0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
22 tayangan9 halaman
1. Bab 1 membahas tentang antropologi filosofis yang merefleksikan manusia secara keseluruhan dengan memahami prinsip-prinsip utamanya dan menjawab pertanyaan "Siapakah pribadi manusia itu?".
2. Bab 2 membahas tiga derajat kehidupan yaitu vegetatif, sensitif, dan rasional serta hubungannya.
3. Bab 3 membahas definisi jiwa sebagai bentuk substansial dan prinsip pertama aktivitas makhluk hidup men
1. Bab 1 membahas tentang antropologi filosofis yang merefleksikan manusia secara keseluruhan dengan memahami prinsip-prinsip utamanya dan menjawab pertanyaan "Siapakah pribadi manusia itu?".
2. Bab 2 membahas tiga derajat kehidupan yaitu vegetatif, sensitif, dan rasional serta hubungannya.
3. Bab 3 membahas definisi jiwa sebagai bentuk substansial dan prinsip pertama aktivitas makhluk hidup men
1. Bab 1 membahas tentang antropologi filosofis yang merefleksikan manusia secara keseluruhan dengan memahami prinsip-prinsip utamanya dan menjawab pertanyaan "Siapakah pribadi manusia itu?".
2. Bab 2 membahas tiga derajat kehidupan yaitu vegetatif, sensitif, dan rasional serta hubungannya.
3. Bab 3 membahas definisi jiwa sebagai bentuk substansial dan prinsip pertama aktivitas makhluk hidup men
Ringkasan Bab 1: Antropologi Filsafat, atau Filsafat Manusia
Banyak ilmu berurusan dengan pribadi manusia, tetapi masing-masing cenderung berkonsentrasi pada satu aspek. Antropologi filosofis, di sisi lain, merefleksikan manusia secara keseluruhan, berusaha untuk memahami prinsip-prinsip utamanya, dengan kata lain, “mengapa utama” manusia ada dan bertindak seperti yang dia lakukan. Antropologi filosofis berusaha menjawab pertanyaan, “Siapakah pribadi manusia itu?”; Untuk mencapai suatu jawaban, itu juga harus memperhitungkan kontribusi yang dibuat oleh ilmu manusia lainnya. Metodologi antropologi filosofis harus bersifat analitis-induktif (bekerja kembali dari pengalaman hidup ke prinsip-prinsip tertinggi) dan sintetik-deduktif (menerapkan prinsip-prinsip pada fenomena yang dapat diamati untuk mengumpulkan data baru). Antropologi filosofis adalah fondasi etika dan, pada gilirannya, didirikan di atas metafisika. Karena pribadi manusia berorientasi pada transendensi, antropologi filosofis tetap terbuka untuk teologi dan menerima cahaya yang datang dari Wahyu ilahi.
Ringkasan Bab 2: Kehidupan dan Derajat Kehidupan
Hidup adalah gerak diri, dan makhluk hidup adalah makhluk yang dapat mempengaruhi dirinya sendiri dan bertindak dengan sendirinya; ini berarti bahwa semua makhluk hidup memiliki kapasitas imanensi dan kapasitas transendensi, tetapi masing-masing memiliki kapasitas ini pada tingkat yang berbeda. Dilihat dari strukturnya, makhluk hidup dibedakan oleh kesatuan dan konsistensi organis; Berkenaan dengan aktivitas atau dinamismenya, ia dicirikan oleh pergerakan diri dan adaptasi. Ada tiga derajat kehidupan: kehidupan vegetatif (kegiatan nutrisi, pertumbuhan, dan reproduksi), kehidupan sensitif (ditandai dengan hubungan kognitif dengan lingkungan sekitarnya), dan kehidupan rasional atau intellektif (ditandai dengan kapasitas rasional untuk mengetahui yang universal). aspek realitas). Untuk dapat melakukan operasi pada derajat kehidupan yang lebih tinggi, operasi tingkat yang lebih rendah harus ada; Persepsi indera tidak mungkin tanpa aktivitas vegetatif, dan konsep abstrak tidak dapat dibentuk tanpa pengetahuan indra dan aktivitas vegetatif.
Ringkasan Bab 3: Jiwa, atau Prinsip Vital
Filsafat Aristotelian-Thomistik menawarkan dua definisi jiwa. Menurut yang pertama, jiwa adalah bentuk substansial dari makhluk hidup; yang kedua mendefinisikan jiwa sebagai prinsip pertama dari kerja makhluk hidup. Ketika kita berbicara tentang bentuk substansial yang kita maksudkan adalah prinsip metafisik yang dengannya makhluk hidup termasuk dalam spesies tertentu. Jiwa itu sederhana, tidak berwujud, luas, dan unik. Refleksi filosofis tidak boleh melupakan perspektif global; oleh karena itu, kita tidak boleh lupa bahwa jiwa adalah salah satu dari dua prinsip makhluk hidup, yang lainnya adalah tubuh.
Ringkasan Bab 4: Tubuh Yang Hidup
Tubuh adalah salah satu dari dua prinsip makhluk hidup. Tubuh semua makhluk hidup sudah diliputi oleh jiwa; memang, tubuh tanpa jiwa hanya akan menjadi bahan organik, bukan tubuh makhluk hidup. Pada makhluk hidup, tubuh merupakan organisme karena bagian- bagiannya terstruktur dan sinkron satu sama lain. Setiap bagian, atau organ, memiliki fungsi atau finalitas yang tepat, dan dengan demikian kita dapat berbicara tentang intensionalitas bagian- bagian tubuh dalam arti bahwa masing-masing telah ditetapkan sebelumnya untuk tujuan spesifiknya sendiri dan untuk tujuan makhluk hidup secara keseluruhan. Pada manusia, seperti pada semua makhluk hidup, jiwa dan tubuh merupakan satu kesatuan yang substansial, dan hubungan di antara mereka seperti itu antara penyebab formal dan material dari makhluk tersebut. Filsafat modern, khususnya fenomenologi, membuat perbedaan antara tubuh (Körper dalam bahasa Jerman) dan jasmani (Leib) untuk menggarisbawahi perbedaan antara studi objektif tentang tubuh dan persepsi subjektif tentang tubuh sendiri. Teori evolusi berusaha menjelaskan perubahan yang dialami spesies selama berabad-abad, termasuk yang terjadi pada spesies manusia. Teori semacam itu bertujuan untuk menjelaskan kosmogenesis (asal mula alam semesta), biogenesis (kemunculan kehidupan), dan antropogenesis (kemunculan dan perkembangan manusia), tetapi sifat khusus manusia, yang merupakan wujud korporeal-spiritual, tidak bisa. dijelaskan hanya dalam istilah perubahan organik dan genetik. Teori evolusi berusaha menjelaskan perubahan yang dialami spesies selama berabad-abad, termasuk yang terjadi pada spesies manusia. Teori semacam itu bertujuan untuk menjelaskan kosmogenesis (asal mula alam semesta), biogenesis (kemunculan kehidupan), dan antropogenesis (kemunculan dan perkembangan manusia), tetapi sifat khusus manusia, yang merupakan wujud korporeal-spiritual, tidak bisa. dijelaskan hanya dalam istilah perubahan organik dan genetik. Teori evolusi berusaha menjelaskan perubahan yang dialami spesies selama berabad-abad, termasuk yang terjadi pada spesies manusia. Teori semacam itu bertujuan untuk menjelaskan kosmogenesis (asal mula alam semesta), biogenesis (kemunculan kehidupan), dan antropogenesis (kemunculan dan perkembangan manusia), tetapi sifat khusus manusia, yang merupakan wujud korporeal-spiritual, tidak bisa. dijelaskan hanya dalam istilah perubahan organik dan genetik.
Ringkasan Bab 5: Fakultas, atau Prinsip Operatif: Tindakan dan
Operasi Jiwa adalah prinsip pertama dari aktivitas makhluk hidup. Namun setiap makhluk, saat hidup, tidak selalu melakukan operasi yang mampu dilakukannya; misalnya, tidak selalu bergerak atau selalu mengetahui. Jadi, kita berbicara tentang kemampuan-kemampuan, yaitu tentang prinsip-prinsip tindakan langsung yang merupakan daya-daya kerja makhluk hidup. Mereka adalah potensi operasi karena terdiri dari kemampuan untuk melakukan operasi tertentu. Pada manusia, beberapa kemampuan memiliki basis organik tertentu (vegetatif dan indra), sementara yang lain (kemampuan intelek, yaitu intelek dan kehendak) tidak memiliki organ sendiri meskipun operasinya secara ekstrinsik bergantung pada basis organik.
Ringkasan Bab 6: Pengetahuan Manusia: Indra Eksternal
Dalam Bab 2 kita berbicara tentang kemampuan makhluk hidup untuk imanensi dan transendensi. Kedua kapasitas ini adalah dasar dari perbedaan antara dua jenis tindakan yang dilakukan makhluk: tindakan transitif dan tindakan imanen. Tindakan transitif adalah tindakan yang menghasilkan hasil eksternal yang berbeda dari tindakan itu sendiri, misalnya, membangun, mengecat, memasak, dll. Tindakan imanen adalah tindakan yang tidak menghasilkan hasil yang berbeda dari tindakan itu sendiri karena hasilnya tetap berada dalam pelaku yang melakukannya. Baik pengetahuan indera maupun pengetahuan kecerdasan adalah tindakan yang tetap. Aktivitas kognitif dapat didefinisikan sebagai kepemilikan bentuk yang tidak bersifat materi atau disengaja. Dalam mengetahui, seseorang dengan sengaja mengasimilasi realitas. Pengetahuan indera, yang khusus untuk hewan dan manusia (tumbuhan tidak, dalam arti sempit, memilikinya), muncul melalui organ tubuh tertentu. Organ-organ ini adalah tempat indra, yang mempersepsikan bentuk-bentuk kognitif sesuai dengan kondisi material tertentu. Artinya, bentuk indera kognitif selalu bersifat individual dan aksidental, yakni mengacu pada aspek aksidental dari realitas. Filsafat Aristotelian-Thomistik membedakan antara indra eksternal dan internal. Secara tradisional ada lima indera eksternal: sentuhan, rasa, penciuman, pendengaran, dan penglihatan, masing-masing dengan objek indranya sendiri (masing-masing, kualitas sentuhan, rasa, penciuman, suara, dan warna). Melalui interaksi berbagai indera, perasaan umum - termasuk ukuran, istirahat, dan gerakan - dapat dirasakan
Ringkasan Bab 7: Pengetahuan Manusia: Pengalaman Indra
Internal Dalam bab sebelumnya, kami menjelaskan bagaimana filsafat Aristotelian-Thomistik membedakan antara indra eksternal dan internal. Sementara indra eksternal diaktifkan secara langsung oleh stimulus, indera internal diaktifkan setelah penerimaan data sensorik eksternal. Memang indera internal dapat diaktifkan bahkan tanpa adanya stimulus eksternal. Meskipun saat ini beberapa sarjana menggunakan terminologi yang sebagian berbeda, secara tradisional ada empat indera internal: pertama, akal sehat, yang menyatukan dan membedakan antara persepsi indra eksternal. Kedua, imajinasi, yang melestarikan dan menyatukan persepsi inderawi; citra indra adalah dasar bagi aktivitas kecerdasan manusia. Ketiga, daya kogitatif (disebut daya estimasi pada hewan), yang memahami aspek sensorik tentang kesesuaian atau bahaya benda. Keempat, ingatan, yang melestarikan dan menampilkan kembali persepsi evaluatif dari kekuatan kognitif; dengan cara ini ingatan mengartikulasikan sensasi dari waktu ke waktu dan memberikan kesinambungan pada pengalaman indera internal.
Ringkasan Bab 8: Pengetahuan Manusia: Akal
Dalam Bab 6 kami menjelaskan bagaimana pengetahuan, secara umum, adalah kepemilikan yang tidak material atau disengaja dari suatu bentuk. Dalam pengetahuan sensorik, hal ini muncul pada tingkat yang lebih rendah karena ia memiliki basis organik dan bentuk indera kognitif selalu bersifat individual dan tidak disengaja. Sebaliknya, pengetahuan intelektual adalah aktivitas yang sepenuhnya imanen, dan semata-mata tidak material. Melalui kecerdasan, manusia dapat mengetahui dan mengasimilasi semua realitas. Karena alasan ini, Aristoteles menegaskan bahwa jiwa "dengan cara tertentu adalah semua yang ada". Sifat universal dari pengetahuan kecerdasan adalah tanda ketidakmateriannya karena, sementara dengan indera kita hanya memahami aspek-aspek tertentu dari objek tertentu pada tempat dan waktu tertentu, melalui aktivitas kecerdasan kita mengetahui esensi sesuatu, dengan kata lain, apa itu sendiri, mengabstraksikannya dari perbedaan dan karakteristik individu. Operasi intelek adalah abstraksi, penilaian, dan penalaran. Ketidakmaterian intelek inilah yang membuat kesadaran diri manusia sepenuhnya mungkin karena hal-hal yang dibatasi oleh materi tidak dapat mencerminkan diri mereka sendiri. Berkat aktivitas intelektual, bahasa manusia berbeda dengan bahasa hewan, karena, sementara hewan hanya mengomunikasikan keadaan emosi dan persepsi inderanya, manusia juga mengomunikasikan konsep universal dan abstrak seperti keadilan dan ketidakadilan, kebaikan dan kejahatan, keindahan dan keburukan, dll. Refleksi pada aktivitas intelektual harus berusaha menjelaskan hubungan pikiran-tubuh, yang sekarang dapat dipahami dengan lebih baik berkat kemajuan dalam ilmu saraf. Dalam penjelasan mengenai masalah ini, penting untuk menghindari reduksionisme, yaitu mereduksi manusia menjadi makhluk yang murni material yang di dalamnya tidak ada ruang untuk kebebasan.
Ringkasan Bab 9: Dinamisme Tendensial dan Kebebasan
Setiap makhluk hidup memiliki kecenderungan, yaitu kecenderungan alami atau bawaan ke arah peningkatan dan perkembangannya sendiri; mereka adalah kecenderungan alami dalam arti bahwa mereka melekat pada sifat makhluk (baik itu tumbuhan, hewan, atau manusia). Kecenderungan alami makhluk hidup yang memiliki kesadaran sensorik disebut naluri, dan naluri dapat berupa desideratif (mencari kesenangan) atau impulsif (seperti reaksi terhadap sesuatu yang berbahaya). Dalam diri manusia, tendensi indra alami umumnya disebut impuls emosional karena, berkat mediasi intelek, tendensi tersebut menunjukkan tingkat plastisitas yang menonjol. Keinginan adalah kecenderungan intelektual atau spiritual. Berkat kemauan manusia dapat mengarahkan diri mereka sendiri tidak hanya pada kebaikan spesifik dan kontingen yang dirasakan melalui indera tetapi juga pada kebaikan atau kebenaran dalam diri mereka sendiri. Kehendak memungkinkan individu untuk bertindak secara bebas dan sukarela, yaitu melakukan tindakan dengan kesadaran untuk mencari tujuan tertentu. Jadi, kami katakan bahwa menjadi bebas berarti menjadi sumber, prinsip, dan tuan atas perbuatannya sendiri. Dalam sejarah filsafat ada pandangan tertentu yang secara efektif menyangkal kebebasan pribadi; Pandangan seperti itu disebut “deterministik” karena mereka mempertahankan bahwa tindakan manusia sepenuhnya “ditentukan” oleh masyarakat, oleh struktur fisiologis dan neurologis, atau oleh ketidaksadaran.
Ringkasan Bab 10: Dinamisme Afektif
Pada bab sebelumnya kami telah menjelaskan apa itu kecenderungan dan apa jenis kecenderungan yang ditemukan pada manusia. Afeksi, atau perasaan, dapat didefinisikan sebagai operasi tendensi: ketika objek yang diketahui mengaktifkan salah satu tendensi alami individu, maka emosi muncul dalam dirinya sebagai respons terhadap rangsangan itu. Dengan demikian, kasih sayang selalu dikaitkan dengan pengetahuan indera (objek mungkin hadir atau hanya diingat atau dibayangkan). Di satu sisi, reaksi emosional individu mengacu pada aspek sensorik dari realitas, tetapi, di sisi lain, mereka juga bergantung pada disposisi sensorik subjektif individu (fisiologis dan psikologis). Ada hubungan yang erat antara pengetahuan, efektivitas, dan tindakan: Perasaan dapat memperkuat atau menghalangi keputusan untuk melakukan tindakan bebas tertentu, tetapi juga dapat mengarah pada tindakan impulsif dan tidak sepenuhnya sukarela. Oleh karena itu, penting untuk mendidik efektifitas dan belajar mengetahui reaksi emosional kita untuk mengatur perasaan kita dengan tujuan untuk peningkatan moral kita sendiri.
Ringkasan Bab 11: Seksualitas
Seksualitas bukan hanya konfigurasi anatomi (laki-laki atau perempuan) tetapi menjadi ciri seluruh keberadaan manusia. Dalam pengertian ini, ini mengungkapkan kesatuan pribadi manusia, yang terdiri dari tubuh, pikiran, dan jiwa. Komplementaritas pria dan wanita dan keterbukaan persatuan seksual mereka untuk prokreasi tertanam dalam asal mula struktur antropologis individu dan, sebagai konsekuensinya, masyarakat manusia. Oleh karena itu, tidak ada seksualitas hewani yang murni dalam diri manusia; Kecenderungan seksual yang pada hakikatnya dimiliki oleh setiap individu harus selalu dimanusiakan dalam arti harus diintegrasikan ke dalam apa yang secara khusus bersifat manusiawi, yakni ke dalam ranah kebebasan dan gagasan cinta sebagai anugerah. Integrasi seksualitas ke dalam totalitas keberadaan adalah proses perkembangan bertahap dan bukan keadaan yang diperoleh secara definitif.
Ringkasan Bab 12: Spiritualitas, Kematian, dan Keabadian
Dalam refleksi filosofis tentang pribadi manusia, penting untuk menghindari monisme materialis, yang hanya berkonsentrasi pada dimensi tubuh seseorang, tetapi sama pentingnya untuk menghindari dualisme, yang menganggap orang tersebut sebagai campuran dari dua substansi yang berbeda (tubuh dan roh). , secara tidak sengaja bersatu satu sama lain. Sebaliknya, penekanan harus diberikan pada dualitas manusia, mengakui bahwa mereka memiliki dua prinsip (jasmani dan jiwa spiritual) yang disatukan untuk membentuk satu substansi. Prinsip spiritual tidak dapat dipahami tanpa mengacu pada tubuh yang merupakan bentuknya, dan tubuh tidak dapat dipahami tanpa mengacu pada roh, yang di dalamnya berinkarnasi. Justru karena kesatuan manusia, kematian muncul sebagai masalah bukan hanya dari segi eksistensial tetapi juga dari sudut pandang filosofis. Kematian secara tegas mempertanyakan siapa manusia itu dan apakah individu tersebut selamat dari kehancuran tubuhnya. Jiwa manusia itu sendiri tidak dapat rusak karena itu adalah prinsip kegiatan non-materi yang secara intrinsik tidak bergantung pada tubuh (tindakan bebas dan pengetahuan intelektual). Membuktikan ketidakmaterian dan ketidakmampuan jiwa manusia mengarah pada keberlangsungan hidup diri setelah kematian. Tesis ini juga dapat ditegakkan dengan merefleksikan keinginan untuk selamanya dan kebahagiaan yang utuh, yang melekat pada setiap individu. Karena jiwa manusia bersifat spiritual, ia tidak dapat berasal dari materi. Sebaliknya, sebagai prinsip spiritual, ini berasal dari Prinsip spiritual, yaitu dari Tuhan. Ringkasan Bab 13: Siapa Orangnya? Dua pertanyaan mendasar yang diangkat dalam bab ini adalah, "Siapakah pribadi manusia itu?" dan, "Gagasan apa tentang pribadi manusia yang dapat menjadi landasan yang memadai untuk martabatnya?" Kita dapat memberikan respon fenomenologis-eksistensial berdasarkan ciri-ciri kehidupan manusia yang membedakannya dengan kehidupan makhluk hidup lainnya, atau kita dapat memberikan respon metafisik yang berupaya mencapai landasan akhir dari identitas ontologis personal. Kedua pendekatan ini tidak saling eksklusif, tetapi perspektif metafisik-lah yang menawarkan jawaban pasti atas dua pertanyaan mendasar yang disebutkan di atas. Refleksi metafisik menuntun kita untuk menganggap orang sebagai individu yang bersifat rasional, dan analisis gagasan ini menunjukkan bahwa manusia itu tidak dapat dicabut, tidak dapat diulang, lengkap dalam dirinya sendiri, disengaja, dan relasional, otonom dalam tindakannya. Perkembangan gagasan metafisik tentang pribadi telah menjadi proses sejarah yang panjang di mana Kekristenan telah memainkan peran yang menentukan. Peristiwa sejarah abad ke-20 telah membuat banyak pemikir meneliti sentralitas pribadi manusia.
Ringkasan Bab 14: Kebebasan dan Pemenuhan Diri
Pribadi manusia adalah causa sui, penyebab dirinya sendiri, bukan dalam arti ontologis tetapi dalam arti eksistensial yang dinamis. Setiap individu memiliki tugas pemenuhan diri, yaitu, menjalani keberadaan manusia yang otentik. Konformisme, ketidakpedulian, dan emosi, semuanya bertentangan dengan kehidupan yang otentik, sementara koherensi dan kesetiaan yang intim adalah karakteristik dari keaslian. Dalam perjuangan kita setelah pemenuhan diri secara gratis, kita berhadapan langsung dengan kemungkinan mengalami kejahatan dan dengan cobaan rasa sakit. Realisasi diri terutama berarti transendensi diri; dengan kata lain, secara dinamis menempa hidup sendiri, cenderung ke arah tujuan yang lebih luhur, menarik dari kedalaman batinnya sendiri agar tidak tetap diperbudak oleh dunia luar. Ekspresi transendensi diri yang paling utuh terdiri dari cinta dan pemberian diri. Hanya di dalam Tuhan,
Ringkasan Bab 15: Relasionalitas Orang
Pribadi manusia dicirikan oleh relasionalitasnya. Ia relasional dalam hal asal-usulnya (karena asal mula orang tersebut adalah hubungannya dengan Tuhan, dengan orang tuanya, dengan konteks sosial) dan dalam hal konstitusinya (orang tersebut membentuk dan menyusun identitasnya berdasarkan hubungan. ). Filsafat Aristoteles menjelaskan bagaimana manusia itu "pada dasarnya bersifat sosial" tidak hanya untuk memuaskan keinginan materialnya tetapi juga untuk "hidup dengan baik," yaitu, menjalani kehidupan manusia yang otentik. Relasionalitas yang melekat pada orang tersebut juga menemukan ekspresi dalam kepemilikan kecenderungan bersosialisasi, dari mana kebajikan sosial muncul. Kecenderungan ini dan kebajikan yang terkait adalah akar dari masyarakat. Juga, tidak boleh dilupakan bahwa hubungan sosial diperlukan untuk pemenuhan diri, tetapi mereka juga bisa menjadi penghalang untuk pemenuhan diri yang otentik. Dalam sejarah filsafat, beberapa pemikir telah memberikan penekanan menyeluruh pada kemandirian dan otonomi individu, menyajikan hubungan antara pribadi dan masyarakat dalam istilah individualistik. Yang lain melebih-lebihkan pentingnya hubungan sosial, bahkan sampai mengabaikan nilai individu dan mengembangkan ide-ide kolektivis. Ringkasan Bab 16: Budaya Untuk memahami arti istilah budaya, ada gunanya mengingat akar etimologisnya dalam kata kerja Latin colere, yang menyatukan tiga arti: mengembangkan bakat dan kemampuan alam, mendukung perkembangan sesuai dengan model yang ideal, dan menyembah Tuhan. Karena kebebasannya, keberadaan manusia di dunia tidak pernah hanya spontan atau alami tetapi selalu budaya: Dia dengan bebas mengarahkan keberadaannya dengan mengacu pada nilai-nilai tertentu dan bukan hanya sebagai respons univokal terhadap naluri vitalnya. Unsur fundamental yang membentuk dan menyebarkan budaya meliputi bahasa, adat istiadat, dan nilai-nilai. Unsur-unsur ini bertindak pada tingkat budaya individu dan pada tingkat budaya suatu bangsa. Kedua tingkatan ini juga saling mempengaruhi sebagaimana telah digarisbawahi oleh strukturalisme yang, bagaimanapun, tidak memperhitungkan kebebasan individu. "Tiga teori dunia" dari KR Popper dan J. Eccles membantu kita memahami bagaimana individu dan budaya sosial berinteraksi. Ini menyoroti bagaimana budaya individu dan seluruh peradaban dipengaruhi tidak hanya oleh gagasan tetapi juga oleh faktor geografis, iklim, dan fisiologis.
Ringkasan Bab 17: Nilai
Orang selalu bertindak dengan tujuan untuk mencapai tujuan dan mengarahkan perilaku mereka ke nilai-nilai tertentu, yang mungkin berupa kesuksesan, kesejahteraan, atau kekayaan. Kami menetapkan hierarki di antara nilai-nilai yang memandu aktivitas kami - yaitu, kami menganggap nilai-nilai tertentu lebih penting daripada yang lain - dan hierarki ini tidak pernah sepenuhnya sewenang-wenang tetapi memiliki dasar yang objektif. Nilai-nilai ditransmisikan kepada kita melalui budaya dan pendidikan, dan kita belajar memahami pentingnya nilai-nilai itu berkat pengalaman pribadi. Koherensi antara apa yang kita anggap penting dan perilaku pribadi kita memungkinkan kita untuk mencapai pemenuhan diri yang lengkap sebagai manusia. Argumen fenomenologis seperti yang dikemukakan Max Scheler membantu menjelaskan bahwa nilai memiliki akar objektif, meskipun ia tidak memberikan bobot yang cukup pada peran kebebasan dalam orientasi individu terhadap nilai. Dari sudut pandang metafisik, di sisi lain, fondasi ontologis dari nilai-nilai dapat ditunjukkan dengan mengacu pada doktrin transendental keberadaan, yaitu, sifat-sifat metafisik yang dimiliki masing-masing makhluk hanya berdasarkan fakta keberadaannya. Dua dari transendental ini adalah kebenaran dan kebaikan, dan nilai dapat dianggap sebagai aspek dari kebenaran dan kebaikan yang ada. Untuk memahami bahwa nilai- nilai itu transenden, dalam arti bahwa nilai-nilai tidak diciptakan secara subjektif oleh individu, beberapa refleksi yang berguna dapat ditemukan di Plato tentang keindahan dan di St. Augustine tentang kebenaran. sifat-sifat metafisik yang dimiliki masing-masing makhluk hanya berdasarkan fakta bahwa ia ada. Dua dari transendental ini adalah kebenaran dan kebaikan, dan nilai dapat dianggap sebagai aspek dari kebenaran dan kebaikan yang ada. Untuk memahami bahwa nilai- nilai itu transenden, dalam arti bahwa nilai-nilai tidak diciptakan secara subjektif oleh individu, beberapa refleksi yang berguna dapat ditemukan di Plato tentang keindahan dan di St. Augustine tentang kebenaran. sifat-sifat metafisik yang dimiliki masing-masing makhluk hanya berdasarkan fakta bahwa ia ada. Dua dari transendental ini adalah kebenaran dan kebaikan, dan nilai dapat dianggap sebagai aspek dari kebenaran dan kebaikan yang ada. Untuk memahami bahwa nilai- nilai itu transenden, dalam arti bahwa nilai-nilai tidak diciptakan secara subjektif oleh individu, beberapa refleksi yang berguna dapat ditemukan di Plato tentang keindahan dan di St. Augustine tentang kebenaran.
Ringkasan Bab 18: Bekerja, Pesta, Bermain
Pekerjaan dapat dianggap sebagai aktivitas manusia: aktivitas yang membutuhkan pengerahan tenaga yang diperlukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan lebih lanjut, membutuhkan keterampilan teknis, dan berorientasi pada kebaikan bersama dan peningkatan orang yang melakukannya. Dari sudut pandang antropologis, pekerjaan dapat dilihat memiliki empat makna penting: subyektif (pemenuhan pribadi pekerja), obyektif (hasil yang dihasilkan), relasional (melayani orang lain dan untuk kebaikan bersama), dan ekologis (menghormati dan perbaikan lingkungan alam). Merefleksikan keempat aspek ini juga membantu menyoroti risiko teknokrasi, yaitu perkembangan teknis dan ilmiah yang tidak menghormati martabat pribadi atau ekologi manusia. Pesta dan bermain berhubungan dengan pekerjaan. Pesta menandai ritme temporal pribadi manusia dan memungkinkannya untuk mempertahankan ikatan yang hidup dengan akarnya sendiri dan dengan fondasi akhirnya, yaitu dengan transendensi. Bermain tidak hanya muncul dari kebutuhan untuk istirahat fisik, gangguan, atau hiburan tetapi dikaitkan dengan pemenuhan diri dan ekspresi diri orang tersebut.
Ringkasan Bab 19: Waktu dan Sejarah
Pribadi manusia adalah makhluk sejarah berkat kebebasannya. Justru karena ia bebas, orang tersebut dapat bertindak dengan cara yang tidak ditentukan secara eksklusif oleh alam, sementara jejak-jejak berlalunya waktu ditemukan dalam segala sesuatu yang ada, hanya manusia yang dapat menceritakan kisah hidupnya. Individu menjalani kesementaraannya dengan mengacu pada masa lalu, masa kini, dan masa depan, mengalami masa lalu dengan ingatan, masa kini dengan perhatian, dan masa depan dengan pengharapan. Untuk memenuhi dirinya sendiri, orang tersebut harus memelihara hubungan yang benar dengan tiga "tahap" waktu ini: Dia tidak dapat mencari perlindungan hanya dalam ingatan masa lalu, dia tidak dapat hanya peduli dengan saat ini, dan dia tidak dapat hidup hanya dengan bermimpi tentang masa depan. Namun, pribadi manusia selalu berorientasi pada masa depan,