Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah swt. yang telah memberikan
nikmat, berkat, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini tanpa hambatan apa pun. Tak lupa, penulis sampaikan terimakasih kepada
dosen pembimbing mata kuliah Teori Sastra, Bapak Laga Adhi Dharma, S.S.,
M.A. yang telah membimbing dan memberikan arahan serta saran dalam
penulisan makalah sehingga penulis mampu menguraikan isu-isu atau pokok
masalah dengan baik.

Makalah dengan judul “Kajian Poskolonial dalam Novel Bumi Manusia Karya
Promoedya Ananta Toer” merupakan sebuah karya tulis yang mencoba
menguraikan unsur-unsur poskolonial dalam karya sastra novel Bumi Manusia
oleh Pramoedya Ananta Toer. Makalah ini juga menjelaskan apa itu teori
poskolonial, apa yang melatarbelakangi novel Bumi Manusia karya Pramoedya
sebagai objek kajian, dsb. Melalui makalah ini, penulis berharap dapat
mengedukasi khalayak umum mengenai kajian poskolonial dan meningkatkan
minat atau tingkat literasi umum.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
penulis harapkan demi kesempurnaan makalah dan kajian yang lebih baik di masa
yang akan datang.

Yogyakarta, 19 Juli 2021


Penulis

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................iv
1.1 Latar Belakang..................................................................................................iv
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................v
1.3 Tujuan................................................................................................................v
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................1
2.1 Kajian Poskolonial.............................................................................................1
2.2 Novel sebagai Karya Sastra...............................................................................2
2.2 Kajian Poskolonial dalam Novel Bumi Manusia
Karya Pramoedya Ananta Toer.........................................................................3
BAB III PENUTUP..............................................................................................11
3.1 Kesimpulan......................................................................................................11
3.2 Saran.................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Poskolonialisme merupakan sebuah pendekatan analisis sastra yang
memfokuskan pada karya sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris yang
dahulu menjadi jajahan bangsa Inggris di mana kajiannya menggunakan kaca
mata bangsa Inggris atau bangsa Amerika sehingga pendekatannya
berkonsentrasi pada tulisan bangsa-bangsa yang pernah dijajah dengan
menggunakan pendekatan di luar pendekatan yang berdasarkan tradisi orang
kulit putih yang memiliki latar belakang budaya, filsafat, politik, dan filsafat
Eropa.

Sastra dan teori poskolonial menginvestigasi apa yang terjadi ketika ada dua
budaya yang bertemu dan bertentangan dan ketika salah satu dari keduanya
dan dengan ideologi-ideologinya berkuasa dan menganggap kebudayaannya
lebih superior dari yang lain. Kemudian, teori poskolonial digunakan sebagai
pisau bedah yang digunakan untuk mengkaji karya sastra Indonesia.
Paradigma poskolonial berkorelasi dengan konstruksi yang masih tersisa dari
proses reproduksi inferioritas dalam wujud mental inlander yang dibentuk
kolonialis melalui orientalisme sehingga orientalisme menjadi identik dengan
imperialisme atau kolonialisme.

Pendekatan poskolonial secara teoritis banyak dipengaruhi oleh pemikiran


pos-strukturalisme (dekonstruksi) yang secara konsep menempatkan
poskolonial sebagai kritik terhadap pandangan kolonialisme yang
menganggap bahwa dunia non-Barat merupakan dunia yang tidak beradab
sehingga dalam pendekatan ini diharapkan dapat menemukan teks marginal
dan membongkar hal-hal negatif yang terjadi akibat dari adanya proses
kolonialisasi.

Sehubungan dengan itu, studi poskolonial dapat ditafsirkan sebagai kajian


yang konsisten dan memperhatikan konteks historis bangsa Indonesia yang
merasakan dampak penjajahan yang tidak begitu saja menghilang atau selesai
ketika diproklamasikannya kemerdekaan. Studi ini juga merupakan upaya
untuk menafsirkan teks sastra untuk menemukan dekolonisasi dan upaya
melepaskan diri dari penyakit kerendahdirian yang kompleks (inferiority
complex). Sebagai contoh dalam tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya
Ananta Toer yang di dalamnya mengungkapkan secara tajam perlawanan
terhadap strategi feodal budaya Jawa dan kolonialisme yang menjadikan
bangsa Indonesia sebagai budak sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang kerdil atau inferior.

iv
Berdasarkan latar belakang ini, penulis tertarik untuk melakukan analisis
terkait unsur poskolonial yang ada di dalam novel Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, pertanyaan yang harus dijawab dalam makalah ini
adalah bagaimana hasil analisis terkait unsur poskolonialisme yang terdapat
dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer?

1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hasil analisis terkait
unsur poskolonialisme yang terdapat di dalam novel Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer.

v
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kajian Poskolonial


Poskolonial mengacu pada kolonialisme, penjajahan, dan bekas jajahan. Kata
kolonialisme, menurut Oxford English Dictionary (OED) via Loomba (2003)
berasal dari kata Latin Romawi yaitu colonia yang berarti “tanah pertanian”
atau “pemukiman”. Arti kata ini mengacu pada orang-orang Romawi yang
sedang bermukim di daerah negeri-negeri lain tetapi masih mempertahankan
kewarganegaraan mereka sebagai orang Romawi.

Makna kolonialisme secara etimologis tidak mengandung arti penjajahan,


melainkan hanya semacam wilayah atau perkampungan, mempunyai konotasi
negatif sesudah terjadi interaksi yang tidak seimbang antara pendatang baru
dengan penduduk lama (Ratna, 2008: 20). Kemudian, dijelaskan lagi bahwa
dalam pembentukan pemukiman baru terjadi hubungan yang kompleks dan
traumatik dalam sejarah antara penduduk lama dengan pendatang baru yang
terkadang ditandai dengan usaha membubarkan dan membentuk komunitas-
komunitas yang sudah ada di sana dengan melibatkan praktik-praktik
perdagangan, penjarahan, pembunuhan masal, perbudakan dan
pemberontakan-pemberontakan (Loomba, 2003: 2).

Menurut pendapat tersebut, sebenarnya poskolonial mengacu terhadap suatu


penduduk yang sedang membentuk pemukiman baru dan melakukan interaksi
kompleks dan traumatis terhadap penduduk di pemukiman lama, karena
pengalaman dari berbagai sejarah yang menjelaskan tentang dampak negatif
yang mudah diingat tersebut sehingga menimbulkan pandangan negatif
terhadap poskolonial. Perkembangan demi perkembangan tentang poskolonial
berubah ketika para penduduk pemukiman baru tersebut meninggalkan dan
kembali di tempat daerah asal atau mencari tempat baru, sehingga tempat
yang dahulu ditempati itu dianggap sebagai tanah bekas jajahan tergantung
seberapa dampak positif dan negatif yang ditinggalkan.

Isu-isu yang dapat diangkat dalam kajian poskolonial sastra menurut Bahri
(1996), diantaranya adalah bagaimana kolonisasi berpengaruh terhadap
orang-orang terjajah dan juga penjajah, bagaimana efek jejak kolonialisme
berpengaruh di dalam pembangunan dan modernisasi negara poskolonial,
bagaimana dan apa saja perlawanan terhadap pengaruh atau control colonial
hingga isu dekolonisasi yang terwujud. Kajian poskolonial sastra dapat
dilihat dalam novel Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer, terdapat
upaya dekolonisasi yang diinterpretasikan dengan ekspresi Pram yang
mengungkapkan secara tajam perlawanan terhadap strategi feodal budaya

1
Jawa dan kolonialisme yang memperbudak bangsa Indonesia sehingga
menjadi bangsa yang kerdil. Dapat juga diarahkan pada teks-teks yang dibuat
Pram itu untuk mengungkapkan perlawanan terhadap kultur yang menindas
agar kemerdekaan diri dan kemerdekaan bangsalah yang dimenangkan.
Menurut Bahri (1996), kajian poskolonial dapat berfokus pada hibriditas,
suatu bentuk dinamisme budaya yang memperkaya kedua budaya;
sinkretisasi, suatu bentuk pencampuran budaya, praktik, gaya atau tema karya
sastra bekas penjajah dengan bekas jajahan; dan pastiche, suatu bentuk usaha
meniru karya penjajah oleh bekas jajahan.

2.2 Novel sebagai Karya Sastra


Novel merupakan cerita prosa tentang kehidupan manusia mengandung
pergolakan jiwa yang luar biasa sehingga menimbulkan perubahan nasib
tokoh-tokohnya (Karmini, 2011: 102). Novel merupakan bentuk prosa dengan
suatu alur yang cukup panjang dan berisi tentang kehidupan imajinasi
manusia. Novel adalah produk dari karya sastra modern yang kini semakin
diminati masyarakat pembaca dan mendapatkan perhatian yang meningkat
pada era globalisasi ini, karena novel dianggap sebuah karya sastra yang
dikemas dengan konsep modern namun tidak terlepas dari kehidupan
masyarakat pendukungnya (Priyatni, 2010: 155). Dari kedua pendapat
tersebut dapat disimpulkan secara sederhana bahwa, novel merupakan cerita
yang memiliki alur cukup panjang tentang kehidupan manusia berdasarkan
imajinasi dari realita di masyarakat, termasuk salah satu jenis produk karya
sastra bali modern yang hingga era globalisasi kini semakin diminati oleh
masyarakat.

Selanjutnya, dijelaskan bahwa novel dapat mengemukakan sesuatu secara


bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan
lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks. Novel
dibangun oleh unsur-unsur sebagai berikut, (1) peristiwa/insiden, yaitu pokok
permasalahan dalam novel dimana pusat cerita mengarah terhadap
penyelesaian dan pencarian jalan keluar terhadap permasalahan tersebut,
sehingga kejadian-kejadian khusus dalam cerita novel menjadi daya tarik
tersendiri. (2) alur/plot, yaitu jalan cerita yang menjelaskan tentang
perkembangan para tokoh dan permasalahannya hingga akhir, alur/plot disini
dapat berbentuk alur maju, mundur dan campuran (3) tokoh dan penokohan,
yaitu mencakup pemain atau karakter dari masing-masing perbedaan yang
mengarah terhadap keterkaitan antara tokoh tersebut, penokohan biasanya
memiliki watak dan imaji khusus yang juga menjadi daya tarik dalam cerita
novel. (4) latar, yaitu gambaran tentang kondisi yang ingin disampaikan oleh
penulis novel agar memperkuat cerita, latar tersebut meliputi latar waktu,

2
latar tempat dan latar suasana. (5) tema, yaitu unsur utama sebagai pedoman
mengharuskan cerita novel untuk mengikutinya dan (6) amanat, yaitu pesan
yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca, biasanya amanat
tersebut dijelaskan secara tersirat dengan memberikan pemahaman terhadap
pembaca melalui kesan dan pengalaman khusus setelah membaca novel.
(Nurgiyantoro, 2010: 11). Berdasarkan pendapat Nurgiyantoro tersebut, dapat
diartikan bahwa novel berisi aturan yang lebih bebas dengan sajian kisah
yang lebih daripada karya sastra lainnya.

2.3 Kajian Poskolonial dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya


Ananta Toer
Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Anata Toer adalah buku yang sangat
populer khususnya di Indonesia karena memiliki tokoh unik dan mengambil
latar pada era politik etis yaitu sekitar tahun 1898-1918. Novel Bumi Manusia
memiliki kisah romantisme, sosial dan perjuangan. Sebenarnya novel Bumi
Manusia termasuk dalam buku dengan penjualan terbanyak no-2 di
Gramedia, namun setelah film Bumi Manusia dirilis novel tersebut menjadi
semakin terkenal khususnya di kalangan anak milenial.

Keterkaitan novel Bumi Manusia dengan kajian teori poskolonial salah


satunya terletak pada latar dalam novel tersebut yang mengambil pada era
politik etis serta pandangan rakyat pribumi terhadap bangsa barat (Belanda)
yang dianggap lebih tinggi seakan-akan diciptakan dalam semesta.

Semua ini mengacu terhadap hibriditas, dimana manusia mengalami


perubahan pandangan dan anggapan karena disebabkan oleh kolonialisme
dalam ruang sosial mereka, sehingga setiap sikap dan tindakan tersebut ditiru
oleh kaum pribumi terhadap bangsa barat. Sebagai contoh saat era penjajahan
Belanda di Indonesia sebagian kaum pribumi ingin menyamai kedudukan
yang sama dengan tinggal serta belajar pendidikan seperti cara orang-orang
Eropa.

Selanjutnya, hal ini juga disebabkan oleh mimikri, dimana manusia harus bisa
menyesuaikan keadaan yang sama dengan sekitar mereka. Sebagai contoh
saat era penjajahan Belanda di Indonesia, kaum pribumi terpaksa untuk
meniru setiap pemikiran, kebiasaan, dan bahasa dari bangsa Barat agar dapat
melawan dengan kesetaraan yang sama agar saat melawan penjajahan dapat
dilakukan secara sehat dan cerdas. Berikut hasil kajian poskolonial dalam
novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.

3
1. Sekali direktur sekolahku bilang didepan kias: yang disampaikan oleh
tuan-tuan guru di bidang pengetahuan umum sudah cukup luas, jauh
lebih luas daripada yang dapat diketahui oleh para pelajar setingkat di
banyak negeri di Eropa sendiri.

Tentu dada ini menjadi gembung. Aku belum pernah ke Eropa.

Benar-tidaknya ucapan tuan Direktur aku tak tahu. Hanya karena


menyenangkan aku cenderung mempercayainya. Lagi pula semua guruku
kelahiran sana, dididik disana pula. Rasanya tak layak tak mempercayai
guru. Orang tuaku telah mempercayakan diriku pada mereka. Oleh
masyarakat terpelajar Eropa dan Indo dianggap terbaik dan tertinggi
nilainya di seluruh Hindia Belanda. Maka aku hairus mempercayainya
(Pramoedya, 2018: 3).

Dan di Eropa sana, orang sudah mulai membikin mesin yang lebih kecil
dengan tenaga lebih besar, atau setidaknya sama dengan mesin uap.
Memang tidak dengan uap. Dengan minyak bumi. Warta sayup-sayup
mengatakan: Jerman malah sudah membikin kereta digerakkan listrik. Ya
Allah, dan aku sendiri belum lagi tahu membuktikan apa listrik itu
(Pramoedya, 2018: 4).

Kutipan novel di atas menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan dan budaya


Eropa atau bangsa barat lebih maju daripada ilmu pengetahuan dan budaya
pribumi. Hal ini menimbulkan rasa kerendahan diri sehingga menganggap
bahwa sesuatu milik pribumi adalah sesuatu yang rendahan dan tidak
bermutu. Kemudian, muncul anggapan bahwa orang-orang yang menuntut
ilmu di Eropa dan berbudaya Eropa adalah mereka yang unggul dan
beradab sehingga patut dihargai dan dihormati eksistensinya.

2. Aku tersinggung. Aku tahu otak H.B.S. dalam kepala Robert Suurhof ini
hanya pandai menghina, mengecilkan, melecehkan dan menjahati orang.
Dia anggap tahu kelemahanku: tak ada darah Eropa dalam tubuhku
(Pramoedya, 2018: 6).

Ia masih juga menjabat tanganku, menunggu aku menyebutkan nama


keluargaku. Aku tak punya, maka tak menyebutkan. Ia mengernyit. Aku
mengerti: barangkali dianggapnya aku anak yang tidak atau belum diakui
ayahnya melalui pengadilan,‘tanpa nama keluarga adalah Indo hina, sama
dengan Pribumi. Dan aku memang Pribumi. Tapi tidak, ia tak menuntut
nama keluargaku (Pramoedya, 2018:11).

4
“Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa
sedikit bicara Belanda, lantas jadi Eropa ? Tetap monyet!” (Pramoedya,
2018: 36).

Beberapa kutipan novel di atas menggambarkan bagaimana kaum pribumi


di mata bangsa barat (dalam hal ini diproyeksikan oleh tokoh Belanda).
Mereka memandang rendah, bahkan begitu rendah terhadap pribumi. Caci
maki dan hinaan adalah suatu hal yang pantas diterima pribumi menurut
bangsa barat. Pada kutipan di atas juga dijelaskan bahwa tokoh pribumi
telah meniru atau melakukan proses mimikri terhadap budaya Eropa yang
dianggap lebih unggul dan beradab, yaitu dengan mengenakan pakaian
Eropa dan berbahasa Belanda. Namun, hal tersebut justru menjadi
boomerang bagi tokoh pribumi tersebut.

3. Apa pun nama patung itu aku heran juga seorang Pribumi, gundik pula,
tahu nama seorang fir’aun (Pramoedya, 2018: 14).

Nyai Ontosoroh pergi lagi melalui pintu belakang. Aku masih terpesona
melihat seorang wanita Pribumi bukan saja bicara Belanda begitu baik,
lebih karena tidak mempunyai suatu komplex terhadap tamu pria. Di mana
lagi bisa ditemukan wanita semacam dia ? Ape sekolahnya dulu ? Dan
mengapa hanya seorang nyai, seorang gundik ? Siapa pula yang telah
mendidiknya jadi begitu bebas seperti wanita Eropa ? Keangkeran istana
kayu ini berubah menjadi makgai teka-teki bagiku (Pramoedya, 2018: 17).

Tokoh aku yang notabene adalah seorang pribumi tergambar dengan jelas
telah merendahkan kaumnya sendiri. Tokoh aku telah terpengaruh doktrin
bahwa pribumi hanyalah kaum rendahan yang tak berpendidikan. Ia
bingung bagaimana bisa seorang pribumi (Nyai Ontosoroh) mengenal
fir’aun dan berlaku seperti wanita-wanita Eropa di mana seharusnya wanita
pribumi hanya mengenal dapur, kasur, lan sumur dan tokoh Nyai
Ontosoroh merupakan kontradiksi dari gambaran-gambaran umum
mengenai pribumi.

4. Aku sendiri masih termangu melihat perempuan meninggali kan dapur


rumahtangga sendiri, berbaju-kerja. mencari penghidupan pada
perusahaan orang, bercampur dengan pria! Apa ini juga tanda jaman
modern di Hindia ?.
“Kau heran melihat perempuan bekerja ?”
Aku mengangguk. Ia menatap aku seakan hendak membaca keherananku.

5
“Bagus kan ? semua berbaju putih ? Semua ? Itu hanya mengikuti
kebiasaan di Nederland sana. Hanya di sini cukup dengan blacu, bukan
lena. Aturan pemerintah kota di sana.” (Pramoedya, 2018: 23).

Kutipan tersebut menggambarkan adanya pergeseran budaya antara


Pribumi dengan Barat. Pribumi mulai meninggalkan identitas pakaian yang
sehari-hari dikenakannya dengan pakaian ala kebarat-baratan (Belanda).
Namun, terdapat kesetaraan yang dirasakan perempuan pribumi, yaitu
kesempatan untuk bekerja dan memperoleh gaji sendiri.

5. “Biar pun Tuan kawini nyai, gundik ini, perkawinan syah, dia tetap
bukan Kristen. Dia kafir! Sekiranya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih
busuk dari Mevrouw Amelia Mellema-Hammers, lebih dari semua
kebusukan yang Tuan pernah tuduhkan pada ibuku. Tuan telah lakukan
dosa darah, pelanggaran darah! mencampurkan darah Kristen Eropa
dengan darah kafir Pribumi berwarna! dosa tak terampuni!”
“Pergi!” raungku. Dia tetap tak menggubris aku. “Bikin kacau
rumahtangga orang. Mengaku insinyur, sedikit kesopanan pun tak punya.”
Dia tetap tak layani aku. Aku maju lagi selangkah dan dia mundur
setengah langkah, seakan menunjukkan kejijikannya didekati Pribumi
(Pramoedya, 2018: 83).

Hinaan, cacian, dan perasaan jijik lagi-lagi terhadap pribumi lagi-lagi


diperlihatkan dalam kutipan novel Bumi Manusia karya Pramoedya ini.
Menurut sudut pandang orang barat, menikah atau memiliki simpanan
seorang pribumi adalah hal yang merendahkan martabat bangsanya.
Ungkapan “……darah kafir Pribumi berwarna!...” menunjukkan bahwa
orang barat telah merendahkan ras dan etnis pribumi.

6. Tulisan itu juga mengatakan: Jepang mencoba meniru Inggris di


perairan.
Dan pengarangnya memperingatkan agar menghentikan ejekan terhadap
bangsa itu sebagai monyet peniru. Pada setiap awal pertumbuhan,
katanya, semua hanya meniru. Setiap kita semasa kanak-kanak juga hanya
meniru Tetapi kanak-kanak itu pun akan dewasa, mempunyai
perkembangan sendiri (Pramoedya, 2018: 97).

Bangsa barat tak hanya merendahkan pribumi saja, melainkan bangsa-


bangsa timur (non-barat) lainnya. Hal ini terlihat jelas dalam kutipan di
atas. Belanda menyebut Jepang sebagai monyet peniru, seolah-olah segala
sesuatu yang berasal dari timur adalah imitasi kemajuan peradaban barat
sehingga hanya bangsa baratlah yang pantas untuk diakui kehebatannya.

6
7. Tak ada Pribumi bersepatu di lingkungan gedung bupati (Pramoedya,
2018: 107).

Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa Pribumi dijadikan sebagai


kaum rendahan di mana kaum Pribumi tidak ada yang diperbolehkan
menggunakan sepatu di lingkungan bupati.

8. “Yang dimaksudkan dengan assosiasi adalah kerjasama berdasarkan


serba Eropa antara para pembesar Eropa dengan kaum terpelajar
Pribumi. Kalian yang sudah maju diajak memerintah negeri ini bersama-
sama. Jadi, tanggungjawab tidak dibebankan pada bangsa kulit putih
saja. Dengan demikian tak perlu lagi ada jabatan kontrolir, penghubung
antara pemerintahan Eropa dengan pemerintahan Pribumi. Bupati bisa
langsung berhubungan dengan pemerintahan putih. Kau mengerti?”
(Pramoedya, 2018: 125).

Berdasarkan kutipan di atas terlihat adanya keinginan beberapa bangsa


putih agar Pribumi bisa bangkit dan mengejar pemerintahan kulit putih agar
dapat menempati kedudukan yang seharusnya di Indonesia. Hal ini
tergambar dari percakapan antara Sarah de la Croix kepada Minke yang
seorang Pribumi.

9. “... Lihat, dalam mata pelajaran E.L.S. sampai H.B.S. kita diajar
mengagumi kehebatan balatentara Kompeni dalam menundukkan kami,
Pribumi” (Pramoedya, 2018:125).

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa saat Pribumi memiliki kesempatan
untuk mengenyam pendidikan, mereka justru diajarkan untuk mengagumi
kehebatan bangsa yang telah menjajahnya. Hal ini tergambar dari
percakapan Minke kepada Sarah de la Croix dan Miriam de la Croix.

10. “Minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Eropa,
tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa seumumnya, mungkin kelak
kau bisa jadi orang penting. Kau bisa jadi pemuka, perintis, contoh
bangsamu. Mestinya kau sebagai terpelajar, sudah tahu: bangsamu
sudah begitu rendah dan hina. Orang Eropa tidak bisa berbuat apa-apa
untuk membantunya. Pribumi sendiri yang harus memulai sendiri”
(Pramoedya, 2018: 127).

Dilihat dari kutipan di atas orang-orang Pribumi harus memiliki keinginan


berjuang untuk bisa bangkit agar tidak terus menerus menjadi budak dan

7
dijadikan budak oleh bangsa Eropa. Hal ini tergambar dari percakapan
Tuan Assisten Residen kepada Minke.

11. “Baik. Jadi kau membenci Minke hanya karena dia Pribumi dan kau
berdarah Eropa. Baik. Memang aku tak mampu mengajar dan mendidik
kau. Hanya orang Eropa yang bisa lakukan itu untukmu. Baik, Rob.
Sekarang, aku, ibumu, orang Pribumi ini, tahu, orang yang berdarah
Eropa tentu lebih bijaksana, lebih terpelajar daripada Pribumi”
(Pramoedya, 2018: 136)

Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa bangsa Eropa selalu


menganggap Pribumi lebih rendah dan hina (inferior) dan mereka adalah
bangsa dengan kasta tinggi dan mendominasi (superior). Hal ini tergambar
dari percakapan Mama kepada Robert.

12. Mereka dikodratkan kalah, kata Papa, dan lebih mengibakan lagi karena
mereka tak mengerti tentang kodratnya. Bangsa besar dan gagah-
perwira itu terus juga mencoba mengangkat kepala dari permukaan air,
dan setiap kali bangsa Eropa memperosokkan kembali kepalanya ke
bawah. Bangsa Eropa tidak rela melihat Pribumi menjengukkan kepala
pada udara melihat keagungan ciptaan Allah. Mereka terus berusaha
dan terus kalah sampai tak tahu lagi usaha dan kekalahannya sendiri
(Pramoedya, 2018: 165).

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa bangsa Eropa tidak akan pernah
membiarkan Pribumi untuk bangkit, bahkan sekedar hanya untuk melihat
keagungan ciptaan Allah sehingga bangsa Eropa akan selalu mencari cara
untuk menenggelamkan kembali orang-orang Pribumi yang mencoba untuk
bangkit. Hal ini tergambar dari kutipan isi surat yang dikirimkan Miriam de
la Croix kepada Minke.

13. Kemudian Papa bilang: Dia bangga sebagai orang Jawa, dan itu baik
selama dia punya perasaan harga diri sebagai pribadi mau pun sebagai
anak bangsa. Jangan seperti bangsanya pada umumnya, mereka merasa
sebagai bangsa tiada tara di dunia ini bela berada di antara mereka
sendiri (Pramoedya, 2018: 166).

Dilihat dari kutipan di atas, tergambar dari tokoh Papa yang bangga sebagai
orang Jawa dan tidak mau seperti bangsanya pada umumnya yang bersikap
superior dengan menganggap diri dan bangsa sebagai bangsa yang tiada
tara di dunia.

14. “Kalau di Nederland sana ada segalanya,” Mama menambahi dengan


berang, “untuk apa orang Eropa datang kemari?”

Dalam bayangan mama bahwa kondisi di eropa yang serba maju.

8
15. Komendan Veldpolitie, seorang Totok, memaki-maki anak buahnya yang
meletuskan senapan. Sebongkah batu melayang di udara dan mengenai
pelipisnya. Ia terhuyung-nuyung, jatuh, tak bangun lagi. Seorang
Belanda hitam, yang nampaknya menggantikan kedudukannya, berteriak
memberi perintah untuk menghalau lebih keras. Lengannya terbabat
parang dan secepat kilat bajunya menjadi coklat. Dengungan orang-
orang y ang meny erukan kebesaran Tuhan tak terkirakan seramnya.
Tapi pada akhirnya mereka terhalau dan melarikan diri ke segala
penjuru yang mungkin, Dirumputan dan pelataran bergeletakan tubuh-
tubuh bermandi darah.

Sebagai contoh Komendan Veldpolitie adalah simbol drajat dan


kekuasaan. Walaupun perlawanan dengan kekerasan sekalipun juga tetap
kalah hanya dengan drajat dan kekuasaan.

16. “Ya, Nak, Nyo, memang kita harus melawan. Betapa pun baiknya orang
Eropa itu pada kita, toh mereka takut mengambil risiko berhadapan
dengan keputusan hukum Eropa, hukumnya sendiri, apalagi kalau hanya
untuk kepentingan Pribumi. Kita takkan malu bila kalah. Kita harus tahu
mengapa Begini Nak N o, kita, Pribumi seluruhnya, tak ..bisa menyewa
advokat Ada uangpun belum tentu bisa. Lebih banyak lagi karena tak ada
keberanian. Lebih umum lagi karena tidak pernah belajar sesuatu.

Keadaan menjadi pribumi menjadikan ketertinggalan, kesempatan untuk


setara sulit walaupun memiliki kelebihan, kemampuan dan uang.

17. “Di jaman dulu,” Bunda memulai seperti semasa aku kecil dulu, “negeri-
negeri akan berperang habis-habisan untuk mendapatkan putri seperti
menantuku, mbedah praja mboyong putri. Sekarang keadaan sudah
begini aman, tidak seperti aku masih kecil dulu, apalagi semasa kecil
nenekndamu. Orang bilang, semua takut pada Belanda maka keadaan
jadi lebih aman. Memang Belanda ini tidak sama, berbeda dari nenek-
moyangmu.

Dalam kutipan tersebut perubahan zaman memberikan dampak sosial


yang begitu besar karena mengharuskan manusia untuk menyesuaikan.

9
18. Annelies akan sangat menderita. Percuma aku nanti sebagai ibunya. Dia
harus lebih terhormat daripada seorang Indo biasa. Dia harus jadi
Pribumi terhormat di tengah-tengah bangsanya. Kehormatan itu bisa
didapatnya hanya dari perusahaan ini. Memang aneh. Nak, begitulah
maunya dunia ini.

Annelies oleh ibunya ingin dijunjung tinggi agar nanti saat menjadi orang
terhormat, Annelies juga bisa menjunjung balik orangtuanya.

10
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Kajian poskolonial merupakan kajian yang mengaitkan sastra dengan sejarah
atau masa lalu bangsa sebagai bangsa yang pernah dijajah. Kajian ini
merupakan sebuah bentuk perjuangan atau langkah strategis dalam memukul
mundur budaya-budaya atau hal yang berbau penjajah.

Setelah melakukan analisis kajian poskolonial dalam novel bumi manusia


karya pramoedya ananta toer, dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk
poskolonial dalam novel tersebut, meliputi:
1. Sosial
Bangsa barat (dalam hal ini Belanda) selalu memandang rendah pribumi.
Mereka menganggap bahwa pribumi bukanlah orang yang beradab dan
bermartabat sehingga tak patut memperoleh respect-nya. Pribumi selalu
dianggap sebagai budak dan kaum rendahan.
2. Budaya
Budaya dalam hal ini digambarkan dengan mimikri yang dilakukan oleh
pribumi atas bangsa barat. Seorang pribumi berpakaian menyerupai orang
Belanda, berbahasa Belanda dalam komunikasi sehari-hari, dan
memegang budaya-budaya barat. Selain itu, terdapat anggapan bahwa
budaya feodal jawa adalah budaya yang merendahkan dan membelenggu
kaumnya, berbeda dengan budaya barat yang dianggap lebih maju dan
bebas.
3. Pendidikan
Bidang pendidikan digambarkan oleh kaum-kaum pribumi yang
berkesempatan untuk belajar atau menempuh pendidikan dianggap lebih
maju daripada pribumi lainnya. Walaupun demikian, masih terdapat
praktik rasisme dalam sistemnya. Ilmu yang diajarkan pun adalah ilmu
yang berasal dari bangsa barat.
4. Pemerintahan
Terdapat sistem majikan dan bawahan, majikan adalah orang-orang barat
dan bawahan adalah pribumi. Dalam sistemnya, pribumi selalu ditindas
dan keberpihakan selalu mengarah ke orang-orang barat. Selain itu, segala
hal yang menyangkut pemerintahan merupakan bentuk-bentuk turunan
atau tiruan pemerintahan bangsa penjajah.

11
1.2 Saran
Mengenai kajian teori poskolonialisme yang menganalisis tentang novel Bumi
Manusia untuk waktu yang akan datang, diharapkan terdapat banyak
perbedaan agar ilmu pengetahuan bisa terus meningkat dengan memberikan
hal baru. Semua ini demi perubahan dan kebenaran dari ilmu pengetahuan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Asih. 2011. Poskolonialisme Dalam Sastra Afro-Amerika: Kajian Puisi-Puisi


Karya Langston Hughes. (Online)
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132299490/poskolonialisme
%20dalam%20sastra%20afro-amerika.pdf

Harimansyah, Ganjar. (tanpa tahun). Menakar Teori Poskolonial Dalam Mengkaji


Karya Sastra. (Online)
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/kritiksastra/MEN
AKAR%20TEORI%20POSKOLONIAL%20DALAM
%20MENGKAJI%20KARYA%20SASTRA

Kantorbahasamalut.kemdikbud.go.id. 2021. Hibriditas dan Mimikri dalam Karya


Sastra. [online] Available at:
<https://kantorbahasamalut.kemdikbud.go.id/index.php/2020/05/26/
hibriditas-dan-mimikri-dalam-karya-sastra/> [Accessed 21 July
2021].

Toer, Pramoedya Ananta. 2018. Bumi Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Kajian Novel
https://sinta.unud.ac.id/
https://id.wikipedia.org/wiki/Bumi_Manusia_(novel)
Kajian Poskolonial
https://eprints.uny.ac.id/9833/3/
https://id.wikipedia.org/wiki/Hindia_Belanda

13

Anda mungkin juga menyukai