Disusun oleh :
1. Ismi Khusnul Hasanag (3403190026)
2. Rahmawati Wijaya (3403190086)
3. Ilham Muhammad Zidan (3403190114)
4. Adindha Milawati (3403190221)
UNIVERSITAS GALUH
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI AKUNTANSI KARYAWAN A-B
TAHUN AJARAN 2019/2020
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “PANCASILA SEBAGAI
IDEOLOGI NEGARA” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bpk. M.
Aziz Basari, S.Sos., M.M., pada mata kuliah Pancasila. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk memperluas pengetahuan mahasiswa khususnya bagi penulis.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagi
an pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh kar
ena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah i
ni.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................................2
2.1 Pengertian Ideologi......................................................................................................................2
2.2 Pancasila sebagai Ideologi Terbuka.............................................................................................5
2.3 Pancasila dan Agama...................................................................................................................9
2.4 Pancasila sebagai Nilai Dasar dan Moral Politik dan Instrumental bagi Bangsa dan Negara.....16
BAB III PENUTUP............................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
dan kesatuan bangsa akan sulit tercapai. Disitulah makna dari Pancasila sebagai
ideologi negara memegang peran yang penting bagi persatuan dan kesatuan. Sebagai
wujud nilai bersama yang menjadi pemecah konflik atau penyetaraentuan.
3
Negarawan Notonegoro mengungkapkan Pancasila sebagai filsafat. Pancasila adalah
ideologi yang kemperhensif, mencapuk semua aspek. Hal tersebut mencerminkan
Pancasila itu massif dan bisa diinterpretasikan dalam berbagai bentuk. Di masa
pemerintahan orde baru, bahkan Pancasila menjadi monopoli politik.
Akan tetapi, dari opini tersebut, dan banyak lagi tentang pendapat lain, semua setuju
tentang Pancasila adalah ideologi negara Indonesia.
4
Ketiga, karena pancasila merupakan identitas bangsa, ia juga berperan untuk
memelihara dan mengembangkan identitas tersebut.
Keempat, pancasila sebagai ideologi negara juga berfungsi sebagai kontrol sosial.
Maksudnya adalah, pancasila menjadi tolak ukur sejauh mana negara kita telah
menggapai cita-citanya.
6
Menurut Moerdiono, terdapat beberapa alasan yang mendasari terbentuknya Pancasila
sebagai ideologi yang terbuka. Berikut adalah alasan-alasan yang dikemukakan
Moerdiono, yaitu :
Dinamika perkembangan masyarakat Indonesia yang sangat cepat sehingga
dikhawatirkan ideologi yang kaku dan tertutup tidak dapat mengakomodasi masalah
dan aktivitas sehari-hari di masa yang akan datang.
Runtuh dan gagalnya ideologi tertutup seperti marxisme-leninisme dan fasisme.
Pengalaman politik masyarakat Indonesia terhadap pengaruh komunisme dan fasisme.
Saat itu, Pancasila bukan lagi digunakan sebagai dasar pemilihan kebijakan dan
panduan hidup melainkan sebagai senjata politik untuk memberangus lawan. Pada
zaman ini, perbedaan menjadi alasan untuk mengecap seseorang sebagai anti-
Pancasila sehingga harus ‘diamankan’
Tekad bangsa untuk menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara sejarah, gagasan Pancasila sebagai ideologi terbuka sudah dibicarakan sejak
tahun 1985, namun secara implisit, Pancasila memang sudah direncanakan sebagai
ideologi terbuka semenjak konsepsinya. Hal ini dibuktikan dengan pembukaan UUD 1945
yang berbunyi :
”Maka telah cukup jika Undang-Undand Dasar hanya memuat garis-garis besar sebagai
instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk
menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial, terutama bagi negatra
baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-
aturan pokok, sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan
kepada Undang-Undang yang lebih mudah cara membuat, mengubah, dan
mencabutnya.”
Berdasarkan kutipan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa secara fundamental,
memang benar Pancasila dapat dikategorikan sebagai ideologi terbuka. Seiring dengan
perkembangan zaman, nilai-nilai Pancasila tetap sama, hanya saja peraturan dan kebijakan
yang bersumber dari nilai tersebutlah yang berubah, menyesuaikan dengan zaman.
9
Kuatnya faham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar
pendiri bangsa tidak dapat membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak dekade
1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama,
mengatasi komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas
dari Ketuhanan (Latif, 2011: 67). Secara lengkap pentingnya dasar Ketuhanan ketika
dirumuskan oleh founding fathers negara kita dapat dibaca pada pidato Ir. Soekarno pada
1 Juni 1945, ketika berbicara mengenai dasar negara (philosophische grondslag) yang
menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-
masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen
menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi
Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada
padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan.
Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara
Indonesia satu negara yang ber-Tuhan” (Zoelva, 2012). Pernyataan ini mengandung dua
arti pokok. Pertama pengakuan akan eksistensi agama-agama di Indonesia yang, menurut
Ir. Soekarno, “mendapat tempat yang sebaik-baiknya”. Kedua, posisi negara terhadap
agama, Ir. Soekarno menegaskan bahwa “negara kita akan berTuhan”. Bahkan dalam
bagian akhir pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan, “Hatiku akan berpesta raya, jikalau
saudara-saudara menyetujui bahwa Indonesia berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945 (Ali, 2009: 118). Jelaslah
bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan
ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang
merupakan prima causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu
tepat, sebab Tuhan terus-menerus mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa
ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam
pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran ini juga
diterima oleh agama-agama lain di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63). Prinsip ke-
Tuhanan Ir. Soekarno itu didapat dari-atau sekurang-kurangnya diilhami oleh uraian-
uraian dari para pemimpin Islam yang berbicara mendahului Ir. Soekarno dalam Badan
Penyelidik itu, dikuatkan dengan keterangan Mohamad Roem. Pemimpin Masyumi yang
terkenal ini menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik itu Ir. Soekarno merupakan
pembicara terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa pikiran-
pikiran para anggota yang berbicara sebelumnya telah tercakup di dalam pidatonya itu,
dan dengan sendirinya perhatian tertuju kepada (pidato) yang terpenting. Komentar
Roem, “Pidato penutup yang bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan
sebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999: 63). Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung makna bahwa manusia Indonesia harus mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa dan mengalahkan ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain yang bisa
mempersekutukannya. Dalam Bahasa formal yang telah disepakati bersama sebagai
perjanjian bangsa sama maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang
Maha Esa”. Di mana pengertian arti kata Tuhan adalah sesuatu yang kita taati
perintahnya dan kehendaknya. Prinsip dasar pengabdian adalah tidak boleh punya dua
tuan, hanya satu tuannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi itulah yang menjadi misi
10
utama tugas para pengemban risalah untuk mengajak manusia mengabdi kepada satu
Tuan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Pada saat kemerdekaan, sekularisme dan pemisahan agama dari negara didefinisikan
melalui Pancasila. Ini penting untuk dicatat karena Pancasila tidak memasukkan kata
sekularisme yang secara jelas menyerukan untuk memisahkan agama dan politik atau
menegaskan bahwa negara harus tidak memiliki agama. Akan tetapi, hal-hal tersebut
terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu agama pun sebagai agama yang
diistimewakan kedudukannya oleh negara dan dari komitmennya terhadap masyarakat
yang plural dan egaliter. Namun, dengan hanya mengakui lima agama (sekarang menjadi
6 agama: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu) secara
resmi, negara Indonesia membatasi pilihan identitas keagamaan yang bisa dimiliki oleh
warga negara. Pandangan yang dominan terhadap Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia secara jelas menyebutkan tempat bagi orang yang menganut agama tersebut,
tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya. Pemahaman ini juga memasukkan
kalangan sekuler yang menganut agama tersebut, tapi tidak memasukkan kalangan
sekuler yang tidak menganutnya. Seperti yang telah ditelaah Madjid, meskipun
Pancasila berfungsi sebagai kerangka yang mengatur masyarakat di tingkat nasional
maupun lokal, sebagai individu orang Indonesia bisa dan bahkan didorong untuk
memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama (An-Na’im, 2007: 439).
Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan
saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak
boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus
membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiai Achamd Siddiq menyatakan
bahwa salah satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud hambatan
psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran yang datang dari dua arah (Zada
dan Sjadzili (ed), 2010: 79). hubungan negara dengan agama menurut NKRI yang
berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):
a. Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang berKetuhanan yang Maha Esa.
Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing.
c. Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena hakikatnya manusia
berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
d. Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar dan inter
pemeluk agama serta antar pemeluk agama.
e. Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketakwaan itu bukan hasil
peksaan bagi siapapun juga.
f. Memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan agama dalam negara.
g. Segala aspek dalam melaksanakan dan menyelenggatakan negara harus sesuai
dengan nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum positif
maupun norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara negara.
h. Negara pda hakikatnya adalah merupakan “…berkat rahmat Allah yang Maha
Esa”.
Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.), 2009: 58), dijelaskan
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Religiusitas bangsa Indonesia
11
ini, secara filosofis merupakan nilai fundamental yang meneguhkan eksistensi negara
Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha
Esa merupakan dasar kerohanian bangsa dan menjadi penopang utama bagi
persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka menjamin keutuhan NKRI. Karena itu,
agar terjalin hubungan selaras dan harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai
dengan Dasar Negara Pancasila wajib memberikan perlindungan kepada agama-agama
di Indonesia.
12
Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti
bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan
sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal
kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai
bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak
Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan
MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau
Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan
dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya
menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan
untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan
pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara
personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.
13
syahadat yang mempunyai makna pengakuan terhadap tuhan yaitu Allah SWT. Selain
itu, kata Esa sendiri berarti tunggal, yang sebagaimana yang kita ketahui bahwa Isalm
sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini mempunyai tuhan tunggal Allah SWT.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab sila kedua pancasila, berkaitan dengan rukun
Islam kedua yaitu Shalat. Shalat dalam Islam selain sebagai ibadah wajib juga
dilakukan untuk mendidik manusia menjadi manusia yang beradab. Sholat adalah
sebuah media untuk mencegah perbuatan yang tidak terpuji, sebagai mana yang di
firmankan oleh Allah bahwa Shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.
3. Persatuan Indonesia yang artinya seluruh elemen rakyat yang ada di Indonesia yang
terdiri dari berbagai macam suku dan adat bersatu dan membentuk kesatuan dalam
wadah bangsa Indonesia. Kaitannya dengan itu, persatuan terbentuk ketika jurang
pemisah sudah tidak ada lagi di masyarakat. salah satu jurang pemisah yang paling
nyata yaitu jurang antara yang miskin dan yang kaya. Untuk menyatukan jurang
pemisah tersebut maka di agama Islam diwajibkan membayar zakat bagi orang-orang
kaya yang akan disalurkan untuk kepentingan kaum miskin dan duafa. Zakat yang
notabennya adalah rukun Islam ketiga sangat erat kaitannya dengan poin pancasila
ketiga tersebut. Dengan zakat akan terbentuk rasa kasih sayang pada umat yang akan
menghasilkan persatuan yang di cita-citakan.
4. Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan sangat erat kaitannya dengan rukun islam keempat yaitu puasa. Dengan
pusas akan terbentuk sifat bijaksana dan kepemimpinan. Ciri orang bijaksana, yaitu ia
mampu merasakan dan mempumnyuai rasa kasih sayang sesame, semua itu adalah
hikmah dari puasa. Selain itu, dalam menentukan waktu puasa, perlu dilakukan suatu
musyawarah yang dikenal dengan siding istbat.
5. Keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indionesia. Pada rukun Islam, terdapat yang
namanya haji. Haji adalah proses sosial yang terbesar di dunia ini, dimana setiap
orang datang dari berbagai negara dengan berbagai bahasa dan kebiasaan bergabung
menjadi satu dalam satu tempat dan waktu dalam kedudukan yang sama. Di dalalam
haji, tidak memandang itu siapa dan siapa, semuanya sama, pakaiannya sama dan
peraturan dan hukumnya sama. Semua itu adalah cerminan dari keadilan tuhan.
14
dapat menggunakan jalan raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali (Oesman dan
Alfian, 1990: 167-168).
Moral Pancasila bersifat rasional, objektif dan universal dalam arti berlaku bagi
seluruh bangsa Indonesia. Moral Pancasila juga dapat disebut otonom karena
nilainilainya tidak mendapat pengaruh dari luar hakikat manusia Indonesia, dan
dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis. Tidak dapat pula diletakkan adanya
bantuan dari nilai-nilai agama, adat, dan budaya, karena secara de facto nilai-nilai
Pancasila berasal dari agama agama serta budaya manusia Indonesia. Hanya saja
nilainilai yang hidup tersebut tidak menentukan dasar-dasar Pancasila, tetapi
memberikan bantuan dan memperkuat (Anshoriy, 2008: 177).Sejalan dengan
pendapat tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan dalam
Sambutan pada Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2005.
“Bangsa kita adalah bangsa yang relijius; juga, bangsa yang menjunjung tinggi,
menghormati dan mengamalkan ajaran agama masing-masing. Karena itu, setiap
umat beragama hendaknya memahami falsafah Pancasila itu sejalan dengan nilai-
nilai ajaran agamanya masing-masing. Dengan demikian, kita akan menempatkan
falsafah negara di posisinya yang wajar. Saya berkeyakinan dengan sedalam-
dalamnya bahwa lima sila di dalam Pancasila itu selaras dengan ajaran agama-
agama yang hidup dan berkembang di tanah air. Dengan demikian, kita dapat
menghindari adanya perasaan kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-
ajaran agama, serta untuk menerima Pancasila sebagai falsafah negara (Yudhoyono
dalam Wildan (ed.), 2010: 172).
Dengan penerimaan Pancasila oleh hampir seluruh kekuatan bangsa, sebenarnya
tidak ada alasan lagi untuk mempertentangkan nilai-nilai Pancasila dengan agama
mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan waktu lama tidak kurang dari
40 tahun dalam perhitungan Maarif, sebuah pergulatan sengit yang telah menguras
energi kita sebagai bangsa. Sebagai buah dari pergumulan panjang itu, sekarang
secara teoretik dari kelima nilai Pancasila tidak satu pun lagi yang dianggap
berlawanan dengan agama. Sila pertama berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci
oleh sila kelima.
Diharapkan sebagai bangsa indonesia yang rakyatnya memiliki berbagai macam
suku ,budaya dan agama, harus saling menghormati, manghargai dan menyayangi
antara satu suku dan suku lainnya dan antara satu agama dan agama lainnya. Agar timbul
kedamaian dan kerukunan di negara ini. Jangan Hanya karena merasa berasal dari
agama mayoritas, kita merendahkan umat yang berbeda agama ataupun membuat
aturan yang secara langsung dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut
atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas.
Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan
tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia
Untuk semakin memperkuat rasa bangga terhadap Pancasila dan memahami tentang
kerukunan beragama maka perlu adanya peningkatan pengamalan butir butir
Pancasila khususnya sila ke-1. Untuk menjadi sebuah negara Pancasila yang nyaman
bagi rakyatnya, diperlukan adanya jaminan keamanan dan kesejahteraan setiap
15
masyarakat yang ada di dalamnya. Khususnya jaminan keamanan dalam
melaksanakan kegiatan beribadah.
2.4 Pancasila sebagai Nilai Dasar dan Moral Politik dan Instrumental bagi Bangsa dan
Negara
Nilai Dasar
Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui pancra indra manusia,
tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek
kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar, yaitu berupa
hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tesebut. Nilai dasar itu
bersifat universal karena menyangkut kenyataan objektif dari segala sesuatu. Contohnya,
hakikat Tuhan, manusia, atau makhluk lainnya.
Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat kepada suatu benda, kuantitas, aksi,
ruang dan waktu, nilai itu dapat juga disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam
kehidupan yang praktis. Namun, nilai yang bersumber dari kebendaan itu tidak boleh
bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma tersebut.
Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Moral Politik
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang telah disahkan sebagai
dasar Negara adalah merupakan kesatuan utuh nilai-nilai budi pekerti atau moral. Oleh
karena itu Pancasila dapat disebut sebagai moral bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia
telah menegara dalam NKRI, dengan demikian Pancasila juga merupakan moral Negara,
yaitu moral yag berlaku bagi Negara.
Secara etismologis Pancasila berarti lima asas kewajiban moral. yang dimaksud
dengan moral ialah keseluruhan norma dan pengertian yang menentukan baik atau
buruknya sikap dan perbuatan manusia. Dengan memahami norma-norma, manusia akan
tahu apa yang harus atau wajib dilakukan dan apa yang harus dihidari.
Pancasila merupakan dasar Negara dan sekaligus ideologi bangsa, oleh sebab itu nilai-
nilai yang tersurat maupun yang tersirat harus dijadikan landasan dan tujuan mengelola
kehidupan Negara, bangsa maupun masyarakat. Dengan kata lain nilai-nilai Pancasila
wajib dijadikan norma moral dalam menyelenggarakan Negara menuju cita-cita
sebagaimana dirumuskan dalam alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Etika politik Pancasila mengamanatkan bahwa Pancasila sebagai nilai-nilai dasar
kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat harus dijabarkan dalam bentuk
perundang-undangan, peraturan atau ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Dengan kata
lain semua produk hukum yang berlaku di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan
jiwa dan semangat Pancasila.
Nilai Instrumental
16
Nilai instrumental ialah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari nilai dasar.
Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila nilai dasar tersebut belum
memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkret. Apabila nilai
instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari,
maka nilai tersebut akan menjadi norma moral. Akan tetapi, jika nilai instrumental itu
merupakan suatu arahan kebijakan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar,
sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai-nilai instrumental itu merupakan suatu
eksplisitasi dari nilai dasar.
Dalam kehidupan ketatanegaraan kita nilai instrumental itu dapat kita temukan dalam
pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Tanpa ketentuan dalam pasal-pasal UUD
1945, maka nilai-nilai dasar yang termuat dalam Pancasila belum memberikan makna
yang konkret dalam praktek ketatanegaraan kita.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pancasila merupakan suatu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan antara sila satu
dengan sila yang lainya dan tidak bisa dirubah penempatannya. Karena sila tersebut
melambangkan bangsa Indonesia. Pancasila dianggap sebagai pandangan hidup, dasar
negara, dan Ideologi, serta jati diri negara semenjak bangsa Indonesia lahir. Ideologi
pancasila memiliki fungsi mempersatukan bangsa, mengarahkan bangsa menuju cita-
citanya, memelihara dan mengembangkan identitas bangsa, dan sebagai ukuran
menyampaikan kritik mengenai keadaan bangsa. Oleh karena itu, kita sebagai warga
negara Indonesia, harus tetap kuat dan kokoh dalam menjaga keharuman pancasila
sebagai ideologi negara kita serta kita juga tidak bisa seenaknya untuk mengganti
ideologi pancasila ini dengan ideologi lainnya. Ideologi Pancasila sebagai ideologi
terbuka memberikan peluang kita mengikuti setiap perkembangan jaman. Karena
pancasila memiliki sifat fleksibel terhadap perkembangan zaman. Dan dengan terbukanya
ideologi bangsa Indonesia, Indonesia mampu menerima hal-hal baru yang berasal dari
luar tapi tetap mempertahankan ciri khas Indonesia.
18
DAFTAR PUSTAKA
https://bobo.grid.id/read/081913493/pengertian-pancasila-sebagai-ideologi-negara-dan-
fungsinya-bagi-bangsa?page=all
https://guruppkn.com/makna-pancasila-sebagai-ideologi-negara
https://bobo.grid.id/read/081939086/pancasila-sebagai-ideologi-terbuka-dan-penjelasannya?
page=all
https://insanpelajar.com/makna-pancasila-sebagai-ideologi-terbuka/
https://www.renesia.com/pancasila-sebagai-ideologi-terbuka/
http://edukasismn.blogspot.com/2017/11/hubungan-pancasila-dan-agama-dalam.html
19