Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai

serangkaian

proses

untuk

membantu

individu mencapai perkembangan optimal, bimbingan dan


konseling diperuntukan untuk semua peserta didik. Dalam
prakteknya, peserta didik tidak hanya berada di sekolah,
tetapi

ada

diantaranya

yang

berada

dalam

binaan

Lembaga Pemasyarakatan yang biasa disebut anak didik


pemasyarakat. Menurut Pasal 1 Angka 8 UU Nomor 12
Tahun

1995

Tentang

Pemasyarakatan

Anak

Didik

Pemasyarakatan adalah (a) Anak Pidana yaitu anak yang


berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana

di

LAPAS Anak, paling lama sampai berumur 18 (delapan


belas) tahun; (b) Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan
putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik
dan ditempatkan di LAPAS Anak, paling lama sampai
berumur 18 (delapan belas) tahun; (c) Anak Sipil yaitu anak
yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh
penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak, paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pada
tahun
2008
merujuk
pada
pemasyarakatan

Dirjen

jumlah anak yang berhadapan dengan

hukum di indonesia berjumlah sekitar 78 ribu orang yang


tersebar di setiap provinsi di indonesia.
dihadapi

anak

tersebut

diantaranya

Kasus yang
penganiyaan,

pembunuhan, pencurian, perampokan perkelahian dan


pengeroyokan.
Anak yang berada dalam lembaga pemasyarakatan
rentan mengalami rendah diri atau memiliki tingkat self

esteem yang rendah. Hal ini terjadi karena individu di didik


dalam suatu lingkungan pemasyarakatan yang identik
dengan hukuman bagi para penjahat.
Maka
dari
itu,
anak
didik

pemasyarakatan

memerlukan layanan dasar bimbingan untuk meningkatkan


self esteem dalam rangka mempersiapkan anak untuk
kembali bermasyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, berikut ini dijabarkan rumusan
masalah yang akan dikaji dalam makalah ini :
1.
2.
3.
4.

Apa yang dimaksud dengan anak didik pemasyarakatan ?


Apa yang dimaksud dengan self esteem ?
Apa yang dimaksud dengan brainstroming?
Bagaimana brainstroming dapat meningkatkan self esteem anak
didik pemasyarakatan ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah
ini yakni sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Mendeskripsikan anak didik pemasyarakatan.


Mendeskripsikan self esteem.
Mendeskripsikan metode brainstroming.
Menganalisis efektivitas metode brainstroming

untuk

meningkatkan

didik

meningkatkan

pemasyarakatan.

self

esteem

anak

BAB II
METODE BRAINSTORMING UNTUK MENINGKATKAN SELF ESTEEM
ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN
A. Anak Didik Pemasyarakatan
Menurut Pasal 1 Angka 8 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan Anak Didik Pemasyarakatan adalah (a) Anak Pidana yaitu
anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS
Anak, paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; (b) Anak
Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada
negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak, paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; (c) Anak Sipil yaitu anak yang
atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan
untuk dididik di LAPAS Anak, paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun.
Anak didik pemasyarakatan umumnya melakukan perilaku
delinkuen atau disebut juga kenakalan. Dalam sudut pandang hukum
berdasarkan Pasal 1 Butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, mengkualifikasikan kenakalan anak (anak nakal) sebagai
anak yang melakukan tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan
yang terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.
B. Self esteem
1. Definisi
Stuart dan Sundeen (1991), mengatakan bahwa harga diri (self
esteem) adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal dirinya. Dapat
diartikan bahwa harga diri menggambarkan sejauhmana individu tersebut
menilai dirinya sebagai orang yang memeiliki kemampuan, keberartian,
berharga, dan kompeten.
Sedangkan menurut Gilmore (Akhmad Sudrajad) mengemukakan
bahwa: .self esteem is a personal judgement of worthiness that is a

personal that is expressed in attitude the individual holds toward himself.


Pendapat ini menerangkan bahwa harga diri merupakan penilaian individu
terhadap kehormatan dirinya, yang diekspresikan melalui sikap terhadap
dirinya. Sementara itu, Buss (1973) memberikan pengertian harga diri
(self esteem) sebagai penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang
sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan.
Dalam blog Sandyajizah (2013) definisi self esteem menurut
Coopersmith (1967: 4-5) :
Self esteem we refer to the evaluation which the individual makes
and customarily maintains with regard to himself : it expresses an
attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to
which the individual believes himself to be capable, significant,
successful and worthy. In short, self esteem is a personal judgment
of worthiness that is expressed in the attitudes the individual holds
toward himself .
Self esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan
kebiasaan memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima atau
menolak,

dan

indikasi

besarnya

kepercayaan

individu

terhadap

kemampuannya, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan. Secara singkat


self esteem adalah personal judgment mengenai perasaan berharga atau
berarti yang di ekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa harga diri atau
self esteem adalah pandangan atau penilaian individu tentang keberadaan
serta keberhagaan dirinya.
2.
Proses Pembentukan Self- Esteem
Self-esteem menurut Brisset (1972), mencakup dua proses psikologi
mendasar yaitu :
1) Proses dari evaluasi diri (self-evaluation)
2) Proses dari penghargaan diri (self worth)
Ada tiga faktor utama yang berhubungan dengan self-evaluation yaitu :
1) Perbandingan self-image dengan ideal image yaitu perbandingan
gambaran diri dari keadaan diri yang seseorang kenal atau
kenyataan yang dirasakan dan gambaran diri yang seseorang
inginkan. Self-image individu berkenaan dengan karakteristik fisik

dan mentalnya. Proses perkembangan self-image telah ditunjukan


Cooley, 1974 (Coopersmith, 1967) sebagai gambaran diri individu
yang dimiliki individu melalui interaksinya dengan lingkungannya.
Individu

mendapat

perilakunya

dari

feed

back

orang-orang

dan

pengesahan

sekitarnya.

mengenai

Interpretasi

yang

dilakukan oleh seseorang terhadap penilaian lingkungan akan


mempengaruhi dan membentuk self-esteem. Ideal-self

adalah

suatu set interpretasi dari individu sebagai pernyataan akan


keinginan-keinginan dan aspirasi-aspirasi sebagai bagian dari
kebutuhannya.
Individu yang dapat berbuat sesuatu dengan standar-standar
mereka dan menyadari aspirasi-aspirasi mereka sehingga akan
berkembang menjadi orang dengan perasaan self-esteem yang
tinggi. Sedangkan individu yang mendapatkan bahwa mereka tidak
memiliki sifat-sifat yang dikehendakinya oleh cita-cita mereka,
tidak menyadari kapasitasnya dan bersikap tidak realistis terhadap
kehidupannya dan mudah merasakan ketidakpuasan, kemungkinan
besar akan memiliki perasaan self-esteem yang rendah.
2) Internalisasi dari sociatys judgement. Dalam pengertian ini selfevaluation

ditentukan

oleh

keyakinan-keyakinan

individu

mengenai bagaimana orang lain mengevaluasi dirinya. Disini


individu menilai dirinya sendiri sejak ia berinteraksi dengan
lingkungannya. Standar nilai yang terinternalisasikan menjadi
suatu kendala tingkah laku yang diperoleh dari lingkungan sosial
sesuai dengan tahap perkembangan.
3) Evaluasi terhadap kesuksesan dan kegagalan dalam melakukan
sesuatu sebagai bagian dari identitas diri, hal ini tidak hanya
individu melakukan sesuatu dari apa yang membuat dirinya merasa
berarti tetapi juga secara sosial, hal ini memberikan suatu kekuatan
yang dapat meningkatkan rasa penghargaan terhadap diri. Pola ini
terjadi dari penyesuaian individu dengan adanya kebutuhan-

kebutuhan dalam diri individu terhadap struktur sosial, hal ini akan
memuaskan individu.
Proses psikologis kedua yaitu self-worrth, adalah perasaan bahwa diri
atau self itu penting dan efektif serta melibatkan pribadi yang sadar akan
diri sendiri. Self-worth ini akan lebih mendasar dari self-evaluation karena
melibatkan suatu pandangan dari diri seseorang dalam menguasai suatu
tindakannya, perasaan kompetisi yang muncul dalam diri (intrinsik) tidak
sekedar bergantung pada lingkungan atau pandangan yang bersifatnya
eksternal. Masing-masing proses tersebut saling melengkapi satu sama
lain. Brisset, 1972 ( Coopersmith, 1967) menyatakan bahwa self-worth
lebih mendasar pada diri manusia dari pada self-evaluation.
Proses pembentukan self-esteem tidak selalu berjalan mulus tanpa
hambatan. Terdapat beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan selfesteem. Menurut Nathaniel Braden, 1969 ( Coopersmith, 1967) hal-hal
yang dapat menghambat pembentukan self esteem adalah :
1) Perasaan takut
Dalam kehidupan sehari-hari kita harus menempatkan diri di
tengah-tengah kenyataan. Cara menempatkan diri ini berbeda bagi setiap
individu. Ada yang menghadapi fakta-fakta kehidupan dengan penuh
keberanian akan tetapi ada juga yang menghadapi dengan perasaan yang
tidak berdaya. Pangkal dari pada perasaan tidak berdaya ini adalah negatif
terhadap dirinya sehingga individu hidup dalam ketakutan. Ketakutan ini
akan mempengaruhi alam perasaan individu, sehingga akan mengganggu
keseimbangan alam emosinya, dan dalam keadaan emosi yang labil,
individu tidak dapat berfikir secara wajar, segala sesuatu diluar dirinya
dipersepsikan secara distorted. Kecemasan ini akan membuat individu
ragu-ragu yang berarti tidak menunjang pembentukan self esteem.
2) Perasaan bersalah
Ada 2 macam perasaan bersalah digolongkan menurut cara
individu mengalaminya yaitu :

1) Perasaan salah karena melanggar nilai-nilai moral


sendiri. Perasaan ini dimiliki individu yang mempunyai
pegangan hidup berdasarkan kesadaran dan keyakinan
sendiri.

Individu

telah

menentukan

kriterianya

mengenai mana yang baik dan buruk baginya. Jadi


individu
2)

merasa

sendirinya.
Individu

bersalah

menghayati

terhadap

keyakinan

kesalahannya

sebagai

pelanggaran terhadap nilai-nilai kehidupan yang tidak


ditanamkan

oleh

kehidupannya.

orang-orang

Apabila

anak

penting
di

didik

dalam
untuk

mengekspresikan dirinya secara bebas, maka anak akan


mengatasi secara represif yaitu mencoba melupakan,
menghilangkannya dalam alam bawah sadar. Rasa
bersalah akan bertambah besar dan lambat laun akan
menjelma dalam bentuk kecemasan.

3)
Menurut

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Self


Esteem
Coopersmith

(1967:37-43)

self

esteem

dalam

perkembangannya terbentuk dari hasil interaksi individu dengan


lingkungan dan atas sejumlah penghargaan, penerimaan, dan pengertian
orang lain terhadap dirinya. Berdasarkan teori-teori dan penelitian
sebelumya mengarahkan Coopersmith (1967) untuk menyimpulkan 4
faktor utama yang memberi kontribusi pada perkembangan self esteem,
yaitu:
1) Respectful, penerimaan, dan perlakukan yang diterima individu
dari Significant Others.
Significant Others adalah orang yang penting dan berarti
bagi individu, dimana ia menyadari peran mereka dalam memberi
dan

menghilangkan

ketidaknyamanan,

meningkatkan

dan

mengurangi

ketidakberdayaan.

Serta

meningkatkan

dan

mengurangi keberhargaan diri. Self Esteem bukan merupakan


faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi merupakan faktor yang
dipelajari

dan terbentuk dari pengalaman individu ketika

berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam berinteraksi


tersebut akan terbentuk suatu penilaian atas dirinya berdasarkan
reaksi yang ia terima dari orang lain.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama bagi
anak. Perilaku yang diberikan orang tua kepada anaknya akan
membentuk self esteem si anak. Jika hubungan orang tua dan anak
merupakan

hubungan

interpersonal

pertama

yang

dialami

memberikan kesan buruk bagi anak, maka hal tersebut dapat


mempengaruhi penilaian dirinya dikemudian hari. Oleh karena itu
orang tua merupakan Significant Others yang utama dalam
perkembangan self esteem anak. Tetapi self esteem anak belum
terbentuk sepenuhnya terbentuk dan masih dapat berubah. Setelah
si anak masuk kepada masa tengah dan akhir, apalagi setelah
memiliki lingkungan sosial (baik di sekolah maupun di
masyarakat),

pengaruh

kelompok

teman

sebaya

mulai

menggantikan peran orang tua sebagai orang-orang yang


berpengaruh terhadap self esteem anak. Pada masa-masa tersebut
anak dituntut untuk mampu berkompetisi dan kompeten untuk
mendapat

penghargaan

dari

teman-teman

yang

akan

mempengaruhi juga terhadap penilaian dirinya. Seseorang yang


merasa dirinya dihormati, diterima dan diperlakukan dengan baik
akan cenderung membentuk self esteem

yang tinggi, dan

sebaliknya seseorang yang diremehkan, ditolak dan diperlakukan


buruk akan cenderung akan membentuk self esteem yang rendah.
2) Sejarah keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai
individu.

Keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai


individu tersebut akan membentuk suatu penilaian

terhadap

dirinya, berdasarkan dari penghargaan yang diterima dari orang


lain. Status merupakan suatu perwujudan dari keberhasilan yang
diindikasikan dengan pengakuan dan penerimaan dirinya oleh
masyarakat.
3) Nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi.
Pengamalan-pengalaman individu akan diinterpretasi dan
dimodifikasi

sesuai

dengan

nilai-nilai

dan

aspirasi

yang

dimilikinya. Individu akan memberikan penilaian yang berbeda


terhadap berbagai bidang kemampuan dan prestasinya. Perbedaan
ini merupakan fungsi dari nilai-nilai yang mereka internalisasikan
dari orang tua dan individu lain yang signifikan dalam hidupnya.
Individu pada semua tingkat self esteem mungkin memberikan
standar nilai yang sama untuk menilai keberhargaannya, namun
akan berbeda dalam hal bagaimana mereka menilai pencapaian
tujuan yang telah diraihnya.
4) Cara individu berespon devaluasi terhadap dirinya.
Individu dapat mengurangi, mengubah, atau menekan
dengan kuat perlakuan yang merendahkan diri dari orang lain atau
lingkungan, salah satunya adalah ketika individu mengalami
kegagalan. Pemaknaan individu terhadap kegagalan tergantung
pada caranya mengatasi situasi tersebut, tujuan, dan aspirasinya.
Cara individu mengatasi kegagalan akan mencerminkan bagaimana
ia mempertahankan harga dirinya dari perasaan tidak mampu, tidak
berkuasa, tidak berarti, dan tidak bermoral. Individu yang dapat
mengatasi

kegagalan

dan

kekurangannya

adalah

dapat

mempertahankan self esteemnya.


4)
Komponen Self Esteem
Menurut Coopersmith (1967), ada empat komponen yang menjadi
sumber dalam pembentukan Self esteem individu. Keempat komponen itu
adalah keberhasilan (Successes), Nilai-nilai (value), Aspirasi-aspirasi

(Aspirations), dan pendekatan dalam merespon penurunan penilaian


terhadap diri (Defences).
1) Successes
Kata keberhasilan memiliki makna yang berbeda-beda
pada setiap orang. Beberapa individu memaknakan keberhasilan
dalam bentuk kepuasan spiritual, dan individu lain menyimpulkan
dalam bentuk popularitas. Pemaknaan yang berbeda-beda terhadap
keberhasilan

ini

disebabkan

oleh

faktor

individu

dalam

memandang kesuksesan dirinya dan juga dipengaruhi oleh kondisikondisi budaya yang memberikan nilai pada bentuk-bentuk tertentu
dari kesuksesan. Dalam satu setting social tertentu, mungkin lebih
memaknakan keberhasilan dalam bentuk kekayaaan, kekuasaan,
penghormatan, independen, dan kemandirian. Pada konteks social
yang lain, lebih dikembangkan makna ketidakberhasilan dalam
bentuk kemiskinan, ketidakberdayaan, penolakan, keterikatan pada
suatu bentuk ikatan social dan ketergantungan. Hal ini tidak berarti
bahwa individu dapat dengan mudahnya mengikuti nilai-nilai yang
dikembangkan

dimasyarakat

mengenai

keberhasilan,

tetapi

hendaknya dipahami bahwa masyarakat memiliki nilai-nilai


tertentu mengenai apa yang dianggap berhasil atau gagal dan dapat
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh individu.
Terdapat empat tipe pengalaman berbeda yang mencoba
mendefinisikan

tentang

keberhasilan.

Setiap

hal

tersebut

memberikan kreteria untuk mendefinisikan keberhasilan itu adalah


area power, area Significance, area Competence dan area virtue.
Berikut ini akan dijelaskan manifestasi keberhasilan dalam
keempat area tersebut.
a. Keberhasilan dalam area Power
Keberhasilan ini diukur oleh kemampuan individu
untuk mempengaruhi aksinya dengan mengontrol tingkah
lakunya sendiri dan mempengaruhi orang lain. Dalam
situasi tertentu, power tersebut muncul melalui pengakuan

10

dan penghargaan yang diterima oleh individu dari orang


lain, dan melalui kualitas penilaian terhadap pendapatpendapat dan hak-haknya. Efek dari pengakuan tersebut
adalah menumbuhkan perasaan penghargaan (sense of
appreciation) terhadap pandangannya sendiri dan mampu
melawan tekanan untuk melakukan konformitas tanpa
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan pendapatpendapatnya sendiri. Masing-masing perlakuan tersebut
bisa mengembangkan control sosial, kepemimpinan, dan
kemandirian yang mampu memunculkan sikap asertif,
energik, tingkah laku, eksplorasi.
b. Keberhasilan dalam area Significance
Keberhasilan ini diukur oleh adanya penerimaan,
perhatian, dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh orang
lain. Ekspresi dari penghargaan dan minat terhadap
individu tersebut termasuk dalam pengertian penerimaan
(acceptance) dan popularitas, yang merupakan kebalikan
dari penolakan dan isolasi. Penerimaan ditandai dengan
kehangatan, responsifitas, minat, dan menyukai individu
apa adanya. Dampak utama dari masing-masing perlakuan
dan kasih sayang tersebut adalah menumbuhkan perasaan
berarti (tense of importance) dalam dirinya. Makin banyak
orang menunjukkan kasih sayang, maka makin besar
kemungkinan memiliki penilaian diri yang baik.
c. Keberhasilan dalam area Competence
Keberhasilan ini ditandai oleh tingkat pencapaian
yang tinggi, dengan tingkatan, dan tugas yang bervariasi
untuk tiap kelompok usia. White, 1959 (Coopersmith,
1967)

menunjukkan

bahwa

pengalaman-pengalaman

seorang anak mulai dari masa bayi yang diberikan secara


biologis dan rasa mampu (sense of efficacy) yamg

11

memberikannya kesenangan, membawanya untuk selalu


berhadapan dengan lingkungan dan menjadi dasar bagi
pengembangan

motivasi

instrinsik

untuk

mencapai

kompetensi yang lebih tinggi lagi. White menekankan


pentingnya aktivitas spontan pada seorang anak dalam
menumbuhkan perasaan mampu (feeling of efficacy) dan
pengalaman-pengalaman dalam pencapaian kemandirian
dapat sangat memberikan penguatan terhadap nilai-nilai
personalnya dan tidak tergantung pada kekuatan-kekuatan
di luar dirinya. Formulasi tersebut tidak menyangkal
pentingnya persetujuan dan ketidaksetujuan secara sosial
(social approval dan social disapproval), tetapi juga
sumber kepuasan yang bersifat bawaan (innate) yang
membuatnya menguasai lingkungan tanpa tergantung pada
penguatan atau hukuman dari faktor sosial.
d. Keberhasilan dalam area Virtue
Menurut Coopersmith (1967), keberhasilan ini
ditandai oleh tingkah laku patuh pada kode etik, moral, dan
prinsip-prinsip agama. Orang yang mematuhi kode etik dan
agama

dan

kemudian

menginternalisasikannya,

menampilkan sikap diri yang positif dengan keberhasilan


dalam pemenuhan terhadap tujuan-tujuan pengabdian
terhadap nilai-nilai luhur. Perasaan berharga muncul
diwarnai dengan sentimen-sentimen keadilan dan kejujuran,
dan pemenuhan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual.
Setiap individu memiliki peluang untuk mencapai self esteem yang
tinggi dengan mewujudkan pencapaian pada keempat area tersebut. Hal ini
juga mungkin dapat terjadi apabila pencapaian pada area-area lain kurang
baik. Dengan demikian seseorang dapat mengembangkan sistem diri yang
positif jika mendapatkan perhatian yang besar dan cinta dari orang-orang
yang dianggap penting, meskipun dia relatif lemah, tidak berarti, dan tidak

12

kompeten, atau ia mungkin memiliki self esteem


kompetensi

yang

tinggi

tanpa

mempertimbangkan

tinggi dengan
nilai

moral,

signifikansi, atau power. Di sisi lain adalah mungkin bagi individu untuk
mencapai keberhasilan disuatu area yang menurut dirinya kurang penting,
misalnya kompetensi dan dengan demikian dia merasa tidak berharga
karena tidak sukses dibidang moral. Indikasi-indikasi ini tidak hanya
mengindikasikan pentingnya kreteria dalam menilai suatu kesuksesan tapi
mungkin juga memungkinkan adanya konflik satu sama lain. Seseorang
yang ingin mencapai kekuasaan tidak akan terlalu menyukai untuk
memperoleh afeksi dari sekutu-sekutunya.
2) Nilai-nilai (value)
Setiap individu berbeda dalam memberikan pemaknaan terhadap
keberhasilan yang ingin dicapai dalam beberapa area pengalaman dan
perbedaan-perbedaan ini merupakan fungsi dari nilai-nilai yang
diinternalisasikan dari orang tua dan figur-figur signifikan lainnya
dalam hidup. Faktor-faktor seperti penerimaan (acceptance) dan respek
dari orang tua merupakan hal-hal yang dapat memperkuat penerimaan
nilai-nilai dari orang tua tersebut. Hal ini juga mengungkapkan bahwa
kondisi-kondisi yang mempengaruhi pembentukan self esteem akan
berpengaruh pula dalam pembentukan nilai-nilai yang realistis dan
stabil.
Individu akan memberikan pembobotan yang lebih besar pada
area-area dimana mereka berhasil dengan baik, dari pembobotan
tersebut akan menimbulkan konsekuensi meningkatkan dan membentuk
self esteem yang tinggi di bawah kondisi yang bebas memilih dan
menekankan pada sesuatu yang lebih penting bagi dirinya. Kondisi ini
memungkinkan individu-individu pada semua tingkatan self esteem
memberikan standar nilai yang sama untuk menilai kebermaknaannya.
Meskipun standar yang dibuat sama, tetapi akan berbeda dalam
menentukan bagaimana mereka mencapai tujuan yang ingin diraihnya.
Individu bebas memilih nilai-nilai, tetapi karena individu menghabiskan

13

waktu bertahun-tahun dirumah, sekolah, dan kelompok teman sebaya,


maka hal ini akan membawanya untuk menerima standar nilai
kelompok. Individu memperboleh pemenuhan dan kepuasaan dengan
mengunakan standar nilai yang berbeda dan lebih terikat, tetapi ia akan
menggunakan standar nilai tersebut sebagai prinsip dasar untuk menilai
keberartian dirinya.
3) Aspirasi-aspirasi
Menurut Coopersmith (1967), penilaian diri (self judgement)
meliputi perbandingan antara performance dan kapasitas aktual dengan
aspirasi dan standar personalnya. Jika standar tersebut tercapai,
khususnya dalam area tingkah laku yang bernilai, maka individu akan
menyimpulkan bahwa dirinya adalah orang yang berharga. Ada
perbedaan esensial antara tujuan yang terikat secara sosial (public
goals) dan tujuan yang bersifat self significant yang ditetapkan
individu. Individu-individu yang berbeda tingkat self esteemnya tidak
akan berbeda dalam public goalnya, tetapi berbeda dalam personal
ideals yang ditetapkan untuk dirinya sendiri. Individu dengan self
esteem tinggi menentukan tujuan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu dengan self esteem yang lebih rendah. Self esteem
tinggi berharap lebih pada dirinya sendiri, serta memelihara perasaan
keberhargaan diri dengan merealisasikan harapannya daripada sekedar
mencapai standar yang ditentukannya. Hal ini memunculkan sikap diri
(self attitude) yang lebih baik sehingga mereka tidak diasosiasikan
dengan standar personal yang rendah dan menilai sukses karena
mencapai standar tersebut. Tetapi karena standar tinggi yang secara
objektif dapat dicapainya, individu dengan self esteem tinggi
menganggap lebih dekat aspirasi (harapannya) dibandingkan dengan
individu dengan self esteem rendah yang menentukan tujuan lebih
rendah. Individu dengan self esteem tinggi memiliki pengharapan
terhadap keberhasilan yang tinggi. Pengharapan ini menunjukan suatu
kepercayaan terhadap keadekuatan dirinya, dan juga keyakinan bahwa

14

ia memiliki kemampuan untuk menampilkan segala macam cara yang


dibutuhkan untuk berhasil. Keyakinan tersebut bersifat memberi
dukungan dan semangat pada individu untuk mempercayai bahwa
keberhasilan itu dapat dicapai. Penghargaan (self expectancy) akan
keberhasilan ini ditunjukkan melalui sikap asertif, self trust, dan
keinginan kuat untuk bereksplorasi. Sedangkan pada individu dengan
self esteem rendah, meskipun memiliki keinginan sukses seperti
individu dengan self esteem tinggi, tetapi dia tidak yakni kesuksesan
tersebut akan terjadi pada dirinya. Sikap pesimis itu merupakan
ekspresi antisipasi terhadap kegagalan, yang mana akan menurunkan
motivasinya

dan

mungkin

memberikan

konstribusi

terhadap

kegagalannya.
Hubungan antara aspirasi dan harga diri juga mengungkapkan
suatu hal yang menarik. Ada indikasi bahwa orang-orang yang pernah
sukses merespon lebih realistis daripada mereka yang pernah gagal.
Kita dapat menduga bahwa individu dengan self esteem rendah
memiliki harapan (aspirasi) yang lebih rendah, tetapi jika mereka dapat
mengantisipasi hal tersebut, maka sangat mungkin bagi individu untuk
meningkatkan self esteemnya. Dengan demikian, kita dapat menuju
pada asumsi bahwa terdapat jarak antara aspirasi dan performance pada
individu dengan self esteem rendah dan bahwa jarak tersebut
menghasilkan sesuatu yang negatif.
4) Defenses
Menurut Coopersmith (1967), beberapa pengalaman dapat
merupakan sumber evaluasi diri yang positif, namun ada pula yang
menghasilkan penilaian diri yang negatif. Kenyataan ini tidak akan mudah
diamati dan diukur pada tipe individu. Kenyataan ini merupakan bahan
mentah

yang

digunakan

dalam

membuat

penilaian,

interpretasi

terhadapnya tidaklah senantiasa seragam. Interpretasi akan bervariasi


sesuai dengan karakteristik individu dalam mengatasi distress dan situasi

15

ambigu serta dengan tujuan dan harapan-harapannya. Cara untuk


mengatasi

ancaman

dan

ketidakjelasan

cara

individu

dalam

mempertahankan dirinya mengatasi kecemasan atau lebih spesifik,


mempertahankan harga dirinya dari devaluasi atau penurunan harga diri
yang membuatnya merasa incompetent, tidak berdaya, tidak signifikan,
dan tidak berharga. Individu yang memiliki defence mampu mengeliminir
stimulus yang mencemaskan, mampu menjaga ketenangan diri, dan
tingkah lakunya efektif. Individu dengan self esteem tinggi memiliki suatu
bentuk mekanisme pertahanan diri tertentu yang memberikan individu
tersebut kepercayaan diri pada penilaian dan kemampuan dirinya, serta
meningkatkan

perasaan

mampu

untuk

menghadapi

situasi

yang

menyulitkan.
Coopersmith (1967) mengungkapkan bahwa proses penilaian diri
muncul dan penilaian subjektif terhadap keberhasilan, yang dipengaruhi
oleh nilai yang diletakkan pada berbagai area kapasitas dan tampilan,
diukur dengan membandingkan antara tujuan dan standar pribadi, dan
disaring melalui kemampuan untuk mempertahankan diri dalam
menghadapi kegagalan. Melalui proses tersebut akhirnya individu sampai
pada

penilaian

tentang

kemampuan, keberartian,

kesusesan,

dan

keberhargaan dirinya.

C. Metode Brainstroming
Metode brainstroming adalah teknik mengajar yang dilaksanakan
fasilitator dengan cara melontarkan suatu masalah ke kelas oleh fasilitator,
kemudian peserta menjawab, menyatakan pendapat, atau memberi
komentar sehingga memungkinkan masalah tersebut berkembang menjadi
masalah baru. Tokoh yang mempopulerkan metode brainstroming adalah
Alex F.Osborn yang dalam bukunya Applied Imagination itu disebut juga
dengan metode sumbang saran. Metode brainstroming merupakan suatu

16

bentuk metode diskusi guna menghimpun ide atau gagasan, pendapat, dan
pengalaman peserta.
Teknik ini hanya untuk menghasilkan gagasan yang mencoba
mengatasi segala hambatan dan kritik. Kegiatan ini mendorong munculnya
banyak ide, termasuk ide yang nyleneh, liar, dan berani dengan harapan
bahwa gagasan tersebut dapat menghasilkan ide yang kreatif. Metode
brainstroming bertujuan untuk menghimpun ide, pendapat, informasi,
pengalaman semua peserta yang sama atau berbeda. Hasil akhirnya lantas
dijadikan peta info, peta pengalaman, atau peta ide (mindmap) untuk
evaluasi. Metode ini menguras habis apa yang dipikirkan para peserta di
dalam menanggapi permasalahan yang dilontarkan fasilitator di kelas.
a. Langkah-langkah Penerapan Metode Brainstroming
1) Pemberian informasi dan motivasi. Pada tahap ini fasilitator
menjelaskan masalah yang akan dibahas dan latar belakangnya,
kemudian mengajak peserta agar aktif untuk memberikan
tanggapannya.
2) Identifikasi. Peserta diajak memberikan sumbang saran pemikiran
sebanyak-banyaknya.

Semua

saran

yang

diberikan

peserta

ditampung, ditulis dan jangan dikritik. Pemimpin kelompok dan


peserta dibolehkan mengajukan pertanyaan hanya untuk meminta
penjelasan.
3) Klasifikasi. Mengklasifikasi berdasarkan kriteria yang dibuat dan
disepakati oleh kelompok. Klasifikasi bisa juga berdasarkan
struktur/faktor-faktor lain.
4) Verifikasi. Kelompok secara bersama meninjau kembali sumbang
saran yang telah diklasifikasikan. Setiap sumbang saran diuji
relevansinya dengan permasalahan yang dibahas. Apabila terdapat
kesamaan maka yang diambil adalah salah satunya dan yang tidak
relevan dicoret. Namun kepada pemberi sumbang saran bisa
dimintai argumentasinya.
5) Konklusi (Penyepakatan). Fasilitator/pimpinan kelompok beserta
peserta

lain

mencoba

17

menyimpulkan

butir-butir

alternatif

pemecahan masalah yang disetujui. Setelah semua puas, maka


diambil kesepakatan terakhir cara pemecahan masalah yang
dianggap paling tepat.
b. Tugas fasilitator dalam pelaksanaan metode brainstroming:
1) Memberikan masalah yang mampu merangsang pikiran peserta,
sehingga mereka tertarik untuk menanggapinya.
2) Tidak boleh mengomentari atau mengevaluasi bahwa pendapat
yang dikemukakan oleh peserta itu benar/salah.
3) Fasilitator tidak perlu menyimpulkan permasalahan yang telah
ditanggapi peserta.
4) Fasilitator hanya menampung semua pernyataan pendapat peserta,
dan memastikan semua peserta di dalam kelas mendapat giliran.
5) Memberikan pertanyaan untuk memancing peserta yang kurang
aktif menjadi tertarik.
c. Tugas peserta dalam pelaksanaan metode brainstroming:
1) Menanggapi masalah dengan mengemukakan

pendapat,

komentar, mengajukan pertanyaan, atau mengemukakan masalah


baru.
2) Belajar dan melatih merumuskan pendapatnya dengan bahasa dan
kalimat yang baik.
3) Berpartisipasi aktif, dan berani mengemukakan pendapatnya.
d. Kelebihan dan Kekurangan Metode Brainstroming
Kelebihan metode brainstroming antara lain: (1) Peserta berfikir
untuk menyatakan pendapat.(2) Melatih peserta berpikir dengan cepat dan
tersusun logis.(3) Merangsang peserta untuk selalu siap berpendapat yang
berhubungan dengan masalah yang diberikan oleh fasilitator. (4)
Meningkatkan partisipasi peserta dalam menerima pelajaran. (5) Peserta
yang kurang aktif mendapat bantuan dari temannya yang sudah pandai
atau dari fasilitator. (6) Terjadi persaingan yang sehat. (7)Anak merasa
bebas dan gembira. (8) Suasana demokratis dan disiplin dapat
ditumbuhkan. (9) Meningkatkan motivasi belajar.
Kekurangan metode brainstroming antara lain: (1) Memerlukan
waktu yang relatif lama.(2) Lebih didominasi oleh peserta yang pandai. (3)

18

Peserta yang kurang pandai (lambat) selalu ketinggalan. (4)Hanya


menampung

tanggapan

peserta

saja.(5)

Fasilitator

tidak

pernah

merumuskan suatu kesimpulan. (6) Peserta tidak segera tahu apakah


pendapat yang dikemukakannya itu betul atau salah. (7) Tidak menjamin
terpecahkannya suatu masalah. (8) Masalah bisa melebar ke arah yang
kurang diharapkan.
D. Analisis dan Upaya Pemecahan
Sarwini (2011) mengungkapkan bahwa penyebab dari tingginya angka
kenakalan anak sebagai dampak dari kurangnya aspek kesehatan baik secara fisik
maupun psikis serta rendahnya tingkat kesejahteraan pada anak. Rini Maharani
(2010) dari hasil penelitiannya mengenai profil kepribadian remaja delinkuen
yang berada rumah tahanan mengungkapkan bahwa anak didik pemasyarakatan
tersebut juga memiliki penyesuaian diri yang tidak sehat serta rendahnya tingkat
kematangan pribadi.Menanggapi tingginya angka anak yang berhadapan dengan
hukum,

Kementrian

Pemberdayaan

Perempuan

dan

Perlindungan

anak

mengungkapkan perlunya upaya penanganan yang lebih komprehensif agar hakhak anak tetap dapat terpenuhi.
Anak yang berada dalam lembaga pemasyarakatan rentan memiliki
gangguan harga diri / self esteem rendah. Gangguan ini digambarkan sebagai
perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan
harga diri, merasa gagal mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan
produktivitas, perilaku destruktif yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak
mampu, mudah tersinggung dan menarik diri secara sosial. Hal ini terjadi
dikarenakan rendahnya tingkat penyesuaian diri anak, lingkungan lembaga
pemasyarakatan yang identik dengan tempat hukuman, hilangnya kebebasan,
stigma negatif dari masyarakat, serta kekhawatiran anak terhadap penerimaan
masyarakat selepas dari lembaga pemasyarakatan.
Selain pembinaan untuk membantu penyesuaian diri selama berada di
lembaga pemasyarakatan, anak didik pemasyarakatan juga memerlukan layanan
yang dapat meningkatkan harga diri/ self esteem anak sebagai bekal untuk kembali

19

bermasyarakat. Layanan dasar yang diberikan dapat berupa layanan pemberian


informasi melalui teknik brainstroming. Layanan tersebut menurut Uman
Suherman (2011) membekali peserta dalam hal ini anak didik pemasyarakatan
dengan pengetahuan tentang berbagai aspek kehidupan (perkembangan pribadi,
lingkungan pendidikan dan pekerjaan serta kehidupan sosial budaya) yang
berguna bagi pengembangan diri, penyesuaian diri, dan pengambilan keputusan.
Selain itu, brainstroming juga dapat memfasilitasi para peserta didik untuk belajar
menghargai pendapat orang lain dan memperkuat komponen-komponen self
esteem nya seperti succesess, values, aspirasi dan defences agar dapat menghargai
dirinya secara positif.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

20

Anak didik pemasyarakatan sebagai anak yang berada dalam


lembaga pemasyarakatan rentan terhatap gangguan harga diri rendah.
Gangguan ini digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal
mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas,
perilaku destruktif yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu,
mudah tersinggung dan menarik diri secara sosial.
Dalam rangka membekali anak didik pemasyarakatan untuk
kembali bermasyarakat dan meningkatkan self esteem. Layanan bimbingan
dan konseling dengan metode brainstorming memfasilitasi peserta untuk
dapat menghargai pendapat orang lain, memahami aspek-aspek kehidupan,
meningkatkan kepercayaan diri yang berguna bagi pengembangan diri,
penyesuaian diri, dan pengambilan keputusan.
B. Rekomendasi
1. Bagi konselor
Merancang suatu layanan bimbingan dan konseling yang komprehensif
sebagai upaya preventif dan kuratif- developmental terhadap individu,
khususnya peserta didik usia sekolah dan anak yang berhadapan
dengan hukum.
2. Bagi lembaga pemasyarakatan
Merancang serangkaian kegiatan pembinaan yang dapat membantu
penyesuaian diri dan pengembangan diri anak didik pemasyarakatan
dengan tetap memperhatikan hak dasar anak.
3. Bagi masyarakat
Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan anak dan
mendukung perkembangan diri anak yang telah lepas dari lembaga
pemasyarakatan.

21

DAFTAR PUSTAKA
Ajizah, Sandy. (2013). Self Esteem Coopersmith. [Online]. Tersedia :
http://sandyajizah.blogspot.com/2013/01/self-esteem.html. [Oktober 2014]
Anonim.(2013).Metode Brainstorming Untuk Himpun Ide.[Online].Tersedia di :
http://www.sekolahdasar.net/2013/05/metode-brainstorming-untuk-himpunide.html#ixzz2gNdmk6hK [30 September 2013]
Azis, Rifqi. (2012). Definisi Harga Diri Menurut Para Ahli. [Online].
Tersedia
:
http://konselorprofesional.blogspot.com/2012/03/definisi-harga-dirimenurut-para-ahli.html. [Oktober 2014]
Bulan, Seri.(2009). Pemenuhan Hak Pendidikan Anak Didik di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Anak Medan. Tesis
Jurusan Ilmu Hukum, SPS USU. Medan : tidak diterbitkan.
Coopeersmith, Stanley. 1967. The Antecendents of Self Esteem.
Flores, Robert.(Administrator) (2003). Treatment, Services, and
Interventions Programs for Child Delinquent. Child

22

Delinquency Bulletin Series. US Department Of Justice.


Tersedia : ojjdp.ncjrs.org
Haryanto.(2010).Pengertian
Harga
Diri.
[Online].Tersedia
http://belajarpsikologi.com/pengertian-harga-diri/. [ oktober
2014]
Kartadinata, Sunaryo. (2011). Menguak Tabir Bimbingan Dan
Konseling Sebagai Upaya Pedagogis : Kiat Mendidik Sebagai
Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandug : UPI
PRESS
Kementerian Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
(2008). Data Anak yang Berhadapan dengan hukum.
Tersedia
:
http://menegpp.go.id/v2/index.php/datadaninformasi/perlind
ungan-anak?download=30%3Aanak-yang-berhadapandengan-hukum-.
Maharani Rizqiah, Rani. (2010). Profil Kepribadian Remaja
Delinkuen Yang Berada Di Rumah Tahanan Dan Implikasi
Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling. Skripsi jurusan
psikologi pendidikan dan bimbingan, FIP UPI. Bandung :
Tidak diterbitkan.
Rahmawati, Gastri. Pola Pembinaan NAPI Anak Sebagai Salah
Satu Upaya Pemenuhan Kebutuhan Pendidikan Di Lembaga
Pemasyarakatan Anak. Malang : UM
Sarwini. (2011). Kenakalan Anak ( Juvenile Delinquency :
Kausalitas dan Penanganannya. FH Unair. Medan :
Perspektif Vol XVI edisi september.
Suherman, Uman. (2009). Manajemen Bimbingan dan Konseling.
Bandung : RIZQI PRESS.
Supriyoko. Pandangan pendidik tentang delinkuensi remaja dan
kriminalitas.
Undang-undang no 12 tahun 1995

23

Anda mungkin juga menyukai