Anda di halaman 1dari 19

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM SINGIR TAHLIL DI

MASYARAKAT BANYUMENENG, BANYURADEN, GAMPING


SLEMAN YOGYAKARTA

A. Pendahuluan
Di masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, tahlilan adalah sesuatu tradisi
yang telah turun-temurun. Tradisi ini biasanya dilaksanakan dalam rangka
memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal, dan dilaksanakan pada
hari pertama sampai ketujuh, 40 hari, seratus hari, setahun pertama, kedua, dan
1000 hari.
Dalam masyarakat pun muncul beragam sikap, ada yang menganggapnya
bid‟ah karena tidak ditemukan pada masa nabi, ada yang menganggapnya bagian
dari budaya, dan ada pula yang menganggapnya bagian dari agama.
Bagi sebagian masyarakat Yogyakarta, tahlilan sendiri dianggap sebagai
amaliyah yang “wajib”, karena jika tidak dilaksanakan takut dianggap sebagai anak
yang tidak berbakti. Masyarakat sangat meyakini bahwa keluarga yang sudah
meninggal hanya memerlukan doa dari ahli warisnya, dan terasa lebih afdhal jika
doa tersebut dilaksanakan secara bersama-sama dengan cara mengundang para
tetangga. Semua yang hadir selain diberi makanan dan minuman sebagai wujud
menghormati tamu dari tuan rumah, juga akan diberi bingkisan seperangkat nasi
dan ada yang ditambah dengan sembako mentah.
Berbeda dengan tahlil di daerah-daerah lain, tahlil di desa Banyumeneng,
Banyuraden, Gamping Sleman terlihat unik. Pertama kali mengikuti tahlilan di desa
ini, penulis biasa-biasa saja, tetapi ketika dzikir sampai pada mengucapkan kalimat
la ilaha illa Allah, terdengar nyayian syi‟ir (singir) yang dibaca oleh beberapa
orang, dan nada dzikirnya mengikuti singir yang dibaca. Ketika nadanya lembut,
maka membaca tahlilnya juga lembut, sedangkan ketika nadanya berubah, tahlilnya
ikut berubah, menyerupai reff dari nada tahlil tersebut. Singir tersebut tertulis dalam
bahasa Jawa dan dilagukan dengan kinanthi.1 Lebih unik lagi, singir tersebut dibuat
oleh singir tersebut dibuat oleh tokoh Muhammadiyah di Desa Banyuraden dan
pimpinan tahlil (mbak kaum) juga tokoh Muhammadiyah setempat.
Tradisi tahlil yang diiringi dengan singiran di Yogyakarta sebenarnya
tidak hanya terjadi di masyarakat Banyumeneng Banyuraden, di daerah-daerah lain
yang juga diadakan. Misalnya masyarakat Ngemplak Nganti, Sendangadi, Mlati,
Sleman juga masih melestarikan tahlil yang diiringi singir.2 Begitu juga masyarakat
Karanggeneng, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, yang masih melestarikan singir
tahlil dalam tradisi tahlilan.3
Ada dua hal yang menarik dari fenomena tersebut. Pertama, singir yang
dilekatkan dalam dalam acara tahlil tersebut dan kedua, tahlil dipimpin oleh tokoh
Muhammadiyah setempat begitu pula dengan singir yang digubah oleh tokoh
Muhammadiyah. Yang pertama dapat diasumsikan bahwa dalam singir tersebut
terselip kearifan lokal yang sangat kuat sedangkan yang kedua dapat dibaca sebagai
salah satu bagian dari dakwah kultural Muhammadiyah. Hal ini menjadi menarik
karena Muhammadiyah selama ini dianggap sebagai salah satu aliran puritan yang
tidak menerima tradisi tahlilan.
Aspek yang akan dibahas dalam makalah ini difokuskan pada nilai-nilai
kearifan lokal apa yang terdapat pada singir tahlil yang terdapat pada tradisi tahlil
di masyarakat Banyumeneng, Banyuraden, Gamping, Sleman. Adapun singir tahlil
sebabagai bagian dakwah kultural Muhammadiyah tidak menjadi pembahasan
dalam makalah ini.
Singir adalah salah satu bentuk sastra Jawa yang di dalamnya mengandung
muatan kearifan lokal tertentu. Kandungan makna dari singir perlu digali muatan
kearifan lokalnya. Penggalian muatan kearifan lokal melalui pembacaan terhadap

1 Kinanthi adalah bagain dari tembang macapat di Jawa. Macapat adalah tembang atau puisi

tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai
sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak akhir yang disebut guru lagu.
Beberapa tembang macapat misalnya dandanggula, asmarandana, gambuh, pangkur dan lain-lain.
2 Kusnadi, “Seni Singiran dalam Ritual Tahlilan pada Masyarakat Islam Tradisional Jawa” Jurnal

Imaji. Vol. 4, No. 2, Agustus 2006: 230 – 243.


3 Nurrofik, “Syi‟iran Tahlil di Dusun Karanggeneng, Umbuljarjo, Cangkringan Sleman” Skripsi,

(Yogyakarta: Fakultas Adab Univesitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).

1
makna yang terkandung dalam bait-bait syairnya sekaligus bentuk dan penggunaan
syair tersebut dalam masyarakat.
Makalah ini akan diawali dengan pengkajian teori tentang tahlil, singir dan
kearifan lokal itu sendiri sebagai beberapa istilah kunci dalam makalah ini.

B. Tradisi Tahlil dalam Masyarakat Jawa


Istilah "tahlil" artinya pengucapan kalimat la ilahailallah, sedangkan
tahlilan artinya bersama-sama melakukan do'a bagi orang (keluarga, teman, dsb.)
yang sudah meninggal dunia, semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh
Allah SWT. Sebelum do'a bersama, terlebih dahulu diucapkan beberapa kalimah
thayyibah (kalimah-kalimah yang bagus, yang agung), berwujud hamdalah
(tahmid). shalawat, tasbih, beberapa ayat suci AI-Qur'an dan tahlil.4.
Adanya tahlilan tentu dengan maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tahlilan
menurut Abdusshomad ada enam macam, yaitu: (1) sebagai ikhtiyar (usaha)
bertaubat kepada Allah SWT untuk diri sendiri dan saudara yang telah meninggal
dunia, (2) merekatkan tali persaudaraan antar sesama, baik yang masih hidup atau
yang telah meninggal dunia dengan pemahaman bahwa ukhuwah Islamiah itu tidak
terputus karena kematian, (3) untuk mengingat bahwa akhir dari kehidupan dunia
ini adalah kematian, yang setiap jiwa tidak akan terlewati, (4) untuk kesejukan
rohani di tengah hiruk pikuk dunia untuk mencari materi dengan jalan berdzikir
kepada Allah, (5) tahlil sebagai salah satu media yang efektifuntuk dakwah
Islamiah, dan (6) sebagai manifestasi dari rasa cinta sekaligus penenang hati bagi
keluarga almarhum almarhumah yang sedang dirundung duka.5
Tradisi tahlilan bagi orang meninggal menurut Agus Sunyoto tidak bisa
dilepaskan oleh tradisi bangsa Campa yang masuk ke Indonesia membawa Islam.
Agus Sunyoto menyatakan bahwa ketika Majapahit tercekam suksesi yang
melelahkan-antara tahun 1446 hingga 1471 M- yang berakibat pada
kemundurannya, terjadi pengungsian besar-besaran penduduk asal negeri Campa

4 Muhyiddin Abdusshomad. Tahlil dalam Perspektif Alqur,an dan Assunnah. (Malang: Pustaka

Bayan da Surabaya: Khalista bekerja sarna dengan PPNurul Islam Jember, 2005) hal. xii
5 Ibid, hal. xiii

2
ke Nusantara, terutama di pesisir utara pulau Jawa. Hal itu terjadi karena pada
tahun-tahun tersebut kerajaan Campa diduduki oleh raja-raja Vietnam. Kehadiran
bangsa Campa membawa adat kebiasaan di negerinya dan berpengaruh kuat
terhadap perkembangan sistem kepercayaan di Nusantara, khususnya Jawa.6
Jejak-jejak keterpengaruhan masyarakat Jawa oleh kepercayaan bangsa
Campa menurut Agus Sunyoto terdapat pada beberapa hal. Pertama, upacara
peringatan orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke1000 yang hingga
kini masih dilestarikan adalah tradisi khas Campa. Dalam kaitan dengan upacara
kematian, masyarakat Majapahit menurut Sunyoto hanya mengenal upacara yang
disebut sraddha, yakni upacara meruwat arwah yang dilakukan 12 tahun setelah
kematian. Kedua, upacara-upacara keagamaan seperti perayaan 1 dan 10 Asyuro,
tradisi Rebo Pungkasan atau
Arba‟a Akhir di bulan Shafar, tradisi nisfu Sya‟ban, faham wahdatul
wujud, larangan berhajat pada bulan Asyuro, dan pembacaan kasidah-kasidah yang
memuji Nabi Muhammad saw. dan ahl bait. Menurut Sunyoto, upacaraupacara dan
tradisi-tradisi tersebut kebiasaan masyarakat Campa yang terpengaruh paham
Syi‟ah. Mengenai madzhab Islam yang dianut masyarakat Campa ini, Sunyoto
mengutip pendapat S.Q. Fatimy yang mengatakan bahwa orang-orang Islam di
Campa beraliran Syi‟ah. 7 Bahkan menurut Sunyoto, istilah kenduri adalah jelas
menunjuk pada pengaruh Syi‟ah, karena diambil dari bahasa Persia yaitu Kanduri
yang berarti upacara makan-makan di Persia untuk memperingati Fatimah Az
Zahro‟. Ketiga, sistem kepercayaan. Warisan kebiasaan dan sistem kepercayaan
masyarakat Campa yang berpengaruh pada masyarakat Jawa di antaranya ialah
kepercayaan pada kitab-kitab ramalan seperti Primbon dan kepercayaan-
kepercayaan pada takhayul. Keempat, kepercayaan-kepercayaan terhadap makhluk
halus. Sistem kepercayaan terhadap makhluk halus yang terpengaruh masyarakat
Campa menurut Sunyoto seperti gandarwa, kelong wewe, kuntilanak, pocong,
tuyul, kalap, siluman, jin Islam, hantu penunggu pohon, arwah penasaran, dan

6 Agus Sunyoto, Sunan Ampel Raja Surabaya, Dinamika Perjuangan Dakwah Islam di Jawa Abad

XIV – XV M, (Surabaya ; Diantama berkerja sama dengan Lembaga Pengkajian Bahasa Arab Masjid Agung
Sunan Ampel, 2004), hlm. 47
7 Ibid. hlm. 86

3
berbagai tahayul lain yang dalam Bahasa Kawi disebut gegwan tuhuan, yang
bermakna „bersandar pada kicauan burung‟ alias omong kosong. Sementara itu,
kepercayaan masyarakat Majapahit sebelum kedatangan bangsa Campa terbatas
pada makhluk-makhluk setengah dewa seperti yaksha, raksasa, pisaca, pretusura,
gandharwa, buta, khinnara, widhyadhara, mahakala, nandiswara, caturasra, dan
rahyangta rumuhun, sirangbasa ring wanua, sang mangdyan kahyangan, sang
magawai kedhaton (para arwah leluhur yang melindungi bumi dan keraton). Bangsa
Campa juga percaya terhadap hitungan suara tokek, tabu mengambil padi di
lumbung pada siang hari, menyebut harimau dengan sebutan „Yang‟ atau „Ong‟
yang berarti „kakek‟, menyebut ibu dengan sebutan „Mak‟, memanggil anak kecil
dengan sebutan „kachong‟ dan sebagainya. Sistem kepercayaan bangsa Campa
yang terpengaruh Islam itulah yang kemudian menjadi mainstream utama dari
sistem kepercayaan penduduk muslim Jawa pasca Majapahit sampai saat sekarang
ini.8
Dari penjelasan Agus Sunyoto tersebut di atas, peringatan 3 hari, 7 hari,
40 hari, 100 hari dan seterusnya adalah pengaruh dari tradisi bangsa Campa yang
beraliran Syi‟ah. Selanjutnya, pada saat Islam di tanah Jawa dikembangkan oleh
para wali songo, tradisi memperingati orang yang sudah meninggal tersebut diisi
dengan tahlilan. Wahyudi dan Khalid menyatakan bahwa budaya tahlilan mulai ada
sejak para wali di Jawa mengajarkan agama Islam.9
Kebudayaan ini bermula dari adat Jawa yang secara turun-temurun sejak
zaman pra-Islam, bila ada orang yang meninggal dunia maka keluarganya
mengadakan selamatan. Jenis-jenis selamatan ini ada bermacam-macam, misalnya:
selamatan ngesur tanah, Nelung Dinani, Mitung Dinani, Matang Puluh, Nyatus,
Mendhak Pisan, Mendhak Pindho, dan Nyewu. Selanjutnya, oleh Sunan Muria
(putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarah) kegiatan selamatan tersebut diberi
warna Islam. Selamatan yang semula berisi doa mantra yang dilakukan oleh
pendeta diganti dengan bacaan kalimah thoyyibah dan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Pada mulanya, tradisi yang sarat dengan warna tasawuf ini dilakukan di pesantren

8 Ibid.
9 Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kisah Wali Sanga. (Surabaya: Karya Ilmu, tt) hal.109

4
dan kraton. Namun, lambat laun dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh
masyarakat Indonesia sehingga menjadi tradisi keagamaan yang tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan masyarakat.10
Kalimat-kalimat tahlil dalam praktek di masyarakat Jawa biasanya
digabungkan dengan pembacaan surat yasin. Sehingga kemudian disebut dengan
yasinan dan tahlilan. Pembacaan surat yasin bersamaan dengan tahlil yang
dipergunakan dalam upacara slametan tersebut konon didasarkan pada sebuah hadis
nabi yang berbunyi:
“Bacalah surat Yasin terhadap orang mati di antara kamu” (HR.
Baihaqi).
Hadis tersebut kemudian dimaknai dengan membacakan surat Yasin pada
orang yang telah mati maupun orang yang belum mati (dalam keadaan sakaratul
maut). Dalam masyarakat, ada kalanya surat Yasin dibacakan kepada orang yang
sedang sakaratul maut. Hal ini karena menurut penjelasan ahli nahwu, hadis
tersebut menggunakan bentuk isim mashdar.
Dalam isim mashdar dikatakan bahwa ia memiliki makna yang lalu
maupun akan datang. Dengan makna demikian, maka yasin dibacakan kepada
orang yang telah mati maupun yang akan mati.11
Teks-teks tahlil biasanya tersusun sebagai berikut:
1. Membaca al-Fatihah tiga kali. Fatihah pertama ditujukan kepada Nabi
Muhammad, keluarga, istrinya, dan keturunannya. Fatihah kedua ditujukan
sahabat-sahabat nabi dari kalangan nabi dan rasul, para syuhada dan orang-
orang shaleh, sahabat, tabi‟in, para ulama dan pengarang kitab yang shaleh,
para malaikat yang dekat (malaikatil muqarrabin), dan dikhususkan
kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani atau kepada nama orang yang didoakan
(nama si mayit). Fatihah ketiga ditujukan kepada semua ahli kubur yang
muslim dan mukmin, baik laki-laki maupun perempuan di manapun berada

10 Zainuddin Fanani dan Atiqo Sabardila, Sumber Konflik Masyarakat Muslim, Perspektif
Keberterimaan Tahlil, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hal. 257.
11 Penjelasan KH. Muhadi Zainuddin, Lc., M.Ag, pimpinan pondok pesantren Aji Mahasiswa Al

Muhsin Yogyakarta.

5
(barat timur, darat laut), dan dikhususkan kepada ayah, ibu, kakek, nenek,
para guru dan gurunya para guru.
2. Membaca surat al-ikhlas 3 kali, al-Falaq 3 kali, dan An Nas 3 kali ditutup
dengan al-Fatihah
3. Membaca surat Al-Baqarah: 1-5
4. Membaca surat Al-Baqarah: 163
5. Membaca surat al-Baqarah: 255 (ayat kursi)
6. Membaca surat al-Baqarah: 284-286
7. Membaca surat al-Ahzab: 33
8. Membaca surat al-Ahzab: 56
9. Membaca shalawat, istighfar, tahlil dan tasbih.
Muhammad Danial Royyan 12 menulis bahwa kalimat-kalimat tahlil
disusun pertama kali oleh Sayyid Ja‟far Al- Barzanji. Sedangkan pendapat yang
lain mengatakan bahwa yang menyusun tahlil pertama kali adalah Sayyid
Abdullah bin Alwi Al Haddad. Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang paling
kuat tentang siapa penyusun pertama tahlil adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi
Al Haddad. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa
Imam Al- Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada
Sayyid Ja‟far Al – Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H. Pendapat tersebut
diperkuat oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi
Al-Haddad dalam syarah Ratib Al Haddad, bahwa kebiasaan imam Abdullah Al
Haddad sesudah membaca Ratib adalah bacaan tahlil. Para hadirin yang hadir
dalam majlis Imam Al Haddad ikut membaca tahlil secara bersamasama tidak ada
yang saling mendahului sampai dengan 500 kali.13
Tradisi tahlil dapat diduga ia berasal dari tradisi pesantren, yang diajarkan
dan dipraktekkan dalam kehidupan pesantren, yang kemudian menyebar menjadi
tradisi masyarakat secara luas. Tradisi tersebut terus menerus berlangsung secara
turun-temurun dan terus mengalami modifikasi pada prakteknya.

12KH Muhammad Danial Royan adalah ketua tanfidziyah PCNU Kendal periode 2012-2017.
13Muhammad Danial Royyan, Sejarah Tahlil, (Kendal: LTN NU Kendal bekerjasama dengan
Pustaka Amanah, 2013).

6
Pada saat Yasinan dan Tahlilan berlangsung, biasanya tuan rumah
menyediakan toples atau baskom yang berisi air bunga (bunga mawar, melati, dan
kanthil). Air tersebut yang kemudian akan disiramkan ke kuburan si mayit.
Meskipun demikian, tidak semua yasinan dan tahlilan menyediakan air bunga
tersebut.
Setelah selesai acara Yasinan dan Tahlilan, biasanya para tamu undangan
diberi hidangan berupa minuman dan snack (makanan ringan) kemudian dan saat
pulang diberi bingkisan yang berisi nasik dan lauk yang sudah dimasak serta bahan
makanan mentah seperti beras, gula pasir, teh, mie instan, telur dan beberapa kasus
amplop yang berisi uang (Rp. 2000 atau Rp. 5000).

C. Singir sebagai Bagian Masyarakat Jawa


Istilah singir diduga berasal dari bahasa Arab syi'ir yang artinya adalah
syair atau puisi. Oleh karena kebiasaan orang Jawa yang membaca huruf 'ain
dengan ngain, maka istilah syi'ir berubah menjadi singir. Akhiran an menunjukkan
makna permainan atau tiruan dari aslinya, seperti pada istilah bedayan yang berarti
tiruan dari bedaya, srimpen dari kata srimpi-srimpian.13
Bagi masyarakat muslim Jawa, singiran sesungguhnya sangat akrab
dalam kehidupan sehari-hari. Di masjid atau langgar-langgar Jawa singiran sering
dinyanyikan setelah adzan, waktu jeda antara adzan dan iqamat, atau menunggu
jamaah shalat berkumpul atau untuk menunggu seorang imam shalat datang.
Selain antara adzan dan iqomat, pembacaan singiran antara lain pada acara-acara
pengajian akbar di mana kiai dalam menjelaskan materi pengajian diselingi dengan
singiran, mengiringi bacaan tahlil dalam peringatan hari kematian salah satu
keluarganya.14
Singir Jawa yang dibacakan mengiringi tradisi tahlil biasanya berbentuk
bait-bait syair dalam bahasa Jawa yang di dalamnya terdapat nasehat/pelajaran
yang dapat dipetik oleh segenap yang hadir. Syi‟ir-syi‟ir tersebut akan diiringi

13
Kusnadi, op.cit, hal. 233
Khalid Mawardi, “Singiran: Pendekatan Sosio-Kultural Pembelajaran Islam dalam Pesantren dan
14

Masyarakat NU” Jurnal INSANIA, Vol. 11 Nomor 3, September – Desember 2006, P3M STAIN Purwokerto,
hal. 315.

7
oleh irama tahlil (laa ilaha illallah), irama tahlil menyesuaikan dengan irama syi‟ir
yang dibacakan oleh beberapa orang.
Singir adalah salah satu bentuk karya sastra yang menurut Horatius
memiliki fungsi dulce at utile, menghibur dan bermanfaat.15 Aspek hiburan dalam
singir bukan tujuan utama tetapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan tertentu
yakni pencapaian suatu manfaat yang lebih nyata seperti aspek keimanan, aspek
pendidikan, etika, dan sebagainya.

D. Memahami Kearifan Lokal


Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua
kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John
M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom
(kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan
setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya.16
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat
“local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan
setempat “local genious”.
Sartini menyebutkan bahwa kearifan lokal (local wisdom) berawal dari
local genius yang berkembang menjadi local wisdom. Local genius merupakan
istilah yang mula pertama diperkenalkan oleh Quaritch Wales. Haryati Soebadio
sebagaimana dikutip oleh Sartini mengatakan bahwa local genius adalah juga
cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa
tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan

15 Andries Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra. (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984) hal 183.
16 Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati”, Jurnal Filsafat, Agustus
2004, Jilid 37, Nomor 2

8
kemampuan sendiri. Sementara Moendardjito mengatakan bahwa unsur budaya
daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk
bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1. Mampu bertahan terhadap dunia luar
2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli
4. Mempunyai kemampuan mengendalikan mampu memberi arah pada
perkembangan budaya
Dengan mengutip pendapat I Ketut Gobyah dan S. Swarsi Geriya, Sartini
menyimpulkan bahwa kearifan lokal terbentuk terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan
lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus
dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilainilai, etika, cara-cara dan perilaku yang
melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan
benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.17
Sementara itu, menurut Nyoman Shirta, bentuk-bentuk kearifan lokal
dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adatistiadat,
hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-
macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi
bermacam-macam. Beberapa fungsi dan makna kearifan lokal antara lain:18
1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan
dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.

17 Ibid
18 Ibid

9
3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan,
misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura
Panji.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan
penyucian roh leluhur.
8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan
patron client
Kearifan lokal tidak hanya mewujud dalam budaya, tetapi juga melalui
19
ungkapan-ungkapan seperti bebasan, saloka, paribasa Lewat ungkapan-
ungkapan tersebut, tercermin bagaimana sikap hidup dalam suatu komunitas
masyarakat. Ungkapan seperti “alon-alon waton kelakon, mangan ora mangan
sing penting ngumpul, sepi ing pamrih rame ing gawe” adalah ungkapan-
ungkapan yang mengandung kearifan lokal tertentu. Singir adalah salah satu
bentuk sastra Jawa yang di dalamnya mengandung kearifan lokal tertentu.

E. Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Singir Tahlil Masyarakat


Banyumeneng
Sama dengan tradisi tahlil di masyarakat Jawa yang lain, tradisi tahlil di
masyarakat Banyumeneng Banyuraden Gamping Sleman juga berkaitan dengan
peringatan orang yang sudah meninggal. Tahlilan tersebut kadangkala diiringi
dengan pembacaan surat Yasin secara bersama-sama, kadang tidak. Yasin dan tahlil
tersebut adakalanya diiringi dengan singir, adakalanya tidak, tergantung dari
permintaan keluarga yang punya hajat.
Waktu pelaksanaan sehabis shalat maghrib adakalanya sebagai shalat
Isya‟. Dalam kasus tertentu misalnya waktu pelaksanaan bersamaan dengan bulan

19 Ni Wayan Sartini, “Menggali Nilai-Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan

(Bebasan, Saloka, dan Paribasa)”, dalam LOGAT, Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, Universitas Sumatra Utara,
Volume V No. 1 April 2009.

10
Ramadhan, maka Yasin dan Tahlil biasanya dilaksanakan sehabis shalat Ashar. Di
bulan selain Ramadhan, umumnya dilaksanakan antara habis shalat maghrib sampai
tiba waktu Isya atau setelah shalat Isya. Tahlil yang diiringi dengan singir selalu
dilaksanakan setelah shalat Isya‟, karena membutuhkan waktu yang lebih lama.
Prosesi pelaksanaan biasanya diawali dengan tuan rumah menyampaikan
sambutan selamat datang sekaligus menyerahkan acara kepada pemimpin tahlil
(mbah kaum) atau sambutan langsung dilakukan oleh mbah kaum. Kemudian tahlil
diawali bacaan surat al-Fatihah dan seterusnya sesuai dengan tata urutan tahlil
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Ketika prosesi tahlil telah sampai
kepada pengucapan kalimat la ilaaha illallah, para petugas pembaca singir segera
membaca singir dan jamaah lain mengucapkan la ilaaha illallah mengikuti nada
singir yang dibacakan.
Ketika rangkaian tahlil telah selesai, maka acaranya adalah istirahat
sebentar sambil menunggu hidangan yang siap dihidangkan. Hidangan dapat
berupa snack atau makan nasi lengkap. Sepulangnya dari acara, para warga diberi
bingkisan yang berisi nasi kotak, dua buah mie instan, sebutir telur, setengah kg
beras, setengah kg gula pasir, satu kotak teh, dan terkadang amplop yang berisi uang
Rp. 1000, Rp. 2000, atau Rp. 5000. Pada saat pembacaan tahlil, di hadapan mbah
kaum terdapat air berisi kembang, setelah selesai ditarik dan esuk harinya
disiramkan ke kuburan si mayit.
Sebagai ucapan terima kasih secara khusus kepada mbah kaum, tuan
rumah memberi uang atau bingkisan tambahan.
Singir yang dibacakan dalam tahlil di Masyarakat Banyumeneng ada dua
macam, yakni Puji Doa Lan Singiran dan Kinanthi Singiran. Yang pertama dibaca
di awal dengan nada yang rendah sehingga lafadz tahlil juga dibaca rendah,
sedangkan yang kedua untuk nada tahlil yang cepat/”reff”.
Lafadz singir yang pertama tersebut secara lengkap sebagai berikut:
Singir “Puji Do’a Lan Singiran”
1. Assalamu‟alaikum purwakanya
Ngaturaken pambagya mring para warga
(Assalamu‟alaikum sebagai pembuka)

11
(Mengucapkan selamat datang pada semua warga)

2. Keparenga kula nyuwun ing pangestu


Wonten ing ngarsa pra lenggah kang minulya
(ijinkan saya minta doa restu)
(di hadapan para hadirin yang mulia)

3. Keparenga mbawani puji lan


dzikir Ambuka puji lan dzikir
kang siningir
(ijinkan menyanyikan pujian
dan dzikir) (membuka puji dan
dzikir yang dibuat sya‟ir)

4. Arsa dzikir kalawan maca bismillah


Arrahmaniirrahimin alhamdulillah
(awali dzikir dengan membaca bismillah)
(arrahmanirrahim al hamdulillah)

5. Puji dzikir nyebat asmane pangeran


Puji dzikir ngagungake asmane Allah
(puji dan dzikir menyebut nama Tuhan)
(puji dzikir mengangungkan asma Allah)

6. Puji dzikir kagem nyuwun pangapura


Kang supaya den apura kang kwasa
(puji dzikir untuk memohon ampun)
(supaya diampuni oleh Yang Maha Kuasa)

7. Kagem ngintun Kyai/Nyai...................


Titi wanci nuju kaping ..... ...................dina

12
(untuk mengirim doa Kyai/nyai...................)
(saat ini tepat ........................ hari)

8. Pisan Allahummaghfirlahuu warhamhuu


Kaping pindo wa‟afihi wa‟fu „anhu
(pertama Allahummaghfirlahu warhamhu)
(kedua wa‟afihi wa‟fu „anhu)

9. Allahumma la tahrimna ajrahu


Pungkasan wala tudhillana ba‟dahu
(Allahumma la tahrimna ajrahu)
(terakhir wala tudhillana ba‟dahu)

10. Birahmatika ya arhama rahimin


Walhamdulillahirabbil „alamin
(Birahmatika ya arhama rahimin)
(Walhamdulillahirabbil „alamin)

Kinanthi Singiran
1. Ambo lilanana matur
Dumatheng pra rawuh sami
Wonten ing ratri punika
Kula sawarga miwiti
Segotrah Andarbe karsa
Niat badhe anylameti
(ijin kami mengatakan)
(kepada para hadirin semua)
(pada malam hari ini)
(kami sekeluarga memulai)
(sekeluarga memiliki hajat
(niat akan selamatan)

13
2. Surat yasin mugi katur
Mugi Allah saget nampi
Ampus ngantos salah tampi
Yen Yasin anggadang pati
Yektine nyuwun ngapura
Dhumateng Hyang Maha Suci
(Bacaan surat Yasin semoga sampai)
(semoga Allah dapat menerima)
(jangan sampai salah paham)
(kalau Yasin untuk mengharap kematian)
(yang benar untuk memohon ampun)
(kepada Allah Yang Maha Suci)

3. Do‟a singir kang mangungkung Eling marang Allah yekti


Ucapan tumusing nala
Datan kena godha giri
Nyawiji panuwunira
Tinampa mring Maha Widi
(doa singir yang dikumandangkan)
(Ingat pada Allah pasti)
(dari ucapan hingga yang tertulis)
(tidak boleh terkena goda)
(menyatu permohonanmu)
(diterima oleh Tuhan Yang Maha Besar)

Menurut pengarang singiran ini, Drs. H. Sinta Wibawa 20 , singiran ini


sengaja dibuat untuk menggantikan singir lama yang menurutnya terkesan mistis

20
Drs. Sinta Wibawa adalah warga Banyumeneng RT 15, pensiunan pengawas
sekolah Muhammadiyah, dan saat ini sebagai pengurus Majelis Dikdasmen
Muhammadiyah Kabupaten Sleman.

14
dan bahkan ada yang “tabu”. Hanya saja, pelacakan terhadap teks singir yang lama
sudah tidak diketemukan, karena sudah hilang dan tidak ada lagi yang menyimpan.
Pada lafadz “Puji Do‟a Lan Singiran” isinya diawali dengan ucapan
selamat datang dan dilanjutkan dengan doa-doa yang yang ditujukan kepada
jenazah setelah disebut secara khusus namanya dan peringatan yang ke berapa hari.
Doa-doa yang dibaca adalah doa untuk jenazah yang diajarkan Islam dari Nabi
Muhammad saw., yakni: Allahummaghfirlahu warhamhu wa‟afihi wa‟fu „anhu.
Allahumma la tahrimna ajrahu, wala tudhillana ba‟dahu, birahmatika ya arhama
rahimin (Ya Allah, ampunilah ia, sayangilah ia, maafkanlah ia segala kesalahannya.
Ya Allah, jangan Engkau halangi pahalanya, dan jangan Engkau sesatkan
kesudahannya, dengan rahmatMu wahai dzati penuh rahmat).
Adapun pada lafadz-lafadz singiran pada singir kinanthi terkandung pesan
dari pembuat teks untuk para warga yang hadir dalam acara tahlilan, termasuk untuk
keluarga yang punya hajat. Pesan untuk warga sekaligus untuk keluarga yang punya
hajat misalnya pada bait 2 dan 3 dari singiran kinanthi. Pada bait kedua pesan yang
hendak disampaikan oleh pengarang teks adalah: pembacaan yasin adalah salah
satu doa, jangan sampai salah paham bahwa Yasin untuk mengharap/mempercepat
kematian. Pesan ini sebagai respon salah satu anggapan masyarakat bahwa ketika
ada keluarga yang sedang sakit parah (koma), dibacakan Yasin bersama-sama
supaya cepat meninggal.
Pada bait ketiga, pesan yang dapat ditangkap dari pembuat teks hendaknya
singir tersebut sebagai media untuk ingat pada Allah, baik yang terucap secara lisan
maupun yang terbaca dari tulisan menyatu dalam permohonan, menyingkirkan
segala macam godaan (do‟a singir kang mangungkung, eling marang Allah yekti,
ucapan tumusin nala, datan kena godha giri, nyawiji panuwunira, tinampa mring
Hyang Widi).
Sedangkan pesan kepada keluarga yang punya hajat dapat terbaca dari bait
keempat singir kinanthi. Pada bait tersebut hendaknya hendaknya keluarga yang
punya hajat (ahli waris) ikut membaca (berdoa), jangan justru ribut di belakang.
Lebih baik membaca dengan seksama karena itu yang akan diterima sebagai bukti
bakti anak pada orang tua.

15
Putra wayah kudu melu
Aja ribut ana mburi
Prayoga melua maca
Do‟a singir kang
permati
Iku kang bakal tinampa
Pinangka bukti yen bekti
(anak cucu hendaknya ikut dzikir)
(jangan ribut di belakang)
(lebih baik ikut membaca)
(doa singir dengan cermat, khusyu‟)
(itu yang akan diterima Alla)
(sebagai bukti kalau berbakti)

Cara penyampaian pesan melalui sebuah singir seperti tersebut di atas


mengandung kearifan lokal tertentu. Pertama, pada masyarakat Jawa dikenal ada
istilah ngluruk tanpa bala, menang kang tanpa ngasorake (berperang tanpa
pasukan, menang tanpa mengalahkan). Dalam konsep ini, nasehatnasehat dalam
singir tersebut diterima warga tanpa merasa digurui karena mereka diajak sekalian
mendendangkan bait-bait lagu yang sarat nasehat tersebut. Kearifan lokal yang
terkandung adalah penyampaian nasehat sebijak mungkin tanpa menyinggung
perasaan dan menggurui yang diberi nasehat. Dalam ungkapan lain, ada istilah kena
pinter ning ora kena keminter (boleh pinter (pandai) tapi tidak boleh sok tahu,
sombong dengan kepinterannya).
Kedua, penyampaian pesan melalui sebuah singir akan bertahan lama
karena setelah dibaca dalam hajat tersebut, ada peluang untuk diulang di rumah
masing-masing sambil berdendang menimang cucu atau sambil santai. Orang Jawa
dikenal suka mendendang (ura-ura) sebagai ekspresi hati yang damai. Strategi
penyampaian pesan demikian adalah langkah yang arif karena mengenali psikologi
dan karakteristik dari penerima pesan.

16
Ketiga, teori pembelajaran modern yang menyatakan bahwa pembelajaran
harus dilakukan dalam suasana yang menyenangkan (PAIKEM) telah dilakukan
masyarakat Jawa dalam bentuk singir. Singir adalah bentuk pembelajaran ketika
penerima pesan (peserta didik) diatur dalam suasana yang menyenangkan dengan
berdendang dan bernyanyi. Ini juga mengakomodasi salah satu kecerdasan
manusia, yakni kecerdasan musikal.
Keempat, ilmu neuroscience modern mengungkapkan bahwa
pembelajaran harus menyeimbangkan antara otak kanan dan otak kiri.
Pembelajaran dengan musik, lagu adalah bagian dari mengaktifkan otak kanan.
Penggunaan otak kanan dan otak kiri secara seimbang sangat diperlukan dalam
proses kehidupan seseorang.

F. Penutup
Tradisi singiran dalam tahlil di masyarakat Banyumeneng Banyuraden
Gamping Sleman setidaknya mengandung dua kearifan lokal. Pertama, sikap
mengajarkan tanpa menggurui yang diserap dari ungkapan nglurug tanpa bala,
menang kan tanpa ngasorake (berperang tanpa pasukan, menang tanpa
mengalahkan). Ungkapan tersebut menjadi dasar bertindak masyarakat Jawa yang
tidak suka terkesan menggurui.
Kedua, kegemaran masyarakat Jawa mendendang (ura-ura) disikapi
secara arif dengan membuat singir-singir yang bermuatan makna, sehingga ia
menangkap makna dalam suasana yang terbuka dan tanpa tekanan.
Ketiga, singir tahlil masyarakat Jawa mengandung makna pembelajaran
yang dilakukan dalam situasi yang menyenangkan. Hal ini sesuai dengan teori
pembelajaran modern bahwa suasana pembelajaran juga harus dibuat dalam situasi
yang menyenangkan peserta didik, sekaligus mengakomodasi kecerdasan musikal.
Keempat, singir tahlil dalam masyarakat Jawa dalam perspektif modern
dapat dilihat sebagai bagian dari aktivasi otak kanan, agar penggunaannya dapat
secara seimbang dibanding otak kiri.

17
Demikianlah beberapa kearifan lokal yang dapat ditangkap dari singir
tahlil masyarakat Jawa. Masih banyak kearifan lain yang dapat digali dari tradisi
tersebut dengan melihatnya dari berbagai sudut yang memungkinkan.

REFERENSI
Abdusshomad, Muhyiddin. 2005. Tahlil dalam Perspektif Alqur,an dan Assunnah.
Malang: Pustaka Bayan da Surabaya: Khalista bekerja sarna dengan
PPNurul Islam Jember
Fanani, Zainuddin dan Atiqo Sabardila. 2001. Sumber Konflik Masyarakat
Muslim, Perspektif Keberterimaan Tahlil. Surakarta:
Muhammadiyah University Press
Kusnadi, “Seni Singiran dalam Ritual Tahlilan pada Masyarakat Islam Tradisional
Jawa” Jurnal Imaji. Vol. 4, No. 2, Agustus 2006: 230 – 243.
Mawardi, Khalid, “Singiran: Pendekatan Sosio-Kultural Pembelajaran Islam dalam
Pesantren dan Masyarakat NU” Jurnal INSANIA, Vol. 11 Nomor 3,
September – Desember 2006, P3M STAIN Purwokerto
Nurrofik. 2008. “Syi‟iran Tahlil di Dusun Karanggeneng, Umbuljarjo,
Cangkringan Sleman” Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Adab Univesitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Royyan, Muhammad Danial. 2013. Sejarah Tahlil. Kendal: LTN NU Kendal
bekerjasama dengan Pustaka Amanah.
Sunyoto, Agus. 2004. Sunan Ampel Raja Surabaya, Dinamika Perjuangan Dakwah
Islam di Jawa Abad XIV – XV M. Surabaya: Diantama berkerja sama
dengan Lembaga Pengkajian Bahasa Arab Masjid Agung Sunan Ampel.
Teeauw, Andries. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,
1984.
Wahyudi, Asnan dan Abu Khalid. tt. Kisah Wali Sanga. Surabaya: Karya Ilmu
Sartini, “Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati”, Jurnal
Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2
Sartini, Ni Wayan. 2009. “Menggali Nilai-Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa
Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan Paribasa)”, dalam LOGAT,
Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, Universitas Sumatra Utara, Volume V
No. 1 April 2009.

18

Anda mungkin juga menyukai