Anda di halaman 1dari 12

KETIDAKSEIMBANGAN ARUS INFORMASI ANTARA NEGARA MAJU DENGAN

NEGARA DUNIA KETIGA DARI PERSPEKTIF POSKOLONIALISME

Dosen Pengampu:
Muhammad Riza Hanafi, S.IP., M.IA

Disusun Oleh:
Nadya Nisa Putri Aryani (225120401111030)
Moch. Rizky Zacky Pratama (225120400111067)
Moch. Ibdan Hudiya (225120407111079)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2023
A. PENDAHULUAN
Baru-baru ini terjadi perpecahan antara pendukung kemerdekaan Palestina di
Indonesia disebabkan opini dari seorang pemuka agama yang cukup terkenal. Fenomena
diatas membuktikan bahwa adanya perbedaan arus informasi yang didapat serta kesamaan
target audience tidak dapat menutup kemungkinan terjadinya perbedaan tafsir antar tiap
individu. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh arus informasi yang semakin mudah dan cepat
serta membuat terbentuknya gap antara negara maju dan negara berkembang. Negara maju
dengan kesiapan sumber daya manusianya mampu merespon hal tersebut dengan setidaknya
meminimalisir terjadinya perpecahan, sedangkan negara berkembang belum tentu bisa
menerima kecepatan arus informasi yang diberikan. Kondisi dunia di akhir era akhir perang
dunia dan awal perang dingin yang disebut sebagai the end of colonialization ternyata
membawa dampak yang cukup signifikan terhadap penyebaran arus informasi yang ada.
Permasalahan liberasi negara-negara terjajah juga menjadi concern dari studi
hubungan internasional dan menimbulkan perspektif pos-kolonialisme. Perspektif ini muncul
pada 1960-an dan ditandai dengan adanya tulisan Frantz Fanon yang berjudul The Wretched
of the Earth yang berisi aspirasi-aspirasi dalam pemberantasan praktik kolonialisme
(Grovogui, 2013: 247). Menurut kaum poskolonialis, teori-teori yang sudah ada di studi
Hubungan Internasional terlalu Western-centric. Poskolonialisme berpendapat bahwa
kolonialisme Barat telah mendominasi segalanya dan salah satunya adalah media yang
menjadi platform dari arus informasi global. Oleh sebab itu arus informasi yang ada pun juga
ikut dipengaruhi dengan berbagai substansi di dalamnya yang dinilai terlalu European-centric
dan tidak seimbang antara negara maju dengan negara dunia ketiga. Hal ini kemudian
ditandai dengan kemunculan Orientalism sebagai salah satu jenis poskolonialisme yang
berfokus pada bangsa Timur sebagai sumber pengetahuan dan pandangan baru yang juga
memiliki kemampuan sama dengan bangsa Barat (Grovogui, 2013: 252)
Dalam poskolonialisme negara-negara di dunia dapat dibagi menjadi dua poros yang
dianalogikan sebagai The Man and The Native, the man merujuk kepada penjajah yang
mengeksploitasi dan mengimplementasikan sistem kolonialisasi, sedangkan the native
merepresentasikan negara-negara yang berada di bawah kolonisasi para the man. Jika
dikaitkan dengan penyebaran arus informasi yang terjadi saat ini, salah satu implementasi
dari sistem kolonialisasi adalah negara dunia ketiga cenderung mengkonsumsi informasi dari
the man dan the man memanfanfaatkan kondisi tersebut untuk menyebarkan kepentingannya.
Argumen mereka menyatakan kekuatan dan legitimasi peraturan dunia yang cenderung
diterapkan oleh bangsa Barat terhadap negara-negara jajahan untuk kepentingannya sendiri.
Bangsa Barat cenderung berusaha untuk tetap mempertahankan kekuatannya terhadap negara
dunia ketiga dengan memanfaatkan penyebaran arus informasi yang sebenarnya didominasi
oleh mereka. Salah satu contohnya adalah Bangsa Barat telah menerapkan peraturan yang
mengizinkan hanya negara-negara besar untuk memiliki pengayaan nuklir. Poskolonialisme
berusaha untuk mendekonstruksi pemikiran akan kebutuhan nuklir, baik bagi negara
hegemon maupun negara-negara Dunia Ketiga.
Poskolonialisme juga memusatkan pengelompokan secara biner atau dikotomi seperti
Barat dan Timur, Utara dan Selatan, hitam dan putih, serta penjajah (colonizer) dan terjajah
(colonized) Lalu, struggle menjadi kunci dari teori ini. Poskolonialisme menaruh fokus lebih
terhadap bagaimana negara-negara terjajah berjuang melawan para penjajah. Sikap ini
nantinya melahirkan self-determination yang berujung kepada etos antikolonialisme di
kemudian hari.
Selain mengkritik mengidentifikasi dan mengkritik pengelompokan biner antara
berbagai entitas, poskolonialisme juga menempatkan fokus khusus pada perjuangan yang
berfungsi sebagai elemen sentral. Elemen sentral disini mengindikasikan bahwasanya
poskolonialisme memberikan pandangan baru kepada dunia melalui perspektif yang lebih
adil dan inklusif melampaui kerangka biner yang berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan
dalam pendistribusian arus informasi dan kekuasaan global (Grovogui, 2013: 253).
B. PENDEKATAN
Poskolonialisme adalah pendekatan yang muncul pada tahun 1990 an atau akhir 1980
an. Poskolonialisme sebagai bidang studi yang berfokus pada kebangkitan kolonialisme.
Sebagian besar, koloni ditujukan untuk menyediakan bahan mentah bagi industri yang sedang
berkembang di Barat, khususnya di Inggris dan Perancis. Selain itu, Poskolonial juga skeptis
terhadap pengetahuan dan moralitas yang beredar pada saat ini, karena merupakan warisan
dari kolonialisme. Yang perlu diingat adalah kolonialisme dan imperialisme tidak bisa
dipisahkan. Di mana, kolonialisme dan imperialisme ini berkeyakinan bahwa suatu konsep
dan representasi yang digunakan dalam teks-teks novel, catatan perjalanan, memori, dapat
dianalisis untuk memahami ideologi kolonialisme yang berbeda-beda (Lazuardi, 2003: 1).
Isaac (dalam Naim, 1984: 6) membagi kolonialisme menjadi dua jenis, yakni
kolonialisme eksploitasi dan kolonialisme pemukiman. Pertama, kolonialisme eksploitasi,
biasanya melibatkan sejumlah kecil pedagang, pejabat pemerintah dan tentara yang
dipindahkan dari negara ibu, sedangkan budak atau buruh dikumpulkan untuk penyediaan
tenaga kerja yang diperlukan. Kedua, kolonialisme pemukiman, kolonialisme ini dapat terjadi
jika negara yang telah berdiri kokoh dan memiliki hasrat yang besar dapat mengirim warga
negara nya keluar negeri dengan cara yang resmi untuk bermukim di suatu daerah tertentu.
Tentunya daerah-daerah yang dipilih adalah daerah yang jarang ada penghuninya, yang
jumlah penduduk aslinya sedikit, serta tingkat kebudayaannya yang rendah, sehingga mereka
memberikan perlawanan terhadap masuknya para koloni tersebut.
Dari Poskolonialisme, kolonialisme dan imperialisme tentu belum berakhir. Kedua,
nya mengandalkan karya-karya yang dihasilkan oleh para cendekiawan pribumi dan para
cendekiawan Eropa untuk memahami pengalaman kolonial dan perlawanan berupa karya
sastra. Sebuah karya berupa tulisan yang merefleksikan tentang kehidupan pada masa
kolonial yang ada hubungannya dengan masa lalu. Dalam kaitannya dengan kritik sastra,
Poskolonial dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana sastra mengungkapkan
jejak-jejak kolonial, yaitu konfrontasi antar ras, bangsa, dan budaya dalam kondisi hubungan
kekuasaan yang tidak setara, yang telah membentuk sebagian yang signifikan dari
pengalaman manusia sejak awal zaman imperialisme Eropa (Day dan Foulcher, 2008: 2-3).
Menurut Day dan Foulcher, kritik Poskolonial adalah strategi membaca sastra yang
mempertimbangkan kolonialisme dan dampaknya dalam teks-teks sastra, serta posisi atau
suara pengamat yang berkaitan dengan isu-isu tersebut. Berdasarkan pemahaman tersebut,
kritik Poskolonial adalah suatu jaringan sastra atas rekam jejak kolonialisme.
Salah satu cara-cara utama kritik Poskolonial adalah melalui pengujian sejarah.
Sejarah sendiri merupakan situs kegelisahan bagi masyarakat Poskolonial untuk memberi
istilah pada warisan peraturan kolonial mengenai nasionalisme di era pasca kemerdekaan,
apakah warisan itu ditolak atau disambut. Tujuan dari kritik Poskolonial adalah untuk
mengekspos ketidakhadiran dan ambivalensi dalam representasi historis. Berdasarkan
kenyataan sejarah, bahwa Indonesia pernah menjadi bagian dari kolonialisme atau bangsa
yang terjajah hingga ratusan tahun, dan banyaknya karya sastra yang merekam jejak
penjajahan, tentunya sastra Indonesia modern menjadi tempat penelaah Poskolonialisme. Hal
tersebut menandakan bahwa Poskolonial bukanlah akhir dari masa kolonial, melainkan
dampak awal dari kontak kolonial.
Kajian Hubungan Internasional dalam Poskolonialisme adalah kajian yang
berkembang atas interpretasi dan pengalaman western. Kajian Hubungan Internasional
sendiri berangkat dari pengalaman-pengalaman Barat, dengan mendefinisikan negara sebagai
territory, maupun independen berdaulat. Dapat dikatakan juga bahwa Poskolonialisme adalah
produk Barat, jadi semua itu tidak berasal dari Barat, akan tetapi dididik ala Barat.
Poskolonialisme juga bisa dianggap sebagai bentuk keberhasilan dari kapitalisme dan
globalisasi Barat, dikarenakan para pemikir seperti Bhabha, Said, dan Spivak pindah ke
Amerika Serikat. Mereka menikmati pendidikan di sana dan bekerja di sana menjadi
Profesor. Para pemikir Poskolonialisme yang terkenal diantaranya adalah Frantz Fanon,
Edward Said, Homi K. Bhabha, dan Gayatri Spivak.
1. Frantz Fanon
Frantz Fanon berasal dari Karibia, koloni Perancis. Ia menulis buku yang berjudul
“Black Skin, White Masks”. Dalam bukunya, dijelaskan bahwa kolonialisasi itu
berdampak pada sebuah proses, di mana warna kulit putih menjadi yang paling unggul,
dan putih itu menjadi sumber dari segalanya, sumber kebenaran, kecantikan, dan
moralitas.
Dalam perkembangannya, inferioritas yang dimiliki oleh mereka yang berkulit hitam
mewujud dalam bentuk pengakomodasian (warna putih). Hegemoni Gramsci juga
bekerja disini, bagaimana orang kulit hitam bisa menerima superioritas kulit putih, dan
juga menerima inferioritas mereka. Mereka justru mengadopsi bahasa, budaya, adat
penjajahnya menjadi milik mereka. Itulah yang merupakan bentuk representasi dari
inferioritas.
2. Edward Said
Edward Said menulis buku yang berjudul “Orientalisme” yang menggunakan
pendekatan hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Pengetahuan bagi kaum
orientalis adalah untuk mempertahankan kekuasaannya, yakni pengetahuan yang
dipenuhi dengan visi dan misi politis ideologis (Ratna, 2008: 84). Said melihat bahwa
Orientalisme merupakan oposisi biner antara Orient (Arab/Timur/Native) vs Occident
(Barat). Ide utama dari Orientalisme, antara lain: a) Pengetahuan Barat tentang Timur
bukan merupakan generalisasi dari fakta atau realitas. b) Orientalisme merupakan
antitesis dari Barat. c) Orient dan Occident merupakan oposisi biner, di mana Orient
dikonstruksi sebagai inversi dari Barat. d) Tidak ada yang namanya present, yang ada
adalah representation.
3. Homi K. Bhabha
Konsep yang terkenal adalah hibriditas. Hibriditas merupakan alternatif strategi untuk
melawan kolonialisme dan warisannya. Hibriditas muncul sebagai “ruang ketiga” dalam
perlawanan terhadap kekuasaan imperialis dengan tujuan menghapuskan perbedaan
antara center dan periphery. Ruang ketiga ini adalah alternatif untuk menghindari
ketegangan antara identitas penjajah dan terjajah sebagai suatu identitas yang senantiasa
stabil (mapan). Melalui adanya “ruang ketiga” yang ditawarkan Bhabha dalam perspektif
Poskolonial, maka batas-batas antara “kita” dan “mereka” akan menjadi bias atau kabur,
dan juga melahirkan hasil hibridisasi berupa bahasa dan budaya baru.
4. Gayatri Spivak
Gayatri Spivak adalah orang India, dan menjadi profesor di Universitas Columbia. Ia
menulis essay yang berjudul “Can the Subaltern Speak?” yang membahas tentang praktik
Sati. Praktik Sati adalah praktik yang lazim dilakukan di India pada masa lampau, di
mana seorang lelaki yang telah beristri meninggal, maka laki-laki itu dibakar dan istri
nya juga ikut membakarkan diri dan disitulah merupakan bentuk loyalitas dan kecintaan
terhadap sang suami.
Jika dilihat dari perspektif western, Inggris menganggap bahwa praktik tersebut
adalah praktik yang melanggar Hak Asasi Manusia, tidak sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Sehingga, praktik tersebut dilarang oleh Inggris ayang pada saat itu Inggris
menjajah India.
C. PEMBAHASAN
1. Dominasi Negara Barat
Dalam era digital ini, dominasi teknologi dan platform media dari negara maju telah
menciptakan ketidakseimbangan arus informasi antara negara maju dan dunia ketiga.
Pendekatan ekonomi politik media juga tidak hanya melihat peran media sebagai industri
transnasional, tapi juga berbagai kepentingan yang diakomodasi media, yaitu ideologi di
setiap content media yang cenderung mengakibatkan terjadinya popscapes (Ikhsano, A.
2020). Dilihat dari perspektif poskolonialisme, media dari negara-negara Barat cenderung
menggambarkan narasi yang menguntungkan mereka sendiri, sementara di sisi lain
memarginalkan atau merendahkan negara dunia ketiga. Kuatnya pengaruh yang dimiliki oleh
media Barat dalam membentuk pandangan global menjadi semakin signifikan karena adanya
pusat produksi media yang berfokus di negara-negara Barat, terutama di Amerika dan Eropa.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Gramsci yang menganggap bahwa "media adalah
salah satu mekanisme kelembagaan itu, yang menurut Gramsci sebagai “tangan-tangan”
kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideologi yang mendominir" (Mahdi, 2015).
Arus informasi yang terjadi cenderung hanya berjalan satu arah dari negara Barat ke
negara Timur. Hal tersebut disebabkan karena media dari negara-negara Barat memiliki
pengaruh yang signifikan dalam pembentukan opini secara global. Hal yang serupa tidak
terjadi pada media yang berasal dari negara Timur, dimana media negara-negara Timur
memiliki pengaruh yang kurang signifikan dalam membentuk membentuk opini masyarakat
global atau bahkan cenderung dimarginalisasi oleh negara-negara Barat. Salah satu bentuk
kekuatan hegemoni adalah adanya kemampuan untuk menciptakan cara berpikir atau wacana
tertentu yang dominan, dianggap benar sehingga masyarakat meyakini wacana tersebut
sebagai sesuatu yang benar juga sebaliknya sebagai sesuatu yang salah atau menyimpang
(Juditha, 2018).
Edward Said dan Franz Fanon menjelaskan hegemoni yang terjadi pada negara negara
Timur disebabkan oleh "standarisasi" yang berdasarkan pada superioritas negara Barat dan
kulit putih. Edward Said dalam bukunya, "Orientalism" yang menekankan dinamika
kelompok Orient (Arab/Timur/Native) vs Occident (Barat). Kedua kelompok tersebut bersifat
biner dimana kelompok Orient atau representasi dari negara Timur merupakan antitesis dari
Occident yang menjadi representasi negara Barat, dan kelompok Orient dikonstruksi sebagai
inversi atau kebalikan dari kelompok Barat. Asumsi Orientalisme secara tidak langsung
menimbulkan dikotomi hierarkis yang menempatkan Occident (Barat) berada di atas Orient
(Timur).
Kemudian Frantz Fanon yang menciptakan buku "Black Skin White Mask"
menjelaskan hegemoni media Barat dengan melihat self-perception negara Timur yang
melihat diri mereka sebagai entitas yang inferior dan dikategorikan sebagai subaltern. Arus
informasi yang berjalan satu arah dari Barat ke Timur tersebut membuat negara Timur
terekspose secara terus menerus oleh informasi yang berasal dari Barat . Sehingga terbentuk
mindset yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berasal dari Barat itu lebih baik,
dimana kulit putih dianggap menjadi yang lebih unggul, dan putih itu menjadi sumber dari
segalanya, sumber kebenaran, kecantikan, dan moralitas. Dan negara Timur cenderung ingin
mengadopsi hal yang berasal dari Barat karena adanya mindset tersebut yang menganggap
segala sesuatu yang berasal dari Barat itu baik.
2. Kesenjangan Ekonomi dan Disparitas Industri Kreatif
Dominasi yang dipegang oleh negara-negara Barat dalam industri kreatif tidak dapat
dipisahkan dari sejarah kolonialisme. Kesenjangan ekonomi yang telah berakar sejak era
kolonial menghasilkan ketidakseimbangan dalam industri kreatif yang mencerminkan adanya
disparitas ekonomi dan juga ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya dan teknologi antara
negara maju dan dunia ketiga. Negara Barat, yang sebagian merupakan bekas penjajah,
memiliki keuntungan dalam hal sumber daya dan teknologi yang lebih maju. Sedangkan pada
negara Timur seringkali menghadapi keterbatasan dalam memasarkan karyanya secara
global. Hal ini membentuk keunggulan komparatif yang memberikan negara-negara Barat
kelebihan dalam mengembangkan dan mendistribusikan produk-produk industri kreatif
mereka secara global.
Industri kreatif dan entertainment saat ini didominasi oleh negara-negara Barat,
terutama industri Hollywood yang berasal dari Amerika. Dengan menggunakan kerangka
berpikir yang diciptakan oleh Frantz Fanon, dapat dijelaskan bahwa dominasi negara Barat
dalam industri kreatif merupakan manifestasi superioritas budaya budaya dan produk dari
Barat. Hegemoni diproduksi melalui praktik-praktik yang dilakukan media, memanfaatkan
para aktor untuk menciptakan konten-konten media yang akan mempertahankan sebuah
ideologi konsumtif (Indainanto, Y. I. 2020). Perilaku konsumtif negara Timur terhadap
produk dari negara Barat kemudian akan melanggengkan dominasi dan hegemoni dari negara
Barat.
Gayatri Spivak dalam bukunya "Can The Subaltern Speak?" mengembangkan
pemikiran Gramsci tentang hegemoni dimana Gramsci hanya menjelaskan aktor atau negara
yang melakukan hegemoni disebut dengan 'hegemon'. Kemudian Spivak memperkenalkan
terminologi baru yaitu subaltern yang merujuk pada negara yang dinaungi atau berada
dibawah pengaruh dari negara hegemon. Istilah subaltern bagi Spivak, merujuk pada segala
sesuatu yang terkait dengan pembatasan akses, Istilah tersebut menjadi semacam ruang
pembedaan antara yang berkuasa dan yang tidak memiliki kuasa (Rahman, A. dan
Nurgiyantoro, B. 2020). Dalam industri kreatif global, negara subaltern cenderung
mengalami pembatasan akses dimana produk yang dihasilkan dari negara-negara subaltern
kesulitan menjadi produsen industri kreatif karena pasar global telah didominasi oleh
negara-negara Barat.
3. Pengaruh Globalisasi
Adanya globalisasi telah memberikan dampak yang signifikan dalam membentuk
ketidakseimbangan arus informasi antara negara Barat dan negara Timur. Globalisasi tidak
hanya menjadi sarana untuk pertukaran ekonomi, tetapi juga menjadi alat bagi penyebaran
budaya. Negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat telah mendorong arus informasi ke
seluruh dunia melalui berbagai media nya, seperti film, musik, dan teknologi. Pada sisi lain,
media global menjadi alat distribusi kapitalisme yang menyebar ke seluruh penjuru dunia
(Ikhsano, A. 2020).. Dengan adanya globalisasi negara-negara Barat dapat dengan mudah
mendistribusikan produk-produknya baik itu berbentuk moril maupun materiil. Dimana
globalisasi dapat digunakan untuk menjadi fasilitas bagi negara-negara Barat dalam
menyebarkan pengaruhnya dan memperkuat hegemoni yang mereka miliki.
Amerika Serikat yang saat ini telah menjadi pusat industri perfilman di dunia mampu
mempertahankan dominasinya melalui industri perfilman Hollywood. Industri film dunia
menjadi begitu berkuasa berkat adanya dukungan modal dan teknologi, sebagaimana industri
perfilman Hollywood yang tak lagi sekedar menawarkan sisi glamor bintang-bintangnya,
melainkan mewakili soft power atau imperialisme kultural Amerika Serikat (Ikhsano, A.
2020). Dengan berkembangnya industri perfilman Hollywood, maka semakin besar pula
hegemoni negara Barat terutama Amerika Serikat.
Dominasi Amerika dalam industri perfilman menyebabkan keresahan bagi negara
negara subaltern. Negara-negara Timur yang terus menerus terekspos film-film Hollywood
perlu mengambil langkah proteksionisme untuk melawan hegemoni dari negara Barat. Hal ini
disebabkan oleh arus informasi yang berjalan hanya terjadi secara satu arah. Dimana Amerika
Serikat melalui industri perfilman Hollywood secara terus-menerus mengembangkan industri
perfilmannya dan mendistribusikan kepada negara-negara Timur. Sedangkan industri film
nasional akan mengalami kesulitan dalam menjangkau pasar global atau bahkan untuk
ditonton kepada negara Barat.
Inferioritas negara Timur yang disebutkan oleh Frantz Fanon menjelaskan fenomena
ini dengan melihat bagaimana negara Timur menghadapi situasi tersebut. Industri perfilman
Hollywood yang memiliki keunggulan di bidang teknologi tentunya akan mampu
menghasilkan Film dengan kualitas yang lebih baik. Kemudian mindset yang terbentuk pada
negara-negara Timur yang menganggap segala sesuatu yang berasal dari Barat itu lebih baik
akan menyebabkan perilaku konsumerisme terhadap film yang berasal dari Barat.
Di sisi lain, dikotomi yang dibuat oleh Edward Said yang menjelaskan dinamika
Orient (Timur) dan Occident (Barat) akan menjelaskan mengapa negara-negara Barat
cenderung enggan menonton film karya industri perfilman negara Timur. Edward Said
menjelaskan bahwa negara Timur atau Orient memang dikonstruksikan menjadi antitesis dari
negara Barat atau Occident. Dimana negara Timur dianggap sebagai kebalikan dari negara
Barat. Dalam konteks industri perfilman di dunia, dikotomi ini kemudian menjadi bersifat
hierarkis, dimana negara Barat atau Occident memiliki industri perfilman yang lebih baik dari
negara Timur. Hal tersebut menyebabkan negara Barat cenderung enggan mencoba untuk
menonton karya-karya dari negara Timur karena terdapat suatu konstruksi yang membuat
negara Barat berada di atas negara Timur. Konstruksi ini tidak lepas dari konteks historis
tentang latar belakang negara Barat yang sebagian merupakan negara penjajah di masa
lampau yang menyebabkan negara Barat memiliki sumber daya dan teknologi yang lebih
advanced dalam teknologi perfilman.
D. KESIMPULAN
Poskolonialisme lahir sebagai sebuah pendekatan studi pada akhir abad ke-19 yang
memiliki fokus utama pada dampak yang dibawa oleh kolonialisme dan imperialisme.
Benang merah dari poskolonialisme terletak pada eksplorasi terkait dengan jejak kolonial,
konfrontasi antar ras, bangsa, dan budaya dalam hubungan kewenangan dan kekuasaan yang
terkesan tidak setara. Poskolonialisme seringkali dianggap sebagai produk dari barat yang
diidentikkan sebagai kawasan dengan negara-negara maju yang mendominasinya.
Kajian hubungan internasional dalam perspektif poskolonialisme mencerminkan
interpretasi dan pengalaman dari negara-negara Barat yang turut didukung oleh para ahli
poskolonial seperti Frantz Fanon, Homi K. Bhabha, Edward Said, dan Gayatri Spivak yang
masing-masing dari para ahli tersebut memiliki pembahasan dan kritik berdasarkan pemikiran
dan analisis mereka sendiri. Tak jarang dari para ahli tersebut juga menyampaikan seputar
konstruksi-konstruksi substantif yang berkaitan dengan negara maju dan negara dunia ketiga
disertai dengan konteks praktiknya di suatu daerah.
Saat ini dunia diliputi dengan segala hal yang berbau digital. Relevansi perspektif
poskolonialisme dengan konteks era yang serba digital ini dapat dilihat dari adanya dominasi
media dan teknologi dari negara maju yang berimplikasi menciptakan ketidakseimbangan
informasi global. Ketidakseimbangan arus informasi ini diprakarsai oleh berbagai media dari
negara maju yang tidak hanya berperan sebagai industri transnasional saja, tetapi juga
menjadi alat untuk menyebarkan ideologi yang cenderung menguntungkan pihak mereka dan
memarginalkan negara-negara dunia ketiga. Arus informasi yang cenderung hanya bersifat
satu arah antara negara maju dan negara dunia ketiga berpotensi menciptakan hegemoni dan
superioritas budaya yang dipertahankan oleh media barat.
Berbicara dari sudut pandang poskolonialisme, arus informasi yang dibawa oleh
media negara maju cenderung memiliki narasi yang menggambarkan superioritas mereka
sehingga berakibat pada terciptanya dikotomi hirarkis antara negara maju dan negara dunia
ketiga. Pada konteks tersebut, kesenjangan ekonomi dalam industri kreatif juga tercermin dari
poskolonial, dimana negara maju mendominasi industri kreatif global, menciptakan disparitas
ekonomi, dan ketidaksetaraan akses. Proses globalisasi memiliki andil yang sangat besar
dalam peristiwa ini, dimana produk dan tren dari negara maju lebih mudah menyebar ke
seluruh dunia, sedangkan negara-negara dunia ketiga memiliki keterbatasan dalam hal
mengekspresikan budaya dan tren mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Masood Raja. (2021, Februari 9). What is Postcolonialism? Expanded Version| Postcolonial

Theory| Post Colonial Studies [Video]. YouTube.

https://youtu.be/6xW_iIopQ5o?si=ynjgKyzfQ_D8x6du

Grovogui, Siba N., 2013. “Postcolonialism,” in Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith
(eds.),International Relations Theories, 3rd edition, Oxford University Press,
pp. 247-265.
Ikhsano, A. (2020). Melawan Hegemoni Perfilman Hollywood. Indigo Media.

Indainanto, Y. I. (2020). Hegemoni Ideologi Konsumtif sebagai Gaya Hidup Remaja. JURNAL

SIMBOLIKA Research and Learning in Communication Study, 6(1), 65-75.

Juditha, C. (2018). Hegemoni Di Media Sosial: Akun Gosip Instagram @Lambe_turah. Jurnal

Penelitian Komunikasi Dan Opini Publik, 22(1), 16–30.

Mahdi, A. (2015). BERITA SEBAGAI REPRESENTASI IDEOLOGI MEDIA (Sebuah Telaah

Kritis). Al-Hikmah, 9(2), 206-217.

Martayana, I. P. H. M. (2019). Poskolonialitas Di Negara Dunia Ketiga. Candra Sangkala, 1(2).

Martayana. (2019). Poskolonialitas di Negara Dunia Ketiga [Slide PDF], Universitas Pendidikan

Ganesha.

Miftakhuddin. (2019). Kolonialisme: Eksploitasi dan Pembangunan Menuju Hegemoni. CV Jejak.

Rahman, Ainur and Nurgiyantoro, Burhan (2020) SUBALTERNITAS DAN DOMINASI PENGUASA

KOLONIAL DALAM FIKSI SEMUA UNTUK HINDIA, MIRAH DARI BANDA, TARIAN

BUMI, JUGUN IANFU KAJIAN POSKOLONIAL. S2 thesis, Program Pascasarjana

Universitas Negeri Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai