Anda di halaman 1dari 17

PANCASILA SEBAGAI LANDASAN FILOSOFI HAM

MAKALAH
Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah

“Pendidikan Kewarganegaraan”

Dosen pengampu : Bapak A. Saiful Aziz, S. H. I,. M. S. I

Disusun oleh:

Kelompok 10

1. Dian Estyas Aisyah (22106011116)


2. Cindi Nur Noviani (22106011163)
3. Muhammad Alfian Maulidina H. (22106011133)
4. Nanda Lukman Hakim (22106011151)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia- Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi
tugas kelompok untuk mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan judul “ Pancasila
sebagai landasan Filosofo HAM ”

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini, tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan do’a, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yanga kami miliki. Oleh karena itu,
kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukkan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia Pendidikan.

Semarang , 30 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 1

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 3

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 3


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 3
C. Tujuan ................................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 5

A. Pancasila sebagai landasan Filosofi HAM .............................................................. 5


B. Tantangan dan Problematika HAM di Indonesia.................................................... 9
1. Struktur ............................................................................................................. 9
2. Substansi ........................................................................................................... 10
3. Kultur Hukum ................................................................................................... 10
a. Pembersihan PKI ........................................................................................ 10
b. Penembakan Misterius ................................................................................ 11
c. Pembunuhan Marsinah................................................................................ 11
d. Tragedi Simanggi ........................................................................................ 11
e. Tragedi Trisakti ........................................................................................... 11
C. Revitalisasi Pancasila sebagai dasar dan arah menuju sepremasi hukum bagi
tegaknya HAM ........................................................................................................ 12

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 14

Kesimpulan ........................................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 15

iii
AB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang didalamnya terkandung sila
pertama Yaitu Ketuhanan yang maha esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kemanusiaan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada sila
kedua yang berbunyi "Kemanusiaan yang adil dan beradab" bahwa di dalam pancasila
yang telah disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan Hak Asasi
Manusia di letakkan setelah Ketuhanan. Dari situ sudah dapat ditarik kesimpulan. Basis
paling bawah yang menjamin harkat etis manusia adalah keberadaban. Bertindak dengan
beradab tentu belum cukup kalau kita menghadap kewajiban kita sebagai manusia dalam
masyarakat dan dunia, akan tetapi sudah merupakan titik berpijak yang menjamin
moralitas pada dasariah. Sebaliknya, bertindak dengan tidak beradab, demi tujuan baik
pun, adalah tidak mutu dan tidak etis. Misalnya orang yang memperjuangkan keyakinan
politik atau keyakinan keagamaannya dengan cara yang tidak beradab justru merendahkan
etika politik dan menghina agamanya sendiri. Sebenarnya banyak masalah dalam
masyarakat kita sudah akan terpecahkan asal saja kita bertekad bersama untuk selalu
bertindak secara beradab. Tak perlu dulu bicara akhlak mulia, cukup kalau kita mau
membawa diri sebagai makhluk yang beradab saja. Karena keberadaban itulah yang
membedakan manusia dari binatang. Jadi kita mestinya bertekad untuk tidak pernah
bertindak secara tidak beradab, secara brutal, secara kejam atau keji, secara beringas,
secara kasar tak sopan. Tekad ini justru perlu dipegang dalam memperjuangkan yang baik.
Misalnya tindakan kasar dan brutal atas nama agama merupakan penghinaan terhadap
agama yang diperjuangkan itu sendiri, dan tak mungkin tindakan tak beradab dan brutal
berkenan di hadapan Tuhan.

B. Rumusan Masalah
1. Pancasila Sebagai Landasan Filosofi HAM
2. Tantangan dan Problematika HAM di Indonesia
3. Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar dan Arah Menuju Supremasi Hukum Bagi
Tegaknya HAM

1
C. Tujuan
Berdasarkan beberapa rumusan masalah di atas, maka makalah ini mempunyai
beberapa tujuan:
1. Untuk mengetahui Pancasila Sebagai Landasan Filosofi HAM
2. Untuk memahami Tantangan dan Problematika HAM di Indonesia
3. Untuk memahami Revitalisasi Pancasila Sebagai Dasar dan Arah Menuju Supremasi
Hukum Bagi Tegaknya HAM

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Pancasila sebagai landasan Filosofo HAM.


Pancasila sebagai Landasan Filosofis HAM Dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di
depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sila
kemanusiaan tidak eksplisit disebutkan. Tekanan pidato kala itu pada bentuk dan dasar
negara bangsa (nationale staat). Disebutkan lima prinsip sebagai dasar negara yakni,
kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi,
kesejahteraan sosial, dan ketuhanan.
Prinsip perikemanusiaan diletakkan dalam kerangka internasionalisme dan diurutkan
setelah nasionalisme. Memang internasionalisme dan perikemanusiaan adalah dua hal
(entitas) berbeda, namun dalam konteks pidato itu keduanya bertalian erat dihubungkan
dengan prinsip kebangsaan. Bung Karno tidak menghendaki nasionalisme di Indonesia
berkembang menjadi chauvinisme, yang memilah-milah kemanusiaan berdasarkan ras,
etnik seperti slogan diktator Jerman, Hitler: Deutschland über alles.
Dalam visi proklamator, nasionalisme Indonesia "bukan kebangsaan yang menyendiri",
mengisolasi diri, yang meninggikan diri di atas bangsa lain. Indonesia hanyalah salah satu
anggota keluarga bangsa-bangsa, yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Tujuan
pendeklarasian bangsa Indonesia merdeka adalah persatuan dan persaudaraan dunia. Dan,
yang menyatukan seluruh bangsa-bangsa di dunia adalah kemanusiaan yang sama
martabatnya. Maka Bung Karno mengutip ucapan Mahatma Gandhi, "Saya seorang
nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity."
Negera boleh berbeda, tetapi dasar bernegara dan berbangsa adalah kemanusiaan
universal.
Dari pidato yang menandai lahirnya Pancasila, perikemanusiaan baru dipahami secara
abstrak dan fungsional mendasari hubungan Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di
dunia, dalam kerangka hubungan internasional. Dalam kursus-kursus yang disampaikan
Bung Karno tahun 1958, diterbitkan Departemen Penerangan dengan judul Pancasila
sebagai Dasar Negara, kembali diulangi pentingnya perikemanusiaan untuk nasionalisme
yang tidak chauvinistik. Artinya, kemanusiaan menjadi dasar nasionalisme, sehingga tidak
terjebak pada primordialisme dan egosentrik yang sempit. Ini artinya bahwa dalam konteks
sejarah, dapatlah dipahami bahwa problem kemanusiaan sesunggunya bukanlah problem
lokalitas dan nasional semata. Tetapi lebih dari itu, kemanusiaan menjadi landasan
membangun persaudaraan abadi. Jika kenyataan sejarah tragedi kemanusiaan berbeda
3
antar tiap daerah, tiap bangsa dan negara itu tidak menjadi persoalan. Justru akan semakin
baik jika pijakan lokalitas dari pengalaman kemanusiaannya menjadi titik tolak untuk
membebaskan manusia dari ketertindasan, untuk mengangkat harkat manusia ke arah yang
lebih bersifat universal.
Kemanusiaan yang dimaksud dalam pancasila adalah kemanusiaan yang adil pada diri
sendiri, terhadap sesama, dan terhadap Tuhan. Karena itu kemanusiaan yang adil dan
beradab mengandung prinsip perikemanusiaan atau internasionalisme yang terjelma dalam
hubungan baik antar manusia, antar bangsa, tanpa terjebak dalam ego kesukuan sempit.
Sementara yang dimaksud dengan beradab adalah martabat manusia yang dijunjung
setinggi-tingginya. Dalam Tap MPR No II/MPR/1978, penjabaran sila kemanusiaan
adalah mengakui persamaan derajat manusia serta hak dan kewajibannya di antara sesama,
saling mencintai, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap
orang lain, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, berani membela kebenaran dan
keadilan, memandang diri sebagai bagian umat manusia yang konsekuensinya adalah
mengembangkan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain dan saling menghormati.
Secara visioner, Notonegoro memahami hakekat manusia Indonesia adalah
bhinekatunggal, majemuk-tunggal atau monopluralis. Substansi hakekat manusia ada
dalam pola berpikir, berasa, dan berkehendak. Ketiga dimensi inilah yang membedakan
manusia dengan lainnya. Hakekat manusia juga tercermin dalam relasinya dengan the
other, yang lain. Justru dalam keterkaitannya dengan yang lain akan nampak hakikat
kemanusiaannya, bukan malah melebur dalam struktur yang membuatnya kehilangan
otonomi. Dalam konteks relasi manusia dengan negara terdapat hubungan sebab-akibat.
Negara berasal dari rakyat yang terdiri dari manusia, sehingga sebagai konsekuensinya
menjadi keharusan negara mengandung sifat-sifat yang terdapat pada manusia.
Dengan demikian, setiap orang Indonesia mempunyai susunan kepribadian bertingkat:
Pertama, Mempunyai hakekat kemanusiaan. Kedua, Sebagai bentuk penjelmaan darinya
mempunyai hakekat pribadi kebangsaan atau keribadian Pancasila. Ketiga, Masing-
masing dari kemanusiaan dan hakekat kebangsaan atau pancasila mempunyai hakekatnya
sendiri-sendiri. Keempat, Hakikat kebangsaan seharusnya menjadi ‘payung’ yang
melindungi hakikat kemanusiaan, sementara hakekat kemanusiaan ‘mendasari’ hakikat
berbangsa. Bagaimana manusia Indonesia yang bhineka-tunggal, majemuk-tunggal
mendapatkan ruang yang sama untuk tumbuh dengan ikhlas saling menghormati masing-
masing perbedaan dengan keberlainannya (otherness), di mana ‘aku’ tulus atau ikhlas

4
hidup bersama dengan sesama saudara-saudari yang berbeda agama dan suku tanpa
memaksakan cita-cita pretensi hidup baik menurutku atau agamaku ke sesama.
Proses humanisasi adalah kerja-kerja peradaban yang semakin mencipta hidup bersama
semakin manusiawi, semakin menyejahterakan satu sama lain. Humanisasi dari apa ke
mana? Humanisasi dari saling ‘memakan’ antar sesama bak serigala buas (homo homini
lupus), dan ini yang pernah dipraktekkan di era kolonialisme atau bahkan hingga negeri
ini merdeka, menuju humanisasi yang memperlakukan manusia sebagai manusia untuk
bisa hidup berdampingan (homo homini socius) dan beradab.Dalam proses saling
menyerap, berkelindan dan bahkan tumpang tindih, mampukah kita merumuskan
kemanusiaan dalam bingkai pancasila?. Kemanusiaan yang tidak diskriminatif. Hakekat
kemanusiaan, di samping tercermin dalam berpikir, berasa dan berkehendak, juga
tercermin dalam ketika kita dihadapkan dengan ‘yang lain’ (sosialitas).
Hakekat kemanusiaan juga untuk melakukan perbuatan lahir dan batin atas dorongan
kehendak berdasarkan atas putusan akal, selaras dengan rasa untuk memenuhi hasrat-
hasrat sebagai ketunggalan, yang ketubuhan, yang kejiwaan, yang perseorangan, yang
kemakhluksosialan, yang berkepribadian diri sendiri dan yang berketuhanan. Di samping
itu, kebutuhan-kebutuhan fundamen pada manusia juga harus terpenuhi, baik kebutuhan
individu dan kolektif, kebutuhan internasional, kebutuhan akan demokrasi dan keadilan,
hingga kebutuhan religious. Semuanya harus berjalan seimbang dalam satu kesatuan yang
harmonis, tanpa mengekploitasi satu dengan lainnya, sehingga terwujud sifat kebhineka-
tunggal, atau monopluralis.
Demikianlah, bangsa dan negara Indonesia didirikan di atas visi kemanusiaan. Para
pendiri Republik menyadari signifikansi visi yang tertuang dalam sila "kemanusiaan yang
adil dan beradab". Bahkan, martabat manusia merupakan fondasi semua nilai moral dasar
Pancasila.
Salah satu “permainan” ideologis di negara kita ini adalah pertanyaan: manakah sila
paling mendasar dalam Pancasila sebagaimana disebut dalam Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945. Ada yang mengatakan bahwa itu tentunya sila pertama, Ketuhanan Yang
Maha Esa, karena Tuhan adalah yang tertinggi dari segala yang ada. Ada yang mengatakan
bahwa itu adalah “Persatuan Indonesia” karena tanpa sila itu, sila-sila lain tidak
mempunyai tempat untuk berpijak, yaitu bumi Indonesia. Begitu pula bagi “kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dan bagi
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” bisa ditemukan argumentasi mengapa
harus dianggap sila yang paling mendasar.
5
Akan tetapi ada argumen kuat untuk mengikuti pendapat alm. Prof. Dr. Nikolaus
Drijarkara. Romo Drijarkara menegaskan bahwa sila yang paling mendasar, dalam arti
etis, adalah sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Mengapa sila ini? Karena
tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab, semua sila lain menjadi cacat. Sebaliknya,
meskipun tanpa empat sila lain, sila kedua belum mengembangkan sepenuhnya dimensi-
dimensi potensial manusia, akan tetapi asal seseorang, dan begitu pula hubungan antar
orang, menjadi adil dan beradab, dasar situasi yang secara etis benar dan mantap sudah
diletakkan. Dengan kata lain, hanya atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab empat
sila lain bisa bermutu.
Berikut ini dapat dilihat letak kunci sila kedua dengan sedikit lebih rinci. Pertama harus
dikatakan bahwa kita memang harus mulai pada manusia, dan bukan pada Tuhan. Bukan
karena manusia lebih tinggi daripada Tuhan-Tuhan tentu jelas lebih tinggi daripada
manusia-melainkan karena sebagai manusia kita hanya dapat bertitik tolak dari
kemanusiaan, hanya manusia yang bisa bertanya tentang manusia. Setiap orang yang
mengklaim bertolak langsung dari Tuhan otomatis sudah sesat dan menyesatkan. Ia adalah
manusia, dengan pengertian manusia dan wawasan manusia, dan tidak bisa langsung
mengatasnamakan Tuhan. Maka manusia senang atau tidak harus mulai dari dirinya
sendiri. Tanpa kemanusiaan, tidak ada dimensi manusia lain. Jadi tanpa kemanusiaan tak
ada dimensi lain, tak ada kebangsaan, tak ada kerakyatan, tak ada Ketuhanan (tetapi, sekali
lagi, Tuhan tentu ada tanpa kemanusiaan, tetapi bukan Ketuhanan sebagai penghayatan
dan pengakuan manusia terhadap Tuhan).
Pertanyaannya kemudian adalah kemanusiaan yang bagaimana? Dimensi hubungan
antar manusia yang menjadi syarat segala hubungan yang baik adalah keadilan. Adil
berarti, mengakui orang lain, mengakui dia sebagai manusia, dengan martabatnya, dengan
menghormati hakhaknya. Cinta itu mewujudkan hubungan antar manusia paling
mendalam dan berharga, tetapi kalau dia melanggar keadilan, dia bukan cinta dalam arti
yang sebenarnya. Kejujuran yang tidak adil bukan kejujuran. Dan kebaikan yang tidak adil
kehilangan harkat etisnya.
Namun, keadilan itu sendiri tidak berdiri sendiri. Memperjuangkan keadilan adalah
sikap etis apabila dilakukan dengan cara yang beradab. Tanpa sikap beradab keadilan
menjadi tidak adil. Itulah seninya sila kedua :”Kemanusiaan yang adil dan beradab”
merupakan salah satu rumusan cita-cita dasar manusia yang paling indah dan mendalam.
Jadi kemanusiaan hanyalah utuh apabila adil dan beradab.

6
Dari situ sudah dapat ditarik sebuah kesimpulan. Basis paling bawah yang menjamin
harkat etis manusia adalah keberadaban. Bertindak dengan beradab tentu belum cukup
kalau kita menghadap kewajiban kita sebagai manusia dalam masyarakat dan dunia, akan
tetapi sudah merupakan titik berpijak yang menjamin moralitas pada dasariah. Sebaliknya,
bertindak dengan tidak beradab, demi tujuan baik pun, adalah tidak mutu dan tidak etis.
Misalnya orang yang memperjuangkan keyakinan politik atau keyakinan keagamaannya
dengan cara yang tidak beradab justru merendahkan etika politik dan menghina agamanya
sendiri. Sebenarnya banyak masalah dalam masyarakat kita sudah akan terpecahkan asal
saja kita bertekad bersama untuk selalu bertindak secara beradab. Tak perlu dulu bicara
akhlak mulia, cukup kalau kita mau membawa diri sebagai makhluk yang beradab saja.
Karena keberadaban itulah yang membedakan manusia dari binatang. Jadi kita mestinya
bertekad untuk tidak pernah bertindak secara tidak beradab, secara brutal, secara kejam
atau keji, secara beringas, secara kasar tak sopan. Tekad ini justru perlu dipegang dalam
memperjuangkan yang baik. Misalnya tindakan kasar dan brutal atas nama agama
merupakan penghinaan terhadap agama yang diperjuangkan itu sendiri, dan tak mungkin
tindakan tak beradab dan brutal berkenan di hadapan Tuhan

B. Tantangan dan Problematika HAM di Indonesia.

Otoritarianisme rezim Orde Baru antara lain ditandai dengan banyaknya kasus-kasus
pelanggaran HAM baik yang terselubung maupun yang terbuka. Memang pada masa itu
instrumen instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era
reformasi, misalnya ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam peraturan
perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia
yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majlis Umum PBB pada tanggal 10
Desember 1948, dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres
No 50 Tahun 1993 dan lain lain. Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi
bagi penegakan HAM karena hukum secara umum pada masa Orde Baru hanya diajdikan
alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan,
atau dengan kata lain hukum pada masa itu tidak untuk ditegakkan. Padahal seorang
filosofi hukum aliran realisme bernama Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itu
bukan apa-apa (law is nothing). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hukum baru memiliki
makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan hukum bukan apa apa.

7
Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang meliputi tiga
unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedmann, yaitu
struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal culture).

1. Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam sistem hukum Indonesia adalah
institusi institusi penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, serta
hirarki peradilan dari yang terendah (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-
lain) hingga yang tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak hukum
yang bekerja pada institusi institusi penegakan hukum tersebut. Problem yang terjadi
berkenaan dengan struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial yang
menjamin resistensi institusi institusi penegakan hukum terhadap intervensi pihak lain
serta rendahnya kualitas moralitas dan integritas personal aparat penegak hukum
sehingga hukum tidak dapat bekerja secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam
penegakan HAM.
2. Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang ada dalam sistem
itu atau produk produk yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan yang mereka
keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup (living law) dan bukan hanya aturan
aturan yang ada dalam kitab undang undang (law books). Yang menjadi problem dari
substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme dalam tatanan hukum di Indonesia
yang memandang hukum sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang berdaulat
dalam bentuk undang undang dan mengabaikan sama sekali hukum diluar yang tersebut
serta memandang prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan hukum
tanpa melihat apakah hal tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kebenaran.
3. Kultur hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang merupakan
ekspressi dari tingkat kesadaran hukum masyarakat belum kondusif bagi bekerjanya
sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan.

Selain penjabaran di atas, ada banyak problem HAM yang pernah terjadi di Indonesia,
diantaranya:

a. Pembersihan PKI (1965-1966)


Pada tahun 1965/1966 telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat terhadap
mereka yang dituduh sebagai anggota maupun terlibat dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Akibatnya, lebih dari dua juta orang mengalami penangkapan

8
sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, perkosaan,
kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penghilangan paksa, wajib lapor dan
lain sebagainya. Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang
diketahui telah hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian
para korban. Sementara beberapa riset menyatakan bahwa korban lebih dari 2 juta
orang. Tidak hanya korban, keluarga korban pun turut mengalami diskriminasi atas
tuduhan sebagai keluarga PKI. Selain harus kehilangan pekerjaan, banyak
diantaranya yang tidak bisa melanjutkan pendidikan, dikucilkan dari lingkungan
hingga kesulitan untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
b. Penembakan misterius (1983-1986)
Penembakan Misterius atau Petrus merupakan kasus yang terjadi antara tahun
1983 hingga 1986 atau pada masa Orde Baru. Peristiwa ini termasuk dalam
golongan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena telah mengadili seseorang
tanpa melalui proses hukum. Pelanggaran hak asasi yang dilakukan dalam Petrus
adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku kriminal atau kejahatan,
seperti preman, perampok, dan lain-lain. Pada 1983, tercatat sebanyak 532 orang
tewas dan 367 tewas karena luka tembak diduga korban penembakan
misterius. Kemudian, pada 1984, ada 107 tewas dan pada 1985 sejumlah 74 orang
tewas, 28 di antaranya tewas karena ditembak.
c. Pembunuhan marsinah (1993)
Marsinah adalah seorang bisa disebutkan sebagai pejuang HAM (Hak Asasi
Manusia) serta sebagai penggerak buruh di indonesia. Marsinah merupakan salah
satu penggerak unjuk rasa di PT. Catur Surya pada Mei 1993. Unjuk rasa ini dalam
rangka menuntut agar upah buruh di naikkan. Pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993,
Marsinah dan rekan-rekan buruh lainnya menjadi perwakilan perundingan dengan
PT.CPS. Namun mulai tanggal 6 Mei Marsinah menghilang begitu saja dengan
misterius. Kemudian ditemukan pada tanggal 8 Mei Marsinah sudah dalam keadaan
meninggal di hutan dengan keadaan tergeletak sekujur tubuh penuh luka memar
bekas pukulan benda keras dan berlumuran darah disekujur tubuhnya.
d. Tragedi semanggi (1998-1999)
Tragedi Semanggi merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
yang terjadi pada tanggal 13 November 1998. Tepatnya, sebuah peristiwa unjuk
rasa mahasiswa besar-besaran yang terjadi pada masa awal reformasi.

9
Pertumpahan darah pun terjadi pada unjuk rasa yang hendak menyampaikan
kekecewaan masyarakat. Bentrokan dengan aparat tidak terelakkan.
e. Tragedi trisakti (1998)

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998,


terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari
jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di
Jakarta Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang
Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin
Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1978 - 1998). Mereka tewas tertembak
di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital
seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan empat mahasiswa
Universitas Trisakti ini juga digambarkan dengan detail dan akurat oleh seorang
penulis sastra dan jurnalis, Anggie D. Widowati dalam karyanya berjudul Langit
Merah Jakarta.

C. Revitalisasi Pancasila sebagai dasar dan arah menuju sepremasi hukum bagi
tegaknya HAM
Revitalisasi nilai-nilai Pancasila pastilah dilakukan atas dasar ketidaksesuaian antara
citacita Pancasila dengan kondisi realita penegakan hukum dalam kehidupan saat ini.
Nilai-nilai Pancasila yang tertuang dalam setiap sila Pancasila secara jelas dapat
menggambarkan sebuah cita-cita bangsa. Menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain itulah yang perlu untuk diperhatikan.
Sadar sedalamdalamnya bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar
negara Indonesia serta merasakan bahwa Pancasila adalah sumber kejiwaan masyarakat
dan NKRI, maka pengamalan Pancasila harus dijadikan sebagai perjuangan untuk
menegakkan hukum yang berkeadilan demi terwujudnya kehidupan yang damai dan
tenteram.
Hukum nasional mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan
didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau
menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-
keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara
hak-hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam
kelompok masyarakat hukum. Dengan demikian, Negara Republik Indonesia sebagai
negara hukum, mengakui bahwa kewajiban untuk menjamin dan mewujudkan keadilan

10
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukanlah tanggung jawab kelembagaan hukum
semata-mata, melainkan tanggung jawab semua warga negara sebagaimana ditetapkan
oleh falsafah Pancasila dan UUD 1945.
Segala pengaturan penyelenggaraan kehidupan kenegaraan harus mengacu kepada
Pancasila. Nilai-nilai dasar Pancasila yaitu :
1. Nilai Ketuhanan
Sila yang pertama sila Ketuhanan yang Maha Esa, bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Esa dan oleh
karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradap.
2. Nilai kemanusiaan
Sila kedua merupakan kesesuaian dengan hakikat manusia. Hanya orang yang
sadar dirinya adalah manusia yang akanbisa memperlakukan orang lain sebagai
makhluk TuhanYang Maha Esa. Dengan adanya sikap saling menghargai setiap
manusia, maka akan timbul persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi
manusia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan jenis kelamin. Hormat
menghormati, saling bekerjasama, tenggang rasa, sopan santun merupakan sebagian
perwujudan dari menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
3. Nilai Persatuan
Pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang berdasarkan ketuhanan
adalah modal awal bagi terciptanya persatuan bangsa Indonesia. Sikap yang mampu
menempatkan kepentingan bangsa Indonesia diatas kepentingan pribadi dan
golongan serta mengembangkan persatuan Indonesia atasBhineka Tunggal Ika.
4. Nilai Kerakyatan
Kerakyatan merupakan kata kunci dari sila keempat. Hal ini berarti rakyat
mempunyai kedudukan yang tertinggi dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia. Kedaulatan negara ditangan rakyat, maka segala keputusan
diutamakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.
5. Nilai Keadilan
Hakikat dari sila kelima adalah adil, yaitu kesesuaian dengan hakikat adil. Kata
adil dapat diartikan tidak memihak, memberikan yang bukan hak, mengambil hak,
adil terhadap diri sendiri dan orang lain. Perwujudan keadilan sosial dalam keadilan

11
sosial atau kemasyarakatan meliputi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan dalam
bidang sosial terutama meliputi bidang-bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional.

12
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan anugerahNya yang wajib
dihormati dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Penegakan HAM
harus diimbangi dengan pelaksanaan Kewajiban Dasar Manusia karena diantara keduanya
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Penegakan HAM hanya dapat dibatasi oleh Undang
Undang untuk menjaga ketertiban umum dan hak-hak asasi orang lain.
Penegakan HAM di Indonesia dihadapkan kepada problem problem. Diantaranya
terpuruknya sistem hukum negara Indonesia yang unsur unsurnya terdiri dari struktur,
substansi dan kultur hukum, di samping terpuruknya sistem sistem lain yang juga
berpengaruh seperti sistem ekonomi, politik dan sosial.
Solusi problem penegakan HAM diupayakan melalui rekonstruksi sistem hukum
nasional dengan melakukan restrukturisasi institusi-institusi penegakan hukum untuk
menjamin kemandirian yudisialnya serta mereformasi sistem pendidikan aparat penegak
hukum agar bermoral dan profesional.

B. Saran

Penulisan makalah ini disadari jauh dari kesempurnaan, tiada gading yang tak retak.
Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat saya harapkan demi kesempurnaan
karya selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2016/09/HAM-II.pdf
https://www.academia.edu/8799827/Makalah_Problematika_Hak_Asasi_Manusia_Di_Indon
esia
https://kontras.org/kasus65/
https://kumparan.com/m-misbah-q/kasus-marsinah-dalam-pelanggaran-ham/full
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6307090/tragedi-semanggi-i-contoh-pelanggaran-
ham-pada-november-1998
https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Trisakti
Sujata, Antonius.2000. Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Djambatan : Jakarta
Ali, Ahmad. 2002Keterpurukan Hukum Di Indonesia, Ghalia Indonesia : Jakarta
Rahardjo, Sacipto. Pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009)

14

Anda mungkin juga menyukai