Fazil
BP: 1320689 023
Universitas Andalas Padang
2014
PENGANTAR
Teori postkolonial termasuk salah satu teori-teori baru dalam kajian ilmu
komunikasi. Teori ini berada pada tataran atau tingkat teratas dari konteks/lingkup
komunikasi, yaitu komunikasi sosial budaya. Tingkatan konteks komunikasi
diurutkan sebagai berikut: 1) pelaku komunikasi (komunikator dan komunikan);
2) pesan; 3) percakapan; 4) hubungan; 5) kelompok; 6) organisasi; 7) media; 8)
budaya dan masyarakat (Littlejhon,2011:491).
Selain itu, pembahasan teori juga mempertimbangkan aliran suatu teori.
Memahami suatu teori dalam ilmu komunikasi tidak bisa dilepaskan dari aliran
atau tradisi yang melatarbelakangi sebuah teori. Beragamnya teori dalam ilmu
komunikasi tentu membuat kebingungan bagi yang mempelajari. Karenanya
penting mengetahui aliran atau tradisi dari sebuah teori demi kesejajaran
pemikiran
atau
konsisten.
Dalam
upaya
pragmatis,
Robert
T.
Craig
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian Teori Postkolonial
Postkolonialisme, dari akar kata post- + kolonial + -isme, secara harfiah
berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Dasar semantik
istilah postkolonial tampaknya hanya berkaitan dengan kebudayaan-kebudayaan
nasional setelah runtuhnya kekuasaan imperial. Istilah postkolonial ini tak jarang
juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan
(masa kolonial dan postkolonial). Secara umum, meski istilah kolonial telah
digunakan untuk menyebut masa prakemerdekaan. istilah tersebut juga dipakai
untuk menyebut masa setelah kemerdekaan.
Menurut Ratna, prefiks post- tidak semata-mata mengacu pada makna
sesudah kolonial atau juga tidak berarti antikolonial. Sesuai dengan pendapat
Keith Foulcher dan Tony Day postkolonial mengacu pada kehidupan masyarakat
pascakolonial tetapi dalam pengertian lebih luas. Sasaran postkolonialisme adalah
masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman kolonialisme. (Ratna 2008:
150).
Teori postkolonial dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang mencoba
mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna, 2008:
120). Teori ini dalam menganalisis menelusuri aspek-aspek tersembunyi atau
dengan sengaja disembunyikan sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu
bekerja; selain itu juga membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang
mendasarinya
Littlejhon (2011: 486) mendefinisikan teori postkolonial adalah sebuah
kritik tentang kolonialisme yang telah menjadi sebuah susunan budaya yang
penting dari periode modern. Para peneliti yang bekerja dalam gerakan
postkolonial mengabadikan hidupnya untuk meneliti eurosentrisme, imperalisme,
dan proses-proses kolonisasi dan dekolonisasisemua cara yang mana
pengalaman kolonial dapat dipahami sebagai sebuah ideologi dominasi. Para
peneliti
postkolonial
fokus
pada
negara-negara
subjek
kolonialisasi Eropa. Fokus kajian kolonial mereka tidak sebatas pada kegiatan
kolonisasi harfiah yang dialami negeri-negeri terjajah, melainkan juga berfokus
pada neokolonialisme, yaitu pengaruh kolonial dalam hal kesadaran berpikir,
berbahasa,
bersikap,
bertindak,
dan
aktivitas
masyarkat
dan
budaya.
Pengertian kedua lebih luas, meliputi semua tulisan sejak kedatangan bangsabangsa barat di Indonesia untuk pertama kali, diawali dengan kedatangan bangsa
Portugis dan Spayol awal abad ke-16 disusul oleh bangsa Belanda awal abad ke17. Pengertian ketiga paling luas,di mulai sebelum kehadiran bangsa Barat secara
fisik di Indonesia, tetapi telah memiliki citra tertentu terhadap bangsa timur.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa teori postkolonial mampu
mengungkap masalah-masalah tersembunyi yang terkandung di balik kenyataan
yang pernah terjadi (Ratna, 2008):
1. Secara definitif, postkolonialisme menaruh perhatian untuk menganalisis era
kolonial. Postkolonialisme sangat sesuai dengan permasalahan yang sedang
dihadapi bangsa Indonesia yang merdeka baru setengah abad.
2. Postkolonialisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme, sedangkan bangsa
Indonesia sendiri juga sedang diperhadapkan dengan berbagai masalah yang
berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Teori postkolonial
dianggap dapat memberikan pemahaman terhadap masing-masing pribadi agar
selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas golongan, kepentingan golongan
di atas kepentingan pribadi.
3. Sebagai teori baru, sebagai varian postkolonialisme memperjuangkan narasi
kecil, menggalang kekuatan dari bawah sekaligus belajar dari masa lampau untuk
menuju masa depan.
4. Postkolonialisme membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan sematamata dalam bentuk fisik, melainkan psikis. Model penjajahan terakhir masih
berlanjut.
5. Postkolonialisme bukan semata-mata teori melainkan suatu kesadaran itu
sendiri, bahwa masih banyak kesadaran besar yang harus dilakukan, seperti
memerangi imperialisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai bentuk hegemoni
lainnya, baik material maupun spiritual, baik yang berasal dari bangsa asing
maupun bangsa sendiri.
self,
pengamat, dan subyek memiliki posisi yang unggul dibandingkan dengan Timur.
Timur adalah terjajah, orang luar, obyek, yang diceritakan, dan seterusnya. Orang
Barat modern merasa mereka berbeda dengan orang Timur yang dipandang
irasional, emosional, dan kurang beradab (misalnya dalam politik disebut dengan
despotis Timur).
Teori postkolonial merupakan teori kritis sebagai salah satu bentuk dari
kelompok teori-teori postmodern. Postkolonial mengungkapkan bahwa apa yang
disebut sebagai dunia ketiga tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik karena
wilayah, manusianya, dan kulturnya. Ia juga menunjukkan bahwa ada resistensi
tertentu dari Timur kepada Barat. Salah satu bentuk yang sangat terkenal adalah
apa yang disebut sub-altern oleh Spivak. Intinya, postkolonial menyediakan
kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada asumsi tersembunyi (inherent
assumptions) yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini selalu
mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal. Teori postkolonial
dikembangkan secara grounded dengan mengangkat berbagai bukti nyata hasil
kolonialisme, baik secara fisik, politis maupun kultur.
Postkolonial dapat pula dipandang sebagai ancangan teoritis untuk
mendekonstruksi pandangan kaum kolonialis Barat (disebut dengan kaum
orientalis) yang merendahkan Timur atau masyarakat jajahannya. Secara tegas
Edward Said menyebut bahwa teori-teori yang dihasilkan Barat tidaklah netral
dan obyektif. Teori tersebut sengaja didesain sebagai sebuah rekayasa sosialbudaya demi kepentingan dan kekuasaan mereka.
Said
melakukan
dekonstruksi
yang
mengagetkan
kaum
budaya baru, misalkan saja ada penciptaan seni dan budaya. Begitu pula
penciptaan sastra yang memuat subkultur tertentu, yang diam-diam menolak
tradisi penjajah.
Konsep kolonialisme di era manapun memang selalu bergerak pada dua
hal. Pertama, menguntungkan si penjajah, terutama pada bidang-bidang tertentu.
Kedua, menguntungkan kedua-duanya, karena si terjajah dapat belajar banyak
tentang budaya dan kehidupan. Kedua hal tersebut telah menyisakan pengalaman
kultural yang luar biasa. Apalagi, jika penjajah telah sampai menanamkan
imperalismenya, tentu kolonialisme semakin rumit. Pada tataran ideologis tentu
akan lebih berbahaya dalam kehidupan terjajah. Akibatnya, kehidupan si terjajah
secara tak sadar akan mengikuti kehendak penjajah.
. Dari fenomena sublatern Spivak berhasil menunjukkan bahwa dalam
kolonialisme tidak hanya terjadi penaklukan fisik, namun juga penaklukan
pikiran, jiwa, dan budaya. Malangnya, cara berfikir kolonialis, atau Barat, atau
orientalis diadopsi pula oleh sebagian masyarakat timur, yang sayangnya adalah
para elit. Mereka menelan berbagai ilmu kolonial tanpa mengunyahnya. Salah
satu agennya adalah universitas dengan semua sivitas akademikanya. Barat
dengan cerdik mencetak agen-agennya sendiri di Timur, yang tanpa sadar
misalnya melakukan mimikri. Mereka menjadi kaum yang tergantung dan
mangagungkan Barat intelektual dan cara berfikir barat. Ketika berbicara, mereka
lebih menunjukkan suara barat dari pada kepentingan mereka sendiri. Untuk
mengatasi ini, menurut Spivak, dibutuhkan transformasi epistemologis dengan
mengganti imperalisme pemikiran tersebut.
Di era modern yang serta global ini, penjajahan telah semakin pelik.
Penjajahan teknologi informasi, kultural, dan politik telah menyisakan
pengalaman pahit. Bahkan, bangsa terjajah akan mengalami stress berat, karena
merasa diombang-ambingkan oleh penjajah. Misalkan saja, ketika isu teror
ditiupkan Amerika, secara tak langsung bangsa-bangsa yang mayoritas Islam telah
semakin gerah.
10
Tadisi penemuan (invented traditions) juga muncul dalam sejarah bangsabangsa terjajah. Tradisi yang muncul atau diklaim berasal dari masa lampau. Apa
yang disebutnya dengan invented traditions adalah sekumpulan praktek, yang
secara normal diatur secara terbuka atau secara diam-diam diterima sebagai aturan
(rules) dan merupakan bagian dari sebuah ritual atau sifat simbolik, yang
merupakan proses penanaman norma-norma dan nilai-nilai yang tertentu dari
perilaku melalui pengulangan, dan secara otomatis menyiratkan kesinambungan
dengan masa lalu.
Dalam buku ini disebutkan bahwa tradisi penemuan lebih sering terjadi
pada waktu berlangsungnya transfomasi secara cepat, yakni ketika tradisi lama
menghilang. Maka dengan menggali ini sangat mungkin menemukan berbagai
tradisi baik di masyarakat tradisional maupun modern. Semua tradisi penemuan
menggunakan referensi masa lalu tak terbatas hanya untuk kohesi kelompok tapi
juga legitimasi tindakan.
Dari temuan-temuan ini, Hobsbawm dan Ranger menyarankan agar ahli
sejarah harus menghargai berbagai sumber, termasuk ingatan dan pengalaman
langsung mereka yang mengalami selain bahasa tertulis. Metode sejarah harus
memberi ruang yang lebih luas lagi. Setiap orang semestinya berpartisipasi dalam
memberi informasi, karena setiap orang adalah sejarawan. Sejarah dan memori
menjadi semakin dekat dalam posisinya untuk mendapatkan making sense of the
past untuk saat ini.
Gerakan postkolonial mencoba memberi cara-cara alternatif bahwa kita
dapat mendengarkan mereka yang telah terjajah dalam berbagai perikehidupan
oleh wacana Barat, dan gerakan ini mencoba memberikan cara-cara alternatif
bahwa kita dapat memulai mencuatkan mereka yang terjajah dalam percakapan
tentang jati diri, politik, globalisasi, dan kekuasaan
11
12
13
14
ideologi cenderung merespons pada orang lain yang terjajah dengan sudut
pandang keoranglainan, menunjukkan diri yang konsisten, stabil, dan penting bagi
orang lain. Individu-individu yang terjajah, sebaliknya, terbiasa merespons pada
orang lain yang mendominasi itu melalui sudut pandang perbedaan. Mereka
bergerak di antara sudut pandang orang luar dan orang dalam, menelurusi
pemaknaan tentang diri melalui gambaran yang seseorang miliki tentang orang
lain dan sebalibknya. Oleh sebab itu, jadi diri menjadi sebuah proses penyusunan
yang terbuka, turun naik, dan berkelanjutan, sebuah kemajemukan dari Saya,
tidak ada yang benar-benar mendominasi.
II.6 Aliran (Tradisi) yang dianut Teori postkolonial
Pandangan kritis postkolonial berfokus pada dominasi, ideologi, dan
kekuasaan. Pandangan kritis postkolonial ini lahir dari aliran tradisi kritis. Tradisi
ini bersifat melawan, tradisi ini sadar dan bangga akan nilai-nilainya, dan tradisi
ini memiliki tujuan yang jelas untuk meningkatkan kesadaran. Tradisi ini juga
mencakup asumsi-asumsi dan wawasan dari tradisi-tradisi lain dalam dunia
komunikasi, kecuali tradisi sosiopsikologis.
Tradisi-tradisi dalam dunia komunikasi yang bersinggungan dengan tradisi
kritis, misalnya, tradisi semiotik. Tradisi kritis menaruh minat yang besar dalam
tanda dan pengaruh tanda dan simbol (semiotika). Tradisi sibernetika
bersinggungan pula dalam tradisi kritis, karena gagasan dalam postkolonial bahwa
pola-pola pengaruh dan dominasi terlalu dilebihkan atau hasil dari berbagai
kekuatan di masyarakat. Sebagian besar penilitian kritis sangat dipengaruhi oleh
tradisi sosiokultural dan karena kepercayaannya pada metode hermeneutika, dan
juga tradisi fenomenologis. Tetap saja, teori-teori kritis menentang banyak
kecenderungan dari tradisi-tradisi lain. Para peneliti kritis khawatir bahwa bentukbentuk lain dari ilmu pengetahuan hanya bersifat deskriptif dan ikut serta dalam
menormalkan kekuatan hegemoni (Littlejhon, 2011: 489).
15
warisan
kolonialisme
memerlukan
metode
khusus,
yaitu
Fungsi: untuk menuntun peneliti agar dalam penelItian lebih jelas, terarah
dan tepat dalam penggunaan metodologi/metode penelitian.
Pengertian paradigma ini mengandung aspek;
1. Ontologis: Hakekat sesuatu
2. Epistemologi: hubungan pencari ilmu dengan objek.
3. Aksiologis: tata nilai, etika dan moral
4. Metodologis:bagaimana metode yang digunakan untuk menemukan
hakekat ilmu
Menurut Guba dan Lincon (1994) ada 4 paradigma, yaitu:
1. Positivism
2. Postpositivism
3. Critical Theories (teori-teori kritis)
4. Contructisivism
Para
ilmuwan sosial
melihat
bahwa
paradigma
Positivism dan
16
pengertian
tentang
paradigma-paradigma
dalam
tiga
kelompok
besar
(Hidayat,2002).
File. pdf
17
DAFTAR PUSTAKA
18
19