Anda di halaman 1dari 18

Psikoterapi

Puasa, dilihat dari sisi psikologi, selain memiliki


keterkaitan dengan human motivation, juga
berhubungan dengan pengembangan potensi
batin dalam konteks tingkah laku psikologis. Motivasi
puasa yang digerakkan oleh kebutuhan dasar (basic
need) yang konstruktif, akan membawa implikasi
positif bagi tingkah laku psikologis. Pengaruh ini
didasarkan atas sebuah teori psikologi, bahwa
motivasi itu selalu berhubungan dengan kebutuhan,
tingkah laku dan tujuan yang diharapkan. Jika puasa
dapat dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi
berbagai kebutuhan dasar manusiawi, maka ia akan
mampu mengembangkan kepribadian sehat yang
melahirkan tingkah laku terpuji.

Puasa dan Pengembangan


Tingkah Laku Positif:
Perspektif Psikologi
Oleh Abdullah Hadziq*

Kata Kunci: motivasi, human motivation, higher motivation, emotional


quotient, takhliyat al nafs, tahliyat al nafs, kesehatan
psikologis, al nafs al muthmainnah, qahr al syahawat, potensi
rabbaniyyah,potensi syaithaniyyah

Pendahuluan
Puasa, sebagaimana yang telah kita ketahui, adalah ibadah wajib yang
harus dilakukan oleh setiap muslim, karena merupakan bagian rukun
Islam. Tema bahasan di atas dipandang cukup menarik, karena selama
ini puasa sering dikaji dari sisi fiqh, dan jarang ditelaah melalui pendekatan
psikologi. Padahal dalam realitas, ibadah puasa selain mengandung
dimensi jasmaniah, juga dimensi spiritual dan psikologis.
Dimensi spiritual puasa tercermin pada dorongan pengendalian hawa
nafsu sebagai upaya internalisasi nilai-nilai ketuhanan dalam tingkah
laku keseharian, sementara dimensi psikologisnya dapat dilihat pada
dampak psikologis yang diakibatkan oleh pencegahan makan, minum
dan perbuatan tercela.

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Mengingat pentingnya dimensi psikologis dan spiritual dari ibadah


puasa tersebut, maka kajian tentang puasa dan pengembangan tingkah
laku positif dalam perspektif psikologi, menjadi relevan untuk
dikedepankan dalam makalah ini. Fokus kajian ini, memuat bahasan
tentang motivasi puasa, perspektif psikologi terhadap puasa, puasa
hubungannya dengan kepribadian sehat dan tingkah laku psikologis yang
positif.

MotivasiPuasa
Selain motivasi, dalam psikologi, dikenal pula istilah motif yang
merupakan keadaan internal (fisiologis/ psikologis) yang mendorong
terjadinya suatu tingkah laku untuk tujuan tertentu1, atau dalam term
lain diartikan sebagai rangsangan, dorongan/ pembangkit tenaga bagi
terjadinya perilaku psikologis2.
Selain pendapat di atas, ada pemikiran yang menyatakan bahwa motif
adalah daya dorong sebagai potensi yang menggerakkan seseorang untuk
bertingkah laku psikologis3. Pendapat ini dapat dimaklumi, karena
memiliki konsistensi dengan pandangan lain yang mengetengahkan
bahwa motif merupakan energi dasar yang terdapat dalam diri seseorang4.
Motif dan motivasi merupakan dua hal dalam satu kesatuan. Motif,
intinya adalah daya dorong untuk bertingkah laku5, sedang motivasi
adalah motif yang sudah menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila
kebutuhan untuk mencapai tujuan terasa sangat mendesak.6
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa motivasi merupakan istilah
yang lebih umum, yang menunjuk kepada proses gerakan, termasuk
kebutuhan yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu,
tingkah laku psikologis yang ditimbulkan dan tujuan yang mendasari
tingkah laku tersebut7.
Atas dasar pandangan ini, maka tingkah laku yang digerakkan hampir
pasti memiliki keterkaitan dengan kebutuhan yang ingin dicapai8 baik
yang bersifat biologis maupun dalam keterkaitannya dengan kebutuhan
psikologis9. Pandangan ini secara metodologis, dapat dibenarkan karena
memiliki koherensi dengan drive theory (teori dorongan) yang menyatakan
bahwa organisme itu mempunyai dorongan-dorongan tertentu. Dorongan
ini berkaitan dengan kebutuhan yang menggerakkan adanya tingkah
laku psikologis10, sebagai usaha untuk mencapai tujuan11.
Fokus pembahasan tentang motivasi tersebut lebih diorientasikan pada
faktor-faktor apa saja yang memotivasi timbulnya kesadaran untuk
melakukan ibadah puasa. Dalam teori psikologi ada beberapa kebutuhan
yang mendorong timbulnya perilaku untuk melaksanakan puasa :
1. Kebutuhan Rasa Aman

154

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Secara human nature, setiap manusia itu hampir pasti membutuhkan


rasa keamanan12 dari berbagai penyakit jasmani dan ruhani. Untuk
memenuhi kebutuhan ini banyak cara yang dilakukan oleh mereka, antara
lain melalui ibadah puasa. Puasa, dalam pemikiran Hembing, selain
dipandang sebagai ibadah mahdhah, juga dapat membantu usaha
pemenuhan kebutuhan rasa aman dari berbagai penyakit fisik, antara
lain stroke, pengerasan pembuluh darah, diabetes, kanker hati, kanker
lambung, hepatetis, pendarahan otak, gangguan ginjal, radang
tenggorokan, radang hidung dan radang kandung kemih13.
Selain bermanfaat bagi kesehatan jasmani, puasa juga dapat
meningkatkan rasa keamanan psikologis (kesehatan ruhani) hingga
menjadi lebih baik. Hal ini sejalan dengan temuan dunia kedokteran
jiwa yang membuktikan bahwa puasa dapat meningkatkan kecerdasan
rasa atau Emotional Quotient (EQ) manusia14. Sementara EQ, dalam
tataran psikologis, memiliki daya yang mampu mendorong munculnya
berbagai perasaan positif, yaitu : (a) perasaan intelektual, (b) perasaan
estetis, (c) perasaan etis, (d) perasaan menyangkut diri, (e) perasaan
sosial, dan (f) perasaan religius15.
Oleh karena itu pengembangan EQ hubungannya dengan kesehatan
psikologis, saat sekarang menjadi fokus perhatian para ahli psikologi,
karena peran EQ dipandang lebih menentukan keberhasilan hidup (80%)
dibanding dengan peran kecerdasan fikir (IQ) yang hanya sekitar (20%)16.
Atas dasar pemikiran di atas, dapat ditarik kesimpulannya bahwa
motivasi puasa dari sisi psikologi, sebagian ditentukan oleh kebutuhan
akan rasa keamanan (kesehatan), baik yang bersifat jasmaniah maupun
ruhaniah. Kesimpulan ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad yang
menyatakan : Shumu tashihhu (berpuasalah kamu sekalian, niscaya
kalian akan sehat jasmani maupun ruhaniah). Sabda Nabi ini
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara puasa dan
kebutuhan rasa keamanan dari berbagai penyakit fisik maupun ruhani..
Kebutuhan rasa keamanan ini biasanya tidak akan terpuaskan,
manakala puasa seseorang dihadapkan pada keadaan-keadaan tidak wajar
yang dalam bahasa Maslow disebut unfairness17, yaitu sebuah keadaan
yang mendorong seseorang untuk selalu berbuka puasa secara berlebihan,
dan menjauhkan diri dari upaya pengembangan psikologis yang dalam
terminologi al Ghazali dikatakan takhliyat al nafs dan tahliyat al nafs18.
2. Kebutuhan Rasa Kasih Sayang
Salah satu kebutuhan psikologis dalam hidup manusia adalah rasa
kasih sayang dari pihak lain. Kehilangan rasa kasih sayang tersebut akan
menyebabkan kesengsaraan19. Keadaan ini dapat diamati dalam dunia
realitas bahwa tidak sedikit rumah tangga yang hancur berantakan karena
kehilangan kasih sayang antara satu sama lain.

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

155

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Demikian juga, orang yang merasa tidak mendapatkan kasih sayang


dari Allah, jiwanya cenderung keruh, gersang dan gelisah yang sering
menimbulkan perbuatan kekerasan dan kejahatan. Akibatnya, seseorang
kadangkala sampai hati membunuh anak kandung sendiri, menganiaya
orang tua, mencuri dan merampas hak milik orang lain.
Salah satu faktor yang memotivasi orang untuk melakukan ibadah
puasa adalah kebutuhan akan rasa kasih sayang Tuhan. Hal ini
didasarkan pada kerangka pikir, bahwa ibadah (puasa) merupakan bentuk
pengabdian kepada Tuhan dengan motivasi untuk mendapatkan kasih
sayang dariNya20. Dengan demikian, kasih sayang Allah adalah kebutuhan
psikologis yang mendorong seseorang untuk berpuasa. Kebutuhan ini,
selain bersifat naluriah dan insaniah21, juga bersifat intrinsik. Pandangan
ini sejalan dengan pemikiran Erich Fromm22 yang menyatakan bahwa :
semua manusia secara intrinsik membutuhkan agama23 (termasuk di
dalamnya kebutuhan akan rasa kasih sayang Tuhan).
Jika kebutuhan rasa kasih sayang ini telah terpenuhi, maka secara
psikologis akan membantu dan mengisi jiwa hingga menjadi semakin
sehat secara mental24. Indikasi terpenuhinya kebutuhan tersebut dapat
dirasakan setelah adanya perubahan psikologis yang lebih sehat.25
Semakin tinggi perasaan kasih sayang Allah terhadap diri seseorang,
maka semakin sehat dan bersih pula kualitas kejiwaannya. Hal ini akan
membawa implikasi bagi kesalehan tingkah laku dan kemulyaan budi
pekerti26. Karena tingkah laku lahiriah, dalam teori psikologi, lebih
ditentukan oleh keadaan batin yang melingkarinya.
Keadaan batin tidak akan semakin kondusif manakala kebutuhan
rasa kasih sayang Allah dalam batin tidak terpenuhi secara baik. Oleh
karena itu, manusia secara psikologis, terdorong untuk memenuhi
kebutuhan batinnya melalui puasa, karena ibadah ini merupakan
kebutuhan religius yang bersifat intrinsik. Dengan demikian, antara puasa
dan kebutuhan rasa kasih sayang Allah memiliki hubungan yang
signifikan. Ini artinya, bahwa faktor yang memotivasi manusia untuk
melakukan puasa adalah kebutuhan akan rasa kasih sayang Allah.
Semakin tinggi kebutuhan rasa kasih sayang ini, maka semakin tinggi
pula motivasi ibadah puasanya.
3. Kebutuhan akan Penghargaan
Secara psikologis, hampir semua orang memiliki motivasi ke arah
kebutuhan akan penghargaan, yang dalam bahasa Maslow disebut esteem
need, yaitu kebutuhan akan adanya pengakuan dan perhatian27.
Jika kebutuhan tersebut terpenuhi dengan baik, maka secara psikologis
akan membawa perasaan kekuatan, dan kemampuan dalam melakukan
sesuatu (termasuk puasa).

156

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Sebaliknya, bila ada rintangan yang menghambat terhadap pemenuhan


kebutuhan ini, maka akan menimbulkan perasaan kelemahan dan
keadaan tidak berdaya (helplessness) yang melahirkan keputusasaan atau
kecenderungan neurotis28 (neurotic trends)29.
Salah satu faktor yang mendorong munculnya tindakan untuk
melakukan puasa adalah kebutuhan akan penghargaan. Kebutuhan ini
dapat dikategorikan sebagai kebutuhan psikologis30 yang bersifat
bawaan.31 Pemikiran tentang motivasi puasa yang digerakkan oleh
kebutuhan penghargaan, lebih didasarkan atas kerangka pikir psikologi
bahwa munculnya reaksi itu hampir selalu diawali oleh keberadaan
rangsangan, yang dalam istilah John B. Watson disebut hukum StimulusRespon32.
Seseorang terdorong untuk melakukan ibadah puasa, hampir pasti
disebabkan adanya stimulus yang dijanjikan oleh Allah. Jika demikian,
maka kebutuhan akan penghargaan (pahala) merupakan salah satu faktor
yang menggerakkan tingkah laku puasa.
Pandangan ini lebih didasarkan atas sebuah realitas keagamaan, bahwa
ibadah puasa itu selain diwajibkan bagi orang-orang yang beriman, juga
di dalamnya mengandung prinsip-prinsip hukum rangsangan dan reaksi.
Oleh karena itu wajar jika semangat pelaksanaan ibadah puasa tersebut,
lebih didasarkan pada kebutuhan akan pahala/ penghargaan dari Allah.
4. Kebutuhan akan Perkembangan Psikologis yang Lebih Sempurna
Sebagian faktor yang menggerakkan tingkah laku puasa adalah
kebutuhan akan perkembangan psikologis yang lebih positif dan sempurna.
Sementara kemungkinan untuk dapat mencapai perkembangan tersebut
adalah hampir setiap orang, karena dalam diri mereka terdapat kapasitas
untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal33.
Kebutuhan di atas, dari sisi psikologi, termasuk dalam tataran motivasi
yang amat tinggi, seperti motivasi puasa yang hanya didasarkan atas
kebutuhan akan keridhaan Allah dan dekat denganNya. Motivasi ini
oleh al Ghazali, didudukkan pada peringkat paling istimewa34, karena
lebih didorong oleh niat yang luhur, bukan oleh keinginan untuk
mendapatkan imbalan pahala dan surga dari Allah.
Munculnya kebutuhan akan perkembangan yang lebih positif ini, selain
didorong oleh tujuan puasa yang diisyaratkan oleh al Quran, juga
didorong oleh faktor ruhaniah yang selalu cenderung ke arah keutamaankeutamaan yang berupa kejernihan psikologis (jaudat al dzihn) dan
kebaikan budi pekerti (husn al khuluq)35.

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

157

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

PuasadalamPerspektifPsikologi
Kajian ini muncul dilatarbelakangi oleh pandangan formalitas tentang
puasa yang pemahamannya cenderung dibatasi oleh rambu-rambu syarat
dalam tataran pra dan rambu-rambu rukun dalam tataran proses.
Konsekuensi dari pandangan ini memunculkan tingkah laku puasa yang
kurang ideal, karena hanya sekedar memenuhi tuntutan syarat dan rukun
dalam tataran legalitas, sementara sisi hakikat dari puasa yang berupa
penghayatan dan pengamalan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas kurang
mendapat perhatian.
Atas dasar latar belakang tersebut, maka perlu adanya kajian tentang
puasa dari sudut pandang psikologi yang berbasis Sufistik. Puasa dalam
visi psikologi sufistik, tidak hanya sebatas menahan perut dari berbagai
makanan dan minuman, melainkan harus disertai upaya pengendalian
hawa nafsu agar tidak terjebak dalam lingkaran dorongan setan.36
Pemikiran ini didasarkan atas hakikat puasa yang lebih mengedepankan
pengembangan jiwa positif dan sempurna 37, daripada sekedar
mengendalikan perut dari rasa lapar dan haus38.
Jiwa positif dan sempurna adalah indikasi kesehatan psikologis. Jika
ibadah puasa yang dilakukan seseorang tidak dapat berfungsi sebagai
pengembangan jiwa ke arah yang lebih sehat, maka hubungan puasa
dengan kesehatan psikologis cenderung negatif.
Ini artinya, bahwa orang yang melakukan puasa tersebut kurang sehat
jiwanya. Karena disamping motivasi psikologisnya lebih didasarkan pada
niat yang amat rendah, juga pandangan mengenai dirinya cenderung
tidak objektif39, akibat dikuasai oleh dorongan-dorongan Id, yang dalam
teori Psikoanalisis lebih berpihak pada prinsip kesenangan (pleasure
principle)40.
Padahal puasa yang dilakukan dengan motivasi psikologis yang tinggi
dapat dijadikan sarana pengembangan jiwa yang berbasis kejujuran,
seperti yang dinyatakan Nabi Muhammad : Innama al shaum amanah
falyahfazh ahadukum amanatahu, Rawahu Ibnu Masud. (sesungguhnya
puasa itu hanyalah proses pengembangan rasa kejujuran, karena itu jagalah
amanat tersebut).
Hadits tersebut memberikan isyarat kepada kita, bahwa puasa itu
secara psikologis dapat dijadikan sarana pengembangan kesehatan jiwa,
dalam bentuk kejujuran. Kejujuran ini dalam psikologi Sufistik, harus
selalu berbasis Ketuhanan (al shidq maa Allah)41, karena substansi
kejujuran tersebut bersumber dari wilayah transendental. Rasa kejujuran
yang berbasis transendental, dalam teori psikologi agama, amat
berpengaruh terhadap kejujuran hati nurani dan kejujuran sosial. Hal
ini disebabkan adanya hubungan antara keyakinan pengawasan Tuhan

158

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

dengan sikap yang bernuansa kemanusiaan. Apabila keyakinan ini telah


menjadi bagian integral dari kepribadian seseorang, maka keyakinannya
itu akan mengawasi segala sikap dan perasaannya42, termasuk perasaan
kejujuran dengan masyarakat lingkungannya.

PuasadanKepribadianSehat
Term kepribadian sehat dalam psikologi Sufistik lebih dikenal dengan
istilah kepribadian muthmainnah43. Istilah ini dibangun atas dasar informasi
al Quran tentang al nafs al muthmainnah pada surat al Fajr : 27-28.
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi
kesempurnan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela
dan mencintai sifat-sifat yang terpuji44. Kepribadian ini senantiasa
berorientasi pada kesucian psikologis, sehingga dirinya menjadi lebih
tenang45, karena selalu digerakkan oleh dorongan hati yang religius46.
Sementara kepribadian sehat dalam pandangan Ibnu Qayyim al Jauzi,
lebih diwarnai oleh sifat-sifat terpuji, antara lain : tawadhu, jud
(dermawan), shiyanah (memelihara diri), syajaah, iqtishad (ekonomis),
nashihah (memberi peringatan), shabr, afw (pemaaf), tsiqqah (dapat
dipercaya), riqqat al qalb (hati lembut), maujadah (iri hati atas kebaikan),
munafasah (berlomba dalam kebaikan), hubb fi Allah (mencintai Allah),
tawakkal (menyerahkan diri setelah berusaha) dan ihtiyath (hati-hati)47.
Secara substansial, pandangan tentang kepribadian di atas, hampir
sejalan dengan pemikiran al Ghazali, bahwa kepribadian sehat lebih
ditentukan oleh motivasi yang berbasis al fadhilah wa kamal al nafs, seperti
sabar, syukur, ikhlas, jujur, mawas diri48, kebajikan jiwa49 dan kebaikan
hati50. Motivasi tersebut dalam bahasa psikologi humanistik Maslow,
disebut higher motivation 51 , yaitu nilai-nilai keutamaan yang
memungkinkan manusia berada dalam keadaan pertumbuhan dan
perkembangan psikologis secara penuh. Dengan demikian, kepribadian
sehat, menurut Maslow, adalah keadaan psikologis yang selalu termotivasi
oleh higher motivation dalam bentuk rasa cinta kebenaran, kebaikan,
keindahan, kesatuan, kesempurnaan, keadilan, ketentraman,
kesederhanaan dan kejenakaan52.
Konsep-konsep kepribadian sehat sebagaimana dijelaskan di depan
amat relevan bila dihadapkan dengan hakikat puasa yang lebih menaruh
perhatian pada pengembangan kepribadian yang sehat secara psikologis
dan mental.
Hakikat puasa, dari sisi psikologi adalah proses pengendalian diri untuk
tidak melakukan tingkah laku negatif yang digerakkan oleh motivasi
syaithaniah, yang dalam terminologi al Ghazali disebut : qahr al syahawat
li aduww Allah53. Jika proses pengendalian diri ini dapat dilakukan secara

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

159

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

baik, maka tidak mustahil akan melahirkan potensi-potensi positif yang


menurut visi Bastaman disebut kualitas-kualitas insani54, dalam bentuk
kesadaran akan pengembangan diri, dan hasrat untuk hidup bermakna.
Kedua faktor psikologis ini merupakan indikasi bagi kepribadian yang
sehat.
Kesadaran akan pengembangan diri, dari sisi kejiwaan adalah sebuah
kebutuhan dasar psikologis yang bersifat manusiawi55. Sedang hasil yang
diharapkan dari pengembangan diri adalah taraf kesempurnaan, baik
dalam dataran psikologis maupun ruhaniah. Namun karena dalam
kenyataannya manusia itu tidak sempurna, maka untuk benar-benar
mencapai kesempurnaan tersebut, ia terdorong untuk melakukan
pengendalian diri melalui puasa yang ideal. Dengan demikian,
kepribadian sehat dapat diaktualisasikan melalui puasa yang ideal.
Puasa ideal, sebagaimana yang diketengahkan al Ghazali, adalah
menjaga seluruh organ tubuh manusia agar tidak melakukan dosa,
dengan cara : (1) tidak melihat apa yang dibenci Allah, (2) menjaga
lisan dari berdusta, mengumpat, menyebarkan fitnah, berkata keji dan
kasar, (3) mengendalikan pendengaran dari segala sesuatu yang tercela,
(4) menjaga kaki dan tangan dari perbuatan yang negatif dan menjaga
perut dari makanan dan minuman yang diharamkan,(5) menghindari
makan berlebihan, dan (6) menciptakan suasana hati agar selalu
berhubungan dengan Allah sesudah berbuka56.
Prinsip puasa tersebut bila dihayati dan dilaksanakan sesuai yang
diharapkan, akan melahirkan hasrat untuk hidup bermakna, yaitu
kemauan untuk merealisasikan nilai-nilai keagamaan (dalam puasa)
sebagai sumber makna hidup. Kemauan ini menunjukkan adanya
pengakuan pentingnya peranan nilai-nilai puasa bagi pengembangan hidup
bermakna. Dengan dihayatinya nilai-nilai puasa, maka pengalamanpengalaman yang menyenangkan akan diterima dengan penuh rasa
syukur, sedang musibah dianggap sebagai ujian Tuhan yang harus dijalani
dengan sabar dan tabah, karena yakin bahwa di balik peristiwa itu ada
hikmahnya.
Perasaan syukur, sabar dan tabah dalam menghadapi realitas, selain
merupakan nilai keutamaan yang selalu mendasari kepribadian sehat57,
juga bagian dari sifat-sifat orang yang telah sampai pada level aktualisasi
diri58 (perkembangan psikologis yang amat matang). Demikian indikasi
hubungan antara puasa dan kepribadian sehat.

PuasadanKesalehanTingkahLakuPsikologis
Manusia hubungannya dengan tingkah lakunya, secara psikologis tidak
hanya dimaknai dari sisi fisik dan kejiwaan dalam tataran kemanusiaan,

160

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

melainkan pemaknaannya perlu dikaitkan juga dengan dimensi ruhaniah


dalam tataran spiritual dan transendental.
Konsep ini didasarkan atas sebuah pandangan yang menyatakan, bahwa
manusia diciptakan dari dua dimensi jasmaniah dan ruhaniah. Dimensi
jasmaniah terdiri dari materi, sedang dimensi ruhaniah berasal dari Tuhan
yang bersifat spiritual dan transendental. Karenanya, manusia dalam
konteks tingkah laku psikologisnya, sering diwarnai oleh kecenderungan
yang bersifat kemanusiaan (nasut) dan ketuhanan (lahut)59.
Berangkat dari pandangan di atas, maka psikologi Sufistik lebih
menaruh perhatian pada dimensi ruhaniah, dengan pertimbangan bahwa
dimensi ini selain lebih utama daripada jasmaniah60, juga merupakan
perwujudan hakikat manusia yang tidak mungkin hancur61.
Oleh sebab itu, wajar bila pemberdayaan potensi ruhaniah menjadi
fokus utama, karena potensi ini utamanya yang bersifat rabbaniyyah
memiliki keterkaitan dengan pengembangan tingkah laku yang lebih
ideal. Ini artinya, jika potensi rabbaniyyah yang lebih diberdayakan, maka
tingkah laku lahiriah yang muncul cenderung berkembang ke arah cinta
kebaikan, kemaslahatan, keadilan, kedamaian, dan kebenaran. Namun
jika potensi syaithaniyyah yang dibiarkan tanpa adanya pengendalian,
maka perilaku yang tampak cenderung amoral, karena syaithan dalam
pandangan psikologi sufistik al Ghazali, senantiasa berpotensi
membangkitkan nafsu kebinatangan, kekerasan dan kebuasan62.
Atas dasar kerangka pikir tersebut, maka ibadah puasa yang
dilaksanakan secara ideal, amat berpotensi mengaktualisasikan daya
rabbaniyyah sebagai basis motivasi tingkah laku yang positif. Peluang ini
didasarkan atas sebuah pandangan, bahwa potensi ruhaniah yang
dikembangkan melalui riyadhah dan mujahadah dalam bentuk puasa, akan
membawa implikasi bagi pembentukan tingkah laku yang lebih bermoral,
yang dalam istilah al Ghazali disebut mutakhalliq bi akhlaq Allah63.
Peran tersebut dapat diwujudkan, karena puasa pada dasarnya adalah
riyadhah dan mujahadah yang didalam puasa ini terdapat berbagai latihan
untuk melakukan hal-hal yang positif, dan sekaligus terdapat pula
dorongan untuk berusaha keras dalam menjauhkan berbagai hal yang
tercela. Berdasarkan pemikiran ini, maka puasa dapat pula dipandang
sebagai proses transformasi spiritual dan transendental yang berpotensi
bagi pengembangan hati yang sehat64, yang dalam terminologi psikologi
Sufistik dikategorikan sebagai qalb salim65.
Hati yang sehat ini menurut Ahmad Farid, memiliki tanda-tanda :
(1) selamat dari setiap dorongan nafsu/ keinginan yang berlawanan dengan
perintah Allah, (2) selamat dari setiap syubhat yang berseberangan
dengan kebaikan dan kebenaran, (3) selamat dari penghambaan kepada
selain Allah.66

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

161

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Dari pandangan di atas, dapat ditarik substansinya bahwa manusia


yang berhati sehat (salim), tingkah laku psikologisnya akan selalu
cenderung menjauhkan diri dari hal-hal yang negatif. Kemungkinan ini
dapat terjadi, karena hati yang sehat, selain memiliki natur malaikat
yang cenderung ke arah tingkah laku yang baik, dan selalu berusaha
untuk mendekat kepada Allah67, juga memiliki potensi yang disebut al
nur al Ilahi (cahaya ketuhanan) dan al bashirah al bathiniyyah (mata batin)
yang memancarkan keimanan dan keyakinan 68.
Dengan demikian, antara puasa, hati yang sehat dan tingkah laku
yang positif selalu berhubungan. Hubungan ini juga tercermin pada
potensi akal yang memiliki kemampuan mengetahui perbuatan baik/
buruk dan mengekang dorongan syahwat yang selalu menginginkan
kenikmatan69.
Ini artinya, bahwa puasa itu dapat juga mengembangkan potensi akal
hingga sampai pada tataran ideal. Pemikiran ini dapat dibenarkan, bila
didasarkan atas sebuah hadits Nabi yang menyatakan : innama al shaum
junnatfaidzakanaahadukumshaimanfalayarfutswalayajhul (sesungguhnya
puasa itu hanyalah benteng kejiwaan yang berbasis rasional,bila satu
diantara kalian melakukan ibadah puasa, maka ia tidak akan melakukan
perbuatan tercela dan tingkah laku yang irrasional).
Atas dasar hadits di atas, dapat ditarik substansinya bahwa puasa itu
secara psikologis, dapat mengembangkan potensi akal hingga menjadi
perisai psikologis yang rasional. Keberadaan akal semacam ini, menurut
al Ghazali mampu menolak keinginan perilaku zina dan perbuatan lain
yang tercela70. Hal ini dapat dibenarkan, sebab akal secara psikologis
memiliki daya memberikan pendapat, pertimbangan dan penilaian
terhadap perbuatan terpuji maupun perilaku yang tercela71.
Dengan demikian, puasa memiliki implikasi positif bagi pengembangan
akal sehat dan tingkah laku psikologis yang terpuji. Hubungan puasa
dan tingkah laku yang bermoral adalah sebuah keniscayaan. Karena
hakikat puasa adalah pengembangan moralitas yang berbasis religius,
seperti yang dinyatakan oleh nabi Muhammad : Kam min shaimin laisa
lahu min shiyamih illa al ju wa al athasy (banyak orang yang melakukan
puasa, namun tidak mendapatkan pahala/ keutamaan puasanya kecuali
lapar dan haus).
Hadits ini mengisyaratkan kepada kita, bahwa puasa itu tidak cukup
hanya dengan mencegah makan dan minum, tetapi yang jauh lebih
penting dalam puasa adalah melakukan berbagai tingkah laku yang
konstruktif dan meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, seperti
berdusta, mencari kelemahan orang lain, mengompori pihak lain,
bersumpah palsu dan memandang lain jenis hingga menimbulkan syahwat.

162

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Penutup
Hakikat puasa pada dasarnya adalah pengembangan tingkah laku
psikologis yang berbasis moralitas agama. Dengan demikian, puasa tidak
cukup hanya mengejar prinsip-prinsip formalitas yang bersifat simbolik,
melainkan yang jauh lebih penting dalam ibadah ini adalah
pengembangan inner potential. Pentingnya pengembangan potensi ini,
didasarkan atas teori psikologi Sufistik yang menyatakan bahwa potensi
ruhaniah merupakan penentu utama bagi baik buruknya tingkah laku
lahiriah. Oleh karena itu, wajar jika psikologi ini lebih menaruh perhatian
pada dimensi spiritual hubungannya dengan tingkah laku yang berbasis
Ketuhanan (al shidq maa Allah).
Puasa dipandang dari sisi psikologi, selain merupakan ibadah yang
berpotensi untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusiawi, juga berkaitan
dengan pengembangan psikologis yang lebih positif. Karena itu puasa
yang dilakukan oleh seseorang sering dimotivasi oleh kebutuhankebutuhan dasar yang ada dalam dirinya. Kebutuhan dasar yang selalu
menggerakkan motivai puasanya adalah kebutuhan akan rasa aman, rasa
kasih sayang, rasa penghargaan, dan rasa perkembangan psikologis.
Jika kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) tersebut dapat terpenuhi
secara baik melalui puasa, maka tidak mustahil ibadah ini dapat membawa
implikasi bagi terwujudnya kesalehan tingkah laku dan kepribadian sehat
yang merupakan indikasi perkembangan kejiwaan yang lebih baik dan
sempurna.[]

Catatan Akhir:
Ahmad Rajih, Ushul Ilm al Nafs, (Kairo, Al Maktab al Mishr al Hadits
li al Thabaah wa al Nasyr, tanpa tahun), h. 73
2
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1983), h. 57
3
Sukanto Mm dan Dardiri Hasyim, Nafsiologi : Refleksi Analisis tentang
Diri dan Tingkah Laku Manusia, (Surabaya, Risalah Gusti, 1995), h. 157
4
Bastin J. Parangimalil, Maslows Holistic Psychology and Humanistic
Religion, dalam Journal of Dharma, Volume X, (India : 1985), h. 201
5
Ramadhan Muhammad al Qadzdzafi, Ilm al Nafs al Islami, (Tripoli,
Mansyurat al Shahifah al Dawah al Islamiyah, 1990), h. 39
6
Abd. Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta, PT. Tiara
Wacana, 1993), h. 114
7
Sarlito Wirawan Sarwono, loc. cit.
8
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta, Rineka
Cipta dan Depdikbud, 1999), h. 80-81
1

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

163

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Achmad Mubarok, Jiwa dalam al Quran, (Jakarta, Paramadina, 2000),


h. 143
10
Bimo Walgito, Psikologi Sosial : Suatu Pengantar, (Yogyakarta, Andi
Offset, 1990), h. 20
11
Theodore M. Newcomb, Social Psychology : The Study of Human
Interaction, diterjemahkan oleh Yoesoef Noesjirwan, dkk. dengan judul
Psikologi Sosial, (Bandung, CV. Diponegoro, 1981), h. 37
12
Djalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta, PT. Raja Grafido Persada,
1998), h. 61
13
H.M. Hembing Wijayakusuma, Puasa itu Sehat, (Jakarta, PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 6
14
Ibid.
15
Kartini Kartono, Psikologi Umum, (Bandung, CV. Mandar Maju,
1990), h. 92-97
16
Abdullah Faqih, Urgensi Kecerdasan Emosi dalam Pendidikan,
dalam Jawa Pos, (Radar Semarang), Selasa, 30 Januari 2001, hal. 4
17
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, (New York, Harper
& Brothers, 1954), h. 86
18
Al Ghazali, Raudhat al Thalibin wa Umdat al Salikin, dalam
Majmuat Rasail al-Imam al-Ghazali, (Bairut, Dar al Fikr, 1996), h. 103
19
Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta, CV. Masagung,
1988), h. 26
20
Al Ghazali, Mizan al Amal, (Bairut, Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1989),
h. 93
21
Djalaluddin, op. cit., h. 84
22
Erich Fromm adalah psikolog yang hidup pada tahun 1900-1980. Ia
menaruh perhatian pada humanistic psychoanalysis yang mengandung
implikasi etis dan keagamaan. Perhatiannya ini tercermin dalam bukunya
Psychoanalysis and Religion yang terbit tahun 1950. (Robert W. Crapps, An
Introduction toPsychology of Religion diterjemahkan oleh A.M Hardjana,
dengan judul :Dialog Psikologi dan Agama, (Yogyakarta, Kanisius, 1993),
h. 82
23
Erich Fromm, Psychoanalysis and Religion, (New Haven, Yale University
Press, 1950), h. 24
24
Zakiah Daradjat, loc. cit.
25
Zakaih Daradjat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, (Jakarta,
Ruhama, 1989), h. 30-31
26
Al Ghazali, Mizan al Amal, op. cit., h. 64
27
Abraham H. Maslow, op. cit., h. 90
28
Neurotis adalah rasa kekhawatiran yang berlebihan yang gejalagejalanya merupakan akibat dari usaha penyesuaian diri yang tidak
9

164

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

berhasil. (M. Dimyati Mahmud, Psokologi : Suatu Pengantar, (Yogyakarta,


BPEE, 1990), h. 246
29
Abraham H. Maslow, op. cit., h. 91
30
Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta, Pustaka
al Husna, 1986), h. 54
31
Djalaluddin, op. cit., h. 86
32
Djamaluddin Ancok, dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami : Solusi
Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995),
h. 66
33
Abraham H. Maslow, Self Actualization and Beyond, Makalah
Ilmiah, yang disampaikan pada Workshop on the Training of Adult
Counselors, May 24, 1965, h. 2
34
Al Ghazali, Mizan al Amal, op. cit., h. 93
35
Ibid., h. 67
36
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid I, (Bairut, Dar al Kutub al Ilmiyyah,
tanpa tahun), h. 274
37
Tersirat dalam firman Allah : Wahai orang-orang yang beriman,
telah diwajibkan puasa kepadamu, sebagaimana puasa itu diwajibkan
kepada orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertaqwa
(al Baqarah : 183)
38
Sabda Nabi Muhammad : Banyak orang yang melakukan puasa tidak
memperoleh pahala puasanya kecuali rasa lapar dan haus (Diriwayatkan
oleh Al Nasai dan Ibnu Majah dari hadits Abu Hurairah)
39
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan
Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Jakarta, CV. Ruhama, 1994), h. 97
40
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokohtokoh Psikologi, (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), h. 178
41
Al Ghazali, Khulashat al Tashanif fi al Tasawwuf, dalam Majmuat
Rasail al Imam al Ghazali, (Bairut, Dar al Fikr, 1996), h. 174
42
Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta,
Gunung Agung, 1985), h. 65
43
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid III, op. cit., h. 5
44
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam : Sebuah Pendekatan
Psikologis, (Jakarta, Darul Falah, 1999), h. 168
45
Abd al Razzaq al Kalasyani, Mujam al Isthilahat al Shufiyyah, (Kairo,
Dar al Inad, 1992), h. 116
46
Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, (Yogyakarta, Kanisius, 1989),
h. 24
47
Ibnu Qayyim al Jauzi, Al Ruh fi al Kalam ala Arwah al Amwat wa al
Ahwa bi al Dalil min al Kitab wa al Sunnah wa al Atsar wa Aqwal al Ulama,
(Bairut, Dar al Kutub al Ilmiyyah, tanpa tahun), h. 228-260.

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

165

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Lihat al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid IV, pada tema al shabr wa al
syukr, al ikhlas wa al shidq, dan al muhasabah.
49
Al Ghazali, Mizan al Amal, op. cit., h. 97
50
Ibid., h. 67
51
Abraham H. Maslow, A Theory of Metamotivation : the Biological
Rooting of the Value Life dalam Journal of Humanistic Psychology, Volume
VII, Number 2, 1967, h. 36
52
Abraham H. Maslow, The Farther Reaches of Human Nature, (New
York, Penguin Books, 1976), h. 308-309
53
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid I, op. cit., h. 274
54
Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna, (Jakarta,
Paramadina, 1996), h. 57
55
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, op. cit., h. 90
56
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid I, op. cit., h. 277-279
57
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid IV, op. cit., h. 63-84
58
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, op. cit., h. 205
59
RA. Nicholson, The Idea of Personality in Sufism, (Delhi, Idarah
Adabiyah Jayyed Press, 1979), h. 30
60
Karena tubuh jasmani adalah bagian yang paling tidak sempurna
pada manusia yang suatu saat komposisinya bisa rusak (Al Ghazali, Maarij
al Quds fi Madarij Maarifat al Nafs, edisi Muhammad Mushthafa Abu al
Ala, (Kairo, Maktabat al Jundi, 1967), h. 26
61
Al Ghazali, Miraj al Salikin, dalam Majmuat Rasail al Imam al
Ghazali, op. cit., h. 63
62
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid III, op. cit., h. 12
63
Al Ghazali, Raudhat al Thalibin wa Umdat al Salikin, dalam
Majmuat Rasail al Imam al Ghazali, op. cit., h. 147
64
Hati yang sehat dalam perspektif kesehatan mental adalah
terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi kejiwaan
satu dengan lainnya, dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia
dengan dirinya sendiri dan lingkungannya. (Zakiah Daradjat, Kesehatan
Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta, Lembaga
Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1984), h. 4
65
Al Ghazali, Raudhat al Thalibin wa Umdat al Salikin, dalam op.
cit., h. 145
66
Ahmad Farid, Tazkiyat al nafs, diterjemahkan oleh Nabhani Idris,
dengan judul Pembersih Jiwa, (Bandung, Pustaka, 1996), h. 21
67
Al Ghazali, Al Maqshad al Asna fi Syarh Asma al Husna, (Bairut, Dar
al Kutub al Ilmiyyah, tanpa tahun), h. 28
68
Viktor Said Basil, Manhaj al Bahts an al Maarifah ind al Ghazali,
(Bairut, Dar al Kitab al Libnani, tanpa tahun), h. 155
69
Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Jilid I, op. cit., h. 101-102
48

166

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Ibid., h. 104
C.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terjemahan Kartini Kartono,
(Jakarta, Rajawali, 1989), h. 90
70
71

DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana,
1993
Abdullah Faqih, Urgensi Kecerdasan Emosi dalam Pendidikan, dalam
Jawa Pos, (Radar Semarang), Selasa, 30 januari 2001
Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis,
Jakarta : Darul Falah, 1999
Abd al Razzaq al Kalasyani, Mujam al Isthilahat al Shufiyyah, Kairo : Dar
al Inad, 1992
Achmad Mubarok, Jiwa dalam al Quran, Jakarta : Paramadina, 2000
Ahmad Farid, Tazkiyat al Nafs, diterjemahkan oleh Nabhani Idris, dengan
judul Pembersih Jiwa, Bandung : Pustaka, 1996
Ahmad Rajih, Ushul Ilm al Nafs, Kairo : Al Maktab al Mishr al Hadits li
al Thabaah wa al Nasyr, tanpa tahun
Bastaman, Hanna Djumhana, Meraih Hidup Bermakna, Jakarta :
Paramadina, 1996
Basil, Viktor Said, Manhaj al Bahts an al Maarifah ind al Ghazali, Bairut :
Dar al Kitab al Libnani, tanpa tahun
Bimo Walgito, Psikologi Sosial : Suatu Pengantar, Yogyakarta : Andi Offset,
1990
Chaplin, C.P., Kamus Lengkap Psikologi, terjemahan Kartini Kartono,
Jakarta : Rajawali, 1989
Crapps, Robert W., An Introduction to Psychology of Religion, diterjemahkan
oleh A.M Hardjana, dengan judul :Dialog Psikologi dan Agama,
Yogyakarta : Kanisius, 1993
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Rineka Cipta
dan Depdikbud, 1999

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

167

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Djalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : PT. Raja Grafido Persada, 1998


Djamaluddin Ancok, dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami : Solusi
Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1995
Erich Fromm, Psychoanalysis and Religion, New Haven : Yale University
Press, 1950
Ghazali, al, Raudhat al Thalibin wa Umdat al Salikin, dalam Majmuat
Rasail al Imam al Ghazali, Bairut : Dar al Fikr, 1996
_____, Ihya Ulum al Din, Jilid I, Bairut : Dar al Kutub al Ilmiyyah, tanpa
tahun
_____, Ihya Ulum al Din, Jilid III dan IV, Bairut : Dar al Kutub al Ilmiyyah,
tanpa tahun
_____, Mizan al Amal, Bairut : Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1989
_____, Khulashat al Tashanif fi al Tasawwuf, dalam Majmuat Rasail al
Imam al Ghazali, Bairut : Dar al Fikr, 1996
_____, Al Maqshad al Asna fi Syarh Asma al Husna, Bairut : Dar al Kutub
al Ilmiyyah, tanpa tahun
Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, Jakarta : Pustaka al
Husna, 1986
Hembing Wijayakusuma, H.M., Puasa itu Sehat, Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1997
Jauzi, Ibnu Qayyim al, Al Ruh fi al Kalam ala Arwah al Amwat wa al
Ahwa bi al Dalil min al Kitab wa al Sunnah wa al Atsar wa Aqwal al
Ulama, Bairut : Dar al Kutub al Ilmiyyah, tanpa tahun
Kartini Kartono, Psikologi Umum, Bandung : CV. Mandar Maju, 1990
Maslow, Abraham H., Motivation and Personality, New York : Harper &
Brothers, 1954
_____, Self Actualization and Beyon, Makalah Ilmiah, disampaikan pada
Workshop on the Training of Adult Counselors, May 24, 1965
_____, The Farther Reaches of Human Nature, New York : Penguin Books,
1976
_____, A Theory of Metamotivation : the Biological Rooting of the Value
Life dalam Journal of Humanistic Psychology, Volume VII, Number
2, 1967
M. Dimyati Mahmud, Psikologi : Suatu Pengantar, Yogyakarta : BPEE, 1990

168

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

Newcomb, Theodore M., Social Psychology : The Study of Human Interaction,


diterjemahkan oleh Yoesoef Noesjirwan, dkk. dengan judul Psikologi
Sosial, Bandung : CV. Diponegoro, 1981
Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1989
Nicholson, RA., The Idea of Personality in Sufism, Delhi : Idarah Adabiyah
Jayyed Press, 1979
Parangimalil, Bastin J., Maslows Holistic Psychology and Humanistic
Religion, dalam Journal of Dharma, Volume X, India, 1985
Qadzdzafi, Ramadhan Muhammad al, Ilm al Nafs al Islami, Tripoli :
Mansyurat al Shahifah al Dawah al Islamiyah, 1990
Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta : Bulan
Bintang, 1983
_____, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1978
Sukanto Mm dan Dardiri Hasyim, Nafsiologi : Refleksi Analisis tentang Diri
dan Tingkah Laku Manusia, Surabaya : Risalah Gusti, 1995
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian
dan Kesehatan Mental, Jakarta : CV. Ruhama, 1994
Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, Jakarta : CV. Masagung,
1988
_____, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, Jakarta : Ruhama, 1989
_____, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta : Gunung Agung,
1985
_____, Kesehatan Mental, Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran,
Jakarta : Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, 1984

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

169

Puasa dan Pengembangan Tingkah laku Positif... Abdullah Hadziq

170

Teologia, Volume 16, Nomor 1, Januari 2005

Anda mungkin juga menyukai