Anda di halaman 1dari 9

Perkembangan Psikososial Masa Kanak-kanak Akhir

Anak dalam kelompok Sebaya

Di masa pertengahan anak, kelompok sebaya menjadi identitasnya. Berkelompok


adalah bentuk umum yang terjadi pada anak-anak yang tinggal berdekatan dan pergi ke
sekolah bersama serta sering kali terdiri dari anak-anak dari ras atau etnis serta kondisi
sosial ekonomi yang sama. Anak-anak yang bermain bersama-sama biasanya dekat
secara usia dan dengan jenis kelamin yang sama (Hartup, 1992; Pellegrini dkk., 2002).

1. Dampak Positif dan Negatif Hubungan dengan Sebaya

Kelompok teman sebaya menjadi lebih penting pada masa ini. Mereka umumnya
terdiri dari anak-anak yang serupa dalam usia, jenis kelamin, suku bangsa, dan status
sosial ekonomi serta tinggal berdekatan atau pergi ke sekolah bersama-sama. Kelompok
teman sebaya membantu anak-anak mengembangkan keterampilan sosial,
memungkinkan mereka untuk menguji dan mengadopsi nilai-nlai yang bebas dari nilai
orang tua, memberikan mereka rasa memiliki, serta membantu mengembangkan
konsep diri dan identitas gender. Teman sebaya juga bisa mendorong konformitas dan
prasangka.

Anak-anak mendapat keuntungan ketika melakukan aktivitas bersama kelompoknya.


Mereka mengembangkan keterampilan yang diperlukan dalam hubungan sosial dan
intimasi, serta memupuk rasa memiliki. Mereka termotivasi untuk mencapai dan
memperoleh identitasnya. Mereka belajar kepemimpinan dan keterampilam
berkomuniskasi, kerja sama, berbagai peranan, dan aturan.

Saat anak mulai menjauh dari pengaruh orang tua, kelompok sebaya membuka
pandangan baru dan membebaskan mereka melakukan penilaian yang mandiri. Dengan
membandingkan diri mereka sendiri dengan teman sebayanya, anak dapat mengukur
kemampuan mereka lebih realistis dan mencapai keyakinan akan kemampuan diri
(Bandura, 1994). Kelompok sebaya membantu anak belajar bagaimana dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya bagaimana memenuhi kebutuhan dan
keinginan mereka terhadap orang lain, kapan menyerah dan kapan harus bersikap tegas.
Kelompok sebaya menawarkan keamanan emosi. Hal ini menenangkan untuk anak
menemukan bahwa mereka tidak sendirian menyimpan pikiran yang mungkin melawan
orang dewasa.

2. Popularitas

1
Popularitas menjadi sangat penting, anak-anak yang diterima sebayanya lebih
mudah dalam penyesuaian diri ketika masa remaja nanti. Popularitas dapat diukur
dengan dua cara dan hasilnya dapat berbeda. Peneliti mengukur popularitas sosiometrik
dengan bertanya pada anak-anak teman sebaya mana yang paling mereka sukai dan
tidak. Studi ini mengelompokan lima status kelompok sebaya, yaitu populer (anak-anak
muda yang menerima banyak nominasi positif), ditolak (yang menerima banyak
nominasi negatif), diabaikan (yang menerima sedikit nominasi dari kedua jenis),
kontroversial (yang menerima banyak nominasi positif dan negatif), serta rata-rata
(mereka yang tidak menerima jumlah nominasi yang tidak biasa untuk kedua jenis
nominasi). Popularitas persepsi diukur dengan menanyakan anak-anak mana yang paling
disukai kelompok sebayanya.

Secara sosiometrik anak yang populer memiliki kemampuan kognitif yang baik,
bagus dalam pencapaian, bagus dalam pemecahan masalah sosial, membantu teman
yang lain, dan bertindak tegas tanpa menjadi merusak atau agresif. Anak dengan
popularitas persepsi yaitu dengan status yang tinggi cenderung atraktif dan atletis
secara fisik dan pada tingkat yang lebih rendah, kemampuan akademis. Meskipun anak
agresif tidaklah populer di tahun-tahun pertama mereka masuk sekolah, mereka
diterima bahkan populer diantara anak-anak yang lebih tua (Cillessen & Mayeux, 2004;
LaFontana & Cillessen, 2002; Xie, Lie, Boucher, Hutchins, & Cairns, 2006).

Anak-anak dapat menjadi tidak populer (ditolak atau diacuhkan) untuk banyak sebab
walapun beberapa anak yang tidak populer merupakan anak agresif, yang lain hiperaktif,
ceroboh, atau menarik diri (Dodge, Coire, Pettit, & Price, 1990; Masten & Coatsworth,
1998; Newcomb dkk., 1993; A. W. Pope, Bierman, & Mumma, 1991). Yang lainnya masih
bersikap bodoh dan tidak dewasa atau cemas dan tidak pasti. Anak-anak yang tidak
populer seringkali tidak sensitif pada perasaan anak lain dan tidak bisa beradaptasi
dengan baik pada situasi yang baru (Bierman, Smoot, & Aumiller, 1993). Beberapa di
ataranya menunjukan ketertarikan yang tidak pantas bersama dengan kelompok sebaya
yang berjenis kelamin yang berbeda (Sroufe, Bennett, Englund, urban, & Shulman,
1993). Beberapa anak yang tidak populer berharap tidak disukai dan harapan ini menjadi
ramalan yang terpenuhi (Rabiner & Cole, 1989).

Seringkali dalam keluarga, anak dituntut menunjukan perilaku yang berdampak pada
popularitas. Orang tua yang otoritatif cenderung memiliki anak yang populer daripada
orang tua yang otoriter. Anak dari orang tua otoriter yang dihukum dan diancam, akan
memperlakukan anak lain degan kejam. Salah satu alasan mengapa keluarga
memengaruhi popularitas adalah karena keluarga dapat mempromosikan atau
menghalangi perkembangan kompetensi sosial.

Budaya dapat mempengaruhi kriteria popularitas. Salah satu rangkaian studi


menggambarkan bagimana konteks budaya dapat memunculkan arti dari tiap perilaku.
chen, Cen, Li, dan He (2005) menunjukan dampak hasil perubahan sosial dari

2
strukturisasi radikal sistem ekonomi China, khususnya yang terjadi sejjak tahun 1990.
Selama waktu itu, China membentuk sistem kolektivitas yakni secara keseluruhan oran g,
lewat pemerintahannya, ikut memiliki semua produk dan distribusi, ke arah yang lebih
kompetitif, kemajuan teknologi ekonomi pasar dengan kepemilikan pribadi dan hal ini
dihubungkan dengan nilai-nilai individualis. Peneliti mencatat pengukuran sosiometri
dan pengujian kelompok sebaya mengenai fungsi-fungsi sosial dari 3 kohor pada kelas
tiga dan empat sekolah Shanghai tahun 1990, 1998, dan 2002. Perubahan yang
menonjol muncul dengan mengacu pada rasa malu dan sensitivitas.

3. Persahabatan

Anak mungkin lebih banyak menghabiskan lebih banyak waktu luang dalam
kelompoknya, tapi hanya sebagai individual untuk berteman. Popularitas adalah opini
kelompok sebaya mengenai seorang anak, tetapi persahabatan memiliki dua arah. Anak-
anak mencari teman yang seperti mereka, pada usia, jenis kelamin, dan ketertarikan.
Persahabatan yang kuat melibatkan komitmen yang sama dan saling memberi dan
menerima. Meskipun anak-anak cenderung memilih teman dengan latar belakang etnis
yang sama, studi terlkini sebanyak 509 anak-anak kelas 4 menunjukan bahwa
persahabatan antar etnis diasosiasikan dengan hasil perkembangan yang positif
(Kawabata & Crick, 2008).

Bersama sahabat, anak-anak belajar berkomunikasi dan kerja sama. Mereka saling
membantu walaupun dalam kondisi yang penuh tekanan, seperti memulai hari di
sekolah baru atau menyesuaikan diri pada perceraian orang tua. Persahabatan
membantu anak merasa baik mengenai diri mereka sendiri, sehingga akan memudahkan
mereka dalam mencari teman. Tidak memiliki teman pada masa kanak-kanak akan
memberikan efek negative jangka Panjang.

Konsep persahabatan anak dan bagaimana mereka bertindak kepada teman-


temannya berubah sesuai usia, mencerminkan perkembangan kognitif dan emosinya.
Anak tidak dapat menjadi atau mencari teman sejati hingga mereka mencapai
kematangan kognitif untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain dan
membutuhkannya sama seperti yang mereka butuhkan (Hartup, 1992; Hartup &
Stevens, 1999; Newcomb & Bagwell, 1995).

Sahabat lebih banyak memiliki persamaan daripada perbedaan dilihat dari factor
usia, jenis kelamin, suku, dll. Sahabat dapat meningkatkan penghargaan diri dan rasa
sejahtera. Anak-anak di usia sekolah membedakan antara “sahabat”, “teman baik”, dan
“teman biasa” berdasarkan intimasi dan waktu yang dihabiskan sersama (Hartup &
Stevens, 1999). Anak diusia ini umumnya memiliki 3-5 sahabat, tapi biasanya bermain
hanya dengan satu atau dua anak pada satu waktu (Hartup & Stevens, 1999). Anak
perempuan usia sekolah tidak begitu menyukai memiliki banyak teman dari[pada hanya
beberapa teman dekat saja yang dapat mereka andalkan. Anak laki-laki lebih banyak

3
menjalin persahabatan, tapi mereka cenderung kurang dekat dan kurang afeksi
(Furman, 1982 &; Furman & Buhrmester, 1985; Hartup & Stevens, 1999).

4. Agresi dan Penindasan

Agresi menurun dan berubah-ubah bentuknya selama masa awal sekolah. Setelah
usia 6 atau 7 tahun, kebanyakan anak menjadi kurang agresif, tidak egosentris, lebih
berempati, lebih kooperatif dan lebih baik dalam komunikasi. Mereka dapat
menempatkan diri dilingkungan lain, dapat memahami motif orang lain dan dapat
menemukan cara yang positif dalam memperlakukan diri mereka sendiri. Agresi
instrumental, agresi yang dicapai untuk mencapai tujuan tanda di periode pra sekolah
menjadi hal yang umum (Coie & Dodge, 1998).anak laki-laki cenderung bertindak agresi
langsung, dan anak perempuan cenderung lebih agresif dalam hal agresi tidak langsung
atau sosial.

a. Tipe-Tipe Agresi dan Pengolahan Informasi Sosial

Salah satu yang membuat anak bertindak agresif mungkin bersandar pada cara
mereka mengolah informasi sosial: fitur sosial apa yang terjadi di lingkungan yang
diperhatikan oleh anak-anak dan bagaimana mereka menginterpretasikan apa yang
mereka peroleh. Instrumental atau proaktif , aggressor memandang kekuatan dan
paksaan sebagai cara yang efektif untuk mendapatkan apa yang mereka mau.
Mereka sengaja bertindak dengan tidak mengeluarkan amarah. Bias atribusi
permusuhan, mereka melihat anak lain mencoba menyakiti mereka, dan melawan
dalam bentuk pembalasan atau mempertahankan diri (Crick & Dodge, 1996; de
Castro, Veerman, Koops, Bosch, & Monshouwer, 2002; Waldman, 1996).

b. Pemicu sikap agresi

Baik televisi, video game, telepon selular, dan computer memegang peranan besar
dalam kegiatan anak sehari-hari. Waktu yang anak-anak habiskan secara signifikan
lebih banyak dengan media, apa yang mereka lihat akan menjadi contoh peran dan
sumber informasi bagaimana individu berperilaku. Bukti penelitian menunjukan
lebih dari 50 tahun pada ekspos kekerasandisajikan di televisi dan video game
mendukung hubungan sebab akibat dari kekerasan media dan perilaku kekerasan
dari sudut pandang penonton (Huesmann, 2007).

c. Penindas dan korbannya

Penindas merupakan agresi yang sengaja dan secara langsung terhadap target
tertentu atau korban, yang umumnya lemah, rentan, dan tidak mampu
mempertahankan diri. Penindasan dapat secara fisik, verbal dan penindasan cyber.
Penindasan mencerminkan kcenderungan genetis pada agresivitas yang
dikombinasikan dengan pengaruh lingkungan, seperti orang tua yang suka memaksa
dan teman-teman yang antisosial (Berger, 2007). Kebanyakan yang melakukan

4
penindasan adalah anak laki-laki ke anak laki-laki lain; anak perempuan melakukan
penindasan cenderung sasarannya anak perempuan lain (Berger, 2007; Pellegrini &
Long, 2002; Veenstra dkk., 2005). Pola penindasan dan penargetan korban dapat
mulai terbentuk saat masa awal taman kanak-kanak; sebagai percobaan dalam
kelompok sebaya, aggressor segera mengetahui mana anak yang menjadi sasaran
yang mudah. Penidasan terutama penindasan secara emosional adalah merugikan
baik yang melakukan maupun korbannya dan bahkan dapat berakibat fatal (Berger,
2007).

Kesehatan mental
Istilah Kesehatan mental adalah pemberian nama yang salah karena biasanya
mengacu pada Kesehatan emosi. Meskipun kebanyakan anak-anak dinilai baik-baik saja,
setidaknya 1-10 anak dan remaja didiagnosis memiliki gangguan mental cukup parah
yang menyebabkan beberapa kerusakan (Leslie, Newman, Cohen & Perrin, 2005).
Diagnosis gangguan mental pada anak adalah penting karena gangguan ini dapat
mengarah pda gangguan psikiatris pada masa dewasa nanti (Kim-Cohen dkk., 2005).

1. Masalah-Masalah Emosional yang Umum Terjadi

Anak-anak dengan permasalahan emosi, perilaku dan perkembangan cenderung


kurang dilayani oleh kelompoknya. Dibandingkan dengan anak lain yang memiliki
kebutuhan perawatan Kesehatan khusus, mereka lebih mungkin memiliki kondis
yang berdampak pada aktivitas harian mereka dan menyebabkan mereka
ketinggaalan di sekolah. Mereka sering kali memiliki kondisi fisik yang kronis.

a. Gangguan tingkah laku yang mengganggu

Temper tamtrum (pemarah) dan penyimpangan, argumentative,


bermusuhan, atau perilaku mengganguu lainnya umumnya terjadi di sekitar usia
4-5 tahun, umumnya melampaui pertengahan masa anak-anak saat anak
semakin baik dalm mengontrol perilaku tersebut (Miner & Clarke-Stewart,
2009). Ketika pola-pola perilaku tersebut bertahan hingga usia 8 tahun, anak-
anak (biasanya anak laki-laki) didiaagnosis dengan oppositional defiant disorder
(odd), bentuk-bentuk dari penentangan, ketidak patuhan, dan permusuhan
terhadap otoritas orang dewasa, setidaknya selama 6 bulan dan menjadi diluar
batas kenormalan perilaku anak. Anak-anak dengan ODD terus-menerus
bertengkar, adu argument, kehilangan kendali marah, merebut sesuatu
menyalahkan yang lain, dan penuh marah, serta penuh kebencian.

Beberapan anak yang menderita ODD juga memiliki conduct disorder (CD),
gangguan perilaku), bentuk yang menetap, berulang, dimulai dari usia mereka,

5
agresif, sikap antisosial, seperti membolos, membakar, kebiasaan berbohong,
bertengkar, menindas, mencuri, suka merusak, menyerang, dan penggunaan
obat-obatan, serta alcohol (American Psychiatric Associwtion, 2000; National
Library of Medicine, 2003).

b. Fobia Sekolah dan Gangguan Kecemasan Lain

Anak-anak dengan fobia sekolah memiliki ketakutan yan gtidak realistis


untuk bersekolah. Fobia sekolah yang sesungguhnya adalah bentuk gangguan
kecemasan untuk berpisah, sebuah kondisi yang melibatkan kecemasan
berlebihan setidaknya untuk 4 minggu karena perpisahan dari rumah atau
individu tempat anak memiliki kelekatan. Walaupun kecemasan berpisah adalah
normal Ketika masa infancy, Ketika hal ini menetap di anak yang usianya lebih
tua, hal ini perlu diperhatikan.

Kadang fobia sekolah juga merupakan bentuk fobia sosial atau kecemasan
sosial; ketakutan yang berlebihan dan/ atau menghindari situasi sosial seperti
berbicara di kelas atau bertemu kenalan di jalan. Beberapa anak memiliki
gangguan kecemasan yang umum, tidak terpaku pada bagian spesifik
kehidupan mereka. Anak tersebut khawatir akan segalanya; kelulusan sekolah,
badai, gempa bumi, dan melukai diri mereka sendiri Ketika bermain di sekitar
area bermain. Gangguan umum lainnya adalah obsessive compulsive disorder
(OCD/ gangguan obsesif kompulsif). Anak-anak dengan gangguan ini terobsesi
dengan pengulangan, pikiran yang mengganggu, gambaran atau dorongan
(seringkali berhubungan dengan ketakutan irasional); atau menunjukan perilaku
kompulsif, seperti mencuci tangan berulang-ulang; atau keduanya (American
Psychiatric Association, 2000); Harvard Medical School, 2004a; USDHHS, 1999b).

c. Depresi masa anak

Depresi mada masa anak-anak adalah gangguan suasana hati yang terjadi
melebihi kenormalan, kesedihan sementara. Depresi diperkirakan terjadi sekitar
2 persen pada anak pra sekolah dan meningkat sebanyak 2,8 persen pada anak
dibawah usia 13 tahun (Costello, Erkanli & Angold, 2006; NCHS, 2004). Gejalanya
termasuk ketidak mampuan untuk bersenang-senang atau berkonsentrasi, sakit
pinggang, akibat aktivitas yang ekstrem atau apatis, menangis, masalah tidur,
perubahan berat badan keluhan fisik, perasaan tidak berguna, merasa tidak
memiliki teman, atau pikiran tentang kematian atau bunuh diri yang sering
muncul. Depresi anak-anak adalah tanda dimulainya masalah-masalah yang
berulang-ulang yang menetap pada masa dewasa nanti (Birmaher, 1998;
Birmaher dkk, 1996; Ciccheti & Toth, 1998; Kye & Ryan, 1995; USDHHS, 1999b;
Wiesman, Warner, Wickramaratne & Kandel, 1999).

6
2. Teknik penanganan

Perawatan psikologis untuk gangguan emosi dapat menggunakan beberapa bentuk:

a. Terapi individual
Perawatan psikologis yakni terapis melihat individu yang bermasalah satu demi
satu. Terapis melihat anak satu per satu, membantu anak mendapatkan
pemahaman diri dalam kepribadiannya dan dalam relasi serta
menginterpretasikan perasaan dan perilaku.
b. Terapi keluarga
Perawatan psikologis yakni terapis melihat seluruh anggota keluarga untuk
mengumpulkan, untuk mengalisa bentuk-bentuk fungsi keluarga. Terapi dapat
membantu orang tua menghadapi konflik mereka dan mulai memecahkannya.
c. Terapi perilaku
Terapi perilaku atau modifikasi perilaku merupakan bentuk psikoterapi yang
menggunakan prinsip teori belajar untuk mendorong perilaku yang diinginkan,
atau mengeliminasi perilaku yang tidak diinginkan.
d. Terapi seni
Pendekatan terapi yang mengizinkan individu mengekspresikan perasaan yang
bermasalah tanpa kata-kata, menggunakan beragam bahan seni dan media.
e. Terapi bermain
Pendekatan terapi yang menggunakan permainan untuk membantu anak-anak
mengatasi kesukaran emosi akibat stress.
f. Terapi penggunaan obat
Penggunaan obat sebagai terapi untuk mengobati gangguan emosi seperti
antidepresan, stimulant, tranquilizer, atau antipsikotik.

3. Stres dan Ketangguhan

Stress juga merupakan bagian dari masa anak-anak dan kebanyakan anak belajar
menghadapinya. Stress yang berlebihan bagaimanapun dapat menuntun pada
masalah-masalah psikologis. Beberapa stressor parah, seperti perang atau
penyalahgunaan anak, memiliki efek jangka Panjang pada keadaan fisik atau
kesejahteraan psikologis.

a. Stress di Kehidupan Modern


Anak-anak zaman sekarang diharapkan berhasil disekolah, bersaing dalam
olahraga, dan untuk memenuhi kebutuhan orang tua. Anak-anak di ekspos
berbagai macam permasalahan orang dewasa yang ditunjukan di televisi dan di
kehidupan nyata sebelum mereka menguasai permasalahan di masa anak-anak
mereka. Mereka mengetahui tentang seks dan kekerasan, dan seringkali harus
menanggung beban tanggung jawab orang dewasa. Banyak anak-anak harus
pindah sekolah dan meninggalkan teman-temannya. Jadwal yang ketat yang

7
dihadapi dalam hidup yang cepat dalam menjadikan stress. Akan tetapi, anak-
anak bukanlah orang dewasa kecil. Mereka merasa dan berpikir seperti anak dan
mereka memerlukan masa anak-anak untuk perkembangan yang sehat.

Anak-anak yang mudah terpengaruh daripada orang dewasa menjadi korban


kejahatan psikologis mulai mengalami peristiwa traumatis seperti perang atau
terorisme dan reaksi mereka beragam berdasarkan usia (Wexler, Branski &
Kerem, 2006; Tabel 10-2).dampak peristiwa traumatis dipengaruhi oleh jenis-
jenis peristiwa, seberapa besar anak terekspos dan seberapa besar mereka dan
keluarga dan teman-temannya mengalami dampak personal. Penyebab bencana
manusia, seperti terorisme dan perang, lebih kuat dampak psikologisnya pada
anak daripada bencana alam, seperti gempa bumi, dan banjir.

Respons anak terhadap kejadian traumatis umumnya terjadi dalam dua


tingkat; pertama, ketakutan, tidak percaya, penolakan, duka cita, dan perasaan
leg ajika orang yang disayanginya tidak terluka; tingkat kedua, beberapa hari
atau minggu kemudian, regresi pada perkembangan dan tanda-tanda stress
emosi kecemasan, rasa takut, penarikan diri, gangguan tidur, pesimis terhadap
masa depan, atau bermain yang dihubungkan dengan tema dari peristiwa. Jika
gejala tetap ada lebih dari sebulan, anak-anak harus mendapatkan konseling
(Hagan dkk., 2005).

b. Menghadapi stress: Anak yang Tangguh


Anak yang Tangguh adalah mereka yang mempertahankan atau memelihara
ketenangan dan kompetensi dibawah tantangan atau ancaman yang bangkit
kembali dari pengalaman traumatis. Anak ini tidak menunjukan sikap yang luar
bisa. Mereka hanya mengelola secara sederhana meskipun berada dalam
kondisi yang merugikan untuk memperoleh kekuatan dari sumber-sumber yang
mendorong perkembangan yang positif (Masten, 2001; Tabel 10-3).

Dua hal penting faktor-faktor pelindung yang tampaknya dapat membantu


anak-anak dan remaja mengatasi stress dan berkontribusi untuk ketangguhan
adalah hubungan keluarga yang baik dan fungsi kognitif (Masten & Coatsworth,
1998). Anak yang Tangguh kemungkinan besar memiliki hungan yang baik dan
ikatan yang kuat dengan setidaknya salah satu orang tua yang mendukung
(Pettit dkk., 1887) atau pengasuh atau pemberi pengasuhan yang lain, orang tua
yang kompeten (Masten & Coatsworth, 1998). Anak yang Tangguh juga
cenderung memiliki IQ yang tinggi dan mampu menyelesaikan msalah dengan
baik serta memiliki kemampuan kognitif yang dapat membantu mereka untuk
mengatasi kesulitan, melindungi diri mereka sendiri, mengatur perilaku mereka,
dan belajar dari yang berpengalaman. Mereka mungkin menarik perhatian guru,
yang dapat bertindak sebagai pembimbing, orang kepercayaannya, atau

8
mentornya (Masten & Coatsworth, 1998). Mereka bahkan mungkin memiliki gen
pelindung yang akan menahan dampak lingkungan yang tidak diinginkan (Caspi
dkk., 1990; Kim-Cohen dkk., 2004).

Faktor pelindung lain yang disebut termasuk dibawah ini (Ackerman, Kogos,
Youngstorm, Schoff, & Izard, 1999; Eisenberg dkk., 2004; Masten dkk., 1990;
Masten & Coatsworth, 1998; E. E. Werner, 1993);

 Tempramen atau kepribadian anak; anak yang Tangguh mudah beradaptasi,


bersahabat, disukai semua orang, mandiri, dan sensitive terhadap orang
lain. Mereka berkompeten dan memiliki harga diri yang tinggi. Mereka
kreatif, penuh ide, mandiri, dan menyenangkan. Ketika stress, mereka dapat
mengatur emosinya dengan mengalihkan perhatian pda yang lain.
 Pengalaman kompensasi; lingkungan sekolah yang mendukung atau
pengalaman keberhasilan disekolah, olahraga, music, atau dengan anak lain,
atau orang dewasa lain dapat membantu memperbaiki kehidupan rumah
yang rusak.
 Mengurangi risiko; anak yang terekspos hanya satu faktor gangguan psikiatri
(seperti perselisihan pengasuhan, status sosial yang rendah, ibu yang
mengganggu, ayah yang criminal, dan pengalaman Ketika berada di panti
asuhan) seringkali dapat dengan mudah mengatasi stress daripada anak
yang telah terekspos lebih dari satu faktor risiko.

Hal ini berarti bahwa hal buruk yang terjadi dalam kehidupan anak
bukanlah suatu masalah. Secara umum, anak dengan latar belakang yang
tidak baik lebih banyak memiliki masalah penyesuaian daripada anak
dengan latar belakang yang baik dan bahkan Ketika anak-anak yang lahir
secara lahiriah Tangguh terhadap stress mungkin akan memiliki konsekuensi
jangka Panjang (Masten & Coatsworth, 1998). Tetap saja, apa yang
menggembirakan dari temuan ini adalah pengalaman masa anak yang
negative tidak selalu menentukan hasil kehidupan seseorang dan banyak
anak memiliki kekuatan untuk tumbuh di situasi paling sulit.

Anda mungkin juga menyukai