Pendahuluan
Puasa, sebagaimana yang telah kita ketahui, adalah ibadah wajib yang
harus dilakukan oleh setiap muslim, karena merupakan bagian rukun
Islam. Tema bahasan di atas dipandang cukup menarik, karena selama
ini puasa sering dikaji dari sisi fiqh, dan jarang ditelaah melalui pendekatan
psikologi. Padahal dalam realitas, ibadah puasa selain mengandung
dimensi jasmaniah, juga dimensi spiritual dan psikologis.
Dimensi spiritual puasa tercermin pada dorongan pengendalian hawa
nafsu sebagai upaya internalisasi nilai-nilai ketuhanan dalam tingkah
laku keseharian, sementara dimensi psikologisnya dapat dilihat pada
dampak psikologis yang diakibatkan oleh pencegahan makan, minum
dan perbuatan tercela.
MotivasiPuasa
Selain motivasi, dalam psikologi, dikenal pula istilah motif yang
merupakan keadaan internal (fisiologis/ psikologis) yang mendorong
terjadinya suatu tingkah laku untuk tujuan tertentu1, atau dalam term
lain diartikan sebagai rangsangan, dorongan/ pembangkit tenaga bagi
terjadinya perilaku psikologis2.
Selain pendapat di atas, ada pemikiran yang menyatakan bahwa motif
adalah daya dorong sebagai potensi yang menggerakkan seseorang untuk
bertingkah laku psikologis3. Pendapat ini dapat dimaklumi, karena
memiliki konsistensi dengan pandangan lain yang mengetengahkan
bahwa motif merupakan energi dasar yang terdapat dalam diri seseorang4.
Motif dan motivasi merupakan dua hal dalam satu kesatuan. Motif,
intinya adalah daya dorong untuk bertingkah laku5, sedang motivasi
adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila
kebutuhan untuk mencapai tujuan terasa sangat mendesak.6
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa motivasi merupakan istilah
yang lebih umum, yang menunjuk kepada proses gerakan, termasuk
kebutuhan yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu,
tingkah laku psikologis yang ditimbulkan dan tujuan yang mendasari
tingkah laku tersebut7.
Atas dasar pandangan ini, maka tingkah laku yang digerakkan hampir
pasti memiliki keterkaitan dengan kebutuhan yang ingin dicapai8 baik
yang bersifat biologis maupun dalam keterkaitannya dengan kebutuhan
psikologis9. Pandangan ini secara metodologis, dapat dibenarkan karena
memiliki koherensi dengan drive theory (teori dorongan) yang menyatakan
bahwa organisme itu mempunyai dorongan-dorongan tertentu. Dorongan
ini berkaitan dengan kebutuhan yang menggerakkan adanya tingkah
laku psikologis10, sebagai usaha untuk mencapai tujuan11.
Fokus pembahasan tentang motivasi tersebut lebih diorientasikan pada
faktor-faktor apa saja yang memotivasi timbulnya kesadaran untuk
melakukan ibadah puasa. Dalam teori psikologi ada beberapa kebutuhan
yang mendorong timbulnya perilaku untuk melaksanakan puasa :
1. Kebutuhan Rasa Aman
154
155
156
157
PuasadalamPerspektifPsikologi
Kajian ini muncul dilatarbelakangi oleh pandangan formalitas tentang
puasa yang pemahamannya cenderung dibatasi oleh rambu-rambu syarat
dalam tataran pra dan rambu-rambu rukun dalam tataran proses.
Konsekuensi dari pandangan ini memunculkan tingkah laku puasa yang
kurang ideal, karena hanya sekedar memenuhi tuntutan syarat dan rukun
dalam tataran legalitas, sementara sisi hakikat dari puasa yang berupa
penghayatan dan pengamalan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas kurang
mendapat perhatian.
Atas dasar latar belakang tersebut, maka perlu adanya kajian tentang
puasa dari sudut pandang psikologi yang berbasis Sufistik. Puasa dalam
visi psikologi sufistik, tidak hanya sebatas menahan perut dari berbagai
makanan dan minuman, melainkan harus disertai upaya pengendalian
hawa nafsu agar tidak terjebak dalam lingkaran dorongan setan.36
Pemikiran ini didasarkan atas hakikat puasa yang lebih mengedepankan
pengembangan jiwa positif dan sempurna 37, daripada sekedar
mengendalikan perut dari rasa lapar dan haus38.
Jiwa positif dan sempurna adalah indikasi kesehatan psikologis. Jika
ibadah puasa yang dilakukan seseorang tidak dapat berfungsi sebagai
pengembangan jiwa ke arah yang lebih sehat, maka hubungan puasa
dengan kesehatan psikologis cenderung negatif.
Ini artinya, bahwa orang yang melakukan puasa tersebut kurang sehat
jiwanya. Karena disamping motivasi psikologisnya lebih didasarkan pada
niat yang amat rendah, juga pandangan mengenai dirinya cenderung
tidak objektif39, akibat dikuasai oleh dorongan-dorongan Id, yang dalam
teori Psikoanalisis lebih berpihak pada prinsip kesenangan (pleasure
principle)40.
Padahal puasa yang dilakukan dengan motivasi psikologis yang tinggi
dapat dijadikan sarana pengembangan jiwa yang berbasis kejujuran,
seperti yang dinyatakan Nabi Muhammad : Innama al shaum amanah
falyahfazh ahadukum amanatahu, Rawahu Ibnu Masud. (sesungguhnya
puasa itu hanyalah proses pengembangan rasa kejujuran, karena itu jagalah
amanat tersebut).
Hadits tersebut memberikan isyarat kepada kita, bahwa puasa itu
secara psikologis dapat dijadikan sarana pengembangan kesehatan jiwa,
dalam bentuk kejujuran. Kejujuran ini dalam psikologi Sufistik, harus
selalu berbasis Ketuhanan (al shidq maa Allah)41, karena substansi
kejujuran tersebut bersumber dari wilayah transendental. Rasa kejujuran
yang berbasis transendental, dalam teori psikologi agama, amat
berpengaruh terhadap kejujuran hati nurani dan kejujuran sosial. Hal
ini disebabkan adanya hubungan antara keyakinan pengawasan Tuhan
158
PuasadanKepribadianSehat
Term kepribadian sehat dalam psikologi Sufistik lebih dikenal dengan
istilah kepribadian muthmainnah43. Istilah ini dibangun atas dasar informasi
al Quran tentang al nafs al muthmainnah pada surat al Fajr : 27-28.
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi
kesempurnan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela
dan mencintai sifat-sifat yang terpuji44. Kepribadian ini senantiasa
berorientasi pada kesucian psikologis, sehingga dirinya menjadi lebih
tenang45, karena selalu digerakkan oleh dorongan hati yang religius46.
Sementara kepribadian sehat dalam pandangan Ibnu Qayyim al Jauzi,
lebih diwarnai oleh sifat-sifat terpuji, antara lain : tawadhu, jud
(dermawan), shiyanah (memelihara diri), syajaah, iqtishad (ekonomis),
nashihah (memberi peringatan), shabr, afw (pemaaf), tsiqqah (dapat
dipercaya), riqqat al qalb (hati lembut), maujadah (iri hati atas kebaikan),
munafasah (berlomba dalam kebaikan), hubb fi Allah (mencintai Allah),
tawakkal (menyerahkan diri setelah berusaha) dan ihtiyath (hati-hati)47.
Secara substansial, pandangan tentang kepribadian di atas, hampir
sejalan dengan pemikiran al Ghazali, bahwa kepribadian sehat lebih
ditentukan oleh motivasi yang berbasis al fadhilah wa kamal al nafs, seperti
sabar, syukur, ikhlas, jujur, mawas diri48, kebajikan jiwa49 dan kebaikan
hati50. Motivasi tersebut dalam bahasa psikologi humanistik Maslow,
disebut higher motivation 51 , yaitu nilai-nilai keutamaan yang
memungkinkan manusia berada dalam keadaan pertumbuhan dan
perkembangan psikologis secara penuh. Dengan demikian, kepribadian
sehat, menurut Maslow, adalah keadaan psikologis yang selalu termotivasi
oleh higher motivation dalam bentuk rasa cinta kebenaran, kebaikan,
keindahan, kesatuan, kesempurnaan, keadilan, ketentraman,
kesederhanaan dan kejenakaan52.
Konsep-konsep kepribadian sehat sebagaimana dijelaskan di depan
amat relevan bila dihadapkan dengan hakikat puasa yang lebih menaruh
perhatian pada pengembangan kepribadian yang sehat secara psikologis
dan mental.
Hakikat puasa, dari sisi psikologi adalah proses pengendalian diri untuk
tidak melakukan tingkah laku negatif yang digerakkan oleh motivasi
syaithaniah, yang dalam terminologi al Ghazali disebut : qahr al syahawat
li aduww Allah53. Jika proses pengendalian diri ini dapat dilakukan secara
159
PuasadanKesalehanTingkahLakuPsikologis
Manusia hubungannya dengan tingkah lakunya, secara psikologis tidak
hanya dimaknai dari sisi fisik dan kejiwaan dalam tataran kemanusiaan,
160
161
162
Penutup
Hakikat puasa pada dasarnya adalah pengembangan tingkah laku
psikologis yang berbasis moralitas agama. Dengan demikian, puasa tidak
cukup hanya mengejar prinsip-prinsip formalitas yang bersifat simbolik,
melainkan yang jauh lebih penting dalam ibadah ini adalah
pengembangan inner potential. Pentingnya pengembangan potensi ini,
didasarkan atas teori psikologi Sufistik yang menyatakan bahwa potensi
ruhaniah merupakan penentu utama bagi baik buruknya tingkah laku
lahiriah. Oleh karena itu, wajar jika psikologi ini lebih menaruh perhatian
pada dimensi spiritual hubungannya dengan tingkah laku yang berbasis
Ketuhanan (al shidq maa Allah).
Puasa dipandang dari sisi psikologi, selain merupakan ibadah yang
berpotensi untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusiawi, juga berkaitan
dengan pengembangan psikologis yang lebih positif. Karena itu puasa
yang dilakukan oleh seseorang sering dimotivasi oleh kebutuhankebutuhan dasar yang ada dalam dirinya. Kebutuhan dasar yang selalu
menggerakkan motivai puasanya adalah kebutuhan akan rasa aman, rasa
kasih sayang, rasa penghargaan, dan rasa perkembangan psikologis.
Jika kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) tersebut dapat terpenuhi
secara baik melalui puasa, maka tidak mustahil ibadah ini dapat membawa
implikasi bagi terwujudnya kesalehan tingkah laku dan kepribadian sehat
yang merupakan indikasi perkembangan kejiwaan yang lebih baik dan
sempurna.[]
Catatan Akhir:
Ahmad Rajih, Ushul Ilm al Nafs, (Kairo, Al Maktab al Mishr al Hadits
li al Thabaah wa al Nasyr, tanpa tahun), h. 73
2
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1983), h. 57
3
Sukanto Mm dan Dardiri Hasyim, Nafsiologi : Refleksi Analisis tentang
Diri dan Tingkah Laku Manusia, (Surabaya, Risalah Gusti, 1995), h. 157
4
Bastin J. Parangimalil, Maslows Holistic Psychology and Humanistic
Religion, dalam Journal of Dharma, Volume X, (India : 1985), h. 201
5
Ramadhan Muhammad al Qadzdzafi, Ilm al Nafs al Islami, (Tripoli,
Mansyurat al Shahifah al Dawah al Islamiyah, 1990), h. 39
6
Abd. Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta, PT. Tiara
Wacana, 1993), h. 114
7
Sarlito Wirawan Sarwono, loc. cit.
8
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta, Rineka
Cipta dan Depdikbud, 1999), h. 80-81
1
163
164
165
Lihat al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid IV, pada tema al shabr wa al
syukr, al ikhlas wa al shidq, dan al muhasabah.
49
Al Ghazali, Mizan al Amal, op. cit., h. 97
50
Ibid., h. 67
51
Abraham H. Maslow, A Theory of Metamotivation : the Biological
Rooting of the Value Life dalam Journal of Humanistic Psychology, Volume
VII, Number 2, 1967, h. 36
52
Abraham H. Maslow, The Farther Reaches of Human Nature, (New
York, Penguin Books, 1976), h. 308-309
53
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid I, op. cit., h. 274
54
Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna, (Jakarta,
Paramadina, 1996), h. 57
55
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, op. cit., h. 90
56
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid I, op. cit., h. 277-279
57
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid IV, op. cit., h. 63-84
58
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, op. cit., h. 205
59
RA. Nicholson, The Idea of Personality in Sufism, (Delhi, Idarah
Adabiyah Jayyed Press, 1979), h. 30
60
Karena tubuh jasmani adalah bagian yang paling tidak sempurna
pada manusia yang suatu saat komposisinya bisa rusak (Al Ghazali, Maarij
al Quds fi Madarij Maarifat al Nafs, edisi Muhammad Mushthafa Abu al
Ala, (Kairo, Maktabat al Jundi, 1967), h. 26
61
Al Ghazali, Miraj al Salikin, dalam Majmuat Rasail al Imam al
Ghazali, op. cit., h. 63
62
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid III, op. cit., h. 12
63
Al Ghazali, Raudhat al Thalibin wa Umdat al Salikin, dalam
Majmuat Rasail al Imam al Ghazali, op. cit., h. 147
64
Hati yang sehat dalam perspektif kesehatan mental adalah
terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi kejiwaan
satu dengan lainnya, dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia
dengan dirinya sendiri dan lingkungannya. (Zakiah Daradjat, Kesehatan
Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta, Lembaga
Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1984), h. 4
65
Al Ghazali, Raudhat al Thalibin wa Umdat al Salikin, dalam op.
cit., h. 145
66
Ahmad Farid, Tazkiyat al nafs, diterjemahkan oleh Nabhani Idris,
dengan judul Pembersih Jiwa, (Bandung, Pustaka, 1996), h. 21
67
Al Ghazali, Al Maqshad al Asna fi Syarh Asma al Husna, (Bairut, Dar
al Kutub al Ilmiyyah, tanpa tahun), h. 28
68
Viktor Said Basil, Manhaj al Bahts an al Maarifah ind al Ghazali,
(Bairut, Dar al Kitab al Libnani, tanpa tahun), h. 155
69
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid I, op. cit., h. 101-102
48
166
Ibid., h. 104
C.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terjemahan Kartini Kartono,
(Jakarta, Rajawali, 1989), h. 90
70
71
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana,
1993
Abdullah Faqih, Urgensi Kecerdasan Emosi dalam Pendidikan, dalam
Jawa Pos, (Radar Semarang), Selasa, 30 januari 2001
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis,
Jakarta : Darul Falah, 1999
Abd al Razzaq al Kalasyani, Mujam al Isthilahat al Shufiyyah, Kairo : Dar
al Inad, 1992
Achmad Mubarok, Jiwa dalam al Quran, Jakarta : Paramadina, 2000
Ahmad Farid, Tazkiyat al Nafs, diterjemahkan oleh Nabhani Idris, dengan
judul Pembersih Jiwa, Bandung : Pustaka, 1996
Ahmad Rajih, Ushul Ilm al Nafs, Kairo : Al Maktab al Mishr al Hadits li
al Thabaah wa al Nasyr, tanpa tahun
Bastaman, Hanna Djumhana, Meraih Hidup Bermakna, Jakarta :
Paramadina, 1996
Basil, Viktor Said, Manhaj al Bahts an al Maarifah ind al Ghazali, Bairut :
Dar al Kitab al Libnani, tanpa tahun
Bimo Walgito, Psikologi Sosial : Suatu Pengantar, Yogyakarta : Andi Offset,
1990
Chaplin, C.P., Kamus Lengkap Psikologi, terjemahan Kartini Kartono,
Jakarta : Rajawali, 1989
Crapps, Robert W., An Introduction to Psychology of Religion, diterjemahkan
oleh A.M Hardjana, dengan judul :Dialog Psikologi dan Agama,
Yogyakarta : Kanisius, 1993
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta
dan Depdikbud, 1999
167
168
169
170