Anda di halaman 1dari 3

Pengertian Eksistensialisme

Secara harfiah, kata eksistensi berarti muncul, timbul, memiliki wujud


eksternal, sister (existere, latin) menyebabkan berdiri. Yakni sesuatu yang eksis
sesuatu yang memiliki aktualitas (wujud), keberadaan sesuatu yang menekankan
pada apa sesuatu itu (apakah benda itu sesungguhnya menurut wataknya yang
sejati), atau kesadaran bahwa ia ada dan bahwa ia adalah mahluk yang bertindak,
memilih, menciptakan dan mengekspresikan identitas diri dalam proses bertindak
dan memilih secara bertanggungjawab.
Kata eksistensi yang digunakan oleh para eksistensialis selalu dihubungkan
dengan konteks manusia. Yakni manusia yang keluar dari dirinya, bereksistensi,
maupun melahirkan pertanyaan pribadi seperti who am I, where am I going?, why
am I here?. dalam pendidikan juga dapat dikatakan bahwa filsafat ini
menekankan pada the individual experience of individuals. Namun yang terjadi
pertanyaan kuncinya adalah, bagaimana caranya agar manusia dapat keluar dan
bereksistensi dari dirinya?
Untuk menjawab pretanyaan di atas, maka eksistensi menurut Sembodo
harus dikaitkan dengan filsafat fenomenologi Huserl. Karena eksistensialisme
dengan fenomenologi menyajikan sikap atau pandangan yang menekankan kepada
eksistensi manusia, artinya kaulitas yang membedakan antara individual yang
tidak membicarakan manusia secara abstrak atau membicarakan alam atau dunia
secara umum, karena dengan sifatnya yang lebih apresiatif terhadap kedudukan
manusia maka keduanya merupakan bagian dari beberapa kenyataan antara
filsafat eksistensialisme merupakan silsafat reaksi. Reaksi terhadap idealism,
naturalism dan materialism.
Sebagai reaksi terhadap idealism dengan menempatkan eksistensi daripada
esensi, sehingga eksistensi menentukan esensi. Sedangkan reaksi terhadap
naturalism materialism karena pada kenyataannya kadang manusia
ditempatkan/diposisikan sama dengan benda, sehingga manusia dianggap sebagai
mesin dan robot yang dapat menggerakkan hukum-hukum mekanik dan berjalan
secara mekanistis, bekerja sekedar sebagai alat, obyek dan dikendalikan oleh
system.
Flynn (2006) mengidentifikasi lima tema utama yang menjadi perhatian
filsafat eksistensialisme, antara lain:
1. Eksistensialisme lebih mengutamakan dibandingkan dengan esensi.
Eksistensialisme dianggap mendahului esensi. Bagi Eksistensialisme yang paling
penting itu adalah mengambil keputusan dan bertindak daripada berpikir dan
melakukan analisis (Titus, seperti dikutip Zubaedi, 2007). Apa yang dilakukan itu
pada akhirnya akan menentukan karakter seseorang. Maka, bagi eksistensialisme,
kualitas manusia itu tidak ditentukan oleh esensinya, apakah keturunan priyayi
atau bukan, tapi ditentukan oleh apa yang dilakukan.
2. Eksistensi manusia terkait dengan waktu. Karena waktu it uterus
bergerak, maka makna dan nilai seseorang pun bersifat dinamis.
3. Eksistensialisme berfokus pada manusia (humanisme).
4. Eksistensialisme menganggap penting kebebasan sebagai syarat
untuk menjadi manusia. Namun, kebebasan tersebut dibatasi oleh kemauan untuk
bertanggung jawab.
5. Eksistensialisme juga menganggap etika itu penting. Karena etika
itu sekaligus sebagai ujian dari autensitas kehidupan personal dan sosial
seseorang.
Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani
phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti
memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan.
Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian
terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua
pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu
tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang
gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Fenomenologi
merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang
murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-
fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada
kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan
berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang
kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran
kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi
pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian
fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu
den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek
kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.
Psikologi fenomenologi fokus pada persepsi manusia terhadap pengalaman-
pengalamannya (Langdridge, 2007) dan ingin menggambarkan struktur
pengalaman sebagaimana pengalaman tersebut menampakkan diri pada kesadaran
(Wrathall, & Dreyfus, 2006: 2). Fenomenologis ingin memahami pengalaman
menurut kesadaran orang yang mengalaminya. Psikologi fenomenologis menolak
pemisahan antara subjek dan objek (subject-object dualisme) (Langdridge, 2007).
Menurut psikologi fenomenologi, tidak ada pemisahan antara objek senyatanya
dengan persepsi subjektif kita terhadap objek tersebut. Pengetahuan apapun
mengenaik objek selalu berkaitan dengan persepsi subjektif kita.
Interaksi kita dengan objek melalui persepsi, dan kita memaknai
pengalaman-pengalaman tersebut secara unik. Persepsi kita terhadap suatu objek
hadir sejauh objek itu hadir dalam kesadaran kita dan hal itu dipengaruhi oleh
karakteristik objek, suasana hati, konteks, dan lain-lain. Dengan demikian,
pemahaman kita terhadap suatu objek itu unik dan setiap orang mempunyai
pemaknaan yang berbeda-beda terhadap pengalamannya. Dua orang yang
emmpunyai pengalaman yang sama, boleh jadi menyadari dan memaknainya
secara berbeda, sehingga reaksi emosi dan perilaku yang ditunjuukkan pun bisa
berbeda.
Langdridge (2007) menyebutkan terdapat empat karakteristik psikologi
fenomenologi, antara lain:
1. Fokus pada pengalaman manusia apa adanya
2. Tertarik pada makna dari suatu pengalaman, dan bagaimana makna
tersebut terbentuk.
3. Fokus pada upaya untuk menggambarkan fenomena daripada
menginterpretasi atau mengambil kesimpulan sebab-akibat.
4. Mengakui peran peneliti dalam mengkonstruksi fenomena dan semua
pengalaman harus dipahami dalam konteksnya.

Anda mungkin juga menyukai