Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH REGIONALISME

“UNIVERSALISME HAK ASASI MANUSIA”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Regionalisme

Dosen Pengampu :
E.N. DOMLOBOY NASUTION, S.IP., M.HI.

Disusun Oleh :

KELOMPOK 2
Nama : FENTY YOLANDA
1931000004
PRATIWI
NOVA AMANDA 1931000013
M. HAFEEZ 1931000029
Kelas : HI – A Malam

FAKULTAS ILMU POLITIK DAN KEPENDIDIKAN


UNIVERSITAS POTENSI UTAMA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur hanya milik Allah SWT. Sholawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun
mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas Mata Kuliah
Regionalisme.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi, namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah
ini tidak lain berkat kerjasama dan dorongan serta bimbingan dosen, sehingga
kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas wawasan, ilmu yang
kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi.Makalah ini
disusun dengan melalui berbagai rintangan, baik itu yang datang dari diri penulis
maupun dari luar.Namun dengan penuh kesabaran akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya Mahasiswa
Universitas Potensi Utama. Penulis sadar makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu penulis meminta kepada Dosen Pembimbing juga Pembaca
untuk memberikan masukan, kritik dan saran demi perbaikan pembuatan makalah
kami dimasa yang akan datang.

Medan, 13 Oktober 2021


Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
A. Hak Asasi Manusia.................................................................... 3
B. Universalisme............................................................................. 4
C. Universalisme Hak Asasi Manusia............................................ 5
BAB III PENUTUP....................................................................................... 10
A. Kesimpulan................................................................................ 10
B. Saran........................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara yang berlandaskan atas hukum, hal
ini sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945 “Negara Indonesia adalah
negara hukum”. Salah satu ciri dari negara hukum menurut F. J Stahl ialah adanya
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,1 termasuk pula dalam
hal ini jaminan terhadap hak asasi anak dan perempuan.
Istilah hak asasi perempuan muncul seiring dengan kesadaran perlunya
perhatian dan perlindungan khusus bagi kaum perempuan akibat dari banyaknya
permasalahan dan persoalan yang dialami kaum perempuan, seperti kekerasan
fisik dan psikis, diskriminasi di berbagai bidang kehidupan (keyakinan tradisi dan
kebiasaan budaya), ketertinggalan di berbagai bidang, dan lain-lain sehingga
dalam beberapa kajian dan pengaturan, perempuan dimasukkan dalam kelompok
yang vulnerable, bersama-sama dengan kelompok anak, kelompok minoritas dan
kelompok rentan lainnya.2
Disamping tergolong sebagai kelompok rentan, hak anak menjadi penting
diperhatikan karena ada keyakinan dalam masyarakat bahwa anak merupakan
generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masa depan suatu
negara. Oleh karena itu di suatu kehidupan bernegara segala macam kebutuhan
yang menunjang tumbuh kembangnya anak haruslah diperhatikan, sebab
kesejahteraan anak mengacu pada terpenuhinya segala hak dan kebutuhan hidup
anak.

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa Hak Asasi Manusia termasuk dalam teori Universalisme ?
2. Bagaimana Teori Universalisme memetakan Hak Asasi Manusia ?

C. Tujuan Penulisan
1
Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya),
Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1995, hlm. 46
2
Niken Savitri, Ham Perempuan, Kritik Teori Hukum Feminis terhadap KUHP, Refika Aditama,
Bandung, 2008, hlm.3

1
1. Mengetahui bahwa Hak Asasi Manusia dapat termasuk dalam teori
universalisme.
2. Mengetahui Teori Universalisme yang memetakan Hak Asasi Manusia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hak Asasi Manusia


Hak Azasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperolehnya dan
dibawanya bersama dengan kelahiran atau kehadirannya dalam kehidupan
masyarakat. Hak Azasi Manusia (human raights) yang secara universal diartikan
sebagai those rights which are inherent in our nature and without which we
cannot live as human being oleh masyarakat di dunia perumusan dan
pengakuannya telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang sangat panjang.
Bahkan saat inipun hal tersebut masih berlangsung, dengan pelbagai dimensi
permasalahan yang muncul karena pelbagai spektrum penafsiran yang terkait
didalamnya. 3
Dalam sejarah perkembangannya yang awal di negeri-negeri Barat, proses
berkembangnya ide hak-hak manusia yang asasi – berikut segala praksis-praksis
implementasinya–terjadi seiring dengan berkembangnya ide untuk membangun
suatu negara bangsa yang demokratik dan berinfrastruktur masyarakat warga
(civil society). Ide ini mencita-citakan terwujudnya suatu komunitas politik
manusia sebangsa atas dasar prinsip kebebasan dan kesamaan derajat serta
keududukan di hadapan hukum dan kekuasaan.4
Ketika Hak Asasi Manusia dideklarasikan di New York atas wibawa PBB
pada tahun 1948, deklarasi itu adalah deklarasi yang pada dasarnya bertolak dari
dan bertumpuk pada ide, doktrin dan atau konsep mengenai kebebasan dan
kesetaraan manusia sebagaimana yang telah lama dimengerti oleh Barat. Lebih
lanjut lagi, deklarasi itu bahkan juga mengklaim bahwa hak-hak dan seluruh ide
dan doktrin yang mendasarinya itu juga bernilai universal. Kalau semula pada
awalnya yang dimaksudkan dengan universalitas itu adalah universalitas yang
masih pada lingkup nasional mengatasi partikularisme yang lokal dan atau etnik
dan atau yang sektarian, kini yang dimaksudkan dengan universalitas itu adalah
3
Muladi, Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam Bagir Manan, "Kedaulatan Rakyat, Hak
Asasi Manusia dan Negara Hukum". Gaya Media Pratama, Jakarta. 1996, hal. 113
4
Sotandyo WignjoSoebroto, Hubungan Negara dan Masyarakat dalam kKonteks Hak Asasi
Manusia; Sebuah Tinjauan Historik dari Relativisme Budaya – Politik, makalah disampaikan
pada Seminar Pembanguna Hukum Nasional VIII diselenggarakan oleh BPHN
DepKeh&HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

3
universalitas yang kemanusiaan mengatasi partikulsrisme kebangsaan. Bukan
suatu kebetulan manakala deklarasi itu secara resmi disebut The Universal
Declaration Of Human Rights, dengan mengikutkan kata "universal" guna
mengkualifikasi deklarasi itu sebagai suatu pernyataan yang berlaku umum di
negeri manapun, pada kurun masa yang manapun, untuk dan terhadap siapapun
dari bangsa manapun.
Peta permasalahan HAM di berbagai kawasan dunia menjadi sangat
menarik, apabila dikaji adanya pelbagai kelompok pemikiran baik yang berkaitan
dengan pendirian negara-negara, maupun kelompok-kelompok yang bersifat non
pemerintah (NGO). Dalam hal ini menurut Muladi 5 paling sedikit dapat diperinci
adanya 4 (empat) kelompok pandangan, yakni pertama Kelompok berpandangan
Universal-absolut, kedua Kelompok berpandangan Universal-relatif, ketiga
Kelompok berpandangan Partikularistik-absolut, keempat Kelompok
berpandangan Partikularistik-relatif.

B. Universalisme
Secara filosofis, universalisme hadir melalui alur fikir bebarapa filsuf
Yunani Klasik seperti Socrates dan Aristoteles. Socrates adalah seorang filsuf
yang selalu berusaha mencari kebenaran universal. 6 Sedangkan Aristoteles, dalam
suatu karyanya Nicomachean Ethics secara detail menguraikan suatu argumentasi
yang mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah.7
Secara sederhana dapat dipahami bahwa kedua filsuf tersebut
mengasumsikan akan adanya keberadaan suatu nilai moral universal.
Universalisme moral bermaksud meletakkan keberadaan kebenaran moral yang
bersifat lintas budaya dan lintas sejarah dapat diidentifikasi secara rasional. Dalam
perkembangannya, pandangan akan adanya keberadaan suatu nilai moral universal
ini mendapat dukungan dari Jhon Locke, salah seorang filsuf abad 17 dan
berkembang kearah pandangan hak kodrati.

5
Muladi, Op.Cit. hal 115
6
8 Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia (perspektif internasional, regional dan nasional), PT.
RajaGrafindo Persada, Depok, 2018, hlm. 32
7
Knut D. Asplun, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (editor), Hukum Hak Asasi Manusia, cet. III,
Pusham UII, Yogyakarta, 2015, hlm. 19

4
Dalam dua karangan, The First Treatise of Government dan The Second
Treatise of Government Locke mengajukan pandangannya. Dalam karangan
pertama, Locke menolak kedudukan Raja sebagai sesuatu yang bersifat illahiah
karena menurutnya tidak terdapat alasan logis dan teologis untuk mendukung hal
tersebut. Dalam buku kedua barulah Locke menyatakan bahwa manusia
merupakan makhluk yang terlahir dengan hak-hak kodrati.
Menurut Stanley, abad 17 dan 18 merupakan permulaan awal
berkembangnya pandangan tentang hak kodrati. Pada awal perkembangannya hak
kodrati tersebut berwatak religius dengan asumsi bahwa “setiap manusia sama
dihadapan tuhan”. Namun dalam perkembangannya, watak religius tersebut hilang
atau beralih sekuler tatkala berubah menjadi pandangan hak asasi manusia,
dengan asumsi bahwa “setiap manusia sama dihadapan hukum”.

C. Universalisme Hak Asasi Manusia


Secara sosiologis, universalisme hak asasi manusia erat kaitannya dengan
sistem negara abad ke-25 dimana setiap orang terbelenggu oleh otoritas negara
dan tidak ada satupun kelompok yang terbebas dari otoritas ini.8 Dalam keadaan
demikian, lalu muncullah dorongan akan perlindungan dan penghormatan
terhadap privasi dan individu dari gangguan masyarakat, keluarga dan terutama
negara.
Universalisme HAM merupakan pernyataan dan tuntutan terhadap
pengakuan bahwa hak-hak manusia yang asasi adalah bagian kodrati yang intense
pada setiap pribadi manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya,
usia, latar belakang kultural, agama atau spiritualitasnya. Dengan kata lain, paham
HAM universal bermaksud melampaui semua batasan primordialisme.9
Berkaitan dengan hal tersebut, Rhoda E. Howard, seorang pendukung
paham universalisme menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang
dimiliki manusia karena ia adalah manusia. Setiap manusia memiliki hak asasi
yang tidak boleh diingkari dan dicabut kecuali dengan keputusan hukum yang
adil. Konsepsi hak asasi manusia menganggap bahwa perbedaan ras, jenis

8
Eko Riyadi, Op.Cit, 2018, hlm. 34
9
Soetandyo wignjosoebroto, dalam Adnan B Nasution, Ham dan Demokrasi (Arus Pemikiran
Konstitusionalisme), Kata Penerbit, Jakarta, 2007, hlm. xiv

5
kelamin, gender, dan agama tidak lagi relevan secara politik dan hukum serta
menuntut adanya perlakuan yang sama bagi semua orang.10
Menurut universalisme, hak asasi manusia haruslah sama disemua tempat.
Sebab hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki manusia karena ia adalah
manusia. Tiap-tiap manusia memiliki hak asasi. Kendatipun demikian
universalisme pada dasarnya memungkinkan hak-hak universal itu dipengaruhi
secara kebudayaan bentuk-bentuk implementasinya, seperti hak atas peradilan
yang fair. Hak ini tidak menuntut keharusan untuk mengikuti salah satu model
peradilan yang ada, namun negara berwenang menggunakan mekanisme sesuai
sistem hukum yang berlaku di negaranya dengan patokan bahwa hak atas
peradilan yang fair dapat terpenuhi.11
Hak asasi manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan
kepercayaanakan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada
seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran
moral yang bersifat lintas-budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi
secara rasional. Asal muasal universalisme moral di Eropa terkait dengan tulisan-
tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles secara detail
menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral
yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar bagi seluruh sistem
keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkan
dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif untuk menguji legitimasi
dari sistem hukum yang sebenarnya “buatan manusia”. Oleh karenanya, kriteria
untuk menentukan suatu sistem keadilan yang benar-benar rasional harus menjadi
dasar dari segala konvensi-konvensi sosial dalam sejarah manusia. “Hukum alam”
ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi sosial dan politik.
Sarana untuk menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang alamiah ada pada
“reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga. Dalam
universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang
tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi.
Dalam model relativisme budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial.

10
Rhoda E. Howard, Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya (terjemahan), PT. Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta, 2000, hlm 1
11
Eko Riyadi, Op.Cit, 2018, hlm. 33

6
Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan
persamaan. Yang diakui adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas
utama. Doktrin ini telah diterapkan di berbagai negara yang menentang setiap
penerapan konsep hak dari Barat dan menganggapnya sebagai imperialisme
budaya. Namun demikian, negara negara tersebut mengacuhkan fakta bahwa
mereka telah mengadopsi konsep nationstate dari Barat dan tujuan modernisasi
sebenarnya juga mencakup kemakmuran secara ekonomi.

Teori Universalisme HAM


 HAM sebagai hak alamiah bersifat fundamental, dimiliki individu terlepas
dari nilai- nilai masyarakat ataupun negara.
 Tidak perlu pengakuan dari pejabat atau dewan manapun.
 Merupakan pembatasan kewenangan dan yuridiksi negara.
Namun demikian, yang menjadi persoalan besar sampai saat ini adalah
apakah ide dan konsep harus bersifat demikian universalistik dalam artian yang
mutlak? Ataukah sekalipun deklarasi itu telah diterima oleh banyak wakil negara
bangsa di dunia ini, masihkah ada juga tempat untuk tafsir-tafsir yang lebih
bersifat partikularistik? Artinya, adakah hak asasi manusia itu harus ditegakkan
kapan saja di mana saja dalam pengertiannya yang sama sebagaimana modelnya
yang klasik dari Barat itu? Ataukah HAM hanya dipandang sebagai suatu yang
universal dalam hal prinsip-prinsipnya saja? Yang oleh sebab itu implementasinya
– demi kemajuan dan penegakan HAM – mestilah selalu dilakukan dengan
memperimbangkan dan atau memperhitungkan kondisi dan situasi setempat yang
partikular?
Pada prinsipnya, sebenarnya semua negara di dunia ini menjunjung tinggi
konsep hak-hak asasi manusia. Meskipun demikian, pelaksanaan konsep tersebut
telah menjadi persoalan besar bukan saja pada tingkat politik dalam negeri tetapi
pada tingkat hubungan internasional. Tampaknya konsep hak asasi manusia yang
dianut disementara negara-negara Dunia Ketiga. Di antara negara-negara yang
agak lantang menetang konsep "Barat" dan secara gigih memperjuangkan konsep
"Timur" mengenai hak-hak sasi manusia terdapat Cina, Vietnam, Myanmar,

7
Malaysia, Singapura dan juga Indonesia.12 Hal itu pun terjadi pada negara-negara
Islam yang mempunyai pandangan berbeda tentang HAM dengan negara-negara
Barat. Kalau kita perhatikan dan cermati permasalahan yang paling menonjol
perbedaan tersebut yakni dari cara pandang yang berujung pada aplikasinya di
tiap-tiap negara.
Sebelum membahas lebih jauh lagi tentang permasalahan diatas ada
baiknya penulis paparkan terlebih dahulu perihal pandangan dari kelompok-
kelompok pemikiran tentang universalisme-partikularisme dalam HAM, baik
yang berkaitan dengan pendirian negara-negara, maupun kelompok-kelompok
yang bersifat non pemerintah (NGO).
Dalam hal ini menurut Muladi13 paling sedikit dapat diperinci adanya 4
(empat) kelompok pandangan sebagai berikut:
1. Mereka yang berpandangan Universal-absolut yang melihat HAM sebagai
nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan di dalam The International Bill
of Human Rights. Mereka ini tidak menghargai sama sekali profil sosial
budaya yang melekat pada masing-masing bangsa. Penganut pandangan ini
adalah negara-negara maju dan bagi negara-negara berkembang mereka ini
seringkali dipandang eksploitatif, karena menerapkan HAM sebagai alat
untuk menekan dan instrument penilai (tool of judgement).
2. Mereka yang berpandangan Universal-relatif. Mereka ini juga memandang
persoalan HAM sebagai masalah universal, namun demikian perkecualian
(exeption) yang didasarkan atas asas-asas hukum international tetap diakui
keberadaannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini ketentuan yang
diatur dalam pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Right yang
menegaskan bahwa:
"In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to
such limitation as are determined by law solely for the purpose of securing
due recognition and resfect for the rights and freedom of others and of
meeting the jus requirements of morality, public order and the general
welfare in a democratic society".

12
Harold Crouch, Beberapa Catatan Tentang Hak Asasi Manusia, dalam Haris Munandar
(ed) "Pembangunan Politik, Situasi Global, dan Hak Asasi di Indonesia". Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hal. 451
13
Muladi, Op.Cit. hal 115

8
3. Mereka yang berpandangan Patrikularistik-absolut, yang melihat HAM
sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan alasan yang
kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap berlakunya dokumen-
dokumen internasional. Pandangan ini bersifat chauvinis, egois, defensive dan
pasif tentang HAM.
4. Mereka yang berpandangan Patrikularistik-relatif, yang memandang persoalan
HAM disamping masalah universal juga merupakan masalah nasional masing-
masing bangsa. Berlakunya dokumen-dokumen international harus
diselaraskan, diserasikan dan diseimbangkan serta memperoleh dukungan dan
tertanam (embedded) dalam budaya bangsa. Pandangan ini tidak sekedar
defensife, tetapi juga secara aktif berusaha mencari perumusan dan
pembenaran karakteristik HAM yang dianutnya.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut universalisme, hak asasi manusia haruslah sama disemua tempat.
Sebab hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki manusia karena ia adalah
manusia. Tiap-tiap manusia memiliki hak asasi. Kendatipun demikian
universalisme pada dasarnya memungkinkan hak-hak universal itu dipengaruhi
secara kebudayaan bentuk-bentuk implementasinya, seperti hak atas peradilan
yang fair. Hak ini tidak menuntut keharusan untuk mengikuti salah satu model
peradilan yang ada, namun negara berwenang menggunakan mekanisme sesuai
sistem hukum yang berlaku di negaranya dengan patokan bahwa hak atas
peradilan yang fair dapat terpenuhi.
Deklarasi Universal HAM seluruh ide dan doktrin yang mendasarinya itu
pada prinsipnya bernilai universal. Kalau semula pada awalnya yang dimaksudkan
dengan universalitas itu adalah universalitas yang masih pada lingkup nasional
mengatasi partikularisme yang lokal dan atau etnik dan atau yang sektarian, kini
yang dimaksudkan dengan universalitas itu adalah universalitas yang
kemanusiaan mengatasi partikularisme kebangsaan. Bukan suatu kebetulan
manakala deklarasi itu secara resmi disebut The Universal Declaration Of Human
Rights, dengan mengikutkan kata "universal" guna mengkualifikasi deklarasi itu
sebagai suatu pernyataan yang berlaku umum di negeri manapun, pada kurun
masa yang manapun, untuk dan terhadap siapapun dari bangsa manapun.

B. Saran
Agar mahasiswa mampu mengetahui Hak Asasi Manusia dalam ikatan
Teori Universalisme. Demikian sedikit ulasan tentang Universalisme Hak Asasi
Manusia, dan berguna untuk ikut mencerdaskan anak bangsa. Taatilah hukum
yang berlaku, dan lihatlah sebuah kejadian dari berbagai sudut pandang, jangan
sekali-kali mudah memberikan statement bahwa seseorang salah atau benar.

10
DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution, Dkk (Ed). Instrumen-Instrumen Hak Asasi Manusia


Internasional, Yayasan Obor. Jakarta 1999.
Abdullah Ahmed An Naim, Human Right Religion and secularism, does it have
a choice?, makalah dalam seminar on Religion an World Civilization, 19
September 2000.
Budiardjo Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama 1998
G. Alfredsson and A. Eide (eds). The Universal Declarations of Human Rights A
Common Standard of Archivement,Martinus Nijhoff, 1999
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/17100/05.2%20bab
%202.pdf?sequence=7&isAllowed=y
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/17100/05.1%20bab
%201.pdf?sequence=6&isAllowed=y

11

Anda mungkin juga menyukai