(PAUD)
Teori Konstruktivisme
DOSEN :
I1C113068
I1C112088
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
tugas mata kuliah Pendidikan Anak Usia Dini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan mengenai teori Konstruktivisme pada anak usia dini. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada
proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan
ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada
sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas masih
dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret. Seorang
guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka
seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat
memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan
gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi
siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka
pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari permasalahan tersebut, kami melakukan penelitian konsep untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan keaktifan
siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan yang
dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena dihubungkan dengan
konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan
kehidupannya sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
C. Tujuan
1.
2.
3.
BAB II
ISI
A.
Pengertian
pengetahuan
menurut
konstruktivistik
memandang
subyek
aktif
Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si
belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab
terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan.
Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi
kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas,
yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya
aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada
pembelajar.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3.
Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif
dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku
apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan
pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar
untuk menarik minat pelajar.
B.
Teori-teori Konstruktivisme
Intelegensi
(kecerdasan)
adalah
kemampuan
mengorganisasi
dan
mengadaptasi
lingkungan.
Fungsi-fungsi kognitif pengorganisasian dan pengadaptasian berkontribusi terhadap
tahap.
Setiap tahap mengintegrasikan struktur kognitif dari tahap sebelumnya ke orde struktur
baru yang lebih tinggi.
1.
pengalaman yang langsung dialami dan mode pemikiran dalam hubungannya dengan
pengalaman tersebut. Hasilnya adalah suatu metode pemikiran baru yang lebih inklusif.
Ketika anak berinteraksi dengan lingakungan, mereka menemui situasi dan objek alamiah
yang belum mereka kenal. Situasi ini menimbulkan kekaburan atau pernyataan bagi individu.
Piaget menyebutkan hal yang membingungkan individu tersebut sebagai keadaan
ketidakseimbangan kognitif (cognitive disequilibrium). Untuk mengatasi situasi yang tidak
menentu itu, individu mesti mengubah cara berpikirnya, atau memakai istilah Piaget, individu
mesti mengadaptasi secara mental (Trowbridge & Bybee, 1990: 72).
Adaptasi terdiri dari asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah pengambilan
pengalaman dari lingkungan dan menggabungkan dengan cara berpikir yang dimiliki
sehingga pengalaman baru dapat digabungkan ke dalam struktur kognitif. Akomodasi adalah
penyesuaian (adjustment) struktur kognitif terhadap situasi baru. Proses pengasimilasian dan
pengakomodasian biasanya terjadi bersama.
Struktur kognitif berubah melalui pengadaptasian. Pengadaptasian merupakan
kecenderungan dasar organisme untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ide pusat
dalam keadaan ini adalah pengalaman mempunyai efek pada pembangunan struktur kognitif.
Pengembangan diperoleh melalui pengadaptasian secara terus-menerus terhadap lingkungan.
Pengasimilasian terhadap aksi motorik atau kognitif didasarkan pada struktur kognitif yang
dimiliki oleh individu. Individu kemudian mengintepretasikan situasi lingkungan dalam term
(istilah) struktur kognitif yang dia miliki.
Inilah yang diartikan sebagai pemodifikasian realitas dalam pemecahan melalui
pemakaian eksplanasi yang tersedia, sebagai usaha menginterpretasikan kenyataan yang ada
dengan cara melakukan penginderaan terhadap kenyataan tersebut. Dengan kata lain, individu
mencoba beradaptasi terhadap lingkungan melalui pengasimilasian.
Pengakomodasian adalah komponen lain dari proses adaptasi. Struktur kognitif diubah
agar cocok dengan informasi yang datang. Hal ini merupakan pemodifikasian eksplanasi yang
dimiliki agar cocok dengan realitas. Dalam proses pengakomodasian pada lingkungan,
struktur kognitif dikembangkan makin luas atau digeneralisasikan ketika mereka digabungkan
dalam meningkatkan aspek yang lebih luas tentang dunia. Proses pengadaptasian ini
mempunyai batas tertentu.
Piaget menyatakan bahwa asimilasi dan akomodasi adalah dua sisi dari koin adaptip
(dalam Trwbride & Bybee, 12990: 91), yakni keduanya hanya dapat dipisah dalam
pendiskusian, tetapi keduanya tidak dapat dipisah ketika individu berinteraksi dengan
lingkungan.
Bagaimana individu dapat simultan mempertahankan integritas struktur kognitif dan
mengubah stuktur kognitif? Piaget memakai prinsip pengorganisasian dan pengadaptasian
yang dikenal dalam biologi, yakni dipakai sebagai metafora bagi fungsi kognitif.
Pengorganisasian dan pengadaptasian merupakan fungsi yang bersifat komplementer.
Pengorganisasian dapat dipikirkan sebagai kecenderungan bawaan dasar organisme. Hal
ini benar secara biologi dan dipakai Piaget secara psikologi. Pengorganisasian adalah
kecenderungan (tendensi) tindakan (aksi) pensistematisan dan pengintegrasian, yang bersifat
motorik atau kognitif menjadi koheren yang berorde.
Seperti halnya asimilasi dan akomodasi, ekulibrasi juga penting dalam teori Piaget. Istilah
ekuilibrasi dalam perkembangan kognitif diartikan sebagai pengaturan diri (self regulation)
yang berkesinambungan yang memungkinkan individu tumbuh, berkembang dan berubah,
sementara individu tetap menjaga kemantapannya. Namun, ekuilibrasi bukan keseimbangan
kekuatan (yang merupakan proses yang dinamis secara terus menerus mengatur tingkah laku
(Berk, 1989:224). Ekuilibrasi meregulasi proses berpikir individu pada tiga aras fungsi
kognitif yang berbeda. Ketiganya adalah hubungan antara (1) asimilasi dan akomodasi dalam
kehidupan individu sehari-hari, (2) sub-sub sistem pengetahuan yang timbul pada diri
individu, dan (3) bagian-bagian dari pengetahuan individu dan sistem pengetahuan sosial.
Peranan ekuilibrasi dalam meregulasi asimilasi dan akomodasi adalah mencegah jangan
sampai yang satu terjadi atas kerugian yang lain, serta mengusahakan keseimbangan sub-sub
sistem yang berkembang dengan kecepatan yang berlainan, yang dapat menghilangkan
konflik di antara sub-sub sistem tersebut. Gangguan bisa dipecahkan dengan jalan
pemodifikasian struktur internal individu, atau akomodasi. Jika terjadi akomodasi dalam
proses berpikir anak, maka tercapaikah satu keadaan keseimbangan yang baru atau
ekuilibrium.
Sebagai fungsi yang ketiga ekuilibrium meregulasi hubungan antara bagian-bagian dari
pengetahuan individu dan pengetahuan totalnya. Piaget menyatakan bahwa totalitas
pengetahuan itu selalu didiferensiasikan atas bagian-bagian dan dipadukan kembali menjadi
keseluruhan. Ekuilibrasilah yang mengatur proses tersebut. Dengan demikian, ekuilibrasi
merupakan faktor yang menjaga kemantapan selama proses interaksi yang terus terjadi dan
perubahan yang juga terus terjadi terus menerus. Tanpa ekuilibrasi, perkembangan kognitif
bisa kehilangan keseimbangan dan keterpautan, dan menjadi terpotong-potong serta moratmarit (Gredler, 1992: 225-227).
2. Cara bagaimana pengetahuan disusun
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpukan bahwa proses dasar yang terjadi pada
penyusunan pengetahuan adalah asimilasi dan akomodasi yang diatur oleh ekuilibrasi.
Selain itu, Piaget menjelaskan bahwa penyusunan pengetahuan berdasarkan jenis
pengalaman pengetahuan yang terjadi pada diri individu yang belajar. Jenis-jenis tersebut
adalah pengalaman fisik dan pengalaman kognitif.
Setiap pertemuan langsung antara individu dengan lingkungan, dimana individu
mengabtraksikan ciri-ciri fisik subjek disebut pengalaman fisik. Dalam pengalaman fisik,
suatu sifat tertentu seperti warna atau bentuk diasimilasikan kedalam struktur mental/
kognisi individu yang belajar. Pada waktu yang sama terjadi pula akomodasi. Struktur
mental individu mungkin lalu akan menyesuaikan diri pada intensitas warna (cerah atau
suram), tingkat warna tertentu (muda atau gelap) dan sebagainya. Dengan demikian,
pengalaman fisik meliputi baik proses asimilasi maupun akomodasi. Sember pengalaman
baru bagi individu yang belajar dalam pengalaman fisik ialah objek-objek yang ada diluar
individu tersebut. Prosesnya adalah melalui pengabstrakan ciri-ciri fisik objek oleh individu/
anak dalam PAUD. Piaget menyebut pengetahuan berdasarkan pengalaman seperti ini
sebagai pengetahuan eksogen atau proses abstraksi empirik (Gredler, 192: 225-227).
3. Perbedaan kualitatif dalam berpikir pada berbagai tahap perkembangan (skema
tindakan dari berpikir praoperasional, operasi konkret dan formal)
Piaget pada awal penelitiannya tentang bagaimana anak berpikir, telah dapat
mengidentifikasikan empat periode atau tahap perkembangan kognitif. Tapa perkembangan
formal.
Proses-proses
berpikir
logis
dikarakterisasi
sebagai
kemampuan
bantuan verbal orang dewasa atau anaklain yang lebih terampil. Dengan demikian, anak dapat
mengambil bahasa instruksi verbal tersebut, membuatnya sebagai bagian berbicara pribadi
mereka, dan memakainya untuk mengorganisasi usaha bebas mereka dengan cara yang sama.
Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai
keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya
pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru
sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara
kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu.
Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya.
Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra
individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis
Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan
pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda
(sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal
development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani
siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam
dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah
dialog antar pribadi. Dalam hal ini pembelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman
fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran
yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk
mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative
learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan
berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangat kooperatif dan penataan kelas.
Implikasi teori konstruktivis sosial dalam pembelajaran yaitu dengan menggunakan guru
dan teman sebaya sebagai kontributuror bersama untuk pembelajaran murid. Terdapat
beberapa alat untuk melakukan metode tersebut yaitu: Scaffolding, Discovery Learning, Selfregulated learning, cooperative learning, dan tutoring.
1. Pembelajaran Scaffolding
Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan
kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang besi)
yang memudahkan pekerja membangun gedung. Metapora ini harus secara jelas dipahami
agar kebermaknaan pembelajaran dapat tercapai.
Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan
oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan persoalanpersoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif. Scaffolding diartikan ke dalam bahasa
Indonesia perancah, yaitu bambu (balok dsb) yang dipasang untuk tumpuan ketika hendak
mendirikan rumah, membuat tembok, dan sebagainya (Poerwadarminta, 1983; 735).
Penjelasan tersebut di atas dapat ditemukan garis besar, prinsip-prinsip konstruktivis sosial
dengan pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke peserta didik, kecuali hanya.
Peserta didik aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah.
Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar proses
kontruksi belajar lancar.
para peserta didik didorong untuk leluasa belajar dengan keterlibatannya secara aktif pada
pelbagai konsep dan prinsip. Di sini guru berupaya memotivasi mereka untuk memiliki
pengalaman dengan melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan sendiri
prinsip-prinsip tersebut. Tentang ini Bruner (1966) mengatakan: kita mengajarkan satu
bidangstudi tidak untuk menghasilkan pelbagai perpustakaan kecil nan hidup tentang
bidangstudi tersebut, tetapi lebih untuk menjadikan peserta didik itu mampu berpikir. Bagi
dirinya sendiri agar dapat mempertimbangkan layaknya seorang sejarawan, menjadi bagian
dari proses membangun pengetahuan. Mengetahui itu proses, bukan produk
Discovery learning memilki banyak manfaat, di antaranya: mampu menggugah rasa
keingin-tahuan para peserta didik; mendorong mereka utuk terus bekerja hatta menemukan
jawaban; mereka juga bisa belajar keterampilan problem-solving dan berpikir kritis secara
mandiri karena pada pembelajaran ini mereka dituntut untuk melakukan analisis dan rekayasa
terhadap informasi. Namun pembelajaran ini juga bisa terjebak dalam kesalahan dan
pemborosan waktu. Karenanya, pembelajaran diskoveri-terbimbing (guided discovery
learning) lebih dianjurkan daripada diskoveri-murni (pure discovery learning). Pada
diskoveri-terbimbing guru dapat berperan lebih aktif: memberi petunjuk, membuat struktur
(porsi) aktivitas, hingga menyediakan garis besar (outlines) pikiran.
3. Self-Regulated Learning (Pembelajaran Mandiri)
Satu konsep kunci teori konstruktivis adalah pandangan tentang peserta didik yang ideal,
yakni pebelajar mandiri (Paris & Paris, 2001). Yaitu dia yang memiliki pengetahuan tentang
strategi belajar efektif dan bagaimana memanfaatkannya di manapun dan kapanpun (Bandura,
1991; Dembo &Eaton, 2000; Schunk & Zimmerman, 1997; Winne, 1997). Misalnya, dia
mengetahui bagaimana memecahkan masalah yang kompleks dengan langkah-langkah yang
lebih mudah atau melalui pengujian pelbagai alternatif solusi (Greeno &Goldman, 1998); dia
tahu bagaimana dan kapan harus membaca secara skiming dan kapan mesti membaca untuk
pemahaman yang mendalam; dia mengerti bagaimana tatacara menulis untuk tujuan persuasif
dan bagaimana menulis untuk tujuan informatif (Zimmerman & Kitsantas, 1999).
Lebih dari itu, pebelajar mandiri adalah dia yang belajar karena dorongan dari dalam diri,
bukan karena ingin naik tingkat atau provokasi orang lain (Boekaerts, 1995; Corno, 1992;
Scunk, 1995), dan dia mampu memancangkan tugas jangka panjang hingga benar-benar
terselesaikan.
4. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang menganut
faham konstruktivisme. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah
siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompok, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan
saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar
dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran. Rasa tanggung jawab bersama atas penguasaan sebuah kompetensi oleh seluruh
anggota kelompok ditekankan.
Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut (Lungdren, 1994).
1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka tenggelam atau berenang bersama.
2. Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam
kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang
dihadapi.
3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
4. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok.
5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap
evaluasi kelompok.
6.
7.
bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa
diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan.
Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995).
5. Tutoring
Tutoring pada dasarnya adalah pelatihan kognitif antara pakar dengan pemula. Tutoring
bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak , atau antara anak yang lebih pandai dengan
anak yang kurang pandai. Tutoring individual adalah strategi yang efektif yang
menguntungkan banyak murid, terutama mereka yang kurang pandai dalam suatu mata
pelajaran.
menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin
bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil
tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan
penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lainlain.Proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan
pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan.Informasi yang diterima
dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat
dimanfaatkan.
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-simbol
atau lambang-lambang objek tertentu.
1) Cara penyajian enaktif. Ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara
ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau
kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui
respon-respon motorik Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak
secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik)objek. Misalnya seseorang
anak yang enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
2)
Cara penyajian ikonik. Didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh
sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan
sepenuhnya konsep itu. Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada
pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau
grafik yang dilakuka anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari
objek-objek yang dimanipulasinya. Misalnya sebuah segitiga menyatakan konsep
kesegitigaan.
Aplikasi dari teori konstruktivisme dalam pendidikan dan pengajaran terutama bagi Anak
Usia dini yang dapat langsung diterapkan dikelas adalah
1. Pendidik dapat mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa
berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas kecerdasan mereka.
Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta
menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar
mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).
2.
3.
4.
Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif
sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya.
Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan
6.
Namun, secara umum aplikasi dari teori konstruktivisme ini dapat digunakan disekolahsekolah dengan tingkatan apapun disesuaikan dengan perkembangan setiap individu. Bagi
pengajar teori konstruktivisme ini sangat berguna untuk membantu memperlakukan siswa didik
dengan benar dan tepat untuk perkembangan kognisi, sosial dan aspek-aspek lainnya yang akan
menolong anak didik untuk berkembang secara maksimal.
Bagi anak yang diajarpun akan memiliki ruang yang cukup untuk dapat membantu
dirinya belajar sendiri, belajar untuk tidak bergantung kepada orang dewasa (dalam hal tertentu).
Dan kecerdasan yang dimilikinya akan berkembang secara optimal sesuai dengan tingkatan
perkembangan yang dia miliki.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih mudah memahami teori perkembangan
kognitif atau teori perkembangan Piaget, yaitu; Intelegensi, Organisasi, Skema, Asimilasi,
Akomodasi, dan Ekuilibrasi.
Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik.
Pendapat Piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah:
a. Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa.
b. Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan yang
sama bagi semua anak.
c. Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu tetapi
jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap
anak.
Adapun Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
a.
(Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta
mempelajari permanensi obyek)
b.
(Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan symbol/bahasa tanda dan konsep intuitif)
c.
(Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian
konkret)
d.
B. Saran
Kami selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan tentunya
banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal ini disebabkan karena masih
terbatasnya kemampuan kami. Oleh karena itu, kami selaku penyusun makalah ini sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini
sangat bermanfaat untuk kami khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifwidiyatmo. 2008. Teori Belajar Jerome S. Bruner .http://arifwidiyatmoko.wordpress.com/
diunduh