Anda di halaman 1dari 5

MODEL SPIRITUALITAS MANUSIA

Pelbagai Tingkatan Realitas


Upaya untuk menyusun suatu model holistik tentang manusia telah dilakukan oleh sejumlah
ahli. Sejak dahulu kala, para ahli telah berupaya untuk mengintegrasikan pendekatan
psikologi dan instrumentasi belum berkembang seperti saat ini.
Di bagian-bagian beikutnya akan dijelaskan pelbagai tingkatan realitas ini, dan bagaimana
hubungannya dengan konsep Akal Bertingkat dari Ibnu Sina. Dengan pemahan akan
adanya realitas bertingkat itu maka akan dipahami 3 jenis otak yang merupakan bagian
penting dari neurosains spiritual.
Neurosains Spiritual
Neurosains spiritual adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan spiritualitas manusia
dalam perspektif kesehatan dan kedokteran. Merupakan gabungan dari 3 pendekatan: (1)
Neurosains, (2) Hierarki akal (Ibnu Sina), (3) Experienced God atau Tuhan yang dialami
(Tuhan empirik). Neurosains spiritual adalah istilah yang berbeda dengan psikologi agama
atau psikologi transpersonal yang sudah lebih dulu berkembang dan mapan sebagai sebuah
disiplin ilmu. Baik psikologi agama maupun psikologi transpersonal memiliki titik tumpu
pada psyche manusia. Sementara neurosains spiritual bertumpu pada otak manusia. Dalam
menghasilkan spiritualitas otak berfungsi sebagai mediator atau fasilitator. Otak memiliki
sejumlah komponen khas manusia yang dapat memediasi lahirnya spiritualitas. Otak
membuat Tuhan menjadi sesuatu yang dialami sebagai pengalaman empirik. Karena itu, bagi
seseorang yang memiliki spiritualitas Tuhan itu ada mengalami internalisasi (berupa
pengalaman spiritual dan emosi positif) dan eksternalisasi (makna hidup dan ritual).
Neurosains adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dengan memberi perhatian pada
sistem saraf, terutama otak. CPF (Cortex Prefontal) merupakan bagian otak yang paling
berkembang dan menempati 30% dari otak manusia. Makna hidup dan kemampuan manusia
membedakan baik buruk berasal dari CPF ini. Neurosains spiritual, khususnya dalam kaitan
dengan hierarki akal, membagi otak menjadi 3 tingkatan; otak esensial adalah potensi otak
dan segala sesuatu yang dimungkinkan oleh kehadiran penciptaan otak.Otak esensial ini tak
bisa diindrai tetapi bisa diyakini keberadaannya. Keyakinan bahwa otak esensial ini ada bisa
dibuktikan secara aktuil maupun empirik. Otak aktuil adalah otak yang mengaktualkan
potensi unlimitednya itu, meskipun aktualisasi itu juga tak terindrai. Kemampuan otak untuk
melihat, mendengar, merasai, berbahasa, dan berbagai fungsi luhur (higher function) lainnya,

adalah hasil otak aktuil manusia. Keterkaitan otak aktuil dengan otak empirik antara ain yang
disebut imajinasi. Otak empirik adalah otak yang terindrai. Otak ini yang gambarnya secara
telanjag bisa dilihat dengan mata,atau dengan alat-alat canggih untuk melihat kejadian pada
tingkat seluler dan molekul otak. Termasuk disini pergerakan darah dalam pembuluh darah
yang bisa dilihat dengan alat-alat canggih. Saat ini sudah ada alat canggih yang bisa
menelusuri bagian paling kecil otak yang tersembunyi dalam sel melalui terikatnya zat
tertentu dengan zat yang ada didalam sel. Ini artinya, otak sudah bisa dilihat lebih dari
penggunaan mata telanjang saja. Otak empirik inilah yang sering dipahami oleh mereka yang
tidak memperlajari otak secara mendalam lalu menolak otak disamakan dengan al-Aql, anNafs, dan ar-Ruh. Kurangnya pengetahuan tentang otak esensial dan otak aktuil telah
memungkinkan hal ini terjadi. Ketiadaan otak (anensefali), otak terisi cairan (hidrosefali) atau
adanya tonjolan pada tulang belakang ketika lahit (spina hifida) adalah ketidak normalan otak
karena bentuk saraf pusat itu tidak umum dan kebanyakan. Ketidaknormalan tidak hanya
tampak secara makro, tetapi juga mikro(gambaran histologis yang berbentuk lain). Setelah
bentuk, maka ketidaknormalan akan berkaitan dengan fungsi. Anak-anak dengan otak tak
normal, baik dengan penglihatan mata telanjang maupun dengan menggunakan alat, seperti
penderita autism, dianggap sebagai penyakit karena otaknya tidak normal secara seluler
maupun anatomis. Hierarki akal (Ibnu Sina) adalah konsep Ibnu Sina seorang dokter teolog
dan filsuf (370-429/980-1037) yang menjelaskan soal hierarki atau jenjang realitas yang ada
pada diri manusia. Konsep Ibnu Sina ini menarik karena dia berhasil memadukan sesuatu
yang esensial,aktual dan empirik. Dia dapat menjelaskan keesensialan-nya Tuhan itu dengan
menyebutnya sebagai Akal Arif yang berada diluar manusia, ke-aktual-annya dengan Akal
Aktual (al-aql bi al-fili) dan Akal Perolehan(al-aql al-mustafad) dan ke-empirikan-nya
dengan Akal Potensial( al-aql al-Hayyulani).
Model Desekriptif Neurospiritual
Model deskriptif spiritualitas merupakan perpaduan antara siruit spiritual dan hierarki akal
(akal I- akal IV).Sirkuit spiritual memiliki bukti neurobiologis yang salah melalui pencitraan
otak (brain scanning),sementara hierarki akal merupakan penjelasan fisiologis tentang
hubungan manusia dan Tuhan.
Model deskriptif spiritualitas terdiri dari sejumlah komponen sebagai berikut:
Ritual, termasuk distant healing dan self care
Area Asosiasi Orientasi, Area Asosiasi Atensi dan Sistem Saraf otonom yang
berkaitan dengan pengalaman spiritual.

Strur khas otak manusia:

decision making (f1),future planning (F2) dan Moral

Judgedment (F3)
Hierarki akal (al-aql al Hayulani) atau akal material yakni otak biologis fisis (Akal
1) al-aql Malakut atau akal habitual (Akal 2), al-aql bi al-fil atau akal aktif (A3),dan
al-aql al Mustafad atau akal perolehan (Akal 4 ).
Makna hidup (F5) yang memberikan konsekuensi berupa emosi-emosi positif
Kesehatan dalam pengertian yang holistiki,baik kesehatan fisik,jiwa,maupun
kesehatan jiwa spiritual.
Seluruh komponen diatas bekerja sebagai seuah soistem yang saling berhubungan satu
dengan yang lainnya.
Empat hal berikut ini merupakan manifestasi spiritualitas yang dapat diamati dan karena
itu secara konseptual bisa didefinisikan. Karena bisa didefinisikan,maka secara
psikometrik dapat diukur :
1.
2.
3.
4.

Ritual
Pengalaman spiritual
Makna Hidup
Emosi-emosi positif (Syukur, Sabar, Ikhlas)

Empat manifestasi spiritualitas diatas merupakan suatu God Experienced,suatu pengalaman


empirik yang terjadi akibat manusia merasakan adanya Tuhan yang hadir dalam dirinya.
Spiritualitas dan Sirkuit Neurobiologi
Sirkuit spiritual merupakan salah satu sirkuit yang dikategorikan sebagai fungsi luhur otak.
Sebagai sebuah sirkuit, sirkuit spiritual ini bersifat dinamis dan fungsional. Dinamis berarti
bahwa sirkuit berubah-ubah bergantung pada rangsangan eksternal dan internal otak.
Fungsional berarti nilai dari sirkuit ini bergantung pada kegiatannya. Pada tingkat molekul
kegiatan-kegiatan

pembentukan

sirkuit

ini

berlangsung

melalui

kegiatan

sinapsis.Neurotransmitter dan reseptor memainkan peranan kunci disini. Operator


Neurspiritual (ONS) terdiri dari (1) dua area asosiasi, yakni Area Asosiasi Atensi (AAA) yang
terletak dilobus frontal dan Area Asosiasi Orientasi (AAO) yang terletak dilobus occipitalis
(2) sistem limbik yang terdiri dari sejumlah subsistem yang saling mendukung untuk memback up fungsi emosi dari kegiatan spiritual dan (3) sistem saraf otonom terbagi menjadi
saraf simpatis dan parasimpatis yang terutama berperan ketika kegiatan ritual dilakukan.
Selain ONS ini yang berperan dalam mekanisme neurobiologi pengalaman spiritual, Cortex
Prefrontalis (CPF) berperan utama melahirkan makna hidup.

Operator Neurospiritual (ONS) yang menjadi titik tumpu dari neurosains spiritual dan
dorongan mendapatkan makna hidup yang dibangun secara neurobiologis oleh Cortex
Prefrontalis (CPF) merupakan bukti biologis adanya komponen spiritual dalam diri
manusia,terutama dalam otak manusia.Bukti biologis ini merupakan bukti bagaimana
spiritualitas dibentuk dalam otak manusia.Dari sudut pandang ini dapat dikatakan bahwa
Tuhan diciptakan oleh manusia. Pengertian kata diciptakan dalam kalimat ini merupakan
pernyataan harfiah ,bukan pernyataan simbolik, karena memang dengan berfikirlah manusia
bisa menciptakan Tuhan. Meski secara neurobiologis penanti ketuhanan itu sudah ada dalam
otak, tetapi bagaimana Tuhan itu dimaknai sepenuhnya berkaitan dengan pengetahuan
manusia. Dalam sebuah hadis Qudsi dinyatakan bahwa Aku (Tuhan) bergantung pada
persepsi hambaku. Rudolf Otto, ahli dalam mitologi agama, menyatakan bahwa Tuhan dapat
bersifat mysterium tremenendum (misteri yang menakutkan), tetapi sekaligus mysterium
fascinosum (misteri yang memesona). Ketakutan dan keterpesonaan terhadap Tuhan sangat
bergantung pada seberapa besar dan luas persepsi seseorang terhadap Tuhan itu sendiri.
Karena menyangkut persepsi, maka spiritualitas berkaitan dengan aspek kognisi (berpikir).
Dalam soal spiritualitas kognisi, manusia memainkan peranan penting. Paling sederhana,
dalam bentuk ekspresi bahasa yang dipakai.
Semua kebudayaan memiliki konsep tentang kekuatan adikodrati yang kemudian disebut
sebagai Tuhan. Kebudayaan-kebudayaan ini juga memiliki kesamaan secara universal
menyangkut Tuhan, kehidupan setelah mati, doa, pahala, dan dosa, dan lain-lain, meskipun
berbeda dalam ritus-ritus yang dilakukan. Termasuk disini simbol-simbol yang bersifat fisik,
seperti masjid bagi orang Islam, gereja bagi orang Nasrani, Sinagoge bagi orang Yahudi, pura
bagi orang Hindu, dan Vihara bagi orang Buddha. Meski berbeda bentuk dan nama, tetapi
memiliki kesamaan dalam maksud dan tujuan. Demikian pula dengan doa yang dipanjatkan.
Meski memiliki perbedaan dalam cara dan bentuk doa, tetapi memiliki maksud yang sama.
Realitas tentang Tuhan lahir karena adanya aktivitas dari ONS dan CPF. Dalam konteks
filosofis, konsep Ibnu Sina tentang Hierarki Akal atau Akal Bertingkat merupakan
penjelasan filosofis tentang keberadaan Tuhan. Melalui jalur Hierarki Akal dan Neurosains
Spiritual

ini

penjelasan

tentang

bagaimana

hubungan

Tuhan

dan

manusia

dimungkinkan.Ekspresi yang berbeda-beda dalam mitos-mitos dan simbol-simbol agama


dengan kandungan yang universal merupakan bukti ada sirkuit spiritual otak. Sirkuit spiritual
merupakan komponen neurobiologis yang melayani kegiatan spiritual manusia. Bekerjanya
sirkuit spiritual ini akan melahirkan spiritualitas. Konsekuensinya, kerusakan pada salah satu

sirkuit ini akan mengganggu berlangsungnya kegiatana spiritual. Adanya gangguan pada
CPF, misalnya dapat membuat seseorang kehilangan kemampuan membedakan yang baik dan
yang buruk (moral judgedment). Kerusakan pada sistem limbik juga dapat menghilangkan
nuansa emosi dari suatu peristiwa spiritual. Meskipun secara neurobiologis spiritualitas
memiliki dasar yang kuat, tetapi itu tidak sepenuhnya lengkap. Tuhan dan segala konsekuensi
atas kepercayaan kepada-Nya, berupa spiritualitas itu sendiri-bukan merupakan by product
otak manusia. Otak berfungsi sebagai fasilitator untuk menghadirkan Tuhan dalam kehidupan
manusia.

Anda mungkin juga menyukai