Anda di halaman 1dari 25

Pendidikan Anak Usia Dini

(PAUD)
Teori Konstruktivisme

DOSEN :

Dwi Nurrachmah, S.Psi, MA.


DISUSUN OLEH :

Aulia Elma Rabbika

I1C113068

Primi Tidy Lestari

I1C112088

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
BANJARBARU
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi
tugas mata kuliah Pendidikan Anak Usia Dini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan mengenai teori Konstruktivisme pada anak usia dini. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Banjarbaru, Maret 2015

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama pada
proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan
ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada
sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas masih
dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret. Seorang
guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian, maka
seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat
memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan
gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi
siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka
pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
Maka dari permasalahan tersebut, kami melakukan penelitian konsep untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya hakikat teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan keaktifan
siswa dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan yang
dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena dihubungkan dengan
konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa peroleh dari lingkungan
kehidupannya sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1.

Bagaimanakah devinisi dari teori konstruktivisme ?

2.

Bagaimanakah konsep dasar dari teori Konstruktivisme ?

3.

Bagaimana implementasi teori konstruktivisme ?

C. Tujuan
1.

Memahami dan mengerti devinisi dari teori konstruktivisme

2.

Memahami dan mengerti dari adanya konsep dasar teori konstruktivisme

3.

Memahami dan mengerti cara mengaplikasikan teori konstruktivisme dalam sistem


pembelajaran

BAB II
ISI
A.

Pengertian

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu


tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan
merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang
mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana
pengetahuan disusun dalam pikiran manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama
dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran dalam lembaga pendidikan baik di
univesrsitas maupun sekolah-sekolah.
Paham konstruktivisme memandang bahwa ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh guru
di sekolah tidak boeh dipindahkan dari guru kepada murid dalam bentuk yang serba sempurna.
Murid perlu membangun suatu pengetahuan dari pengalaman yang dimilikinya. Pembelajaran
adalah hasil daripada usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh mengajarkan begitu saja untuk
muridnya.
Untuk membantu murid membangun konsep atau pengetahuan baru, guru harus
mengetahui struktur kognitif yang mereka miliki. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan
dan diserap untuk dijadikan bagian dan pegangan yang kuat bagi mereka, barulah kerangka baru
tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat disusun. Proses ini dinamakan konstruktivisme.
Pembetukan Pengetahuan menurut Konstrutivisme
Pembentukan

pengetahuan

menurut

konstruktivistik

memandang

subyek

aktif

menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan


struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi
sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri.
Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan
organisme yang sedang berubah.

Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si
belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab
terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan.
Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi
kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas,
yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya
aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada
pembelajar.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3.

Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.

4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif
dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku
apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan
pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar
untuk menarik minat pelajar.

B.

Teori-teori Konstruktivisme

1. Teori Konstruktivisme menurut Piaget


Dalam menjelaskan perkembangan kognitif, Piaget mengajukan fungsi intelegensi anak
dari tiga perspektif yaitu:
1) proses yang terjadi ketika berinteraksi dengan lingkungan (yakni asimilasi, akomodasi
dan ekulibrasi)
2) cara bagaimana pengetahuan disusun
3) perbedaan kualitatif dalam berpikir pada berbagai tahap perkembangan (skema
tindakan dari berpikir praoperasional, operasi konkret dan formal).
Konsep struktur kognitif, fungsi dan tahap

Intelegensi

(kecerdasan)

adalah

kemampuan

mengorganisasi

dan

mengadaptasi

lingkungan.
Fungsi-fungsi kognitif pengorganisasian dan pengadaptasian berkontribusi terhadap

perkembangan struktur kognitif.


Fungsi-fungsi kognitif tidak bervariasi terhadap perkembangan
Struktur-struktur kognitif bervariasi terhadap perkembangan
Suatu himpunan (kumpulan, set) struktur-struktur pada suatu ekuilibrium relatif disebut

tahap.
Setiap tahap mengintegrasikan struktur kognitif dari tahap sebelumnya ke orde struktur
baru yang lebih tinggi.

1.

Proses yang terjadi ketika berinteraksi dengan lingkungan (yakni asimilasi,


akomodasi dan ekulibrasi)
Piaget mencatat fakta bahwa ketika anak berpikir, mereka mesti mengadaptasi

pengalaman yang langsung dialami dan mode pemikiran dalam hubungannya dengan
pengalaman tersebut. Hasilnya adalah suatu metode pemikiran baru yang lebih inklusif.
Ketika anak berinteraksi dengan lingakungan, mereka menemui situasi dan objek alamiah
yang belum mereka kenal. Situasi ini menimbulkan kekaburan atau pernyataan bagi individu.
Piaget menyebutkan hal yang membingungkan individu tersebut sebagai keadaan
ketidakseimbangan kognitif (cognitive disequilibrium). Untuk mengatasi situasi yang tidak

menentu itu, individu mesti mengubah cara berpikirnya, atau memakai istilah Piaget, individu
mesti mengadaptasi secara mental (Trowbridge & Bybee, 1990: 72).
Adaptasi terdiri dari asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah pengambilan
pengalaman dari lingkungan dan menggabungkan dengan cara berpikir yang dimiliki
sehingga pengalaman baru dapat digabungkan ke dalam struktur kognitif. Akomodasi adalah
penyesuaian (adjustment) struktur kognitif terhadap situasi baru. Proses pengasimilasian dan
pengakomodasian biasanya terjadi bersama.
Struktur kognitif berubah melalui pengadaptasian. Pengadaptasian merupakan
kecenderungan dasar organisme untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ide pusat
dalam keadaan ini adalah pengalaman mempunyai efek pada pembangunan struktur kognitif.
Pengembangan diperoleh melalui pengadaptasian secara terus-menerus terhadap lingkungan.
Pengasimilasian terhadap aksi motorik atau kognitif didasarkan pada struktur kognitif yang
dimiliki oleh individu. Individu kemudian mengintepretasikan situasi lingkungan dalam term
(istilah) struktur kognitif yang dia miliki.
Inilah yang diartikan sebagai pemodifikasian realitas dalam pemecahan melalui
pemakaian eksplanasi yang tersedia, sebagai usaha menginterpretasikan kenyataan yang ada
dengan cara melakukan penginderaan terhadap kenyataan tersebut. Dengan kata lain, individu
mencoba beradaptasi terhadap lingkungan melalui pengasimilasian.
Pengakomodasian adalah komponen lain dari proses adaptasi. Struktur kognitif diubah
agar cocok dengan informasi yang datang. Hal ini merupakan pemodifikasian eksplanasi yang
dimiliki agar cocok dengan realitas. Dalam proses pengakomodasian pada lingkungan,
struktur kognitif dikembangkan makin luas atau digeneralisasikan ketika mereka digabungkan
dalam meningkatkan aspek yang lebih luas tentang dunia. Proses pengadaptasian ini
mempunyai batas tertentu.
Piaget menyatakan bahwa asimilasi dan akomodasi adalah dua sisi dari koin adaptip
(dalam Trwbride & Bybee, 12990: 91), yakni keduanya hanya dapat dipisah dalam

pendiskusian, tetapi keduanya tidak dapat dipisah ketika individu berinteraksi dengan
lingkungan.
Bagaimana individu dapat simultan mempertahankan integritas struktur kognitif dan
mengubah stuktur kognitif? Piaget memakai prinsip pengorganisasian dan pengadaptasian
yang dikenal dalam biologi, yakni dipakai sebagai metafora bagi fungsi kognitif.
Pengorganisasian dan pengadaptasian merupakan fungsi yang bersifat komplementer.
Pengorganisasian dapat dipikirkan sebagai kecenderungan bawaan dasar organisme. Hal
ini benar secara biologi dan dipakai Piaget secara psikologi. Pengorganisasian adalah
kecenderungan (tendensi) tindakan (aksi) pensistematisan dan pengintegrasian, yang bersifat
motorik atau kognitif menjadi koheren yang berorde.
Seperti halnya asimilasi dan akomodasi, ekulibrasi juga penting dalam teori Piaget. Istilah
ekuilibrasi dalam perkembangan kognitif diartikan sebagai pengaturan diri (self regulation)
yang berkesinambungan yang memungkinkan individu tumbuh, berkembang dan berubah,
sementara individu tetap menjaga kemantapannya. Namun, ekuilibrasi bukan keseimbangan
kekuatan (yang merupakan proses yang dinamis secara terus menerus mengatur tingkah laku
(Berk, 1989:224). Ekuilibrasi meregulasi proses berpikir individu pada tiga aras fungsi
kognitif yang berbeda. Ketiganya adalah hubungan antara (1) asimilasi dan akomodasi dalam
kehidupan individu sehari-hari, (2) sub-sub sistem pengetahuan yang timbul pada diri
individu, dan (3) bagian-bagian dari pengetahuan individu dan sistem pengetahuan sosial.
Peranan ekuilibrasi dalam meregulasi asimilasi dan akomodasi adalah mencegah jangan
sampai yang satu terjadi atas kerugian yang lain, serta mengusahakan keseimbangan sub-sub
sistem yang berkembang dengan kecepatan yang berlainan, yang dapat menghilangkan
konflik di antara sub-sub sistem tersebut. Gangguan bisa dipecahkan dengan jalan
pemodifikasian struktur internal individu, atau akomodasi. Jika terjadi akomodasi dalam
proses berpikir anak, maka tercapaikah satu keadaan keseimbangan yang baru atau
ekuilibrium.

Sebagai fungsi yang ketiga ekuilibrium meregulasi hubungan antara bagian-bagian dari
pengetahuan individu dan pengetahuan totalnya. Piaget menyatakan bahwa totalitas
pengetahuan itu selalu didiferensiasikan atas bagian-bagian dan dipadukan kembali menjadi
keseluruhan. Ekuilibrasilah yang mengatur proses tersebut. Dengan demikian, ekuilibrasi
merupakan faktor yang menjaga kemantapan selama proses interaksi yang terus terjadi dan
perubahan yang juga terus terjadi terus menerus. Tanpa ekuilibrasi, perkembangan kognitif
bisa kehilangan keseimbangan dan keterpautan, dan menjadi terpotong-potong serta moratmarit (Gredler, 1992: 225-227).
2. Cara bagaimana pengetahuan disusun
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpukan bahwa proses dasar yang terjadi pada
penyusunan pengetahuan adalah asimilasi dan akomodasi yang diatur oleh ekuilibrasi.
Selain itu, Piaget menjelaskan bahwa penyusunan pengetahuan berdasarkan jenis
pengalaman pengetahuan yang terjadi pada diri individu yang belajar. Jenis-jenis tersebut
adalah pengalaman fisik dan pengalaman kognitif.
Setiap pertemuan langsung antara individu dengan lingkungan, dimana individu
mengabtraksikan ciri-ciri fisik subjek disebut pengalaman fisik. Dalam pengalaman fisik,
suatu sifat tertentu seperti warna atau bentuk diasimilasikan kedalam struktur mental/
kognisi individu yang belajar. Pada waktu yang sama terjadi pula akomodasi. Struktur
mental individu mungkin lalu akan menyesuaikan diri pada intensitas warna (cerah atau
suram), tingkat warna tertentu (muda atau gelap) dan sebagainya. Dengan demikian,
pengalaman fisik meliputi baik proses asimilasi maupun akomodasi. Sember pengalaman
baru bagi individu yang belajar dalam pengalaman fisik ialah objek-objek yang ada diluar
individu tersebut. Prosesnya adalah melalui pengabstrakan ciri-ciri fisik objek oleh individu/
anak dalam PAUD. Piaget menyebut pengetahuan berdasarkan pengalaman seperti ini
sebagai pengetahuan eksogen atau proses abstraksi empirik (Gredler, 192: 225-227).
3. Perbedaan kualitatif dalam berpikir pada berbagai tahap perkembangan (skema
tindakan dari berpikir praoperasional, operasi konkret dan formal)
Piaget pada awal penelitiannya tentang bagaimana anak berpikir, telah dapat
mengidentifikasikan empat periode atau tahap perkembangan kognitif. Tapa perkembangan

tersebut adalah sensomotorik, praoperasional, operasional konkret dan operasional formal


(Gredler, 1992: 299).
Bentuk paling maju dari berpikir logis, yang kuat dapat diidentifikasi Piaget, adalah
operasi

formal.

Proses-proses

berpikir

logis

dikarakterisasi

sebagai

kemampuan

memformulasi himpunan-himpunan hipotesis. Kemudian hipotesis yang kompatibel dengan


situasi yang dipelajari (inhelder & Piaget, 1958: 250). Pada tingkat operasional
formal,penalaran individual adalah dari suatu kerangka kerja (hipotesis) menuju pengujian
teori.
Dalam perkembangan kognitif, yang paling penting dicatat adalah pencapaian tingkat
berpikir yang lebih tinggi tidak dapat dengan mudah dicapai. Anak mesti memikirkan
kembali pandangannya dibandingkan dengan keadaan yang terjadi di dunia nyata. Langkah
penting dalam proses ini adalah pengalaman konflik kognitif (cognitif conflict), yakni, anak
menjadi tanggap terhadap fakta bahwa dia memegang dua pandangan yang kontradiktif
tentang situasi dan keduanya tidak dapat sama-sama benar. Langkah ini yang disebut dengan
(disequilibrium). Bila anak menyadari bahwa cara berpikirnya bertentangan dengan kejadian
di lingkungan, maka cara berpikir sebelumnya direorganisasi. Reorganisasi tersebut, yang
menghasilkan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
2. Teori Konstruktivisme menurut Vygotsky
Teori Piaget deephasized (tidak menekankan) pentingnya bahasa sebagai sumber utama
perkembangan kognitif. Teori tersebut ditentang oleh seorang psikolog Rusia, Lev
Semanovich Vigotsky (1896-1934),yang ternyata penenlitiannya belum diketahui di Amerika
Serikat sampai karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1960. Sejak itu,
karya Vigotsky dikenal luas dalam bidang perkembangan anak (Berk, 1989:225).
Vygotsky (dalam Berk, 1989: 257) percaya bahwa semua fungsi mental yang lebih tinggi
berasal dari hubungan sosial dan muncul pertama kali pada suatu daerah (bidang) hubungan
interpersonal antara individu, sebelum mereka berada pada suatu daerah (bidang) intra
psychic, dalam individu. Beliau menekankan peranan sentral komunikasi sosial dalam
perkembangan berpikir anak, dengan memahami pembelajaran anak mengambil tempat dalam
Zone Proximal Development: ZPD (Zona Perkembangan (ter) Dekat anak adalah sesuatu yang
begitu sulit dilakukan sendiri, tetapi mereka dapat menjadi terampil dengan bimbingan dan

bantuan verbal orang dewasa atau anaklain yang lebih terampil. Dengan demikian, anak dapat
mengambil bahasa instruksi verbal tersebut, membuatnya sebagai bagian berbicara pribadi
mereka, dan memakainya untuk mengorganisasi usaha bebas mereka dengan cara yang sama.
Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai
keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya
pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru
sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara
kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu.
Proses dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya.
Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra
individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis
Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai fungsi dan
pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda
(sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal
development. Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani
siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam
dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah
dialog antar pribadi. Dalam hal ini pembelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman
fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran
yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk
mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative
learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan
berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangat kooperatif dan penataan kelas.
Implikasi teori konstruktivis sosial dalam pembelajaran yaitu dengan menggunakan guru
dan teman sebaya sebagai kontributuror bersama untuk pembelajaran murid. Terdapat

beberapa alat untuk melakukan metode tersebut yaitu: Scaffolding, Discovery Learning, Selfregulated learning, cooperative learning, dan tutoring.
1. Pembelajaran Scaffolding
Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan
kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang besi)
yang memudahkan pekerja membangun gedung. Metapora ini harus secara jelas dipahami
agar kebermaknaan pembelajaran dapat tercapai.
Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan
oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan persoalanpersoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif. Scaffolding diartikan ke dalam bahasa
Indonesia perancah, yaitu bambu (balok dsb) yang dipasang untuk tumpuan ketika hendak
mendirikan rumah, membuat tembok, dan sebagainya (Poerwadarminta, 1983; 735).
Penjelasan tersebut di atas dapat ditemukan garis besar, prinsip-prinsip konstruktivis sosial
dengan pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:

Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri.

Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke peserta didik, kecuali hanya.

Dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar.

Peserta didik aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan
konsep ilmiah.

Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar proses
kontruksi belajar lancar.

Menghadapi masalah yang relevan dengan peserta didik.

Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.

Mencari dan menilai pendapat peserta didik.

Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan peserta didik.

2. Discovery Learning (Pembelajaran Dengan Penemuan)


Discovery learning merupakan satu komponen penting dari pendekatan konstruktivis
modern yang memiliki sejarah panjang dalam inovasi pendidikan. Di dalam pembelajaran ini,

para peserta didik didorong untuk leluasa belajar dengan keterlibatannya secara aktif pada
pelbagai konsep dan prinsip. Di sini guru berupaya memotivasi mereka untuk memiliki
pengalaman dengan melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan sendiri
prinsip-prinsip tersebut. Tentang ini Bruner (1966) mengatakan: kita mengajarkan satu
bidangstudi tidak untuk menghasilkan pelbagai perpustakaan kecil nan hidup tentang
bidangstudi tersebut, tetapi lebih untuk menjadikan peserta didik itu mampu berpikir. Bagi
dirinya sendiri agar dapat mempertimbangkan layaknya seorang sejarawan, menjadi bagian
dari proses membangun pengetahuan. Mengetahui itu proses, bukan produk
Discovery learning memilki banyak manfaat, di antaranya: mampu menggugah rasa
keingin-tahuan para peserta didik; mendorong mereka utuk terus bekerja hatta menemukan
jawaban; mereka juga bisa belajar keterampilan problem-solving dan berpikir kritis secara
mandiri karena pada pembelajaran ini mereka dituntut untuk melakukan analisis dan rekayasa
terhadap informasi. Namun pembelajaran ini juga bisa terjebak dalam kesalahan dan
pemborosan waktu. Karenanya, pembelajaran diskoveri-terbimbing (guided discovery
learning) lebih dianjurkan daripada diskoveri-murni (pure discovery learning). Pada
diskoveri-terbimbing guru dapat berperan lebih aktif: memberi petunjuk, membuat struktur
(porsi) aktivitas, hingga menyediakan garis besar (outlines) pikiran.
3. Self-Regulated Learning (Pembelajaran Mandiri)
Satu konsep kunci teori konstruktivis adalah pandangan tentang peserta didik yang ideal,
yakni pebelajar mandiri (Paris & Paris, 2001). Yaitu dia yang memiliki pengetahuan tentang
strategi belajar efektif dan bagaimana memanfaatkannya di manapun dan kapanpun (Bandura,
1991; Dembo &Eaton, 2000; Schunk & Zimmerman, 1997; Winne, 1997). Misalnya, dia
mengetahui bagaimana memecahkan masalah yang kompleks dengan langkah-langkah yang
lebih mudah atau melalui pengujian pelbagai alternatif solusi (Greeno &Goldman, 1998); dia
tahu bagaimana dan kapan harus membaca secara skiming dan kapan mesti membaca untuk
pemahaman yang mendalam; dia mengerti bagaimana tatacara menulis untuk tujuan persuasif
dan bagaimana menulis untuk tujuan informatif (Zimmerman & Kitsantas, 1999).
Lebih dari itu, pebelajar mandiri adalah dia yang belajar karena dorongan dari dalam diri,
bukan karena ingin naik tingkat atau provokasi orang lain (Boekaerts, 1995; Corno, 1992;

Scunk, 1995), dan dia mampu memancangkan tugas jangka panjang hingga benar-benar
terselesaikan.
4. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang menganut
faham konstruktivisme. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah
siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompok, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan
saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar
dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan
pelajaran. Rasa tanggung jawab bersama atas penguasaan sebuah kompetensi oleh seluruh
anggota kelompok ditekankan.
Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut (Lungdren, 1994).
1. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka tenggelam atau berenang bersama.
2. Para siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam
kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang
dihadapi.
3. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
4. Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok.
5. Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap
evaluasi kelompok.
6.

Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja


sama selama belajar.

7.

Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang


ditangani dalam kelompok kooperatif.
Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat

bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa
diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan.
Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan (Slavin, 1995).
5. Tutoring

Tutoring pada dasarnya adalah pelatihan kognitif antara pakar dengan pemula. Tutoring
bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak , atau antara anak yang lebih pandai dengan
anak yang kurang pandai. Tutoring individual adalah strategi yang efektif yang
menguntungkan banyak murid, terutama mereka yang kurang pandai dalam suatu mata
pelajaran.

3. Teori Konstruktivisme menurut Bruner


Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner dilahirkan tahun 1915. Ia seorang
ahli psikologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, yang terkenal telah banyak
menyumbang dalam penulisan teori pembelajaran, proses pengajaran dan falsafah pendidikan.
Bruner bersetuju dengan Piaget bahawa perkembangan kognitif kanak-kanak adalah melalui
peringkat-peringkat tertentu. Walau bagaimanapun, Bruner lebih menegaskan pembelajaran
secara penemuan Yaitu mengolah apa yang diketahui pelajar itu kepada satu corak dalam
keadaan baru (lebih kepada prinsip konstruktivisme). Bruner telah mempelopori aliran
psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada
pentingnya pengembangan berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai
perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan
dan mentransformasi pengetahuan. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia
sebagai pemproses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan
suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar
informasi yang diberikan kepada dirinya.
Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar
kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya yang demikian
banyak itu meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar dan berfikir. Dalam mempelajarai
manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner
menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi
baru, transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.
Pandangan terhadap belajar yang disebutnya sebagai konseptualisme instrumental itu,
didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada modelmodel mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan model-model itu diadaptasikan pada
kegunaan bagi orang itu.

Pematangan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh


bertambahnya ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu tergantung
pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu sistem
simpanan yang sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut peningkatan
kemampuan seseorang untuk mengemukakan pada dirinya sendiri atau pada orang lain
tentang apa yang telah atau akan dilakukannya.
Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan.
Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek
transfer yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir
secara bebas dan melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan
memecahkan masalah.
Maka dalam pengajaran di Sekolah Brunner mengajukan bahwa dalam pembelajaran
hendaknya mencangkup:
1) Pengalaman pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar. Pembelajaran dari segi
siswa adalah membantu siswa dalam hal mencari alternative pemecahan masalah. Dalam
mencari masalah melalui penyelidikan dan penemuan serta cara pemecahannya dibutuhkan
adanya aktivitas, pemeliharaan dan pengarahan. Artinya bahwa kegiatan belajar akan
berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan
tertentu.
2) Penstrukturan Pengetahuan untuk Pemahaman optimal. Pembelajaran hendaknya dapat
memberikan struktur yang jelas dari suatu pengetahuan yang dipelajari anak anak.
Dengan perkataan lain, anak dibimbing dalam memahami sesuatu dari yang paling khusus
(deduktif) menuju yang paling kompleks (induktif), bukanya konsep yang lebih dahulu
diajarkan, akan tetapi contoh-contoh kongkrit dari kejujuran itu sendiri.
3). Perincian urutan-urutan penyajian materi pelajran secara optimal, dengan memperhatikan
faktor-faktor belajar sebelumnya, tingkat perkembangan anak, sifat materi pelajaran dan
perbedaan individu.
4). Bentuk dan pemberian reinforsemen. Beliau berpendapat bahawa seseorang murid belajar
dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Kanak-kanak membentuk
konsep dengan mengasingkan benda-benda mengikut ciri-ciri persamaan dan perbezaan.
Selain itu, pengajaran didasarkan kepada perangsang murid terhadap konsep itu dengan

pengetahuan sedia ada. Misalnya,kanak-kanak membentuk konsep segiempat dengan


mengenal segiempat mempunyai 4 sisi dan memasukkan semua bentuk bersisi empat
kedalam kategori segiempat,dan memasukkan bentuk-bentuk bersisi tiga kedalam kategori
segitiga.
Ciri khas Teori Pembelajaran Menurut Bruner adalah mengenai Empat Tema tentang
Pendidikan. Bruner mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat
ditransformasikan . Perlu diketahui, tidak hanya itu saja namun dalam proses belajar juga ada
empat tema pendidikan yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal ini perlu karena dengan
struktur pengetahuan kita menolong siswa untuk untuk melihat, bagaimana fakta-fakta
yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain.2
2. Tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas penguasaan
ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang untuk
mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
3. Menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi, teknik-teknik
intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah
analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupaka kesimpulan yang sahih
atau tidak.
4. Tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia pada para guru
untuk merangsang motivasi itu.
Selain ini Bruner juga mengemukakan Model dan Kategori. Pendekatan Bruner terhadap
belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa perolehan pengetahuan
merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan penganut teori perilakau Bruner yakin
bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak
hanya terjadi di lingkungan tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Lain hal lagi dengan Belajar sebagai Proses Kognitif. Bruner mengemukakan bahwa
belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ada tiga proses kognitif
yang terjadi dalam belajar, yaitu tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh
pengetahuan atau pengalaman baru; tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan

menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin
bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil
tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan
penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lainlain.Proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan
pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan.Informasi yang diterima
dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat
dimanfaatkan.
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-simbol
atau lambang-lambang objek tertentu.
1) Cara penyajian enaktif. Ialah melalui tindakan, jadi bersifat manipulatif. Dengan cara
ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau
kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian kejadian-kejadian yang lampau melalui
respon-respon motorik Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak
secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik)objek. Misalnya seseorang
anak yang enaktif mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
2)

Cara penyajian ikonik. Didasarkan atas pikiran internal. Pengetahuan disajikan oleh
sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan
sepenuhnya konsep itu. Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada
pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau
grafik yang dilakuka anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari
objek-objek yang dimanipulasinya. Misalnya sebuah segitiga menyatakan konsep
kesegitigaan.

3) Penyajian simbolik. Menggunakan kata-kata atau bahasa. Penyajian simbolik dibuktikan


oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan proposisi atau pernyataan daripada
objek-objek, memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu cara kombinatorial. Dalam tahap ini
kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan
disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakuka anak,

berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang


dimanipulasinya
C.

Aplikasi Konstruktivisme dalam Pendidikan dan Pengajaran

Aplikasi dari teori konstruktivisme dalam pendidikan dan pengajaran terutama bagi Anak
Usia dini yang dapat langsung diterapkan dikelas adalah
1. Pendidik dapat mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa
berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas kecerdasan mereka.
Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta
menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar
mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).
2.

Pendidik dapat mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan


beberapa waktu kepada pembelajar untuk merespon.
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasangagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa
merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan
dalam melakukan penyelidikan.

3.

Mendorong pembelajar/siswa berpikir dalam tingkatan tinggi sesuai dengan


pekembangannya.
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa
untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang
sederhana.

4.

Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif
sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya.
Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan

mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun


pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka
merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat
bermakna akan terjadi di kelas.
5.

Pembelajar terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya


diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa
menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan
konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa
untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan
pengalaman nyata.

6.

Pendidik/Guru memberikan data mentah, sumber-sumber utama, dan materimateri interaktif


Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para
siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian
guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran
tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.

Namun, secara umum aplikasi dari teori konstruktivisme ini dapat digunakan disekolahsekolah dengan tingkatan apapun disesuaikan dengan perkembangan setiap individu. Bagi
pengajar teori konstruktivisme ini sangat berguna untuk membantu memperlakukan siswa didik
dengan benar dan tepat untuk perkembangan kognisi, sosial dan aspek-aspek lainnya yang akan
menolong anak didik untuk berkembang secara maksimal.
Bagi anak yang diajarpun akan memiliki ruang yang cukup untuk dapat membantu
dirinya belajar sendiri, belajar untuk tidak bergantung kepada orang dewasa (dalam hal tertentu).

Dan kecerdasan yang dimilikinya akan berkembang secara optimal sesuai dengan tingkatan
perkembangan yang dia miliki.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih mudah memahami teori perkembangan
kognitif atau teori perkembangan Piaget, yaitu; Intelegensi, Organisasi, Skema, Asimilasi,
Akomodasi, dan Ekuilibrasi.
Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik.
Pendapat Piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah:
a. Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa.
b. Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan yang
sama bagi semua anak.
c. Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu tetapi
jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap
anak.
Adapun Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
a.

Tahap sensorimotor : umur 0 2 tahun.

(Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta
mempelajari permanensi obyek)
b.

Tahap Pra operasional : umur 2 -7 tahun.

(Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan symbol/bahasa tanda dan konsep intuitif)
c.

Tahap operasi kongkret : umur 7 11/12 tahun.

(Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian
konkret)
d.

Tahap operasi formal: umur 11/12 ke atas.

(Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis)

Berdasarkan pengalamannya sejak masa kanak-kanak, Piaget berkesimpulan bahwa setiap


makhluk hidup memang perlu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melestarikan
kehidupannya.
Dengan demikian guru bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi siswanya, misalnya dalam
memilih cara penyampaian materi bagi siswa, penyediaan alat-alat peraga dan sebagainya, sesuai
dengan tahap perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing. Guru
perlu mencermati apakah simbol-simbol matematika yang digunakan guru dalam mengajar
cukup mudah dipahami siswa, dengan mengingat tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh
masing-masing siswa.

B. Saran
Kami selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan tentunya
banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal ini disebabkan karena masih
terbatasnya kemampuan kami. Oleh karena itu, kami selaku penyusun makalah ini sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini
sangat bermanfaat untuk kami khususnya dan pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Arifwidiyatmo. 2008. Teori Belajar Jerome S. Bruner .http://arifwidiyatmoko.wordpress.com/

Gasong, Dina. Makalah : Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternatif Mengatasi


Masalah Pembelajaran. Jakarta
Ibrahim (1988), Inovasi Pendidikan, Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan.
Johnson, D.W. & Johnson, R. (1989), Cooperation and Competition: Theory and Research,
Edina, MN: Interaction Book Company
Lie, Anita (2007), Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di RuangRuang Kelas, Jakarta : Grasindo,
Sanjaya, Wina. (2006), Strategi Pembelajaran : Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta
: Kencana
Santrock, J. W. (2010), Psikologi Pendidikan, Jakarta : Kencana.
Slavin, R.E, (2008), Psikologi Pendidikan : Teori dan Praktek, Jakarta : PT Indeks
http://arumning.blogspot.com/2012/02/pembelajaran-konstruktivisme-dalam-aud.html
pada Senin, 13 Februari 2012.

diunduh

Anda mungkin juga menyukai