Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Epistemologi Psikologi Agama


Disusun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah

Psikologi Islam / Tasawuf

Disusun oleh:
Ahmad Syafiq Az Zuhaili (E07217003)
M. Arief Rahman Hakim (E97217063)
Cak irul

Dosen pembimbing:
Bpk. Syaifulloh Yazid, M.A

PRODI TASAWUF & PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2019
1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kurun waktu dua dasawarsa ternkhir ini terlihat adanya fenomena peningkatan
kehidupan beragama yang hampir merata di seluruh dunia. Di negara-negara Timur, di mana
kehidupan beragama sudah mentradisi, timbul semangat baru dalam kehidupan beragama di
kalangan generasi muda masjid. gereja, sinagog, vihara dan tempat ibadah lainnya; banyak
dibanjiri oleh kaum muda. Di Indonesia, gejala ini ditunjukkan dengan semak:in mamknya
kegiatan-kegiatan keagamaan di kampus-kampus. Sedangkan di negara-negara Barat yang
dikenal sebagai negara sekuler, ternyata kehidupan beragama juga berkembang pesat.

Studi di Amerika yang dilakukan oleh Ga’up organization menunjukkan bahwa 73%
dari sampel mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang yang religius. Peningkatan
kehidupan berngama di ka1angan masyarakat temyata juga diiringi dengan peningkatan minat
para ilmuwan sosial untuk mempelajari masalah-masalah keagamaan. Hal ini ditunjukkan oleh
munculnya beberapa jumlah yang mengkaji secara ilmiah kehidupan beragama, misalnya
Journal for the Scientific Study in Religion. Journal of Religion and Health. Journal for
Psychology and Theology dan International Journal for Psychology of Religion. Untuk
Psikologi, minat di bidang agama ditandai oleh timbulnya semangat baru di bidang Psikologi
Agama (the Psychology of Religion).

Makalah ini akan membahas tentang Epistemologi Psikologi agama. Secara singkat,
Epistemologi adalah sebuah keilmuan yang membahas hakikat dari suatu pengetahuan.1
Dengan kata lain, epistemologi adalah studi atau ilmu pengetahuan yang membahas tentang
berbagai aspek mengenai suatu pengetahuan tertentu dan keyakinan yang dianggap benar. Dari
sudut pandang yang lebih luas, Epistemologi membahas tentang isu-isu yang berkaitan
tentang penciptaan dan penyebaran suatu ilmu pengetahuan. Dapat disimpulkan bahwa apa
yang akan dikaji oleh epistemologi psikologi tasawuf diantaranya meliputi asal-usul atau
sumber atau sejarah, batasan, manfaat.2

1.2 Rumusan Makalah

a. Bagaimana sejarah terbentuknya psikologi tasawuf?

b. Bagaimana pendekatan ilmiah psikologi tasawuf?

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi, dikutp pada 06 september 2019 pukul 00:33.
2
Matthias Steup, Epistemology, https://leibniz.stanford.edu/friends/preview/epistemology/ (14 Dec 2005).
c. Sejauh mana ruang lingkup psikologi tasawuf?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui bagaimana sejarah perkembangan psikologi tasawuf.


b. Mengetahui pendekatan yang digunakan dalam psikologi tasawuf.
c. Mengetahui ruang lingkup pasikologi tasawuf.
BAB II

ISI

2.1 Sejarah Psikologi Agama dan Hubungannya dengan Psikologi Tasawuf

Sejarah Psikologi Agama sebagai salah satu bidang Psikologi yang mempelajari
dinamika psikologis fenomena-fenomena keagamaan memang mengalami fluktuasi, Bidang
ini sebenamya sudah mulai muncul pada akhir abad ke-19 dan permlaan abad ke-20,
bersamaan dengan lahirya Psikologi modern sendiri.3

Awal kajian Psikologi teritang gejala-gejala keagamaan secara sistematis dimulai oleh
penelitian G. Stanley Hall pada tahun 1881, tentang gejala religious conversion (perubahan
kehidupan beragama secara dramatis, termasuk pindah agama) di kalangan remaja. Tahun 1899
terbit buku pertama berjudul The Psychology of Religion. yang ditulis oleh Edwin Diller
Stubuck. Kemudian 1900 George Albert Coe menerbitkan buku The Spiritual Life. Bidang
Psikologi Agama mulai kelihatan sosoknya ketika William James, yang juga dikenal sebagai
pelopor Psikologi Modem di Amerika, menyampaikan kuliahnya di Edinburg Unnemity pada
tahun 1900- 1901. Kuliah-kuliah ini kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku monument
yang berjudul judul The Varieties of Religious Experiences.

Testimulasi oleh karya-karya pioner di atas. terutama The Varietu. minat di bidang
PsikoIogi Agama tumbuh dengan pesat. Dua jurnal ibniah muIai muncul, yaitu The journal of
religious Psychologie dan The American Journal of Religions psychologie and Education. Di
Jerman muncul Archiv fur Religion psichologie. Tokoh-tokoh lain banyak: be:rmunculan dan
buku-buku di bidang Psikologi Agama semakin banyak diterbitkan, tidak hanya di Amerika
dan Inggris, tetapi juga di Jerman dan Perancis.

Perkembangan Psikologi Agama yang pesat di awal abad ke 20 ini ternyata tidak
berlangsung 1ama. Pada sekitar tahun 1920 kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang Psikologi
Agama mengalami kemandegan. Jurnal-jumal yang pernah muncul sebelumnya tidak terbit
lagi Meskipun ada satu dua buku Psikologi Agama yang terbit, tetapi tidak ada ide-ide baru
yang muncul.4 kemandegan ini ada kaitannya dengan berkembang pesatnya gerakan

3
Bei-hallahmi, B. 1917. Curiosity, Doubt and Devotion: The Beliefs of Psychologist and the Psychology of
Religion. In H.N. Malooy (Ed.), Current Perspectives in the Psyclwlogy of ~eligion. Grand Rapids, Mich.:
Eerdmans, pp. h. 381.
4
Wulff, D.M. 1991. Psyclwlogy of Religion: Classic and Contemporary Views. New York: John Wiley & Sons.
h. 55.
behaviorisme di Amerika. Sebagai gerakan baru dalam psikologi yang bersifat deterministik,
mekanistik serta membatasi pada tingkah laku yang obyektif, maka tidak ada tempat bagi
behaviorisme untuk mempelajari pengalamanan-pengalaman keagamaan yang merupakan
fenomena subjektif.

Faktor yang lebih penting yang menyebabkan kemandegan perkembangan bidang


Psikologi Agama adalah faktor psikolog sendiri. Bagi para psikolog pada waktu itu fenomena-
fenomena keagamaan bukanlah suatu hal yang menarik untuk dipelajari dan diteliti. Lebih jauh
lagi sikap para psikolog pada saat itu disebutkan sebagai tak perduli dan antipati terhadap
agama.5 Secara eksplisit dia bahkan mengemukakan tesisnya bahwa ada bubungan antara
keberagamaan para Psikolog dengan minat yang ditunjukkankan terhadap Psikologi Agama.
Tesis ini memang mudah dipahami mengingat minat seseorang pada umumnya dipengaruhi
oleh kecenderungan pribadinya.

Selain faktor psikolog itu sendiri faktor sosial-masyarakat sebagai hal yang turut andil
dalam perkembangan psikologi agama. Pada waktu psikologi agama mengalami stagnasi,
kehidupan beragama secara umum di Amerika memang mengalami kemerosotan. Gelombang
sekulerisasi deras melanda. Agama disisihkan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini lebih lanjut
berdampak kepada dunia ilmiah. Tak ada lembaga manapun yang mau memberikan biaya
untuk riset-riset di bidang psikologi agama, karena dipandang tidak memberikan manfaat
praktis yang berarti.

Argumentasi Beit-hallami di atas tampak cukup kuat. Hal ini terlihat pada tahun 1960-
an, pada saat kehidupan beragama mulai banyak diminati kembali di masyarakat (Amerika)
dengan masuknya pengaruh dari tradisi Timur, maka pada saat itu pula perkembangan bidang
psikologi agama mulai bangkit kembali. Hal ini selain didukung kesadaran lembaga-Iembaga
formal (termasuk pemerintah) akan pentingnya riset di bidang agama, juga keberagamaan para
psikolog sendiri semakin meningkat. Perkembangan Psikologi Agama menjadi semakin
semarak mulai tahun 1970 sampai sekarang dengan munculnya berbagai macam jurnal ilmiah
di berbagai negara di Eropa dan Asia, seperti Scandinavia, Netherland, German, India dan
Jepang (Wulff, 1991). Selain itu secara formal bidang ini telah diakui sebagai bagian dari

5
Bei-hallahmi, B. 1917. Curiosity, Doubt and Devotion: The Beliefs of Psychologist and the Psychology of
Religion. In H.N. Malooy (Ed.), Current Perspectives in the Psyclwlogy of ~eligion. Grand Rapids, Mich.:
Eerdmans, pp. h. 391.
psikologi modern ketika American Psychological Association membentuk Divisi ke 36, yaitu
Psychologist interested in Religious Issues.6

6
Spilka, B.; Hood. R.W, & GorsuCh, R.L. 1985. The Psyclwlogy of Religion: an Empirical Approach. New
Jersey: Prentice HaIl,Inc.h. 105.
2.2 Pendekatan Ilmiah dalam Psikologi Agama Psikologi Tasawuf

Menurut Abdul Mun'in al-Malighy sebagaimana dikutip oleh Zakiah Daradjat, orang
yang pertama mengkaji psikologi agama secara ilmiah adalah Frazae dan Taylor. Kedua tokoh
ini membentangkan berbagai macam agama primitif, dan menemukan persamaan yang sangat
jelas antara berbagai bentuk ibadah pada agama Kristen dan ibadah agama-agama primitif.
Sebagai contoh adalah pengorbanan karena dosa warisan, keingkaran, hari berbangkit dan
sebagainya. Hasil dari penelitian ini telah membangkitkan para ahli untuk mempelajari dan
meneliti aspek-aspek kehidupan manusia, sehingga mulailah psikologi agama mengumpulkan
bahan-bahan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, dipadu dengan meneliti riwayat hidup
dan hasil karya ahli tasawuf dan ulama-ulama terkenal. Maka terkumpullah bahan-bahan untuk
penelitian psikologi agama dari ilmu-ilmu pengetahuan terdahulu, seperti sejarah agama, hasil
interaksi sosial mereka: ibadah, legenda (mitos), kepercayaan, undang-undang dan sebagainya.

Awal mula pendekatan ilmiah dalam psikologi agama dimulai pada tahun 1881, ketika
G. Stanley Hall mempelajari konversi agama dan remaja. Penelitian berikutnya secara tegas
dilakukan oleh Edwin Diller Starbuck pada tahun 1899 yang menulis buku "The Psychology
of Religion; an Empirical Study of the Growth of Religius Consciouness". Buku ini membahas
pertumbuhan perasaan beragama pada seseorang. Tokoh yang hampir semasa dengan Starbuck
adalah George Alberth Coe, yang menerbitkan bukunya "The Spiritual Life" pada tahun 1900
dan "The Psychology of Religion" pada tahun 1916. Dalam karya tersebut Coe agak menentang
penekanan atas konversi dan lebih menitikberatkan pada perkembangan agama pada remaja.
Satu pembahasan Coe yang perlu digaris bawahi adalah bahwa banyak peristiwa konflik dan
kegoncangan agama yang pada pekembangan agama yang normal dan benar.7

Sementara, James H. Leuba mengumpulkan tidak kurang dari 48 teori tentang agama.
Dari definisi-difinisi tersebut, menurutnya, tidak ada gunanya, karena hanya merupakan
kepandaian bersilat lidah.8 Penelitian Leuba menjelaskan fenomena agama secara fisik
(amaliah), seperti menyamakan antara kefanaan seorang mistik dengan orang-orang yang
terkena pengaruh minuman keras. Teori tersebut dimuat dalam jurnal "The Monist Vo. XI"
tahun 1901 dengan judul "The Introduction to a Psychological Study of Religion". Kemudian
pada tahun 1912 diterbitkan bukunya dengan judul "A Psychological Study of Relegion".
Hampir sama dengan Leuba, Stanley Hall juga menggunakan tafsiran matematika dalam

7
Walter Houston Clark, The Psychology of Religion, (New York: The Mac Milan Company, cet. I, 1958). H. 6.
8
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII, 1991). H. 14.
menerangkan fakta-fakta agamis. Hasil penelitian yang dilakukan menyimpulkan bahwa
pertumbuhan jiwa beragama pada remaja sesuai dengan pertumbuhan emosi dan
kecenderungan terhadap lawan jenis. Sehingga usia di mana jiwa mulai terbuka untuk cinta,
maka pada usia itulah timbulnya perasan-perasan beragama secara ekstrem. Di samping itu,
juga terdapat persamaan antara fakta-fakta konversi dan cinta pertama, karena kedua fakta
tersebut adalah terbukanya jiwa pada rasa kemanusiaan. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Stanley Hall adalah dengan mempelajari kepribadian Isa al-Masih.9

Permasalahan tingkah laku beragama semakin menarik untuk diteliti, sehingga usaha
penelitian terus dikembangkan, bahkan ada yang berlebihan. Hal ini dapat dilihat dari hasil
penelitian Medical Materialism yang kontroversial. Mereka menerangkan fakta-fakta agamis
secara fisik, dan beranggapan bahwa keadaan jiwa atau pikiran sebagai ungkapan fungsi
organik. Keistimewaan orang-orang suci dan tenggelamnya mereka dalam kehidupan rohani
dianggapnya sebagai akibat dari penyakit-penyakit jasmani, misalnya disebabkan oleh
kegoncangan sebagian kelenjar-kelenjar atau terjadinya keracunan (outo intoxication). Dengan
demikian pribadi-pribadi orang sufi yang mempunyai kekuatan jiwa, menurut mereka, adalah
karena ketidak sehatan jiwa mereka. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa Saint Paul
adalah orang yang berkepribadian epileptoid, George Fox adalah orang yang mengalami
kerusakan keturunan (heredity degeneration), Carlyle menderita keracunan (outo intoxicated),
bahkan Isa al-Masih, menurut Binet Sangle, dianggap sebagai orang yang mempunyai
kepribadian schizophrenic.10 Hasil penelitian tersebut mendapat sanggahan dari beberapa ahli
psikologi, antara lain dilontarkan oleh Flornoy.

Tokoh lain yang mengkaji beberapa tulisan dan biografi pemuka-pemuka agama adalah
William James, dengan karyanya yang monumental "The Variaties of Religious Experience".
Buku tersebut merupakan hasil kuliah selama setahun (1901 - 1902). Menurut James, ahli
agama akan dapat meneliti dorongan-dorongan agama pada seseorang, seperti mempelajari
dorongan-dorongan jiwa lainnya dalam konstruksi pribadi orang tersebut.10

James mendefinisikan agama dengan perasaan dan pengalaman manusia secara


individual yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya
sebagai Tuhan. Tuhan, menurutnya, adalah kebenaran pertama yang menyebabkan manusia

9
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII, 1991). H. 14
10
William James, The Variates of Religion experience; a Study in Human Nature, (New York: Collier Books,
1974).H. 42
merasa terdorong untuk mengadakan reaksi yang penuh hikmat dan sungguh-sungguh tanpa
menggerutu atau menolaknya. James juga menjelaskan bahwa agama dalam kehidupan
seseorang bukanlah suatu naluri yang berdiri sendiri atau emosi tertentu.

Agama adalah kata yang dapat digunakan untuk menjelaskan emosi atau perasaan
biasa. Cinta agama, misalnya, adalah cinta biasa dengan objek yang dicintainya adalah Tuhan;
takut agama adalah takut biasa yang objeknya hukum Tuhan. Gagasan James yang termuat
dalam buku The Variaties of Religius Experience telah mendorong para ahli psikologi untuk
mengadakan penelitian tetingkah laku beragama, sehingga bermunculan majalah-majalah atau
jurnal-jurnal yang membahas tentang psikologi agama. Sebagai contoh adalah terbitnya
majalah "The Journal of Religious Psychology" dan "The American Journal of Religious
Psychology and Education" pada tahun 1904. Pada tahun 1911, George M. Straton menerbitkan
buku "Psichology of Religoius Life". Dalam buku tersebut diungkap bahwa sumber agama
adalah konflik jiwa dalam diri individu. Sementara Flornoy (1901) berusaha mengumpulkan
semua penelitian psikologis dan menyusun prinsip-prinsip penelitian. Prinsip-prinsip tersebut
adalah:

1. Menjauhkan penelitian dari transendence,


2. Prinsip mempelajari perkembangan
3. Prinsip dinamik,
4. Prinsip perbandingan.11

Dalam perkembangannya, psikologi agama tidak hanya mengkaji kehidupan secara


umum, namun juga masalah-masalah khusus. Pembahasan tentang kesadaran beragama,
misalnya, dikupas oleh B. Pratt dalam bukunya "The Religius Consciousness” Perkembangan
beragamapun tidak luput dari kajian para ahli psikologi agama.

Piere Binet adalah salah satu tokoh psikologi agama awal yang membahas tentang
perkembangan jiwa keberagamaan. Menurut Binet, agama anak-anak tidak beda dengan agama
pada orang dewasa. Pada anak-anak, di mana mungkin juga dialami oleh orang dewasa, seperti
merasa kagum dalam menyaksikan alam ini, adanya kebaikan yang tidak terlihat, kepercayaan
akan kesalahan dan sebagaian dari pengalaman itu merupakan fakta-fakta asli yang tidak
dipengaruhi oleh lingkungan.

11
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII, 1991).h. 20-21.
Tokoh berikutnya yang muncul adalah Robert H. Thouless (1923). Thouless berusaha
mempelajari agama dari segi psikologis. Sementara dari beberapa tokoh psikologi juga
mengungkap tentang tingkah laku beragama. Sigmud Freud, tokoh psikoanalisa,
mengemukakan pendapat bahwa compultion dan obsession adalah agama tertentu yang rusak.
Freud menganalisa agama orang-orang primitif sebagai obyek kajiannya, dengan
menggambarkan sesembahan totem and tabbo, yang kemudian dibuat perbandingan antara
orang-orang yang terganggu jiwanya dengan orang-orang primitif. Di sinilah, menurut Freud,
ditemukan hubungan antara kompleks oudipus. Dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa
agama adalah gangguan jiwa dan kemunduran kembali kepada hidup yang berdasarkan
kelezatan.12

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Gordon W Allport dengan karyanya "The


Individual and His Religion" (1950), W.H. Clark dengan karyanya "The Psychology of
Religion". Masing-masing buku tersebut membahas perkembangan jiwa beragama sejak kecil
hingga dewasa.

Dari beberapa uraian yang telah diceritakan diatas, dapat disimpulkan bahwa kajian
pokok psikologi agama adalah; Pertama, psikologi agama menitikberatkan pada aspek
pengaruh, karenanya ada yang menyebut psikologi agama sebagai ilmu pengaruh, yakni ilmu
yang mempelajari sikap dan perilaku seseorang sebagai hasil pengaruh keyakinan atau
kepercayaan agama yang dianutnya. Kedua, psikologi agama mengkaji proses terjadinya
pengaruh tersebut. Psikologi agama mengkaji bagaimana proses terjadinya pengaruh suatu
kepercayaan atau keyakinan dalam menumbuhkembangkan jiwa keagamaan seseorang.
Ketiga, psikologi agama mengkaji kondisi keagamaan seseorang. Bagaimana terjadinya
kemantapan dan kegoncangan jiwa dalam keberagamaannya juga menjadi obyek kajian
penting psikologi agama. 13

Dalam proses pengamatan dan pengambilan informasi, psikologi agama tetap berpijak
pada prinsip-prinsip psikologi. Bagaimana pengaruh ajaran keagamaan, proses terjadinya
pembentukan suasana jiwa, serta bentuk kepribadian keagamaan seseorang. Tidak dapat
dipungkiri bahwa tasawuf merupakan salah satu cabang keilmuan dalam suatu agama yang
membahas tentang suasana hati atau kejiwaan sehingga tasawuf juga dapat masuk dalam materi

12
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. XIII, 1991)
13
Ikhrom, “Titik Singgung Antara Tasawuf, Psikologi Agama, dan Kesehatan Mental”. Dalam Jurnal
Teologia, Volume 19, Nomor. 1, Januari 2008, hal 5
kajian psikologi agama mengingat objek tujuan yang dibahas adalah sama, yaitu jiwa manusia.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa kajian psikologi agama sama dengan kajian psikologi
tasawuf karena psikologi tasawuf adalah salah satu cabang dari psikologi agama.

2.3 Ruang Lingkup Psikologi Agama dan Psikologi Tasawuf

Menurut Zakiyah Daradjat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi
agama mengenai: 1)Bermacam-macam emosi yang menjalar di luar kesadaran yang ikut serta
dalam kehidupan beragama orang biasa ( umum ). Contoh : perasaan tenang, pasrah dan
menyerah. 2)Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap
Tuhannya. Contohnya: kelegaan batin. 3)Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh
kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati/ akhirat pada tiap-tiap orang. 4)Meneliti dan
mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan
surga dan neraka serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan
tingkah lakunya dalam kehidupan. 5)Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh
penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batinnya. Semua itu tercangakup
dalam kesadaran beragama (religious counsciousness) dan pengalaman agama (religious
experience). 14 Konsep-konsep tersebut sebenarnya juga telah terkandung dalam konsep dasar
tasawuf yang meliputi takhalli (penyucian diri), Tahalli (menghiasi diri), dan Tajalli (Ma’rifat).

14
Cindra Nurdi, Hubungan Tasawuf dengan Psikologi Agama,
https://www.academia.edu/25461506/hubungan_tasawuf_dengan_psikologi_agama, 3. Dikutip pada 6
september 2019 pukul 2:37.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Epistemologi psikologi tasawuf artinya hakikat psikologi tasawuf, maksudnya apa yang
akan dibahas diantaranya meliputi seputar sejarah, ruang lingkup, dan metode yang digunakan.
Sejarah perkembangan psikologi tasawuf tidak terlepas dari sejarah perkembangan psikologi
agama sebagai induk. Nyatanya, pendekatan yang digunakan cukup berbeda dimana psikologi
agama lebih cenderung menggunakan pendekatan ilmiah ynag bersifat lebih empiris sedangkan
psikologi tasawuf menggunakan pendekatan batiniah atau mistik yang lebih bersifat subjektif.
Namun, walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa keduanya memiliki kesamaan yang
signifikan pada ruang lingkupnya, yaitu jiwa manusia, dan tujuan dari ilmu tersebut, yakni
penataan sifat manusia agar menjadi lebih baik, tidak menyimpang dan sesuai untuk
dipraktekkan dalam kehidupan atau dapat juga disebut disebut pembersihan atau penyucian
jiwa.

Anda mungkin juga menyukai