adalah hasil otak aktuil manusia. Keterkaitan otak aktuil dengan otak empirik antara ain yang
disebut imajinasi. Otak empirik adalah otak yang terindrai. Otak ini yang gambarnya secara
telanjag bisa dilihat dengan mata,atau dengan alat-alat canggih untuk melihat kejadian pada
tingkat seluler dan molekul otak. Termasuk disini pergerakan darah dalam pembuluh darah
yang bisa dilihat dengan alat-alat canggih. Saat ini sudah ada alat canggih yang bisa
menelusuri bagian paling kecil otak yang tersembunyi dalam sel melalui terikatnya zat
tertentu dengan zat yang ada didalam sel. Ini artinya, otak sudah bisa dilihat lebih dari
penggunaan mata telanjang saja. Otak empirik inilah yang sering dipahami oleh mereka yang
tidak memperlajari otak secara mendalam lalu menolak otak disamakan dengan al-Aql, anNafs, dan ar-Ruh. Kurangnya pengetahuan tentang otak esensial dan otak aktuil telah
memungkinkan hal ini terjadi. Ketiadaan otak (anensefali), otak terisi cairan (hidrosefali) atau
adanya tonjolan pada tulang belakang ketika lahit (spina hifida) adalah ketidak normalan otak
karena bentuk saraf pusat itu tidak umum dan kebanyakan. Ketidaknormalan tidak hanya
tampak secara makro, tetapi juga mikro(gambaran histologis yang berbentuk lain). Setelah
bentuk, maka ketidaknormalan akan berkaitan dengan fungsi. Anak-anak dengan otak tak
normal, baik dengan penglihatan mata telanjang maupun dengan menggunakan alat, seperti
penderita autism, dianggap sebagai penyakit karena otaknya tidak normal secara seluler
maupun anatomis. Hierarki akal (Ibnu Sina) adalah konsep Ibnu Sina seorang dokter teolog
dan filsuf (370-429/980-1037) yang menjelaskan soal hierarki atau jenjang realitas yang ada
pada diri manusia. Konsep Ibnu Sina ini menarik karena dia berhasil memadukan sesuatu
yang esensial,aktual dan empirik. Dia dapat menjelaskan keesensialan-nya Tuhan itu dengan
menyebutnya sebagai Akal Arif yang berada diluar manusia, ke-aktual-annya dengan Akal
Aktual (al-aql bi al-fili) dan Akal Perolehan(al-aql al-mustafad) dan ke-empirikan-nya
dengan Akal Potensial( al-aql al-Hayyulani).
Model Desekriptif Neurospiritual
Model deskriptif spiritualitas merupakan perpaduan antara siruit spiritual dan hierarki akal
(akal I- akal IV).Sirkuit spiritual memiliki bukti neurobiologis yang salah melalui pencitraan
otak (brain scanning),sementara hierarki akal merupakan penjelasan fisiologis tentang
hubungan manusia dan Tuhan.
Model deskriptif spiritualitas terdiri dari sejumlah komponen sebagai berikut:
Ritual, termasuk distant healing dan self care
Area Asosiasi Orientasi, Area Asosiasi Atensi dan Sistem Saraf otonom yang
berkaitan dengan pengalaman spiritual.
Judgedment (F3)
Hierarki akal (al-aql al Hayulani) atau akal material yakni otak biologis fisis (Akal
1) al-aql Malakut atau akal habitual (Akal 2), al-aql bi al-fil atau akal aktif (A3),dan
al-aql al Mustafad atau akal perolehan (Akal 4 ).
Makna hidup (F5) yang memberikan konsekuensi berupa emosi-emosi positif
Kesehatan dalam pengertian yang holistiki,baik kesehatan fisik,jiwa,maupun
kesehatan jiwa spiritual.
Seluruh komponen diatas bekerja sebagai seuah soistem yang saling berhubungan satu
dengan yang lainnya.
Empat hal berikut ini merupakan manifestasi spiritualitas yang dapat diamati dan karena
itu secara konseptual bisa didefinisikan. Karena bisa didefinisikan,maka secara
psikometrik dapat diukur :
1.
2.
3.
4.
Ritual
Pengalaman spiritual
Makna Hidup
Emosi-emosi positif (Syukur, Sabar, Ikhlas)
pembentukan
sirkuit
ini
berlangsung
melalui
kegiatan
Operator Neurospiritual (ONS) yang menjadi titik tumpu dari neurosains spiritual dan
dorongan mendapatkan makna hidup yang dibangun secara neurobiologis oleh Cortex
Prefrontalis (CPF) merupakan bukti biologis adanya komponen spiritual dalam diri
manusia,terutama dalam otak manusia.Bukti biologis ini merupakan bukti bagaimana
spiritualitas dibentuk dalam otak manusia.Dari sudut pandang ini dapat dikatakan bahwa
Tuhan diciptakan oleh manusia. Pengertian kata diciptakan dalam kalimat ini merupakan
pernyataan harfiah ,bukan pernyataan simbolik, karena memang dengan berfikirlah manusia
bisa menciptakan Tuhan. Meski secara neurobiologis penanti ketuhanan itu sudah ada dalam
otak, tetapi bagaimana Tuhan itu dimaknai sepenuhnya berkaitan dengan pengetahuan
manusia. Dalam sebuah hadis Qudsi dinyatakan bahwa Aku (Tuhan) bergantung pada
persepsi hambaku. Rudolf Otto, ahli dalam mitologi agama, menyatakan bahwa Tuhan dapat
bersifat mysterium tremenendum (misteri yang menakutkan), tetapi sekaligus mysterium
fascinosum (misteri yang memesona). Ketakutan dan keterpesonaan terhadap Tuhan sangat
bergantung pada seberapa besar dan luas persepsi seseorang terhadap Tuhan itu sendiri.
Karena menyangkut persepsi, maka spiritualitas berkaitan dengan aspek kognisi (berpikir).
Dalam soal spiritualitas kognisi, manusia memainkan peranan penting. Paling sederhana,
dalam bentuk ekspresi bahasa yang dipakai.
Semua kebudayaan memiliki konsep tentang kekuatan adikodrati yang kemudian disebut
sebagai Tuhan. Kebudayaan-kebudayaan ini juga memiliki kesamaan secara universal
menyangkut Tuhan, kehidupan setelah mati, doa, pahala, dan dosa, dan lain-lain, meskipun
berbeda dalam ritus-ritus yang dilakukan. Termasuk disini simbol-simbol yang bersifat fisik,
seperti masjid bagi orang Islam, gereja bagi orang Nasrani, Sinagoge bagi orang Yahudi, pura
bagi orang Hindu, dan Vihara bagi orang Buddha. Meski berbeda bentuk dan nama, tetapi
memiliki kesamaan dalam maksud dan tujuan. Demikian pula dengan doa yang dipanjatkan.
Meski memiliki perbedaan dalam cara dan bentuk doa, tetapi memiliki maksud yang sama.
Realitas tentang Tuhan lahir karena adanya aktivitas dari ONS dan CPF. Dalam konteks
filosofis, konsep Ibnu Sina tentang Hierarki Akal atau Akal Bertingkat merupakan
penjelasan filosofis tentang keberadaan Tuhan. Melalui jalur Hierarki Akal dan Neurosains
Spiritual
ini
penjelasan
tentang
bagaimana
hubungan
Tuhan
dan
manusia
sirkuit ini akan mengganggu berlangsungnya kegiatana spiritual. Adanya gangguan pada
CPF, misalnya dapat membuat seseorang kehilangan kemampuan membedakan yang baik dan
yang buruk (moral judgedment). Kerusakan pada sistem limbik juga dapat menghilangkan
nuansa emosi dari suatu peristiwa spiritual. Meskipun secara neurobiologis spiritualitas
memiliki dasar yang kuat, tetapi itu tidak sepenuhnya lengkap. Tuhan dan segala konsekuensi
atas kepercayaan kepada-Nya, berupa spiritualitas itu sendiri-bukan merupakan by product
otak manusia. Otak berfungsi sebagai fasilitator untuk menghadirkan Tuhan dalam kehidupan
manusia.