Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang
dianugerahkan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya yang telah ditentukan. Adapun judul makalah ini adalah “Poskolonialis”

Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah apresiasi
kritik sastra yang telah diberikan oleh dosen, supaya kami lebih memahami poskolonialis

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan mengharapkan kritik serta saran
yang positif yang bersifat membangun dari para pembaca demi penyempurnaan dan
perbaikan makalah ini selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi seluruh pembaca.

  Medan, Februari 2022

                                                                                               Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 2
C. Tujuan..................................................................................................................... 2

BAB II RINGKASAN JURNAL.................................................................................. 3

A. Pengertian poskolonialisme.................................................................................... 3
B. Ciri-ciri pendekatan poskolonialisme..................................................................... 4
C. Bidang kajian poskolonialisme............................................................................... 5
D. Poskolonialisme di Indonesia................................................................................. 6
E. Tokoh pemikir teori poskolonialisme..................................................................... 10

BAB III PENUTUP....................................................................................................... 11

A. Kesimpulan............................................................................................................. 11
B. Saran....................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karya sastra adalah hasil imajinasi dari seorang penulis atau pengarang. Hasil imajinasi
tersebut dapat dituangkan melalui bahasa atau ungkapan ekspresi dari pengalaman pribadi
seorang pengaran ataupun pengalaman dari diri orang lain yang diceritakan oleh pengarang
baik nyata maupun tidak nyata. Pengaran bebas menceritakan tentang kehidupan seseorang
karena sastra dapat memberikan kegembiran dan kepuasaan batin terhadap pembaca dan juga
dapat memberikan kesadaran terhadap pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup serta
dapat dijadikan pengalaman untuk berkarya.

Bentuk-bentuk karya sastra sangatlah beragam, mulai dari puisi, prosa, dan drama.
Puisi,prosa, dan drama juga memiliki jenis-jenisnya yaitu puisi lama, puisi baru, puisi bebas,
dan puisi kontemporer. Kemudian, jenis-jenis prosa yaitu roman, cerita pendek (cerpen), dan
novel. Selanjutnya, jenis-jenis drama yaitu drama tragedi, drama komedi, dan drama musikal.

I Nyoman Yasa, menjelaskan karya sastra memiliki fungsi menyampaikan ide-ide atau
gagasan-gagasan seorang pengarang dalam bentuk puisi, prosa, maupun drama. Hal tersebut
dapat berupa kritik sosial, politik, budaya dan pertahanan keamanan berkaitan dengan
permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Upaya menuangkan ide
atau gagasan melalui karya sastra dapat dikatakan sebagai upaya kreatif pengarang untuk
mengajak masyarakat pembaca mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang sedang
terjadi dalam kehidupan (Yasa, 2014:41). Dalam hal itu, banyak sekali sastrawan Indonesia
yang berupaya mempresentasikan realitas kehidupan seorang pengarang dan peristiwa yang
terjadi pada saat penjajahan.

Sastra Indonesia semakin berkembang, tema-tema yang hadir kian beragam dan
mengikuti perkembangan zaman. Beragamnya tema tersebut karena mengacu pada esensi
sastra itu sendiri yang merupakan bagian dari seni tiruan alam atau kehidupan manusia
sebenarnya. Plato menyatakan bahwa pada hakikatnya segala bentuk seni merupakan tiruan
alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan. Adapun Aristoteles mengatakan bahwa tiruan
itu justru yang membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni
merupakan aktivitas manusia (Wellek dan Warren, 1990: 25).

1
Dalam sebuah novel, pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan
pembaca kepada gambaran-gambaran realitas kehidupan melalui cerita yang terkandung
dalam novel tersebut. Keberdaan kaarya sastra, selalu harus dipahami dalam hubungannya
dengan segi-segi kemasyarakatan. Sastra dianggap sebagai salah satu fenomena sosial
budaya, sebagai prosuk masyarakat. Pengarang, sebagai pencipta karya sastra adalah bagian
dari masyarakat. Dalam mencipatkan karya sastra, tentu dia juga tidak dapat terlepas dari
masyarakat tempatnya hidup, sehingga apa yang digambarakan dalam karya sastra pun sering
kali merupakan representasi dari realitas yang terjadi dalam masyarakat. Demikian juga,
pembaca yang menikmati karya sastra. Pembaca pun merupakan anggota masyarakat, dengan
sejumlah aspek dan latar belakang sosial budaya, politik, dan psikologi yang ikut
berpengaruh dalam memilih bacaan maupun memaknai karya yang dibacanya (Wiyatmi,
2013: 10-11).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.

1. Apa pengertian poskolonialisme?


2. Apa saja ciri-ciri poskolonialisme?
3. Apa bidang kajian poskolonialisme?
4. Bagaimana poskolonialisme di Indonesia?
5. Siapa saja tokoh pemikir teori poskolonialisme?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjabarkan dan mengetahui konsep teori
poskolonialisme khususnya sebagai berikut.

1. Pengertian poskolonialisme.
2. Ciri-ciri pendekatan poskolonialisme.
3. Bidang kajian poskolonialisme
4. Poskolonialisme di Indonesia.
5. Tokoh pemikir teori poskolonialisme

2
3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Poskolonial

Poskolonial yang secara etimologis berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan kata
colonial itu sendiri berasal dari akar kata colonia, bahasa Romawi, yang berarti tanah
pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti
penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya. Adapun konotasi
negatif kolonial lahir karena tidak seimbangnya interaksi antara pribumi dengan pendatang
yang berkuasa. Sedangkan secara harfiah poskolonial berarti teori yang lahir sesudah zaman
egaray. Negara-negara eropa modern bukanlah kolonialis yang pertama. Penaklukan suatu
wilayah dimulai jauh sebelum itu, yaitu dimulai pada tahun 1122 SM dinasti shang di Cina
ditaklukkan oleh dinasti Chou, kekaisaran Romawi abad ke-2 M menguasai Armenia hingga
Lautan Atlantik, dan banyak lagi Negara atau kerajaan yang saling menguasai. Aksi
kolonialime Negara-negara eropa modern baru dimulai sekitar abad ke-16.

Efek penting dari kritik poskolonial adalah lebih lanjut merongrong pernyataan universal
yang dulu dibuat atas nama sastra oleh kritikus humanis liberal. Jika kita menyatakan bahwa
sastra besar memiliki makna yang tanpa batas waktu dan universal, maka kita menurunkan
kedudukan dan mengabaikan perbedaan kultural, sosial, regional, dan rasional dalam hal
pengalaman dan pandangan. Sehingga kita lebih menghakimi semua sastra dengan standar
yang tunggal, dianggap “universal”.

Pada zaman pasca Kolonial inilah banyak ditelaah secara kesastraan dan merupakan
representasi historis pada hal-hal yang berkenaan dengan pola hubungan antara penjajah
dengan penduduk pribumi (jajahan), yang dalam hal ini dunia timur menjadi objek dominasi
barat. Teori egarayial adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala
Kultural, seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan sebagainya, yang terjadi di
Negaranegara bekas koloni Eropa modern. Postkolonial dengan demikian sangat relevan
untuk menyebutkan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema
yang perlu dikaji sangat luas dan beragam, meliputi egara seluruh aspek kebudayaan,
diantaranya: politik, egaray, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, ekonomi, kesenian,
etnisitas, bahasa, dan sastra, sekaligus bentuk praktik di lapangan. Seperti perbudakan,
pendudukan, pemaksaan bahasa dan berbagai bentuk invasi cultural lainnya. Keberagaman
permasalahan di atas dapat disatukan oleh tema yang sama yaitu kolonialisme.

4
Dengan penjajahan yang sangat lama membuat Negara-negara terjajah bungkam dan
tidak dapat mengeluarkan pendapat, maka dengan berakhirnya penjajahan Negara-negara
yang baru merdeka dapat melahirkan ide untuk memajukan bangsa masing-masing dan
mengembangkan teori-teori yang relevan. Oleh karena itu egarayial melibatkan tiga
pengertian yaitu: a) abad berakhirnya imperium colonial di seluruh dunia, b) segala tulisan
yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman colonial, dan c) teori-teori yang digunakan
untuk menganalisis masalah-masalah pascakolonialisme.

Ada 4 alasan mengapa karya sastra dianggap tepat untuk dianalisis melalui teori-teori
poskolonial.

1. Sebagai gejala kultural sastra menampilkan system komunikasi antara pengirim dan
penerima, sebagai mediator antara masa lampau dengan masa sekarang.
2. Karya sastra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas dan
intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, kontemporaritas adalah
manifestasinya yang paling signifikan.
4. Berbagai masalah yang dimaksudkan dilukiskan secara simbolis, terselubung,
sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak Nampak. Di sinilah egaray oriental
ditanamkan, di sini pulalah analisis dekontruksi poskolonial dilakukan.

B. Ciri-Ciri Poskolonial

Ciri-ciri poskolonial ialah sebagai berikut:

1. Anti-esensialisme (bahwa sastra bukan suatu teks yang ajeg dan permanen, tetapi
merupakan hasil bentukan realitas di luarnya)
2. Anti-determinisme (bahwa sastra bukan teks yang pasif, yang dibentuk secara tetap
dan pasti sebuah struktur, tetapi juga membentuk dan menciptakan struktur-struktur
baru)
3. Anti-universalisme (bahwa sastra bukan teks yang berlaku secara universal, tetapi
lahir dari negoisasi-negoisasi kulturalnya sendiri yang bersifat lokal dan partikular)
4. Kajian poskolonial bukanlah kajian yang terpaku pada aspek formal dan structural
dari karya sastra tetapi kajian-kajian yang ingin membaca secara cair, flexible dan
radikal dimensi-dimensi kritis dari sastra, dalam relasinya dengan kekuasaan (yang

5
dipahami secara luas dan cair pula) dalam teks sastra maupun formasi sosial yang
membentuknya.
5. Pada kajian poskolonial, kekuasaan tersebut adalah relasi-relasi kuasa yang
diakibatkan oleh penjajahan dan kolonisasi, kekuasaan itu adalah relasi-relasi kuasa
akibat kapitalisasi.

Menurut Nyoman (2004:211) ada egar penting dari teori poskolonial. Secara defenitif
teori poskolonial dimanfaatkan untuk menganalisis khazanah kultural yang menceritakan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara-negara pascakolonial, lebih khusus lagi adalah
negara-negara bekas koloni Eropa modern.

C. Bidang Kajian Poskolonial

Poskolonial sebagai sebuah kajian muncul pada 1970-an. Studi poskolonial di Barat salah
satunya ditandai dengan kemunculan buku Orientalisme (1978) karya Edward Said yang
kemudian disusul dengan sejumlah buku lainnya yang masih terkait dengan perspektif Barat
dalam memandang Timur. Buku-buku Said seperti Covering Islam: How the Media and the
Experts Determine How We See the Rest of the World (1981) dan Culture and Imperialism
(1993) merupakan sekuel dari buku Orientalisme tersebut. Buku semacam The Empire Writes
Back (1989) suntingan Bill Ashcroft,Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin merupakan buku lain
yang sering dijadikan rujukan dalam pembahasan teori poskolonial .

Teori poskolonial itu sendiri merupakan sebuah seperangkat teori dalam bidang filsafat,
film, sastra, dan bidang-bidang lain yang mengkaji legalitas budaya yang terkait dengan
peran kolonial. Bidang ini bukanlah menjadi monopoli kajian sastra. Poskolonial mirip
dengan kajian feminisme yang meliputi bidang kajian humaniora yang lebih luas; sejajar
dengan kajian posmodern atau postrukturalisme. Dalam bidang sastra, teori poskolonial
merupakan salah satu dari serangkaian munculnya kajian atau teori setelah kemapanan teori
strukturalisme mulai dipertanyakan. Seperti telah diketahui oleh umum bahwa dalam
sejarahnya teori sastra yang mula-mula yaitu teori mimesis pada zaman Plato di Yunani
Kuno. Perkembangan berikutnya yaitu teori pragmatis pada zaman Horace dari Romawi
abad ke-4 yang disusul dengan teori yang berorientasi pada ekspresionisme pada abad ke-19.
Pada abad ke-20 teori-teori yang berorientasi pada strukturalisme mendominasi kajian sastra.

6
Pada paruh abad ke-20, teori-teori strukturalisme yang mendasarkan kajiannya hanya
sebatas objek sastra itu telah mencapai puncaknya. Perkembangan teori sastra selanjutnya,
berputar haluan dan dalam kecepatan yang luar biasa memunculkan sejumlah teori-teori yang
seringkali satu sama lain saling berseberangan dan saling mengisi. Pada paruh akhir abad ke-
20, selain strukturalisme yang mengkaji karya sastra hanya berdasarkan strukturnya, ada juga
sejumlah kajian atau teori sastra yang melibatkan unsur kesejarahannya dan konteks
sosialnya. Teori-teori seperti cultural studies, new historisisme, dan poskolonial untuk
sekedar menyebut contoh merupakan kajian-kajian sastra yang menganalisis karya sastra
dalam konteks kesejarahannya ataupun konteks sosialnya. Poskolonial merupakan kajian
terhadap karya-karya sastra (dan bidang yang lain) yang berkaitan dengan praktik
kolonialisme atau imperialisme baik secara sinkronik maupun diakronik. Kajian poskolonial
berusaha membongkar selubung praktik kolonialisme di balik hegemoni.sejumlah karya
sastra sebagai superstruktur dari suatu kekuasaan, kekuasaan kolonial. Sastra dipandang
memiliki kekuatan baik sebagai pembentuk hegemoni kekuasan atau sebaliknya sebagai
konter .

D. Kolonialisme/Orientalisme

Seperti yang diungkap Said dalam Orientalisme, ada sejumlah karya sastra dalam dunia
Barat yang turut memperkuat hegemoni Barat dalam memandang Timur (Orient). Sejumlah
karya seni itu telah melegitimasi praktik kolonialisme bangsa Barat atas kebiadaban Timur.
Penjajahan adalah sesuatu yang alamiah, bahkan semacam tugas bagi Barat untuk
memberadabkan bangsa Timur. Kajian Said ini memang berangkat dari teori hegemoni

Gramscian dan teori diskursus Foucaultian. Kata “post” yang dilekatkan dengan kata
“colonial” sebetulnya kurang tepat kalau diindonesiakan menjadi “pasca”. Kasus ini mirip
dengan pengindonesiaan kata “discourse” dalam istilah Foucault yang tidak sama persis
maknanya dengan kata “wacana’’ ada kekhususan.

Kata pascakolonial yang seringkali dijadikan terjemahan dari postcolonial merupakan


istilah yang mengacu pada permasalah “waktu setelah” kolonial. Padahal poskolonial tidak
hanya mengacu pada kajian sastra sesudah masa era penjajahan, atau era kemerdekaan tetapi
lebih luas mengacu pada segala yang terkait dengan kolonialisme yang pada abad ke-21
hanya menyisakan Amerika sebagai bangsa penjajah yang kesiangan. Konteks

7
poskolonialisme juga mencakup kasus globalisasi dan perdagangan bebas yang seringkali
dianggap sebagai bentuk neokolonialisme.

Kata post sebaiknya diartikan sebagai “melampaui” sehingga poskolonial adalah kajian
yang melampaui kolonialisme, artinya bisa berupa pasca atau permasalahan lain yang masih
terkait meskipun tampak seperti terpisah dari kolonialisme.Jangkauan luar biasa imperialisme
Barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan salah satu fakta yang paling
menakjubkan dalam sejarah politik. Melalui penafsirannya yang yang brilian atas
kanonkanon Barat seperti Heart of Darkness (karya Conrad), Mansfield Park (karya Austen),
dan Aida (komposisi musik karya Verdi), Said menunjukkan bagaimana kebudayaan dan
politik bekerja sama. Sebuah konsep dasar yang dipaparkan pemikir Komunis Italia, Antonio
Gramsci tentang hegemoni yang menyatakan bahwa kekuasaan terbangun atas dominasi
(senjata) dan hegemoni (kebudayaan).

Menurut Said, kebudayaan dan politik pada kasus kolonialisme telah bekerja sama, secara
sengaja ataupun tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang melibatkan bukan hanya
meriam dan serdadu tetapi suatu kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan dan
imajinasi penguasa dan yang dikuasai. Hasilnya adalah suatu visi yang mengaskan bahwa
bangsa Eropa bukan hanya berhak, melainkan wajib untuk berkuasa. Argumen utama dosen
kritik sastra Universitas Columbia AS ini adalah bahwa kekuasaan imperial Barat selalu
menemui perlawanan terhadap imperium. Lelaki keturunan Palestina ini menelaah saling
ketergantungan wilayah-wilayah kultural tempat kaum penjajah dan terjajah hidup bersama
dan saling berperang, dan melacak kisah-kisah “perlawanan” dalam diri para penulis
poskolonial seperti Fanon, C.L.R. James, Yeats, Chinua Achebe, dan Salman Rusdhie.

Dalam dunia poskolonial sekarang ini, Said mengajukan sanggahan terhadap


argumenargumen yang mengatakan bahwa kebudayaan dan identitas nasional adalah entitas-
entitas yang tunggal dan murni seperti yang dipaparkannya dalam buku Culture and
Imperialism (yang diindonesiakan oleh Penerbit Mizan menjadi Kebudayaan dan
Kekuasaan). Dengan melucuti pengertian “kita” dan “mereka” dari imperium, Said
menunjukkan bagaimana asumsi-asumsi imperialis yang busuk terus mempengaruhi politik
dan kebudayaan Barat, sejak peliputan media atas Perang Teluk hingga pengajaran sejarah
dan kesusastraan di sekolah-sekolah.

Apa yang dilakukan Said dalam sejumlah bukunya dalam menelanjangi praktik-praktik
poskolonial tersebut selain berangkat dari teori hegemoni sebetulnya juga berawal dari

8
konsep diskursus-nya Foucault. Dalam pengertian intelektual Prancis yang tampil plontos ini,
diskursus (yang sering diindonesiakan menjadi wacana) adalah cara menghasilkan
pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk
darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta
saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Dengan cakupan pengertian seperti ini, Foucault
menulis salah satu judul bukunya dengan Power/Knowledge, kekuasaan dan pengetahuan
seperti dua sisi mata uang. Kekuasaan (dan sekaligus pengetahuan) bukanlah sebuah entitas
atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga, melainkan sebuah jaringan
yang tersebar di mana-mana dan selalu bergerak atau bergeser. Orientalisme yang diungkap
oleh Edward Said adalah satu bentuk “knowledge” dalam rangka mengukuh kekuasaan
(power) kolonialisme. Sejak itu, di Barat orang tidak mau lagi diberi predikat orientalis bagi
intelektual yang melakukan studi kawasan Asia-Afrika. Kata “orientalis” telah menjadi kata
peyoratif.

Kajian Poskolonial di Indonesia

Dalam dunia akademik Indonesia, kajian poskolonial juga telah dipergunakan dalam
menganalisis karya sastra Indonesia, khususnya di sejumlah universitas yang memiliki kajian
sosial atau humaniora. Salah satu contoh yang ditulis oleh dosen FBS UNY ketika
menyelesaikan program magisternya di UGM, yaitu analisis poskolonial terhadap roman
Salah Asuhan (1928) karya Abdoel Moeis dan terhadap drama 9 Oktober 1740 (2005) karya
Remy Sylado. Yang pertama ditulis oleh Yati Sugiarti dan yang kedua oleh Else Liliani.
Dalam temuan analisisnya, Yati Sugiarti menyatakan bahwa dalam novel Salah Asuhan relasi
penjajah-terjajah bersifat hierarkhis dominatif dan terbilang menarik karena beberapa hal: (1)
Hanafi bertindak sebagai subjek dalam menghadapi Rapiah, ibunya, dan masyarakat
Minangkabau, (2) Hanafi sekaligus menjadi objek ketika berhadapan dengan Corrie dan
masyarakat Eropa lainnya. Permasalahan identitas diri yang dihadapi Hanafi menyangkut
empat hal: (1) Hanafi memandang dirinya, (2) orang lain memandang Hanafi, (3) hasrat
Hanafi untuk menjadi sang lain, (4) tindakan Hanafi dalam pemenuhan hasratnya menjadi
sang lain. Dalam proses menjadi sang lain yang notabene menjadi Belanda, Eropa, atau
Barat, Hanafi yang berasal dari Minangkabau ini melakukan sejumlah mimikri (peniruan): (1)
mimikri terhadap bahasa, (2) mimikri terhadap mata pencaharian, (3) mimikri terhadap gaya
hidup, (4) mimikri terhadap sistem kemasyarakatan.

9
Sindrom Hanafi tampaknya tidak berakhir setelah Indonesia merdeka, bahkan ketika kita
hidup di abad ke-21 ini. Mentalitas “budak” masih melekat dalam diri kita, kemudian
mencoba “menjadi tuan” dengan sejumlah perilaku identitas. Lotion pemutih kulit dan
operasi plastik laris manis di Indonesia gara-gara standar kecantikan hanya didasarkan atas
kulit berwarna lebih putih dan hidung lebih mancung. Dua kriteria kecantikan yang
distandarkan pada “tubuh orang Barat”. Kita mengejar “menjadi Barat” untuk bisa
dikategorikan cantik (juga tampan). Seringkali rambut dicat dengan warna pirang lalu
menjadi “londo namun kepalanya doang”. Kontes-kontes ratu kecantikan merupakan salah
satu bentuk pelegitimasian atas kecantikan “Barat”.

Dari cita rasa makanan, tampaknya kita sering mengejar “western teste”. Kita lebih
memilih KFC ketimbang ayam Suharti, memilih pizza, lasagna, escargot yang didasari oleh
pemikiran bahwa makanan itu makanan Eropa/Barat. Kita membeli statusnya. Dengan bisa
menikmati cita rasa makanan Eropa seakan kita telah menjadi Eropa. Inilah yang oleh Peter
L. Berger disebut dengan proses internalisasi atau identifikasi atas realitas objektif ke dalam
realitas subjektif atau sebuah citraan realitas (society in man). Internalisasi mentalitas budak
yang ingin menjadi sang tuan.Untuk menjadi Barat seringkali kita terperangkap kasus
mimikri ini. Tidak sedikit orang Indonesia yang mau “memperbaiki keturunan” dengan
menikahi orang-orang Bule seperti yang dilakukan para selebritas kita. Pengajaranpengajaran
bahasa asing di Indonesia, jika tidak disadari kita bisa terperangkap sebagai bentuk
kepanjangan tangan sang kolonial.

Pada abad ke-21 ini Jepang sebagai salah satu negara Asia telah menggeser orientasi
ekspornya dari indrustri teknologi ke industri budaya. Mereka mengalihkan fokusnya tidak
lagi pada industri otomotifnya tetapi lebih ke industri content seperti komik manga, kartun,
film animasi, pop J-rock, makanan, fashion, dan bahasa Jepang. Di Indonesia, jangankan
ekspor budaya, ekspor kekayaan alamnya pun seringkali dibrokeri oleh pihak asing. Kita baru
akan kebakaran jenggot setelah Malaysia mengklaim milik kita seperti dalam kasus lagu
“Rasa Sayange” dan tari “Barongan”. Jangankan terhadap aset budaya yang seringkali
dipandang sebelah mata, wilayah teritorial seperti pulau Sipadan dan Ligitan pun kita tidak
bisa mempertahankannya. Kembali ke kasus temuan Yati Sugiarti terhadap roman Salah
Asuhan. Tampaknya Yati belum memaparkan peran teks Salah Asuhan tersebut (juga
pengarangnya) dalam proses kolonialisasi. Hal ini terkait dengan diterbitkannya roman ini
lewat Balai Pustaka, yang kala itu merupakan mesin hegemoni penguasa Belanda di wilayah

10
jajahannya. Dalam sejarah penerbitannya ada peristiwa menarik, ketika Corrie yang dalam
roman aslinya dikisahkan sebagai gadis Belanda kemudian diedit menjadi gadis Indo-

Prancis. Di pihak lain, Else Liliani telah sampai pada kesimpulan dalam analisisnya
terhadap naskah drama 9 Oktober 1740 bahwa teks ini (sekaligus Remy Sylado sebagai
pengarangnya) bersikap ambivalen. Teks ini melakukan perlawanan terhadap kolonialisme
Belanda, tapi sekaligus terhegemoni oleh wacana-wacana kolonial.

Kolonialisme dan kebangsaan (?) tidak dinilai sebagai kejahatan. Kejahatan yang
sebenarnya berupa penyalahgunaan atas kewenangan yang dimiliki pejabat kolonial yang
korup.Kita tidak tahu persis mengapa Else menyatakan bahwa teks ini melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme Belanda. Bukankah posisi Belanda sekarang (buku ini diterbitkan
2005) sudah tidak signifikan lagi. Sebagai bentuk dampak masa lalu tentu saja Belanda telah
melakukan praktik penjajahan. Akan tetapi dalam konteks kekinian, tampaknya Remy lebih
membidik kasus etnis Cina yang dalam pergolakan sejarahnya di Indonesia seringkali
dijadikan pemantik konflik. Fokus pembahasan ini sebenarnya lebih ditekankan pada masalah
“the myth of native”. Masalah pribumi dan non-pribumi sebenarnya hanya sebuah mitos yang
dibangun dengan sejumlah legitimasi. Etnis Cina diposisikan sebagai etnis non-pribumi yang
seringkali mengalami kekerasan alienatif. Remy Sylado, dengan karya-karyanya yang lain,
melakukan konter-hegemoni atau delegitimasi atas “the myth of native” tersebut.

E. Tokoh-tokoh Poskolonialisme.

Teori ini muncul sebagai hasil pembacaan dan terinspirasi dari tokoh-tokoh post
strukturalisme seperti Michele Foucault, Jean Paul Sartre dan tokoh posmodern seperti
Jacques Derrida. Tiga tokoh kunci poskolonial dan dianggap sebagai nabinya teori ini di
antaranya ; Edward Said (Orientalisme), Homi K. Babha (The Location of Culture), dan
Gayatri Spivak (Can Sub-altern Speak?). Said adalah orang Palestina, sedangkan Gayatri
orang India, keduanya bekerja sebagai pengajar sastra Inggris dan sastra komparasi di
Universitas Columbia. Sedangkan Bhaba orang India yang bekerja sebagai pengajar sastra
Inggris di Universitas Sussex. Khususnya Gayatri Spivak, dia adalah orang yang dipercaya
menterjemahkan karya tokoh dekonstruksi Derrida yang berat itu yakni “on grammatology”
ke dalam bahasa Inggris. Ketiganya adalah produk “Dunia Ketiga” yang bekerja dan berkarya
dalam ruang lingkup studi literer universitas “Dunia Pertama”.

11
Negara Dunia Ketiga atau dalam pandangan Barat disebut sebagai The Developing
Countries adalah negara-negara yang muncul pasca Perang Dunia II. Sentimen kebangsaan
yang dimiliki bersifat cangkokan (imbricated) dan bertujuan mendudukan Barat sebagai
“pendatang” dan pribumi sebagai “asli”.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Poskolonialisme merupakan teori baru yang dikembangkan dari teori yang dipakai dari
konteks budaya. Keberanian ini terwujud berkat kehadiran postmodernisme dalam kajian
budaya. Sebenarnya teori ini sangat unik dan menarik untuk diungkapkan, apalagi harus
diterapkan dalam pengkajian budaya yang persinggungan pada konteks penjajahan.

Beberapa ahli teori poskolonial kritis terhadap dirinya dan waspada bersepakat bahwa
pekerja akademik poskolonialisme sering buta terhadap pengaruhnya sendiri yang secara
sosial merusak. Dengan adanya postkolonialisme ini, penelitian terhada kebudayaan dapt
dilakukan dengan pendekatan yang sangat mendalam yang memang mewarnai kebudayaan
yang terkena impeks jajahan di daerah tertentu.

B. Saran

Semoga makalah ini dapat menambahkan pengetahuan dalam teori poskolonialisme.


Sehingga menjadi panduan dalam mengkaji suatu kebudayaan dengan menggunakan teori ini.
Harapannya semoga makalah ini menjadi sebuah sumber ilmu yang melahikan makalah-
makalah lain yang bernilai guna. Dan, jika ada kesalahan dan kekhilafan dalam menyusunnya
mohon dimaafkan karena manusia tidak luput dalam kesalahan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, dan Hellen Tiffin. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori
dan Praktik Sastra Poskolonial. Yogyakarta: Qalam.
Ashcroft, Bill, Gareth Griffiths, dan Hellen Tiffin. 1995. The Post-Colonial Studies Reader.
London dan New York: Routledge.
Bahri, Deepika. 2007 “Introduction to Postcolonial Studies,” http://www.english.emory.
Edu/Bahri/ Intro.html, diakses 23 November.
Batubara, Marwan. 2007. “Menggugat Temasek,” www.suaramuslim.net. Diakses 23
November.
Beya, Abdennebi Ben. 2007. “Mimicry, Ambivalence and Hybridity,” http://www.english.
Emory.edu, diakses 23 November.
Dahlan, Muhidin M. 2001. Postkolonial Sikap Kita terhadap Imperialisme. Yogyakarta:
Jendela.
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Foucault, Michel. 2002. Pengetahuan dan Metode
Karya-karya Penting Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.
Foucault, Michel. 2002. Kegilaan dan Peradaban, Madness and Civilization. Yogyakarta:
Ikon Teralitera.
Gandhi, Leela. Teori Poskolonial, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta:
Qalam, 2001
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JCS/article/download/28760/16237#:~:text=Tiga
%20tokoh%20kunci%20poskolonial%20dan,Can%20Sub%2Daltern%20Speak%3F).

14

Anda mungkin juga menyukai