Anda di halaman 1dari 11

Disusun oleh:

Sinta Nurfadilla ( 2324052)


Nurul Kholifah (2324060)
Amara Salindri ( 2324072)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


SYAIKH ABDURRAHMAN SIDIQ
BANGKA BELITUNG
2023/2024
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang mampu untuk mengendalikan dirinya
sesuai dengan yang mereka mau, entah mereka suka melakukan kebaikan atau pun
sebaliknya, namun ketika manusia tidak memiliki kekuasaan terhadap diri sendiri itu akan
mempengaruhi pola hidup mereka, bagaimana nantinya mereka bertindak semuanya
tergantung kepada manusia itu sendiri.
Manusia bisa disebut sebagai manusia apabila dia memiliki badan dan jiwa, karna dua
hal ini adalah satu kesatuan yang saling terikat. Contoh ketika seseorang mulai merasa
bermasalah pada jiwanya ini akan terlihat kepada perilaku manusia tersebut, keseimbangan
hidupnya, mengapa demikian karna jiwa berperan penting dalam membentuk karakter
manusia. Lalu jika manusia tidak memiliki badan jiwa tidak bisa berperan untuk dapat disebut
manusia karna badan adalah bentuk nyata dari eksistensi manusia tersebut.
Badan tanpa jiwa tidak bisa disebut sebagai manusia dan sebaliknya jiwa tanpa badan
juga tidak bisa disebut sebagai manusia. Dua hal ini adalah komponen yang sangat penting
dalam membentuk pribadi manusia mereka tidak akan pernah bisa dipisahkan satu sama yang
lain, kesatuan keduanya menentukan keutuhan pribadi manusia. Namun yang menjadi
pertanyaan bagaimana kita harus mengerti badan dan jiwa? Apa saja aliran-aliran yang
berisikan uraian tentang badan manusia? Tokoh- tokoh apa saja yang mendukung aliran-aliran
itu? Apa itu pengertian hakikat badan? Jiwa? Melalui tulisan ini penulis berharap pembaca
mampu memahami masalah- masalah yang telah dipaparkan diatas tadi dan ini juga sebagai
bentuk penyelesaian dari tugas yang telah diberikan dosen pengampu untuk filsafat manusia
yaitu bab Badan Dan Jiwa.
PEMBAHASAN

1. ALIRAN- ALIRAN
A. Monisme
Monisme adalah kata serapan dari monism. Sedangkan akar kata dari “ Monisme”
berasal dari bahasa yunani dari kata monos yang berarti tunggal atau sendiri. Selanjutnya kata
isme itu sendiri menujukan bahwa monisme adalah sebuah paham berteorikan ketunggalan
yang tumbuh dan berkembang dalam dinamika ilmu filsafat. Aliran ini pertama kali
digulirkan oleh permenides, seorang filsuf yunani abad 6 SM beliau berpendapat bahwa satu-
satunya eksitensi yang sejati adalah tunggal, tidak terbatas dan tidak terbagi-bagi.
Lorens Bagus, memberikan sejumlah pengertian, yaitu:
a. Teori bahwa segala hal dalam alam semesta dapat dijabarkan pada ( atau dijelaskan dalam
kerangka) kegiatan satu unsur dasariah. Misanya, Allah, materi, pikiran, energi, bentuk.
b. Teori bahwa segala hal berasal dari satu sumber terakhir tunggal.
c. Keyakinan bahwa realitas adalah satu, dan segala sesuatu lainnay adalah ilusi.
d. Ajaran yang mempertahankan bahwa dasar pokok dari eksistensi adalah satu sumber. Bagi
kaum materialis, materi merupakan dasar dunia, sementara bagi kaum idealis, dasar dunia
adalah roh.

Dari sejumlah pengertian tersebut bisa dipahami bahwa monisme adalah paham atau
ajaran yang menjelaskan eksistensi segala realita alam semesta berasal dari satu sumber
kebenaran yang tunggal.
Monisme adalah konsep metafisika bahwa hanya ada satu subtansi dalam alam, seperti
manusia bahwa badan dan jiwa adalah satu kesatuan, inilah yang menjadi dasar aliran
monisme untuk filsafat yang menolak pandangan badan dan jiwa adalah dua unsur yang
terpisah seperti pandangan dari aliran dualisme. Aliran ini menyatakan badan dan jiwa
merupakan satu subtansi. Aliran ini memiliki tiga bentuk, yakni materialisme, teori identitas,
dan idealisme.
Meterialisme merupakan suatu ajaran, paham yang mengganggap segala sesuatu yang
ada adalah materi atau kebendaan. Segala sesuatu yang tidak dapat diihat secara nyata
dianggap tidak ada, materialisme adalah teori tertua yang membicarakan hubungan badan dan
jiwa. Prinsip utama dalam aliran ini adalah menempatkan materi sebagai dasar dari segala hal
yang ada. Aliran ini juga sering disebut sebagai fisikalisme. Bagi penganut aliran ini yang
terdalam dan paling awal serta satu-satunya yang nyata adalah materi. Materi bereksistensi
karna ia memiliki kekuatan tersendiri, artinya materi bisa ada tanpa dukungan atau gerakan
dari non materi. Materi merupakan sumber keterangan yang terdalam bagi segala sesuatu.
Segala sesuatu itu bergantung kepada materi
Penganut aliran ini mengakui bahwa manusia bersumber dari materi semata. Karena
bersumber dari materi, maka kemungkinan-kemungkinan yang dimilikinya tidak melebihi
kemungkinan-kemungkinan dari kombinasi materi. Dan menurut aliran ini jiwa tidak
memiliki eksistensi sendiri, jiwa bersumber dari materi. Jiwa merupakan buah terakhir dan
merupakan hasil evolusi tertinggi dari materi.
Dengan pengakuan seperti ini, eksistensi jiwa tidak bersifat ontologis bagi kaum
fisikalisme, melainkan bersifat kronologis. Sebeb materi adalah penentu, maka dimata
materialisme segala aktivitas dan ungkapan serta kejadian yang melibatkan mental tidak lain
merupakan keadaan otak, dan tidak ada alasan bagi humanitas pada dimensi fisik memiliki
implikasi negative terhadap terhadap penilaian atas aktivitas mental. Dalam pengakuan ini
aktivitas mental tidak dianggap sebagai aktivitas yang mendasar.
Teori identitas menekankan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh
teori meterialisme, bahkan mengakui apa yang disangkal oleh materialisme, yakni aktivitas
mental. Bagi penganut aliran ini penyataan mental merupakan identitas manusia. Inilah yang
membedakan manusia dengan makhluk lain.
J.J Smart dan H. Feigel merupakan dua tokoh penganut dari aliran ini mereka
membedakan manusia secara filosofis menurut arti dan referensi, atau konotasi dan donotasi.
Mereka menyebutkan bahwa mental dan fisik bukan merupakan dua hal yang berbeda secara
mendasar. Tetapi itu hanya berbeda dalam arti atau konotasi,
tetapi secara empiris menunjukan kepada gejala atau objek yang sama. Dengan
demikian bagi penganut teori identitas, letak perbedaan dari jiwa dan badan hanya pada arti,
bukan pada referensi. Dengan kata lain badan dan jiwa adalah dua elemen yang sama.
Cabang monisme yang lain adalah idealisme. Jika penganut materialisme meletakkan
bahwa materi diatas segala hal, sedang untuk kaum idealis meletakkan pada diluar materi.
Idealisme melihat sesuatu yang bertolak belakang dari pandangan kaum materialisme sebagai
hal yang hakiki dalam diri manusia. Menurut aliran materi, pengalaman, nilai, dan makna
adalah hal-hal serta gejala yang tidak dapat diterangkan semata, semuanya tidak memiliki arti
apabila dikaitkan dengan materi saja. Secara positif bahwa pengalaman, nilai, dan makna
hanya berrati kalau dihubungkan dengan sesuatu immaterial. Dan itu adalah jiwa.
Penganut idealisme lebih lanjut menegaskan bahwa untuk bisa memahami realitasdan
kejadian-kejadian spasial dan temporal sampai pada hakikat yang terdalam, kita tidak boleh
menyingkirkan dimensi spritual, karena dimensi ini memiliki peran yang mendasar dan sangat
luas bagi kehidupan manusia. Dimensi spritual mempersatukan masa lampau, masa kini, dan
massa yang akan datang. Dimensi spritual juga menyatukan fakta dan nilai, dan apa yang
sungguh ada dan mungkin ada. setiap hal yang bersifat fisik senantiasa termasuk dalam salah
satu segi pasangan dan tidak sekaligus termasuk kedalam keduanya. Hal- hal semacam ini
selalu merupakan fakta pada masa kini. Jadi alam, ruang, dan waktu merupakan tempat
meyatakan diri manusia hanya bermakna karena jiwa hadir didalamnya.
Dalam sejarah filsafat modern Rene Descrater (1596-1650) dikenal sebagai peletak
dasar bagi teori idealisme melalui ungkapannya “cogito irgo sum” saya berpikir maka saya
ada. Dalam ungkapan ini, Descrates secara jelas mengaitkan jiwa dengan kegiatan berpikir.
Kegiatan berpikir merupakan wujud eksistenti sekaligus ciri utama manusia yang hidup. Jadi
dasar eksistensi manusia bagi Descrates, bukan pada aktivitas kejasmanian melainkan pada
aktivitas jiwa, yakni berpikir.
B. Dualisme

Dualisme adalah aliran yang mengajarkan pandangan yang bertolak belakang dengan
pandangan monisme.Pandangan ini mengafirmasikan dualitas yang artinya badan dan jiwa
merupakan dua elemen yang berbeda dan terpisah. Dan perbrdaan keduanya ada dalam
penegrtian dan objek.
Dualime pada memiliki empat cabang, yakni interaksinalisme, okkasionalisme,
paralelisme, dan epifenomenalisme. Interaksionalosme memfokuskan diri pada hubungan
timbal balik antara badan dan jiwa. Aliran ini mengakui bahwa peristiwa-peristiwa mental
kadang-kadang menyebabkan peristiwa badani, sebaliknya juga peristiwa badani kadang-
kadang menyebabkan peristiwa mental. Keduanya saling berhubungan. Misalnya , bila
seseorang mengalami gelisah muka akan pucat. Dalam contoh ini, menurut interaksionalisme
kepucatan bersumber dari kegelisahan. Ia adalah sebab dari kepucatan. Contoh lain ketika
seseorang mengalami sakit gigi itu akan mempengaruhi semangat kerjanya. Kendati peristiwa
badan dan mental saling terkait dan saling mempengaruhi, namun namun dalam pandangan
intereksionis badan dan jiwa merupakan dua entitas yang terpisah.
Okasionalisme adalah cabang dualisme yang lain. Penganut aliran ini memasukan
dimensi ilahi dalam membicarakan hubungan badan dan jiwa. Arnold Geulincx ( 1624-1669)
dan Nicolas de Mallebrance ( 1638-1716) mereka adalah termasuk penganut dari aliran
dualisme ini. Keduanya berpendapat bahwa hubungan dari peristiwa antara mental dan fisik
bisa terjadi karena campur tangan dari Allah. Tanpa intervensi itu, relasi antara badan dan
jiwa tidak mungkin terjadi. Allah merupakan satu-satunya penghubung antara hal-hal yang
bersifat fisik dan hal-hal antara bersifat mental. Allah selelu memiliki kesempatan untuk
menyesuaikan antara yang mental dan yang fisik. Dalam perasaan takut misalnya, menurut
pandangan ini Allah memiliki kesempatan untuk membuat bdan bergetar.
Selanjutnya paralelisme. Aliran ini menyejajarkan antara kejadian ragawi dan rohani.
Aliran ini menyatakan bahwa sistem kejadian ragawi terdapat di alam, sedangkan sitem
kejiwaan terdapat dalam jiwa manusia. Di antara keduanya tidak terdapat hubungan sebab
akibat. Badan memiliki peristiwa sendiri, demikian juga jiwa memiliki peristiwa sendiri.
Tetapi keduanya berjalan bersaman.
Jadi, menurut paralelisme dalam diri manusia ada dua peristiwa yang berjalan seiring,
yakni peristiwa mental dan fisik, namun satu tidak menjadi sumber yang lain. Masing-masing
sistem berjalan secara terpisah. Kejadian-kejadian fisik menimbulkan kejadian fisik yang lain.
Dan kejadian-kejadian mental menimbulkan kejadian-kejadian mental yang lain. Kejadian
fisik tidak pernah menimbulkan kejadian mental yang lain, demikian sebaliknya. Gottfried
Wilhelm Leibniz ( 1646-1716), seorang penganut aliran mengakui bahwa peristiwa mental
dan peristiwa fisik telah diatur oleh Tuhan dengan sedemikian rupa bagaikan dua jam yang
telah diatur bersamaan waktunya. Dalam hubungan keduanya terjadi mekanisme sempurna
sehingga peristiwa badaniah dan rohaniah terjadi secara serentak, meskipun keduanya tidak
memiliki hubungan kasual atau sebab akibat.
Epifenomenalisme aliran ini melihat hubungan badan dan jiwa dari fungsi syaraf. Aliran
ini menyatakan bahwa satu-satunya unsur yang kita temui untuk menyelidiki proses kejiwaan
ialah syaraf kita. Proses kejiwaan seperti kesadaran dilihat sebagai nyala yang berasal dari
proses-proses syaraf. Aliran ini menyangkal pengaruh kesadaran terhadap proses kejiwaan.
Setelah pemaparan diatas maka monisme dan dualisme adalah pandangan yang bertolak
belakang sebagai peletakkan eksistensi manusia sebagaimana monisme dengan teori
materialisme nya berpandangan bahwa materi diatas hal yang lain tentunya pandangan ini
memiiki kelemahan. Sebab itu bertentangan dengan hakikat manusia yang sesungguhnya.
Mari kita mengacu pada pandangan plato, jelaslah badan dan jiwa memiliki sifat yang
berbeda. Plato menandaskan bahwa badan bersifat sementara, sedangkan jiwa bersifat abadi.
Maka dari itulah tidak mungkin sesuatu yang bisa mati bersumber dari sesuatu yang bisa mati.
Sesuatu yang relatif tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang absolut.
Kelemahan lain dari materialisme ialah, aliran ini tidak bisa melihat bahwa pengalaman
bersifat personal. Misalnya, rasa sakit yang disebabkan oleh luka. Menurut penganut
fisikalisme, rasa sakit itu adalah yang berlangsung dalam otak sang penderita yang disebabkan
oleh luka dan membuat menjerit serta berupaya menghindari benda yang melukai itu. Dan hal
itu dapat merupakan suatu keadaan fisik semata dalam otak. Tetapi aliran ini tidak menyadari
bahwa pengalaman satu orang dengan orang yang lain tentang hal yang sama sangat berbeda.
Dengan kata lain, rasa sakit dirasakan atas dasar rasa cara tertentu dan pengalaman pahit ini
berbeda dari semua relasinya sebab dan akibat, dan juga dengan semua sifat fisik yang
mungkin memliki rasa sakit itu.
Lalu terhadap pandang dualisme, khusunya untuk paralelisme, teori ini berpandangan
bahwa badan dan jiwa merupakan dua hal yang terpisah serta memiliki kegiatan masing-
masing yang tidak terkait satu sama lain juga sulit diterima. Contoh kasus jika memang
pandangan ini benar, dapatkah seseorang berbuat baik terhadap seseorang yang lain tanpa ada
dorongan dalam dirinya, yakni niat yang baik. Contoh kedua dapaatkah diterima rasa sakit
pada gigi seorang karyawan tidak mempengaruhi semangat kerja? Jawaban untuk kasus
pertama jelas tidak karena niat berbuat baik itu bersumber dari jiwa bukan materi.
Namun perbuatan baik itu tidak bisa terwujud kalau tidak didukung oleh tindakan.
Misalnya dengan memberikan sedekah menggunakan tangan. Demikian untuk kasus kedua
jawabannya iya karna ketika seorang yang mengalami sakit gigi itu akan mempengaruhi
semangat kerja orang tersebut.
Dari dua contoh ini maka pandanga paralelisme yang mensejajarkan antara jasmani dan
rohani itu tidak masuk akal. Pensejajaran ini justru bertolak belakang dengan realitan bahwa
manusia adalah makhluk rohani dan makhluk jasmani sekaligus. Badan dan jiwa dalah satu
kesatuan yang membentuk manusia secara utuh. Manusia adalah badan dan sekaligus rohani.
Konkritnya, badan manusia adalah suatu objek dengan segi rangkap; yakni segi fisik dan segi
mental; badan dapat dibedakan namun badan mampunyai semacam sifat batiniah yang tidak
dapat diperlihatkan melalui upaya pembedahan tersebut. Ia adalah makhluk ‘’ dwi segi’’.
Keakuan manusia terjadi karena keduanya menyatu.

2. Badan Manusia

Manusia adalah makhluk yang berbadan. Manusia terdiri dari badan dan jiwa. Jiwa adalah
aspek dari rohani. Sedang badan adalah aspek dari rohani dan rohani yang menjasmaninya.
Tubuh manusia adalah hubungan eratnya dengan dunia dan partisipasinya dengan roh.
Badan merupakan elemen mendasar dalam membentuk kepribadian manusia. Badan adalah
dimensi yang paling nyata. Bagi Aristippus (366-435 SM) pendiri Mazhab Cyrenaik,
menyatakan bahwa, “ kesenangan tubuh jauh lebih baik dari pada kesenangan jiwa”. Artinya,
jiwa baik namun tubuh lebih baik. Hal ini tentu memiliki alasan mengapa Aristippus
berpendapat seperti itu, mengingat pada saat itu yunani sangat memuja tubuh. Orang-orang
yunani gemar membuat indahnya postur tubuh manusia, lewat lukisan, pahatan pating
selajutnya mereka akan merayakan itu dalam bentuk perlombaan.
Kemudian dalam pandangan tradisional, badan ialah suatu kumpulan berbagai entitas
material dalam membentuk makhluk. Mekanisme biologis yang bersifat kausal menjadi ide
sentral dalam pendekatan ini. Dalam pandangan seluruh mekanisme gerakan badan bersifat
mekanistik. B.F.Skinner (1904-1990) termasuk orang yang mengakui pandangan seperti itu.
Ia mengidentikan seluruh gerakan badan manusia dengan gerakan mesin, yang seluruh
aktivitasnya terjadi karna sebab dan akibat.
Tetapi pandangan dari skinner ini bersifat deterministik dan tidak mmeberikan pemahaman
yang mencukupi tentang keutuhan kepribadian manusia. Pengertian yang dipaparkan itu tidak
luas maka dari itu badan harus dimengerti melebihi dimensi fisik, yakni seluruh proses yang
terjadi didalamnya. Badan manusia bukan sekedar tubuh yang konkret, dan bukan juga
sekedar kumpulan-kumpulan organ tubuh. Badan itu sungguh-sungguh manusiawi, ia tidak
bisa disamakan dengan materi infrahuman tidak ada satu pun tubuh manusia yang disamakan
dengan hewan.
Badan atau perwujudan manusia itu jauh lebih elastis dari dan mandiri dari semua makhluk
lain. Badan bersifat individual karna bersifat kepribadian dan juga bersifat universal karna
memahaminya sebagai manusia. Badan menyangkut keakuan. Sebab manusia menyadari diri
sebagai “aku”. “Aku” bukan badan dan bukan jiwa tetapi keutuhan diriku, keutuhan jiwa dan
tubuh.
Menurut pandangan Gabriel Marcel (1889-1973) sangat tepat ketika ia mengatan,
“membicarakan tubuh adalah membicarakan diri”. Lalu menurut N. Driyarkara, tubuh adalah
unsur diriku. Ia bukan seperti sepatu pada kaki, atau topi di kepala, tubuh itu aku dan tubuh
adalah penampakan dari aku. Selanjutnya pandangan dari Sartre menegaskan tubuh adalah
diri dan diri adalah tubuh: “ aku menghidupkan tubuhku. Aku adalah tubuhku yang
menunjukan siapa aku.” Pandang ini bertentangan dengan pandangan Descartes yang
menyatakan “ pikiran yang dengannya aku menjadi aku”. Ketika Descrates ditanya apakah
tubuh itu? Ia menjawab “ aku menyadari diriku sendiri pertama-tama karena ia memiliki
wajah, tangan, lengan, dan seluruh mesih yang dibuat dari daging dan tulang, sama seperti
mayat yang terbaring saya tunjuk dengan nama tubuh.
Lalu proses pengenalan diri kepada orang lain ini melalui dari aktivitas badaniah, ketika
seorang berjumpa dengan orang lain dalam sebuah pertemuan, bukan sekedar pertemuan
badan saja namun melainkan juga bertemu dengan dirinya. Ia memang mentap mata,
mendengar suara, melihat bagaimana gerakan orang yang bersangkutan.
Tetapi semua aktivitas badani ini tidak bersifat lahiriah belaka, melainkan menyatakan
sesuatu yang mendasar dari orang yang bersangkutan, yakni keakuannya. Dengan demikian
kegiatan fisikal itu mengungkapkan subjektivitas. Memandang hal ini Martin Buber (1878-
1965) bahwa pertemuan antara manusia merupakan pertemuan antara Aku dan Engkau.
Dalam hal ini tubuh menjadi intermediasi antar pribadi.
Sebagai intermediasi, tubuh juga menjadi media pengembangan diri setiap pribadi. Seorang
atlet setiap hari melatih diri untuk menjadi atlet yang handal melalui kegiatan fisik. Demikian
halnya dengan seorang pelajar akan menggunakan matanya untuk belajar dan menggunakan
tangannya untuk menulis serta mengerjakan tugas-tugas yang telah diberikan demi masa
depan yang baik. Orang tua bekerja keras dari pagi hingga malam agar mampu membiayai
kebutuhan anak dan keluarga. Semua kegiatan seperti ini adalah menunjukan kegiatan-
kegiatan badania seorang mengembangkan diri dan orang lain.
Badan bukan hanya sebatas berfungsi disitu saja. Badan juga menghadirkan dunia bagi
manusia, sebaliknya menghadirkan manusia bagi dunia. Manusia berpartisipasi didalam dunia
melalui pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan tangannya. Jadi, melalui badan manusia
mengarahkan diri pada dunia dan memanifestasikan diri sendiri terhadap orang lain. Melalui
badan manusia mengabadikan miliknya untuk membangun dunia.
Dari berbagai macam uraian yang telah dipaparkan pengertian badan jauh lebih luas dari
sekedar fisik, yakni seluruh proses intesitas aktual yang membentuk satu kesatuan pribadi
manusia. Demikian juga, hakikat badan bukan pertama-tama terletak dari dimensi
materialnya, melainkan seluruh entitas yang terjadi di dalam badan seperti tertawa, menangis,
berjalan, berlari, duduk, tidur dan segala aktivitas lainnya, semua itu adalah satu-kesatuan
yang membentuk jati diri manusia.

3. Jiwa Manusia

Badan manusia tidak memiliki apa-apa tanpa adanya jiwa. Dan tidak ada keakuan kalau ia
lepas dari jiwannya. Itu berarti jiwa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perwujudan
jati diri manusia. menurut ibnu sina, jiwa dan tubuh adalah dua hal yang berbeda. Tubuh
hanya berperan sebagai kendaraan saja, sementara esensinya itu adalah jiwa. Ia sependapat
dengan Aristoteles bahwa jiwa memiliki ikatan yang erat dengan tubuh, karena keduanya
saling mempengaruhi. Tubuh adalah tempat bagi jiwa dan jiwa adalah syarat untuk adanya
tubuh. Namun hubungan bersifat esensial ditolak oleh Ibnu Sina beliau lebih sependapat
dengan plato bahwa kehancuran tubuh tidak membawa kehancuran jiwa.
Menurut descrates seorang yang memberikan gagasan pemikiran modern yang
mengedepankan jiwa dalam unsur manusia, ia menganggap jiwa sebagai dzat yang terpisah
dari tubuh, secara fungsional, sehingga terjadi tidak saling bergantung antara keduanya. Imam
Ar-Razy berpendapat bahwa jiwa, adalah sesuatu yang tunggal, seakan-akan manusia berdiri
dari dua keadaan, yakni kadang-kadang memahami bahwa jiwa dipengaruhi dari faktor luar,
hingga keasliannya sebagai yang tunggal akan berubah, misalnya jiwa marah ini akan terpicu
kemunuculannyaa karna faktor dari luar. Al –Kindi mendefinisikan jiwa sebagai
kesempurnaan esensial bagi badan. Tanpa jiwa badan tersebu tidak dapat berfungsi sama
sekali. Badan akan binasa jika ditinggalkan oleh jiwannya.
Banyak dari para filsuf yunani beranggapan bahwa jiwa itu bukan fisik dab kefanaan, tidak
berada disuatu tempat, tidak memiliki ukuran panjang, warna, bagian, tidak berada diluar
alam lainnya, dan juga tidak bisa diserupakan dan dibedakan dengan apapun. Para filsuf ini
memahami jiwa sebagai sesuatu yang sulit digambarkan secara materil. Sebagai sesuatu yang
gradual dan tercecer kemana- mana yang tidak punya ukuran sama sekali. Tetapi dia ada
disetiap makhluk yang memiliki roh dan memiliki fungsi dalam gerak makhluk, karena setiap
makhluk pati memiliki fisik dan menempati ruang dan waktu walaupun berbeda-beda
ketampakannya.
Dalam pandangan masyarakat tradisional jiwa dimengerti sebagai makhluk halus, atau
kekuatan halus, bahkan sebagai tubuh yang tidak bisa ditangkap oleh indera. Pengertian ini
tidak mengungkapkan eksistensi sebenarnya tentang manusia. Konsep seperti ini meletakkan
jiwa diluar dari hakikat manusia. Karena itu pengertian tradisional ini kita tinggalkan.
Jiwa merupakan sesuatu yang berbeda dengan tubuh. Jiwa adalah satu hal, dan tubuh
aadalah hal lain. Jiwa esensinya sebagai adalah kesadaran dan berpikir, keberadaannya tidak
bergantung pada ruang dan waktu karena ia merupakan “ subtansi” yang immaterial atau non
fisik.

Sebagaimana badan kita pahami sebagai seluruh aktivitas komplek kegiatan fisik, demikian
juga jiwa harus dipahami sebagai kompleksitas kegiatan mental manusia. Bagi eksistensi
manusia jiwa merupakan sesuatu yang hakiki. Jiwa menyadarkan manusia akan siapa dirinya,
menentukan perbuatannya dan menyadarkannya akan kehadiran di tengah dunia. Dengan kata
lain jiwa merupakan penggerak dari seluruh aktivitas fisik manusia. Aktivitas fisik tidak bisa
berjalan tanpa jiwa.
Pandangan dari James B. Pratt ( 1875-1944) ada empat kemampuan mendasar dalam jiwa.
Pertama, kemampuan menghasilkan kualitas-kualitas penginderaan. Kita bisa merasakan
manisnya gula, kita bisa merasakan panasnya api, kita bisa merasakan kerasnya batu kali,
menurut Pratt hanya karena jiwa kita bisa merasakan semua itu.
Kedua, kemampuan menghasilkan makna yang berasl dari penginderaan khusus, seperti
telepati. Penginderaan itu memampukan seseorang untuk bisa merasakan sesuatu yang
dirasakan oleh orang lain dari kejauhan.
Ketiga, kemampuan memberikan tanggapan kepada hasil-hasil penginderaan dan makna
dengan jalan merasakan, berkehendak atau berusaha. Kalau anda jalan-jalan, dan melihat
orang miskin tertidur di jalan raya, dalam diri anda ada perasaan kasihan. Anda tidak hanya
merasa kasihan, melainkan anda juga mau melakukan sesuatu terhadap orang miskin tersebut.
Misalnya, memberikan sedekah kepadanya. Kemampuan untuk merasakan dan keinginan
untuk membantu orang miskin menurut Pratt bersumber dari jiwa.
Keempat, kemampuan memberikan tanggapan terhadap proses-proses yang terjadi dalam
pikiran demi kebaikan. Dalam diri manusia selalu ada keinginan. Tetapi tidak semua
keinginan itu baik. Jiwa menggerakkan untuk meninggalkan keinginan yang tidak baik. Dari
hal ini jiwa memiliki fungsi moral. Ia menggerakkan manusia untuk melihat baik dan
buruknya perbuatan serta memampukannya untuk meninggalkan yang buruk.
Apa yang dikatakan Pratt tentang fungsi moral jiwa sebenarnya tidak jauh dari apa yang
dikatakan oleh Santo Augustinus ( 354-430) M. Menurut augustinus, manusia hanya bisa
melakukan penilaian terhadap tindakannya karena dorongan jiwa. Bahkan eksistensi jiwa
justru terungkap pada pengetahuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk.
Tetapi menurut Augustinus fungsi jiwa bukan hanya membuat manusia tahu tentang yang
baik dan buruk saja, melainkan jiwa juga mendorong manusia untuk melakukan hukum-
hukum moral yang diketahui. Praktik moral dalam kenyataan sehari-hari menurut augustinus
merupakan tanda berfungsinya jiwa dalam diri seseorang. Augustinus lebih lanjut
menunjukan bahwa ada dua sumber dari tindakan moral, yakni kehendak dan cinta.
Kehendak merupakan aktivitas jiwa yang memebuat manusia mewujudkan keinginannya.
Kehendak selalu menyertai empat dorongan hati manusia, yakni keinginan, ketakutan,
sukacita, dan dukacita. Keempat dorongan tersebuat adalah sebagai bentuk keaktuvan
kehendak. Ketika seseorang menghendaki sesuatu dan menikmatinya, maka kehendak ialah
keinginan, lalu ketika dalam proses mendapatkan keinginan tersebut dan berhasil
mendapatkannya, maka kehendak yang menyetujui itu adalah sukacita. Namun ketika
kehendak itu tertolak makan kehendak yang menyetujui itu menjadi dukacita. Semua
pengenalan manusia dalam kehidupan sehari-hari menurut Augustinus dikuasai oleh
kehendak.
Akan tetapi Augustinus juga berpendapat bahwa manusia tidak hanya terdiri dari dorongan
untuk memenuhi keinginan, namun juga ada dorongan melakukan sesuatu yang lebih luhur.
Dorongan itu ialah cinta. Cinta merupakan gaya gerak dari batin yang paling fundamental.
Cinta secara kodrat bekerja didalam jiwa. Cinta menggerakkan jiwa manusia pada sesuatu
yang lebih baik.

Dari segala uraian tentang jiwa menurut pandangan-pandangan ahli filsuf jelas lah bahwa
jiwa bukanlah makhlus halus yang masuk kedalam diri manusia sebagimana yang dipahami
oleh masyarakat tradisional. Jiwa adalah hidup manusia itu sendiri. Jiwa merupakan
penggerak aktivitas manusia. karena jiwa manusia mampu merasakan sakit dalam tubuhnya,
menyadari dan menilai perbuatannya, memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya,
menyatukan pengalaman-pengalaman masa lalu dengan pengalaman masa kini, belajar dari
masa lalu dan merencanakan masa depan. Singkatnya, jiwa membebaskan manusia dari
keadaan semata-mata ditentukan oleh kejasmanian.
Semua kemampuan jiwa yang diperlihatkan oleh Pratt dan Santo Augustinus menunjukan
bahwa jiwa memiliki peran vital bagi kehidupan manusia. tanpa kehadiran jiwa, manusia
tidak bia berbuat apa-apa. Dapat dikatakan, keakuan manusia justru terdapat dalam jiwanya
karena itulah Pratt benar ketika berkata “ Jiwa adalah aku. Ia mempunyai cita-cita serta
tujuan, mempunyai kehendak, yang menderita, yang berusaha dan yang mengetahui. Aku bisa
tetap bisa dapat bertahan dalam menghadapi perubahan-perubahan dan tetap bersifat unik
justru karena jiwa. Ia sadar akan waktunya, mempersatukan masa kini, masa lalu serta
melakukan pencerapan, mengingat, merasakan serta berpikir.
Kemampuan-kemampuan jiwa yang disebutkan di atas menjadi alasan mendasar untuk
menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan manusia tidak bersifat mekanistik. Artinya, tindakan-
tindakan manusia bukan disebabkan oleh hukum sebab akibat sebagaimana yang
diproklamirkan oleh Jacques Monod ( 1910-1976), melainkan muncul dari kesadaran. Karena
itu jiwa sebagaimana yang diakui oelah Thomas Aquinas ( 1225-1274) merupakan prinsip
kegiatan intelektual. Prinsip ini membuat manusia menjadi makhluk yang bebas dari tubuhnya
dan dari dunianya.

4. Kesimpulan

Dari semua penjabaran diatas bahwa manusia bukan hanya memiliki badan saja tetapi juga
memili jiwa. Jiwa sangat berperan penting dalam segala aktivitas yang manusia lakukan
tersebut. Badan dan jiwa adalah dua komponen yang tidak bisa saling melepas mereka harus
satu karena antara badan dan jiwa itu sama pentingnya. Sebagaimana jika badan tanpa jiwa
tidak akan ada dan jiwa tanpa badan tidak akan mungkin. Jiwa merupakan kehidupan bagi
badan dan badan adalah wadah untuk menampung jiwa. Jiwa adalah penentu untuk mampu
melaksanakan aktivitas-aktivitas mental seperti berpikir, menikmati keindahan, menginginkan
kebahagiaan, mengusahakan kemajuan, mengambil keputusan, melakukan kebaikan kepada
orang lain, serta menilai perbuatan. Maka ini yang menjadi landasan manusia akan bisa
disebut manusia jika memili badan dan jiwa, dua elemen ini merupakan dua prinsip ontologis.
Sebagai prinsip ontologis, manusia akan menjadi manusia apabila badan dan jiwa bersatu.
Karena itulah pembentukan manusia seutuhnya dan penghargaan terhadap martabar manusia
berkaitan dengan dua elemen tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
[1][1] H. Hasim, “Hubungan Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Perspektif Teori
Monisme Dan Teori Dualisme,” Maz. J. Perbandingan Maz., vol. 1, no. 2, pp. 166–
179, 2019, [Online]. Available: hubungan
[2] A. Basyit, “Dikotomi dan Dualisme Pendidikan di Indonesia,” J. Tahdzibi Manaj.
Pendidik. Islam, vol. 4, no. 1, pp. 15–27, 2019, doi: 10.24853/tahdzibi.4.1.15-28.
[3] A. Pangestu, M. Y. Siregar, and Isnaniah, “Pengaruh Pengembangan Sumber Daya
Manusia Dan Human Relations (Hubungan Antar Manusia) Terhadap Kinerja
Karyawan Badan Pengawas Obat dan Makanan Kota Medan,” J. Ilm. Manaj. dan
Bisnis, vol. 1, no. 1, pp. 1–15, 2020, [Online]. Available:
https://www.jurnalmahasiswa.uma.ac.id/index.php/jimbi/article/view/362
[4] N. K. Dewi et al., “3Hunhpedqjdq *Dplilfdwlrq Gdq ’Dpsdn *Dph 2Qolqh Whukdgds
-Lzd 0Dqxvld Gl .Rwd 3Lqwdu ’., -Dnduwd,” vol. 5, no. 3, pp. 315–320, 2022.
[5] R. S. Putra and Y. Yuhandri, “Sistem Pakar dalam Menganalisis Gangguan Jiwa
Menggunakan Metode Certainty Factor,” J. Sistim Inf. dan Teknol., vol. 3, pp. 227–
232, 2021, doi: 10.37034/jsisfotek.v3i4.70.
[6] N. W. Sumertini, “Filsafat Manusia dalam Bhagavad Gita,” Sanjiwani J. Filsafat, vol.
12, no. 1, p. 42, 2021, doi: 10.25078/sjf.v12i1.1991.
[7] H. Susanto, “Filsafat Manusia Ibnu Arabi,” Tsaqafah, vol. 10, no. 1, p. 109, 2014, doi:
10.21111/tsaqafah.v10i1.66.
[8] S. Bakri, “Pemikiran Filsafat Manusia Ibnu Miskawaih: Telaah Kritis Atas Kitab
Tahdzib Alakhlaq,” Al-A’raf J. Pemikir. Islam dan Filsafat, vol. 15, no. 1, p. 147,
2018, doi: 10.22515/ajpif.v15i1.1102.
[9] J. H. Raharusun, “Makna Kerja Menurut Karl Marx (Sebuah Kajian dari Perspektif
Filsafat Manusia),” MEDIA J. Filsafat dan Teol., vol. 2, no. 1, pp. 121–144, 2021.

Anda mungkin juga menyukai