Anda di halaman 1dari 74

BAHAN AJAR

MATA KULIAH
PERKEMBANGAN ANAK

Oleh :

Tim Dosen

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
BAB I
KONSEP DASAR PSIKOLOGI
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dari psikologi
2. Mahasiswa mampu menjelaskan ruang lingkup psikologi
3. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan psikologi dengan ilmu lain
4. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi psikologi anak berkebutuhan khusus

A. Definisi Psikologi
Menurut pendapat beberapa ahli dan literatur, psikologi diartikan sebagai berikut:
1. Menurut Plato dan Aristoteles, psikologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang hakekat jiwa serta prosesnya.
2. Menurut Clifford T. Morgan, psychology is the science of human and animal
behavior. (Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku
manusia dan hewan).
3. Menurut Garden Murphy, psikologi adalah Ilmu yang mempelajari respon yang
diberikan oleh mahluk hidup terhadap lingkungannya
4. Menurut Woodworth dan Marquis, psikologi adalah ilmu yang mempelajari
aktivitas individu sejak masih dalam kandungan sampai meninggal dunia dalam
hubungannya dengan alam sekitar.
5. Menurut Wilhem Wundt, Psikologi adalah ilmu yang mempelajari pengalaman-
pengalaman yang timbul pada diri manusia, seperti perasaan panca indra,
pikiran, feeling, dan kehendak.
6. Berdasarkan asal katanya psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang
artinya jiwa, dan logos yang artinya ilmu pengetahuan.
Dari beberapa pendapat para ahli dan literatur, psikologi merupakan ilmu
yang mempelajari tentang makhluk hidup melalui tingkah laku, perasaan, pikiran
dan perkembangan makhluk hidup.
B. Ruang Lingkup Psikologi
Menurut Walgito (2002:23) ruang lingkup psikologi dapat dilihat dari
objeknya yaitu:
1. Psikologi Manusia
Psikologi yang meneliti manusia dan mempelajari manusia sebagai
individu. Banyak pendekatan psikologi yang mempelajari tentang manusia,
salah satunya pendekatan analisis behavior tentang analisis tingka laku pada
manusia.
2. Psikologi Hewan
Psikologi yang mempelajari dan meneliti hewan. Banyak penelitian
dilakukan pada hewan yang mana hasilnya diarahkan pada
manusia.Berdasarkan objek yang dipelajari dan diteliti disimpulkan bahwa
psikologi berfokus kepada manusia. Ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi adanya suatu jenis-jenis psikologi sebagai berikut:
a. Karena ditemukannya teori-teori yang berlaku tentang aspek kehidupan
manusia, seperti: teori perkembangan manusia.
b. Karena menggunakan aspek-aspek dalam kehidupan manusia tanpa
melihat teori-teori khusus yang berlaku pada aspek tersebut.

C. Hubungan Psikologi dengan Ilmu Lain


Hubungan antar ilmu adalah hubungan timbal balik saling membutuhkan
baik bagi psikologi itu sendiri maupun ilmu lainnya. Berikut hubungan psikologi
dengan ilmu-ilmu lain yaitu:
1. Psikologi dengan biologi
Biologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang kehidupan. Semua
benda yang hidup menjadi objek dari biologi. Oleh karena itu baik biologi
maupun psikologi sama-sama membicarakan manusia. Hal-hal yang sama-sama
dipelajari oleh kedua ilmu itu misalnya keturunan. Soal keturunan ditinjau dari
segi biologi ialah hal-hal yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan
yang turun menurun. Soal keturunan juga depalajari oleh psikologi antara lain
sifat, intelegensi, dan bakat.
2. Psikologi dengan filsafat
Manusia sebagai makhluk hidup juga merupakan objek dari filsafat yang
antara lain membicarakan soal hakikat kodrat manusia, tujuan hidup manusia
dan sebagainya. Psikologi memiliki hubungan dengan filsafat terutama
mengenai hal-hal yang menyangkut sifat hakekat serta tujuan dan ilmu
pengetahuan itu.
3. Psikologi dengan sosiologi
Menurut Mead (dalam Berger dan Luckmann 1996) menyebut kaitan
psikologi dengan sosiologi dengan menghadirkan istilah psikologi sosial yaitu
suatu psikologi yang memperoleh perspektif-perspektif dasarnya dari suatu
pemahaman sosiologis tentang kondisi manusia. Hubungan psikologi dan
sosiologi dapat digambarkan sebagai dua buah lingkaran yang saling
berptongan, diantara luasan potongan tersebut saling tumpang tindih yang
artinya saling melekat. Psikologi dan sosiologi keduanya berhubungan dengan
cara perilaku individu dalam kelompok sosial.
4. Psikologi dengan ilmu komunikasi
Komunikasi: peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan
manusia lain. Psikologi-komunikasi: ilmu yang berusaha menguraikan,
meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam
komunikasi.
5. Psikologi dengan ilmu pendidikan
Ilmu pendidikan bertujuan memberikan bimbingan hidup manusia sejak
lahir sampai meninggal. Pendidikan tidak akan berhasil dengan baik bilamana
tidak didasarkan pada psikologi perkembangan. Hubungan kedua disiplin ilmu
ini melahirkan psikologi pendidikan.
6. Psikologi dengan Antropologi
Berbagai penelitian antropologi dalam analisisnya menggunakan banyak
konsep psikologi. Antropologi: “kepribadian bangsa”,”peran individu dalam
proses perubahan adat”,”nilai universal dari konsep psikologi.”
7. Psikologi dengan ilmu politik
Psikologi merupakan ilmu yang mempunyai peranan penting dalam
bidang politik, “massa psikologi”. Penting bagu politisi untuk meyelami
gerakan jiwa rakyat pada umumnya, golongan tertentu pada khususnya.
8. Psikologi dengan Agama
Psikologi dan agama mempunyai hubungan erat dalam memberikan
bimbingan manusia adalah terhadap manusia yang melanggar norma-norma
yang oleh agama dipandang berdosa.
9. Psikologi dengan ilmu alam
Awalnya psikologi disusun berdasarkan hasil eksperimen karena manusia
hidup dan berkembangnya metode “fenomenologis” karena berfokus pada
gejala jiwa.

D. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus


Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus dilatarbelakangi alasan kedua, karena
menurut beberapa pendapat bahwa tidak terdapat ilmu tentang psikologi anak
berkebutuhan khusus, tetapi anak berkebutuhan khusus yang berada dalam ranah
pendidikan maka saling berkohesi dengan psikologi pendidikan.
Anak berkebutuhan khusus (Heward, 2002) adalah anak dengan karakteristik
khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya dari segi mental, emosi atau
fisik.
Anak berkebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara
sederhana sebagai anak yang lambat (slow) atau mangalami gangguan (retarded)
yang sangat sukar untuk berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada
umumnya sehingga mereka memerlukan layanan yang spesifik dan berbeda
dengan anak-anak pada umumnya.
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang makhluk hidup melalui
tingkah laku, perasaan, pikiran dan perkembangan makhluk hidup.
Menurut Hasan dalam penyampaian materinya, psikologi anak berkebutuhan
khusus merupakan pembelajaran pada anak berkebutuhan khusus yang dipahami
melalui berbagai aspek kehidupan serta tingkah lakunya.
Tujuan dari psikologi anak berkebutuhan khusus adalah untuk memberikan
pemahaman pada mahasiswa tentang anak berkebutuhan khusus agar diperlakukan
sesuai dengan kebutuhan anak.
BAB II
FAKTOR ENDOGEN DAN EKSOGEN
DALAM PERKEMBANGAN ABK

Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor endogen dalam perkembangan ABK
2. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor eksogen dalam perkembangan ABK
3. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor herediter dalam perkembangan ABK

A. Faktor Endogen dalam Perkembangan ABK


Faktor endogen adalah faktor atau sifat yang dibawa oleh individu
sejak dalam kandungan hingga kelahiran. Faktor endogen merupakan semua faktor
yang timbul dari dalam diri individu sebagai bawaan biologisnya. Suharmini (2007)
menyebutkan proses biologis berperan dalam perkembangan manusia.
Secara garis besar, banyak anak mengalami kelainan (anamalous)
dikarenakan bawaan biologis dari dalam dirinya. Faktor bawaan biologis yang
dapat menjadikan anak berkebutuhan dikarenakan hal berikut:
1. Kelainan Genetik
Gen adalah plasma pembawa sifat keturunan atau sebagai penentu sifat-
sifat keturunan. Gangguan genetik dapat terjadi akibat adanya kelainan
kromosom, transformasi yang mengakibatkan keracunan darah pada individu
sejak dalam kandungan hingga kelahiran. Masalah-masalah yang disebabkan
oleh kelainan gen dan kromosom (Suharmini, 2007)yaitu:
a. Phenylketonuria (PKU), menyebabkan individu tidak mampu
memetabolismekan protein sehingga menyebabkan hiperaktif dan
keterbelakangan mental.
b. Munculnya kromosom tambahan yang menjadi penyebab down syndrome.
c. Kromosom XYY, yaitu laki-laki dengan kelebihan kromosom Y dapat
menunjang sifat agresif.
d. Susunan Kromosom XO, yaitu wanita kehilangan kromosom X menjadi
susunan XO yang menyebabkan turner’s syndrome, keterbelakangan
mental dan tidak berkembangk seksualitasnya. Ciri fisik individu umumnya
menjadi pendek, leher kuat serta kekar.
2. Perkawinan dengan Kelainan
Kelainan (anamalous) ditentukan pada saat pembuahan, artinya sebagai
konsekuensi dari bentuk perkawinan. Perkawinan yang dapat menghasilkan
anak kelainan yaitu:
a. Perkawinan antara ibu yang memilikirecessive gen kelainan dengan ayah
normal
b. Perkawinan antara ibu anamalous dengan ayah normal
c. Perkawinan antara ibu anamalous dengan ayah yang memiliki recessive
gen kelainan
d. Perkawinan antara ibu dan ayah yang anamalous
3. Penyakit Bawaan
Penyakit bawaan akibat virus atau bakteri yang terjangkit dari ibu semasa
dalam kandungan hingga lahir dan atau penyakit yang dibawa secara genetik.

B. Faktor Eksogen dalam Perkembangan ABK


Faktor eksogen merupakan faktor yang datang dari luar diri individu.Faktor
eksogen berhubungan dengan lingkungan yang menstimulasi perkembangan.
Pappas (dalam Suharmini 2007) mengatakan ada beberapa peristiwa atau
perlakuan dari luar yang baik disengaja ataupun tidak mempengaruhi proses
perkembangan anak. Oleh karena itu, faktor eksogen dalam perkembangan ABK
meliputi:
1. Penyakit dan infeksi yang diderita ibu hamil dapat berakibat ke janin seperti
rubella, sifilis, genital herpes. Demikian juga dengan penyakit pada sistem
saraf seperti meningitis atau encephalities.
2. Obat-obatan yang merusak janin seperti thalidomide, mengkonsumsi marijuana,
kokain dan zat-zat kimia lain.
3. Mal-nutrition, dapat menyebakan anak mengalalmi retardasi mental.
4. Komplikasi pada ibu hamil seperti mengalami pre eclampsia yaitu tekanan
darah tingginya naik sehingga anak yang lahir cenderung menjadi hiperaktif.
5. Kelahiran cacat
6. Kecelakan seperti terkena benturan pada kepala atau bagian ttubuh lain yang
mengakibatkan kerusakan dan kelainan.
7. Proses kelahiran dengan bantuan alat.

C. Faktor Herediter dalam Perkembangan ABK


Faktor hereditas dalam psikologi perkembangan memegang peranan yang
cukup penting dalam perkembangan seorang anak hingga dewasa.Faktor hereditas
ada karena adanya gen sebagai unit informasi yang diturunkan dari orang tua ke
anak untuk memperoduksi diri dan menghasilkan protein yang terus berkembang.
Gen ini juga memiliki fungsi untuk memunculkan karakteristik seorang manusia.
Faktor hereditas yang biasanya diturunkan anak berupa bentuk dan perkembangan
fisik, warna kulit, sifat, mental, emosi, watak, penyakit, intelegensi, bakat dan
kreativitas.
Kelainan pada anak berkebutuhan khusus seperti anak mengalami tunanetra
atau tunarungu banyak yang dikarenakan faktor herediter berkaitan dengan gen
dari orangtuanya. Selanjutnya, hasil penelitian juga menunjukkan anak yang
mengalami learning disabilities disebabkan anak mempunyai dasar genetik.
Lerner & Kline (dalam Suharmini 2007) mengatakan learning disabilities salah
satunya disebabkan karena herediter (pembawaan).
BAB III
PERKEMBANGAN KOGNITIF, SOSIAL-EMOSI
DAN KEPRIBADIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Tujuan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan kognitif ABK
2. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan sosial-emosi ABK
3. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan kepribadian ABK

A. Perkembangan Kognitif
Piaget (dalam Helgenhan, 1982) mengemukakan ada dua bagian pokok
proses kognitif yaitu organisasi dan adaptasi. Selanjutnya, perkembangan kognitif
meliputi tahapan-tahapan berikut:
1. Tahap Sensori-Motorik (0-2 Tahun)
Perkembangan kognitif pada tahap ini meliputi kegiatan motorik dan
persepsi dengan refleks bawaan mencari stimulus dan memperhatikan. Secara
langsung anak berhubungan dengan lingkungannya menggunakan refleks
bawaan.
2. Tahap Pra-Operasional 92-7/8 Tahun)
Tahap ini dimulai dengan penguasaan bahasa, permainan simbolis, imitasi
serta bayangan dalam mental. Pada tahap ini anak sangat egosentris.Tahap
praoperasional terbagi atas tahap simbolis (2-4 tahin) dan tahap intuitif (4-7/8
tahun). Tahap simbolis ditunjukkan oleh kemampuan anak menggunakan
bahasa sederhana meskipun pengertian tentang konsep masih kurang sempurna.
Sementara pada tahap intuitif, anak sudah dapat mengungkapkan isi hatinya.
3. Tahap Operasional Kongkrit (7-11 Tahun)
Anak sudah mulai menggunakan pikirannya untuk menghadapi
pengalaman secara langsung. Anak mampu mengklasifikasi, mampu melakukan
penjumlahan dan pengurangan dengan benda-benda kongkrit.
4. Tahap Operasional Formal (mulai 11/12 tahun)
Anak mulai memecahkan masalah yang dihadapi dengan
mempertimbangkan situasi hipotetik. Penalaran anak mulai berkembang dengan
baik, anak sudah berfikir abstrak dan logis. Inteligensi dan bahasa merupakan
faktor yang berperan dalam proses perkembangan kognitif.
Thomas (dalam Suharmini, 2007) menjelaskan empat faktor penentu
perkembangan kognitif yaitu:
a. Pembawaan (herediter) atau internal maturation
b. Pengalaman fisik dengan dunianya
c. Pendidikan
d. Keseimbangan atau equilibrium
Kelainan atau gangguan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus
mempengaruhi perkembangan kognitifnya. Seperti pada anak tunanetra dan
tunadaksa yang akibat kelainannya mengalami keterbatasan dalam gerak atau
motorik. Anak tunarungu dengan permasalahan pada perkembangan struktur
kognitif, inteligensi dan masalah perkembangan bahasanya. Anak tunagrahita dan
down syndrome dengan keterbelakangan mentalnya menyebabkan kesulitan
memusatkan perhatian dan terganggu daya ingatnya. Anak autis yang 50%
mengalami hambatan dalam bahasa dan komunikasi. Begitu pula pada anak
kesulitan belajar yang dikarenakan ada permasalahan pada motorik dan persepsi
sehingga berpengaruh terhadap kemampuan kognitif.

B. Perkembangan Sosial-Emosi
Perkembangan sosial emosional menurut American Academy of Pediatrics
(2012) dalam Nurmalitasari (2015) adalah kemapuan anak untuk memiliki
pengetahun dalam mengelola dan mengekspresikan emosi secara lengkap baik
emosi positif, maupun negatif, mampu berinteraksi dengan anak lainnya atau
orang dewasa di sekitarnya, serta aktif belajar dengan mengeksplorasi lingkungan.
Perkembangan sosial emosional adalah proses belajar menyesuaikan diri untuk
memahami keadaan serta perasaan ketika berinteraksi dengan orang-orang di
lingkungannya baik orang tua, saudara, teman sebaya dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajaran sosial emosional dilakukan dengan mendengar, mengamati
dan meniru hal-hal yang dilihatnya. Teori perkembangan sosial-emosi masing-
masing dikemukakan oleh Erik Erikson dan Maslow sebagai berikut:
1. Teori Perkembangan Sosial Erik Erikson Erik
Teorinya ini disebut dengan Teori Psikosoaial yang mengatakan setiap
individu berjuang melakukan pencarian identitas diridalam tiap tahap
kehidupannya.Hal ini dikarenakan identitas merupakan pengertian dan
penerimaan, baik untuk diri sendiri maupun masyarakat. Menurut Erikson,
masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan
psikososial seorang individu. Peranan ini dimulai dari pola asuh orangtua
hingga aturan atau budaya masyarakat. Berikut ini merupakan tahapan
perkembangan psikososial seorang individu yaitu:
a. Kepercayaan vs Ketidakpecryaan (usia 0-1 tahun).
Pada tahap ini harus belajar menumbuhkan kepercayaan pada oranglain,
contohnya anak kepada ibunya. Jika anak tidak berhasil dalam tahap ini,
maka ia akan jadi anak yang mudah takut dan rewel.
b. Otonomi vs Malu dan Ragu-Ragu (usia 1-3 tahun).
Pada tahap ini anak mulai belajar kemandirian (otonomi), seperti makan
atau minum sendiri. Jika anak tidak berhasil pada tahap ini karena selalu
ditegur dengan kasar ketika proses belajar, maka anak akan menjadi pribadi
yang pemalu dan selalu ragu-ragu dalam melakukan sesuatu.
c. Inisiatif vs Rasa Bersalah (usia 3-6 tahun).
Pada tahp ini anak mulai memiliki gagasan (inisiatif) berupa ide-ide
sederhana. Jika anak mengalami kegagalan pada tahap ini, maka ia akan
terus merasa bersalah dan tidakmampu menampilkan dirinya sendiri.
d. Kerja Keras vs Rasa Inferior (usia 6-12 tahun).
Pada tahap ini anak mulai mampu berkerja keras untuk menyelesaikan
tugas-tugasnya dengan baik. Jika pada tahap ini anak tidak berhasil, maka
kedepannya anak akan menjadi pribadi yang rendah diri (minder) dan tidak
mampu menjadi pemimpin.
e. Identitas vs Kebingungan Identitas (usia 12-19 tahun).
Pada tahap ini individu melakukan pencarian atas jati dirinya
(identitasnya). Jika ia gagal pada tahp ini, mak ia akan merasa tidak utuh.
f. Keintiman vs Isolasi (usia 20-25 tahun).
Pada tahap ini individu mulai keintiman psikologis dengan oranglain.
Jika ia gagal pada tahap ini, maka ia akan merasa kosong dan terisolasi.
g. Generativitas vs Stagnasi (usia 26-64 tahun).
Pada tahap ini individu memiliki keinginan untuk menciptakan dan
mendidik generasi selanjutnnya. Jika ia tidakberhasil dalam tahap ini, maka
ia akan merasa bosan dan tidak berkembang.
h. Integritas vs Keputusan (usia 65 tahun ke atas).
Pada tahap ini individu akan menelaah kembali apa saja yg sudah ia
lakukan dan ia capai dalam hidupnya. Jika ia berhasil pada tahp ini, maka ia
akan mencapai integritas (penerimaan akan kekurarangan diri, sejarah
kehidupan, dan memiliki kebijakan), sebaliknya jika ia gagal, maka ia akan
merasa menyesal atas apa yg telah terjadi dalam hidupnya.

2. Teori Perkembangan Emosi Maslow


Menurut Maslow seorang individu dapat berhubungan dengan dunia
melalui dua cara, yaitu D-realm atau deficiency (kekurangan) dimana manusia
bertahan hidup dengan cara berusaha memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya.
Setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi, maka manusia akan beranjak ke tahap B-
realm atau being (menjadi), dimana manusia memiliki motivasi untuk mencari
aktuailisasi dirinya dan pengayaan dari keberadaannya. Maslow mencetuskan
sebuah Teori ini disebut sebagai Hierarki Kebutuhan Maslow, yang meliputi:
a. Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan fisik yang paling dasar seperti rasa
lapar, haus, dan lelah.
b. Kebutuhan akan rasa aman, yaitu kebutuhan akan rasa keselamatan,
kestabilan, proteksi, struktur, keteraturan, hukum, batasan, dan bebas dari
rasa takut.
c. Kebutuhan memiliki dan cinta, yaitu kebutuhan memiliki hubungan yang
harmonis dengan oranglain, seperti keluarga, pasangan, anak, dan teman.
d. Kebutuhan rasa percaya diri, yaitu kebutuhan akan perasaan kuat, menguasai
sesuatu, kompetensi, dan kemandirian. Juga kebutuhan akan perasaan
dihormati oleh oranglain, status, ketenaran, dominansi menjadi orang
penting, serta harga diri dan penghargaan.
e. Kebutuhan aktualisasi diri dan metaneeds, yaitu kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri dengan mengembangkan diri dan melakukan sesuatu
yang dikuasai.Contohnya adalah seorang musisi yang menciptakan lagu dan
seorang pengusaha yang sukses. Kebutuhan aktualisasi diri ini memayungi
metaneeds, dimana sebagian metaneeds ini merupakan merupakan
kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Sebagai contoh kebutuhan akan
keadilan, keteraturan, kebebasan melakukan sesuatu dan berpendapat, serta
mencari informasi dan membela diri sendiri. Sedangkan sebagian lainnya
adalah kebutuhan yang lebih mengacu pada keindaan, seperti kecantikan dan
kesederhanaan.
Selain dukungan lingkungan, dukungan sosial juga dibutuhkan anak
berkebutuhan khusus dalam dinamika psikologisnya. Dukungan sosial
merupakan persepsi seseorang terhadap dukungan yang diberikan orang lain
dalam jaringan sosialnya yang membantu meningkatkan kemampuan diri untuk
bertahan dari pengaruh-pengaruh yang merugikan.
Hallahan menjelaskan bahwa dukungan sosial dapat meliputi dukungan
emosional, informasi atau materi alat bantu yang diberikan. Dalam sebuah
penelitian tentang perkembangan anak diperoleh kesimpulan bahwa para
orangtua, sekolah-sekolah, para penyedia jasa layanan masyarakat dan berbagai
pihak dapat membantu anak-anak berkembang menjadi orang dewasa yang
sehat dan produktif dengan bekerjasama membangun lingkungan yang sehat
secara sosial. Hal ini diharapkan berlaku juga terhadap perkembangan
psikologis anak berkebutuhan khusus. Dalam Hallahan (2009) dikatakan bahwa
para ahli pun kini mengakui bahwa anak berkebutuhan khusus dapat
memperoleh keuntungan besar dari dukungan sosial yang diberikan orang lain .
Tersedianya dukungan sosial untuk mereka yang tengah mengalami krisis
secara umum akan meningkatkan kesejahteraan psikologis dan kualitas
kehidupan keluarga.

C. Perkembangan Kepriadian
Anak berkebutuhan khusus dulu disebut (anak luar biasa) didefinisikan
sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk
mengembangan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna. Anak luar biasa,
juga dapat didefinisikan sebagai anak yang berkebutuhan khusus. Anak luar biasa
disebut sebagai anak yang berkebutuhan khusus, karena dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan bantuan layanan
pendidikan, layanan sosial, layanan bimbingan dan konseling, dan berbagai jenis
layanan lainnya yang bersifat khusus (Abdullah, 2013).
Allport (Noviyanti & Lachowicz, 2008) mendefinisikan kepribadian sebagai
“Organisasi dinamik dalam diri individu yang tersusun dari system psikofisis yang
menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya”, dalam definisi
tersebut tersirat pengertian penting, yaitu :
1. Dinamik, berarti kepribadian itu pada hakekatnya selalu berubah dan terungkap
dalam bentuk kualitas tingkah laku.
2. Organisasi, berarti bahwa kepribadian bukan hanya sekedar kumpulan sifat-
sifat (trait) tetapi merupakan sifat-sifat yang mempunyai hubungan timbal balik.
Bila hubungan timbal balik itu berubah, maka beberapa sifat menjadi dominan
dan beberapa sifat menjadi lemah, dalam hal ini berhubungan dengan
perubahan pada diri anak dan perubahan pada lingkungan.
3. System psikofisis dapat diartikan sebagai kebiasaan, sikap, keyakinan, keadaan
emosional, perasaan, motif yang bersifat psikologis tetapi mempunyai dasar
neural dan glandular (syaraf dan kelenjar), maupun keadaan fisik secara
keseluruhan. System ini berdasarkan pada factor keturunan yang berkembang
melalui proses belajar anak melalui pengalaman-pengalamannya. System
psikofisis ini merupakan daya penggerak yang menentukan penyesuaian diri
anak. Karena pengalaman yang dialami anak berbeda-beda, penyesuaian yang
dilakukan itu bersifat unik.
Pola kepribadian terdiri dari dua komponen, yaitu komponen inti yang
disebut konsep diri dan komponen penunjang yang disebut sifat (trait). Pola
kepribadian orang normal dan yang abnormal dibedakan berdasarkan derajat
organisasinya. Pola kepribadian yang normal terorganisasi, komponen-
komponennya menunjukkan hubungan yang erat dan berstuktur, sedangkan
kepribadian orang abnormal menunjukkan disorganisasi. Stabilitas konsep diri
seseorang tergantung dari beberapa hal antara lain:
1. Perlakuan yang tidak konsisten yang menyebabkan perbedaan perlakuan di
dalam keluarga dan perlakuan diluar keluarga, dan
2. Kesenjangan antara konsep diri real dan konsep yang dicita-citakan.
Komponen kepribadian terdiri dari konsep diri dan sifat (trait) (Rafid, 2018).
Konsep diri dibedakan menjadi: konsep diri yang riil (siapa dia yang
sesungguhnya), yang ada dalam kenyataan; dan konsep diri yang ideal (gambaran
diri yang diinginkan seseorang). Konsep diri ini mempunyai aspek psikologis dan
aspek fisik. Aspek fisik terdiri atas konsep individu mengenai penampilan dirinya,
keselarasan penampilan jenis kelaminnya, hubungan antar tubuhnya dalam
hubungan dengan manusia lain. Aspek psikologis terdiri dari konsep individu
mengenai kemampuan dan ketidakmampuannya, arti dirinya dan hubungan dirinya
dengan orang lain. Pada awalnya kedua aspek ini terpisah namun dengan
berkembangnya seorang anak, kedua pihak ini akan menjadi suatu kesatuan
(Saputra, 2013).
Sifat merupakan kualitas tingkah laku atau pola penyesuaian diri yang
bersifat spesifik seperti reaksi terhadap frustasi, cara untuk menyelesaikan masalah,
tingkah laku penampilan diri atau menarik diri dalam pergaulan dengan orang lain.
Trait terintegrasi dan dipengaruhi oleh konsep diri. Trait menunjukkan dua
karakteristik, yaitu: (1) Individualitas; terungkap dalam variasi kualitas sifat
tertentu. (2) Konsisten; yang terungkap dalam tingkah laku yang serupa yang
dilakukan seseorang dalam situasi dan kondisi yang hampir sama.
Berbagai hasil penelitian Sholeh (2015) menunjukkan bahwa terdapat
beberapa perbedaan sifat kepribadian antara anak tunanetra dengan anak awas.
Ada kecenderungan anak tunnetra relative lebih banyak yang mengalami
gangguan kepribadian dicirikan dengan introversi, neurotic, frustasi dan regiditas
(kekakuan) mental. Namun demikian, disisi lain terdapat pula hasil-hasil penelitian
yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam hal
penyesuaian diri antara anak yang tunanetra dengan anak awas. Dalam hal tes
kepribadian dikemukakan pula bahwa tes-tes kepribadian yang sudah standarpun
tidak secara khusus diperuntukkan bagi tunanetra. Situasi kehidupan yang berbeda
antara anak tunanetra dengan anak awas seringkali menimbulkan tafsiran yang
berbeda pula terhadap sesuatu yang diajukan (Bennett, 2014).
Perkembangan kepribadian banyak ditentukan oleh hubungan antara anak
dan orang tua terutama ibunya. Lebih-lebih pada masa awal perkembangannya.
Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau perluasan pengalaman
pada umumnya dan diarahkan pada factor anak sendiri. Pertemuan antara factor-
faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidak mampuan menerima rangsang
pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan
inteligensi dihubungankan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat
perkembangan kepribadiannya (Wasito, Sarwindah, & Sulistiani, 2010).
Pada anak terbelakang ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda
dengan anak normal, akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat
memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu.
Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit mengungkapkan
kekaguman. Kanak-kanak dan penyesuaian sosial merupakan proses yang saling
berkaitan. Kepribadian social mencerminkan cara orang tersebut berinteraksi
dengan lingkungan. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman penyesuaian diri sangat
besar pengaruhnya terhadap kepribadian.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Mc Iver dengan menggunakan
Children’s Personality Questionare ternyata anak-anak tunagrahita mempunyai
beberapa kekurangan. Anak tunagrahita pria memiliki kekurangan berupa tidak
matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya,
impulsive, lancing, dan merusak. Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi,
kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri, dan cenderung melanggar
ketentuan. Dalam hal lain, anak tunagrahita sama dengan anak normal.
Kekurangan-kekurangan dalam kepribadian akan berakibat pada proses
penyesuaian diri.
Selanjutnya pada perkembangan kepribadian anak tunadaksa mempunyai
dua tipe masalah (Tua, Masyarakat, & Winarsih, 2013): (1) Masalah penyesuain
diri yang mungkin terjadi pada kemajuan perkembangan yang normal yang
dialami setiap individu yang pada saat bersaman juga berusaha untuk memperluas
ruang gerak dirinya serta mempertahankan konsep diri (self concept) yang sudah
dimilikinya. (2) Masalah penyesuaian diri yang semata-mata merupakan gabungan
dari kenyataan bahwa keadaan tunadaksa yang bersifat fisik merupakan hambatan
yang terletak antara tujuan (goal) dan keinginan untuk mencapai tujuan tersebut.
Perkembangan kepribadian individu secara keseluruhan dipengaruhi oleh
banyak hal, antara lain (Widati, n.d.):
1. Tingkat ketidakmampuan akibat ketunadaksaan. Factor ketidak mampuan fisik
sering menimbulkan hambatan psikologis bagi anak tunadaksa terutama jika
dikaitkan dengan perilaku dan penerimaan orang normal disekitarnya.
2. Usia ketika ketunadaksaan itu terjadi, sampai batas tertentu berpengaruh
terhadap laju perkembangan individu. Ketunadaksaan yang dialami pada usia
yang lebih besar akan menunjukkan efek yang lebih kecil terhadap
perkembangan fisik, namun menimbulkan efek yang lebih besar pada
perkembangan psikologis yang bersangkutan.
3. Nampak atau tidaknya kondisi tunadaksa, menunjukkan pengaruh terhadap
perkembangan kepribadian individu, terutama mengenai gambaran tubuhnya
(body image). Factor Nampak dan tidaknya kelainan ini memiliki pengaruh
yang demikian besar dalam menentukan sikap lingkungan terhadap anak
tunadaksa maupun sikap anak tunadaksa terhadap lingkungannya. Anak-anak
tunadaksa pada umumnya menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif.
Hal demikian berhubungan dengan gambaran tubuh yang dimilikinya.
Disamping itu pengaruh ketunadaksa terhadap perkembangan kepribadian
individu ditentukan juga oleh nilai psikologis bagian tubuh yang mengalami
kelainan tersebut.
4. Dukungan keluarga dan dukungan masyarakat terhadap anak tunadaksa
memiliki pengaruh yang besar karena sikap keluarga dan masyarakat tersebut
mempengaruhi perkembangan kepribadian anak tersebut. Orang tua atau
masyarakat yang menunjukkan sikap menolak akan mengakibatkan anak
tunadaksa merasa rendah diri, merasa tidak berdaya, merasa tidak pantas,
merasa frustasi, merasa bersalah, merasa benci, dan sebagainya. Sepertinya
telah dikemukakan bahwa dalam pembentukan self respect pada anak yang
terpenting adalah menghargai anak dengan jalan menerima anak apa adanya
sehingga anak merasa bahwa dirinya ada sebagai suatu pribadi/individu. Tidak
adanya self respect pada anak tunadaksa akan mengakibatkan mudah timbulnya
ketegangan. Sedikit saja anak mengalami kesulitan maka ia akan merasa bahwa
hal itu tidak akan mungkin dapat ia hadapi.
5. Sikap masyarakat terhadap anak tunadaksa menunjukan pengaruh yang sangat
menentukan terhadap perkembangan kepribadian individu yang bersangkutan.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan pandangan masyarakat dewasa ini yang
memandang ukuran keberhasilan seseorang dari prestasi yang dicapainya.
Keterbatasan yang disandang tunadaksa, yang menghambatnya untuk
berprestasi seperti anak-anak normal dapat menimbulkan rasa tidak aman dan
kecemasan yang mengganggu perkembangan kepribadian anak tersebut. Dalam
menghadapi situasi seperti itu, anak-anak tunadaksa melakukan berbagai upaya
menghindari tuntutan untuk berhasil dengan cara-cara yang masih dapat
diterima oleh masyarakat. Tindakan seperti itu seringkali menimbulkan
hambatan-hambatan terhadap perkembangan kepribadian anak. Misalnya
dengan munculnya perasaan terpojok, tidak mempunyai kesempatan untuk
meraih sukses, memiliki tujuan yang tidak relistik, dan sebagainya.
(Desiningrum, 2017).
Lingkungan yang paling dekat dengan anak adalah lingkungan keluarga.
Berbagai gaya pola asuh dari orangtua yang mempengaruhi perkembangan
psikologis anak diantaranya sebagai berikut:
1. Pola Otoriter
Gaya pengasuhan yang membatasi dan menggunakan hukuman untuk menuntut
anak agar mengikuti perintah – perintah orang tua.
2. Pola Otoritatif
Mendorong anak agar belajar mandiri dengan masih menetapkan batas – batas
yang diberikan orang tua, sehingga tindakan – tindakan anak masih terkendali.
Pola ini memungkinkan musyawarah secara verbal dan ekstensif, adanya
kehangatan dan pertunjukan kasih sayang dari orang tua ke anak.
3. Pola Permisif
Terbagi menjadi dua yaitu permisif indifferent dimana orang tua tidak terlibat
dalam kehidupan anak sehingga anak menjadi inkompeten secara sosial dan
kekurangan kendali diri. Sedangkan pola permisif indulgent dimana orang tua
terlibat dalam kehidupan anak melalui pemanjaan dengan sedikit batasan atau
kendali terhadap tingkah laku anak, sehingga anak menjadi inkompeten secara
sosial dan juga kurang dapat mengendalikan diri.
Interaksi antara individu dengan lingkungan dipandang positif apabila
interaksi tersebut berlangsung dalam proses yang saling menguntungkan (mutual)
dan fiingsional. Fungsional artinya lingkungan tersebut mampu memberikan
kemudahan, kesempatan atau peluang, stimulasi atau dorongan, dan keteladanan
bagi berkembangnya fitrah, potensi, atau kompentensi pribadi individu secara
bermakna (Somad, 2012). Oleh karena itu, agar anak berkebutuhan khusus dapat
berkembang optimal maka sangat penting untuk memperhatikan penerimaan
lingkungan terhadap dirinya.
BAB IV
PRINSIP PERKEMBANGAN MOTORIK, BAHASA
DAN BICARA, KOGNITIF, EMOSI DAN SOSIAL ABK

Tujuan :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip perkembangan motorik anak
berkebutuhan khusus
2. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip perkembangan bahasa dan bicara anak
berkebutuhan khusus
3. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip perkembangan kognitif anak
berkebutuhan khusus
4. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip perkembangan emosi dan sosial anak
berkebutuhan khusus

A. Prinsip perkembangan motorik


Pada umumnya bayi memiliki gerakan refleks,seperti refleks mencari
(Rooting reflex), refleks menghisap (Sucking reflex), refleks memeluk (Moro-
reflex), refleks mengenggam (Grasping-reflex), dan refleks mengenggam kaki
(Babinski-reflex). Berat dan panjang bayi ketika dilahirkan berkisar antara 2,5-
4,0 kg dan 45-55 cm. Perkembangan fisik sangat berpengaruh terhadap
anak,karena kita bisa mengetahui apa saja yang dapat/tidak dapat dilakukan
oleh anak.
Menurut Soemantri (2005) menjelaskan bahwa perkembangan fisik
meliputi penambahan tinggi dan berat badan, peningkatan kemampuan
psikomotorik,pertumbuhan otot-otot dan lemak tubuh. Perkembangan fisik ini
berpengaruh pada penampilan, koordinasi motorik, kualitas tingkah laku, dan
status kematangan anak. Perkembangan motorik merupakan proses tumbuh
kembang kemampuan gerak seorang anak. Setiap gerakan yang dilakukan anak
merupakan hasil pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem
dalam tubuh yang dikontrol oleh otak.
Perkembangan motorik meliputi :
1. Perkembangan Motorik Kasar (Gross Motor)
Motorik kasar yaitu gerakan yang banyak dilakukan menggunakan otot-
otot kasar yang digunakan untuk melakukan aktivitas berlari, memanjat,
melompat atau melempar.
2. Perkembangan Motorik Halus (Fine Motor)
Motorik halus yaitu gerakan yang banyak dilakukan menggunakan otot-
otot halus, cenderung hanya digunakan untuk aktivitas menggambar,
meronce, menggunting, menempel atau melipat.

B. Prinsip Perkembangan Bahasa-Bicara


Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh seorang dalam
berkomunikasi dengan orang lain.Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh
lingkungan, karena bahasa pada dasarnya merupakan hasil belajar dari
lingkungan. Anak (bayi) belajar bahasa seperti halnya belajar yang lain,
“Meniru” dan “mengulang” hasil yang telah didapatkan merupakan cara belajar
bahasa awal. Perkembangan bahasa adalah meningkatnya kemampuan
penguasaan alat berkomunikasi, baik alat komunikasi lisan, tertulis, maupun
menggunakan tanda-tanda seperti isyarat.
Faktor-faktor yang memperngaruhi perkembangan bahasa menurut Sunarto
dan Agung Hartono (2006:139-140)
1. Umur anak, yaitu faktor fisik akan ikut mempengaruhi sehubungan semakin
sempurnanya pertumbuhan organ bicara, kerja otot-otot untuk melakukan
gerakan-gerakan dan isyarat
2. Kondisi lingkungan, tempat anak tumbuh berkembang sangat berpengaruh.
3. Kecerdasan anak, yaitu kemampuan untuk meniru linngkungan tentang
bunyi atau suara, gerakan dan mengenal tanda-tanda,memerlukan
kemampuan motorik yang baik
4. Status sosial ekonomi keluarga,keluarga yang berstatus sosial ekonomi baik,
akan mampu menyediakan situasi yang baik bagi perkembangan bahasa
anak-anak dan anggota keluarganya
5. Kondisi fisik, Perkembangan bahasa seorang anak menurut Clara dan
William Stern, ilmuan bangsa Jerman, dibagi dalam 4 masa :
a. Kalimat satu kata (1 tahun – 1 tahun 6 bulan )
Dalam masa pertama ini,seorang anak mulai mengeluarkan suara-
suara raban yakni permainan dengan tenggorokan, mulut dan bibir supaya
selaput suara menjadi lebih lembut. Selain itu masa ini seorang anak
sudah dapat menirulan suara-suara walaupun tidak begitu sama persis
dengan bunyi aslinya. Dimasa ini juga mulai terbentuknya satu kata.
Anak sudah mulai bisa mengucapkan seperti “Ibu” dll.
b. Masa memberi satu nama ( 1,5 tahun – 2 tahun)
Dalam masa kedua ini terjadi masa apa itu, masa dimana mulai
timbul suatu dorongan dalam diri seorang anak untuk mengeatahu banyak
hal.Inilah yang menyebabkan anak akan sering bertanya apa ini? Apa itu ?
siapa ini? dll. Dan dimasa ini kemampuan anak merangkai kata mulai
meningkat. Dulu hanya bisa satu kata, bertambah menjadi dua kata,tiga
kata hingga lebih sempurna.
c. Masa kalimat tunggal ( 2 tahun – 2,5 tahun)
Dalam masa ketiga ini terdapat usaha anak untuk dapat berbahasa
dengan lebih baik dan sempurna. Anak mulai bisa menggunakan kalimat
tunggal serta menggunakan awala dan akhiran pada kata.Namun tak
jarangan anak membuat kata-kata baru yang lucu didengar dengan
menggunakan caranya sendiri.
d. Masa kalimat majemuk ( 2 tahun 6 bulan dst)
Ditahap ini seorang anak sudah dapat mengucapkan kalimat yang
lebih panjang dan sempurna,baik berupa kalimat manjemuk dan berupa
pertanyaan,sehinga susunan bahasanya terdengar lebih sempurna.
C. Prinsip Perkembangan Kognitif
Kognitif adalah persoalan yang menyangkut kemampuan untuk
mengembangkan kemampuan rasional (akal). Fungsi kognisi yaitu
mengakibatkan individu memperoleh pengetahuan dan menggunakannya
sehingga muncul organisasi,yaitu kecendrungan untuk menghasilkan struktur
kognitif yang kompleks,yakni sistem pengetahuan atau cara berpikir yang
makin sempurna.
Perkembangan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif menurut Piaget
berlangsung mengikuti suatu sistem atau prinsip atau teknik keseimbangan
(seeking equilibrium)dengan menggunakan dua cara yaitu assimilasi dan
akomodasi.Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui tiga
proses yaitu :
1. Organisasi
Yaitu istilah yang digunakan Piaget untuk mengintegrasikan
pengetahuan kedalam sistem-sistem.Organisasi yaitu sistem pengetahuan
atau cara berfikir.
Contoh : Anak lakilaki yang berumur 4 bulan mampu untuk menatap dan
menggenggam objek. Setelah itu dia berusaha menggabungkan
dua kegiatan ini (menatap dan mengenggam) dengan
mengenggam objek-objek yang dilihatnya.
2. Adaptasi
Merupakan cara anak untuk memperoleh informasi baru dengan
mempertimbangkan apa yang telah mereka ketahui. Adaptasi ini
dilakukan dengan 2 langkah, yaitu :
a. Asimilasi
Adalah proses individu mengatasi situasi-siatuasi dan persoalan-
persoalan baru dengan menggunakan skema yang ada pada dirinya
tanpa mengubahnya.
Contoh : Bayi akan menggenggam mainan maka ia menggunakan
skema menggenggam mainan yang sudah dimilikinya.
b. Akomodasi
Merupakan proses inividu dalam mengatasi situasi-situasi atau
perosalan-[ersoalan dengan mengubah skema yang sudah ada.
Contoh : Bila bayi menggenggam botol susu,pertama ia akan
menggunakan skema mengenggam yang sudah
dimilikinya,dilain waktu ia akan menyesuaikan skema
menggenggam yang dimilikinya bila ia meraih benda
lain,tangannya akan lebih disesuaikan agar dapat mengenggam
dengan tepat.
c. Ekuilibrasi
Merupakan proses menyeimbangkan asimilasi dan akomodasi
untuk menciptakan skema yang cocok dengan lingkungan.Dengan
ekuilibrasi maka individu mencapai keseimbangan antara aktivitas
individu terhadap lingkungannya dan antara lingkungan terhadap
individu.
Contoh : Bayi yag biasanya mendapat susu dari payudara ibu ataupun
botol, kemudian diberi susu dengan gelas tertutup (untuk
latihan minum dari gelas). Ketika bayi menemukan bahwa
menyedot air gelas membutuhkan gerakan mulut dan lidah
yang berbeda dari yang biasa dilakukannya saat menyusu dari
ibunya, maka si bayi akan mengakomodasi hal itu dengan
akomodasi skema lama. Dengan melakukan hal itu, maka si
bayi telah melakukan adaptasi terhadap skema menghisap yang
iamiliki dalam situasi baru yaitu gelas. Jadi, asimilasi dan
akomodasi berkejasama sehingga menghasilkan ekulibrasi.
D. Prinsip Perkembangan Sosial dan emosi
1. Mulainya perilaku sosial
Pada waktu lahir, bayi tidak suka bergaul dengan orang lain.
Selama kebutuhan fisik mereka terpenuhi, mereka tidak mempunyai
minat terhadap orang lain. Pada bulan pertama atau kedua sejak bayi
dilahirkan,mereka hanya berekasi dengan lingkungan mereka saja,
terlepas dari apakah itu manusia tau benda, Sosialisasi dalam bentuk
perilaku yang suka bergaul dimulai pada bulan ketiga. Ketika bayi dapat
membedakan antara manusia dan benda dilingkungan mereka. Pada saat
itu otot mereka cukup kuat dan terkoordinasi sehingga memungkinkan
untuk menatap orang atau benda dan mengikuti gerak orang atau benda
tsb.
2. Reaksi terhadap orang dewasa
Bayi mengeskpresikan kegembiraan terhadap orang lain dnegan
tersenyum,menyepakkan kaki,atau melambaikan tangan.Pada bulan
ketiga, bayi menangis ketika ditinggalkan sendirian dan mereka berhenti
menangis jika diajak berbicara atau dialihkan perhatiannya dengan suara
gemerincing dll. Pada bulan keempat, bayi melakukan penyesuaian jika
akan diangkat, memperlihatkan perhatian yang selektif terhadap wajah
orang, melihat ke arah orang yang meninggalkannya, tersenyum kepada
seseorang yang bicara dengannya, memperlihatkan kegembiraan terhadap
perhatian pribadi dan tertawa bila diajak bermain. Dari umur lima sampai
enam bulan, bayi berekasi secara berbeda kepada senyuman dan omelan,
dan dapat membedakan antara suara yang rama dan suara yang bernada
marah.
Pada usia enam bulan, gerak sosial mereka semakin agresif. Sebagai
contoh, bayi menarik rambut orang yang membawanya, memegang
hidung dan kacamatanya, dan meraba wajah orang tersebut. Pada umur
tujuh atau sembilan bulan, bayi berusaha menirukan suara pembicaraan
dan juga menirukan perbuatan dan isyarat yang sederhana. Pada umur 12
bulan, mereka dapat menahan diri untuk melakukan sesuatu sebagai
reaksi atau kata-kata “Jangan”. Mereka memperlihatkan ketakutan dan
ketidak suaan kepada orang yang tidak dikenal dengan menghindar dan
menangis jika ada orang yang tidak dikenal mendekati mereka. Dari umur
15 bulan, bayi memperlihatkan minat yang semakin bertambah terhadap
orang dewasa dan keinginan yang kuat untuk berada bersama atau
menirukan mereka. Pada umur dua tahun mereka dapat bekerjasama
dengan orang dewasa dalam sejumlah aktifitas sederhana,misalnya
membantu ketika dimandikan atau dikenakan baju. Dengan demikian,
jelas bahwa dalam jangka waktu yang realatif pendek bayi berubah dari
seseorang yang pasif,yang menerima perhatian lebih banyak dan
memberikan sedikit sebagai balasannya, menjadi orang yang aktif dan
berpartisipasi dalam aktivitas keluarga.
3. Reaksi terhadap bayi lain
Bayi memperhatikan bayi lain terjadi antara umur empat dan lima
bulan ketika mereka tersenyum kepada bayi lain atau memperlihatlan
perhatian pada tangis bayi lain.Hubungan yang ramah diantara bayi
biasnaya mulai antara umur enam bulan dan delapan bulan yang
mencakup melihat,dan meraba bayi lain.Usaha yang sering sekali
menimbulkan perkelahian. Antara umur 9 dan 13 bulan,bayi menyelidiki
bayi lain dengan cara menarik rambut atau bajunya, menirukan perilaku
dan suara bayi lain, dan untuk pertama kalinya memperlihatkan kerja
sama dalam menggunakan mainan. Jika sebuah mainan di ambil oleh bayi
lain,biasanya bayi menjadi marah, berkelahi dan menangis.
Rekasi sosial terhadap bayi lain dan anak-anak berkembang saat
umur 2 tahun,Pada umur 12 dan 13 bulan,bayi tersenyum dan tertawa
menirukan bayi lain.
4. Perkembangan sosial pada awal masa kanak-kanak
Dari umur 2 sampai 6 tahun, anak belajar melakukan hubungan sosial
dan bergai dengan orang-orang dluar lingkungan rumah,terutama dengan
anak-anak yang umumnya sebaya. Masa kanak-kanak awal sering disebut
“Usia Pragang” (pregang age). Pada masa ini sejumlah hubungan yang
dilakukan anak dengan anak lain meningkat dan sebagian menenntukan
bagaimana perkembangan sosial mereka.
Anak-anak yang mengikuti pendidikan prasekolah, misalnya
pendidikan untuk anak sebelum tk (nursry schoool), pusat pengasuhan
anak pada siang hari ( day care center), atau tk (kindergarden) biasanya
mempunyai sejumlah besar hubungan sosial. Anak yang mengikuti
pendidikan prasekolah melakuakan penyesuain yang lebih baik baik
dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan
prasekolah. Alasannya yaitu mereka dipersipakan secara lebih baik untuk
melakukan partisipasi yang aktif dalam kelompok dibanding dengan
anak-anak yang aktifitas sosialnya terbatas dengan anggota keluarga dan
anak-anak dari lingkungan tetangga.
Salah satu keuntungan pendidikan prasekolah adalah bahwa pusat
pendidikan tersebut memberikan pengalaman sosial dibawah bimbingan
para guru yang terlatih yang membantu mengembangkan hubungan yang
menyenangkan dan berusaha agar anak-anak tidak mendapat perlakuan
yang mungkin menyebabakan mereka menghindari hubungan sosial.
5. Hubungan dengan anak lain
Sejak umur tiga atau empat tahun,anak-anak mulai bermain
bersama dalam kelompok,berbicara satu sama lain pada saat bermain.
Semakin meningkatnya usia anak,pendekatan yang ramah meningkat dan
interaksi permainan semakin berkurang.Contohnya tahun demi tahun
anak laki-laki semakin melakukan pendekatan yang ramah tetapi juga
semakin melakukan pendekatan yang bermsuhan dengan anak lain.
6. Perkembangan sosial pada masa kanak-kanak akhir
Setelah anak memasuki sekolah dan melakukan hubungan yang lebih
bayak dengan anak lain,minat pada kegiatan keluarga berkurang. Emosi
merupakan suatu kompleksi suasana yang mempengaruhi perasaan atau
pikiran yang ditandai oleh perubahan biologis dan muncul sebelum atau
sesudah terjadinya suatu perilaku.
Mekanisme terjadinya emosi didahului dengan suatu kejadian (situasi)
yang mengaktifkan sistem saraf. Menimbulkan terjadinya perubahan
fisiologis di luar kesadaran (misalnya terjadi perubahan ekspresi wajah,
percepatan denyut jantung, keluarnya keringat). Emosi berperat penting
dalam perkembangan anak menurut (Hurlock 1991, Soemantri 2005,
Santrock 2007). Berikut dampak emosi :
a. Emosi menimbulkan kesenangan terhadap pengalaman sehari-hari
(After effect, efek yang dirasakan anak sesudah mengalami suatu
kejadian)
b. Emosi mempersiapkan tubuh anak untuk memberikan reaksi-reaksi
fisiologis yang menyertai emosi yang dialami
c. Ketegangan emosi menyebabkan terganggunya keterampilan motorik,
misalnya anak menjadi gugup
d. Emosi berperan sebagai bentuk komunikasi. Artinya, ketika seorang
anak menunjukkan emosinya melalui ekspresi maupun reaksi-reaksi
fisik,maka disitu anak menyampaikan perasaannya kepada orang lain.
e. Emosi merupakan sumber penilaian sosial dan penilaian diri.
f. Emosi mempengaruhi aktivitas mental secara umum. Ketika seseorang
mengalami konsisi emosi yang tidak menyenangkan,maka sangat
memungkinkan akan terjadi penurunan prestasi.
g. Emosi mempengaruhi pandangan seseorang terhadap kehidupan.Bila
seorang anak lebih sering mengalami emosi yang menyenangkan,
misalnya affection, happiness maka pandangan anak tentang
kehidupan positif
h. Respons emosional yang terus menerus akan menjadi kebiasan.
Ekspresi emosi yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi
kebiasaan anak
i. Emosi memancar pada ekspresi wajah dan tingkah laku seseorang.
Ketika seseorang mengalami emosi gembira maka wajahnya akan
berseri-seri
j. Emosi mempengaruhi iklim psikologis lingkungan sekelilingnya.
Misalnya dalam keluarga ada anakyang tempertantrum, maka anggota
keluarganya tsb sering sedih.
BAB V
PRINSIP PERKEMBANGAN ASPEK BERMAIN,
KREATIVITAS, MORAL, PERAN SEKS ABK

Tujuan :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Prinsip perkembangan aspek bermain ABK
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Prinsip perkembangan aspek kreativitas ABK
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Prinsip perkembangan aspek moral ABK
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Prinsip perkembangan aspek pean seks ABK

A. Prinsip perkembangan aspek bermain ABK


B. Prinsip perkembangan aspek kreativitas ABK
C. Prinsip perkembangan aspek moral ABK
D. Prinsip perkembangan aspek pean seks ABK
BAB VI
PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS
PADA ANAK TUNANETRA

Tujuan :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian tunanetra
2. Mahasiswa mampu menjelaskan faktor penyebab ketunanetraan
3. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan kognitif, motorik, emosi, social
dan kepribadian anak tunanetra
4. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah-masalah dan dampak ketunanetraan
bagi lingkungan

A. Pengertian tunanetra
Menurut Kauffman dan Hallahan (2006), berdasarkan sudut pandang
pendidikan ada dua kelompok gangguan penglihatan:
1. Anak yang tergolong buta akademis (Educationally blind) yakni anak tidak
dapat menggunakan penglihatannya lagi untuk tujuan belajar huruf cetak.
Program pembelajaran yang diberikan pada anak untuk belajar yakni melalui
visual senses (Sensori lain di luar penglihatan).
2. Anak yang melihat sebagian (The partially sighted/low vision). Anak dengan
penglihatan yang masih berfungsi secara cukup, diantara 20/70 – 20/200, atau
mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan normal tapi medan pandangan
kurang dari 20 derajat. Cara belajar yang utama untuk dapat memaksimalkan
penglihatannya adalah dengan menggunakan sisa penglihatan yang dimiliki
(Visualnya).
3. Menurut Barraga, 1983 (dalam Wardani dkk, 2007: 4.5) mendefenisikan
tunanetra yaitu anak yang mengalami ketidak mampuan melihat adalah anak
yang mempunyai gangguan atau kerusakan dalam penglihatannya sehingga
menghambat prestasi belajar secara optimal, kecuali jika dilakukan penyesuaian
dalam pendekatan-pendekatan penyajian pengalaman belajar, sifat-sifat bahan
yang digunakan, dan/atau lingkungan belajar.

B. Faktor penyebab ketunanetraan


Menurut Aqila Smart (2012: 36-44) penyebab ketunanetraan dapat ditinjau
dari pre-natal dan post-natal, antara lain sebagai berikut:
1. Pre-natal, faktor penyebab tunanetra pada masa pre-natal yaitu keturunan,
pertumbuhan anak didalam kandungan.
2. Post-natal, faktor penyebab tunanetra pada masa psot natal adalah Kerusakan
pada mata atau syaraf mata pada waktu persalinan, Pada waktu persalinan, ibu
mengalami penyakit gonorrhoe sehingga bakteri gonorrhoe menular pada bayi,
Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, Kerusakan mata
yang disebabkan terjadinya kecelakaan.

Berikut ini adalah penjelasan lebih mengenai faktor-faktor penyebab


tunanetra pada masa pre-natal dan post-natal:
1. Pre-natal (dalam kandungan)
Faktor penyebab tunanetra pada masa pre-natal sangat erat kaitanya dengan
adanya riwayat dari orang tuanya atau adanya kelainan pada masa kehamilan.
a. Keturunan
Pernikahan dengan sesama tunanetra dapat menghasilkan anak dengan
kekurangan yang sama, yaitu tunanetra. Selain dari pernikahan tunanetra,
jika salah satu dari orang tua memiliki riwayat tunanetra, juga akan
mendapatkan anak tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara
lain Retinitis Pigmentosa, yaitu penyakit pada retina yang umumnya
merupakan keturunan. Selain itu, katarak juga disebabkan oleh faktor
keturunan.
b. Pertumbuhan Anak di Dalam Kandungan
Ketunanetraan anak yang disebabkan pertumbuhan anak dalam
kandungan biasa disebabkan oleh :
1) Gangguan pada saat ibu hamil.
2) Adanya penyakit menahun, seperti TBC sehingga merusak sel-sel darah
tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.
3) Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubelia atau
cacar air dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telingga, jantung, dan
sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
4) Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma, dan tumor.
Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indra
penglihatan atau pada bola maya.
5) Kekurangan vitamin tertentu dapat menyebabkan ganguan pada mata
sehingga kehilangan fungsi penglihatan.

2. Post-natal
Post-natal merupakan masa setelah bayi dilahirkan. Tunanetra bisa saja
terjadi pada masa ini.
a. Kerusakan pada mata atau syaraf mata pada waktu persalinan, akibat
benturan alat-alat atau benda keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe sehingga bakteri
gonorrhoe menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir
mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya :
1) Xerphalmia, yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
2) Trachoma, yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
3) Catarac, yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa
mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
4) Glaucoma, yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola
mata sehigga tekanan pada bola mata meningkat.
5) Diabetik Retinopathy, yaitu gangguan pada retian mata yang disebabkan
oleh penyakit diabetes melitus. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh
darah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga
merusak penglihatan.
6) Mecular Degeneration, yakni kondisi umum yang agak baik, ketika
daerah tengah retina secara berangsur memburuk. Anak dengan
penglihatan perifer, tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat 30
secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
7) Retinopathy of prematurity, biasanya anak yang mengalami ini karena
lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir, bayi masih memiliki potensi
penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya
ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi
sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan
kadar oksigen yang adapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah
menjadi tidak normaldan meningalkan semacam bekas luka pada jaringan
mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala
(retina) dan tunanetra total.
8) Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti
masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya,
kecelakaan dari kendaraan, dan lain-lain.

C. Perkembangan kognitif, motorik, emosi, social dan kepribadian anak


tunanetra
1. Perkembangan Kognitif
Menurut Lowenfeld yang dikutip oleh Kingsley dalam Mason dan
McCall (DjajaRaharja, 1997: 26) menyatakan bahwa ketunanetraan pada
seseorang akan mengakibatkan tiga keterbatasan dasar dalam fungsi kognitif
yaitu:
a. Dalam lingkup dan keanekaragaman pengalaman
b. Dalam kemampuan berpindah pindah,
c. Dalam interaksi dengan lingkungan. Keterbatasan dalam lingkup dan
keanekaragaman pengalaman.
Hilangnya fungsi penglihatan pada siswa tunanetra memaksa dirinya
untuk menggantungkan pengamatannya tentang dunia luar pada indra indra
yang masih berfungsi seperti pendengaran, penciaman, pengecap,
perabaan dan kinestik, serta sisa penglihatan apabila masih ada. Indra-
indra ini tidak bisa memberikan gambaran yang utuh di luar jangkauan fisiknya.
Indra pendengaran mungkin bisa mengenal suatuobjek hanya apabila objek itu
bersuara, dan apabila objek itu tidak bersuara, maka objek itu tidak ada artinya.
Begitu pula dengan indra penciuman yang hanya dapat
memberikan jarak/arah dari suatu objek, tetapi tidak bisa memberikan gambara
n yang kongkrit tentang objek itu. Sama halnya dengan kedua indra diatas,
indra perabaan dan kinestik pun memiliki keterbatasan dalam hal pengamatan,
dimana harus terjadi kontak secara langsung dengan objek itu, tanpa ada kontak
objek itu pun tidak ada artinya bagitunanetra. Dan yang terakhir adalah indra
pengecapan yang keterbatasannya samadengan inndra perabaan dan kinestik,
yaitu memerlukan kontak secara langsung danhanya memberikan sifat rasa
suatu objek.
2. Perkembangan Emosi
Menurut Sutjihati Sumantri (1996 dalam Umi Layyina) salah satu
variabel determinan perkembanagn emosi anak ialah variabel organisme yakni
perubahan-perubahan yang terjadi bila seseorang mengalami emosi. Sedangkan
variabel lainnya ialah rangsangan atau stimulus yang menimbulkan emosi serta
respon atau jawaban terhadap rangsangan yang berasal dari lingkungan.
Kemampuan memberi reson dimulai sejak lahir berbentuk perilaku atau respon
motorik. Pola atau bentuk pernyataan emosi pada anak relatif tetap.
Perkembangan emosi pada anak tunanetra sedikit mengalami hambatan
karena memiliki kemampuan terbatas dalam proses belajarnya yang disebabkan
hambatan penglihatan yang dimiliki. Pada masa awal kanak-kanak anak
tunanetra akan mengalami proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan
emosinya, namun hal tersebut tidak terlalu berarti karena ia tidak dapat melihat
respon lingkungannya (Sutjihati Somantri dalam Umi Layyina). Sehingga pada
emosi yang ditampilkan tidak sesuai dengan harapan lingkungan.
Pada anak tunanetra cenderung mengungkapkan emosi secara non verbal.
Pernyataan ini dapat dilakukan secara tepat seiring bertambahnya usia,
kematangan intelektual, dan perolehan bahasa. Namun, bukan berarti anak
tunanetra tidk bisa menyatakan emosi dalam bentuk nonverbal seperti ekspresi,
dengan dilatih secara intensif anak tunanetra juga mampu menunjukkan
emosinya dengan nonverbal.
Perkembangan emosi anak tunanetra dapa terhambat apabila mengakami
dprivasi dimana ank tunanetra kurang memiliki kesempatan untuk mendapatkan
pengalaman emosional yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegenbiraan
dan pehatian. Jiks keadaan ini terjadi pada masa awal perkembangan maka anak
dapat menjadi menarik diri, egois, bergantung pada orang lain, serta menuntut
kasih sayang orang-orang di sekitarnya.
Masalah-masalah lain yang muncul dalam perkembangan emosi anak
tunanetra yakni gejala-gejala emosi yang berlebihan dan negatif, seperti rasa
takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati serta kesedihan yang
berlebihan. Hal tersebut disebabkan karena keterbatasan penglihatan sehingga
pengakaman-pengalaman visual yang berarti dalam perkembangan emosi
kurang dapat tersalurkan dengan baik.
3. Perkembangan Sosial
Kemampuan anak tunanetra sama dengan anak awas, namun kelambatan
dalam perkembangan sosial anak tunanetra banyak disebabkan karea sikap, dan
perilaku dari orang tua, keluarga, teman dan masyarakat pada umumnya sebagai
konsekuensi dari kecacatan mata yang diderita. Menurut Wesna (1995 dalam
Umi Layyina) tunanetra mengalami masalah penyesuaian sosial emosional.
Tunantra yang mengalami isolasi sosial menyebabkan timbulnya perilaku
stereotype sebagai manifestasi dari ketegangan. Pengalaman-pengalaman yang
menyakitkan, mengecewakan, tidak menyenangkan akan mendorong tunanetra
selalu bersikap hati-hati yang akhirnya menimbulkan rasa curiga pada orang
lain.
Kelambatan dalam perkembangan sosial juga disebabkan ketidak
mampuan anak tunanetra untuk menerima dan merespon rangsang visual.
Kurangnya rangsang visual menyebabkan anak tunanetra kurang dapat
mempelajari keterampilan sosial secara ;angsung yang dapat menimbulkan
salah persepsi sehingga menghambat perekembangan sosialnya.
4. Perkembangan Kepribadian
Perkembangan kepribadian anak tunanetra banyak di pengaruhi oleh
perlakuan yang datang dari lingkungan, sejak awal kehidupannya sampai
kepribadian anak tunanetra cenderung stabil pada usia sekitar 21 tahun. Dari
hasil penelitian tentang kepribadian anak tunanetra banyak dilaporkan
perkembangan kepribadian mengarah pada hal yang kurang positif.
Seringnya anak tunanetra mengalami kegagalanakan mengakibatkan anak
melakukan penilaian yang rendah terhadapdirinya dan cenderung meminta
perlindungan, sehingga dalam perkembangannya mengarah pada konsep
diriyang negatif (Tin Suharmini, 82: 2009).
Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa
perbedaan sifatkepribadian antara anak yang tunanetra dengan anak awas. Ada
kecenderungan anaktunanetra relatif lebih banyak yang mengalami gangguan
kepribadian yang dicirikandengan introfersi, neuritik, frustasi, dan rigiditas
(kekakuan) mental. Namun demikian disisi lain terdapat pula hasil-hasil
penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada terdapat perbedaan yang
berarti dalam hal penyesuaian diriantara anak yang tunanetra dengan anak awas.
Dalam hal tes kepribadian ditemukan pula bahwa tes-tes kepribadian yang
sudah standart pun tidak secara khusus di peruntukkan bagi tunanetra. Situasi
kehidupanyang berbeda antara anak tunanera dengan anak awas sering kali
menimbulkan tafsiran yang berbeda pula terhadap sesuatu hal yang diajukan.
Dalam hal peran konsep diri dalam penyesuaian terhadap lingkungannya,
(Dafiskirtley, 1975) menyatakan bahwa dalam proses perkembangan awal,
deferensiasikonsep diri merupakan sesuatu yang sulit untuk dicapai. Untuk
memasuki lingkungan baru seseorang anak tunanetra harus dibantu oleh
ibu atau orang tuanya melalui proses komunikasi verbal, memberikan semangat,
dan memberikan gambaran lingkungan tersebut sejelas-jalasnya, seperti anak
tunanetra mengenal tubuhnya sendiri.
Hasil penelitian lain juga menunjukan bahwa anak-anak tunanetra yang
tergolongsetengah melihat, memiliki kesulitan yang lebih besar dalam
menemukan konsep diridisbanding anak yang buta total. Kesulitan tersebut
dikarenakan mereka seringmengalami konflik identitas, dimana suatu saat ia
oleh lingkungannya disebut anak awastetapi pada saat yang lain disebut sebagai
anak buta atau tunanetra. Bahkan seringkaliditemukan anak-anak tunanetra
golongan ini mengalami krisis identitas yang berkepanjangan.
Konsep diri adalah salah satu determinan dari perilaku pribadi,
dengandemikian ketidakpastian konsep diri anak tunanetra akan memunculkan
masalah-masalah penyesuaian seperti dalam masalah seksual, hubungan pribadi,
mobilitas, dan kebebasan. Ada kecendrungan pula bahwa anak-anaktunanetra
setelah lahir akan sulitmenyeseuaikan dibandingkan dengan tunanetra sejak
lahir.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Blank (1957) tentang pengaruh faktor
ketidaksadaran terhadap perilaku anak buta, pada akhirnya berkesimpulan
bahwa dalam pandangan psikoanalis keberadaan mata memiliki signifikansi
dengan organ seksual dankebutaan dengan pengkebirian (crastation).
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa masalah-masalah emosional dan tingkah
laku yang dihadapi anak tunanetra dikarenakan sebab-sebab yang sama dengan
yang terjadi pada anak normal seperti gangguan relasi antaraorangtua dengan
anak pada masa kanak-kanak, gangguan organis dalam sistem sayas pusat,
faktor lkonstitsi tubuh, serta faktor-faktor ekonomis, pendidkan, medis, dan
tenaga profesional lain yang diperlukan anak tunanetra dan keluarganya.
Bagi anak tunanetra reaksi terhadap kebutaan juga diperlukan dalam
pembentukan pola tingkah laku selnjutnya. Bilamana kebutuhan tersebut terjadi
pada saat ego mulai berkembang maka pengalaman traumatic tidak akan dapat
dihindarinya, yaitu shock dan kemudian depresi, karena pada saat itu anak
mulai muncul kesadaran akan dirinya secara luas. Berdasarkan pengamatan
sehari-hari diketahui bahwa anak tunanetra juga sering menunjukkan
karakteristik perilaku tersendiri yang berbeda dengan orang normal. Perilaku
khusus tersebut muncul sebagai kompensasi dari ketunanetraannya.
Menurut Adler seseorang berkembang karena perasaan rendah diri, dan
perasaan inilah yang mendorong seseorang bertingkahlaku mencapai rasa superi
or, sehingga perkembangan itu terjadi. Konpensasi adalah salah satu cara untuk
mencapai rasa superior tersebut. Perilaku-perilaku khas dan sifatnya konpen
satoris pada anak tunanetra yang sering dijumpai terutama pada usia dewasa
diantaranya ialah pertahanan dirinya yang kuat. Anak tunanetra cenderung
bertahan dengan ide atau pendapatnya yang belum tentu benar menurut
penilaian umum.
Di samping itu Sukini Pradopo (1976) mengemukakan gambaran sifat
anak tunanetra diantaranya ialah ragu-ragu, rendah diri, dan curiga pada orang
lain. Sedangkan Sommper menyatakan bahwa anak tunanetra cenderung
memiliki sifat-sifat takutyang berlebihan, menghindari kontak sosial,
mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain, serta tidak mengakui
kecacatannya.
5. Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik anak tuanaetra cenderung lambat dibandingkan
dengan anak awas pada umumnya. Keterlambatan ini terjadi karena dalam
perkembanagn perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi fungsional anata
neuromuscular system (sistem persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif,
afektif dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan.

Pada anak tunanetra mungkin fungsi neuromuscular system tidak


bermasalah tetapi fungsi psikisnya kurang mendukung serta menjadi hambatan
tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Secara fisik, mungkin anak
mampu mencapai kematangan sama dengan anak awas pada umumnya, tetapi
karena fungsi psikisnya (Seperti pemahaman terhadap realitas lingkungan,
kemungkinan mengetahui adanya bahaya dan cara menghadapi, keterampilan
gerak yang seba terbatas, serta kurangnya keberanian dalam melakukan sesuatu)
mengakibatkan kematangan fisiknya kurang dapat dimanfaatkan secara
maksimal dalam melakukan aktivitas motorik. Hambatan dalam fungsi psikis
ini secara langsung atau tidak langsung terutama berpangkal dari
ketidakmampuannya dalam melihat.

D. Masalah-masalah dan dampak ketunanetraan bagi lingkungan


Permasalahan yang ditimbulkan karena ketunanetraan saling berkaitan
sehingga ketika suatu masalah timbul sering kali menimbulkan masalah yang lain,
hingga penanganannya memerlukan penanganan yang tepat dan solusinya pun
harus berkaitan.
Jika seseorang mengalami kerusakan pada penglihatannya, maka ia
mengalami banyal keterbatasan. Perbedaan yang ada di antara mereka yang dapat
melihat dan yang tidak dapat melihat adalah dalam hal pengalaman-pengalaman
taktik dan visual. Pada anak tunanetra biasanya lebih bergantung pada informasi
taktil dan auditif untuk belajar tentang dunia dibandingkan anak normal. Hal-hal
yang menghambat dapat teratasi melalui kemampuan pendengaran (auditoris) dan
perabaan (taktil). Contohnya dalam melatih anak tunanetra untuk menggunakan
strategi seperti membandingkan perbedaan panjang ke ukuran tubuh atau
perbedaan bunyi bila diketukkan ke meja, maka dengan begitu perkembangan
taktil atau perabaannya akan semakin baik. Hal ini juga tidak terlepas dari
dukungan orangtua atau guru agar menggunakan instruksi yang jelas dan secara
berulang mengenai suatu konsep terhadap anak.
Dalam hal inteligensi, anak tunanetra memiliki tingkat kecerdasan yang
umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata, hal ini nampak pada keterbatasan
respon yang diberikan oleh anak, sesuai dengan pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan yang terbatas pula. Tes untuk mengukur inteligensi anak tunanetra
sukar diterapkan terutama tidak terukurnya tes performance sehingga hanya
melalui tes verbal.
Menurut Sumantri (2012: 87) dalam menangani anak tunanetra perlu di
upayakan melalui layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan,dan kesempatan
yang luas yang dilaksanakan secara terpadu dan multidisipliner untuk mencegah
jangan sampai permasalahan tersebut muncul, meluas dan mendalam yang
akhirnya akan merugikan perkembangan penderita tunanetra. Permasalahan
individu tunanetra menurut hidayat (2006), yaitu:
1. Disekolah
Masalah pengajaran mencakup kesulitan dalam proses belajar anak
berupa kesulitan dalam menangkap pelajaran secara verbalistik, menggunakan
buku-buku, cara belajar baik sendiri maupun kelompok, kesulitan dalam
memilih metode belajar yang tepat, kesulitan dalam membaca dan menulis,
keterbatasan perabaan, pendengaran dan ingatan serta sarana yang diperlukan
dalam proses pembelajaran yang terbatas.
2. Dilingkungan keluarga
a. Sebagian orang awam menganggap bahwa ketunanetraan yang terjadi pada
anak diakibatkan oleh dosa orang tuanya sehingga anak menjadi “wadal”
dari dosa yang diperbuat orang tua. Asumsi sebagian masyarakat tersebut
seringkali dijadikan bahan olok-olokan bagi konsumsi masyarakat.
b. Sebagian orang berpendapat pula bahwa ketunanetraan yang terjadi yang
terjadi di akibatkan oleh penyakit atau kelainan yang di derita orang tuanya.
3. Dilingkungan masyarakat
Dampak yang di akibatkan ketunanetraan bagi masyarakat, yaitu Ketidak
percayaan masyarakat kepada penderita tunanetra mengenai segala aspek yang
dimilikinya, seperti keterampilan, kelayakan untuk bekerja dan sebagainya.
4. Bagi anak
Dampak yang diterima orang tua dari ketunanetraan anaknya terkadang
menimbulkan reaksi yang berbeda kepada anaknya. misalnya :
a. Dalam pendidikan, orang tua sering kali tidak percaya bahwa anak tidak
perlu layanan pendidikan secara khusus dan menyangal bahwa akhirnya
prestasinya rendah.
b. Perlindungan yang berlebihan, ketunanertraan dirasakan sebagai akibat dari
perasaan bersalah atau berdosa. Sikap ini cenderung menghambat
perkembangan dan kematangan anak terutama dalam kemandirian.
c. Penolakan secara tertutup, reaksi ini ditunjukkan dengan sikap
menyembunyikan anaknya dari masyarakat.
d. Penolakan secara terbuka, yaitu tidak menerima kehadiran anaknya, bersikap
masa bodoh dan tidak peduli dengan segala kebutuhan anak.
e. Reaksi/sikap keluarga terhadap kelainan yang menimpa salah satu anaknya
dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya tingkat pendidikan, latar
belakang budaya, status sosial ekonomi keluarga dan lain-lain.
BAB VII
PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS
PADA ANAK TUNARUNGU

Tujuan :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dan klasifikasi gangguan pendengaran
2. Mahasiswa mampu menjelaskan pengaruh pendengaran pada perkembangan
bicara dan bahasa
3. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan kognitif anak tunarungu
4. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan emosi anak tunarunga
5. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan sosial anak tunarungu
6. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah-masalah dan dampak ketunarunguan

A. Menjelaskan Pengertian dan Klasifikasi Gangguan Pendengaran


Banyak istilah yang sudah kita kenal untuk anak yang mengalami kelainan
pendengaran, misalnya dengan istilah :”Tuli, Bisu, Tunawicara, Cacat dengar”.
Istilah dan pandangan tersebut tidak semuanya benar, sebab pengertiannya masih
kabur dan tidak menggambarkan keadaan yang sebebarnya. Orang tuli adalah
seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses
informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat
bantu mendengar. Sedangkan seseorang yang kurang dengar adalah seseorang
yang biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa pendengarannya
cukup memungkinkan kebersihan proses bahasa melalui pendengaran.
Menurut Donald F. Moores, orang tuli adalah seseorang yang kehilangan
kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB atau lebih sehingga ia tidak dapat
mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau
menggunakan alat bantu mendengar. Orang kurang dengar adalah seseorang yang
kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35 dB sampai 69 dB sehingga ia
mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu mendengar.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak dengan gangguan pendengaran
adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya
yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat
pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengarannya
dalam kehidupan sehari-hariyang membawa dampak terhadap kehidupan
secara kompleks, tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan
walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar, masih tetap
memerlukan pelayanan khusus.
Klasifikasi tingkat pendengaran seseorang menurut Samuel A. Kirk
yaitu :
1. 0-26 dB : menunjukan seseoranng masih mempunyai pendengaran yang
normal
2. 27-40 dB : mempunyai kesulitan mendengar bunyi yang jauh,
membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan
terapis bicara
3. 41-55 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi
kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara
4. 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari jarak dekat, masih
mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan
menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang khusus.
5. 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-
kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif,
membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara secara khusus.
6. 91 dB : mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara atau getaran, banyak
bergantung pada penglihatan dari pada pendengaran untuk proses
penerima informasi, dan yang bersangkutan dianggap tuli.
Dari klasifikasi tingkat pendengaran diatas maka bergangguan pendengaran
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. 27-40 dB : gangguan pendengaran ringan
2. 41-55 dB : gangguan pendengaran sedang
3. 56-70 dB : gangguan pendengaran agak berat
4. 71-90 dB : gangguan pedengaran berat
5. >91 dB : gangguan pendengara sangat berat

B. Pengaruh pendengaran pada Perkembangan Bicara dan Bahasa


Ketunarunguan bukan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya
kemampuan berbicara. Lebih dari itu dampak yang paling besar adalah terbatasnya
kemampuan berbahasa (Van Uden, 1977 : 1980). Leigh (1994; dalam Bunawan,
2004) mengemukakan bahwa masalah utama kaum tunarungu bukan terletak pada
tidak dikuasainya suatu sarana komunikasi lisan, melainkan akibat ha tersebut
terhadap perkembangan kemampuan berbahasanya secara keseluruhan yaitu
mereka tidak atau kurang mampu dalam memahami lambang dan aturan bahasa.
Secara lebih spesifik, mereka tidak mengenal atau mengerti lambang atau kode
atau “nama” yang digunakan lingkungan guna mewakili benda-benda, peristiwa
kegiatan, dan perasaan serta tidak memahami aturan atau sistem atau tata bahasa.
Keadaan ini terutama dialami anak tunarungu yang mengalami ketulian sejak lahir
atau usia dini. Terlambatnya kemampuan berbahasa yang dialami anak tunarungu,
berimplikasi pada kebutuhan khusus mereka untuk mengembangkan kemampuan
berbahasa dengan metode khusus, yang merupakan dasarnya setiap anak
tunarungu dapat dikembangkan kemampuan berbahasa melalui berbagai layanan
khusus dan fasilitas khusus yang sesuai dengan kebutuhannya.

C. Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu


Ketunarunguan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif anak. Anak
yang tunarungu mengalami kesulitan dalam perkembangan kognitifnya, sehingga
akan berakibat pada terhambatnya proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas.
Soemantri (2005:97) mengemukakan bahwa pada umumnya intelegensi anak
tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional
perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya,
keterbatasan informasi, dan kiranya daya abstraksi anak. Perkembangan kognitif
anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, sehingga
hambatan pada bahasa akan menghambat perkembangan intelegensi anak
tunarungu.
Cruickshank yang dikutip oleh Soemantri (2005:97) mengemukakan bahwa
anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang-
kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh derajat
gangguan pendengaran yang dialami anak tetapi juga tergantung pada potensi
kecerdasan yang dimiliki, ransangan mental, serta dorongan dari lingkungan luar
yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu.
Dengan demikian, hambatan intelektual yang rendah anak tunarungu
bukanlah suatu penyebab kerendahan tingkat intelegensinya, melainkan karena
tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan intelegensinya. Pemberian
bimbingan yang teratur terutama dalam kecakapan berbahasa akan dapat
membantu perkembangan intelegensi anak tunarungu. Anak tunarungu terhambat
perkembangannya yang bersifat verbal, misalnya merumuskan pengertian
menghubungkan, menarik kesimpulan, dan meramalkan kejadian. Sementara
aspek intelegensi yang bersumber dari penglihatan dan yang berupa motorik tidak
banyak mengalami hambatan tetapi justru berkembang lebih cepat.

D. Perkembangan Emosi Anak Tunarungu


Kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali
menyebabkan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau salah dan
ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat
menghambat perkembangan pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri,
bertindak agresif, atau sebaliknya menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan.
Emosi anak tunarungu selalu bergolak disatu pihak karena kemiskinan bahasanya
dan di pihak lain karena pengaruh dari luar yang diterimanya. Anak tunarungu bila
ditegur oleh orang yang tidak dikenalnya akan tampak resah dan gelisah.
E. Perkembangan Sosial Anak Tunarungu
Hurlock (1978:287) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai
keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada kelompok
umum dan kelompok khusus. Kematangan sosial anak tunarungu dapat diukur
dengan skala The Vineland Social Martunity test. Skla ini menunjukkan
perkembangan sosial anak tunarungu sebagai berikut:
1. Tingkat kematangan sosial anak tunarungu berada di bawah kematangan sosial
anak normal.
2. Anak tunarungu dari orangtua yang juga tunarungu menunjukkan kematangan
anak relative matang daripada anak tunarungu dengan orangtua normal.
3. Anak tunarungu yang berasal dari sekolah berasrama menunjukkan sikap
immature (Mohammad, 2006:82)
Mohammad (2006:83) menjelaskan bahwa terganggu pendengaran akan
mempengaruhi penguasaan bahasa seseorang. Karena kondisi tersebut anak
tunarungu seringkali tampak frustasi, sehingga anak tunarungu sering
menampakkan sikap asocial, bermusuhan atau menarik diri dari lingkungan.
Berdasarkan observasi yang dilakukan secara kontinum oleh Van Uden (dalam
Mohammad, 2006:84) mencatat mencatat beberapa sikap kepribadian anak
tunarungu, yaitu:
1. Anak tunarungu lebih egosentris
2. Anak tunarungu lebih tergantung pada orang lain
3. Perhatian anak tunarungu lebih sukar dialihkan
4. Anak tunarungu lebih memperhatiakan yang konkret
5. Anak tunarungu lebih miskin dengan fantasi
6. Perasaan ank tunarungu lebih cendrung dalam keadaan ekstrin tanpa banyak
nuansa
7. Anak tunarungu lebih mudah marah dan lekas tersinggung
8. Anak tunarungu kurang mempunyai konsep tentang hubungan
9. Anak tunarungu mempunyai perasaan takut akan hidup yang lebih besar
Kajian Toe dan Paatsch (2010) menunjukkan bahwa anak tunarungu akan
mengalami keterbatasan dalam mendapatkan kesempatan untuk membangun
kumpulan kata dan kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dengan anak
lainnya, yang berdampak terhadap hubungan sosial. Ketidakmampuan dalam
menjalin relasidengan teman sebaya dan orang lain dalam masyarakat akan
membuat anak tunarungu mengalami pengalaman negatif seperti stigma dan
kekerasan, yang akan mempengaruhi pertumbuhan kognitif dan psikologis anak
tersebut. Menurut Mussen dalam Asih dan Pratiwi (2010) menyatakan bahwa
aspek-aspek perilaku prososial meliputi:
1. Berbagi
2. Kerjasama
3. Menolong
4. Bertindak jujur
5. Berderma

F. Masalah-masalah dan dampak ketunarunguan


1. Masalah-masalah ketunarunguan
a. Masalah Komunikasi
Masalah ini adalah masalah anak tunarungu yang paling kompleks, karena
dengan terbatasnya kemampuan berkomunikasi ternyata berakibat fatal bagi
kehidupannya. Misalnya masalah-masalah karena masalah komunikasI yaitu:
tingkah laku yang ditandai dengan tekanan emosi, suka marah, gelisah dan
sebagainya, kesulitan dalam penyesuaian social, perkembangan bahasa
lalmbat dsb.
b. Masalah Pribadi
Masalah ini mencakup permasalahan yang berkaitan dengan masalah kondisi
pribadi anak tunarungu, dimana masalah berkisar pada perasaan tertekan,
perasaan ragu-ragu dan selalu curiga, agresif, dsb. Masalah ini muncul
karena adanya keterbatasan auditif. Dan disamping itu bila dilihat dari
sumbernya dapat timbul dari dirinya sendiri, lingkungan keluarga, taraf
ketunaannya, dan dapat juga disebabkan dari kondisi masyarakat yang
kurang menguntungkan.
c. Masalah pengajaran atau kesulitan belajar
Dengan kelainan tunarungu ternyata banyak dilihat berbagai masalah yang
timbul dalam proses belajar mengajar. Misalnya: kesulitan menangakap
kata-kata abstrak, terutama mengalami kesulitan belajar bidang studi bahasa,
metode yang tepat digunakan dalam proses belajar mengajar dan srana yang
sesuai utnuk kegiatan belajar mengajar.
d. Masalah penggunaan waktu terluang.
Anak tunarungu sering membuang waktu luangnya denga sia-sia, tidak
sedikitpun kegiatan yang berguna dilakukannya. Yang menjadi masalah
disini adalah kegiatan apa yang dapat dilakukan sehingga waktu luangnya itu
penuh manfaat. Kegiatan yang mungkin bisa dilakukan kegiatan
ekstrakulikuler, kerja kelompok, kerja bakti, dsb. Hal ini ditekankan karena
bila tidak diadakan tindakan preventif, dapat berakibat waktu luangnya diisi
dengan kegiatan- kegiatan yang sangat merugikan, misalnya: kenakalan
remaja/anak, mengganggu ketertiban.
e. Masalah pembinaan ketrampilan dan pekerjaan.
Mengingat segi kognisi anak tunarungu atau dengan kata lain kemampuan
akademiknya ada yang terbatas/ terhambat didalam pengembangannya,
maka sebagai alternatif penggantinya di dalam mempersiapkan diri anak
tunarungu untuk masa depannya, nampak perlu diadakan pembinaan
ketrampilan atau latihan kerja sehingga bila mereka keluar dari pendidikan
tidak mengalami kesulitan didalam mencari pekerjaan sebagai salah satu
usaha untuk menghadapi dirinya, sehingga tidak terlalu menggantungkan
dirinya pada orang lain.
2. Dampak Ketunarunguan
Anak yang mengelami kelainan pendengaran akan menanggung
konsekuensi yang sangat kompleks, terutama berkaitan dengan masalah
kejiwaanya. Pada diri penderita seringkali dihinggapi rasa keguncangan sebagai
akibat tidak mampu mengontrol lingkungannya. Kondisi ini semakin tidak
menguntungkan bagi penderita tunarungu yang harus berjuang dalam meniti
tugas perkembangannya. Disebabkan rentetan yang muncul akibat gangguan
pendengaran ini, penderita akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti
perkembangannya, terutama dalam aspek bahasa, keceerdasan, dan penyesuaian
sosial. Oleh karena itu, untuk mengembangkan potensi anak tunarungu secara
optimal praktis memerlukan layanan atau bantuan secara khusus. Ada dua
bagian penting mengikuti dampak terjadinya hambatan, antara lain :
a. Konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tunarungu tersebut bahwa
penderitanya akan mengalami kesulitan dalam menerima segala macam
rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya.
b. Akibat kesulitan menerima rangsang bunyi tersebut konsekuensinya
penderita tunarungu akan mengalami kesulitan dalam memproduksi suara
atau bunyi bahasa yang terdapat disekitarnya.
BAB VI
PRINSIP PERKEMBANGAN
ASPEK BERMAIN, KREATIVITAS, MORAL DAN PERAN SEKS

Tujuan

1. Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip perkembangan dalam aspek


bermain
2. Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip perkembangan dalam aspek
kreativitas
3. Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip perkembangan dalam aspek
moral
4. Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip perkembangan dalam aspek
peran seks

A. Prinsip Perkembangan dalam Aspek Bermain


Bermain merupakan sebuah instrumen penting bagi perkembangan sosial,
emosional, dan kognitif anak. Bermain juga sebagai sebuah refleksi atas
perkembangan mereka. Memahami bahwa anak adalah konstruktor-konstruktor
aktif atas pengetahuan yang dimiliki dan bahwa perkembangan dan belajar
sebagai hasil proses interaktif, maka bermain bagi anak merupakan sebuh kontek
yang sangat mendukung untuk proses-proses perkembangan tersebut (Piaget 1952;
Fein 1981; Bergen 1988; Smilansky & Shefatya 1990; Fromberg 1992; Berk &
Winsler 1995).
Bermain memberikan kesempatan kepada anak untuk memahami dunia,
berinteraksi dengan orang lain dalam cara-cara yang secara sosial diterima,
mengekspresikan dan mengontrol emosi-emosi, dan mengembangkan kapabilitas-
kapabilitas simbolik mereka. Permainan anak memberi orang-orang dewasa
pencerahan-pencerahan atas perkembangan anak-anak dan kesempatan-
kesempatan untuk mendukung pengembangan strategi-strategi baru. Vygotsky
(1978) meyakini bahwa bermain mengarahkan perkembangan, sebagai contoh,
permainan simbolik dapat mempromosikan perkembangan abilitas-abilitas
representasi simbolik. Bermain menyediakan sebuah kontek bagi anak-anak untuk
mempraktekkan keterampilan-keterampilan yang baru dikuasai dan juga berfungsi
sebagai sudut pengembangan kapasitas-kapasitas untuk menjalankan peran-peran
sosial yang baru, mencoba tugas-tugas yang baru atau yang menantang, dan
memecahkan permasalahan yang komplek yang mungkin bisa atau tidak akan
bisa mereka tangani (Mallory & New 1994).
Bermain memberikan manfaat yang besar didalam diri anak. Adapun
manfaat bermain untuk anak antara lain yaitu :
1. Memberi perasaan bahagia dan senang pada anak
2. Memberi berbagai pengetahuan dan pembelajaran pada anak
3. Sebagai motivasi untuk anak
4. Memberi sebuah pengalaman berharga untuk anak
5. Memampukan anak menjelajahi dunianya
6. Mengembangkan kemampuan dan kontrol diri pada anak
7. Mengembangkan pengertian sosial dan kultural
8. Mengembangkan ikatan sosialisasi dan kekuatan emosi
9. Membantu anak mengungkapkan pikiran dan perasaan mereka
10. Memberikan kesempatan kepada anak untuk mengalami dan memecahkan
masalah
11. Mengembangkan keterampilan berbahasa
12. Mengembangkan keterampilan fisik dan motorik
13. Memicu kecerdasan dan rasa ingin tahu
14. Mengembangkan kreativitas, sikap simpati dan empati
15. Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, kerja sama dan bertanggung
jawab
Permainan yang dilakukan anak ada yang bersifat konstruktif (membangun)
dan ada yang bersifat destruktif (merusak). Umumnya pada anak berkebutuhan
khusus, seringkali terjadi bermain yang destruktif. Terutama pada ABK yang kurang
kontrol emosi. Terlihat dari cara bermain anak yang selaluk merusak alat-alat
permainannya. Perilaku tersebut bisa dilakukan dengan sengaja ataupun tanpa
sengaja. Perilaku destruktif yang dilakukan tanpa sengaja bisa terjadi karena
kecerobohan anak, keingintahuan yang besar dan rasa penasaran. Sedangkan perilaku
destruktif yang disengaja bisa terjadi kepada anak dengan kontrol emosi yang lemah.
B. Prinsip Perkembangan dalam Aspek Kreativitas
Kreativitas menurut pendapat ahli diantaranya:
1. Guiford (1967) mengatakan bahwa kerativitas berkaitan dengan kemampuan
seseorang untuk berfikir divergen yaitu berfikir yang berawal dari suatu persoalan
atau satu hal menuju ke berbagai hal. Misalnya, dalam memecahkan satu persoalan
lalu meninjau persoalan tersebut dari berbagai segi.
2. Utami Munandar menjelaskan bahwa kreativitas adalah kemampuan seseorang
untuk menciptakan produk-produk baru meskipun komponen-komponennya tidak
semuanya baru.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah
kemampuan seseorang untuk menciptakan hal-hal yang baru dengan berfikir divergen
yaitu berfikir secara luas terhadap sesuatu hal.
David Campbel (dalam Mudjiran, 2007) menjelaskan tentang beberapa faktor
yang mempengaruhi kreativitas diantaranya :
1. Genetik
2. Adanya keterbukaan dalam keluarga
3. Adanya kebebasan psikologis
4. Kehidupan yang sering berpindah-pindah
5. Tersedianya fasilitas yang memadai
6. Keberanian dalam mengambil resiko
Potensi kreatif berkembang melalui beberapa tahap. Tahap-tahap perkembangan
kreativitas diantaranya :
1. Tahap persiapan (prepation) yaitu mulai dengan mempelajari latar belakang
permasalahan yang dihadapi
2. Tahap konsentrasi (concentration) yaitu berfikir sepenuhnya tentang masalah
tersebut
3. Tahap inkubasi (incubation) yaitu istirahat untuk penenangan dengan cara santai
sejenak
4. Iluminasi (illumination) yaitu tahap pada saat mendapatkan suatu idea tau gagasan
tentang pemecahan masalah yang dihadapi tadi.
5. Ferifikasi/produksi (verivication/production) yaitu tahap terakhir mulai
memecahkan masalah dan merealisasikan dalam bentuk ide-ide.
C. Prinsip Perkembangan dalam Aspek Moral
Kata moral berasal dari bahasa latin mos (jamak mores) yang berarti
kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Moral merupakan suatu standart salah atau benar
bagi seseorang (Rogers & Baron, dalam Martini, 1995). Kata moral sendiri
berasal dari bahasa Latin moris yang berarti adat istiadat, kebiasaan, tata cara
dalam kehidupan. Jadi suatu tingkah laku dikatakan bermoral apabila tingkah laku
itu sesuai dengan nilai – nilai moral yang berlaku dalam kelompok sosial dimana
anak itu hidup.
Sejalan dengan pengertian diatas, menurut Hurlock (2003) moral berasal
dari bahasa latin “Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat, dan cara
kebiasaan rakyat. Perilaku moral merupakan perilaku di dalam konformitas
dengan suatu tata cara moral kelompok sosial. Kohlberg menegasakan bahwa
moral merupakan bagian dari penalaran. Maka iapun menamakannya dengan
penalaran moral.
Piaget membagi tahap perkembangan moral menjadi dua, yatu tahap
moralitas heteronom dan tahap moralitas otonom. Tahap moralitas heteronom
terjadi pada usia anak-anak awal yaitu sekitar usia 4 tahun hingga 7 tahun. Slavin
(2011) menyebutnya juga sebagai tahap “realisme moral” atau “moralitas
paksaan”. Kata Heteronom berarti tunduk pada aturan yang diberlakukan orang
lain. Selama periode heteronom, seorang anak kecil selalu dihadapkan terhadap
orang tua atau orang dewasa lain yang memberitahukan kepada mereka manakah
hal yang salah dan manakah hal yang benar. Pada usia ini, seorang anak akan
memikirkan bahwa melanggar aturan akan selalu dikenakan hukuman dan orang
yang jahat pada akhirnya akan dihukum. Selain itu Piaget (dalam Slavin, 2011)
menegaskan bahwa anak pada usia kanak-kanak awal menilai sebuah perilaku
yang jahat adalah hal yang menghasilkan konsekuensi negatif sekalipun
maksudnya adalah sebuah kebaikan.
Sedangkan tahap moralitas kedua menurut Piaget adalah tahap moralitas
otonom. Tahap moralitas otonom ini terjadi pada usia diatas 6 tahun atau pada
masa pertengahan dan akhir anak-anak. Pada usia 10 hingga 12 tahun, anak-anak
mulai tidak menggunakan dan menaati aturan dari suara hati. Moralitas otonom
disebut pula sebagai moralitas kerja sama. Moralitas tersebut muncul ketika dunia
sosial anak itu meluas hingga meliputi makin banyak teman sebaya. Dengan
terus-menerus berinteraksi dan bekerja sama dengan anak lain, gagasan anak
tersebut tentang aturan dan karena itu juga moralitas akhirnya berubah.

D. Prinsip Perkembangan dalam Aspek Peran Seks


Memasuki masa remaja yang diawali dengan terjadinya kematangan
seksual, maka remaja akan dihadapkan pada keadaan yang memerlukan
penyesuaian untuk dapat menerima perubahan-perubahan yang terjadi (Steinberg,
1993: Santrock, 2002). Kematangan seksual dan terjadinya perubahan bentuk
tubuh sangat berpengaruh pada kehidupan kejiwaan remaja. Kematangan seksual
yang terlalu cepat atau lambat juga dapat mempengaruhi kehidupan
psikososialnya, yaitu status mereka di dalam kelompok sebayanya (Rice, 2011;
Rice, 2012).
Selain itu kematangan seksual juga mengakibatkan remaja mulai tertarik
terhadap anatomi fisiologi tubuhnya, mulai muncul kecemasan-kecemasan dan
pertanyaan-pertanyaan seputar menstruasi, mimpi basah, masturbasi, ukuran buah
dada, penis dan lain sebagainya (Haditono, Monks & Knoers, 1994). Pada saat itu
mereka mulai memperhatikan tubuhnya dan penampilan dirinya dan sering
membandingkan dirinya dengan orang lain. Selain tertarik kepada dirinya, juga
mulai muncul perasaan tertarik kepada teman sebaya yang berlawanan jenis,
walaupun masih disembunyikan, karena mereka menyadari masih terlalu kecil
untuk berpacaran.
Zastrow dan Kirt-Ashman (2012) berpendapat bahwa secara psikologis
pada fase remaja ada dua aspek penting yang dipersiapkan, antara lain:
a. Orientasi seksual.
Pada masa ini remaja diharapkan sudah menemukan orientasi seksualitasnya
atau arah ketertarikan seksualnya (heteroseksualitas atau homoseksualitas).
Norma umum yang berlaku lebih menyukai jika seseorang menyukai orientasi
seksualitas ke arah heteroseksualitas. Namun, tidak dipungkiri ada remaja
yang memilih orientasi seksualitas homoseksualitas. Orientasi ini dipengaruhi
oleh penghayatan terhadap jenis kelamin. Faktor individu (fisik atau
psikologis), keluarga dan lingkungan ikut mendorong dan berperan dalam
menguatkan identitas ini.
b. Peran seks.
Peran seks adalah menerima dan mengembangkan peran serta kemampuan
tertentu selaras dengan jenis kelaminnya. Laki-laki akan dekat dengan sifat-
sifat sebagaimana laki-laki, demikian pula perempuan akan dekat dengan
sifat-sifat sebagaimana perempuan. Peran seks ini sangat penting pada tahap
pembentukan identitas diri, apakah seseorang itu berhasil mengidentifikasi
dirinya atau justru melakukan transfer pada identitas yang lain (transsexual).
BAB VIII
PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS
PADA ANAK TUNAGRAHITA

Tujuan :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan klasifikasi anak tunagrahita
2. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan fisik anak tunagrahita
3. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan kognitif anak tunagrahita
4. Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan bahasa anak tuna grahita
5. Mahasiswa mampu menjelaskan emosi, penyesuaian sosial dan kepribadian anak
tunagrahita
6. Mahasiswa mampu menjelaskan dampak ketunagrahitaan
BAB XV
PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS
PADA ANAK ADHD

A. Perkembangan kognisi pada anak dengan hambatan fisik.


Proses perkembangan kognitif banyak ditentukan dari pengalaman-
pengalaman individu sebagai hasil belajar. Proses perkembangan kognitif akan
berjalan dengan baik apabila ada dukungan atau dorongan dari lingkungan. Seperti
dikatakan Piaget bahwa setiap individu memiliki struktur kognitif dasar yang
disebut schema (misalnya kemampuan untuk melakukan gerakan refleks, seperti
menghisap, merangkak, menggenggam). Schema ini akan berkembang melalui
belajar, dan terjadi proses adaptasi yang didahului oleh persepsi.
Kompetensi kognitif (intelegensi) dapat didefinisikan sebagai kemampuan
memproses banyak informasi secara efisien dan memprogram perilaku yang
menguntungkan bukan saja saat ini namun juga di kemudian hari. Dalam arti
sempit kemampuan kognitif dapat disebut sebagai kemampuan untuk
menyelesaikan masalah baru berdasarkan prinsip yang diketahui. Kemampuan
kognitif berkembang sebagai hasil kerjasama dinamik antara program genetik dari
perkembangan otak dan keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi yang
meningkat selama maturasi.
Anak tunadaksa dengan kerusakan alat tubuh, tidak ada masalah secara
fisiologis dalam struktur kognitifnya. Masalah terjadi ketika anak tunadaksa
mengalami hambatan dan mobilitas. Anak mengalami hambatan dalam melakukan
dan mengembangkan gerakan-gerakan, sehingga dapat mengakibatkan hambatan
secara keseluruhan pada perkembangan struktur kognitif anak tunadaksa. Dalam
pengukuran intelegensi anak tunadaksa, sering ditemukan angka intelegensi yang
cukup tinggi. Namun potensi kognitif yang cukup tinggi pada anak-anak tunadaksa
ini seringkali belum dapat difungsikan secara optimal. Hambatan mobilitas,
masalah emosi, kepribadian akan mempengaruhi anak tunadaksa dalam melakukan
eksplorasi keluar.
1. Permasalahan Perkembangan Kognitif anak Tunarungu
Anak tunarungu adalah mereka yang pendengarannya tidak berfungsi
sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan khusus. Bagi anak yang tipe
gangguan pendengaran lebih ringan dapat diatasi dengan alat bantu dengar dan
dapat sekolah biasa di sekolah formal. Gangguan pendengaran dapat
diklasifikasikan sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi
dijabarkan dalam bentuk cps (cycles per sound) atau hertz (Hz). Orang normal
dapat mendengar dalam frekuensi 18-18.000 Hertz. Intensitas diukur dalam
desibel (dB). Kesemuanya itu diukur dengan audiometer yang dicatat dalam
audiogram.
Anak dengan kehilangan pendengaran atau tunarungu memiliki
kemampuan intelektual yang normal, namun memiliki karakteristik sebagai
berikut :
a. Keterlambatan dalam perkembangan bahasa karena kurangnya exposure
(paparan) terhadap bahasa lisan, khususnya apabila gangguan dialami saat
lahir atau terjadi pada awal kahidupan.
b. Mahir dalam bahasa sandi, seperti bahasa isyarat atau pengejaan dengan jari
c. Memiliki kemampuan untuk membaca gerak bibir
d. Bahasa lisan tidak berkembang dengan baik; kualitas bicara agak monoton
atau kaku
e. Pengetahuan terbatas karena kurangnya exposure terhadap bahasa lisan
f. Mengalami isolasi sosial, keterampilan sosial yang terbatas, dan kurangnya
kemampuan mempertimbangkan perspektif orang lain karena kemampuan
komunikasi terbatas
Ketika anak telah terdiagnosa menderita kehilangan pendengaran, anak
pada awalnya akan kesulitan memunculkan emosi dalam perilaku seperti
perilaku cemas, takut, marah atau depresi. Self-esteem mereka akan rendah
karena berkurangnya komunikasi dan kemampuan bahasa mereka, dan tingkat
kepercayaan diri mereka juga ikut terpengaruh. Dalam segi komunikasi dan
bahasa, anak akan belajar untuk membangun keterampilan komunikasi dalam
bentuk lain, seperti bahasa tubuh, gerak tubuh, atau ekspresi wajah, yang akan
mewakili informasi tentang apa yang diinginkan seseoran dan apa yang
dirasakan.

B. Permasalahan perkembangan kognisi pada anak dengan dengan hambatan


fisik.
Pusat motorik di otak terletak di bagian posterior dari lobus frontalis dan di
sebelah anteriornya terletak pusat menyimpan ingatan baru. Lobus temporal,
parietal dan oksipital juga sangat berpengaruh terhadap gangguan fungsi motorik
yang berat. Gangguan kompetensi kognitif (intelegensi) dapat terjadi akibat
gangguan fungsi motorik anak, karena anak kesulitan dalam mengeksplorasi
lingkungan yang diperlukan dalam perkembangan kognitif.
Anak tunadaksa adalah anak yang mempunyai masalah hambatan fisik atau
salah satu bentuk berupa gangguan dari fungsi normal pada tulang, otot, dan
persendian yang bisa karena bawaan sejak lahir, penyakit atau kecelakaan,
sehingga apabila mau bergerak atau berjalan memerlukan alat bantu. Tunadaksa
adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan
neuromuscular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat
kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat
gangguan pada tunadaksa adalah :
1. Ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap dan
masih dapat ditingkatkan melalui terapi,
2. Sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan
koordinasi sensorik,
3. Berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu
mengontrol gerakan fisik.
Tidak ada hubungan antara tingkat kecerdasan dan kecacatan, namun ada
beberapa kecenderungan adanya penurunan sedemikian rupa kecerdasan individu
bila kecacatannya meningkat. Dari beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa
ternyata IQ anak tunadaksa rata-rata normal. Selain memiliki kecacatan tubuh, ada
kecenderungan mengalami gangguan-gangguan lain, seperti sakit gigi,
berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, dan gangguan bicara.
Adanya berbagai karakteristik tersebut bukan berarti bahwa setiap anak
tunadaksa memiliki semua karakteristik yang diungkapkan, bisa saja terjadi salah
satunya tidak dimiliki. Karakteristik tersebut menimbulkan dampak positif
maupun dampak negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan diantaranya adalah
munculnya masalah-masalah yang berkaitan dengan keadaan anak di sekolah.
Permasalahan yang dimaksud dapat digolongkan menjadi beberapa, yaitu:
1. Masalah Kesulitan Belajar
Pada anak tunadaksa terjadi kelainan pada otak, sehingga pada fungsi
fikirnya terganggu khususnya persepsi. Apalagi bagi anak tunadaksa yang
disertai dengan cacat-cacat lainnya sehingga dapat menimbulkan komplikasi
yang secara otomatis dapat berpengaruh terhadap kemampuan menyerap materi
yang diberikan.
2. Masalah Ketrampilan dan Pekerjaan
Anak tunadaksa memiliki kemampuan fisik yang terbatas, namun di lain
pihak bagi anak yang memiliki kecerdasan yang normal ataupun yang kurang
perlu adanya pembinaan diri sehingga hidupnya tidak sepenuhnya
menggantungkan diri pada orang lain. Dengan modal kemampuan yang dimiliki,
individu tunadaksa perlu diberikan kesempatan yang sebanyak-banyaknya
untuk dapat mengembangkan diri melalui latihan ketrampilan dan kerja yang
sesuai dengan potensinya, sehingga setelah selesai masa pendidikan individu
tunadaksa dapat menghidupi dirinya dan tidak selalu mengharapkan
pertolongan oranglain. Di lain pihak dianggap perlu sekali adanya kerja sama
yang baik dengan perusahaan baik negeri maupun swasta untuk dapat
menampung individu tunadaksa.
BAB VII
PERKEMBANGAN KOGNISI ANAK
DENGAN HAMBATAN MENTAL

Tujuan :
1. Mahasiswa mengetahui perkembangan kognisi pada anak dengan
hambatan mental.
2. Mahasiswa mengetahui permasalahan perkembangan kognisi pada anak
dengan dengan hambatan mental.

A. Perkembangan kognisi pada anak dengan hambatan mental


Menurut Priyatna (2010) pemeriksaan intelegensi pada anak autis memang
penting tetapi melaksanakan tes intelegensi pada anak autis tidak mudah karena
anak autis sulit diajak berkomunikasi, apalagi diminta menjawab berbagai soal
yang ada pada intelegensi. Dan hasil pengamatan diperkirakan kondisi
intelegensi pada anak autis bervariasi.Ada yang tergolong tunagrahita, rata-rata,
superior atau bahkan ada yang gifted. Anak autis memiliki IQ tinggi
menunjukkan prestasi pada bidang-bidang tertentu. Kurang lebih 50 % anak-
anak autis ini mengalami hambatan dalam berbahasa dan berbicara. Sering
mengulang kata, berbicara sendiri, tetapi tidak paham apa yang ucapkannya.
Anak autis seperti hidup pada dunianya sendiri, beberapa anak autis ada
yang mengalami gangguan taktil (ada keinginan anak untuk selalu disentuh dan
diraba terus menerus).Kondisi-kondisi anak autis seperti yang telah dijelaskan
menyebabkan sulit untuk mengetahui dan menjelaskan tentang perkembangan
kognitif anak autis.
B. Permasalahan perkembangan kognisi pada anak dengan dengan
hambatan mental
Tunagrahita yaitu anak yang secara nyata mengalami hambatan dan
keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh dibawah rata-rata
sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun
sosial. Ciri terkait tunagrahita adalah, berikut ini:
a. Fungsi Intelektual umum secara signifikan berada dibawah rata-rata, artinya
kekurangan tersebut harus benar terbukti sehingga yang bersangkutan
memerlukan layanan pendidikan khusus. Sebagai contoh: anak normal rata-
rata IQ 100, sedangkan anak tunagrahita memiliki IQ paling tinggi 70.
b. Kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian (perilaku adaptif), yaitu yang
bersangkutan tidak atau kurang memiliki kesanggupan untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan usianya. Ia hanya mampu melakukan
pekerjaan seperti yang dapat dilakukan oleh anak yang usianya lebih muda
darinya.
c. Ketunagrahitaan berlangsung pada periode perkembangan, yaitu sejak
konsepsi hingga usia 18 tahun.
Tingkat kecerdasan tunagrahita selalu dibawah rata-rata anak yang berusia
sama, perkembangan kecerdasannya juga sangat terbatas. Mereka hanya mampu
mencapai tingkat usia mental setingkat anak SD kelas IV, atau kelas II, bahkan
ada yang hanya mampu mencapai tingkat usia mental anak pra sekolah. Anak
tunagrahita sulit mencapai bidang akademis membaca dan kemampuan
menghitung yang problematis, tetapi dapat dilatih dalam kemampuan dasar
menghitung umum.
BAB VIII
PERKEMBANGAN KOGNISI ANAK DENGAN
HAMBATAN EMOSI DAN PERILAKU

Tujuan
1. Mahasiswa Mampu menjelaskan perkembangan kognisi pada anak dengan
hambatan emosi dan perilaku.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan permasalahan perkembangan kognisi pada anak
dengan dengan hambatan emosi dan perilaku.

A. Perkembangan kognisi pada anak dengan hambatan emosi dan perilaku


B. Permasalahan perkembangan kognisi pada anak dengan dengan hambatan
emosi dan perilaku
1. Permasalahan Perkembangan Kognitif anak Tunalaras
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-
anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka
kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi
yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali
menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki intelegensi yang rendah.
Memang anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru karena diantara anak
yang tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan mental. Kelemahan
dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya
gangguan tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan intelegensi
rendah di sekolah adalah ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya,
padahal pada dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya
terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar.
Ketidakmampuan anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam
belajar dapat menyebabkan anak frustrasi dan kehilangan kepercayaan pada
dirinya sendiri sehingga anak mencari kompensasi yang sifatnya negatif,
misalnya: membolos, lari dari rumah, berkelahi, mengacau dalam kelas.
Akibat lain dari kelemahan intelegensi ini terhadap gangguan tingkah laku
adalah ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab akibat dari suatu
perbuatan, mudah dipengaruhi, serta mudah pula terperosok kedalam tingkah
laku yang negatif.
Selain anak tunalaras yang berintelegensi rendah, beberapa anak
memiliki intelegensi tinggi dan bukan berarti tidak memiliki masalah. Anak
berintelegensi tinggi seringkali memiliki masalah dalam penyesuaian diri
dengan teman-temannya. Ketidaksejajaran antara pekembangan intelegensi
dengan kemampuan sosial mengakibatkan anak mengalami kesulitan
penyesuaian diri dengan kelompok anak yang lebih tua (tetapi setara dalam
kemampuan mentalnya). Anak yang pintar dengan hambatan ego emosional
seringkali mempunyai anggapan negatif terhadap sekolah. Ia menganggap
sekolah terlalu mudah dan guru menerangkan terlalu lambat.
Masalah lain yang dihadapi anak ini dalam hubungannya dengan orang
lain adalah sikap tidak mau kalah. Mereka selalu ingin berhasil dan tidak mau
ikut dalam permainan dengan kemungkinan dikalahkan orang lain. Hal ini
nampak dari sikap anak yang selalu ingin lebih unggul dari teman-temannya
sehingga apabila suatu waktu dia mengalami kekalahan, maka ia cenderung
untuk selalu merasa mudah kecewa dan impulsif.
2. Permasalahan Perkembangan Kognitif anak Autisme
Lengkap Psikologi, autisme didefinisikan sebagai: (1) cara berpikir
yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, (2)
menanggapi dunia berdasarkan penglihatan, harapan sendiri, dan menolak
realitas (3) keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri (Chaplin,
2005). Autistic disorder adalah adanya gangguan atau abnormalitas
perkembangan pada interaksi sosial dan komunikasi serta ditandai dengan
terbatasnya aktifitas dan ketertarikan. Munculnya gangguan ini sangat
tergantung pada tahap perkembangan dan usia kronologis individu. Autistic
disorder dianggap sebagai early infantile autism, childhood autism, atau
Kanner’s autism (American Psychiatric Association, 2000).
Perilaku autistik digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang
eksesif (berlebihan) dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang
termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa
menjerit, menggigit, mencakar, memukul, mendorong. Di sini juga sering
terjadi anak menyakiti dirinya sendiri (self-abused). Perilaku defisit ditandai
dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai, defisit sensori
sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya
tertawa-tawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab, dan melamun. World Health
Organization's International Classification of Diseases (WHO ICD-10)
mendefinisikan autisme (dalam hal ini khusus childhood autism) sebagai
adanya keabnormalan dan atau gangguan perkembangan yang muncul
sebelum usia tiga tahun dengan tipe karakteristik tidak normalnya tiga bidang
yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang diulang-ulang (World
Health Organization, 1992). WHO juga mengklasifikasikan autisme sebagai
gangguan perkembangan sebagai hasil dari gangguan pada sistem syaraf pusat
manusia. Autisme dimulai pada awal masa kanak-kanak dan dapat diketahui
pada minggu pertama kehidupan. Dapat ditemukan pada semua kelas sosial
ekonomi maupun pada semua etnis dan ras. Penderita autisme sejak awal
kehidupan tidak mampu berhubungan dengan orang lain dengan cara yang
biasa. Sangat terbatas pada kemampuan bahasa dan sangat terobsesi agar
segala sesuatu tetap pada keadaan semula (rutin/monoton).
BAB XIV

MASALAH PSIKOLOGIS PADA ANAK ADHD

Tujuan

1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian ADHD


2. Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab ADHD
3. Mahasiswa mampu menjelaskan karakteristik ADHD
4. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah-masalah yang dihadapi ADHD

A. Pengertian ADHD
Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006) ADHD adalah Attention Deficit
Hyperactivity Disorder. Jika diarttikan perkata, attention = perhatian, deficit =
berkurang, hyperactivity = hiperaktif dan disorder = gangguan. Sehingga ADHD
dapat berarti gangguan pemusatan perhatian yang disertai hiperaktif.
Seseorang dapat memenuhi salah satu kriteria ADHD yaitu kurang perhatian
(inattention) atau hiperaktifitas & impulsif, atau keduanya. Kondisi ini terjadi
selama periode paling tidak enam bulan, yang mengakibatkan pertumbuhan
seseorang tersebut menjadi tidak sesuai dengan tingkat pertumbuhan usia normal
(Widhata, 2008).

B. Penyebab ADHD
Tidak ada yang mengetahui penyebab ADHD secara pasti. Teori lama
menduga penyebabnya antara lain adalah keracunan, komplikasi pada saat
melahirkan, alergi terhadap gula dan beberapa jenis makanan, dan kerusakan pada
otak. Meskipun teori ini ada benarnya, banyak kasus ADHD yang tidak cocok
dengan penyebab tersebut. Penelitian membuktikan bahwa ADHD ada
hubungannya dengan genetika seorang anak.
Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms.
Symptoms terjadi disebabkan oleh faktor-faktor brain damage, an emotional
disturbance, a hearing deficit, or mental retardation (Batshaw & Perret, 1986:
261 dalam Delphie, 2006). Problem diatas menjadikan anak ADHD merasa
kesepian dan sulit dimengerti sehingga menjadi lebih nakal karenanya.
Berikut penyebab-penyebab anak mengalami ADHD:
1. Kelainan Anatomi Otak
Anak yang didiagnosis ADHD memiliki perbedaan dalam fungsi otak
dibandingkan dengan rekan-rekan mereka. Otak memiliki bahan kimia yang
disebut neurotransmiter yang berperan dalam proses interaksi sel-sel yang ada
di otak. Pada ADHD neurotransmiter yang disebut dopamin cenderung tidak
berfungsi sehingga mengakibatkan konsekuensi yang tidak diinginkan seperti
impulsif, kurang konsetrasi, dan hiperaktif.
2. Genetik
ADHD diyakini akan mewariskan dari orang tua yang mengalami kelainan
serupa. Satu dari empat anak yang didiagnosis ADHD memiliki kerabat
dengan gangguan serupa.
3. Faktor Ibu
Ibu hamil yang memiliki kebiasaan merokok mempertinggi resiko memiliki
anak dengan ADHD. Dan juga mengkonsumsi alkohol dan obat lain selama
periode kehamilan dapat menghambat aktivitas neuron yang memproduksi
dopamin. Wanita hamil yang terpapar racun kimia seperti polychlorinated
biphenyls juga berpotensi memiliki anak ADHD.
4. Faktor Lingkungan
Paparan racun pada anak dari lingkungan seperti timbal dikhawatirkan

C. Karakteristik ADHD
Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006), ciri utama ADHD antara lain:
1. Rentang perhatian yang kurang, adapun gejala-gejala yang menunjukkan
rentang perhatian yang kurang meliputi: gerakan yang tidak teratur, cepat lupa,
mudah binggung, kesulitan dalam mencurahkan perhatian terhadap tugas-
tugas atau kegiatan bermain
2. Impulsivitas yang berlebihan, gejala-gejala tersebut meliputi: emosi gelisah,
mengalami kesulitan bermain dengan tenang, mengganggu anak lain,
bertindak tanpa berpikir, selalu tidak bisa menunggu giliran
3. Hiperaktif, dalam bentuk perilaku: selalu bergerak (tidak bias diam), sering
berlari atau memanjat benda-benda yang tinggi atau perabotan dan sulit diatur,
sulit untuk duduk di satu tempat dengan tenang, bergerak-gerak berlebihan
ketika tidur, selalu aktif setiap saat.
Menurut Widhata (2008) seseorang dapat dikategorikan sebagai
inattention, hiperaktifitas dan impulsif jika ia memenuhi minimal empat
kriteria dibawah ini:

1. Inattention, dengan ciri:


a. Tidak teliti atau sering ceroboh dalam menyelesaikan tugas sekolah,
pekerjaan atau kegiatan lainnya,
b. Sulit mempertahankan konsentrasi untuk menyelesaikan tugas atau
permainan.
c. Sering tidak mendengarkan pada saat diajak berbicara.
d. Cenderung tidak mengikuti instruksi dalam menyelesaikan tugas sekolah
atau pekerjaan.
e. Mengalami masalah dalam mengatur atau mengorganisasi tugas atau
kegiatan.
f. Tidak menyukai atau cenderung menghindar tugas yang memerlukan
kemampuan mental dan konsentrasi yang panjang.
g. Sering kehilangan barang-barang atau peralatan yang diperlukan untuk
menyelesaikan tugas. Misalnya, buku, pensil, penghapus.  Mudah
terpecah konsentrasinya.
h. Pelupa.
2. Hiperaktifitas, dengan ciri:
a. Tidak dapat duduk dengan tenang.
b. Sering meninggalkan bangku tanpa alasan yang jelas.
c. Berlari, memanjat tidak pada tempatnya (pada usia dewasa, lebih
ditunjukkan dengan sikap gelisah).
d. Kesulitan dalam menikmati kegiatan atau permainan yang tenang dan
membawa relaksasi.
e. Berkeinginan untuk selalu bergerak aktif.
f. Cerewet, suka berbicara kadang tidak sesuai dengan konteks.
3. Impulsif, dengan ciri:
a. Seringkali memberikan jawaban sebelum pertanyaan yang ditanyakan
selesai.
b. Mengalami masalah dalam menunggu giliran
c. Sering memotong pembicaraan orang lain atau menyerobot.
d. Suka memukul, menunjukkan ketidaksukaan dengan menyerang secara
fisik.
Sementara itu, Tanner (2007) menyebutkan tiga tanda utama anak yang
menderita ADHD, yaitu:
1. Tidak ada perhatian.
Ketidakmampuan memusatkan perhatian pada beberapa hal seperti
membaca, menyimak pelajaran, atau melakukan permainan. Seseorang yang
menderita ADHD akan mudah sekali teralih perhatiannya karena bunyi-
bunyian, gerakan, bau-bauan atau pikiran, tetapi dapat memusatkan perhatian
dengan baik jika ada yang menarik minatnya.
2. Hiperaktif
Mempunyai terlalu banyak energi. Misalnya berbicara terus menerus,
tidak mampu duduk diam, selalu bergerak, dan sulit tidur.
3. Impulsif
Bertindak tanpa dipikir, misalnya mengejar bola yang lari ke jalan raya,
menabrak pot bunga pada waktu berlari di ruangan, atau berbicara tanpa
dipikirkan terlebih dahulu akibatnya.

Setiap anak yang seringkali bertindak seperti contoh-contoh diatas selama


lebih dari enam bulan berturut-turut, dibandingkan dengan anak seusianya, dapat
didiagnosa menderita ADHD. Gejala ini biasanya muncul sebelum si anak berusia
enam tahun.

D. Masalah-masalah yang Dihadapi ADHD


ADHD membawa pengaruh kepada setiap aspek kehidupan anak. Anak- anak
yang menderita ADHD seringkali mendapat kesulitan dalam memahami instruksi,
mengingat tugas, bermain dengan baik bersama saudara sekandung, atau
mengingat peraturan-peraturan. Individu ADHD selalu berada dalam kesulitan.
Mereka sulit untuk ikut serta dalam aktivitas kelompok atau duduk diam di kelas,
dan mungkin dicap sebagai anak nakal.
Karakteristik yang dimiliki ADHD tersebut cenderung membuatnya dapat
mengalami kegagalan akademik. Anak dengan ADHD seringkali kesulitan dalam
belajar. Masalah-masalah yang berkaitan dengan belajar dialami oleh anakADHD,
seperti kesulitan belajar membaca, berhitung, menulis dan lain-lain. Masalah
mendasar yang menjadi penyebab kesulitan belajar tersebut dikarenakan adanya
kesulitan berbicara, gangguan motorik dan konsentrasi yang kurang.
Berikut adalah bentuk-bentuk pengaruh kondisi ADHD pada individu,
diantaranya:
1. Pengaruh ADHD pada perilaku. Individu ADHD menunjukkan perilaku-
perilaku yang negatif dalam kesehariannya yang tidak mampu dikontrol, yaitu:
menuntut, turut campur dengan orang lain, mudah frustrasi, kurang
mengendalikan diri, tidak tenang/ gelisah, lebih banyak berbicara, suka
menjadi pemimpin, mudah berubah pendirian, mengganggu, cenderung untuk
mendapat kecelakaan, mudah bingung, mengalami hari-hari baik dan buruk.
2. Pengaruh ADHD pada aspek sosial. Individu ADHD menunjukkan lebih
mementingkan diri sendiri, mudah cemas, kasar, tidak peka, tidak dewasa,
tertekan, harga diri rendah, keras, membuat ramai, tidak berpikir panjang,
menarik diri dari kelompok, sering berperilaku tanpa perasaan, tidak mau
menunggu giliran.
.
DAFTAR RUJUKAN

Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid I. Jakarta:

Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3)

Kampus Baru UI, Depok.

Pieget, Jean. 1979. Relations Between Psychology and Other Sciences. Swuizeland: Annual

Reviews Inc.

Suharmini, Tin. 2007. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.Jakarta: Departemen Pendidikan

Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Somad, Permanarian. 2013. “Teori Ekologi sebagai Dasar Pegembangan Keterampilan

Komunikasi Siswa Tunarungu Usia Pra-Sekolah” Jurnal JASSI Vo. 12.

Wargito, Bimo. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai