Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap individu membutuhkan pertumbuhan dan
perkembangan untuk tetap dapat survive dalam kehidupan.
Pertumbuhan lebih mengarah pada kuantitas fisik, sedangkan
perkembangan lebih condong kepada kualitas pribadi seorang
individu yang dalam hal ini lebih mengarah pada ranah emosional,
mental, kedewasaan, dan lain sebagainya.
Perkembangan merupakan suatu anugerah yang Tuhan
berikan kepada makhluk-Nya. Perkembangan yang substansinya
abstrak menjadikan para ilmuwan memiliki spirit untuk melakukan
suatu kajian atau riset yang kemudian menghasilkan suatu teori
atau konsep yang dengannya akan dihasilkan suatu khazanah dan
disiplin keilmuwan. Masing-masing teori dan konsep yang
dikemukakan mempunyai alasan dan cara pandang yang berbeda,
sehingga tidak ada alasan bagi masyarakat untuk sepenuhnya
mengikuti salah satu konsep secara murni, mengingat tidak ada
konsep yang berlaku obyektif untuk semua kondisi perkembangan
manusia.
Teori tentang perkembangan sendiri sudah banyak
dicetuskan oleh para ahli terutama ahli psikologi. Salah satunya
yang perlu dibahas adalah teori perkembangan kontekstual yang
aplikasi pembelajarannya sudah banyak digunakan oleh instansi-
instansi pendidikan dan bahkan pernah menjadi salah satu konsep
belajar yang dilegalkan di negara Amerika.
Oleh karena itu, teori perkembangan ini harus kita pelajari
sebagai upaya untuk mengetahui tahapan-tahapan hidup manusia
terutama kita sebagai calon guru harus memahami perkembangan
dari peserta didik agar dapat menentukan jenis pembelajaran yang
tepat baginya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut:

1
1. Apa pengertian teori kontekstual dan siapa pencetusnya?
2. Apa yang dimaksud dengan teori etologis dan teori ekologis?
3. Bagaimana prinsip dari teori pembelajaran kontekstual serta
aplikasinya dalam pembelajaran fisika?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian teori kontekstual berikut
pencetusnya.
2. Mengetahui maksud dari teori etologs dan ekologis.
3. Mengetahui prinsip pembelajaran kontekstual serta
aplikasinya dalam pembelajaran fisika.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Teori kontekstual memandang perkembangan sebagai proses yang terbentuk dari


transaksi timbal balik antara anak dan konteks perkembangan sistem fisik, sosial, kutural,
dan histories dimana interaksi tersebut terjadi. Menurut teori ini interaksi setiap anak
terhadap berbagai aspek berpengaruh langsung terhadap perkembangan anak tersebut.
Hipotesis ini menarik perhatian para ahli untuk meneliti lebih dalam seberapa besar
pengaruhnya dengan berbagai konsep dan pandangan masing-masing.

A. Tokoh Teori kontekstual

Contextual teaching and learning banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme


yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget.
Aliran filsafat konstruktivisme berangkat dari pemikiran epistimologi Giambatista Vico
(Suparno, 1997). Vico mengungkapkan: Tuhan adalah pencipta alam semesta dan
manusia adalah tuan dari ciptaannya. Mengetahui, menurut Vico, berarti mengetahui
bagaimana membuat sesuatu. Artinya, seseorang dikatakan mengetahui manakala ia dapat
menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Oleh karena itu menurut Vico,
pengetahuan itu tidak lepas dari orang (subjek) yang tahu. Pengetahuan merupakan
struktur konsep dari subyek yang mengamati. Selanjutnya, pandangan filsafat
kontruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar,
bahwa belajar bukanlah sekedar menghafal, melainkan proses mengkontruksikan
pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil pemberian dari orang lain
seperti guru, tetapi hasil proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu.
Pengetahuan hasil dari pemberian tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna.
Pandangan pakar pedagogi tentang teori perkembangan kontekstual:
1. Dun Hull
Penerapan kaidah pembelajaran yang berangkat dari toeri perkembangan
kontekstual memberikan implikasi positif terhadap keterlibatan siswa dalam sekolah.
Efektifitas pembelajaran meningkat secara signifikan ketika mereka diajarkan mengapa
mereka mempelajari konsep dan bagaimana konsep-konsep dapat digunakan diluar kelas,
dan akan semakin efektif ketika mereka diizinkan untuk bekerja sama dengan yang lain
dalam kelompok atau tim.

3
2. John Dewey
Menurut John Derwey, rancangan formula kurikulum akan lebih maksimal jika
kerangka formula tersebut mengambil titik acuan berupa perkembangan kontekstual yaitu
Kurikulum dan metode pembelajaran yang terkait dengan pengalaman dan minat anak.
3. Howard Gardner
Implikasi dari konsep perkembangan kontekstual mengarah pada definisi belajar
sebagai proses yang kompleks yang tidak dapat ditangani secara memadai melalui drill-
oriented (metode stimulus atau respon).
4. Geoffrey Caine
Teori Perkembangan kontekstual akan mengarahkan sasaran dan metode
pembelajran dengan karakteristik pencarian makna melalui hubungan yang masuk akal dan
cocok dengan pengalaman masa lalu sebagai hakikat pembelajarannya.
5. Jonassen
Jonassen menawarkan konsep belajar yang berangkat dari teori perkembangan
kontekstual yaitu belajar dari tugas yang terletak dibeberapa tugas dalam dunia nyata, atau
dirangsang melalui beberapa lingkungan belajar berbasis kasus atau berbasis masalah.
6. D.A. Kolb
Suasana belajar yang mengambil teori perkembangan kontekstual sebagai basisnya
yaitu suasana pelajaran yang melibatkan berbagai pengalaman yang mungkin dalam
konteks sosial, budaya, fisikal dan psikologi.

A. Teori Perkembangan Kontekstual


Merujuk pada pandangan para ahli terhadap definisi dan konsep perkembangan
kontekstual, maka secara garis besar terdapat dua teori perkembangan kontekstual, yaitu
teori etologi dan teori ekologi
1. Teori Etologi

Etologi menegaskan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi, terkait


dengan evolusi dan ditandai dengan periode kritis atau sensitif. Periode ini merupakan
jangka waktu spesifik, yang menurut ahli etologi, ada atau tidaknya pengalaman
tertentu akan memiliki dampak jangka-panjang bagi individu.
Seorang alhi zoologi eropa, konrad lorenzo (1903-1989) telah berjasa dalam
mengangkat etologi menjadi teori yang penting. Dalam eksperimennya yang terkenal,
Lorenz (1965) mempelajari perilaku dari angsa abu-abu, yang selalu mengikuti
induknya sesaat setelah mereka menetas. Lorenz memisahkan telur-telur angsa ke

4
dalam dua kelompok. Kelompok pertama ia kembalikan kepada angsa untuk dierami,
kelompok yang lain ditetaskan dalam sebuah inkubator. Anak-anak angsa dalam
kelompok pertama berperilaku seperti yang diramalkan, mereka mengikuti induk
mereka sesaat setelah mereka menetas. Namun, anak-anak angsa dalam inkubator
melihat Lorenz ketika mereka menetas sehingga mengikuti Lorenz ke mana-mana,
seolah-olah ia adalah induk mereka. Lorenz menandai anak-anak angsa itu kemudian
menempatkan kedua kelompok itu dalam satu kotak. Induk angsa dan ibu
Lorenzberdiri agak jauh ketika kotak itu diangkat. Masing-masing kelompok anak
angsa langsung menuju induk-nya. Lorenz menyebut proses ini imprinting, suatu
proses belajar yang cepat dan naluriah yang melibatkan kelekatan kepada objek
bergerak yang pertama kali dilihat.
Meskipun demikian, John Bowlby (1969, 1989) menggambarkan penerapan
penting dari teori etologi dalam perkembangan manusia. Bowlby mengatakan bahwa
kelekatan kepada pengasuh selama satu tahun pertama kehidupan memiliki konsekuensi
penting bagi keseluruhan masa hidup seseorang. Dalam pendangan Bowlby, apabila
kelekatan ini berlangsung secara positif dan aman maka individu akan cenderung
mengembangkan masa kanak-kanak dan masa dewasa yang positif. Apabila kelekatan
ini berlangsung negatif dan tidak aman maka perkembangan masa hidup akan
cenderung menjadi tidak optimal.
Menurut Lorenz, imprinting perlu terjadi pada waktu tertentu dan dini dalam
kehidupan binatang, di luar waktu itu maka imprinting tidak akan terjadi. Periode waktu
ini disebut periode kritis. Konsep yang berkaitan dengannya adalah konsep periode
sensitif, contohnya adalah masa bayi yang menurut Bowlby diperlukan terjadinya
kelekatan demi mendorong perkembangan optimal atas aspek hubungan sosial.

2. Teori Ekologi

Teori ekologi dicetuskan oleh Urie Bronfenbrenner (1917-


2005). Dalam teori ini lebih mengedepankan faktor lingkungan
daripada faktor biologis. Teori ini menekankan pentingnya dimensi
mikro dan makro dari lingkungan yang menjadi tempat hidup anak.
Teori ekologi Bronfenbrenner (Bronfenbrenner, 1986, 2004;
Bronfenbrenner & Morris, 1998, 2006) menyatakan bahwa
perkembangan mencerminkan pengaruh dari sejumlah sistem

5
lingkungan.1 Adapun sistem lingkungan yang diidentifikasi dalam teori
ini yaitu mikrositem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan
kronosistem.

a. Mikrosistem, yaitu lingkungan tempat individu hidup. Konteks


ini dapat mencakup struktur dan proses yang berlangsung
pada setting tatap muka individu (immediate settings),
misalnya keluarga, kawan-kawan sebaya, sekolah, ruang
bermain, lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Dalam
mikrosistem ini terjadi interaksi langsung antara individu
dengan agen-agen sosial, misal interaksi seorang anak
dengan orang tuanya, seorang anak yang bermain dengan
kawannya di Sekolah, seorang murid dengan gurunya, dan
lain sebagainya. Dalam setting ini, individu tidak dipandang
sebagai seorang yang pasif namun lebih berperan dalam
membangun lingkungan.
b. Mesositem, yaitu konteks penghubung (mata rantai) dan
proses yang berlangsung dalam dua setting atau lebih dari
individu. Dengan kata lain, mesositem merupakan sistem dari
mikrosistem yang terdiri dari relasi antar mikrosistem atau
koneksi diantara beberapa konteks. Contohnya hubungan
rumah dengan sekolah, pengalaman sekolah dengan
keagamaan. Sebagai contoh, anak-anak yang orang tuanya
menolak relasi dengan mereka akan mungkin mengalami
kesulitan untuk mengembangkan relasi positif dengan guru
mereka.
c. Eksositem, yaitu konteks yang berkaitan antara lingkungan
sosial, prosesnya terjadi di dua setting atau lebih dan individu
yang berkembang tidak berperan aktif melainkan event-
event yang terjadi dapat mempengaruhi proses yang
berlangsung pada immediate setting. Contohnya relasi antara
rumah dengan lingkungan kerja orang tua. Misal, bagi
seorang suami atau anak yang dirumah, sedangkan ibunya

1 John W. Santrock, Life-Span Development, Erlangga, Jakarta, hlm. 32.

6
bekerja dan memperoleh kenaikan jabatan yang
menuntutnya untuk lebih banyak bepergian, sehingga hal ini
memungkinkan terjadinya peningkatan konflik dengan
suaminya dan mengubah pola interaksi dengan anaknya.
d. Makrosistem, adalah budaya tempat individu hidup. Konteks
ini mencakup pola-pola ideologi dan organisasi institusi sosial
dalam suatu budaya atau sub-budaya, dimana budaya
merujuk pada pola-pola perilaku, keyakinan, dan semua
produk dari sekelompok manusia yang diwariskan dari
generasi ke generasi. Dengan adanya perbandingan antara
budaya yang satu dengan yang lainnya memberikan
informasi mengenai generalisasi perkembangan. Dalam
makrositem ini mencakup ketiga konteks diatas, yakni
mikrosistem, mesosistem, dan eksosistem.
e. Kronosistem, yaitu pola peristiwa-peristiwa lingkungan dan
transisi dari rangkaian kehidupan dan kedaan-keadaan
sosiohistoris. Salah satu contoh transisi adalah perceraian.
Para peneliti menemukan bahwa dampak-dampak negatif
dari perceraian terhadap anak-anak sering sering kali
memuncak ditahun pertama setelah perceraian
(Hetherington, 1993).2 Dua tahun setelahnya, interaksi
keluarga mulai stabil, teratur, sudah tidak terlalu kacau.
Sebagai contoh keadaan sosiohistoris, kita bisa melihat
kesempatan bagi wanita untuk menjadi wanita karier yang
memuncak sejak tahun 1960-an.

Bronfenbrenner (2004; Bronfenbrenner & Morris, 2006) baru-


baru ini menambahkan pengaruh biologis dalam teorinya dan
dikenal dengan nama teori bioekologi. Akan tetapi, adanya pengaruh
biologis tersebut tidak mengubah teori Bronfenbrenner sebelumnya,
konteks ekologi dan lingkungan masih memegang perang utama
dalam teori Bronfenbrenner.

B. Teori Pembelajaran Kontekstual

2 John W. Santrock, Life-Span Development, Erlangga, Jakarta, hlm. 32.

7
Teori perkembangan kontekstual memberikan implikasi terhadap bagaimana
teori ini memberikan sumbangsih terhadap efektifitas pembelajaran suatu bidang studi bagi
setiap peserta didik di setiap jenjangnya. Berkenaan dengan hal tersebut, telah banyak para
ahli yang menelaah bagaimana teori ini diterapkan dalam proses pembelajaran. Dalam
rentang waktu yang cukup panjang, akhirnya ditemukan suatu konsep pembelajaran yang
memanfaatkan teori perkembangan kontekstual yaitu Contextual Teaching and Learning
Model. Prinsip kerja Model ini menyokong semua sistem kehidupan dan keseluruhan alam
semesta dan bekerja menyerupai cara alam bekerja3.

Menurut Elaine B. Johnson, Ph.D dalam bukunya Contextual Teaching and


Learning: What It Is and Why Its Here To Stay, terdapat tiga prinsip utama dalam
penerapan pembelajaran kontekstual ini yaitu :

a. Prinsip Diferensiasi4
Diferensiasi merujuk pada keragaman setiap objek hasil penciptaan.
Kaitannya dengan teori kontekstual yaitu bahwa setiap objek di alam ini
memiliki keragaman yang begitu luar biasa yang mencerminkan begitu
indahnya di balik keragaman tersebut. Prinsip diferensiasi dalam
pembelajaran yaitu bagaimana setiap pendidik ataupun peserta didik mampu
berkreasi dalam berbagai hal dengan mengutaman kreatifitas menciptakan
hal yang berbeda daripada yang lain, tentunya dalam segi yang positif.
Contoh penerapan prinsip ini dalam proses pembelajaran khususnya fisika
adalah dengan membuat tugas (baik kelompok atau individu) membuat
suatu karya sederhana baik berupa miniatur atau hal menarik lainnya yang
berkaitan dengan pelajaran fisika.
b. Prinsip pengaturan diri5
Prinspi ini menyatakan bahwa setiap entitas memiliki sebuah
potensi bawaan, suatu kewaspadaan atau kesadaran. Prinsip ini menaruh
perhatian utama pada potensi bawaan setiap individu yang merupakan
modal baginya untuk menjalani kehidupan serta bersaing untuk menjadi
yang terbaik. Kaitannya dengan proses pembelajaran yaitu bagaimana

3 Elaine B Johnson, 2002,Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why Its Here To
Stay, hlm 34

4 Ibid hlm 75

5 Ibid hlm 79

8
pendidik mampu memancing serta mendorong setiap siswa untuk
mengembangkan secara maksimal seluruh potensi yang ada dalam dirinya
dengan sasaran utama mencapai keunggulan akademik, memperoleh
keterampilan karier, dan mengembangkan karakternya. Contoh penerapan
prinsip ini dalam proses pembelajaran khususnya fisika yaitu dengan
mengadakan kuis ataupun hal lainnya yang mampu merangsang peserta
didik untuk saling mengungguli serta merangsang potensi peserta didik
dengan kegiatan di luar sekolah baik itu berupa perlombaan semisal
olimpiade ataupun kegiatan ekstra.

c. Prinsip kesaling-bergantungan6
Pada hakikatnya tidak ada satu pun materi di alam ini yang berdiri
sendiri, namun semuanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi
satu sama lain begitu pula dengan ilmu yang membahas objek materi
tersebut. Adannya pemisahan kedalam berbagai disiplin ilmu hanyalah
sebatas untuk memudahkan memahami konsep dasar dari keilmuan
tersebut, namun pada tingkat yang lebih tingginya disiplin ilmu tersebut
dengan sendirinya akan berhubungan dengan disiplin ilmu yang lainnya.
Contoh penerapan prinsip ini dalam pembelajaran khususnya fisika yaitu
dengan mengkaitakan objek pembahasan fisika dengan bidang studi lainnya
baik itu dengan ilmu dalam ranah agama maupun dengan ranah ipa sendiri.

Ketika peserta didik mampu menerapkan tiga prinsip ini dalam setiap
proses pembelajaran, maka efektifitas pencarian makna pembelajaran dari
sebuah bidang studi akan didapatkan oleh semua peserta didik. Karena pada
hakikatnya tujuan akhir dari setiap pembelajaran adalah pencarian makna
dibalik masing-masing objek pembahasannya7

C. Contoh Penerapan Teori Kontekstual pada Pembelajaran


Fisika
Guru berperan sebagai fasilitator, yakni membantu siswa
menemukan makna. Tugas pendidik untuk memberdayakan potensi

6 Elaine B Johnson, 2002,Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why Its Here To
Stay, hlm 69

7 Ibid hlm 35

9
kodrati sehingga siswa terlatih menangkap makna dari materi yang
diajarkan. Setiap materi fisika yang diajarkan memiliki makna dengan
kualitas yang beragam. Makna yang berkualitas adalah makna
kontekstual, yakni dengan menghubungkan materi ajar dengan
lingkungan. Kontekstual antara lain berarti teralami oleh siswa.
Dalam kurikulum terbaru, khususnya SD, kini ditegaskan apa
yang disebut pendekatan tematis. Matematika dan pelajaran lain,
misalnya mesti disajikan dalam bentuk tema, bukan sebagai penggalan
disiplin matematika yang abstrak dan mengerikan yakni yang sesuai
dengan konteks persoalan, sosial, fisikal, dan psikis siswa. Tekni ini
diniati untuk mengakrabkan materi akademik dengan siswa.
Contoh keterkaitan bahan ajar atau mencari makna dalam
mata pelajaran fisika SMP, misal materi suhu dan kalor diajarkan
dengan pendekatan kontekstual, melalui metode diskusi, informasi, dan
percobaan. Pada pertemuan pertama pendidik memberi apersepsi
dengan pertanyaan 1. Apa yang terjadi saat kita memasukkan
sebongkah es di teh panas? 2. Apa yang terjadi pada sendok yang kita
gunakan untuk mengaduk teh tersebut? Pada kegiatan inti memberikan
eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Contoh keterkaitan bahan ajar dalam pembelajaran SMA, misal
pada materi elastisitas, usaha dan energi, hukum-hukum newton, dll.
Dengan mengkombinasikan antara kontruktivisme, bertanya,
percobaan, pemodelan, refleksi, dan penalaran sebenarnya.

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1. Teori kontekstual memandang perkembangan sebagai proses yang terbentuk dari


transaksi timbal balik antara anak dan konteks perkembangan system fisik, sosial,
kutural, dan historis dimana interaksi tersebut terjadi. Pakar pedagogi yang
mengutarakan teori perkembangan kontekstual:
a. Dun Hull
b. John Dewey
c. Howard Gardner
d. Geoffrey Caine
e. Jonassen
f. D.A. Kolb
2. Teori etologi menegaskan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi, terkait
dengan evolusi dan ditandai dengan periode kritis atau sensitif. Periode ini
merupakan jangka waktu spesifik, yang menurut ahli etologi, ada atau tidaknya
pengalaman tertentu akan memiliki dampak jangka-panjang bagi individu.
Teori ini menekankan pentingnya dimensi mikro dan makro dari
lingkungan yang menjadi tempat hidup anak. Teori ekologi
Bronfenbrenner (Bronfenbrenner, 1986, 2004; Bronfenbrenner &
Morris, 1998, 2006) menyatakan bahwa perkembangan
mencerminkan pengaruh dari sejumlah sistem lingkungan.
Adapun sistem lingkungan yang diidentifikasi dalam teori ini yaitu
mikrositem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan
kronosistem.

3. Teori perkembangan kontekstual memberikan implikasi terhadap bagaimana teori


ini memberikan sumbangsih terhadap efektifitas pembelajaran suatu bidang studi
bagi setiap peserta didik di setiap jenjangnya. Berkenaan dengan hal tersebut, telah
banyak para ahli yang menelaah bagaimana teori ini diterapkan dalam proses
pembelajaran.
tiga prinsip utama dalam penerapan pembelajaran kontekstual ini yaitu :
a. Prinspi Diferensiasi
b. Prinsip pengaturan diri
c. Prinsip kesaling-bergantungan

11
Daftar Pustaka

Johnson, Elanine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California:


Corwin Press

Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana

Santrock, John W. 2012. Life-span Development : Perkembagan Masa-


hidup. Jakarta: Erlangga

http://psikologi-isma.blogspot.com/2013/01/teori-teori-psikologi-
perkembangan.html (Diakses tanggal 1 maret 2014, pukul 17.00 WIB)

12

Anda mungkin juga menyukai