Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teori ekologi dalam psikologi perkembangan untuk menjelaskan bagaimana
kualitas yang diwarisi oleh seorang anak dan lingkungan tempatnya berinteraksi dapat
mempengaruhi bagaimana tumbuh kembang anak. Melalui teori ekologinya tersebut,
Bronfenbrenner menekankan pentingnya untuk mempelajari seorang anak dalam
konteks lingkungan yang beragam yang juga dikenal dengan istilah sistem ekologi
dalam usaha untuk memahami proses perkembangannya.

Seorang anak biasanya akan berada dalam ekosistem yang berbeda secara
simultan, dari lingkungan yang paling akrab di rumah menuju lingkungan luar ke
sekolah dan ke lingkungan yang paling luas yaitu budaya dan masyarakat. Setiap sistem
ini tidak dapat dihindari untuk berinteraksi dan saling mempengaruhi setiap aspek
kehidupan seorang anak. Teori ini akan membantu kita untuk memahami mengapa kita
dapat berperilaku berbeda di lingkungan yang berbeda, misalnya perilaku kita ketika di
rumah akan berbeda dengan perilaku yang kita tunjukkan ketika berada di lingkungan
luar.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian teori Ekologi perkembangan ?
2. Apa Aspek – aspek Dari Teori Ekologi ?
2

BAB II
PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN TEORI EKOLOGI PERKEMBANGAN

Istilah “etologi” diturunkan dari bahasa Yunani, sebagaimana ethos ialah kata Yunani
untuk "kebiasaan". Etologi juga dikenal dengan istilah sosisobiologi yakni bidang studi
ilmiah yang didasarkan pada asumsi bahwa perilaku sosial telah dihasilkan dari evolusi
dan upaya untuk menjelaskan dan memeriksa perilaku sosial dalam konteks tersebut.
Sering dianggap sebagai gabungan biologi dan sosiologi dimana sosiobiologi sangat
erat bersekutu dengan bidang perilaku manusia dan psikologi evolusioner.

Etologi menekankan landasan biologis, dan evolusioner perkembangan. Penamaan


(imprinting) dan periode penting (critical period) merupakan konsep kunci. Teori ini
ditegakkan berdasarkan penelitian yang cermat terhadap perilaku binatang dalam
keadan nyata. Pendirinya adalah Carl Von Frisch, seorang pecinta binatang. Bertahun-
tahun ia memelihara berbagai macam binatang dan mengamati perilakunya. Percobaan
yang dilakukan pada sekelompok itik dengan anak-anaknya adalah yang yang
digunakan untuk menyusun teori ini. Ia pisahkan dua kelompok anak angsa, satu
kelompok diasuh induknya dan satu kelompok lagi ia asuh sendiri. Setelah beberapa
bulan kelompok anak angsa yang diasuhnya mengidentifikasi  Carl Von Frisch sebagai
induknya. Kemanapun Carl Von Frisch pergi mereka selalu mengikuti. Suatu saat
dipertemukan kelompok asuhnya dengan induk aslinya ternyata kelompok yang diasuh
ini menolak induk aslinya.

Garis besar teori ini mengatakan pada dasarnya sumber dari semua perilaku sosial ada
dalam gen. Ada insting dalam makhluk untuk mengembangkan perilakunya. Analogi
yang dikemukakan adalah “genes setting the stage, and society writing the play”. Teori
ini memberikan dasar bagi pemahaman periode kritis perkembangan dan perilaku
melekat pada anak segera setelah dilahirkan. Kepekaan terhadap jenis pengalaman yang
berbeda berubah sepanjang siklus kehidupan. Adanya atau tidak adanya pengalaman-
pengalaman tertentu pada waktu tertentu selama masa hidup mempengaruhi individu
dengan baik di luar waktu pengalaman-pengalaman itu pertama kali terjadi. Para etologi
yakin bahwa kebanyakan pakar psikologi meremehkan pentingnya kerangka waktu
3

khusus ini pada awal perkembangan dan peran yang kuat yang dimainkan evolusi dan
landasan biologis dalam perkembangan.

Etologi lahir sebagai pandangan penting karena pekerjaan para pakar ilmu hewan Eropa,
khususnya Konrad Lorenz (1903-1989). Etologi menekankan bahwa perilaku sangat
dipengaruhi oleh biologi terkait dengan evolusi, dan ditandai oleh periode yang penting
atau peka. Konsep periode penting (critical period), adalah suatu periode tertentu yang
sangat dini dalam perkembangan yang memunculkan perilaku tertentu secara optimal.
Konsep etologi untuk belajar dengan cepat dan alamiah dalam satu periode waktu yang
kritis yang melibatkan kedekatan dengan obyek yang dilihat bergerak pertama kali. Para
Etologis adalah para pengamat perilaku yang teliti, dan mereka yakin bahwa
laboratorium bukanlah setting yang baik untuk mengamati perilaku. Mereka mengamati
perilaku secara teliti dalam lingkungan alamiahnya seperti : di rumah, taman bermain,
tetangga, sekolah, rumah sakit dan lain-lain.

Melalui penelitian yang sebagian besar dilakukan dengan angsa abu-abu, Lorenz (1965)
mempelajari suatu pola perilaku yang dianggap diprogramkan di dalam gen burung.
Seekor anak angsa yang baru ditetaskan tampaknya dilahirkan dengan naluri untuk
mengikuti induknya. Pengamatan memperlihatkan bahwa anak angsa mampu
berperilaku demikian segera setelah ditetaskan. Lorenz membuktikan bahwa tidak benar
anggapan bahwa perilaku semacam itu diprogramkan terhadap binatang.

Menurut teori Etologi (Berndt, 1992) tingkah laku lekat pada anak manusia diprogram
secara evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan
pada anak namun juga pada ibu. Ibu dan anak secara biologis dipersiapkan untuk saling
merespon perilaku.
Bowlby (Hetherington dan Parke,1999) percaya bahwa perilaku awal sudah diprogam
secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan
reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan
hubungan ibu dan anak. Sebaliknya bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara
dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah
anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan
(mutuality attachment).
4

Teori etologi juga menggunakan istilah “Psychological Bonding” yaitu hubungan atau
ikatan psikologis antara ibu dan anak, yang bertahan lama sepanjang rentang hidup dan
berkonotasi dengan kehidupan sosial (Bowley ,1992). Bowlby menyatakan bahwa kita
dapat memahami tingkah laku manusia dengan mengamati lingkungan yang
diadaptasinya yaitu : lingkungan dasar tempat berkembang.

Etologi sebagai sosiologi didasarkan pada premis bahwa beberapa perilaku (baik sosial
dan individu) setidaknya sebagian diwariskan dan dapat dipengaruhi oleh seleksi alam.
Ini dimulai dengan gagasan bahwa perilaku telah berevolusi dari waktu ke waktu, mirip
dengan cara bahwa sifat-sifat fisik diperkirakan telah berevolusi. Ini memprediksi
karena itu hewan akan bertindak dengan cara yang telah terbukti sukses evolusi dari
waktu ke waktu, yang dapat antara lain menghasilkan pembentukan proses sosial yang
kompleks yang kondusif untuk kebugaran evolusi. Melekat dalam penalaran
sosiobiologis adalah gagasan bahwa gen tertentu atau kombinasi gen yang
mempengaruhi ciri-ciri perilaku tertentu dapat diwariskan dari generasi ke generasi.

Sebuah dasar genetik untuk sifat-sifat perilaku naluriah kalangan non-spesies manusia,
seperti dalam contoh di atas, umumnya diterima di kalangan banyak ahli biologi, namun
mencoba untuk menggunakan dasar genetik untuk menjelaskan perilaku yang kompleks
dalam masyarakat manusia tetap sangat kontroversial.

B.     Teori Ekologi

Teori etologis menempatkan tekanan yang kuat pada landasan perkembangan biologis.
Berbeda dengan teori etologi, Urie Bronfenbrenner (1917) mengajukan suatu pandangan
lingkungan yang kuat tentang perkembangan yang sedang menerima perhatian yang
meningkat. Teori ekologi adalah pandangan sosiokultular Bronfenbrenner tentang
perkembangan, yang terdiri dari 5 sistem lingkungan mulai dari masukan interaksi
langsung dengan gen-gen sosial (social agent) yang berkembang baik hingga masukan
kebudayaan yang berbasis luas. Kelima sistem dalam teori ekologis Bronfenbrenner
ialah mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem. Modal
ekologis Bronfenbrenner (1979, 1986, 1989, 1993).

Mikrosistem, dalam teori ekologis Bronfenbrenner ialah setting dimana individu hidup.
Konteks ini meliputi keluarga individu, teman-teman sebaya, sekolah dan lingkungan.
5

Dalam mikrosistem inilah interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial
berlangsung. Misalnya orang tua, teman-teman sebaya, dan guru. Individu tidak
dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam setting ini, tetapi sebagai
seseorang yang menolong membangun setting. Bronfenbrenner menunjukkan bahwa
kebanyakan penelitian tentang dampak-dampak sosiokultural berfokus pada
mikrosistem.

Mesosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi hubungan antara beberapa


mikrosistem atau hubungan antar beberapa konteks. Contohnya ialah hubungan antara
pengalaman keluarga dan pengalaman sekolah, pengalaman sekolah dengan
pengalaman keagamaan, dan pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya.
Misalnya anak-anak yang orang tuanya menolak mereka dapat mengalami kesulitan
mengembangkan hubungan positif dengan guru, para developmentalis semakin yakin
pentingnya mengamati perilaku dalam setiing majemuk seperti keluarga, teman sebaya,
dan konteks sekolah untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang
perkembangan individu.

Ekosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-


pengalaman dalam setting sosial lain dimana individu tidak memiliki peran yang aktif
mempengaruhi apa yang individu alami dalam konteks yang dekat. Misalnya
pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami
dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan
banyak perjalanan, yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola
interaksi orang tua anak. Contoh lain ekosistem adalah pemerintah kota yang
bertanggung jawab bagi kualitas taman, pusat-pusat rekreasi dan fasilitas perpustakaan
bagi anak-anak dan remaja.

Makrosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi kebudayaan di mana


individu hidup. Ingat bahwa kebudayaan mengacu pada pola perilaku, keyakinan dan
semua produk lain. Dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generas-generasi.
Ingat juga bahwa studi lintas budaya, perbandingan antar satu kebudayaan dengan
kebudayaan lain atau lebih kebudayaan lain, memberi informasi tentang generalitas
perkembangan.
6

Kronosistem, dalam teori ekologi Bronfenbrenner meliputi pemolaan peristiwa-


peristiwa lingkungan dan transisi sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan
sosiohistoris. Misalnya dalam mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para
peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama
setelah perceraian dan bahwa dampaknya lebih negatif bagi anak laki-laki daripada anak
perempuan. Dua tahun setelah perceraian, interaksi keluarga tidak begitu kacau lagi dan
lebih stabil dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan sosiohistoris, dewasa ini,
kaum perempuan tampaknya sangat didorong untuk meniti karir dibandingkan pada 20
atau 30 tahun yang lalu. Dengan cara seperti ini, kronosistem memiliki dampak yang
kuat pada perkembangan kita.

Aspek – aspek Dari Teori Ekologi

Teori ekologi yang merupakan salah satu dari teori psikologi


perkembangan berpendapat bahwa kita akan menghadapi berbagai lingkungan yang
berbeda di sepanjang rentang usia kita yang dapat mempengaruhi perilaku kita dalam
berbagai segi. Bronfenbrenner membagi beberapa aspek teori ekologi dalam psikologi
perkembangan yang dapat mempengaruhi perkembangan anak yaitu:
1. Mikrosistem
Lingkungan mikrosistem adalah lingkungan yang paling kecil dan langsung dihadapi
anak, yaitu lingkungan dimana ia hidup dan bertemu dengan orang – orang yang
berinteraksi secara langsung. Mikrosistem mencakup rumah, sekolah atau penitipan
anak, kelompok teman sebaya atau lingkungan komunitas dari sang anak. Interaksi
didalam mikrosistem biasanya melibatkan keterlibatan pribadi dengan keluarga, teman
sekelas, guru, pengasuh yang memberi pengaruh kepada anak.

Bagaimana cara orang – orang dalam lingkungan tersebut berinteraksi dengan anak
akan mempengaruhi bagaimana anak tersebut tumbuh. Begitu pula cara anak bereaksi
terhadap orang – orang dalam mikrosistem akan mempengaruhi bagaimana mereka
memperlakukan anak tersebut. Pengaruh mikrosistem terhadap tumbuh kembang anak
berupa teori ekologi dalam psikologi perkembangan bisa dilihat juga dari contoh –
contoh macam pola asuh anak menurut psikologi yang sering diterapkan oleh orang tua:
 Pola Otoriter – Gaya pengasuhan yang membatasi dan menggunakan hukuman
untuk menuntut anak agar mengikuti perintah – perintah orang tua. Orang tua
7

menetapkan batas – batas yang tegas tanpa memberi kesempatan anak untuk
mengeluarkan pendapat. Pola pengasuhan ini dihubungkan dengan ketidak mampuan
anak – anak untuk bergaul secara sosial.
 Pola Otoritatif – Pola ini mendorong anak agar belajar mandiri dengan masih
menetapkan batas – batas yang diberikan orang tua, sehingga tindakan – tindakan anak
masih terkendali. Pola ini memungkinkan musyawarah secara verbal dan ekstensif,
adanya kehangatan dan pertunjukan kasih sayang dari orang tua ke anak. Pola
pengasuhan ini dihubungkan dengan kemampuan anak – anak untuk berfungsi secara
sosial.
 Pola Permisif – Terbagi menjadi dua yaitu permisif indifferent dimana orang
tua tidak terlibat dalam kehidupan anak sehingga anak menjadi inkompeten secara
sosial dan kekurangan kendali diri. Sedangkan pola permisif indulgent dimana orang
tua terlibat dalam kehidupan anak melalui pemanjaan dengan sedikit batasan atau
kendali terhadap tingkah laku anak, sehingga anak menjadi inkompeten secara sosial
dan juga kurang dapat mengendalikan diri.
2. Mesosistem
Mesosistem meliputi interaksi antar mikrosistem yang berbeda dimana seorang anak
berada. Pada intinya mesosistem adalah suatu sistem yang terbentuk dari mikrosistem
dan melibatkan hubungan antara rumah dan sekolah, teman sebaya dan keluarga atau
antara keluarga dan sekolah dalam psikologi perkembangan. Bermain dengan teman
sebaya dengan relasi yang baik dapat mengurangi tekanan pada anak, meningkatkan
perkembangan secara kognitif, dan lain sebagainya. Contoh lain, ketika seorang anak
diabaikan orang tuanya, ia mungkin akan mengalami kemungkinan kecil untuk
mengembangkan perilaku yang positif terhadap gurunya, merasa canggung dengan
teman sekelasnya dan menarik diri dari pergaulan.
3. Eksosistem
Eksosistem berkaitan dengan hubungan yang mungkin terjadi antara dua atau lebih
setting lingkungan, salah satunya kemungkinan bukan lingkungan yang melibatkan
seorang anak namun tetap mempengaruhinya walau bagaimanapun. Orang lain atau
tempat lain yang tidak berinteraksi secara langsung dengan anak namun tetap dapat
mempunyai pengaruh kepada anak meliputi eksosistem tersebut. Ketahuilah juga
8

mengenai psikologi lingkungan, teori dalam psikologi lingkungan, dan faktor


situasional dalam psikologi komunikasi.
Misalnya lingkungan tempat kerja orang tua, lingkungan rumah yang lebih luas dan
keluarga besar. Contohnya, seorang ayah yang kerap mengalami kesulitan di tempat
kerja bisa saja melampiaskan hal tersebut kepada sang anak di rumah dan
memperlakukan anak dengan buruk. Ibu bekerja yang menitipkan anak kepada
babysitter atau pengasuh, terlalu banyak menonton televisi dengan tayangan yang penuh
kekerasan, dan lainnya. 

4. Makrosistem
Lingkungan yang paling besar dan jauh dari orang – orang dan tempat yang masih dapat
memberikan pengaruh signifikan pada anak adalah makrosistem. Lingkungan ini
tersusun akan pola budaya dan nilai – nilai sang anak, khususnya keyakinan dan ide
dominan anak sebagaimana sistem politik dan ekonomi. Konteks budaya akan
melibarkan status sosial dan ekonomi dari seseorang atau keluarganya, etnis atau ras.

Misalnya, anak – anak di daerah perang akan mengalami perkembangan yang berbeda
daripada anak yang tumbuh di masyarakat yang damai dan sejahtera. Orang yang
dilahirkan di keluarga miskin akan harus bekerja keras setiap harinya melebihi orang –
orang lain. Anggaran pendidikan  yang dikurangi oleh pemerintah juga dapat
mempengaruhi perkembangan anak, juga anak  yang hidup di daerah yang masih
tradisional, dan lain sebagainya.

5. Chronosistem
Chronosistem memberikan kegunaan dari dimensi waktu yang mempertunjukkan
pengaruh akan perubahan dan kontinuitas dalam lingkungan seorang anak.
Chronosistem bisa berupa perubahan, transisi dan tingkatan dalam struktur keluarga,
alamat, status pekerjaan orang tua, perubahan sosial dalam masyarakat seperti ekonomi
dan perang. Mungkin juga melibatkan konteks sosial budaya yang dapat mempengaruhi
seseorang.

Contoh klasiknya adalah perceraian sebagai perubahan hidup yang besar mungkin saja
akan mempengaruhi tidak saja hubungan dari pasangan tersebut akan tetapi juga
perilaku anak – anak mereka. Menurut penelitian secara umum, anak – anak mendapat
9

pengaruh secara negatif pada tahun pertama setelah perceraian. Contoh lain adalah
penggunaan teknologi tinggi oleh anak untuk bermain game, menjelajah internet dan
lain sebagainya.

Adapun sebagai konstruksi dari teori – teori tersebut, setiap sistem mengandung
peraturan, norma, dan peran yang akan membentuk perkembangan psikologis
seseorang. Contohnya, keluarga yang tinggal di pemukiman tengah kota akan
menghadapi banyak tantangan dibanding keluarga yang tinggal di komunitas terbatas
seperti kejahatan atau kemiskinan. 

Pendidikan karakter dalam kajian teori ekologi Kajian utama dalam makalah ini adalah :
1) sub sistem keluarga sebagai bagian dari mikrosistem, khusunya tentang karaktersitik
pengasuhan keluarga untuk mengembangkan karakter anak; 2) sub sistem teman
sebaya ; 3) sub sistem budaya sekolah; dan 4) budaya lingkungan anak. Masing-masing
sub sistem diuraikan berikut ini :

1. Sub sistem keluarga Pengembangan karakter anak dapat dilakukan melalui


pendidikan karakter yang terstruktur jelas. Musfiroh (2008) menyarankan dalam
pengembangan karakter anak sebaiknya memperhatikan isi pengajaran, proses
pembelajaran, kualitas hubungan, pelaksanaan aktivitas co-kurikuler dan etos seluruh
lingkungan sekolah. Jika konsep tersebut ditarik ke pendidikan informal dalam keluarga
maka pengembangan karakter anak perlu memperhatikan kualitas muatan pengasuhan
dan proses pengasuhan. Peran orangtua sebagai pendidik bagi anakanaknya merupakan
keharusan, karena anak sangat membutuhkan : 1) mencintai dan dicintai; 2)
perlindungan hingga merasa aman; 3) bimbingan; 4) diakui; 5) disiplin. Untuk itu
orangtua harus memahami terlebih dahulu karakter dasar anak. Dalam mewujudkan
pendidikan karakter, tidak dapat dilakukan tanpa penanaman nilainilai (Azra, 2002),
karena nilai adalah motivasi dalam segala perbuatan dan dalam pelaksanaannya nilai
dijabarkan dalam bentuk kaidah atau norma.

Menurut Berkowitz (1998), kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa anak
yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilainilai
karakter (valuing). Karakter tidak sebatas pengetahuan, tetapi sampai pada wilayah
emosi dan kebiasaan diri. Untuk itu diperlukan moral knowing (pengetahuan tentang
10

moral), moral feeling (perasaan tentang moral) dan moral action (perbuatan bermoral).
Hal ini agar anak mampu memahami, merasakan dan melakukan nilai-nilai kebajikan.
Selanjutnya Heritage Foundation (dalam Musfiroh, 2009) menjabarkan juga tentang
strategi pengembangan karakter yaitu : a. Melibatkan partisipasi aktif anak b.
Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif sehingga anak merasa aman tinggal di
rumah. c. Pendidikan karakter disampaikan secara eksplisit, sistematis dan
berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good dan
acting the good. d. Memperhatikan keunikan anak

e. Membangun hubungan yang suportif dan penuh perhatian antara anak dan orangtua f.
Terdapat model (contoh) perilaku positif g. Melibatkan anak dalam kegiatan ’moral’ h.
Semua anak tidak ada yang terabaikan. Teori ekologi menjelaskan bahwa karaktersitik
lingkungan keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak, karena karakteristik
keluarga akan menentukan gaya mendidik orangtua.

2. Sub sistem teman sebaya Teman sebaya merupakan bagian dari mikrosistem,
sehingga bisa berinteraksi langsung dengan anak. Peran teman sebaya melalui interaksi
sosial tampaknya perlu diperhatikan juga. Pada masa kanakkanak akhir, anak akan lebih
mengikuti standar-standar atau norma-norma teman sebaya daripada norma di rumah
maupun di sekolah. Norma-norma tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama antara
sesama anggota kelompok (Santrock, 2002). Akibatnya kekuatan kelompok sebaya
dapat membentuk karakter anak. Hasil penelitian Sussman et. al (2003) menemukan
bahwa afiliasi dengan teman sebaya berkaitan dengan pembentukan perilaku yang
beresiko, sehingga dapat mengganggu kesehatan mental anak. Limber (2002) juga
mengatakan bahwa afiliasi dengan teman sebaya ini dapat menjadi awal terbentuknya
perilaku bermasalah pada anak, artinya karakter kurang baik bisa terbentuk. Dengan
kajian ekologi perkembangan karakteristik teman sebaya akan berpengaruh pada
karakter anak.

3. Sub sistem budaya sekolah Pendidikan karakter anak tidak bisa dilakukan secara
parsial dan sebatas pada ranah kognitif saja. Mata pelajaran budi pekerti dianggap bisa
mengajarkan nilainilai dan karakter dalam kehidupan bermasyarakat agar siswa
memiliki akhlak yang terpuji dan berbudi luhur yang sesuai dengan aspek budaya di
sekolah. Namun, internalisasi karakter tentunya tidak hanya melalui proses
11

pembelajaran. Internalisasi karakter dapat ditumbuhkan melalui atmosfir sekolah yaitu


budaya sekolah. Waller (Peterson & Terrence, 2009) menyatakan bahwa setiap sekolah
mempunyai budaya sendiri, yang berupa serangkaian nilai, norma, aturan moral, dan
kebiasaan yang telah membentuk perilaku dan hubungan-hubungan yang terjadi di
dalamnya. Budaya sekolah adalah nilainilai dominan yang didukung oleh sekolah atau
falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen
sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di
sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Pada
awalnya budaya sekolah dibentuk dalam jaringan yang sifatnya formal. Dalam
perkembangannya, secara perlahan budaya sekolah ini akan diinternalisasi dan menjadi
ciri khas sekolah tersebut

4. Sub sistem budaya lingkungan Hasil penelitian Ruyadi (2010) menunjukkan bahwa
pendidikan karakter akan efektif jika dilaksanakan dengan berbasis budaya lokal dimana
anak berada. Hasil penelitian ini didasarkan pada teori sosialisasi yang mengatakan
bahwa sosialisasi ini bersifat timbal balik dengan saling menukar informasi dan energi
yang diberi nama hierarki sibernetis. Dalam hal ini proses pewarisan budaya termasuk
didalamnya karakter bangsa dilakukan dengan tahap: institusionalisasi, sosialisasi,
internalisasi dan kontrol yang berlangsung dalam suatu sistem. Hasil penelitian ini
didukung oleh pendapat Sumaatmadja (2002) yang menyatakan terdapat hubungan yang
erat antara pendidikan dengan kebudayaan, karena pendidikan merupakan akulturasi
atau pembudayaan. Tanpa proses pendidikan kebudayaan tidak akan berkembang,
dalam arti pendidikan merupakan transformasi sistem social
12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Teori ekologi perkembangan mengkaji tentang hubungan timbal balik


antara anak dan sesamanya serta lingkungan tempat tinggalnya. Ekologi
merupakan satu kajian ilmiah yang bertujuan untuk memahami interaksi yang
dinamis dan kompleks antara individu dan berbagai aspek lingkungannya.
Implikasi teori ekologi dalam pendidikan karakter dapat dikaji dari sistem yang
melingkupi kehidupan individu, yaitu mikrosistem, eksosistem, dan
makrosistem. Masing-masing sistem ini memberikan kontribusi pada
terbentuknya karakter anak.

B. Saran

Menurut saya makalah ini kurang sekali dalam kata sempurna banyak
sekali kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh penulis, untuk itu saya
mengharapkan kritik dan saran untuk pembuatan makalah selanjutnya.
13

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2006). Psikologi Kepribadian. Malang : UMM. Azra, A. (2002). Paradigma


Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi. Jakarta : Kompas

Bronfenbrenner, U., Morris, P. A. (1998).The Ecology of Developmental Processes. In


W. Damon (Series Ed.) & R. M. Lerner (Vol. Ed.), Handbook of Child
Psychology: Vol. 1: Theoretical Models of Human Development. New York:
Wiley

Anda mungkin juga menyukai