Disusun Oleh :
BAMBANG H.R GULTOM,S.H.
NIM: 217005145
Puji syukur Saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penyusunan
makalah tentang “Konsep Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Dalam Pancasila”
dapat terwujud.
Saya mencoba menyampaikan materi sederhana yang mudah dicerna dan dikuasai oleh
mahasiswa, khususnya Saya sendiri. Makalah yang disajikan ini adalah salah satu dari beberapa
alternatif dalam proses belajar. Sehingga nantinya mahasiswa dapat mengembangkan diri dengan
menggunakan media yang tersedia di daerahnya.
Selain itu, kegiatan dan tugas yang ada didalamnya, tidak saja membantu mahasiswa
dalam memahami materi. Melainkan juga dalam rangka memperluas wawasan mahasiswa serta
melatih kepekaan mahasiswa terhadap keadilan sosial yang ada di Indonesia ini.
Demikianlah makalah yang Saya buat. Akhirnya, Saya akan mengucapkan terima kasih
terhadap kritik dan saran dari rekan-rekan mahasiswa serta dosen, sangat Saya nantikan demi
kemajuan dan kesempurnaan makalah ini.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kutipan sila ke-lima Pancasila ini agak jarang dibicarakan dengan serius. Jika kita
menyebut keadilan sosial, maka tak terbayangkan konsep seperti apa yang dimaksud
dibaliknya. Tetapi jika kita buka sedikit saja konsep mengenai Social Justice, maka
ratusan konsep bermunculan, saling menguji dan memperbarui. Hanya sedikit merubah
bahasa, dan kita bisa temukan kontrasnya.
Penelitian ini berobjek material Konsep Keadilan Pancasila sebagai dasar hukum
di Indonesia dan berobjek formal filsafat hukum. Keadilan Pancasila yang dimaksud
adalah suatu pemikiran yang bercita-cita melaksanakan sila kelima yaitu Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sehingga dengan keadilan sosial yang hendak dicapai
akan terciptalah Negara hukum di Indonesia.
4
Menghadapi era globalisasi ekonomi, ancaman bahaya laten terorisme,
komunisme dan fundamentalisme merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Disamping itu yang patut diwaspadai adalah pengelompokkan suku bangsa di
Indonesia yang kini semakin kuat. Ketika bangsa ini kembali dicoba oleh pengaruh asing
untuk dikotak-kotakkan tidak saja oleh konflik vertical tetapi juga oleh pandangan
terhadap ke Tuhanan Yang Maha Esa.
B. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk mengungkapkan latar belakang, ruang lingkup,
dan landasan filosofis tentang hakikat keadilan yang ada di Indonesia yang mengarah
kepada Pancasila
5
C. Hasil Penelitian
Latar belakang keadilan Pancasila ternyata dalam perjalanan situasi sekaranng ini
dirasa kurang sesuai dengan tujuan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia
Makna terdalam tenteng hakikat keadilan adalah pencarian hukum dalam
menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Karena dengan tercapainya itu,
diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi
Landasan filosofis tenteng keadilan adalah Pancasila dengan cirri utama sebagai
dasar ontologism yaitu pada hakikatnya manusia yang monopluralis, sehingga
akan dicapainya makna keadilan kemanusiaan, keadilan sosial, dan keadilan
dalam negara agar dapat terwujud negara hukum di Indonesia.
6
BAB II
ISI
Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak
hidup di dunia yang adil". Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan
dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang
menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan
pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan,
karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. Keadilan intinya adalah meletakan
segala sesuatunya pada tempatnya.
Keadilan sosial
Keadilan sosial adalah sebuah konsep yang membuat para filsuf terkagum-kagum
sejak Plato membantah filsuf muda, Thrasymachus, karena ia menyatakan bahwa
“Keadilan adalah apa pun yang ditentukan oleh si terkuat”. Dalam Republik, Plato
meresmikan alasan bahwa sebuah negara ideal akan bersandar pada empat sifat baik:
kebijakan, keberanian, pantangan (atau keprihatinan), dan keadilan.
7
Begitu juga untuk rakyat Indonesia. Keadilan bukan berarti semua mendapatkan
hal yang sama. Sesuai saja dengan tempatnya. Yang di desa dapat berbeda dengan yang
di kota. Yang kaya dapat lebih baik kalau mau bayar lebih mahal. Yang miskin, ya dapat
seadanya aja juga ga apa-apa, yang penting masih dapat.
Adil juga bukan berarti memberikan sesuatu tanpa ada sesuatu dibelakangnya.
Misalnya, beberapa lembaga pemberi beasiswa lebih memprioritaskan siswa dari sekolah
tertentu untuk mendapatkan beasiswa, dengan harapan suatu saat nanti kalau siswa itu
sudah berhasil dia akan menjadi penyumbang lembaga beasiswa tersebut. Bukan tidak
adil kalau siswa dari sekolah lain cuma dapat jatah sedikit.
Cukup adil, kalau pembangunan hanya berlaku cepat di beberapa bagian tertentu
sedangkan di tempat lain seperti jalan di tempat atau malah mundur ke belakang.
Kenapa? Ya karena ada kepentingan tertentu tadi, ada sesuatu di belakangnya.
Bagaimana bisa disebut adil? Namanya juga manusia, wajar saja dong punya
kecenderungan tertentu walaupun sudah berusaha adil. Ada anak kesayangan, ada murid
kesayangan, juga ada rakyat kesayangan. Dan dalam suatu negara, biasanya yang jadi
kesayangan adalah warga partainya.
8
Menghormati hak orang lain.
Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap
orang lain
Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya
hidup mewah.
Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama
Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat.
Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai
dengan bidangnya.
9
sejumlah X, maka seluruh PNS yang bergolongan III di instansi manapun di seluruh
Indonesia, harus mendapatkan lungsum perhari juga sejumlah X.
(b) Keadilan restoratif, yaitu keadilan yang berlaku dalam proses penyelesaian
sengketa non litigasi (Alternative Dispute Resolution), di mana fokusnya bukan pada
pelaku, tetapi pada kepentingan “victims” (korban).
Kontroversi gaji DPR dengan segala tunjangan dan fasilitasnya selalu terjadi tiap
tahun. Mereka bukannya mengurusi persoalan rakyat malah mementingkan berapa besar
uang yang masuk rekening mereka. Sebuah ironi di tengah masyarakat yang hidup susah,
mengantri minyak tanah, hidup di jalanan, kemiskinan merata di seantero negeri ini.
Mereka sepertinya hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Tidak pantas mendapat
pensiun seumur hidup. Gedung dewan sekarang menjadi ajang mencari uang saja.
10
Ketidakamanan dan Ketidakadilan yang Dialami Perempuan di Kendaraan Umum
Sering kali apabila saya naik kendaraan umum, tatkala mau turun dari bus, bus
tidak sungguh stop. Kenek pun menyuruh penumpang menggunakan kaki kiri dulu untuk
meloncat turun dari bus sambil memegang salah satu tangan atau anggota tubuh lain,
kadang pinggang atau bahu, untuk "melindungi" atau "menolong" perempuan.
Pernah saya cermati, ternyata yang ditolong tidak semua perempuan, melainkan
yang dianggap menarik, artinya masih muda. Yang nenek-nenek yang membutuhkan
bantuan malah tidak ditolong, kecuali apabila minta tolong. Jadi, jika saya bersama anak
yang masih berusia batita, maka mestilah minta tolong agar dibantu untuk menurunkan
dan menaikkan anak batita itu.
Sudah beberapa kali protes saya lontarkan untuk tidak perlu dibantu untuk turun
dan naik bus. Argumentasi dari para kenek adalah menolong perempuan agar tidak jatuh.
Tentu saja penumpang akan jatuh apabila bus tidak sungguh-sungguh berhenti, masih
setengah dan cepat-cepat mau ngebut lagi.
Apabila duduk di sebelah sopir persis, karena dekat dengan urusan mengganti
persneling, sopir pun entah sengaja atau tidak sengaja punya kesempatan untuk
melakukan pelecehan seksual. Di sini penumpang sulit mengeluh karena sopir punya
alasan kuat dia sedang menjalankan tugas menyopir. Jadi, jika kena paha penumpang, itu
tidak disengaja.
Setelah di dalam bus pun, di antara para penumpang pelecehan seksual banyak
terjadi. Terutama ketika bus penuh sesak. Para peleceh, kebanyakan laki-laki, akan
menggunakan banyak cara, mulai dari mengimpitkan tubuhnya ke tubuh perempuan lain,
memegang tangan, mencolek pinggang/panggul, dan menyentuh bahkan meremas
payudara. Di Jepang, dengan telepon seluler berkamera, peleceh memfoto celana dalam
perempuan.
Dominasi laki-laki di kendaraan umum juga tampak dalam cara duduk. Umumnya
laki-laki duduk dengan membuka lebar-lebar pahanya sehingga ruang yang dipakai
menjadi lebih banyak. Artinya, penumpang di sebelahnya mendapatkan tempat sempit.
Cara duduk ini mencerminkan ketidakpedulian terhadap penumpang lain. Jika diminta
untuk mengubah cara duduknya, mereka tidak mengubak posisinya. Seolah-olah
kendaraan publik menjadi miliknya seorang.
Di Jepang, sekarang para remaja putri SMA berani terhadap para laki-laki yang
mereka rasa melakukan pelecehan seksual. Mereka menarik dasi pelaku dan
membawanya ke polisi. Kaum laki-laki takut sekali apabila berurusan dengan aparat
penegak hukum karena karier bisa tamat. Dampaknya, perempuan aman menggunakan
transportasi umum.
Di Sri Lanka yang sudah dan sedang dipimpin perempuan, untuk membuat
perempuan aman di kendaraan umum, pemerintah menyediakan bus khusus perempuan.
Namun, jumlahnya tidak memadai dan akibatnya waktu untuk menunggu terlalu lama.
Para penumpang perempuan pun naik bus umum biasa. Di sini mereka pun diejek karena
menumpangi bus yang dianggap bukan untuk perempuan dan tentu saja menjadi korban
pelecehan seksual lagi
Lalu bagaimana dengan Dinas Perhubungan dan para pemilik bus beserta para
sopir dan kernet? Tampaknya mereka perlu mendapat pencerahan tentang antipelecehan
seksual. Bagaimana berlaku sopan terhadap penumpang. Perlu juga secara internal
memberlakukan tindak disiplin terhadap sopir atau kernet yang melecehkan perempuan.
Artinya, ada sistem pengaduan penumpang terhadap perlakuan sopir dan kernet yang
merugikan.
Para penumpang laki-laki mulailah bersikap menghormati diri sendiri dan orang
lain. Tentu saja dengan tidak melakukan pelecehan seksual. Para penumpang perempuan
janganlah berdiam diri jika dilecehkan. Kita harus memprotes, mengatakan tidak. Apabila
kita diam saja, dianggap kita setuju.
Jika semua pengguna jasa kendaraan umum menolak pelecehan seksual dan ada
perangkat hukum yang efektif ditunjang oleh budaya organisasi Departemen
12
Perhubungan dan perusahaan bus yang antipelecehan seksual, maka penumpang
perempuan mudah- mudahan akan merasa aman naik kendaraan umum.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia pada Saat Presiden Pertama
Indonesia
BUNG Karno termasuk orang yang akrab dengan kata sosial, berikut kata
turunannya. Tahun 1927-an, kata itu, sedikit banyak, menjadi tulang punggung dari
gerakan marhaenisme yang digagasnya. Iwa Kusuma Sumantri yang telat dinobatkan
jadi pahlawan menyebut, marhaenisme adalah satu asas yang menghendaki susunan
masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan kaum
marhaen yang terdiri dari kaum buruh atau proletar, kaum tani melarat, dan kaum melarat
lainnya.
Dalam pidato tanpa teksnya tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengusulkan kata
sosial, tepatnya keadilan sosial, untuk dijadikan salah satu sila Pancasila. Ketika
diringkas jadi Trisila, kata sosial malah muncul dua kali di sila kedua dan ketiganya,
berbentuk sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus
1959 yang berjudul "Menemukan Kembali Revolusi Kita", Soekarno kembali
menekankan bahwa sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila adalah salah satu arah
tujuan revolusi Indonesia. Pidato ini belakangan menjadi dasar Manifesto Politik
(Manipol) yang kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Kata sosial jelas kata serapan, bukan produk "asli" bumi pertiwi. Mungkin karena
itu bekas guru di Seminari Depok, E. Soetan Harahap tidak memasukkan kata sosial
dalam Kamus Indonesia edisi ketujuh susunannya. Dalam edisi sebelumnya, kamus yang
terbit zaman Jepang dan dicetak Kantor Cetak Visser Bandoeng itu kerap mendapat
perlakuan kurang patut dari pembacanya. Utamanya terhadap edisi kelima dan keenam,
ketika judulnya masih Kitab Arti Logat Melajoe. Dalam edisi itu, isi kamus diprotes
karena dianggap terlalu banyak memasukkan kata-kata asing, mungkin termasuk kata
sosial juga. Saking banyaknya, kata-kata asing itu dikatakan sampai mau merebut bahasa
Indonesia.
Kata sosial juga banyak dipakai politikus sebagai bumbu penyedap pidato untuk
menunjukkan keberpihakannya pada rakyat. Ada kalanya kata itu membuat risi
pemerintah, misalnya ketika digunakan dalam bentuk sosialis atau sosialisme. Kata sosial
bisa bermakna sampingan dermawan atau suka menolong. Dinas Sosial terkenal sebagai
dinas yang suka menyumbang orang-orang yang terkena bencana, selain mengurusi
13
pekerja seks komersial. Sosial juga bisa berarti kekayaan. Status sosial misalnya, berarti
status kekayaan. Demikian halnya dengan kesenjangan sosial yang bermakna
kesenjangan kekayaan. Akan tetapi, lembaga, yayasan, dan dinas sosial bukan berarti
lembaga, yayasan, dan dinas kekayaan kendati pada praktiknya banyak pengurusnya yang
jadi kaya dari kerja sosialnya itu.
Sosial dalam arti kekayaan itulah yang menyebabkan kita bisa mengerti makna
sila kelima Pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" (Bayangkan kalau
kata sosial di sana diartikan masyarakat). Dalam pidatonya tanggal 1 Juni itu, Bung
Karno dengan leluasa mempertukarkan kata keadilan sosial dengan keadilan
kesejahteraan dan kesejahteraan sosial sebagai pelengkap keadilan politik alias
demokrasi.
Kata sosial belakangan sering kita dengar dalam bentuknya yang lain, yaitu
sosialisasi. Sosialisasi yang ini maksudnya menyebarluaskan suatu informasi ke
masyarakat. Pada masa lalu, ketika revolusi dinyatakan belum selesai, bukanlah kata
sosialisasi yang digunakan untuk menyebarluaskan apa yang dipandang pemerintah
penting, melainkan indoktrinasi.
Kita kenal misalnya akronim Tubapin (tujuh bahan pokok indoktrinasi) dengan
bahan indoktrinasi berupa UUD 1945, Pancasila, termasuk pidato Soekarno tanggal 1
Juni 1945 dan 17 Agustus 1959. Pada era Orde Baru, pemerintah memasyarakatkan kata
penataran untuk kegiatan yang pada masa lalu dikenal sebagai indoktrinasi itu. Birokrat
adalah orang yang mula-mula mengalami penataran P4 sebelum kemudian merambah
unsur masyarakat lainnya.
14
tempat bagi penghuninya untuk belajar bagaimana hidup bermasyarakat. Di sana
diajarkan aneka keterampilan, bukan kejahatan, sehingga ketika para tahanan dilepaskan
ke masyarakat, mereka bisa menyesuaikan dirinya dengan kehidupan masyarakat.
Konsep pemasyarakatan ini sama dengan arti sosialisasi yang diajarkan sosiologi yaitu
proses belajar bermasyarakatnya seorang individu.
Sementara itu, sebagian tahanan yang tidak sakit malah lebih suka belajar
kejahatan sehingga ketika dia kembali ke masyarakat malahan menjadi penjahat yang
lebih canggih. Akibatnya ia terpaksa berulang-ulang harus belajar bermasyarakat
walaupun pada praktiknya dia berulang-ulang belajar atau bahkan mengajar kejahatan.
Kecuali itu, kata pemasyarakatan atau sosialisasi sendiri kerap disalahartikan petugas.
Beberapa petugas berpikir, cara memasyarakatkan yang paling efektif adalah dengan
melepaskan langsung si tahanan, dengan atau tanpa persetujuan atasan, dan
membiarkannya berbaur dengan masyarakat di... luar negeri. Akibatnya, banyak petugas
yang terpeleset sehingga ia dan si tahanan akhirnya harus sama-sama belajar
bermasyarakat di lembaga pemasyarakatan.
Teror dan teroris di Indonesia saat ini semakin kental dan populer di telinga
masyarakat Indonesia. Bukan lagi sekedar wacana karena masyarakat bisa melihat secara
kongkrit aksi-aksi yang dilakukan oleh sekelompok orang-orang yang berjuang dengan
cara mengorbankan nyawa-nyawa yang bisa jadi tidak ada keterkaitan dengan ideologi
yang diperjuangkannya. Bisa jadi tuntutan-tuntutan itu tidaklah selalu identik dengan
15
besaran korban, karena banyak juga langkah-langkah teror dilakukan semata-mata untuk
sebuah eksistensi diri dan kelompoknya di mata pemerintah lokal dan Internasional.
Secara geografis dan historis, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat
rawan akan tumbuh dan berkembangnya terorisme. Luasnya wilayah Indonesia dengan
beragam suku, budaya, dan tradisi serta norma-norma yang ada jelas sangat rumit jika
ikatan-ikatan kebangsaan dan jiwa nasionalisme telah memudar. Dulu, kita masih bisa
bertahan dengan jargon kolonialisme seperti yang dilakukan oleh Soekarno dengan
program Ganyang Malaysia, keluar dari PBB dan Olimpiade. Namun saat ini sangatlah
tidak mungkin untuk melakukan langkah-langkah provokatif seperti itu.
Saat ini, yang paling diperlukan adalah bagaimana tumbuhnya pemerataan dan
kesempatan kepada semua kelompok, golongan, suku, agama, dan lain-lain.
Dulu, pada masa awal-awal kemerdekaan disaat semua orang masih disibukkan dengan
segala macam pembenahan, pendidikan masih terbatas, orang pintar belum banyak,
bahkan sarana dan prasarana semuanya masih memakai sisa-sisa peninggalan penjajah.
Pada kondisi seperti itu bisa dipastikan bahwa masyarakat tidak terlalu memikirkan imbal
balik dalam bekerja karena semua orang tahu jika negara belum memiliki apa-apa.
Munculah nilai “sepi ing pamrih rame ing gawe”, “gotong royong”, dan masih banyak
nilai-nilai kebersamaan yang muncul.
Kini, dikala orang pintar semakin banyak dengan jiwa individualisme yang
semakin meningkat yang didorong oleh pergaulan, arus informasi, serta jejaring baik di
tingkat lokal maupun internasional. Kesadaran akan ketidak adilan, tumbuh dan
berkembangnya keserakahan, serta ambisi-ambisi pribadi yang digulirkan dengan
kolektivitas kedaerahan maupun keagamaan seakan-akan menjadi daya tawar yang tinggi.
Ancaman-ancaman halus maupun kasar seolah-olah menjadi benar ketika ia meminta
jatah kekuasaan maupun kekayaan yang dihasilkan di daerahnya masing-masing. Kondisi
seperti ini semestinya bisa diminimalisir jika program pembangunan bisa dilakukan
secaras adil dan transparan.
Adil karena kekayaan itu jelas-jelas dalam UUD 1945 pasal 33 disebutkan
digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat namun pada kenyataanya kita
masih sering melihat digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan partai, kelompok
tertentu, atau para penguasa yang terus ingin mempertahankan kekuasaannya.Ketika
keadilan sosial tidak bisa diwujudkan, maka bersiap-siaplah akan datang ketidakpuasan.
16
Pemerintah sebenarnya sudah melakukan langkah antisipasi untuk model
pemerataan sosial dengan program otonomi daerah. Permasalahannya adalah sejauh mana
otonomi daerah bisa efektif dalam mewujukan itu semua. Selain itu, otonomi daerah yang
ada saat ini malah memunculkan kerakusan-kerakusan yang justru memperparah
terwujudnya cita-cita keadilan sosial. Jelas ini tidak berlaku di semua tempat, namun ini
seolah menjadi suatu hal yang kasat mata di berbagai daerah.
Lihatlah, jalan-jalan di berbagai tempat masih saja berlobang dan tidak nyaman
untuk pengguna kendaraan dan pejalan kaki. Para gelandangan dari hari kehari masih
tetap banyak berkeliaran. Preman-preman yang dikenal dengan “polisi cepek” semakin
menjamur dan tidak bisa diantisipasi oleh polisi. Pedagang kaki lima semakin jumawa
dan mengabaikan hak-hak pejalan kaki. Ini lucu sekali, mereka teriak-teriak agar hak-hak
usahanya dipernuhi namun ia melanggar hak-hak keselamatan orang lain.
Seandainya saja masyarakat sudah tahu dan berani untuk melakukan langkah
dramatis untuk memberhentikan para Bupati, Walikota, Gubernur, DPR, DPRD I, DPRD
II, bahkan Presiden, mungkin saja sudah banyak dari mereka semua turun dengan muka
malu dan terhinakan.
Contoh aktual saat ini terjadi di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Kepongahan
dan arogansi kekuasaan itu ia tunjukkan dengan tidak peduli terhadap nasib anak-anak di
sekolah hanya demi mendapatkan uang miliaran rupiah. Betapa murahnya harga dari
kesejahteraan rakyat ini untuk dijual dan diabaikan. Presiden? Kenapa tidak
menggunakan otoritasnya sebagai kepala negara? Densus 88 layak untuk dikirimkan ke
setiap walikota/Bupati dan Gubernur yang menelantarkan rakyatnya.
17
BAB III
PENUTUP
Perwujudan keadilan dan keadilan sosial dalam Negara hukum Indonesia merupakan unsur
utama, mendasar, sekaligus unsur yang paling rumit dan luas dimensinya. Keadilan sebagai
kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang, apa yang
seharusnya diterima. Untuk itu semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan
mempertahankan kebahagiaan dan kesejahtaraan masyarakat adalah adil. Keadilan dan keadilan
sosial memiliki pertemalian yang erat, dalam konteks negara hukum Indonesia. Terwujudnya
keadilan sosial, harus didasarkan atas keadilan, ketertiban dan keteraturan, dimana setiap orang
mendapatkan kesempatan membangun kehidupan yang layak sehingga tercipta kesejahteraan
umum. Amanat Konstitusi menegaskan Keadilan sosial selalu ditujukan untuk mewujudkan atau
terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perwujudan keadilan sosial
menghendaki upaya pemerataan sumber daya agar kelompok masyarakat yang lemah dapat
dientaskan dari kemiskinan dan agar kesenjangan sosial ekonomi di tengah-tengah masyarakat
dapat dikurangi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Assad Said. 2009. Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: LP3ES.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 2008. PokokPokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
http://morotaiprogres.blogspot.c om /2013/03/keadilansosial-sebagaiamanah.html.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pan casila#Sila_kedua.
http://asikinzainal.blogspot.com /2012/01/teorikeadilan.html.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim. 2012. Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum,
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: Rajawali Pers.
Suseno, Frans Magnis, 2005. Pijar-Pijar Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan Dari
19