifullah, 2014).
Penemuan mesiu menandakan runtuhnya kekuasaan feodal,
karena hak menggunakan senjata tidak lagi terbatas pada kaum borjuis,
melainkan telah terbuka untuk kaum proletar. Seni cetak melambangkan
suatu pengetahuan tidak lagi menjadi milik eksklusif elit tertentu.
Sementara kompas berarti navigasi telah menjadi hak semua orang dan
memungkinkan orang Eropa memperluas horizon Barat ke dunia baru
(new world). Penemuan kompas ini kemudian memicu penjelajahan-
penjelajahan seperti; penjelajahan Vasco da Gama dan Marco Polo. Di
waktu yang bersamaan, islam yang telah menguasai bekas-bekas
kekuasaan Romawi, melarang orang Eropa berdagang di beberapa
pelabuhan sentral.
Kondisi tak menguntungkan dan disepakatinya perjanjian
Tordesillas membuat bangsa Eropa (Portugis dan Spanyol) mulai
melakukan penjelajahan dengan misi menemukan lokasi sumber
kebutuhan pokok (cengkeh, merica, lada, dan rempah lainnya), sesuai
diinformasikan para pedagang yang mengungsi dari Perang Salib di
Spanyol dan Portugis, dan karena perjanjian Tordesillas disepakati atas
restu paus serta dalam rangka pembalasan kepada negara islam, maka
212 | Miftakhuddin
Inggris mendirikan East India Trading Company (EIC) pada 1600.
Kemudian disusul Belanda dengan Verenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC) pada 1602, dan Prancis dengan French East India Company pada
1604.
Kongsi dagang tersebut pada gilirannya saling memperebutkan
daerah koloni di Amerika. Inggris, Belanda dan Prancis hanya bisa
memperebutkan Amerika Utara untuk mendirikan koloni. Sebab
Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Brazil telah dikuasai Spanyol
dan Portugis. Prancis mendirikan koloni di Kanada sejak awal abad 16,
yang maju berkat ekspor ikan, gula dan bulu domba. Awal abad 17,
tepatnya tahun 1632, Prancis mendirikan koloni lagi di Maryland
(sekarang Washington D.C) yang kemudian diambil alih Inggris yang
sebelumnya telah maju berkat kongsi dagang Inggris, Virginia Bay
Company, memperoleh banyak laba dari perdagangan tembakau untuk
produksi rokok. Sementara Belanda mendirikan koloni (pos dagang
VOC) di Niew Amsterdam (sekarang New York) pada 1624, namun
tidak bertahan lama karena perebutan.
Sampai fase ini, kolonisasi telah berubah dari koloni politik
(feodalis-imperial Romawi) menjadi koloni ekonomi-politis, yang
tercermin dari aktivitas perdagangan global dan pendelegasian
kekuasaan politik di tanah jajahan dengan mekanisme yang lebih baik
dan terstruktur secara masif. Ada sedikitnya dua hal yang mencirikan
fase ini; Pertama, ditemukannya Dunia Baru (new world) untuk
melakukan eksploitasi, penjajahan dan pembangunan. Kedua, masa
kejayaan kongsi-kongsi dagang bangsa Eropa. Celakanya, ditemukannya
Dunia Baru dan pesatnya perkembangan kongsi dagang Eropa membuat
eksploitasi, penjajahan dan pembangunan berjalan seirama.
Apa yang dilakukan Spanyol terhadap Amerika, dan Portugis
terhadap Brazil, sama juga dengan para penemu lain, yaitu eksploitasi,
penjajahan dan pembangunan. Hanya saja permulaan dari itu semua
berbeda-beda. Ada yang menjadikannya sebagai koloni deportasi
sebagaimana Inggris terhadap Australia, ada yang menjadikannya koloni
transmigrasi sebagaimana Spanyol terhadap Amerika, bahkan ada juga
yang langsung menjadikannya sebagai koloni perdagangan sebagaimana
214 | Miftakhuddin
berabad-abad lamanya. Sontak, Belanda menjadi negara mendadak kaya
di Eropa dan mulai “diperhitungkan” oleh Eropa lainnya.
Bila dicermati, pembeda antara koloni perdagangan era
penjelajahan (Era of Great Voyage) dengan koloni perdagangan masa
Yunani di Laut Tengah, ialah terletak pada visi dan mekanisme
operasionalnya. Koloni perdagangan di Laut Tengah berdiri sebatas
untuk pangkalan dagang, tanpa penjajahan ataupun eksploitasi manusia
dan alam. Artinya pangkalan dagang berdiri semata-mata demi
kepentingan distribusi. Sementara koloni perdagangan era penjelajahan,
di samping untuk pangkalan dagang, juga untuk menjajah secara
eksploitatif. Pola ini jelas tampak sejak ditemukannya Amerika oleh
Columbus, Australia oleh Inggris, hingga pulau Jawa oleh Portugis dan
Belanda. Mereka selalu mendirikan pangkalan dagang dan
memperjualkan hasil penjajahannya ke pasar internasional.
Namun terlepas dari visi dan mekanisme operasional pengkoloni
di “rumah barunya” masing-masing, pada taraf kolonisasi ekonomi-
politis ini terdapat tiga kecenderungan yang menonjol. Pertama,
kecenderungan untuk mengeksploitasi dan membangun. Kedua,
kecenderungan untuk mengeksploitasi tanpa membangun. Ketiga,
kecenderungan untuk mengekspansi kekuasaan.
Kecenderungan pertama, yaitu eksploitasi dan pembangunan.
Agaknya ini hanya terjadi pada penjajahan (kolonisasi) Inggris seorang.
Lihat saja kolonisasi Inggris di Amerika Utara. Kendati dalam pendirian
dan pengembangan koloninya melalui kongsi dagang Virginia Bay
Company banyak menuai protes dari para Indian, namun sepeninggal
Inggris wilayah itu menjadi maju berkat penambangan emas dan
perdagangan tembakau yang dibuka sejak masa pendudukan Inggris.
Kesalahan Inggris kala itu ialah penerapan pajak tinggi, sehingga
masyarakat Indian kurang sejahtera dan melakukan protes. Namun
perginya Virgina Bay Company bukan berarti kemerdekaan bagi Indian,
melainkan babak baru penguasaan langsung dari kerajaan Inggris.
Eksploitasi dan pembangunan kolonial Inggris juga ditampakkan
saat Inggris memberdayakan narapidananya di Australia dan New
Zealand, hingga pemberian kemerdekaan manakala mereka (narapidana)
terbukti mampu menunjukkan tren positif berupa kemandirian dalam
216 | Miftakhuddin
Mengapa Hong Kong bisa demikian? Terhitung sejak 1997,
Inggris mengembalikan Hong Kong kepada pemerintah Tiongkok
karena habis kontrak. Pengembalian Hong Kong kepada Cina dalam
rupa ala Inggris yang dibarengi aset milyaran dollar memang disambut
suka cita oleh pemerintah Cina, namun tidak dengan masyarakat Hong
Kong yang ingin merdeka atau tetap menjadi bagian dari Inggris. Hal ini
pun dibuktikan pemberitaan media surat kabar online beberapa tahun
terakhir berisi unjuk rasa sebagian warga Hong Kong dengan tagline
penolakan atas penjajahan Cina dengan membawa-bawa bendera
Inggris.
Jajak pendapat Universitas Hong Kong menunjukkan, pada 2007
sebanyak 35,3 persen penduduk memilih merdeka ketimbang menjadi
daerah otonom khusus dari Cina, sedangkan sisanya memilih tetap
bertahan sebagai daerah otonom khusus. Angka tersebut mengalami
peningkatan daripada tahun 2005, yaitu 22%. Alasannya cukup
sederhana, yakni karena mereka tidak mau Hong Kong menjadi sosialis
(komunis). Mereka ingin hidup dengan sistem kapitalis sebagaimana
digariskan pemerintah kolonial Inggris.
Kecenderungan kedua, yaitu eksploitasi tanpa pembangunan.
Pemanfaatan dan pemerasan tanpa membangun ini terjadi semasa
kolonial Spanyol di Amerika dan kolonial Belanda di Nusantara. Masa
kolonial Spanyol di Amerika adalah titik pertama dimulainya era
kolonialisasi bangsa Eropa (tahun 1492 dibuka oleh Cristopher
Columbus). Oleh sebab itu, barangkali eksploitasi Spanyol pada masa ini
harus dimaklumi sebagai suatu usaha yang masih “primitif”, yaitu skema
perampasan hak Indian atas dasar niat memperkaya diri, tanpa ada
bayangan untuk membangun dan memberdayakan suku Indian dengan
lebih manusiawi.
Di sana bisa dilihat betapa serakahnya bangsa Spanyol dalam
mendirikan koloni di Amerika. Bahkan untuk bisa dikatakan sebagai
upaya menjalankan misi suci keagamaan (katholik) pun tampaknya
kurang memenuhi, lebih-lebih ketika Puritan Inggris mengungsi dan
mendirikan koloni di Amerika. Perkembangan koloni Puritan yang lebih
pesat kian memperlihatkan Spanyol dalam menyebarkan agama suci di
Amerika kurang berhasil ketimbang kaum Puritan dari Inggris.
218 | Miftakhuddin
Namun begitu, kendati selama penjajahan dibangun sekolah,
biara, dan badan-badan amal, tak lantas kolonial Spanyol termasuk
koloni yang membangun. Sebab konteks pembangunan untuk
melanggengkan kekuasaan mempunyai porsi lebih besar ketimbang
investasi SDM. Kalaupun iya, pembangunan yang nampaknya layak
diakui ialah pembangunan spiritual, karena Spanyol dapat sedikit
menggeser lokalitas kebudayaan dengan agama. Lebih-lebih pribumi
Filipina tetap berjuang mengusir Spanyol dengan bantuan Amerika.
Peninggalan fisik, seperti; gedung sekolah, gereja, jalan raya, dan lain
sebagainya tak ubahnya mempunyai sifat yang sama dengan
peninggalan Belanda di Nusantara, berupa rel kereta api, pabrik gula,
jembatan, jalan raya, bahkan sistem konstitusi/hukum. Pun juga kisah
epik perlawanan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang tak jauh beda dari
sejarah perlawanan rakyat Filipina.
Kesamaan sifat yang dimaksud ialah lebih terfokus pada
pembangunan fisik struktural ketimbang pembangunan SDM
berkelanjutan. Bahkan politik etis Pemerintah Hindia Belanda pun juga
untuk kepentingan kolonial; Edukasi dimaksudkan agar pribumi lebih
terdidik untuk nantinya dipekerjakan di kantor-kantor Pemerintah;
Transmigrasi dimaksudkan untuk memeratakan tenaga kerja supaya
tidak terfokus di Jawa; dan Irigasi dimaksudkan untuk membuat
perkebunan lebih produktif.
Sejak kali pertama kedatangan Belanda di Banten oleh Cornelis
de Houtman pada 1596, Belanda sudah menunjukkan sikap tidak fair
dalam berniaga. Belanda hanya membeli rempah saat musim panen,
itupun melalui tengkulak Cina, bukan langsung dari petani Banten. Baru
kedatangan yang kedua oleh Jacob van Neck, Belanda sukses hingga
mencapai Maluku dan bersaing dengan Portugis. Di sinilah permulaan
kolonis ekonomi-politis. Persaingan dengan Portugis rupanya bersamaan
dengan Inggris, Prancis, dan Spanyol. Maka Belanda mendirikan VOC,
yang berkantor di Ambon, Banten dan Batavia (sekarang Jakarta).
Segala aktivitas kantor otomatis mewadahi pendelegasian kekuasaan
politik dari negeri Belanda kepada koloni. Mereka lalu diberi hak octroi,
yang meliputi; hak monopoli perdagangan, hak mencetak uang sendiri,
hak mengumumkan perang, dan hak membuat perjanjian dengan
220 | Miftakhuddin
eksploitatif daripada edukatif. Tidak jauh beda dengan masa kolonial
Jepang pada Perang Dunia II, yang menjadikan pribumi sebagai tentara,
ketimbang petani dan pekebun. Kendatipun semasa pendudukan
Belanda, pribumi seperti; A.H Nasution, Gatot Soebroto, E. Kawilarang
dkk. menjadi pasukan het Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger
(KNIL), tapi mayoritas penduduk lebih banyak dikonsentrasikan sebagai
petani dan pekebun. Sementara bila dibandingkan masa kolonial Jepang,
pemerintah lebih banyak mencetak pribumi sebagai pasukan militer dan
semi militer, seperti; Heiho, Seinendan, Keibodan, Fujinkai, Pembela
Tanah Air (PETA), Suishintai, Gakukotai, dan lain sebagainya. Tentu
saja keputusan Jepang melatih penduduk dalam kemiliteran karena
memburuknya Perang Dunia II.
Kecenderungan ketiga, yaitu ekspansi kekuasaan. Sebagaimana
diketahui, sampai fase ini paradigma kolonialisme telah bergeser untuk
ke sekian kali. Ekspansi kekuasaan pun pada gilirannya turut
memotivasi dinamika kolonialisme tersebut. Kecenderungan ini
diperlihatkan kolonialisme dan imperialisme Britania Raya dan Prancis.
Imperium Britania termasuk salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah
umat manusia, di samping Kekaisaran Mongolia, Kesultanan
Ustmaniyah (Ottoman Empire) dan Imperium Romawi. Bahkan luasnya
koloni Prancis tak sebanding. Daerah koloninya pada masa kejayaan
hampir mencapai 100 negara yang membentangi hampir seluruh bola
dunia. Oleh karenanya ada istilah khusus “di Inggris, matahari tak
pernah tenggelam”. Maksudnya, luas Britania membuatnya selalu
disinari matahari selama 24 jam, setidaknya satu sisinya saja. Berikut
adalah peta Britania Raya pada masa kejayaannya;
Sumber: wikimedia.org
222 | Miftakhuddin
Walau tak sebanding, tapi saingan terkuat bagi Britania ialah
Prancis, yang kala itu berjaya di bawah Napoleon Bonaparte. Persaingan
ini dapat diamati pada konflik-konflik antar keduanya dalam perebutan
wilayah di Afrika, Amerika dan Asia. Tetapi kekalahan Napoleon pada
1815 membuat Britania menjadi negara adikuasa. Armada laut yang tak
tertandingi juga membuatnya menobatkan diri sebagai polisi dunia, yang
kemudian terkenal sebagai Pax Britannica53. Namun begitu, dibalik
sepak terjang masa kolonial ekonomi-politis ternyata apa yang dikejar
ialah gengsi. Ada kepercayaan umum di Eropa, bahwa kewibawaan raja
ditentukan oleh seberapa luas kekuasaannya. Semakin luas wilayah
kekuasaan, semakin dihormati dan dipercaya keandalannya seseorang
sebagai raja.
Kejayaan Britania dalam menguasai seperlima dunia pada
gilirannya terdekolonisasi pasca Perang Dunia II. Meski termasuk
pemenang perang, namun kerugian perang membuat Britania terpuruk.
Bahkan, baru bisa diselamatkan atas pinjaman dari Amerika. Negara-
negara vassal Britania mulai bergejolak seolah mengaung demi
kemerdekaannya, dan memaksa Inggris memberi kemerdekaan satu per
satu sebagai negara persemakmuran. Apalagi nasionalisme sebagai
gerakan anti-kolonial makin populer selama Perang Dunia II.
Kendatipun demikian, Amerika sebagai kreditur dunia hadir
sebagai negara adidaya baru, khususnya bagi negara-negara Eropa Barat.
Sementara di seberang sana, ada Rusia yang membentuk Uni Soviet
sebagai wujud unifikasi negara-negara komunis dan persatuan bagi
mereka yang kemerdekaannya dibantu Rusia (Eropa Timur). Keduanya
melangsungkan Perang Dingin, bersaing dalam penyebaran pengaruh
dan berkompetisi teknologi militer. Praktis dalam Perang Dingin
kolonisasi telah hilang, namun tampaknya lebih layak disebut sebagai
“babak baru kolonialisme; neokolonialisme”. Sebab paradigma
kolonialisme ekonomi-politis tercerabut dari akarnya dan bergeser ke
53Pax Britannica (Perdamaian Britania) adalah periode damai di Eropa dan dunia selama
Imperium Britania menguasai sebagian besar rute utama perdagangan maritim dan
memperoleh kekuasaan lautan yang tak tertandingi. Istilah itu merujuk pada “Pax Romana”
pada masa kejayaan Imperium Romawi.
224 | Miftakhuddin
Dibentuknya League of Nations dan United Nations telah menjadi bukti
bagaimana asumsi ini bekerja.
Globalisasi sebagai proses penyeragaman secara universal mau
tak mau bakal mengaburkan batas-batas geografis dan budaya
masyarakat. Di sisi lain, ada penilaian yang memandang globalisasi
adalah proyek yang diusung negara adikuasa. Sebagaimana penulis
contohkan dalam Bab V soal media/teknologi komunikasi dan sistem
kredit transaksi, agaknya anggapan soal globalisasi adalah proyek negara
adikuasa (kapitalis) ialah benar adanya. Itulah yang membuat batas-batas
kultural masyarakat dunia menjadi bias.
Adapun lembaga internasional, terutama PBB, sengaja atau tidak
seolah mendukung neokolonialisme. Lebih-lebih pasca keruntuhan Uni
Soviet dan Great Britain, Amerika menjadi satu-satunya pengatur dunia.
Posisinya sebagai anggota tetap dewan keamanan dan penderma terbesar
PBB, membuktikan kalau PBB justru di bawah Amerika Serikat.
Apalagi intervensi dan ancaman Amerika kepada PBB dalam kasus
kerusuhan Israel-Palestina di Timur Tengah.
Lihat saja Presiden Amerika tahun 1966, Johnson, menekan PBB
untuk menghentikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Palestina
yang sedang membentuk milisi untuk melawan Israel, dengan alasan hal
itu dapat mengganggu stabilitas keamanan dunia. Bahkan Amerika
mengancam akan keluar dari Dewan Keamanan PBB dan menghentikan
bantuan finansial kepada PBB kalau PBB tidak menerima usulan
delegasi Israel. Akibatnya, para pengungsi Palestina tidak memperoleh
bantuan UNHCR (Saleh, 2012). Alasan Amerika mempertahankan Israel
sebagai alat, menurut Rahmatullah (2015) ialah di samping Israel
merupakan tempat pemasaran senjata, Israel juga dimanfaatkan sebagai
penjaga terusan Suez di Timur Tengah sekaligus tambang minyak bumi
di sana.
Apa boleh buat, Amerika memang yang terkuat saat ini. Keadilan
dan hak asasi manusia yang sering dikhotbahkan para pemimpin negara
agaknya sekadar penggugah semangat belaka. Pidato-pidato di berbagai
forum internasional yang membela kemerdekaan dan emansipasi lebih
bersifat “hangat-hangat tahi ayam”. Sebab, begitu berhadapan dengan
Amerika, seolah semua niatan itu menjadi gugur tanpa syarat. Hal ini
C. Dampak
Bisa diramalkan, efek kolonialisme dipandang sebagai suatu hal
yang negatif, terutama pada periode pergeseran dari kolonisasi politik
menuju kolonisasi ekonomi-politis (Era of Great Voyage). Orang
Indonesia di Asia Tenggara, suku Aborigin di Australia, suku Maōri di
New Zealand, suku Indian di Amerika, kesemuanya memandang
kolonialisme sebagai penghancur mereka, setidaknya saat mereka
mengalami invasi kolonial Eropa.
Insiden penjajahan termasuk ke dalam fenomena sejarah dan
peristiwa sosial. Oleh karenanya, stigma negatif manakala mengkaji
fakta kolonial pasti diberikan dari mereka yang merasa dirugikan, dan
stigma positif pasti diberikan dari mereka yang merasa diuntungkan. Ini
berlaku sekalipun pihak yang diuntungkan mengakui dosa-dosanya
dengan memberikan beragam bantuan kepada bekas jajahannya. Maka
diperlukanlah sudut pandang objektif untuk menelaah sejauh mana dan
apa saja efek yang pergeseran kolonialisme sejak zaman Yunani hingga
neokolonial negara maju.
226 | Miftakhuddin
Bilamana pengkajian dilakukan secara parsial, mungkin
semuanya akan terang benderang untuk setiap periode pergeseran
paradigma kolonialisme. Namun konsekuensinya, kajian tersebut akan
mengerucut pada diskontinuitas sejarah. Artinya, walaupun kajian
dilakukan atas tahapan-tahapan kolonisasi, harus tetap memperhatikan
batasan-batasan dalam kaitannya dengan step berikutnya. Kolonisasi
pertanian Yunani, misalnya. Berlangsungnya koloni berimplikasi pada
terpenuhinya kebutuhan masyarakat polis, yang mana selanjutnya
metode pemenuhan kebutuhan dari pendirian koloni bertransformasi
menjadi koloni perdagangan di Laut Tengah. Dampak yang diterima
adalah terjadinya sosialisasi dengan dunia luar yang sama sekali
berbeda. Hadirnya perbedaan itu pada gilirannya menggugah hasrat
menyamakan koloni Yunani menjadi sama dengan mereka, baik melalui
perdagangan maupun dengan invasi. Misalnya, melalui interaksi dalam
perdagangan koloni Yunani menjadi tahu soal perhiasan, logam dan
sutera. Maka upaya untuk menyamakan diri dengan para penjual
perabotan itu dilakukan baik dengan transaksi perniagaan maupun
dengan ekspansi ke wilayah pedagang secara paksa.
Satu interaksi sosial akan berlanjut pada interaksi-interaksi
berikutnya yang lebih kompleks. Saat kolonisasi tak lagi berdasarkan
semangat pemenuhan kebutuhan jasmaniah, maka pendirian koloni
dimaksudkan untuk memperluas daerah kekuasaan (semangat
imperialisme). Sampai di sini ada satu poin penting yang harus dicatat,
bahwa dampak pergeseran paradigma kolonialisme adalah munculnya
paham imperialisme. Kerangka pikir atau fondasi imperialisme dibangun
berdasarkan kolonialisme yang dimanifestasikan dengan ekspansi
kolonial atas teritorial orang lain. Lebih lanjut, ketika kolonialisme
dirasuki semangat imperialisme maka terjadi pula akulturasi dan
munculnya aturan-aturan tertulis (undang-undang). Umumnya, hukum-
hukum kolonial itu kemudian diwariskan kepada daerah koloni saat
koloni tersebut ditinggalkan (contoh: hukum Hindia Belanda di
Indonesia), atau terpecah menjadi berbagai versi sistem hukum
manakala koloni besar atau imperium mengalami dekolonisasi (contoh:
negara-negara persemakmuran Inggris yang mempunyai corak hukum
serumpun).
228 | Miftakhuddin
melandasinya, tampaknya ada sekurang-kurangnya sepuluh dampak
yang terbukti tidak terhindarkan. Kesepuluh dampak itu antara lain; 1)
munculnya semangat imperialisme, 2) akulturasi dan asimilasi
kebudayaan, 3) keseragaman dan keanekaragaman sistem hukum, 4)
penyebaran agama, paham-paham (ideologi) baru, bahasa, teknologi,
dan ilmu pengetahuan (sains), 5) pembangunan, 6) genosida, 7)
kemiskinan dan keterbelakangan, 8) kesenjangan dan munculnya kelas-
kelas baru dalam stratifikasi sosial, 9) hegemoni (pemusatan arus
geopolitik), dan 10) lahirnya studi post-kolonial.
Terakhir, dibalik itu semua pembangunan yang tanpa disadari
rupanya juga ikut berjalan seirama kebijakan dan konflik yang terjadi,
baik dengan inlander maupun dengan kolonis. Sebab di samping
pembangunan fisik, bersamanya dapat ditentukan berapa harga dari
bahan kebutuhan pokok, dapat diketahui mana sistem perekonomian
terbaik, dapat dirasakan betapa mahalnya nyawa manusia, seberapa
berharga harkat dan martabat manusia, dan betapa pentingnya
melakukan dakwah untuk memperadabkan sesama manusia lain tanpa
memandang mereka sebagai the others, sebagaimana dampak yang
ditimbulkan era neokolonialisme dan wacana dalam kajian post-kolonial
dewasa ini.
230 | Miftakhuddin
Arif, Dikdik Baehaqi. 2011. “Politik Bhineka Tunggal Ika” untuk
Mengelola Masyarakat Indonesia yang Multikultural.
Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
ASEAN Stasticial Yearbook 2008. 2009. Asia Southeastern-Economic
Growth-Statistics. Jakarta: ASEAN Secretary.
Aulia’, M. Alfian. 2015. ISIS: Strategi Amerika Serikat Melawan Iran di
Suriah. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Baay, Reggie. 2010. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London & New York:
Routledge.
Budiardjo, Carmel., & Liem Soei Liong. 1988. “Military Report of
Incidents in the District of Jayawijaya in 1977”. United
Kingdom: Tapol.
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT
Gramedia.
Cady, J. F. 1964. South-East Asia It’s Historical Development. New
York: McGraw-Hill.
Chandra, Bipan. 1978. Kolonialisme, Tahap-Tahap Kolonilaisme dan
Negara Kolonial. Journal Contemporary Asia. 8(2).
Cholisin. 2011. Pancasila sebagai Ideologi Negara dan Relevansinya
dengan Kondisi Saat Ini. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Corpus, Onofre D. 1965. The Philippines. New Jersey: Prentice-Hall.
Cortesão, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. An
Account of The East, from the Red Sea to Japan, Written in
Malacca and India in 1512-1515. Translated from the
Portuguese MS in the Bibliothéque de la Chambre des
Députés, Paris. London: The Hakluyt Society.
D, Mohammad Mahfud. M. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
Darmawan, Wawan. 2010. Perkembangan Awal Kehidupan Masyarakat
di Australia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Day, Clive. 1966. The Dutchin Java. Kualalumpur: Oxford University
Press.
Deniawati, Pera. 2014. Pluralisme dalam Bingkai Budaya Lokal untuk
Meningkatkan Kerukunan antar Umat Beragama (Studi Kasus
di Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan). Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
232 | Miftakhuddin
Hart, Michael H. 1978. Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam
Sejarah. terjemahan Mahbub Djunaidi (1982). Jakarta Pusat:
Dunia Pustaka Jaya.
Hartiningsih, Maria & Ninuk Mardiana Pambudy. 2006. Membaca
Gayatri Chakravorty Spivak. Kompas Edisi 12 Maret 2006.
Hartono, C. F. G. Sunaryati. 1991. Pembinaan Hukum Nasional dalam
Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Ilmu Hukum. Bandung: Universitas Padjajaran.
_______, C. F. G. Sunaryati. 2015. Analisa dan Evaluasi Peraturan
Perundang-Undangan Peninggalan Kolonial Belanda.
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Hatu, Rauf A. 2013. Sosiologi Pembangunan. Yogyakarta: Interpena.
Hidayati, Wiwik. 2008. Pengaruh Dominasi Penjajah atas Subaltern
dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan: Analisis
Berdasarka Pendekatan Postkolonialisme. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Hobsbawm, E. J. 1992. Nasionalisme Menjelang Abad 21. Yogyakarta:
PT Tiara Wacana.
Holder, Robin. 1985. Aborigin Asli Penduduk Australia. Jakarta: Rosda
Jaya.
Hudaidah. 2004. Sejarah Australia dan Oceania. Palembang:
Universitas Sriwijaya.
Huddart, David. 2006. Homi K. Bhabha. New York: Routledge.
Huntington, Samuel. P., dkk. 1989. Amerika dan Dunia. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Irhandayaningsih, Ana. 2011. Ide Mobil Nasional sebagai Simbol
Perlawanan Terhadap Neokolonialisme di Era Globalisasi.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Junaedi. 2014. Transformasi Paradigma Pembangunan Ekonomi.
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Kaelan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai
Nasionalisme. Jakarta: PT Gramedia.
_________, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-
1900 dari Emporium Sampai Imperium I. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Khoo, Gilbert. 1968. Sejarah Asia Tenggara Sejak Tahun 1500. Petaling
Jaya: Fajar Bakti.
234 | Miftakhuddin
Magnis-Suseno, Franz. 2003. Faktor-Faktor Mendasari Terjadinya
Konflik Antara Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia:
Pencegahan dan Pemecahan, dalam Konflik Komunal di
Indonesia Saat Ini. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Mahifal. 2011. Membangun Keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia Melalui Pembinaan Ideologi dan Wawasan
Kebangsaan. Bogor: Universitas Pakuan.
Marbun, Hotma. 2008. Mewaspadai Polarisasi Ancaman Subversi
Terhadap Nilai Ketahanan Nasional. Bandung: Sekolah Staf
dan Komando Angkatan Darat.
Martin, Roderick. 1995. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: Rajawali Press.
Marut, Donatus Kladius. 2015. ASEAN dalam Neokolonialisme dan
Imperialisme. Jurnal Konfrontasi. 4 (1).
Masinambow, E.K.M., & Paul Haenen. 1994. Kebudayaan dan
Pembangunan di Irian Jaya. Jakarta: LIPI.
Mc Coy, Alfred. W. 1982. Philippine Social History: Global Trade and
Local Transformations. Manila: Ateneo de Manila University
Press.
Miftahul, Ilmi Hadi. 2011. Benua Australia. Bandung: Mitra Utama.
Miners, Norman. 1995. The Government and Politics of Hongkong.
Hong Kong: Oxford University Press.
Misrawi, Zuhairi. 2010. Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat
Keulamaan. Jakarta: Kompas.
Moan, Amat Johari. 1969. Sejarah Nasionalisma Maphilindo. Kuala
Lumpur: Sharikat Percetakan Utusan Melayu Berhad.
Morgan, W.S. 1956. The Story of Malaya. Singapore: Malaya Publishing
House Limited.
Morton, Stephen. 2004. Gayatri Chakravorty Spivak. New York:
Routledge.
Mubyarto. In memorian Article: Ekonomi Indonesia Terjajah Kembali.
dalam Awan Santosa. 2006. Ekonomi Kerakyatan: Urgensi,
Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta: Universitas Mercu Buana.
Müller, Johannes. 2005. Perkembangan Masyarakat Lintas-Ilmu.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mulyana, Imam., & Irawati Handayani. 2015. Peran Organisasi Regional
dalam Pemeliharaan Perdamaian dan Keamanan Internasional.
Jurnal Cita Hukum. 2 (2).
Mustopo, Habib. M., dkk. 2007. Sejarah. Program Ilmu Pengetahuan
Sosial. Mojokerto: Yudhistira Galia.
236 | Miftakhuddin
Prihatyono, Agus. 2009. Peran Indonesia dalam Mewujudkan
Perdamaian dan Stabilitas Asia Tenggara Melalui ASEAN
Security Community. Jakarta: Universitas Indonesia.
Putro, Sapto Handoyo Djarkasih. 2011. Pengaruh Kolonialisme dan
Pluralisme Terhadap Politik Hukum Nasional. Bogor:
Universitas Pakuan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 33/PUU-
IX/2011.
Rahayu, Minto. 2007. Pendidikan Kewarnageraan. Perjuangan
Menghidupi Jati Diri Bangsa. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Rahmatullah. 2015. Peran Amerika Serikat dalam Menciptakan
Perdamaian dan Penyelesaian Konflik Israel dan Palestina.
Jurnal Ilmiah WIDYA. 3 (1).
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme
Persefektif Wacana Naratif. Denpasar: Pustaka Pelajar.
_____, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Razmin, Nurul Hazlina Mohd., dkk. 2013. Globalisasi sebagai Satu
Kolonialisme Bentuk Baru dan Kesan kepada Ekonomi.
Bharu: Universiti Malaysia Kelantan.
Rengganik. 2009. Prinsip Minsheng: Ekonomi Politik dalam Pemikiran
Sun Yat-sen. Depok: Universitas Indonesia.
Resnadiasa, Gede., dkk. 2012. Konflik di Semenanjungt Korea dan
Pengaruhnya Terhadap Keamanan Internasional.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
_______, M. C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta.
_______, M. C. 2013. Sejarah Asia Tenggara. Jakarta: Komunitas
Bambu.
Ridlwan, Zulkarnaen. 2014. Memelihara Asas Pacta Sunt Servanda atas
Perjanjian Internasional (Telaah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011). Lampung: Universitas
Lampung.
Rizal, Jose. 1975. Noli me Tangere. (terjemahan). Jakarta: Pustaka Jaya.
238 | Miftakhuddin
Sianturi, Marupa Hasudungan. 2014. Peran PBB sebagai Organisasi
Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Yurisdiksi
Negara Anggotanya dalam Kasus State Immunity antara
Jerman dengan Italia Terkait Kejahatan Perang Nazi. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Siboro, Julius. 1989. Sejarah Australia. Bandung: Tarsito.
Sihbudi, M. Riza., & Ahmad Hadi. 1994. Palestina Solidaritas Islam
dan Politik Dunia Baru. Malang: Pustaka Hidayah.
Simpson, Tony. 1990. Te Riri Pakeha: The White Man’s Anger. United
Kingdom: Hodder & Stoughton Ltd.
_______, Tony. 2015. Before Hobson. Wellington: Blythswood Press.
Smith, Linda Tuhiwai. 1999. Decolonizing Methodologies, Research
and Indigenous People. London: Zed Books.
Soedijarto. 2000. Pendidikan Nasional sebagai Wahana Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-
Bangsa. Jakarta: CINAPS.
Soedjatmoko. 1996. Etika Pembebasan. Jakarta: LP3ES.
Solichien, Yussuf. 2008. Kerjasama PBB-Amerika Serikat dalam
Penyelesaian Kasus Invasi Irak Terhadap Kuwait (Tahun
1990-1991). Depok: Universitas Indonesia.
Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Pancasila dalam Perubahan Sosial-
Politik Indonesia Modern. Depok: Universitas Indonesia.
Spence, Jonathan D. 1990. The Search for Modern China. United States:
WW. Norton & Company.
Stiglitz, Joseph. E. 2002. Globalization and It’s Discontents. New York:
W. W. Norton & Co.
Straihm, Rudolf H. 1999. Kemiskinan di Dunia Ketiga, pengant.
Mubyarto. Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Strelan, John G. 1977. Search for Salvation. Adelaide: Lutheran
Publishing House.
Sudiadi, Dadang. 2009. Menuju Kehidupan Harmonis dalam Masyarakat
yang Majemuk: Suatu Pandangan Tentang Pentingnya
Pendekatan Multikultur dalam Pendidikan di Indonesia.
Jurnal Kriminologi Indonesia. 5 (1).
Sudrajat, Ajat. 2009. Perkembangan Islam di Singapura. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Sudrajat. 2010. Yunani sebagai Icon Peradaban Barat. Jurnal ISTORIA.
8 (1).
Suharto, Edi. 2006. Pendidikan Pekerjaan Sosial di Selandia Baru.
Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.
240 | Miftakhuddin
Utami, Sri. 2012. Mimikri dalam Kuliner Indonesia melalui Kajian
Poskolonial. Prosiding the 4th International Conference on
Indonesian Studies: “Unity, Diversity adn Future”.
Utomo, Tri Widodo W. 2016. Asymetric Policy sebagai Inovasi untuk
Akselerasi Pembangunan Perbatasan Negara. Jakarta:
Bappenas.
van Anrooij, Francien. 2014. De Koloniale Staat 1854-1942.
Terjemahan Nurhayu W. Santoso & Susi Moeiman. Leiden:
Archief van het Ministerie van Koloniën.
van Dijk, Corneles. 1983. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta:
Grafiti Pers.
Van, Samuel. 2003. Negara dan Bangsa Jilid IV. Asia dan Australia.
Jakarta: Grolier International Inc. & PT. Widyadara.
Wade, Robert., & Frank Veneroso. 1998. “The Asian Crisis: The High
Debt Model Versus The Wall Street-Treasury-IMF Complex.”
New Left Review
Watson, C.W. 2000. Multiculturalism. London: Open University Press.
Widyaresmi, Sistha. 2012. Timur yang Menjadi Barat: Orientalisme
dalam Ranah Diskursif. Depok: universitas Indonesia.
Wiharyanto, A. Kardiyat. 2007. Pergantian Kekuasaan di Indonesia
Tahun 1800. Jurnal SPPS. 21 (1).
__________, A. Kardiyat. 2008. Pembentukan Negara-Negara Nasional
di Asia Tenggara. Jurnal Historia Vitae. 22 (2).
Wijanarko, Robertus. 2008. Postkolonialisme dan Studi Teologi, Sebuah
Pengantar. Jurnal Studia Philosophica et Theologica. 8 (2).
Williams, Lea E. Southeast Asia: A History. New York: Oxford
University Press.
Wisconsin Historical Society. 2003. Journal of the First Voyage of
Columbus. Wisconsin: American Journeys Collection.
World Trade Organization. 10 Common Misunderstanding About the
WTO. depts.warshington.edu.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria. 2013. Korea Abad 18 dan 19. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Yulita, Nelda. 2009. Ensiklopedia Geografi. Jakarta: PT Ikrar
Mandiriabadi.
Yunita, Vivi. 2012. Unsur Postkolonial dalam Novel Atheis Karya
Achdiat K. Mihardja. Padang: Universitas Negeri Padang.
Zaenudin. 2015. Perkembangan Produk Hukum Kearsipan di Indonesia.
Arsip Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Sumber Internet
242 | Miftakhuddin
Noerhayati. 2008. Penjajahan Barat Terhadap Dunia Islam.
https://noerhayati. wordpress.com/2008/06/02/penjajahan-
barat-terhadap-dunia-islam/. (diakses pada 3 Juni 2017, pukul
12.30).
Putra, Hikmawan, S. 2012. Pengruh Pemerintahan Kolnialisme Belanda
Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia.
https://hikmawansp. wordpress.com/2012/07/10/pengaruh-
pemerintahan-kolonialisme-belanda-terhadap-sistem-
pemerintahan-indonesia/ (diakses pada 4 Juni 2017, pukul
18.00).
Tribunnews.com. Ini Bukti Amerika Menciptakan Al Qaeda dan ISIS.
Edisi Jumat 16 Oktober 2015.
http://medan.tribunnews.com/2015/10/16/ini-bukti-amerika-
menciptakan-al-qaeda-dan-isis. (diakses pada 25 Juli 2017,
pukul 23.16).
unair.ac.id (diakses pada 7 Juni 2017, pukul 20.40).
Yulianti. 2016. Perkembangan Awal Kehidupan Masyarakat Maori
Serta Kontak Mereka dengan Orang-Orang Kulit Putih.
http://yuliantihimas. blogspot.co.id/2016/01/perkembangan-
awal-kehidupan-masyarakat. html (diakses pada 12 Juli 2017,
pukul 19.21).
244 | Miftakhuddin
CV Jejak akan terus bertransformasi untuk
menjadi media penerbitan dengan visi
memajukan dunia literasi di Indonesia. Kami
menerima berbagai naskah untuk diterbitkan.
------------------------------------------------
----------------------------
------------