Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Makhluk
eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri
baik secara fisik maupun psikis. Disebut sebagai makhluk potensial karena, pada
diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dpat dikembangkan.
Manusia juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya,
karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan
bantuan dari luar dirinya. Bantuan yang dimaksud antara lain dalam bentuk
bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Karena itu, bimbingan yang idak
searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negatif bagi perkembangan
manusia.
Jiwa keagamaan yang termasuk rohani (psikis) akan sangat tergantung dari
perkembangan aspek fisik. Dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sering
dikatakan bahwa kesehatan fisik akan berpengaruh pada kesehatan mental. Selain
itu, perkembangan juga ditentukan oleh tingkat usia.
Para ahli psikologi perkembangan membagi perkembangan manusia
berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau periode perkembangan. Secara
garis besarnya periode perkembangan itu terbagi menjadi: 1) masa prental; 2)
masa bayi; 3)masa kanak-kanak; 4)masa prapubertas; 5)masa pubertas (remaja);
6) masa dewasa; 7)masa usia lanjut.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia dan periode perkembangan tesebut,
maka dalam kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat
bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian,
perkembangan jiwa keagamaan juga akan dilihat dari tingkat usia dewasa dan usia
lanjut.
B. RUMUSAN MASALAH

Dari deskripsi yang telah dipaparkan diatas maka rumusan masalah yang
akan dibahas yaitu:

1|Page
A. Apa sajakah macam-macam kebutuhan ?
B. Bagaimanakah sifat keberagamaan pada orang dewasa ?
C. Bagaimanakah usia lanjut dan agama ?
D. Bagaimanakah perlakuan usia lanjut menurut islam ?

C. TUJUAN PENULISAN

Dari rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas maka tujuan dari pada
penulisan masalah yaitu:

A. Untuk menjelaskan tentang macam-macam kebutuhan


B. Untuk menjelaskan tentang sifat keberagamaan pada orang dewasa
C. Untuk menjelaskan tentang usia lanjut dan agama
D. Untuk menjelaskan tentang perlakuan usia lanjut menurut islam

2|Page
BAB II
PEMBAHASAN

A. MACAM-MACAM KEBUTUHAN
Dalam bukunya Pengantar Psikologi Krimini Drs. Gerson W. Bawengan,
S.H. mengemukakan pembagian kebutuhan mausia berdasarkan pembagian yang
dikemukakan oleh J.P. Guilford sebagai brikut:
1. Kebutuhan Individual
a. Homeostatis, yaitu kebutuhan yang dituntut tubuh dalam proses penyesuaian
diri denganlingkungan. Dengan adanya perimbangan ini maka tubuh akan
tetap berada dalam keadaan mantap, stabil, dan harmonis. Kebutuhan
inimeliputi kebutuhan tubuh akan zat, protei, air, garam, mineral, vitamin,
oksigen, dan lainnya.
b. Regulasi temperatur, yaitu penyesuaian tubuh dala uaha mengatasi kebutuhan
akan perubahan temperatur badan.
c. Tidur, yaitu kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi agar terhindar dari gejala
halusinasi.
d. Lapar, yaitu kebutuhan biologis yang harus dipenuhi untuk membangkitkan
energi tubuh sebagai organis. Lapar akan menyebabkan gangguan pada fisik
maupu mental.
e. Seks, yaitu kebutuhan seks sebagai salah satu kebutuhan yang timbul dari
golongan mempertahankan jenis. Sigmund Freud menganggap kebutuhan ini
sebagaikebutuhan vital pada manusia. Terutama pada masa remaja kebutuhan
ini demikian menonjolnya sehingga serng mendatangkan pengaruh-pengaruh
negatif.1 Tidak terpenuhinya kebutuhan seks ini akan mendatangkan
gangguan-gangguan kejiwaan dalam bentuk perilaku seksual yang
menyimpang (abnormal) seperti:

1 Prof. Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 86-
87.

3|Page
1. Sadisme, berarti kekejaman, kebuasan, keganasan, dan kekasaran, atau
kepuasan yang diperoleh dengan menyakiti orang lain.
2. Masochisme (masokisme), perilaku seksual menyimpang, dimana kegairahan
dan kenikmatan seksual anya dapat dicapai melalui perlakuan kekerasan dan
penghinaan dari orang yang lebih perkasa.
3. Exhibitionisme, pemilihan ratu kecantikan, binaragawan, striptease, dan
sebagainya.
4. Scopthopilia, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengintip lakon seks.
5. Voyeurisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengintip atau melihat
bentuk tubuh tanpa busana.
6. Troilisme atau triolisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara saling
mempertontonkan lakon seks.
7. Transvestisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara memakai baju lawan
jenisnya.
8. Transsexualisme,kecenderungan pemuasan nafsu seksual dengan jalan ganti
kelamin.
9. Sexualoralisme, pemuasan nafsu seksual dengan memadukan mulut (oral)
dengan alat kelamin. Pada laki-laki disebut fellato dan pada wanita disebut
cunnilingus.
10. Sodomy (non/vaginal coitus), istilah dalam Islam dikenal dengan liwath.2
Selanjutnya, kelainan seksual ini pun dapat menyebabkan orang memuaskan
nafsu seksualnya dengan menggunakan objek lain. Di antaranya meliputi:
1. Hooseksualitas, pemuasan nafsu seksual antara sesama laki-aki. Sesama
perempuan disebut lesbian.
2. Pedophilia, pemuasan nafsu seksual dengan anak-anak sebagai objeknya.
Menurut penyelidik kelainan ini sering dilakukan oleh yang berusia di atas 40
tahun dan patuh dengan ajaran agama.
3. Bestility, persetubuhan dengan binatang .
4. Zoophlia, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengelus-elus binatang.

2 Ibid., hal. 87-88.

4|Page
5. Necrophilia, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengadakan hubungan
kelamin dengan mayat.
6. Pornography, pemuasan nafsu seksual dengan melihat gambar atau membaca
buku cabul.
7. Obscenity, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengeluaran kata-kata kotor.
8. Fetishisme, pemuasan nafsu seksual dengan cara menggunakan simbol seks
dari lawan jenisnya, terutama pakaian.
9. Frottage, pemuasan nafsu seksual dengan cara meraba orang yang disenangi.
10. Soliromanis, pemuasan nafsu seksual dengan cara mengotori lambang seks
orang yang disenanginya.
11. Goronto seksuality, pemuaan nafsu seksual dengan wanita yang berusia lanjut
dan sebaliknya.
12. Insest, pemuasan nafsu seksual dengan mengadakan hubungan kelamin
dengan kerabat.
13. Wife-wapping, pemuasan nafsu seksual dengan cara menukarkan pasangan.
14. Mysophilia, pemuasan nafsu seksual dengan menggunakan benda kotor
karena menganggapnya sebagai hal yang kotor dan dosa.
15. Masturbasi, pemuasan nafsu seksual dengan zina tangan3

f. Melarikn diri, yaitu kebutuhan manusia akan perlindungan, keselamatan


jasmani, dan rohani. Usaha menghindari diri dari bahaya atau sesuatu yang
dianggap berbahaya merupakan reaksi yang wajar sebagai usaha proteksi.
g. Pencegahan, yaitu kebutuhan manusia untuk mencegah terjadinya reaksi
melarikan diri.
h. Ingin tahu (curiosty), yaitu kebutuhan rohani manusia untuk ingin selalu
mengetehui latar belakang kehidupannya.
i. Humor, yaitu kebutuhan manusia untuk mengendorkan beban keidupan yang
dialaminya dalam bentuk verbal dan perbuatan. Menurut penelitian,
penggunaan kemampuan maksimal manusia dalam kegiatannya hanya
mencapai 30% saja. Menurut J.P. Guilford, tertawa merupakan permainan

3 Ibid., hal. 88-90.

5|Page
dan cara untuk mengendorkan tekanan jiwa. Sigmug Freud membagi humor
atas: pertama, Agresive Wit yaitu humor yang menyinggung orang lain.
Kedua, Harmsless Wit yaitu humor yang tidak menyinggung orang lain.4

2. Kebutuhan Sosial
Kebutuhan manusia tidak disebabkan pengaruh yang datang dari luar
(stimulus), seperti layaknya pada binatang. Kebutuhan sosial pada manusia
bebentuk nilai. Jadi kebutuhan itu bukan semata-mata kebutuhan biologis
melainkan juga kebutuhan rohaniah.
Bentuk kebutuhan ini menurut Guilford terdiri dari:
a. Pujian dan hinaan
Setiap manusia normal membutuhkan pujian dan hinaan. Kedua unsur ini
menurut Guildford merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan
sistem moral manusia. Pujian merangsang manusia untuk mengejar prestasi dan
kedudukan yang terpuji, sedangkan hinaan menyadari manusia dari kekeliruan
dan pelanggaran terhadap etika sosial.
b. Kekuasaan dan mengalah
Alfred Alder mengatakan, bahwa secara naluriah manusia itu ingin berkuasa
dan Nietrzche menyebutkan sebagai motif primer dalam kehidupan manusa.
Sedangkan Guildford berpendapat bahwa kebutuhan kekuasaan dan megalah ini
tercermin dari adanya perjuangan manusia yang tak henti-hentinya dalam
kehidupan.5
c. Pergaulan
Kebutuhan yangmendorong manusia untuk hidup dan bergaul sebagai
homo-socius (makhluk bermsyarakat) dan zon-politicion (makhluk yang
berorganisasi).
d. Imitasi dan simpati
Keutuhan manusia dalam pergaulannya yang tercermin dalam bentuk
meniru dan mengadakan respon emosionil.

4 Ibid., hal. 96-97.


5 Ibid., hal. 98-99.

6|Page
e. Perhatian
Kebutuhan akan perhatian merupakan salah satu kebutuhan sosial yang
terdapat pada setiap individu. Besar kecilnya perhatian masyarakat terhadap
seseorang akan mempengaruhi sikapnya. Hal ini akan tampak dalam kehidupan
sehai-hari, misalnya guru dimuka kelas, penceramah ataupun pemuka aliran
keagamaan, kebatinan, para artis panggung, dan sebagainya. Sikap perhatian
khalayak akan mempengaruhi sikap mereka. Dalam hal ini Guildford
mengungkapkan pentingnya perhatian sebagai suatu kebutuhan dengan kata-
katanya : to be ignored is panful.6
Selanjutnya Dr. Zakiyah Dradjat dalam bukunya Peranan Agama dalam
Kesehatan Mental membag kebutuhan manusia atas dua kebutuhan pokok, yaitu:
a. Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmaniah, kebutuhan ini didapat manusia
secara fitrah tanpa dipelajari. Misalnya: makan, mnum, seks, dan sebagainya.
b. Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan rohaniah, kebutuhan ini hanya terdapat
pada manusia dan sudah dirasakan sejak manusia asih kecil. Misalnya: jiwa
dan sosial.
Selanjutnya beliau membagi kebutuhan sekunder yang pokok menjadi enam
macam, yaitu:
a. Kebutuhan akan rasa kasih sayang
b. Kebutuhan akan rasa aman
c. Kebutuhan akan rasa harga diri
d. Kebutuhan akan rasa bebas
e. Kebutuhan akan rasa sukses
f. Kebutuhan akan rasa ingin tahu7

3. Kebutuhan Manusia akan Agama


Manusia disebut sebagai makhluk yang beragama (homo religious). Ahmad
Yani mengemukakan, bahwa tatkala Allah membekali insan itu dengan nikmat
berpikir dan daya penelitian, diberinya pula rasa binging dan bimbang untuk

6 Ibid.,
7 Ibid., hal. 100-101.

7|Page
memahami dan belajar mengenali alam sekitarnya sebagai imbangan atas rasa
takut terhadap kegarangan dan kebengisan alam itu. Hal inilah yang mendorong
insan tadi untuk mencari suatu kekuatan yang dapat melindungi dan
membimbingnya disaat-saat yang gawat. Insan primitif telah menemukan apa
yang telah dicarinya pada gejala alam itu sendiri. Secara beransur dan silih
berganti gejala-gejala alam itu diselaraskan dengan jalan kehidupannya. Dengan
demikian, timbullah penyembuhan tehadap api, matahari, bulan atau benda
lainnya dari gejala-gejala alam tersebut.
Menurut Robert Nuttin, dorongan beragaa merupakan salah satu doronga
yang bekerja pada diri manusia sebagaimana dorongan-dorongan lainnya, seperti:
makan, minum, intelek, dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu maka dorongan
beragama pun menuntut unutk dipenuhi, sehingga pribadi manusia itu mendapat
kepuaan dan kesenangan. Selain itu dorongan beragama juga merupakan keutuhan
insaniah yang tumbunya dari berbagai faktor penyebab yang bersumber dari rasa
keagamaan.
Para ahli psikologi agama belum sependapat dengan sumber rasa
keagamaan ini. Rodolf Otto misalnya, menekankan pada dominasi rasa
ketergantungan, sedangkan Sigmund Freud menekankan libido sexuil dan rasa
berdosa sebagai faktor penyebab yang dominan.8
Dalam ajaran agama Islam, bahwa kebutuhan terhadap agama disebabkan
manusia sebagai makhluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang
dibawa sejak lahir. Salah satu fitrah tersebut adalah kecenderungan terhadap
agama.
Prof. Dr. Hasan Langgulung mengatakan:
“Salah satu fitrah inilah, bahwa manusia menerima Allah sebagai Tuhan, dengan
kata lain, manusia itu adalah dari asal mempunyai kecenderungan beragama,
sebab agama itu sebagian dari fitrah-Nya”.
Dengan demikian, anak yang baru lahir sudah memiliki potensi untuk
menjadi manusia yang ber-Tuhan. Fiman Allah SWT dalam Q.S. Al-Rum 30:30,
yang artinya:

8 Ibid., hal. 101-103.

8|Page
   
     
     
   
   
 
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). Tetapkanlah
atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya” (Q.S. Al-
Rum 30: 30)9

B. SIKAP KEBERAGAMAAN TERHADAP ORANG DEWASA


Akhir masa remaja ditandai dengan masa adolesen, namun demikian ada
juga yang memasukkan masa adolesen ini kepada masa dewasa. Pada masa
adolesen, seseorang mulai menginjak dewasa, sehingga memiliki sifat yang pada
umumnya adalah sebagai berikut:
1. Menemukan pribadinya
2. Menentukan cita-citanya
3. Menggariskan jalan hidupnya
4. Bertanggung jawab
5. Menghimpun norma-norma sendiri
Sikap-sikap di atas merupakan sikap yang mengawali masa dewasa. Dalam
perkembangan selanjutnya pada masa dewasa seseorang telah menunjukkan
kematangan jasmani dan rohani, sudah memiliki keyakinan dan pendirian yang
tetap, serta peran sosial sudah berkembang. Tanggung jawab individu dan sosial
sudah mulai tampak dan ia sudah mulai mampu berdiri sendiri.
Gambaran psikis pada masa dewasa seperti di atas akan nampak pada
kestabilan seseorang di dalam menentukan pandangan hidup atau agama yang

9 Ibid.,

9|Page
harus dianutnya berdasarkan kesadaran dan keyakinan yang dianggap benar dan
diperlukan dalam hidupnya.10
Charlotte Buchler melukiskan tiga masa perkembangan pada periode
prapubertas, periode pubertas, dan periode adolesen dengan semboyan yang
merupakan ungkapan batinmereka. Di periode prapubertas Charlotte Buchler
dengan kata-kata: “Perasaan saya tidak enak, tetapi tidak tahu apa sebabnya.”
Untuk periode pubertas dilukiskannya sebagai berikut: “Saya ingin sesuatu, tetapi
tidak tahu ingin apa.” Adapun dalam periode Adolesen, ia mngemukakan dengan
katakata: “Saya hidup dan saya tahu untuk apa.”
Kata-kata yang digunakan Charlotte Buchler tersebut mengungkapkan
betapa masih labilnya kehidupan jiwa anak-anak ketika menginjak usia menjelang
remaja dan di usia remaja mereka. Sebaliknya, saat telah menginjak usia dewasa
erlihat adanya kemantapa jiwa mereka: “Saya hidup dan saya tahu untuk apa.”11
Kata yang digunakan tersebut menggambarkan bahwa di usia dewasa orang
sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan
perkataan lain, orang dewasa sudah memahami nilai-nilai yang sudah dipilihnya
dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nlai yang dipilihnya. Orang dewasa
sudah memiliki identitas yang jelas dan kepribadian yang mantap yang terlihat
dengan cara bertindak dan bertingah laku yang agak bersifat tetap (tidak berubah-
ubah), serta pemikiran terhadap kehidupan mendapat perhatian yang tegas.
Sekarang mereka mulai berpikir tentang tanggung jawab dan sosial moral,
ekonomis dan keagamaan (M. Buchori, 1982: 145).12
Kemantapan orang dewasa ini setidaknya memberikan gabaran tentang
bagaimna sikap keberagamaan orang dewasa. Mereka sudah memiliki tanggung
jawab terhadap sistem nilai yang dipilinya, baik sistem nilai yang bersumber dari
ajaran agama maupun yang bersumber dari norma-norma lain dalam kehidupan.
Pemilihan nilai-nilai tersebut telah didasarkan atas pertimbanganpemikiran yang
matang. Berdasarkan hal ini, maka sikap keberagamaan seorang di usia dewasa

10 Prof. Dr. Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Radar Jaya, 2009, hal. 104.
11 Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit., Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 106.
12 Dr. Baharudin, dkk., Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-Malang Press,
2008, hal. 151.

10 | P a g e
sulit untuk diubah. Jika pun terjadi perubahan mungkin proses itu terjadi setelah
didasarkan atas pertimbngan yang matang.
Sebaliknya, ika seorang dewasa memilih nilai yang bersumber dari nilai-
nilai nonagama, itupun akan dipertahankannya sebagai pandangan hidupnya.
Kemungkinan ini memberkan peluang bagi munculnya kecenderungan sikap yang
antiagama, bila menurut pertimbangan akal sehat, terdapat kelemahan-kelemahan
tertentu dalam ajarn agama yang dipahaminya.13
Sebaliknya, jika nilai-nilai agama yang mereka pilih dijadikan pandangan
hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam pola kehidupan mereka.
Sikap keberagamaan itu akan dipertahankan sebagai identitas dan kepribadian
mereka. Sikap keberagamaan ini membawa mereka secara mantap menjalankan
ajaran agama yang mreka anut.
Sejalan dengan tingkat perkembngan usianya, maka sikap keberagamaan
pada orang dewasa antara lain memliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang
mantang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak
diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha
untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab
diri hingga sikap keberagamaan merupakan sikap realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan lebih luas.
6. Berskap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan
beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas
pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagamaan cenderung megarah kepada tipe-tipe kepribadian
masing-masing, sehingga terlhat adanya pengaruh kepribadian dalam
menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya

13 Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit., Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 107.

11 | P a g e
8. Terlibat adanya hubungan antara sikap keberagamaan antara kehidupan
sosial, sehingga perhatian terhadap kepeningan organisasi sosial keagamaan
sudah berkembang.14
Dengan demikian, agama orang dewasa seara umum sangat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor hereditas dan asal usul keluarganya sendiri.
2. Asal usul keluarga suami/istri serta kondisi keberagamaan keluarga yang
dibangunnya sekarang.
3. Pendidikan formal maupun nonformal yang pernah dialaminya.
4. Pengalaman hidup, baik maa lalu maupun sekarang.
5. Lingkungan hidup, baik maa lalu maupun sekarang.
6. Pekerjaan.
7. Pergaulan baik dilingkungan masyarakat sekitar maupun lingkungan kerja.
8. Hal olah pikir, motivasi, inovasi serta olah perasaan (batin).
9. Fakor hidayah dari Allah SWT.15

C. MANUSIA USIA LANJUT DAN AGAMA


Perkembangan manusia dapat digambarkan dalam bentuk garis sisi sebuah
trapesium. Sejak usia bayi hingga mencapai kedewasaan jasmani digambakan
dengan garis miring menanjak. Garis itu menggambarkan bahwa selama periode
tersebut terjadi proses perkembangan yang progresif. Pertumbuhan fisik berjalan
seara cepat hingga mencapai titik puncak perkembangannya, yaitu usia dewasa
(22-24 tahun).
Perkembangan selanjutnya digambarkan oleh garis lurus sebagai
gambaran tehadap kemantapan fisik yang sudah dicapai. Sejak mencapai usia
kedewasaan hingga ke usia 50 tahun, perkembangan fisik manusia boleh
dikatakan tidak mengalami perubahan yang banyak. Oleh karena itu, umumnya

14 Ibid., hal. 107-109.


15 Dr. Baharudin, dkk., Op. Cit., Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-Malang
Press, 2008, hal. 153-154.

12 | P a g e
garis perkembangan pada periode ini digambarkan oleh gais menurun. Periode ini
disebut sebagai periode regresi (penurunan).16
Hurlock (1999) menyatakan bahwa usia lanjut lebih cenderung pada hal-hal
yang tidak menyenangkan dan hal ini dapat berimbas pada beberapa aspek
penurunan fisik atau psikis. Sehingga tidak sedikit orang usia lanjut yang menjadi
cerewet dan serba salah. Hal ini tergantung dari masing-masing individu
bagaimana dia megontrol dirinya dalam melewati masa labil, masa dimana
terdapat hal-hal yang tidak menyenangkan. Sehingga dibutuhkan tawakal yang
baik serta tingkat kontroldiri yang tinggi agar individu tidak terjerumus pada hal-
hal negatif yang membawa pada tekanan mental.17
Secara garis besarnya, ciri-ciri keberagaman di usia lanjut adalah:
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemapanan.
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara
lebih sungguh-sungguh.
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta akan
sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian meningkat sejalan dengan pertambahan
usia lanjut.
6. Perasaan takut terhadap kematian ini berdampak kepada peningkatan
pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan
abadi akhirat.18

Berdasarkan ciri-ciri di atas, terdapat tiga kegiatan keagamaan yang bisa


menjadi terapi religius bagi para lanjut usia sekaligus untuk menyetabilkan
kontrol dalam dirinya. Hal ini merujuk kepada sebuah hasil penelitian tentang

16 Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit., Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 109.
17 Dr. Baharudin, dkk., Op. Cit., Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-
Malang Press, 2008, hal. 161-162.

18 Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit., Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 113-
114.

13 | P a g e
korelasi zikir dengan kontrol diri pada para lanjut usia yang dilakukan di Pondok
Pesantren Roudhotul Ulum Kencong Pare Kediri, yaitu:
1. Teknik puasa, dalam konteks terapi “puasa” yang berarti pengendalian diri
dapat diterapkan untuk mengembangkan kontrol diri terhadap suatu jenis
nafsu tertentu.
2. Teknik paradoks, tekn ini dilakukan untuk menumbukan kontrol diri terhadap
hal-hal yang sangat disukai seseorang. Tujuannya agar seseorang mampu
mengendalikan suatu keinginan dengan cara melawan keinginan tersebut.
3. Teknik dzikirullah, teknik ini dilakukan dengan cara mengingat nikmat Allah
dan atau menyebut lafadz-lafadz Allah, bertahlil, bertahmid, bertasbih dan
bertaqdist agar tercipta ketenangan pada dirinya.
Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-
Ra’du ayat 28, yaitu:
  
    
   

Artinya:
“(Yaitu) oramg-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan
mengingat Allah . Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tentram.” (Q.S.Al-Ra’du: 28).19

D. PERLAKUAN TERHADAP USIA LANJUT MENURUT ISLAM


Agama Islam adalah agama yang sempurna, segala sesuatunya diatur secara
sistematis sehingga tidak memberatkan umat manusia. Islam juga mengatur
bagaimana sebaiknya memperlakukan para usia lanjut, Allah berfirman :
    
  
    

19 Dr. Baharudin, dkk., Op. Cit., Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-Malang
Press, 2008, hal. 163-164.

14 | P a g e
  
    
   
  
Artinya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ib bapakmu dengan sebaik-baiknya.jika
salah seorang di antara keduanya aau kedua-duanya sampai brumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekli-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. Al-Israa’: 23).20
Manusia usia lanjut dalam penilaian terhadap banyak orang adalah manusia
yang sudah tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata sudah menurun, sehingga
dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk menggerogti
mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul semacam
pemikiran bahwa mereka berada pada sis-sisa umur menunggu datangnya
kematian.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah
baya, arah peratian mengalami perubahan yang mendasar. Bla sebelumya
perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke
usia tua ini, prhatian lebih tertuju pada upaya menemukan ketenangan batin.
Sejalan dengan perubahan itu, maka masalah-msalah yang berkaitan dengan
kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.21
Bila gejolak batin itu tak mampu dibatasi, maka akan muncul gangguan
kejiwaan seperti stress, putus asa maupun mengasingkan diri dari pergaulan
sebagai wujud dari rasa rendah diri (inferiority). Dalam kasus-kasus seperti ini,
umunya agama dapat difumgsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab,
melalui pengalaman pengajaran agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh

20 Ibid., hal. 165.


21 Prof. Dr. Jalaluddin, Op. Cit., Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 114-
115.

15 | P a g e
tempa bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensin seperti ini sudah jamak
terlhat di masyarakat akhir-akhir ini.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan orag tua mereka ke
panti jompo merupakan cerminan dari rasa kasih sayang anak kepada orang tua.
Sebaliknya, membiarkan orang tua berusia lanjut tetap berada dilingkungan
keluarga cenderung dianggap menelantarkannya.
Lain halnya konsep yang dianjurkan oleh Islam. Perlakuan terhadap usia
lanjut dianjurkan seteliti dan setelaten mungkin. Perlakuan terhadap orang tua
berusia lanjut dibebankan kepada anak-anak mereka, bukan kepada badan atau
panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut
tuntutan Islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan pemeliharaan
secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerinahkan kepada
anak-anak mereka untuk memperlakukan kedua orang tua mereka dengan kasih
sayang.22
Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada kedua orang
tua, Allah menyatakan:
   
    
   

Artinya:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya samapai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Q.S. Al-Israa’: 25)
Selanjutnya Al-Qur’an melukiskan perlakuan terhadap orang tua:
   
   
  
 

22 Ibid., hal. 117-118.

16 | P a g e
Artinya:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayagan
dan ucapkanlah ‘Wahai Tuhanku kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka
berdua telah mengasihiku dan mendidikku waktu kecil.”(Q.S. Al-Israa’: 24)
Sebagai gambaran tentang hal itu adalah pernyataan Aisyah ra. tentang
bagaimana perilaku anak terhadap orang tua, adalah dialog Rsulullah SAW
kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah yang bersamamu? Orang itu
menjawab: “Ayahku”. Beliau berkata: “Jangan berjalan di depannya dan jangan
duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan jangan berbuat
sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya.” (Toha Abdullah Al-Affi,
1987: 51)
Selanjutnya firman Allah yang menyatakan:
“Kasihilah keduanya sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil”.23
Islam mengajarkan bahwa dalam perkembangannya, manusia mengalami
penurunan kemampuan sejalan dengan pertambahan usia mereka.
   
    
Artinya:
“Barangsiapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada
kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak memikirkannya.” (Q.S. Yasin: 68)
Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya dikemukakan, bahwa maksud kami
kembalikan kepada kejadiannya, yaitu dikembalikan kepada keadaan manusia
ketika ia baru dilahirkan, aitu lemah fisik dan kurang akal (Al-Qur’an dan
terjemahannya, 1971: 731).24
Dari penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia
usai lanjut menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang
bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus
dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan
kepada siapa pun,melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka.

23 Ibid., hal. 118-119


24 Ibid., hal. 120.

17 | P a g e
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut
menurut Islam merupakan kewajiban agama, maka sangat tercela dan dipandang
durhaka bila seorang anak menempatkan orang tuanya ditempat penampungan
atau panti jompo. Alasan apa pun tak dapat diteima bagi perlakuan itu.25

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan materi di atas tentang perkembangan jiwa keagamaan pada
orang dewasa dan usia lanjut, penyusun dapat menyimpulkan:
Dalam bukunya Pengantar Psikologi Krimini Drs. Gerson W. Bawengan,
S.H. mengemukakan pembagian kebutuhan mausia berdasarkan pembagian yang
dikemukakan oleh J.P. Guilford sebagai brikut:
1. Kebutuhan indivdual
2. Kebutuhan sosial
3. Kebutuhan manusia akan agama
Akhir masa remaja ditandai dengan masa adolesen, namun demikian ada
juga yang memasukkan masa adolesen ini kepada masa dewasa. Pada masa
adolesen, seseorang mulai menginjak dewasa, sehingga memiliki sifat yang pada
umumnya adalah sebagai berikut:
1. Menemukan pribadinya
2. Menentukan cita-citanya
3. Menggariskan jalan hidupnya
4. Bertanggung jawab
5. Menghimpun norma-norma sendiri
Sejalan dengan tingkat perkembngan usianya, maka sikap keberagamaan
pada orang dewasa antara lain memliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang
matang, bukan sekedar ikut-ikutan.

25 Ibid., hal. 121.

18 | P a g e
2. Cenderung bersifat realis, sehingga norma-norma agama lebih banyak
diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk
mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab
diri hingga sikap keberagamaan merupakan sikap realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan lebih luas.
6. Berskap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan
beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas
pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagamaan cenderung megarah kepada tipe-tipe kepribadian
masing-masing, sehingga terlhat adanya pengaruh kepribadian dalam
menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
8. Terlibat adanya hubungan antara sikap keberagamaan antara kehidupan
sosial, sehingga perhatian terhadap kepeningan organisasi sosial keagamaan
sudah berkembang.
Hurlock (1999) menyatakan bahwa usia lanjut lebih cenderung pada hal-
hal yang tidak menyenangkan dan hal ini dapat berimbas pada beberapa aspek
penurunan fisik atau psikis. Sehingga tidak sedikit orang usia lanjut yang menjadi
cerewet dan serba salah. Hal ini tergantung dari masing-masing individu
bagaimana dia megontrol dirinya dalam melewati masa labil, masa dimana
terdapat hal-hal yang tidak menyenangkan. Sehingga dibutuhkan tawakal yang
baik serta tingkat kontroldiri yang tinggi agar individu tidak terjerumus pada hal-
hal negatif yang membawa pada tekanan mental.26
Secara garis besarnya, ciri-ciri keberagaman di usia lanjut adalah:
1. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemapanan.
2. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat secara
lebih sungguh-sungguh.

26 Dr. Baharudin, dkk., Op. Cit., Psikologi Agama dalam Perspektif Islam, Malang: UIN-Malang
Press, 2008, hal. 161-162.

19 | P a g e
4. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta akan
sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul rasa takut kepada kematian meningkat sejalan dengan pertambahan
usia lanjut.
6. Perasaan takut terhadap kematian ini berdampak kepada peningkatan
pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan
abadi akhira.t
Manusia usia lanjut dalam penilaian terhadap banyak orang adalah
manusia yang sudah tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata sudah menurun,
sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai penyakit siap untuk
menggerogti mereka. Dengan demikian, di usia lanjut ini terkadang muncul
semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sis-sisa umur menunggu
datangnya kematian.
Dari penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia
usai lanjut menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang
bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus
dengan penu kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan
kepada siapa pun,melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut
menurut Islam merupakan kewajiban agama, maka sangat tercela dan dipandang
durhaka bila seorang anak menempatkan orang tuanya ditempat penampungan
atau panti jompo. Alasan apa pun tak dapat diteima bagi perlakuan itu.

20 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai