Anda di halaman 1dari 7

BAB X

MANUSIA, JIWA, DAN KEMATIAN

1. Jiwa Manusia Tidak Dapat Direduksikan kepada Badan


Manusia diperlengkapi dengan jiwa yang tak dapat direduksikan kepada dimensi
badaniah. Jiwa itu lebih daripada suatu prinsip penjiwaan dan strukturasi badan.

Pikiran, sebagai Daya Unifikasi

Daya unifikasi dari pikiran tampak bersifat menyeluruh, berhubungan dengan


segala macam data yang dimilikinya. Di antara makhluk-makhluk hidup pikiran
menentukan tipe-tipe dan jenis-jenis yang mendasari klasifikasi sistematisnya. Ia
mengamati gejala-gejala, mengadakan eksperimen-eksperimen dan menyingkapkan
hukum-hukum. Dalam usaha itu pikiran manusia menyusun suatu ide umum atau suatu
tatanan, yang menurut kodratnya bersifat abstrak dan universal.

Pikiran itu bukan saja suatu daya menghimpun realitas, tetapi juga daya
menciptakan kenyataan-kenyataan yang khas bagi roh. Dengan demikian, pikiran
mewujudkan suatu transendensi otentik terhadap materi.

Pikiran, sebagai Daya Refleksi

Pikiran juga menunjukkan ketidaktergantungan terhadap materi dengan cara


refleksi atas dirinya sendiri. Manusia itu melihat dan menganggap dirinya sebagai suatu
makhluk yang berpikir dan berkehendak. Refleksi menunjukkan keunggulannya terhadap
materi.

Santoso Agustinus telah banyak membahas tentang daya roh ini, yang sampai
tingkat tertentu menunjukkan kemampuannya untuk mandiri. Dengan kembali kepada
dirinya sendirilah roh mampu menemukan kebenaran.
Pikiran, sebagai Daya Pelampauan.

Materi, dan semua bentuk enersi fisik, biarpun kuat sekali mereka itu dapat dapat
dikalkulasikan, dapat diukur. Mereka selalu berkuantitas sama, walaupun bentuknya
berubah.

Jika pd intinya roh berhasil melakukan pembaharuan terus menerus, maka itu
disebabkan karena ia dapat memasuki dunia superior ide-ide, dunia kebenaran-kebenaran
kekal, dunia nilai-nilai, dunia yang mengatasi dunia kenyataan-kenyataan material.

Kehendak, sebagai Daya Kebebasan

Daya kebebasan bukan saja mengizinkan kita untuk menguasai kenyataan-


kenyataan material yang membanjiri kita dari segala pihak sampai ke dalam tubuh kita,
tetapi juga untuk sedikit demi sedikit mengubah watak diri kita agar membentuk diri kita
sampai batas tertentu.

2. Jwa Manusia Bersifat Spiritual dan Sederhana

Spiritual Jiwa
Dengan menyatakan bahwa jiwa bersifat spiritual, kita memaksudkan bahwa jiwa
itu secara intrinsik adalah bebas dari materi dalam hakikatnya. Hal itu adalah akibat dari
kenyataan bahwa kelakuan-kelakuan tertentu dari manusia mengungguli kondisi-kondisi
material seperti yang kita lihat.

Kesederhanaan Jiwa

Suatu reaitas adalah sederhana bila ia tidak mempunyai bagian-bagian yang


sungguh berbeda. Bagian-bagian itu dapat disebut esensial atau integraI.
Bagian-bagian esensial merupakan esensi suatu hal yang ada, seperti bentuk
substansialnn materi pertama. Dan jiwa sendirilah yang merupakan bentuk substansial
manusia.

Mengenai bagian-bagian integral, mereka terdapat dalam ruang karena bersifat


kuantitatif (seperti kaki, atau tangan). Tidak ada satupun yang termasuk jiwa yang
bersifat spiritual.

3. Apakah Jiwa Manusia Bersifat Kekal?

Munculnya Masalah
Jika jiwa lebih unggul daripada materi dan secara intrinsik tidak tergantung
padanya, maka timbulah problem tentang apa yang akan terjadi pada saat kematian,
sewaktu fungsi-fungsi jasmani dan psikologis telah merosot sampai pada titik dimana
mereka tidak dapat dilaksanakan lagi.

Apa yang Dikatakan Oleh Pemikir-pemikir Besar?

Plato sebuah nama yang sangat masyhur, memberi beberapa argumen. Inilah
intisari dari argumen-argumennya:
1. Hal-hal yang berlawanan berasal dari hal-hal yang berlawanan. Kematian berasal dari
kehidupan. Demikian pula kehidupan berasal dari kematian.
2. Ajaran mengenai ingatan menunjukkan bahwa jiwa tela hidup sebelum kehidupan
sekarang ini. maka ia masih akan hidup sesudah kehidupan ini.
3. Kodrat jiwa adalah sederhana dan mirip dengan "ide-ide", maka ia tidak bisa
dihancurkan.

Pikiran Aristoteles kurang jelas. Tampaknya ia menolak kekekalan pribadi. Juga


di antara para pemikir kuno, terdapat beberapa yang menyangkal kekekalan. Misalnya
peganut materialisme, pengikut epikuros.
Platinos mengakui kekekalan pribadi, juga paham metempikose. Wahyu Kristen
maupun Yudaisme dan beberapa pengarang gereja lebih mengakui dan mengajarkan
kebangkitan badan daripada kekekalan jiwa.

Pada abad pertengahan, semua filsafat skolastik mengakui kekekalan jiwa dan
mengira dapat membuktikannyadengan argumen-argumen rasional. Namun demikian,
beberapa fillsuf skolastik berkata bahwa tidak ada argumen-argumen rasional yang
pasti.
Dalam zaman modern, kekekalan jiwa telah diakui dan dibela secara filosofis oleh
Descartes, Leibniz, Wolff, Maine De Biran, Ravaisson-Mollien, Herbart, Lotze, dan
masih banyak lagi.

Banyak orang yang dipengaruhi oleh mentalitas sains, tetapi tanpa tahu apa yang
terjadi dalam bidang riset ilmiah yang paling baru, sulit sekali membayangkan bahwa
manusia bisa hidup lagi sesudah kematian biologis. Mengapa? Karena mereka
mengandaikan otak dan pikiran adalah sama.

Argumen-argumen Pokok

Argumen persepakatan universal berbentuk sebagai berikut : Manusia secara


umum percaya akan kekekalan, sebagaimana terlihat jelas pada kepercayaan yang
spontan akan kehidupan terus sesudah kematian. Tetapi jika tidak diakui bahwa
kehidupan iyu mempunyai arti, maka argumen ini menjadi tidak berlaku.
Suatu argumen lain disimpulkan dari etika. Dalam inti hati manusia seolah-olah
ada suatu protes terhadap ide bahwa keadaan “tidak adil” ini tidak akan diperbaiki.
Seharusnya ada suatu sanksi untuk hukum moral, tetapi ini tidak mungkin jika tidak ada
suatu kehidupan lain setelah kematian, suatu kehidupan di mana pahala dan hukuman
diberikan kepada semua orang sesuai dengan perilakunya.
Argumen dari Teilhard de Chardin yang secara relatif baru berpangkal pada
evolusi. Biarpun terdapat banyak sekali halangan, namun evolusi itu terus maju selama
berjuta-juta tahun. Maka, kita dapat menduka bahwa evolusi itu tetap akan mengatasi
kesulitan-kesulitan di kemudian hari.
Argumen teknis dan filosofis, ia terdiri dari tinjauan tentang bagaimana makhluk
dapat berhenti hidup dengan kesimpulan bahwa tak satupun dari cara-cara itu dapat
diterapkan pada jiwa manusia. Esensi suatu makhluk dapat dimusnahkan secaa langsung
karena pembusukan, atau secara tak langsung karena kehilangan suatu sandaran yang
pokok baginya. Sedangkan esistensi suatu makhluk dapat musnah karna suatu peniadaan.
Argumen yang disimpulkan dari hasrat kepada hidup dan kebahagiaan merupakan
pelengkap dari argumen yang terdahulu, karena dia merupakan suatu konsekuensi yang
perlu dari struktur jiwa. Manusia tidak pernah mau menerima kematian dirinya sendiri
sebagai suatu kejadian normal, tetapi akhinya waktu untuk meninggal akan datang untuk
semua orang dan toh diterima dengan baik sebagai suatu peristiwa normal dan biasa.
Meskipun deskripsi ini tidak cocok dengan realitas.
Akhirnya argumen yang disimpulkan dari tuntutan-yuntutan cinta kasih
berdasarkan analisis-analisis yang sangat dalam dari Gabriel Marcele serta beberaa filsum
kontemporer lain. Menurut Gabriel Marcele, cinta kasih merupakan eksistensial yang
tidak dapat diragukan. Mencintai seseorang berarti mengharapkan dia akan kekal.

4. Hubungan Antara Jiwa dan Badan


Sesudah kekekalan diakui, pertanyaan yang kita timbulkan dahulu muncul
kembali. Problem ini sungguh menimbulkan sejumlah pemecahan yang seringkali saling
bertentangan satu sama lain..

Interaksionism: Platonisme dan Descartes

Menurut ajaran ini, badan dan jiwa berbentuk substansi lengkap yang saling
mempengaruhi. Doktrin ini sering disebut “dualisme” atau teori “roh di dalam mesin”.
Akan rerapi dengan menganggap manusia itu terdiri dari 2 substansi, teori ini tidak
memperhitungkan kesatuan pribadi yang mutlak. Manusia itu suatu aku yang
dipribadikan dan bukan sepasang, bukan sehimpunan. Menurut teori ini manusia
seharusnya bilang kami dan bukan lagi aku.

Paralelisme Psikofisik Melebranche, Leibniz


Di sini badan dan jiwa dianggap sebagai dua substansi lengkap, tetapi mereka
tidak saling mempengaruhi. Sebab substansi-substansi itu begitu berbeda sehingga
kausalitas efisien tidak dapat diterapkan kepada mereka.

Panpsikisme, atau ParalelismeMonistis

Materi dan kesadaran hanya merupakan dua aspek dari satu kenyataan unik yang
fundamental, suatu aspek psikis dan suatu aspek fisik. Segi psikis adalah jiwa dan segi
fisik adalah badan. Mereka itu bukan dua kenyataan yang berbeda, melainkan kenyataan
yang sama yang dipandang dari dua sudut berlainan. Dengan demikian maka persesuaian
sempurna yang terlihat pada peristiwa-peristiwa mental dan jasmani seseorang, dengan
mudah dapat ditenangkan.

Aktualisme, Fenomenisme

Hanya badanlah yang merupakan suatu substansi, jiwa hanyalah suatu himpunan
fenomena-fenomena psikis. Tetapi lalu pada manusia, apakah yang melaksanakan
aktivitas-aktivitas mental? Mereka menjawab bahwa aktivitas-aktivitas itu datang
mendadak begitu saja bagaikan hari-hari dalam seminggu, tanpa memerlukan suatu
kenyataan yang menjadi dasarnya.

Agnostisisme

Kant dengan ajarannya tentang engetahuan, berkata bahwa meskipun terdapat


kecenderungan bawaan dari roh ke arah pengakuan jiwa, namun akal teoretis tidak dapat
menyimpulkan demikian itu selain dengan suatu paralogisme.

Hylemorfisme

Manusia itu substansi lengkap. Menurut paham hylemorfisme, manusia itu terdiri
dari dua prinsip komplementer, yaitu suatu kausa formal dan suatu kausa material. Pada
manusia, hanya materilah yang merupakan prinsip tidak merdeka yang seluruhnya
tergantung dari pasangannya. Sebab jiwa manusia itu bukan suatu bentuk sybstansial
yang biasa. Ia merupakan bentuk substansial tetapi sekaligus ia juga roh. Ia adalah suatu
roh yang melakukan segala aktivitas bentuk substansial. Dan dari segi ini, ia secara
intrinsik tergantung pada materi.

5. Jiwa Sesudah Kematian


Pada saat kematian maka hubungan antara jiwa dan badan tentu saja berubah.
Sebab biarpun jiwa itu bersifat spiritual, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa
badan. Semua aktivitasnya memerlukan kerja sama dengan badan.
1. Teori pertama mendasarkan diri pada kekuasaan yang khas bagi jiwa. Biarpun
segala ide, putusan dan kehendak kita yang biasa memerlukan gambaran-
gambaran dan pengenalan melalui pancaindera agar bisa terwujuud, namun
ada semacam pengenalan yang tidak langsung memerlukan unsur-unsur itu
yaitu pengenalan yang dimiliki jiwa terhadap dirinya sendiri.
2. Ke akuan yang asli adalah suatu realitas yang dimasukkan ke dalam kosmos
material karena perkembangan badannya.

8. Daftar Pertanyaan

1) Bagaimana pikiran mewujudkan suatu transendensi terhadap materi?

Jawab : Pikiran itu bukan saja suatu daya menghimpun realitas, tetapi juga daya
menciptakan kenyataan-kenyataan yang khas bagi roh. Dengan demikian, pikiran
mewujudkan suatu transendensi otentik terhadap materi.

2) Sebagai daya kebebasan, bagaimana kehendak kita tampak sebagai kemampuan


yang melampaui keinginan-keinginan badaniah?
3)

Anda mungkin juga menyukai