Anda di halaman 1dari 19

I

Fazil
BP: 1320689 023
Universitas Andalas Padang
2014

PENGANTAR
Teori postkolonial termasuk salah satu teori-teori baru dalam kajian ilmu
komunikasi. Teori ini berada pada tataran atau tingkat teratas dari konteks/lingkup
komunikasi, yaitu komunikasi sosial budaya. Tingkatan konteks komunikasi
diurutkan sebagai berikut: 1) pelaku komunikasi (komunikator dan komunikan);
2) pesan; 3) percakapan; 4) hubungan; 5) kelompok; 6) organisasi; 7) media; 8)
budaya dan masyarakat (Littlejhon,2011:491).
Selain itu, pembahasan teori juga mempertimbangkan aliran suatu teori.
Memahami suatu teori dalam ilmu komunikasi tidak bisa dilepaskan dari aliran
atau tradisi yang melatarbelakangi sebuah teori. Beragamnya teori dalam ilmu
komunikasi tentu membuat kebingungan bagi yang mempelajari. Karenanya
penting mengetahui aliran atau tradisi dari sebuah teori demi kesejajaran
pemikiran

atau

konsisten.

Dalam

upaya

pragmatis,

Robert

T.

Craig

(Littlejhon,2011:52--53) membagi teori-teori yang beragam itu dalam kelompok


aliran/tradisi komunikasi yaitu: 1) Semiotik; 2) Fenomenologis; 3) Sibernetika; 3)
Sosiopsikologis; 4) Sosiokultural; 5) Kritis; 5) Retoris.
Tulisan ini akan pembahasan akan diurutkan sebagai berikut:
1. Pengertian postkolonial
2. Karakterisitik dan perspektif teori postkolonial
3. Kultur Masyarakat Terjajah Menurut Postkolonial
4. Sejarah Perkembangan Teori postkolonial
5. Review penelitian yang menerapkan teori ini
6. Aliran/tradisi yang Dianut Teori postkolonial
7. Paradigma penelitian yang digunakan untuk teori ini

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Teori Postkolonial
Postkolonialisme, dari akar kata post- + kolonial + -isme, secara harfiah
berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Dasar semantik
istilah postkolonial tampaknya hanya berkaitan dengan kebudayaan-kebudayaan
nasional setelah runtuhnya kekuasaan imperial. Istilah postkolonial ini tak jarang
juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan
(masa kolonial dan postkolonial). Secara umum, meski istilah kolonial telah
digunakan untuk menyebut masa prakemerdekaan. istilah tersebut juga dipakai
untuk menyebut masa setelah kemerdekaan.
Menurut Ratna, prefiks post- tidak semata-mata mengacu pada makna
sesudah kolonial atau juga tidak berarti antikolonial. Sesuai dengan pendapat
Keith Foulcher dan Tony Day postkolonial mengacu pada kehidupan masyarakat
pascakolonial tetapi dalam pengertian lebih luas. Sasaran postkolonialisme adalah
masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman kolonialisme. (Ratna 2008:
150).
Teori postkolonial dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang mencoba
mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna, 2008:
120). Teori ini dalam menganalisis menelusuri aspek-aspek tersembunyi atau
dengan sengaja disembunyikan sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu
bekerja; selain itu juga membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang
mendasarinya
Littlejhon (2011: 486) mendefinisikan teori postkolonial adalah sebuah
kritik tentang kolonialisme yang telah menjadi sebuah susunan budaya yang
penting dari periode modern. Para peneliti yang bekerja dalam gerakan
postkolonial mengabadikan hidupnya untuk meneliti eurosentrisme, imperalisme,
dan proses-proses kolonisasi dan dekolonisasisemua cara yang mana
pengalaman kolonial dapat dipahami sebagai sebuah ideologi dominasi. Para

peneliti postkolonial mencoba untuk menguji, memahami, dan pada akhirnya


membuka susunan historis yang diciptakan, dipertahakan, dan terus menghasilkan
kembali penindasasn dari pengalaman kolonial.
Banyak

peneliti

postkolonial

fokus

pada

negara-negara

subjek

kolonialisasi Eropa. Fokus kajian kolonial mereka tidak sebatas pada kegiatan
kolonisasi harfiah yang dialami negeri-negeri terjajah, melainkan juga berfokus
pada neokolonialisme, yaitu pengaruh kolonial dalam hal kesadaran berpikir,
berbahasa,

bersikap,

bertindak,

dan

aktivitas

masyarkat

dan

budaya.

Neokolonialisme ada, misalnya, dalam penggunaan istilah Dunia Pertama


(merujuk ke negara-negara maju) dan Dunia Ketiga (merujuk ke negara-negara
berkembang. Konsekuensi istilah ini, terjadi pemindahan besar-besaran dan
invasi budaya Amerika Serikat ke seluruh dunia dan dalam perlakuan ras-ras
non-kulit putih sebagai orang lain dalam media Amerika Serikat (Littlejhon,
2011: 486).
Secara umum teori postkolonialisme sangat relevan dalam kaitannya
dengan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema
yang dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan,
di antaranya politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, kesenian
etnisitas, bahasa dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di lapangan, seperti
perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan bahasa, dan
berbagai bentuk invasi kultural yang lain.
Oleh karena itu, teori postkolonialisme, khususnya postkolonialisme
Indonesia melibatkan tiga pengertian. Pertama, abad berakhirnya imperium
kolonial di seluruh dunia. Kedua, segala tulisan yang berkaitan dengan
pengalaman-pengalaman kolonial sejak abad ke-17 hingga sekarang. Ketiga,
segala tulisan yang ada kaitannya dengan paradigma superioritas Barat terhadap
inferioritas Timur, baik sebagai orientalisme maupun imperialisme dan
kolonialisme.
Pengertian pertama memiliki jangkauan paling sempit, postkolonialisme
semata-mata sebagai wakil masa postkolonial. Di Indonesia mulai pertengahan
abad ke-20, sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 hingga sekarang.

Pengertian kedua lebih luas, meliputi semua tulisan sejak kedatangan bangsabangsa barat di Indonesia untuk pertama kali, diawali dengan kedatangan bangsa
Portugis dan Spayol awal abad ke-16 disusul oleh bangsa Belanda awal abad ke17. Pengertian ketiga paling luas,di mulai sebelum kehadiran bangsa Barat secara
fisik di Indonesia, tetapi telah memiliki citra tertentu terhadap bangsa timur.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa teori postkolonial mampu
mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan
yang pernah terjadi (Ratna, 2008):
1. Secara definitif, postkolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era
kolonial. Postkolonialisme sangat sesuai dengan permasalahan yang sedang
dihadapi bangsa Indonesia yang merdeka baru setengah abad.
2. Postkolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, sedangkan bangsa
Indonesia sendiri juga sedang diperhadapkan dengan berbagai masalah yang
berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Teori postkolonial
dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar
selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan
di atas kepentingan pribadi.
3. Sebagai teori baru, sebagai varian postkolonialisme memperjuangkan narasi
kecil, menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk
menuju masa depan.
4. Postkolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan sematamata dalam bentuk fisik, melainkan psikis. Model penjajahan terakhir masih
berlanjut.
5. Postkolonialisme bukan semata-mata teori melainkan suatu kesadaran itu
sendiri, bahwa masih banyak kesadaran besar yang harus dilakukan, seperti
memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni
lainnya, baik material maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing
maupun bangsa sendiri.

II.2 Karakteristik Teori dan Perspektif Postkolonial


Moore dan Gilbert (2000) memaparkan bahwa teori Poskolonial yang lahir
pada paruh kedua abad ke-20 sering disebut sebagai metode dekonstruktif
terhadap model berpikir dualis (biner. Model berpikir dualis yang mengendap
dalam ilmu pengetahuan Barat, terutama dalam kajian masalah Timur
(orientalism), senantiasa menempatkan kedudukan Barat, penjajah,

self,

pengamat, dan subyek memiliki posisi yang unggul dibandingkan dengan Timur.
Timur adalah terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan, dan seterusnya. Orang
Barat modern merasa mereka berbeda dengan orang Timur yang dipandang
irasional, emosional, dan kurang beradab (misalnya dalam politik disebut dengan
despotis Timur).
Teori postkolonial merupakan teori kritis sebagai salah satu bentuk dari
kelompok teori-teori postmodern. Postkolonial mengungkapkan bahwa apa yang
disebut sebagai dunia ketiga tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik karena
wilayah, manusianya, dan kulturnya. Ia juga menunjukkan bahwa ada resistensi
tertentu dari Timur kepada Barat. Salah satu bentuk yang sangat terkenal adalah
apa yang disebut sub-altern oleh Spivak. Intinya, postkolonial menyediakan
kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada asumsi tersembunyi (inherent
assumptions) yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini selalu
mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal. Teori postkolonial
dikembangkan secara grounded dengan mengangkat berbagai bukti nyata hasil
kolonialisme, baik secara fisik, politis maupun kultur.
Postkolonial dapat pula dipandang sebagai ancangan teoritis untuk
mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat (disebut dengan kaum
orientalis) yang merendahkan Timur atau masyarakat jajahannya. Secara tegas
Edward Said menyebut bahwa teori-teori yang dihasilkan Barat tidaklah netral
dan obyektif. Teori tersebut sengaja didesain sebagai sebuah rekayasa sosialbudaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka.

Edward Said membongkar kekerasan epistemologi Barat terhadap Timur


ini dengan menunjukkan adanya bias kepentingan, dan power yang terkandung
dalam berbagai teori yang disusun kaum kolonialis dan orientalis. Kalangan
ilmuwan zaman penjajahan bersikap kurang kritis, dan banyak yang
mengandalkan pada catatan-catatan tentara dan staf yang tidak memiliki
metodologi yang netral. Satu contohnya adalah pandangan negatif Weber
terhadap agama Timur termasuk Islam, meskipun ia mengakui bahwa teorinya
tersebut belum memadai secara ilmiah.
Menurut Edward Said, orientalisme dapat didefinisikan dengan tiga cara
yang berbeda yaitu 1) memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma
berfikir yang berdasarkan epistemologi dan ontologi tertentu dalam upaya
membedakan timur dengan barat; 2) sebagai gelar akademis; dan 3) sebagai
lembaga resmi yang pada hakekatnya peduli pada timur. Saat ini kita bisa melihat
betapa pemikiran kolonial, khususnya orientalisme, telah menciptakan sejarah
pahit menyangkut hubungan Eropa dan Asia-Afrika.
Orientalis cenderung merendahlan cara berpikir Timur yang dianggap
tidak selaras dan sederajat dengan mereka. Epsitemologi orientalis memposisikan
dirinya sebagai subyek (self), sementara yang lain adalah obyek (the other).
Sampai dengan akhir abad ke-20 pun, saat penjajahan telah lama berakhir, alihalih menyesal dengan perbuatannya, pemikir kolonial masih tetap merendahkan
timur. Untunglah lahir pemikir postkolonial untuk menunjukkan borok-borok itu
semua.
Sesungguhnya, sebagai wacana postkolonial telah muncul pada era
penjajahan. Namun teori poskolonial mewujud untuk memberikan kritik lama
setelah itu. Perspektif postkolonial memberikan kesadaran akan pentingnya
identitas kebangsaan, pentingnya nilai-nilai kemerdekaan dan juga humanisme.
Jadi, teori ini lahir untuk membongkar relasi kuasa yang membungkus struktur
yang didominasi dan dihegemoni oleh kolonial. Sumbangan besar datang dari

karya Edward W. Said bertajuk Orientalism mengawali pembongkaran


kebusukan pandangan Barat dalam melihat Timur selama ini.
Inti kritik dari postkolonial (terhadap kolonialisme) sesungguhnya bukan
dalam bentuk penjajahan secara fisik yang telah melahirkan berbagai
kesengsaraan dan penghinaan hakekat kemanusiaan, melainkan pada bangunan
wacana dan pengetahuan termasuk bahkan bahasa. Postkolonial juga mengritik
pendekatan dikotomi yang merupakan simplifikasi yang menyesatkan.
Edward

Said

melakukan

dekonstruksi

yang

mengagetkan

kaum

antikolonialisme dengan membawa slogan kesadaran tandingan dengan


paradigma orientalismenya. Said menyampaikan bahwa Timur tak lebih dari
sebentuk panggung yang didirikan oleh Barat dengan sesuka-sukanya.
Orientalisme yang didengungkan sebagai pengetahuan universal, bagi Said hanya
wacana yang dibentuk oleh motif-motif kekuasaan belaka. Bersama dengan
Edward Said, Homi Bhaabha dan Spivak merupakan tokoh penting dalam ranah
kajian postkolonial.
Yang perlu dipertimbangkan dalam kajian poskolonialisme budaya adalah
konsep kajian Gayatri Spivak tentang sub-altern. Dia mengajukan pertanyaan
kritis: dapatkan subaltern berbicara? Subaltern adalah subjek yang tertekan
(Gandhi, 2001:1).
Pertanyaan ini telah mengarahkan peneliti budaya, untuk mengkaji lebih
jauh eksistensi budaya orang-orang terjajah. Biasanya posisi kaum terjajah adalah
inferior, sedangkan penjajah superior. Pihak inferior sering bisu karena harus
menurut kehendak superior. Karenanya, memang tepat apabila dipertanyakan
dapatkah subaltern berbicara. Ini sebuah ironis, yang ingin menyatakan bahwa
budaya kaum penjajah sering memaksakan kehendak.
Atas dasar hal tersebut, lalu muncul dua tipe kolonialisme. Pertama,
berhubungan dengan penaklukan fisik. Kedua penaklukan pikiran, jiwa, dan
budaya. Baik penaklukan pertama maupun kedua, sama-sama tak mengenakkan
bagi kaum koloni. Kedua tipe ini, seringkali telah menumbuhkan produk-produk

budaya baru, misalkan saja ada penciptaan seni dan budaya. Begitu pula
penciptaan sastra yang memuat subkultur tertentu, yang diam-diam menolak
tradisi penjajah.
Konsep kolonialisme di era manapun memang selalu bergerak pada dua
hal. Pertama, menguntungkan si penjajah, terutama pada bidang-bidang tertentu.
Kedua, menguntungkan kedua-duanya, karena si terjajah dapat belajar banyak
tentang budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah menyisakan pengalaman
kultural yang luar biasa. Apalagi, jika penjajah telah sampai menanamkan
imperalismenya, tentu kolonialisme semakin rumit. Pada tataran ideologis tentu
akan lebih berbahaya dalam kehidupan terjajah. Akibatnya, kehidupan si terjajah
secara tak sadar akan mengikuti kehendak penjajah.
. Dari fenomena sublatern Spivak berhasil menunjukkan bahwa dalam
kolonialisme tidak hanya terjadi penaklukan fisik, namun juga penaklukan
pikiran, jiwa, dan budaya. Malangnya, cara berfikir kolonialis, atau Barat, atau
orientalis diadopsi pula oleh sebagian masyarakat timur, yang sayangnya adalah
para elit. Mereka menelan berbagai ilmu kolonial tanpa mengunyahnya. Salah
satu agennya adalah universitas dengan semua sivitas akademikanya. Barat
dengan cerdik mencetak agen-agennya sendiri di Timur, yang tanpa sadar
misalnya melakukan mimikri. Mereka menjadi kaum yang tergantung dan
mangagungkan Barat intelektual dan cara berfikir barat. Ketika berbicara, mereka
lebih menunjukkan suara barat dari pada kepentingan mereka sendiri. Untuk
mengatasi ini, menurut Spivak, dibutuhkan transformasi epistemologis dengan
mengganti imperalisme pemikiran tersebut.
Di era modern yang serta global ini, penjajahan telah semakin pelik.
Penjajahan teknologi informasi, kultural, dan politik telah menyisakan
pengalaman pahit. Bahkan, bangsa terjajah akan mengalami stress berat, karena
merasa diombang-ambingkan oleh penjajah. Misalkan saja, ketika isu teror
ditiupkan Amerika, secara tak langsung bangsa-bangsa yang mayoritas Islam telah
semakin gerah.

Dengan demikian, kekuatan memang akan selalu bermain dalam kancah


kolonialisme. Karena itu, peneliti budaya dapat memusatkan perhatian ke arah ini.
Termasuk di dalamnya juga penjajahan kultural, seperti budaya pelacur kelas
kakap, teror bom, jual beli bayi, ABG, dan sebagainya patut disorot dalam
postkolonialisme.
Yang penting dikemukakan, tradisi postkolonialisme tak berarti harus
menarik waktu dalam rentang panjang. Peneliti tak harus menarik mundur
kacamatanya ke aspek historis belaka. Peneliti budaya seharusnya tak terkecoh
dengan lama tidaknya kolonialisme. Kolonialisme dapat berlangsung singkat,
datang pergi, dan tak pernah berhenti sepanjang bangsa dan etnis satu
berhubungan dengan yang lain.
Kajian postkoloniasme budaya paling tidak harus mengaitkan dengan
aspek politik. Kekuasaan politik akan mewarnai kultur kaum kolonialis. Oleh
karena, penjajah akan menanamkan apa saja dan lewat saja yang mungkin dan
strategis sebagai media. Itulah sebabnya studi postkolonialisme yang berhasil
akan menjadi dokumentasi kritik sejarah. Dokumentasi ini akan menjadi pelajaran
berharga bagi pemilik budaya itu sendiri.
Pendirian post-kolonialisme ini yang tidak bisa dipisahkan dengan politik.,
memandang bahwa emansipasi dari susunan opresif ketika mereka terus bergerak
dalam wacana Barat dan dalam dunia material. Namun, kritik postkolonial
menyadari bahwa jawaban terhadap dominasi Barat bukan hanya kembali pada
masa lalu pre-Barat atau tradisi pribumi untuk mempertahankan semacam jati diri
yang asli. Hal ini bukan saja tidak dapat dijalankan, tetapi hanya menghasilkan
kembali ideologi kita melawan mereka yang berjalan pada dunia yang lebih
besar. Kritik postkolonial, sepertinya, mencoba untuk memahami dunia dari
sebuah tempat di antara dua budaya, untuk menolak setiap bentuk tunggal dari
pemahaman budaya, dan untuk memandang jati diri budaya dalam cara-cara yang
lebih rumit.

II.3 Kultur Masyarakat Terjajah Menurut Postkolonial


Hasil dari berkerjanya kolonialisme selama lebih dari tiga abad sangat
banyak dan beragam. Melalui perspektif postkolonial semua dampak buruk
tersebut bisa terungkap. Dampak tersebut tidak hanya berbagai penderitaan fisik
dan batin sepanjang berlangsungnya penjajahan, namun sampai dengan saat ini
setelah lebih dari setengah abad penjajahan berakhir. Dampak-dampak tersebut
hanya kelihatan setelah meggunakan kacamata teori postkolonial. Salah satu
temuan teori postkolonial adalah misalnya fenomena hibriditas yang
berlangsung semenjak era kolonial sampai dengan sekarang.
Hibriditas (ruang antara budaya-budaya) merupakan sebuah tema yang
penting dalam penelitian postkolonial adalah. Hidup di antara dua budaya dan
tidak benar-benar menjadi bagian dari keduanya menciptakan apa yang Gloria
Anzaldua sebut dengan daerah-daerah perbatasan, yakni sebuah posisi terlantar
yang membawa sebuah kesadaran khusus dan memandang yang berharga untuk
memahami kedua budaya tersebut. Para ahli teori postkolonial memnita ilmu
komunikasi untuk menguji cara-cara berkomunikasi yang memikirkan tentang
bagaimana kita semua hidup pada beberapa tingkatan dalam daerah perbatasan.
Dari buku Hobsbawm dan Ranger, berjudul The Invention of Tradition
yang merupakan kumpulan artikel berkenaan dengan konstruksi simbol dan tradisi
seremonial pada abad lalu terutama yang dijalankan oleh Inggris (British),
diperlihatkan temuan baru yang menolak perspektif kehebatan Barat. Tradisi
Scottish "Highland" yang dipraktekkan tahun 1730 yang disebut dengan pola
petak-petak kaum (clan tartans) dianggap sebagai temuan abad ke-19 yang
dibawa penjajah Inggris dalam kolonialismenya. Penulis buku ini menemukan hal
serupa di Afrika namun mengalami modfikasi karena pengaruh lokal. Ranger
melakukan studi tradisi massa di Eropa mutakhir sampai dengan perang dunia
pertama, dalam bentuk festival, liburan, monument, gerakan pekerja dan kelahiran
kelas menengah.

10

Tadisi penemuan (invented traditions) juga muncul dalam sejarah bangsabangsa terjajah. Tradisi yang muncul atau diklaim berasal dari masa lampau. Apa
yang disebutnya dengan invented traditions adalah sekumpulan praktek, yang
secara normal diatur secara terbuka atau secara diam-diam diterima sebagai aturan
(rules) dan merupakan bagian dari sebuah ritual atau sifat simbolik, yang
merupakan proses penanaman norma-norma dan nilai-nilai yang tertentu dari
perilaku melalui pengulangan, dan secara otomatis menyiratkan kesinambungan
dengan masa lalu.
Dalam buku ini disebutkan bahwa tradisi penemuan lebih sering terjadi
pada waktu berlangsungnya transfomasi secara cepat, yakni ketika tradisi lama
menghilang. Maka dengan menggali ini sangat mungkin menemukan berbagai
tradisi baik di masyarakat tradisional maupun modern. Semua tradisi penemuan
menggunakan referensi masa lalu tak terbatas hanya untuk kohesi kelompok tapi
juga legitimasi tindakan.
Dari temuan-temuan ini, Hobsbawm dan Ranger menyarankan agar ahli
sejarah harus menghargai berbagai sumber, termasuk ingatan dan pengalaman
langsung mereka yang mengalami selain bahasa tertulis. Metode sejarah harus
memberi ruang yang lebih luas lagi. Setiap orang semestinya berpartisipasi dalam
memberi informasi, karena setiap orang adalah sejarawan. Sejarah dan memori
menjadi semakin dekat dalam posisinya untuk mendapatkan making sense of the
past untuk saat ini.
Gerakan postkolonial mencoba memberi cara-cara alternatif bahwa kita
dapat mendengarkan mereka yang telah terjajah dalam berbagai perikehidupan
oleh wacana Barat, dan gerakan ini mencoba memberikan cara-cara alternatif
bahwa kita dapat memulai mencuatkan mereka yang terjajah dalam percakapan
tentang jati diri, politik, globalisasi, dan kekuasaan

11

II.4 Sejarah Perkembangan Teori Postkolonial


Studi poskolonial termasuk relatif baru. Banyak pendapat yang timbul
tentang teori postkolonial sehingga cukup sulit untuk menentukan secara agak
pasti kapan teori postkolonialisme lahir (Ratna 2008: 83--84). Di dunia Anglo
Amerika, postkolonialisme dirintis oleh Edward Said. Pertama kali dikemukakan
melalui bukunya yang berjudul Orientalism (1978).
Sebelum adanya uraian Orientalism oleh Edward Said, postkolonialisme
telah muncul sejak tahun 1960 dengan terbitnya buku-buku karangan Frantz
Fanon. Sedangkan postkolonialisme Indonesia muncul baru sekitar tahun 1990-an
bersamaan dengan munculnya teori postrukturalisme.
Postkolonialisme Indonesia berasal dari Barat, melalui gagasan-gagasan
yang dikembangkan Edward Said, tetapi objek, kondisi, dan permasalahan yang
dibicarakan diangkat melalui dan di dalam masyarakat Indonesia. Dengan adanya
teori postkolonialisme Indonesia, diharapkan teori-teori baru yang dapat
berinteraksi dengan teori-teori Barat dapat memecahkan persoalan yang ada.
Secara historis postkolonialisme Indonesia diawali dengan hadirnya dua
buku. Pertama, Clearing a Space: Postcolonial Reading of Modern Indonesian
Literature (Keith Foulcher and Tony Day, ed.), terbit pertama tahun 2002 melalui
KITLV Press, Leiden. Tahun 2006 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Bernard Hidayat, dengan kata pengantar Manneke Budiman, berjudul Clearing a
Space: Kritik Pascakolonial tentang Sastra Indonesia Modern, diterbitkan oleh
KITLV, Jakarta. Kedua, Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas (Mudji
Sutrisno dan Hendar Putranto, ed), terbit pertama kali tahun 2004, melalui
penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Objek kajian postkolonialisme Indonesia yang secara umum mengacu
pada postkolonilisme Barat, mengalami beberapa masalah perkembangan:
1. Objek tidak bisa dibatasi secara pasti. Meskipun demikian, dalam ruang lingkup
yang paling sempit, objek postkolonialisme Indonesia adalah masa-masa sesudah
proklamasi. Dalam hal ini, postkolonialisme sama dengan pascakolonialisme.
Secara harfiah, pascakolonialisme Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1945, sejak

12

diumumkannya Proklamasi kemerdekaan Soekarno dan Hatta.


2. Secara definitif postkolonialisme adalah teori, pemahaman dalam kaitannya
dengan kondisi-kondisi suatu wilayah negara yang pernah mengalami kolonisasi.
3. Dengan mempertimbangkan kaitannya dengan orientalisme, maka objek
poskolonialisme sudah ada sebelum kedatangan bangsa Belanda dan kolonialis
lain hingga sekarang. Meskipun ada beberapa masalah dalam kajian
postkolonialisme Indonesia seperti uraian di atas, dalam rangka meningkatkan
apresiasi nasional, sekaligus manfaatnya dalam rangka menopang pembangunan
bangsa secara keseluruhan, maka teori-teori postkolonial Indonesia lebih banyak
difokuskan pada butir pertama. Masalah ini perlu diperhatikan mengingat
timbulnya isu nasionalisme di masyarakat.
II.5 Contoh-contoh Penerapan Teori Postkolonial
Penelitian Edward Said pada keoranglainan dianggap sebagai sejarah
atau sumber juga contoh penerapan teori postkolonial (Littlejhon, 2011: 486).
Dalam bukunya Orientalism, Said membahas sistem-sistem wacana yang dengan
cara tersebut dunia dikontruksi dalam pembagian, pengaturan, dan penjarahan;
dan dengan cara tersebut, kemanusiaan dimasukkan ke dalam kotak-kotak
penyimpanan; dengan cara tersebut terkategori konstruksi kita sebagai
manusia dan mereka bukan kita=manusia. Sistem-sistem wacana ini juga
diperluas melebihi bidang politik hingga dunia akademis. Said menyatakan
bagaimana anggora budaya-budaya non-Barat ditempatkan sebagai bahan/objek
yang dipelajari. Oleh karena penempatan cara pandang ini, orang lain menjadi
objek/bahan, dan dengan cara ini mereka mendominasi cara berpikir dan
menanamkan pengaruh kolonialisasi dalam proses produksi pengetahuan. Maka,
proyek postkolonial secara umum berhubungan dengan bagaimana wacana
tentang dunia Barat mengabsahkan susunan kekuasaan (dominasi) tertentu dan
memperkuat praktik-praktik kolonialisasi dari negara-negara tersebut yang terus
dipertahankan.

13

Kritik-kritik postkolonial yang mencoba untuk membahas sebuah situasi


seorang wanita di Senegal, misalnya, menghadapi masalah penjajahan wanita
tersebut dengan berbicara pada pemerintah dan terutama menegaskan sifat
pengalamannya. Gayatri Spivak memberikan gagasan tentang pementingan
strategis sebagai jalan keluar dari ikatan ini. Kritik tersebut menyadari bahwa ia
akan berhenti mementingkan pada tingkatan tertentu dan terus menguji pendirian
tersebut, menganggap esensialisme bukan sebagai suatu seperti adanya, tetapi
sebagai suatu yang harus digunakan seseorang untuk menghasilkan sebuah kritik
tentang apa saja.

Kritik postkolonial selalu bersifat reflektif diri dan

menganggap bagaimana proses ilmu pengetahuan bisa menuliskan hubungan


kekuasaan dan susunan hegemonis yang dia coba lawan (Spivak via Littlejhon,
2011: 487).
Penelitian Trinh T. Minh-ha menunjukkan beberapa aspek persimpangan
post-kolonial dan teori komunikasi. Seorang pembuat film, musisi, pengarang
lagu, penyair, dan penulis asal Vietnam, Trinh menguji dan mencoba
mengacaukan ideologi yang berakar atau susunan yang ditentukan dalam
berbagai bentuk. Hal yang mengganggu bagi Trinh tentang sistem hegomoni
adalah bahwa sistem tersebut tidak ditandai, tidak menarik perhatian, tetapi telah
dianggap normal. Sistem ini menjadi satu-satunya cara manusia dapat
memikirkan sesuatu. (Minh-ha via Littlejhon, 2011: 487). Bahkan, mereka yang
memungkinkan menolak sistem tersebut mereka yang terjajahikut serta di
dalamnya dan dipilih oleh pandangan yang dominan, dipertahankan oleh kodekode sosial yang berlaku dan tehnik-tehnik penggolongan dan standardisasi.
Hasilnya penjajah dan yang terjajah berbicara dengan bahasa yang sama. Tujuan
Trinh adalah untuk mengacaukan semua bentuk ideologi yang ganjil,
menggantinya dengan sebuah dunia yang penuh dengan banyak pemaknaan yang
mungkin terjadi.
Lebih lanjut, Trinh membuat perbedaan antara keoranglainan dan
perbedaan untuk mengetahui bagaimana dipandang dalam sistem dominasi.
Individu-individu dalam posisi istimewa dalam hubungannya dengan sebuah

14

ideologi cenderung merespons pada orang lain yang terjajah dengan sudut
pandang keoranglainan, menunjukkan diri yang konsisten, stabil, dan penting bagi
orang lain. Individu-individu yang terjajah, sebaliknya, terbiasa merespons pada
orang lain yang mendominasi itu melalui sudut pandang perbedaan. Mereka
bergerak di antara sudut pandang orang luar dan orang dalam, menelurusi
pemaknaan tentang diri melalui gambaran yang seseorang miliki tentang orang
lain dan sebalibknya. Oleh sebab itu, jadi diri menjadi sebuah proses penyusunan
yang terbuka, turun naik, dan berkelanjutan, sebuah kemajemukan dari Saya,
tidak ada yang benar-benar mendominasi.
II.6 Aliran (Tradisi) yang dianut Teori postkolonial
Pandangan kritis postkolonial berfokus pada dominasi, ideologi, dan
kekuasaan. Pandangan kritis postkolonial ini lahir dari aliran tradisi kritis. Tradisi
ini bersifat melawan, tradisi ini sadar dan bangga akan nilai-nilainya, dan tradisi
ini memiliki tujuan yang jelas untuk meningkatkan kesadaran. Tradisi ini juga
mencakup asumsi-asumsi dan wawasan dari tradisi-tradisi lain dalam dunia
komunikasi, kecuali tradisi sosiopsikologis.
Tradisi-tradisi dalam dunia komunikasi yang bersinggungan dengan tradisi
kritis, misalnya, tradisi semiotik. Tradisi kritis menaruh minat yang besar dalam
tanda dan pengaruh tanda dan simbol (semiotika). Tradisi sibernetika
bersinggungan pula dalam tradisi kritis, karena gagasan dalam postkolonial bahwa
pola-pola pengaruh dan dominasi terlalu dilebihkan atau hasil dari berbagai
kekuatan di masyarakat. Sebagian besar penilitian kritis sangat dipengaruhi oleh
tradisi sosiokultural dan karena kepercayaannya pada metode hermeneutika, dan
juga tradisi fenomenologis. Tetap saja, teori-teori kritis menentang banyak
kecenderungan dari tradisi-tradisi lain. Para peneliti kritis khawatir bahwa bentukbentuk lain dari ilmu pengetahuan hanya bersifat deskriptif dan ikut serta dalam
menormalkan kekuatan hegemoni (Littlejhon, 2011: 489).

15

II.7 Paradigma Penelitian dalam Teori Postkolonial


Dari paparan di atas, terlihat paradigma penelitian dalam teori
postkolonial. Teori postkolonial yang merupakan tradisi kritis jelas menyuarakan
kritik atas dunia yang telah terbentuk oleh kolonialisme. Penelitian untuk
membongkar

warisan

kolonialisme

memerlukan

metode

khusus,

yaitu

dekonstruktif. Metode ini berada dalam aliran paradigma kritis.


Beberapa pengertian yang terkandung dalam istilah paradigma
(Poerwandari: 2001) , yaitu

Pernyataan yang menerangkan bagaimana dunia dipersepsikan.

Landasan dalam memahami permasalahan

Seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang


dalam bertindak dalam penelitian

Fungsi: untuk menuntun peneliti agar dalam penelItian lebih jelas, terarah
dan tepat dalam penggunaan metodologi/metode penelitian.
Pengertian paradigma ini mengandung aspek;
1. Ontologis: Hakekat sesuatu
2. Epistemologi: hubungan pencari ilmu dengan objek.
3. Aksiologis: tata nilai, etika dan moral
4. Metodologis:bagaimana metode yang digunakan untuk menemukan
hakekat ilmu
Menurut Guba dan Lincon (1994) ada 4 paradigma, yaitu:

1. Positivism
2. Postpositivism
3. Critical Theories (teori-teori kritis)
4. Contructisivism
Para

ilmuwan sosial

melihat

bahwa

paradigma

Positivism dan

Postpositivism dijadikan satu menjadi paradigma klasik. Tabel berikut membantu

16

pengertian

tentang

paradigma-paradigma

dalam

tiga

kelompok

besar

(Hidayat,2002).

Kaitannya dengan aliran (tradisi) teori-teori dalam komunikasi beserta


konteks komunikasi, teori postkolonial bisa dilihat posisi teori, aliran, dan
paradigma penelitian (Lampiran 1).
Lampiran II
Contoh Aplikasi PostKolonial

File. pdf

17

DAFTAR PUSTAKA

Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonal Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat.


Diindonesiakan oleh Yuwan Wahyutri & Nur Hamidah. Yogyakarta:
Qalam.
Hobsbawm, Eric and Terence Ranger (Editors). 2004. The Invention of Tradition.
Cambridge: Cambridge University Press.

Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. 2011. Teori Komunikasi.

18

Diindonesiakan oleh M. Yusuf Hamdan. Jakarta: Salemba Humanika.

Moore-Gilbert, Bart. 2000. Postcolonial Theory: Contexs, Practices, Politics.


London: Verso.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

19

Anda mungkin juga menyukai