Teori psikoanalisis klasik merujuk pada istilah yang dipopulerkan oleh Freud. Secara garis besar,
teori ini menyatakan bahwa “ketidaksadaran” pada individu memiliki peran yang utama dalam
diri seseorang. Dengan landasan teori ini, Freud melakukan pengobatan mereka yang menderita
gangguan psikis.
Teori Psikoanalisis Freud telah menjadi teori yang paling banyak digunakan dan dikembangkan
hingga saat ini. Konsep teori ini digunakan untuk meneliti kepribadian seseorang terhadap proses
psikis yang tidak terjangkau oleh hal yang bersifat ilmiah.
Gunung es dijadikan sebuah perumpamaan oleh Freud untuk menunjukkan skema gambaran jiwa
seseorang. Bagian puncak dinamakan kesadaran (conciousnes), Bagian tengah dinamakan
prakesadaran (sub conciousnes) dan bagian dasar yang tertutup air adalah ketidaksadaran
(unconciousnes).
Sama seperti perumpamaan akar pohon, disini alam bawah sadar atau ketidaksadaran merupakan
hal yang paling menentukan kehidupan manusia. Dimana penyebab dari penyimpangan perilaku
ini berasal dari faktor alam bawah sadar ini. Hal yang seperti inilah yang dianalisa oleh Freud
untuk mengungkap kepribadian seseorang dan menjadikan analisa ini sebagai metode
penyembuhan.
1. Id
Id berasal dari kata latin “Is” yang artinya es. Kepribadian ini disebut Freud sebagai kepribadian
bawaan lahir. Didalamnya terdapat dorongan yang didasari pemenuhan biologis guna kepuasan
bagi dirinya sendiri. Karakter khas pada aspek ini adalah tidak adanya pertimbangan logis dan
etika sebagai prinsip pengambilan keputusan. Lebih sederhana, id berwujud pada gambaran
nafsu, hasrat seksual dan perasaan superior (ingin berkuasa).
2. Ego
Aspek kepribadian ini terjadi akibat pengaruh yang ia dapatkan dari apa yang terjadi
didunia/lingkungannya. Ciri khas dari aspek ini, ego mengatur id dan juga superego untuk
pemenuhan kebutuhan sesuai dengan kepentingan kepribadian yang terlibat. Artinya, berbeda
dengan id yang hanya mementingkan diri sendiri, ego merupakan aspek yang mementingkan
keperluan lebih luas (tidak hanya dirinya).
3. Superego
Aspek kepribadian yang satu ini akan lekat kaitannya moral atau nilai kehidupan. Ranah superego
berisi tentang batasan untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk. Dengan kata lain,
superego memiliki peran penting untuk menjadi penengah antara id an ego. Ia menjadi penyekat
dari sinyal yang dikirimkan aspek id serta memotivasi ego untuk melakukan hal yang menjunjung
moralitas.
A. Teori Etologi
Istilah “etologi” diturunkan dari bahasa Yunani, sebagaimana ethos ialah kata Yunani untuk
"kebiasaan". Etologi juga dikenal dengan istilah sosisobiologi yakni bidang studi ilmiah yang
didasarkan pada asumsi bahwa perilaku sosial telah dihasilkan dari evolusi dan upaya untuk
menjelaskan dan memeriksa perilaku sosial dalam konteks tersebut. Sering dianggap sebagai
gabungan biologi dan sosiologi dimana sosiobiologi sangat erat bersekutu dengan bidang perilaku
manusia dan psikologi evolusioner.
Garis besar teori ini mengatakan pada dasarnya sumber dari semua perilaku sosial ada dalam
gen. Ada insting dalam makhluk untuk mengembangkan perilakunya. Analogi yang dikemukakan
adalah “genes setting the stage, and society writing the play”. Teori ini memberikan dasar bagi
pemahaman periode kritis perkembangan dan perilaku melekat pada anak segera setelah dilahirkan.
Kepekaan terhadap jenis pengalaman yang berbeda berubah sepanjang siklus kehidupan. Adanya
atau tidak adanya pengalaman-pengalaman tertentu pada waktu tertentu selama masa hidup
mempengaruhi individu dengan baik di luar waktu pengalaman-pengalaman itu pertama kali terjadi.
Para etologi yakin bahwa kebanyakan pakar psikologi meremehkan pentingnya kerangka waktu
khusus ini pada awal perkembangan dan peran yang kuat yang dimainkan evolusi dan landasan
biologis dalam perkembangan.
Etologi lahir sebagai pandangan penting karena pekerjaan para pakar ilmu hewan Eropa,
khususnya Konrad Lorenz (1903-1989). Etologi menekankan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh
biologi terkait dengan evolusi, dan ditandai oleh periode yang penting atau peka. Konsep periode
penting (critical period), adalah suatu periode tertentu yang sangat dini dalam perkembangan yang
memunculkan perilaku tertentu secara optimal. Konsep etologi untuk belajar dengan cepat dan
alamiah dalam satu periode waktu yang kritis yang melibatkan kedekatan dengan obyek yang dilihat
bergerak pertama kali. Para Etologis adalah para pengamat perilaku yang teliti, dan mereka yakin
bahwa laboratorium bukanlah setting yang baik untuk mengamati perilaku. Mereka mengamati
perilaku secara teliti dalam lingkungan alamiahnya seperti : di rumah, taman bermain, tetangga,
sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
Melalui penelitian yang sebagian besar dilakukan dengan angsa abu-abu, Lorenz (1965)
mempelajari suatu pola perilaku yang dianggap diprogramkan di dalam gen burung. Seekor anak
angsa yang baru ditetaskan tampaknya dilahirkan dengan naluri untuk mengikuti induknya.
Pengamatan memperlihatkan bahwa anak angsa mampu berperilaku demikian segera setelah
ditetaskan. Lorenz membuktikan bahwa tidak benar anggapan bahwa perilaku semacam itu
diprogramkan terhadap binatang.
Menurut teori Etologi (Berndt, 1992) tingkah laku lekat pada anak manusia diprogram secara
evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak namun
juga pada ibu. Ibu dan anak secara biologis dipersiapkan untuk saling merespon perilaku.
Bowlby (Hetherington dan Parke,1999) percaya bahwa perilaku awal sudah diprogam secara
biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan
perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya
bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari
respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan
yang saling menguntungkan (mutuality attachment).
Teori etologi juga menggunakan istilah “Psychological Bonding” yaitu hubungan atau ikatan
psikologis antara ibu dan anak, yang bertahan lama sepanjang rentang hidup dan berkonotasi
dengan kehidupan sosial (Bowley ,1992). Bowlby menyatakan bahwa kita dapat memahami tingkah
laku manusia dengan mengamati lingkungan yang diadaptasinya yaitu : lingkungan dasar tempat
berkembang.
Etologi sebagai sosiologi didasarkan pada premis bahwa beberapa perilaku (baik sosial dan
individu) setidaknya sebagian diwariskan dan dapat dipengaruhi oleh seleksi alam. Ini dimulai
dengan gagasan bahwa perilaku telah berevolusi dari waktu ke waktu, mirip dengan cara bahwa
sifat-sifat fisik diperkirakan telah berevolusi. Ini memprediksi karena itu hewan akan bertindak
dengan cara yang telah terbukti sukses evolusi dari waktu ke waktu, yang dapat antara lain
menghasilkan pembentukan proses sosial yang kompleks yang kondusif untuk kebugaran evolusi.
Melekat dalam penalaran sosiobiologis adalah gagasan bahwa gen tertentu atau kombinasi gen yang
mempengaruhi ciri-ciri perilaku tertentu dapat diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebuah dasar genetik untuk sifat-sifat perilaku naluriah kalangan non-spesies manusia, seperti
dalam contoh di atas, umumnya diterima di kalangan banyak ahli biologi, namun mencoba untuk
menggunakan dasar genetik untuk menjelaskan perilaku yang kompleks dalam masyarakat manusia
tetap sangat kontroversial.
B. Teori Ekologi
Teori etologis menempatkan tekanan yang kuat pada landasan perkembangan biologis. Berbeda
dengan teori etologi, Urie Bronfenbrenner (1917) mengajukan suatu pandangan lingkungan yang
kuat tentang perkembangan yang sedang menerima perhatian yang meningkat. Teori ekologi adalah
pandangan sosiokultular Bronfenbrenner tentang perkembangan, yang terdiri dari 5 sistem
lingkungan mulai dari masukan interaksi langsung dengan gen-gen sosial (social agent) yang
berkembang baik hingga masukan kebudayaan yang berbasis luas. Kelima sistem dalam teori
ekologis Bronfenbrenner ialah mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem.
Modal ekologis Bronfenbrenner (1979, 1986, 1989, 1993).
Mikrosistem, dalam teori ekologis Bronfenbrenner ialah setting dimana individu hidup. Konteks
ini meliputi keluarga individu, teman-teman sebaya, sekolah dan lingkungan. Dalam mikrosistem
inilah interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial berlangsung. Misalnya orang tua,
teman-teman sebaya, dan guru. Individu tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif
dalam setting ini, tetapi sebagai seseorang yang menolong membangun setting. Bronfenbrenner
menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak-dampak sosiokultural berfokus pada
mikrosistem.
Makrosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi kebudayaan di mana individu hidup.
Ingat bahwa kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan dan semua produk lain. Dari
sekelompok manusia yang diteruskan dari generas-generasi. Ingat juga bahwa studi lintas budaya,
perbandingan antar satu kebudayaan dengan kebudayaan lain atau lebih kebudayaan lain, memberi
informasi tentang generalitas perkembangan.