Anda di halaman 1dari 3

Teori Strukturalisme dan Post Strukturalisme

Strukutralisme
Bahasan dalam topik ini berkaitan denan kemunculan pemikiran setelah adanya teori sosial
modern dengan diawali strukturalisme hingga post-strukturalisme dan akhirnya dikenal sebagai
teori post-modern. Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang membangun makna
sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu.
Bersifat antihumanis karena mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya.
Fenomena hanya memiliki makna ketika dikaitkan dengan sutruktur sistematis yang sumbernya
bukan terletak pada individu. Pemahaman strukutalis terhadap kebudayaan memusatkan
perhatian pada sistem relasi struktur yang mendasarinya. [1]
Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak sepenuhnya sama
dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme struktural. Strukturalisme
lebih memusatkan perthatian pada struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari struktur sosial dan
struktur bahasa. Seperti dalam teori sebelumnya, Etnometodolgi yang memusatkan pada teori
percakapan dan komunikasi secara umum, makas struturalisme lebih kepada bermacam-macam
gerak isyarat. F. De Saussure yang merupakan tokoh strukturalisme memberikan pembedaan
antara langue dan parole. Menurutnya, Langue adalah sistem tata bahasa formal, sistem
elemen phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue memungkinkan
adalanyaparole yang merupakan percakapan sebenarnya, cara pembicara menggunakan bahasa
untuk mengatakan dirinya sendiri.[2]
Strukturalisme muncul di tahun 1960an berbasis karya Ferdinand de Saussure yang
diorientasikan untuk memahami struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal
dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya
menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan dengan tata
bahasa. Strukturalisme didasarkan pada kepercayaan bahwa obyek budaya itu seperti literatur,
seni dan arsitektur. Harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih besar dimana mereka
berada dan berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengemukakan prinsip-prinsip
universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan
yang dilakukan manusia.[3]
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa strukturalisme melihat makna sebagai hasil
struktur atau regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar individu. Hal ini dapat ditelusuri
dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi
dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia. Sebagai contoh,
penggunaan sistem tanda pengaturan lampu lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama,
bahwa warna merah kendaraan harus berhenti, kuning, harus hati-hati dan hijau boleh jalan. Hal
tersebut dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Bahasa
manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran dan tindakan-tindakannya yang
membentuk pola universal yang menghasilkan realitas sosial
Post-Strukturalisme

Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka Jacques
Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tak teratur dan tak stabil.
Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar tulisan yang tidak
memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga sosial tak lain hanya sebagai tulisan,
karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan
arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap
orang, yang menurut pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Karena itu menurut
Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia
mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem
berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya).[4]
Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai
aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu
melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil
yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu
yang tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat
atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti
pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu
dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.[5]

Michael Foucoult adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori post-
strukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori post-strukturalime untuk
menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan
karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah
tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda.
Sebagai seorang post-strukturalis Foucoult tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu
pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling
signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis
(Marx), atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan
cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu
muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern. [6]
Salah satu karya Foucoult adalah Archeology of Knowledge yang merupakan tujuan dari
studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan modus dari diskursus atau wacana. Ia
mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah atau sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu,
Foucoult juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan maupun tertulis sehinga ia
dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan sebuah diskursus atau wacana bisa
berlangsung. Konsep kunci dari Foucoult adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila
arkeologi memfokuskan pada kondisi historis yang ada, sementara geneologi lebih
mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan proses tentang jaringan jaringan
diskursus. [7]

Hubungan secara konseptual antara Strukturalis dan Pos-strukturalis


Berdasarkan namanya, post-strukturalisme dibangun diatas gagasan strukturalisme, namun
bergerak keluar dan menciptakan mode berpikirnya sendiri. Strukturalisme dipengaruhi oleh
ilmu bahasa, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara
universal, sedangkan pos-strukturalisme tidak melihat adanya kestabilan dan universalitas makna
dalam bahasa. Bahkan Derrida berupaya untuk melakukan dekonstruksi logosentrisme. Dia
ingin melihat masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah
menciptakan pemikiran dominan. Sedangkan Foucoult mengemukakan pandangannya tentang
pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Bahwa orang yang
memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.

Kenyataan empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan kartu kredit
sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang atau jasa. Pendekatan
Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kartu kredit yang dikeluarkan oleh
sistem perbankan dan berlaku universal. Pemohon kartu kredit harus memiliki persyaratan
tertentu untuk mendapatkannya. Simbol yang ada di kartu dimaknai bersama, baik oleh pembeli
maupun penjual, bahwa penggunaannya hanya dengan menggesekkan kartu ke alat terentu dan
bank akan mengeluarkan kredit pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa
tinggal gesek dimaknai secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar. Post-strukturalis
melihatnya bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak bermanfaat, simbol kartu yang
dimaknai sebagai alat tukar bergengsi justru dimaknai oleh post-strukturalis sebagai penciptaan
masalah baru. Ada unsur ketidakstabilan. Makna kewajiban membayar berbeda pemaknaannya
oleh pemakai kartu, karena ketidakmapunannya untuk membayar atau karena
ketidakdisiplinannya dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus dipenuhi oleh
pemegang kartu kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak dijalankan, maka ada sanksi
tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun sanksi hukum, bila tidak sanggup
membayar.
Bila dilihat dari sudut pandang pengetahuan/kekuasaan, maka orang-orang yang
mengetahui kebaikan dan keburukan kartu, tentu akan menguasai kartu tersebut, dalam arti
dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia akan mempelajari, berapa beban bunganya dalam
sebulan atau setahun, berapa biaya adiministrasinya, berapa dendanya bila terlambat, berapa
iuran anggotanya pertahun, dan setiap tanggal berapa dia harus membayar tagihan serta berapa
yang harus dibayar. Pengetahuan ini yang menurut pandangan Foucoult berkaitan dengan
kekuasaan. Bila nasabah/pemegang kartu memiliki pengetahuan, maka dia akan berkuasa (kartu
tersebut bermanfaat) namun bila tidak, maka pihak bank yang akan berkuasa (beruntung).

Anda mungkin juga menyukai