Anda di halaman 1dari 3

Pengalaman Spiritual dalam Pandangan Neuropsikologi

Tarmizi Thalib
tarmizi.thalib@universitasbosowa.ac.id

Selama ini kita meyakini bahwa otak adalah organ tubuh yang paling penting
kegunaannya bagi manusia. Segala bentuk perilaku selalu berkaitan dengan bagian tubuh
yang satu ini. Baik itu fungsi umumnya untuk berpikir, maupun berperasaan dan bertingkah
laku. Semua saling terkait dengan otak. Menariknya adalah otak yang dimiliki oleh manusia
secara fisiologis umum itu sama. Namun, fenomena atau perilaku yang ditampakkannya
berbeda. Misalnya saja berkaitan dengan pengalaman religiusitas seseorang.
Terdapat perbedaan sudut pandang dalam menilai apakah religiusitas itu benar adanya atau
hanya sekedar ekspresi penyakit mental belaka. Hal inilah yang terjadi antara penganut
psikoanalisa, terutama Freud dan para kaum agamawan dan ilmuan lainnya. Pada titik ini
menurut Sheldrake (2007), agama ditantang layaknya fisika quantum, ilmu genetika, ilmu
saraf dan sejenisnya untuk mendeskripsikan perannya dalam mengindentifikasi identitas dan
tujuan manusia.
Terjadinya perbedaan pendapat disebabkan anggapan yang menyebutkan bahwa spiritual
erat hubungannya dengan hal-hal yang metafisik tanpa mampu diobservasi keberadaannya.
Hal tersebut menjadi bertentang dengan prinsip keilmuan ilmiah yang mensyaratkan
empirisme dan realistis sehingga dapat diukur. Agar kiranya menjembatani hal tersebut maka
Newberg (2010) mencetuskan istilah neuroteologi. Menurut Newberg (2010) neuroteologi
adalah ilmu yang berusaha menginvestigasi hubungan antara otak dan pikiran-pikiran
keagamaan.
Dari peristiwa tersebut kemudian muncul titik terang dalam menafsirkan spiritual secara
saintifik. Zinsstag (2010) menyebutkan bahwa para psikolog dan ahli saraf mengungkapkan
tentang adanya kecerdasan spiritual. Penggunaan isitilah kecerdasan yang berhubungan
dengan spiritual memiliki dasar yang kuat dalam ilmu saraf (d’Aquili & Newberg, 1999).
Adapun penulis menggunakan istilah spiritual neuropsikologi disebabkan urgensitas dalam
melihat fenomena yang ada bahwa setiap manusia mempunyai struktur otak yang sama secara
umum dan spiritualitas sebagai bentuk perilaku atau pengalaman keagamaan membuatnya
berbeda. Dalam pembahasan ini kita tidak akan membahas hal-hal yang begitu radikal
terhadap teologi keagamaan. Sebab spiritual adalah pembahasan yang tidak bisa dibedakan
berkenaan dengan teologi.
Pentingnya menganalisis hubungan spiritual dan neuropsikologi disebabkan kompleksitas
yang terjadi di dalamnya. Penelitian Cooke dan Elcoro (2013) menunjukkan bahwa aspek
religiusitas secara menyeluruh jauh lebih kompleks dari apa yang dibayangkan dan
kesulitannya untuk mengambil satu kesimpulan seperti apa yang diyakini.

Model Spiritual Neuropsikologi


Membangun Pengalaman Spiritual Di dalam otak manusia selain fungsi primer kognitif,
terdapat sistem operator kausal dan operator holistik (Newberg dan Newberg, 2005).
Operator kausal dalam otak manusia berbicara tentang hukum kausalitas manusia, kehidupan
dan alam semesta. Ia berbicara tentang sebab-akibat yang bersifat realistis. Namun, Sains
Barat kebanyakan menolak hal-hal yang tidak dapat diobservasi secara langsung atau diindra
seperti itu. Newberg dan Newberg (2005) kemudian menjelaskan bahwa jika konsep
ketuhanan itu tidak terindra, maka dengan spontan manusia akan membangun mitos-mitos
yang diisi dengan sumber daya pribadi melalui mimpi, lamunan atau kegiatan fantasi lainnya
untuk menyusaikan diri dengan alam semesta. Operator kausal itu berada pada konveksitas
anterior dari frontal lobe (bagian dahi) dan inferior parietal lobe (bagian ubun-ubun). Adapun
untuk merasakan pengalaman spiritual seperti berdoa, dan meditasi, manusia banyak
menggunakan operator holistik. Bagian otak ini bertugas untuk melihat segala sesuatu secara
menyeluruh dengan mengaitkan aspek sensorik (indra) dan konsep-konsep abstrak. Operator
holistik ini berada pada lobus pariental kanan, atau lebih tepatnya pada posterior superior
pariental lobulus (bagian ubun-ubun sebelah kanan).

Mencapai Pengalaman Spiritual


Agar kiranya mampu memunculkan aspek psikis pada spiritual, maka patut untuk
mengetahui metode mencapai pengalaman spiritual itu sendiri. D’Aquili dan Newberg (1993)
menyebutkan adanya ritual kelompok dan kontemplasi individu. Kedua metode tersebut
mempunyai pengaruh yang sama terhadap manusia jika merasakan dua dimensi. Pertama,
melepaskan emosi yang melibatkan sensasi subjektif tentang kekaguman, kedamaian,
ketenangan, atau ekstasi. Kedua, merasakan unitary experience saat merasakan sensasi
subjektif tadi. Unitary experience adalah suatu kondisi dimana kita menurunkan batas
kesadaran antara diri dan dunia luar. Pada dimensi terakhir ini pula, kita dapat menjelaskan
bahwa mengapa pengalaman spiritual individu dapat membentuk perilaku berkelompok.
Disebabkan perasaan ini, manusia kemudian menghilangkan batasbatas perbedaan untuk
membentuk pemahaman bersama dan disebut dengan Wujud Kesatuan Mutlak (Absolute
Unitary Being).
Perlu disadari bahwa terdapat perbedaan dalam pengaruh ritual kelompok dan kontemplasi
individu (Newberg dan Newberg, 2005). Meskipun dalam penelitian Newberg bersaudara
tidak dipaparkan secara ilmiah terkait perbedaan tersebut. Namun, mereka meyakini bahwa
unitary experience yang intens dari kontemplasi individu lebih terpengaruhi oleh ritual
kelompok yang sifatnya seremonial. Sehingga metode-metode berkelompok itulah yang lebih
menguatkan pengalaman spiritual.

Model Neurofisiologis
Pengalaman Spiritual Pembahasan ini diharapkan mampu menjelaskan dari mana
pengalaman spiritual muncul. Berdasarkan model yang dibuat oleh Newberg dan Newberg
(2005), pengalaman spiritual manusia baik bentuknya ritual kelompok maupun kontemplasi
individu, semua berawal pada prefrontal korteks. Model tersebut juga mempresentasikan
korelasional antara profrontal korteks dengan bagian otak thalamus, posterior superior
parietal lobe, sistem limbik dan sistem saraf otonom disertai dengan berbagai
neurotransmitter yang menyelubunginya, seperti dopamin, serotonin, asetikolin dan lain-lain.
Meskipun pengalaman spiritual seseorang itu memungkinkan untuk berbeda, namun model
ini cukup menjelaskan apakah fungsi otak tersebut memengaruhi aspek-aspek kajian
psikologi. Secara menyeluruh, model ini mengkaji aspek-aspek
sensoris, kognitif dan afektif manusia. Pada awalnya stimulus
masuk ke bagian prefrontal korteks (PFC). PFC adalah bagian
otak yang salah satu fungsinya mengatur sistem kerja kognitif
atau dalam hal ini sebagai transfer effect (Agoes, Lestari, &
Alfaruqi, 2016). Pengalaman spiritual dimulai dari PFC bagian
kanan. Pada proses awal ini, cingulate gyrus juga terbukti
terlibat dalam memfokuskan perhatian yang berhubungan Sumber Gambar: www.blabla.co.id

denga PFC (Vogt, Finch, & Olson, 1992).

Daftar Pustaka
Agoes, A., Lestari, R., & Alfaruqi, S. (2016). Pengaruh Terapi Latihan Otak (Brain Age)
Terhadap Peningkatan Fungsi Kognitif Pada Lansia. MNJ, 2(2), 64- 70.
Cooke, P., & Elcoro, M. (2013). Neurotheology: neuroscience of the soul. Journal of Young
Investigators, 25(3).
D’Aquili, E. G., & Newberg, A. B. (1993). Religious and mystical states: A
neuropsychological substrate. Zygon, 28, 177–200.
D'Aquili, E., & Newberg, A. B. (1999). The mystical mind: Probing the biology of religious
experience. Minneapolis: Fortress Press.
Newberg, A. (2010). Principles of neuroethology. Surray, England: Ashgate Publishing
Limited. findings from a leading neuroscientist. New York, NY: Random House
Publishing Group. Kindle Edition.
Newberg, A. B., & Newberg, S. K. (2005). The Neuropsychology of Religious and Spiritual
Experience. Handbook of The Psychology of The Religion and Spiritualy. New York: The
Guilford Press.
Sheldrake, P. (2007). Brief history of spirituality. Maiden, Mass: Blackwell Pub.
Vogt, B. A., Finch, D. M., & Olson, C. R. (1992). Functional heterogeneity in cingulate
cortex: The anterior executive and posterior evaluative regions. Cerebral Cortex, 2, 435–
443.
Zinsstag, M. (2010). Spiritual Intelligence and Spiritual Journey in the Christian Faith
Tradition. Thesis. Wilfrid Laurier University.

Anda mungkin juga menyukai