MATA KULIAH
PERKEMBANGAN ANAK
Oleh :
Tim Dosen
Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari psikologi
2. Mahasiswa mampu menjelaskan ruang lingkup psikologi
3. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan psikologi dengan ilmu lain
4. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi psikologi anak berkebutuhan khusus
A. Definisi Psikologi
Menurut pendapat beberapa ahli dan literatur, psikologi diartikan sebagai berikut:
1. Menurut Plato dan Aristoteles, psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang hakekat jiwa serta prosesnya.
2. Menurut Clifford T. Morgan, psychology is the science of human and animal
behavior. (Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku
manusia dan hewan).
3. Menurut Garden Murphy, psikologi adalah Ilmu yang mempelajari respon yang
diberikan oleh mahluk hidup terhadap lingkungannya
4. Menurut Woodworth dan Marquis, psikologi adalah ilmu yang mempelajari
aktivitas individu sejak masih dalam kandungan sampai meninggal dunia dalam
hubungannya dengan alam sekitar.
5. Menurut Wilhem Wundt, Psikologi adalah ilmu yang mempelajari pengalaman-
pengalaman yang timbul pada diri manusia, seperti perasaan panca indra,
pikiran, feeling, dan kehendak.
6. Berdasarkan asal katanya psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang
artinya jiwa, dan logos yang artinya ilmu pengetahuan.
Dari beberapa pendapat para ahli dan literatur, psikologi merupakan ilmu
yang mempelajari tentang makhluk hidup melalui tingkah laku, perasaan, pikiran
dan perkembangan makhluk hidup.
B. Ruang Lingkup Psikologi
Menurut Walgito (2002:23) ruang lingkup psikologi dapat dilihat dari
objeknya yaitu:
1. Psikologi Manusia
Psikologi yang meneliti manusia dan mempelajari manusia sebagai
individu. Banyak pendekatan psikologi yang mempelajari tentang manusia,
salah satunya pendekatan analisis behavior tentang analisis tingka laku pada
manusia.
2. Psikologi Hewan
Psikologi yang mempelajari dan meneliti hewan. Banyak penelitian
dilakukan pada hewan yang mana hasilnya diarahkan pada
manusia.Berdasarkan objek yang dipelajari dan diteliti disimpulkan bahwa
psikologi berfokus kepada manusia. Ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi adanya suatu jenis-jenis psikologi sebagai berikut:
a. Karena ditemukannya teori-teori yang berlaku tentang aspek kehidupan
manusia, seperti: teori perkembangan manusia.
b. Karena menggunakan aspek-aspek dalam kehidupan manusia tanpa
melihat teori-teori khusus yang berlaku pada aspek tersebut.
Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor endogen dalam perkembangan ABK
2. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor eksogen dalam perkembangan ABK
3. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor herediter dalam perkembangan ABK
Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan kognitif ABK
2. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan sosial-emosi ABK
3. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan kepribadian ABK
A. Perkembangan Kognitif
Piaget (dalam Helgenhan, 1982) mengemukakan ada dua bagian pokok
proses kognitif yaitu organisasi dan adaptasi. Selanjutnya, perkembangan kognitif
meliputi tahapan-tahapan berikut:
1. Tahap Sensori-Motorik (0-2 Tahun)
Perkembangan kognitif pada tahap ini meliputi kegiatan motorik dan
persepsi dengan refleks bawaan mencari stimulus dan memperhatikan. Secara
langsung anak berhubungan dengan lingkungannya menggunakan refleks
bawaan.
2. Tahap Pra-Operasional 92-7/8 Tahun)
Tahap ini dimulai dengan penguasaan bahasa, permainan simbolis, imitasi
serta bayangan dalam mental. Pada tahap ini anak sangat egosentris.Tahap
praoperasional terbagi atas tahap simbolis (2-4 tahin) dan tahap intuitif (4-7/8
tahun). Tahap simbolis ditunjukkan oleh kemampuan anak menggunakan
bahasa sederhana meskipun pengertian tentang konsep masih kurang sempurna.
Sementara pada tahap intuitif, anak sudah dapat mengungkapkan isi hatinya.
3. Tahap Operasional Kongkrit (7-11 Tahun)
Anak sudah mulai menggunakan pikirannya untuk menghadapi
pengalaman secara langsung. Anak mampu mengklasifikasi, mampu melakukan
penjumlahan dan pengurangan dengan benda-benda kongkrit.
4. Tahap Operasional Formal (mulai 11/12 tahun)
Anak mulai memecahkan masalah yang dihadapi dengan
mempertimbangkan situasi hipotetik. Penalaran anak mulai berkembang dengan
baik, anak sudah berfikir abstrak dan logis. Inteligensi dan bahasa merupakan
faktor yang berperan dalam proses perkembangan kognitif.
Thomas (dalam Suharmini, 2007) menjelaskan empat faktor penentu
perkembangan kognitif yaitu:
a. Pembawaan (herediter) atau internal maturation
b. Pengalaman fisik dengan dunianya
c. Pendidikan
d. Keseimbangan atau equilibrium
Kelainan atau gangguan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus
mempengaruhi perkembangan kognitifnya. Seperti pada anak tunanetra dan
tunadaksa yang akibat kelainannya mengalami keterbatasan dalam gerak atau
motorik. Anak tunarungu dengan permasalahan pada perkembangan struktur
kognitif, inteligensi dan masalah perkembangan bahasanya. Anak tunagrahita dan
down syndrome dengan keterbelakangan mentalnya menyebabkan kesulitan
memusatkan perhatian dan terganggu daya ingatnya. Anak autis yang 50%
mengalami hambatan dalam bahasa dan komunikasi. Begitu pula pada anak
kesulitan belajar yang dikarenakan ada permasalahan pada motorik dan persepsi
sehingga berpengaruh terhadap kemampuan kognitif.
B. Perkembangan Sosial-Emosi
Perkembangan sosial emosional menurut American Academy of Pediatrics
(2012) dalam Nurmalitasari (2015) adalah kemapuan anak untuk memiliki
pengetahun dalam mengelola dan mengekspresikan emosi secara lengkap baik
emosi positif, maupun negatif, mampu berinteraksi dengan anak lainnya atau
orang dewasa di sekitarnya, serta aktif belajar dengan mengeksplorasi lingkungan.
Perkembangan sosial emosional adalah proses belajar menyesuaikan diri untuk
memahami keadaan serta perasaan ketika berinteraksi dengan orang-orang di
lingkungannya baik orang tua, saudara, teman sebaya dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajaran sosial emosional dilakukan dengan mendengar, mengamati
dan meniru hal-hal yang dilihatnya. Teori perkembangan sosial-emosi masing-
masing dikemukakan oleh Erik Erikson dan Maslow sebagai berikut:
1. Teori Perkembangan Sosial Erik Erikson Erik
Teorinya ini disebut dengan Teori Psikosoaial yang mengatakan setiap
individu berjuang melakukan pencarian identitas diridalam tiap tahap
kehidupannya.Hal ini dikarenakan identitas merupakan pengertian dan
penerimaan, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat. Menurut Erikson,
masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan
psikososial seorang individu. Peranan ini dimulai dari pola asuh orangtua
hingga aturan atau budaya masyarakat. Berikut ini merupakan tahapan
perkembangan psikososial seorang individu yaitu:
a. Kepercayaan vs Ketidakpecryaan (usia 0-1 tahun).
Pada tahap ini harus belajar menumbuhkan kepercayaan pada oranglain,
contohnya anak kepada ibunya. Jika anak tidak berhasil dalam tahap ini,
maka ia akan jadi anak yang mudah takut dan rewel.
b. Otonomi vs Malu dan Ragu-Ragu (usia 1-3 tahun).
Pada tahap ini anak mulai belajar kemandirian (otonomi), seperti makan
atau minum sendiri. Jika anak tidak berhasil pada tahap ini karena selalu
ditegur dengan kasar ketika proses belajar, maka anak akan menjadi pribadi
yang pemalu dan selalu ragu-ragu dalam melakukan sesuatu.
c. Inisiatif vs Rasa Bersalah (usia 3-6 tahun).
Pada tahp ini anak mulai memiliki gagasan (inisiatif) berupa ide-ide
sederhana. Jika anak mengalami kegagalan pada tahap ini, maka ia akan
terus merasa bersalah dan tidakmampu menampilkan dirinya sendiri.
d. Kerja Keras vs Rasa Inferior (usia 6-12 tahun).
Pada tahap ini anak mulai mampu berkerja keras untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya dengan baik. Jika pada tahap ini anak tidak berhasil, maka
kedepannya anak akan menjadi pribadi yang rendah diri (minder) dan tidak
mampu menjadi pemimpin.
e. Identitas vs Kebingungan Identitas (usia 12-19 tahun).
Pada tahap ini individu melakukan pencarian atas jati dirinya
(identitasnya). Jika ia gagal pada tahp ini, mak ia akan merasa tidak utuh.
f. Keintiman vs Isolasi (usia 20-25 tahun).
Pada tahap ini individu mulai keintiman psikologis dengan oranglain.
Jika ia gagal pada tahap ini, maka ia akan merasa kosong dan terisolasi.
g. Generativitas vs Stagnasi (usia 26-64 tahun).
Pada tahap ini individu memiliki keinginan untuk menciptakan dan
mendidik generasi selanjutnnya. Jika ia tidakberhasil dalam tahap ini, maka
ia akan merasa bosan dan tidak berkembang.
h. Integritas vs Keputusan (usia 65 tahun ke atas).
Pada tahap ini individu akan menelaah kembali apa saja yg sudah ia
lakukan dan ia capai dalam hidupnya. Jika ia berhasil pada tahp ini, maka ia
akan mencapai integritas (penerimaan akan kekurarangan diri, sejarah
kehidupan, dan memiliki kebijakan), sebaliknya jika ia gagal, maka ia akan
merasa menyesal atas apa yg telah terjadi dalam hidupnya.
C. Perkembangan Kepriadian
Anak berkebutuhan khusus dulu disebut (anak luar biasa) didefinisikan
sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk
mengembangan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna. Anak luar biasa,
juga dapat didefinisikan sebagai anak yang berkebutuhan khusus. Anak luar biasa
disebut sebagai anak yang berkebutuhan khusus, karena dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan bantuan layanan
pendidikan, layanan sosial, layanan bimbingan dan konseling, dan berbagai jenis
layanan lainnya yang bersifat khusus (Abdullah, 2013).
Allport (Noviyanti & Lachowicz, 2008) mendefinisikan kepribadian sebagai
“Organisasi dinamik dalam diri individu yang tersusun dari system psikofisis yang
menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya”, dalam definisi
tersebut tersirat pengertian penting, yaitu :
1. Dinamik, berarti kepribadian itu pada hakekatnya selalu berubah dan terungkap
dalam bentuk kualitas tingkah laku.
2. Organisasi, berarti bahwa kepribadian bukan hanya sekedar kumpulan sifat-
sifat (trait) tetapi merupakan sifat-sifat yang mempunyai hubungan timbal balik.
Bila hubungan timbal balik itu berubah, maka beberapa sifat menjadi dominan
dan beberapa sifat menjadi lemah, dalam hal ini berhubungan dengan
perubahan pada diri anak dan perubahan pada lingkungan.
3. System psikofisis dapat diartikan sebagai kebiasaan, sikap, keyakinan, keadaan
emosional, perasaan, motif yang bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar
neural dan glandular (syaraf dan kelenjar), maupun keadaan fisik secara
keseluruhan. System ini berdasarkan pada factor keturunan yang berkembang
melalui proses belajar anak melalui pengalaman-pengalamannya. System
psikofisis ini merupakan daya penggerak yang menentukan penyesuaian diri
anak. Karena pengalaman yang dialami anak berbeda-beda, penyesuaian yang
dilakukan itu bersifat unik.
Pola kepribadian terdiri dari dua komponen, yaitu komponen inti yang
disebut konsep diri dan komponen penunjang yang disebut sifat (trait). Pola
kepribadian orang normal dan yang abnormal dibedakan berdasarkan derajat
organisasinya. Pola kepribadian yang normal terorganisasi, komponen-
komponennya menunjukkan hubungan yang erat dan berstuktur, sedangkan
kepribadian orang abnormal menunjukkan disorganisasi. Stabilitas konsep diri
seseorang tergantung dari beberapa hal antara lain:
1. Perlakuan yang tidak konsisten yang menyebabkan perbedaan perlakuan di
dalam keluarga dan perlakuan diluar keluarga, dan
2. Kesenjangan antara konsep diri real dan konsep yang dicita-citakan.
Komponen kepribadian terdiri dari konsep diri dan sifat (trait) (Rafid, 2018).
Konsep diri dibedakan menjadi: konsep diri yang riil (siapa dia yang
sesungguhnya), yang ada dalam kenyataan; dan konsep diri yang ideal (gambaran
diri yang diinginkan seseorang). Konsep diri ini mempunyai aspek psikologis dan
aspek fisik. Aspek fisik terdiri atas konsep individu mengenai penampilan dirinya,
keselarasan penampilan jenis kelaminnya, hubungan antar tubuhnya dalam
hubungan dengan manusia lain. Aspek psikologis terdiri dari konsep individu
mengenai kemampuan dan ketidakmampuannya, arti dirinya dan hubungan dirinya
dengan orang lain. Pada awalnya kedua aspek ini terpisah namun dengan
berkembangnya seorang anak, kedua pihak ini akan menjadi suatu kesatuan
(Saputra, 2013).
Sifat merupakan kualitas tingkah laku atau pola penyesuaian diri yang
bersifat spesifik seperti reaksi terhadap frustasi, cara untuk menyelesaikan masalah,
tingkah laku penampilan diri atau menarik diri dalam pergaulan dengan orang lain.
Trait terintegrasi dan dipengaruhi oleh konsep diri. Trait menunjukkan dua
karakteristik, yaitu: (1) Individualitas; terungkap dalam variasi kualitas sifat
tertentu. (2) Konsisten; yang terungkap dalam tingkah laku yang serupa yang
dilakukan seseorang dalam situasi dan kondisi yang hampir sama.
Berbagai hasil penelitian Sholeh (2015) menunjukkan bahwa terdapat
beberapa perbedaan sifat kepribadian antara anak tunanetra dengan anak awas.
Ada kecenderungan anak tunnetra relative lebih banyak yang mengalami
gangguan kepribadian dicirikan dengan introversi, neurotic, frustasi dan regiditas
(kekakuan) mental. Namun demikian, disisi lain terdapat pula hasil-hasil penelitian
yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam hal
penyesuaian diri antara anak yang tunanetra dengan anak awas. Dalam hal tes
kepribadian dikemukakan pula bahwa tes-tes kepribadian yang sudah standarpun
tidak secara khusus diperuntukkan bagi tunanetra. Situasi kehidupan yang berbeda
antara anak tunanetra dengan anak awas seringkali menimbulkan tafsiran yang
berbeda pula terhadap sesuatu yang diajukan (Bennett, 2014).
Perkembangan kepribadian banyak ditentukan oleh hubungan antara anak
dan orang tua terutama ibunya. Lebih-lebih pada masa awal perkembangannya.
Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau perluasan pengalaman
pada umumnya dan diarahkan pada factor anak sendiri. Pertemuan antara factor-
faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidak mampuan menerima rangsang
pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan
inteligensi dihubungankan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat
perkembangan kepribadiannya (Wasito, Sarwindah, & Sulistiani, 2010).
Pada anak terbelakang ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda
dengan anak normal, akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat
memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu.
Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit mengungkapkan
kekaguman. Kanak-kanak dan penyesuaian sosial merupakan proses yang saling
berkaitan. Kepribadian social mencerminkan cara orang tersebut berinteraksi
dengan lingkungan. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman penyesuaian diri sangat
besar pengaruhnya terhadap kepribadian.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Mc Iver dengan menggunakan
Children’s Personality Questionare ternyata anak-anak tunagrahita mempunyai
beberapa kekurangan. Anak tunagrahita pria memiliki kekurangan berupa tidak
matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya,
impulsive, lancing, dan merusak. Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi,
kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri, dan cenderung melanggar
ketentuan. Dalam hal lain, anak tunagrahita sama dengan anak normal.
Kekurangan-kekurangan dalam kepribadian akan berakibat pada proses
penyesuaian diri.
Selanjutnya pada perkembangan kepribadian anak tunadaksa mempunyai
dua tipe masalah (Tua, Masyarakat, & Winarsih, 2013): (1) Masalah penyesuain
diri yang mungkin terjadi pada kemajuan perkembangan yang normal yang
dialami setiap individu yang pada saat bersaman juga berusaha untuk memperluas
ruang gerak dirinya serta mempertahankan konsep diri (self concept) yang sudah
dimilikinya. (2) Masalah penyesuaian diri yang semata-mata merupakan gabungan
dari kenyataan bahwa keadaan tunadaksa yang bersifat fisik merupakan hambatan
yang terletak antara tujuan (goal) dan keinginan untuk mencapai tujuan tersebut.
Perkembangan kepribadian individu secara keseluruhan dipengaruhi oleh
banyak hal, antara lain (Widati, n.d.):
1. Tingkat ketidakmampuan akibat ketunadaksaan. Factor ketidak mampuan fisik
sering menimbulkan hambatan psikologis bagi anak tunadaksa terutama jika
dikaitkan dengan perilaku dan penerimaan orang normal disekitarnya.
2. Usia ketika ketunadaksaan itu terjadi, sampai batas tertentu berpengaruh
terhadap laju perkembangan individu. Ketunadaksaan yang dialami pada usia
yang lebih besar akan menunjukkan efek yang lebih kecil terhadap
perkembangan fisik, namun menimbulkan efek yang lebih besar pada
perkembangan psikologis yang bersangkutan.
3. Nampak atau tidaknya kondisi tunadaksa, menunjukkan pengaruh terhadap
perkembangan kepribadian individu, terutama mengenai gambaran tubuhnya
(body image). Factor Nampak dan tidaknya kelainan ini memiliki pengaruh
yang demikian besar dalam menentukan sikap lingkungan terhadap anak
tunadaksa maupun sikap anak tunadaksa terhadap lingkungannya. Anak-anak
tunadaksa pada umumnya menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif.
Hal demikian berhubungan dengan gambaran tubuh yang dimilikinya.
Disamping itu pengaruh ketunadaksa terhadap perkembangan kepribadian
individu ditentukan juga oleh nilai psikologis bagian tubuh yang mengalami
kelainan tersebut.
4. Dukungan keluarga dan dukungan masyarakat terhadap anak tunadaksa
memiliki pengaruh yang besar karena sikap keluarga dan masyarakat tersebut
mempengaruhi perkembangan kepribadian anak tersebut. Orang tua atau
masyarakat yang menunjukkan sikap menolak akan mengakibatkan anak
tunadaksa merasa rendah diri, merasa tidak berdaya, merasa tidak pantas,
merasa frustasi, merasa bersalah, merasa benci, dan sebagainya. Sepertinya
telah dikemukakan bahwa dalam pembentukan self respect pada anak yang
terpenting adalah menghargai anak dengan jalan menerima anak apa adanya
sehingga anak merasa bahwa dirinya ada sebagai suatu pribadi/individu. Tidak
adanya self respect pada anak tunadaksa akan mengakibatkan mudah timbulnya
ketegangan. Sedikit saja anak mengalami kesulitan maka ia akan merasa bahwa
hal itu tidak akan mungkin dapat ia hadapi.
5. Sikap masyarakat terhadap anak tunadaksa menunjukan pengaruh yang sangat
menentukan terhadap perkembangan kepribadian individu yang bersangkutan.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan pandangan masyarakat dewasa ini yang
memandang ukuran keberhasilan seseorang dari prestasi yang dicapainya.
Keterbatasan yang disandang tunadaksa, yang menghambatnya untuk
berprestasi seperti anak-anak normal dapat menimbulkan rasa tidak aman dan
kecemasan yang mengganggu perkembangan kepribadian anak tersebut. Dalam
menghadapi situasi seperti itu, anak-anak tunadaksa melakukan berbagai upaya
menghindari tuntutan untuk berhasil dengan cara-cara yang masih dapat
diterima oleh masyarakat. Tindakan seperti itu seringkali menimbulkan
hambatan-hambatan terhadap perkembangan kepribadian anak. Misalnya
dengan munculnya perasaan terpojok, tidak mempunyai kesempatan untuk
meraih sukses, memiliki tujuan yang tidak relistik, dan sebagainya.
(Desiningrum, 2017).
Lingkungan yang paling dekat dengan anak adalah lingkungan keluarga.
Berbagai gaya pola asuh dari orangtua yang mempengaruhi perkembangan
psikologis anak diantaranya sebagai berikut:
1. Pola Otoriter
Gaya pengasuhan yang membatasi dan menggunakan hukuman untuk menuntut
anak agar mengikuti perintah – perintah orang tua.
2. Pola Otoritatif
Mendorong anak agar belajar mandiri dengan masih menetapkan batas – batas
yang diberikan orang tua, sehingga tindakan – tindakan anak masih terkendali.
Pola ini memungkinkan musyawarah secara verbal dan ekstensif, adanya
kehangatan dan pertunjukan kasih sayang dari orang tua ke anak.
3. Pola Permisif
Terbagi menjadi dua yaitu permisif indifferent dimana orang tua tidak terlibat
dalam kehidupan anak sehingga anak menjadi inkompeten secara sosial dan
kekurangan kendali diri. Sedangkan pola permisif indulgent dimana orang tua
terlibat dalam kehidupan anak melalui pemanjaan dengan sedikit batasan atau
kendali terhadap tingkah laku anak, sehingga anak menjadi inkompeten secara
sosial dan juga kurang dapat mengendalikan diri.
Interaksi antara individu dengan lingkungan dipandang positif apabila
interaksi tersebut berlangsung dalam proses yang saling menguntungkan (mutual)
dan fiingsional. Fungsional artinya lingkungan tersebut mampu memberikan
kemudahan, kesempatan atau peluang, stimulasi atau dorongan, dan keteladanan
bagi berkembangnya fitrah, potensi, atau kompentensi pribadi individu secara
bermakna (Somad, 2012). Oleh karena itu, agar anak berkebutuhan khusus dapat
berkembang optimal maka sangat penting untuk memperhatikan penerimaan
lingkungan terhadap dirinya.
BAB IV
PRINSIP PERKEMBANGAN MOTORIK, BAHASA
DAN BICARA, KOGNITIF, EMOSI DAN SOSIAL ABK
Tujuan :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip perkembangan motorik anak
berkebutuhan khusus
2. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip perkembangan bahasa dan bicara anak
berkebutuhan khusus
3. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip perkembangan kognitif anak
berkebutuhan khusus
4. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip perkembangan emosi dan sosial anak
berkebutuhan khusus
Tujuan :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Prinsip perkembangan aspek bermain ABK
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Prinsip perkembangan aspek kreativitas ABK
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Prinsip perkembangan aspek moral ABK
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Prinsip perkembangan aspek pean seks ABK
Tujuan :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian tunanetra
2. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor penyebab ketunanetraan
3. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan kognitif, motorik, emosi, social
dan kepribadian anak tunanetra
4. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah-masalah dan dampak ketunanetraan
bagi lingkungan
A. Pengertian tunanetra
Menurut Kauffman dan Hallahan (2006), berdasarkan sudut pandang
pendidikan ada dua kelompok gangguan penglihatan:
1. Anak yang tergolong buta akademis (Educationally blind) yakni anak tidak
dapat menggunakan penglihatannya lagi untuk tujuan belajar huruf cetak.
Program pembelajaran yang diberikan pada anak untuk belajar yakni melalui
visual senses (Sensori lain di luar penglihatan).
2. Anak yang melihat sebagian (The partially sighted/low vision). Anak dengan
penglihatan yang masih berfungsi secara cukup, diantara 20/70 – 20/200, atau
mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan normal tapi medan pandangan
kurang dari 20 derajat. Cara belajar yang utama untuk dapat memaksimalkan
penglihatannya adalah dengan menggunakan sisa penglihatan yang dimiliki
(Visualnya).
3. Menurut Barraga, 1983 (dalam Wardani dkk, 2007: 4.5) mendefenisikan
tunanetra yaitu anak yang mengalami ketidak mampuan melihat adalah anak
yang mempunyai gangguan atau kerusakan dalam penglihatannya sehingga
menghambat prestasi belajar secara optimal, kecuali jika dilakukan penyesuaian
dalam pendekatan-pendekatan penyajian pengalaman belajar, sifat-sifat bahan
yang digunakan, dan/atau lingkungan belajar.
2. Post-natal
Post-natal merupakan masa setelah bayi dilahirkan. Tunanetra bisa saja
terjadi pada masa ini.
a. Kerusakan pada mata atau syaraf mata pada waktu persalinan, akibat
benturan alat-alat atau benda keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe sehingga bakteri
gonorrhoe menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir
mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya :
1) Xerphalmia, yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
2) Trachoma, yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
3) Catarac, yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa
mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
4) Glaucoma, yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola
mata sehigga tekanan pada bola mata meningkat.
5) Diabetik Retinopathy, yaitu gangguan pada retian mata yang disebabkan
oleh penyakit diabetes melitus. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh
darah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga
merusak penglihatan.
6) Mecular Degeneration, yakni kondisi umum yang agak baik, ketika
daerah tengah retina secara berangsur memburuk. Anak dengan
penglihatan perifer, tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat 30
secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
7) Retinopathy of prematurity, biasanya anak yang mengalami ini karena
lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir, bayi masih memiliki potensi
penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya
ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi
sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan
kadar oksigen yang adapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah
menjadi tidak normaldan meningalkan semacam bekas luka pada jaringan
mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala
(retina) dan tunanetra total.
8) Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti
masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya,
kecelakaan dari kendaraan, dan lain-lain.
Tujuan :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dan klasifikasi gangguan pendengaran
2. Mahasiswa mampu menjelaskan pengaruh pendengaran pada perkembangan
bicara dan bahasa
3. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan kognitif anak tunarungu
4. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan emosi anak tunarunga
5. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan sosial anak tunarungu
6. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah-masalah dan dampak ketunarunguan
Tujuan
Tujuan :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan klasifikasi anak tunagrahita
2. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan fisik anak tunagrahita
3. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan kognitif anak tunagrahita
4. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan bahasa anak tuna grahita
5. Mahasiswa mampu menjelaskan emosi, penyesuaian sosial dan kepribadian anak
tunagrahita
6. Mahasiswa mampu menjelaskan dampak ketunagrahitaan
BAB XV
PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS
PADA ANAK ADHD
Tujuan :
1. Mahasiswa mengetahui perkembangan kognisi pada anak dengan
hambatan mental.
2. Mahasiswa mengetahui permasalahan perkembangan kognisi pada anak
dengan dengan hambatan mental.
Tujuan
1. Mahasiswa Mampu menjelaskan perkembangan kognisi pada anak dengan
hambatan emosi dan perilaku.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan permasalahan perkembangan kognisi pada anak
dengan dengan hambatan emosi dan perilaku.
Tujuan
A. Pengertian ADHD
Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006) ADHD adalah Attention Deficit
Hyperactivity Disorder. Jika diarttikan perkata, attention = perhatian, deficit =
berkurang, hyperactivity = hiperaktif dan disorder = gangguan. Sehingga ADHD
dapat berarti gangguan pemusatan perhatian yang disertai hiperaktif.
Seseorang dapat memenuhi salah satu kriteria ADHD yaitu kurang perhatian
(inattention) atau hiperaktifitas & impulsif, atau keduanya. Kondisi ini terjadi
selama periode paling tidak enam bulan, yang mengakibatkan pertumbuhan
seseorang tersebut menjadi tidak sesuai dengan tingkat pertumbuhan usia normal
(Widhata, 2008).
B. Penyebab ADHD
Tidak ada yang mengetahui penyebab ADHD secara pasti. Teori lama
menduga penyebabnya antara lain adalah keracunan, komplikasi pada saat
melahirkan, alergi terhadap gula dan beberapa jenis makanan, dan kerusakan pada
otak. Meskipun teori ini ada benarnya, banyak kasus ADHD yang tidak cocok
dengan penyebab tersebut. Penelitian membuktikan bahwa ADHD ada
hubungannya dengan genetika seorang anak.
Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms.
Symptoms terjadi disebabkan oleh faktor-faktor brain damage, an emotional
disturbance, a hearing deficit, or mental retardation (Batshaw & Perret, 1986:
261 dalam Delphie, 2006). Problem diatas menjadikan anak ADHD merasa
kesepian dan sulit dimengerti sehingga menjadi lebih nakal karenanya.
Berikut penyebab-penyebab anak mengalami ADHD:
1. Kelainan Anatomi Otak
Anak yang didiagnosis ADHD memiliki perbedaan dalam fungsi otak
dibandingkan dengan rekan-rekan mereka. Otak memiliki bahan kimia yang
disebut neurotransmiter yang berperan dalam proses interaksi sel-sel yang ada
di otak. Pada ADHD neurotransmiter yang disebut dopamin cenderung tidak
berfungsi sehingga mengakibatkan konsekuensi yang tidak diinginkan seperti
impulsif, kurang konsetrasi, dan hiperaktif.
2. Genetik
ADHD diyakini akan mewariskan dari orang tua yang mengalami kelainan
serupa. Satu dari empat anak yang didiagnosis ADHD memiliki kerabat
dengan gangguan serupa.
3. Faktor Ibu
Ibu hamil yang memiliki kebiasaan merokok mempertinggi resiko memiliki
anak dengan ADHD. Dan juga mengkonsumsi alkohol dan obat lain selama
periode kehamilan dapat menghambat aktivitas neuron yang memproduksi
dopamin. Wanita hamil yang terpapar racun kimia seperti polychlorinated
biphenyls juga berpotensi memiliki anak ADHD.
4. Faktor Lingkungan
Paparan racun pada anak dari lingkungan seperti timbal dikhawatirkan
C. Karakteristik ADHD
Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006), ciri utama ADHD antara lain:
1. Rentang perhatian yang kurang, adapun gejala-gejala yang menunjukkan
rentang perhatian yang kurang meliputi: gerakan yang tidak teratur, cepat lupa,
mudah binggung, kesulitan dalam mencurahkan perhatian terhadap tugas-
tugas atau kegiatan bermain
2. Impulsivitas yang berlebihan, gejala-gejala tersebut meliputi: emosi gelisah,
mengalami kesulitan bermain dengan tenang, mengganggu anak lain,
bertindak tanpa berpikir, selalu tidak bisa menunggu giliran
3. Hiperaktif, dalam bentuk perilaku: selalu bergerak (tidak bias diam), sering
berlari atau memanjat benda-benda yang tinggi atau perabotan dan sulit diatur,
sulit untuk duduk di satu tempat dengan tenang, bergerak-gerak berlebihan
ketika tidur, selalu aktif setiap saat.
Menurut Widhata (2008) seseorang dapat dikategorikan sebagai
inattention, hiperaktifitas dan impulsif jika ia memenuhi minimal empat
kriteria dibawah ini:
Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid I. Jakarta:
Pieget, Jean. 1979. Relations Between Psychology and Other Sciences. Swuizeland: Annual
Reviews Inc.