Anda di halaman 1dari 3

Review Jurnal: Beyond the death drive: Entropy and free energy

Rabeyron, T. (2021). Beyond the death drive: Entropy and free energy. The International
Journal of Psychoanalysis, 102(5), 878-905. https://doi.org/10.1080/00207578.2021.1932514

Ringkasan Jurnal Beyond the death drive: Entropy and free energy
Psikoanalisis memiliki suatu gagasan yang disebut death drive (dorongan untuk mati);
kecenderungan organisme (makhluk hidup) untuk menuju kondisi inorganik. Jurnal ini berupaya
mengajukan tawaran terkait hubungan antara psikoanalisis dengan neurosains dalam gagasan
entropi dan free energy. Sekilas tentang entropi dan free energy, entropi merupakan satuan
kekacauan, dengan prinsip atas kecenderungan alam menuju pada kondisi kekacauan
(disorganized), dan free energy adalah energi bebas (potensialitas), artinya energi berada dalam
kondisi tidak bertegangan (tidak mempengaruhi) dengan energi lainnya.

Psikis mempertahankan keberlanjutan hidupnya dengan berupaya “membatasi” dirinya dengan


dunia eksternal. Dalam pemikiran Schrödinger (1944), hal ini disebut negative entropy atau
negentropy. Sebagaimana dengan sistem psikis, sistem biologis juga memiliki kecenderungan
untuk meregulasi entropi demi menjaga kondisi internalnya (Friston, 2013). Hal ini
menunjukkan upaya mereduksi free energy secara konstan, dalam neurosains ini disebut sebagai
prinsip free energy.

Konsep drive dalam psikoanalisis tidak hanya berada death drive, namun juga dengan life drive
yang di mana hal-hal tersebut melampaui prinsip kenikmatan. Kecenderungan organisme
bergerak menuju kondisi inorganik dinetralkan oleh life drive. Sistem kehidupan berupaya untuk
“menjinakkan” entropi, yang di mana ini menunjukkan bahwa, melalui konsekuensi dari entropi,
kematian (inanimate atau disorganization) menjadi prinsip utama dalam organisme hidup.

Perubahan dari inorganik menuju yang organik secara natural berada dalam sistem
organizational closure, artinya ada suatu blanket yang membatasi akses dunia eksternal ke dalam
dunia internal. Konsep ini disebut “Markov blanket” yang ada dalam pemikiran Bayesian.
Blanket ini menyebabkan terpisahnya dunia eksternal dengan dunia internal. Dalam pemikiran
Didier Anzieu (1987), yang disebut psychic envelope, setiap indera manusia menghasilkan
envelope (kulit/lapisan/menyelimuti) yang mentransformasi informasi sensorik menjadi elemen
yang dapat dipahami secara mental, seperti sentuhan, suara, atau gambar. Setiap envelope
memiliki hubungan yang kompleks dan terkait erat satu sama lain.

Prinsip free energy dan entropi ini memungkinkan adanya kondisi intersubjektivitas dalam ranah
psikis. Pada kelahiran bayi, bayi secara natural bergerak menuju kondisi inorganik,
meningkatnya entropi. Namun, adanya ibu (orang lain) yang hadir untuk mengintervensi bayi
tersebut, bayi dapat melanjutkan hidupnya dan menginternalisasi dunia eksternalnya
(intersubjective exchange), menurunnya kadar entropi. Inilah yang disebut alpha function (Bion,
1962b). Mekanisme intersubjektif ini sejalan dengan prinsip free energy, meminimalkan free
energy agar selalu dalam keadaan stabil.

Kesimpulannya, ada keterkaitan antara neurosains dengan psikoanalisis. Memahami hal ini
berguna dalam praktek terapi, seperti asosiasi bebas. Adanya kesamaan prinsip psikis dan
neurosains memberi pandangan baru tentang bagaimana pertukaran energi psikis bergerak
dengan prinsip yang sama dengan prinsip free energy. Kondisi internal dan eksternal bergerak
secara dialektis demi menciptakan representasi baru terhadap dunia untuk kelangsungan. Hal ini
membuktikan bahwa diri adalah tak terbatas dan selalu bergerak dalam proses simbolisasi yang
tidak pernah utuh.

Tanggapan
Jurnal ini benar-benar membuka pandangan baru tentang psikoanalisis. Psikoanalisis
sering sekali dianggap sebagai pseudoscience, namun jurnal ini membuktikan bahwa
spekulatifitas psikoanalisis telah tersaintifikasi melalui kacamata neurosains dan fisika. Memang
psikoanalisis banyak sekali dikritik dalam lingkup patriarkisnya. Namun, tak kalah penting juga
untuk melihat psikoanalisis dalam kerangka konseptual. Penjelasan tentang death drive dan life
drive merupakan salah satu terobosan, yang untuk kami, membuka pandangan baru tentang
kehidupan.

Selain dalam ranah reflektif, dalam kerangka epistemologis, psikoanalisis harus diakui bahwa ia
memang bersifat spekulatif. Upaya jurnal ini untuk menunjukkan adanya singgungan
psikoanalisis dengan neurosains dan fisika tidak sepenuhnya membuat psikoanalisis menjadi
saintifik. Psikoanalisis adalah paradigma. Psikoanalisis tidak memiliki objek yang jelas untuk
diukur. Namun, yang perlu diingat bahwa apa yang ilmiah (saintifik) belum tentu benar, dan
yang spekulatif belum tentu tidaklah benar. Kedua hal ini berada pada bubble yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai