Anda di halaman 1dari 10

Nama : Muhammad Rafli Firdaus

NIM : 1221040077

Kelas : 2B

Jurusan : Tasawuf dan Psikoterapi

Mata kuliah : UTS MSI

FENOMENOLOGI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah fenomena sudah menjadi sebuah kata yang tidak asing lagi
di telinga kita. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah hanya sekedar
kata yang sudah biasa di pakai atau hanya sebuah istilah yang manjadi kata
penghias dalam pembicaraan. atau hanya pengalaman panca indra kita,
yang kita ungkapkan kepada orang lain. Di samping itu, dalam menjalani
kehidupan di dunia ini, setiap manusia tidak akan bisa lepas dari kebiasaan
berpikir. Pemikiran manusia juga dimanfaatkan sebagai alat dan media
seseorang dalam menjalankan fungsinya berbagai aspek kehidupannya,
termasuk bidang praktis di kehidupan sehari-hari, seperti makan, istirahat,
belajar dan terutama untuk memeluk suatu kepercayaan.
Dalam berpikir manusia melakukan penafsiran dan kategorisasi.
Kegiatan penafsiran dan kategorisasi ini menjadi bagian ilmu pengetahuan
dan filsafat. Sementara penafsiran maupun kategorisasi itu sendiri
seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi-situasi
kehidupan dan Fenomenologi sebagai Filsafat kebiasaan-kebiasaan,
sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehidupan yang
murni, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Persoalannya bukan penerapan pola pikir positivistis terhadap
ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan positivisme
dalam ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk
historis. Maka, dalam proyeksinya menangani kesenjangan cara pandang
terhadap makhluk sosial melahirkan metode alternatif yang disebut filsafat
fenomenologi.
Filsafat fenomenologi merupakan perspektif teoritis atau
pandangan filosofis yang berada di balik sebuah metodologi, kemudian
dimasukkan ke dalam epistemologi konstruksionisme (interpretivisme)
yang muncul dalam kontradistingsi dengan filsafat positivisme dalam
upaya-upaya untuk memahami dan menjelaskan realitas manusia dan
sosial. Seperti penjelasan Thomas Schwandt, yang dikutip Crotty,
“interpretivisme dianggap bereaksi kepada usaha untuk mengembangkan
sebuah ilmu alam dari yang sosial. Kertas peraknya pada umumnya adalah
metodologi empirisis logis dan upaya untuk menerapkan kerangka itu
kepada penyelidikan manusia”. (Michael Crotty, 1998)
Pendekatan fenomenologi merupakan upaya membangun suatu
metodologi yang koheren bagi studi agama. Begitu juga fenomenologi
lahir dan diterapkan dalam studi agama sebagai suatu metode penelitian
ilmiah yang ditawarkan dengan pendekatan-pendekatan teologis.
(Connolly, 1999)
Ada dua hal penting yang menjadi ciri pendekatan fenomenologis
terhadap agama. Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami
agama seseorang di dalamnya upaya beberapa orang untuk mengevaluasi
keputusan dan komitmen mereka secara tidak memihak mempersiapkan
diri untuk merekonstruksi pengalaman orang lain. Kedua,
konstruksi sistem taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena
bertabrakan batas-batas budaya dan kelompok agama. Secara umum,
pendekatan ini adil Menangkap aspek pengalaman keagamaan dan
kesamaan semua tanggapan keagamaan Manusia secara sama, terlepas dari
dimensi dan perbedaan ruang dan waktu budaya masyarakat.
Secara material penulisan karya ini memiliki tujuan yang
mendasar, yaitu sebagai pembuka cakrawala pengetahuan filsafat pada
umumnya dan fenomenologi pada khususnya, mengingat pengetahuan
filsafat merupakan pengetahuan yang memerlukan energi yang cukup
untuk mempelajarinya, hingga mampu masuk ke “relung” terdalam dari
ranah filsafat.

B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan fenomenologi?
b. Apa saja metode fenomenologi?
c. Bagaimana metode fenomenologi?
d. Apa kekurangan dan kelebihan metode fenomenologi?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yang asal katanya
adalah “phenomenon’’ dan “logos”. Phenomenon berarti: yaitu yang
muncul dalam kesadaran manusia. Sedangkan logos, berarti ilmu.
Phenomenologi berarti studi tentang phenomenon, atau yang muncul
dengan sendirinya. . Dengan keterangan ini mulai tampaklah tendensi
yang terdalam dari aliran phenomenologi yang sebenarnya merupakan
jiwa dan Mengenal Filsafat Fenomenologi cita-cita dari semua filsafat,
yaitu mendapatkan pengertian yang benar, yang menangkap realitas itu
sendiri. (N. Diyarkara, 1962)
Objek fenomenologi adalah fakta atau gejala, atau Kondisi,
peristiwa atau objek atau realitas yang bersifat simptomatis. Fenomenologi
memegang atau menegaskan hal itu semua pikiran dan gambar di pikiran
manusia mengacu pada sesuatu, hal-hal atau keadaan seperti ini, yaitu
pikiran dan gambar diarahkan pada sesuatu di masa lalu disebut
intensional. (Annemarie, 1986)
Fenomenologi secara umum adalah cara berpikir, atau yang disebut
“gaya berpikir”. Biasanya dikatakan bahwa dasar pemikiran adalah
intensionalisme. Menurut Edmund Husserl, salah satu filsuf fenomenologi,
tujuan, yang disengaja, memandu kesadaran dan reduksi. Edmund Husserl
membagikan semacam kesimpulan: Fenomenologi, penyuntingan, reduksi
dunia dan budaya menjadi dunia kehidupan dan reduksi transendental.
Namun, tokoh fenomenologi lainnya seperti Martin Heidegger dan
Maurice Morleau Ponty menolak reduksi tersebut. (Romdon, 1996).
Fenomenologi mencoba menolak semua sumsi yang
mengontaminasi pengalaman konkret manusia. Itu sebabnya fenomenologi
dikenal sebagai cara berpikir atau berfilsafat yang radikal. Fenomenologi
menegaskan usaha mencapai “hal itu sendiri”, lepas dari segala
presuposisi. Langkah utama agar terhindar dari semua kontruksi yaitu,
asumsi yang di pasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman.
Tidak terlalu peduli apakah itu konstruksi filsafat, sains, agama, dan
kebudayaan, semuanya diusahakan harus bisa menghindar dari hal tersebut
sebisa mungkin. Bahkan penjelasan pun tak boleh dipaksakan sebelum
pengalaman menjelaskannya sendiri dari dalam pengalaman itu sendiri.
Fenomenologi berusaha keras dalam memperjuangkan membuat
filsafat menjadi sebuah ilmu yang rigoris. Di sini rigoris diartikan sebagai
bebas dari presuposisi yang mendahului pengalaman yang konkret. Locke,
seorang empiris pun masih mengandalkan adanya substratum material di
balik pengalaman, dan terlepas dari kondisi aparatus indrawi subjek
pengetahuan.
Fenomenologi menegaskan bahwa filsafat perlu dilepaskan dari
ikatan berbagai historis. Tujuan utama fenomenologi adalah
mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari sebagai subjek
pengetahuan , kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret,
lekat, dan dihayati juga direduksi habis-habisan oleh pola filsafat
sebelumnya. Di samping itu, fenomenologi menolak klaim
representasionalisme epistemologi modern yang menjelaskan mengenai
pengetahuan sebagai jiplakan batin dari apa yang ada di luar akal manusia
yang merupakan cerminan semesta. Fenomenologi menganggap klaim ini
sebagai suatu hal yang abstrak, karena mengandaikan keterpisahan antara
subjek dan objek pengetahuan.
Metode Fenomenologi, menurut Polkinghorne (Creswell, 1994)
Studi fenomenologi menggambarkan arti sebuah pengalaman hidup untuk
beberapa orang tentang sebuah konsep atau fenomena. Orang-orang yang
terlibat dalam menangani sebuah fenomena melakukan eksplorasi terhadap
struktur kesadaran pengalaman hidup manusia. Sedangkan menurut
Husserl (Creswell, 1994) peneliti fenomenologis berusaha mencari tentang
hal-hal yang perlu (esensial), struktur invarian (esensi) atau arti
pengalaman yang mendasar dan menekankan pada intensitas kesadaran
dimana pengalaman terdiri hal-hal yang tampak dari luar dan hal-hal yang
berada dalam kesadaran masing-masing berdasarkan memori, image dan
arti.
Menurut Kant fenomenologi yang nampak dalam kesadaran yang
kita kenal ketika berhadapan dengan realitas itulah yang kita kenal,
melihat warna biru misalnya, tidal lain adalah hasil serapan indiawi yang
membentuk pengalaman adalah hasil serapan indiawi yang membentuk
pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Warna biru itu
sendiri ini menunjukan bahwa kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari
realitas. Sebanarnya Kant mengakui adanya realitas eksernal yang berada
di luar diri manusia. Yaitu sebuah realitas (obyek pada dirinya sendiri)
atau newmen. Tetapi menurutnya, manusia tidak ada sarana-sarana ilmiah
untuk mengetahuinya
Menurut Eliston “Fenomenologi dapat diartikan membiarkan apa
yang menunjukan dirinya sendiri dilihat melalui dirinya sendiri dan dalam
batasan-batasan dirinya sendiri sebagaimana ia menunjukan dirinya sendiri
melalui dari dirinya sendiri untuk hal ini Husserl menggunakan istilah
“Intersionalitas” yakni realitas yang menampakan diri dalam kesadaran
individu atau kesadaran intensional dalam menangkap fenomena apa
adanya.
Asal mula filosofis fenomenologi Husserl ini berasal dari
pemikiran gurunya, Franz Brentano. Dari beliau lah Husserl mengambil
konsep filsafat sebagai ilmu yang rigoris, sebagaimana juga bahwa filsafat
terdiri atas deskripsi dan bukan penjelasan kausal.
Brentano menyebut pemikirannya tersebut sebagai psikologi
deskriptif, bukan sebagai fenomenologi. Psikologi deskriptif merupakan
usaha Brentano dalam merombak kembali kodrat psikologi sebagai sains.
Hal itu dilakukannya sebagai tanggapan terhadap psikologi genetis yang
menjelaskan tentang psikis, sama halnya seperti ilmu fisik.
Oleh karena itu, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan
cenderung bersifat subyektif, hanya mengacu pada kekuatan tertentu,
situasi dan keadaan tertentu, dan pada waktu tertentu ekspresi yang
dihasilkan lainnya tidak dapat dibuat. Kelebihannya adalah dengan
bantuan filsafat fenomenologi kita dapat mengetahui realitas-realitas yang
ada dan dengan mempelajari filsafat fenomenologi kita memahami bahwa
kesadaran kita selama ini tertutup dan terisolasi dari realitas-realitas yang
ada sampai saat ini, dan dengan mengetahui filsafat fenomenologi kita
dapat ini untuk membuka ilmu sosial dari metodologi dan menyelamatkan
subjek

B. Metode Fenomenologi
Fenomenologi merupakan aliran filsafat modern yang sangat
berpengaruh pada masa ini. Tokoh utamanya adalah Edmund Husserl
(1859-1935) dari Jerman dan Maurice Morleau Ponty (1908-1961) dari
Perancis. Masalah mendasar dari filsafat ini adalah apa yang dikemukakan
Immanuel Kant (1724-1804), yaitu bagaimana mencapai pengetahuan
yang agung, valid dan benar. Masalah ini bukanlah hal baru, tetapi
pemikiran Kant lebih jelas dari para pendahulunya.
Pengetahuan memiliki dua unsur yang menyatu yaitu; logika dan
pengetahuan. Apa hubungan antara logika dan persepsi indrawi? Namun di
sini tidak tepat membahas konsep Kant karena selain kualifikasi, dianggap
tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah klaimnya yang terkenal
bahwa konsep tanpa panca indera adalah kosong, persepsi indra tanpa
konsep adalah buta, karena kesimpulan tersebut memperkuat pentingnya
kombinasi logika dan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan
sejati. (Zakiah Drajat, 1996)
Edmund Husserl hanya melanjutkan pemikiran Kant dimana dia
memusatkan pikirannya pada pengalaman. Dari mana datangnya
pengalaman ini? Pengalaman hanya datang dari apa yang dilihat dan
dirasakan dan apa yang ditunjukkan objek-objek ini kepada panca indera.
Fenomena suatu objek, manifestasinya, adalah bagaimana objek itu
menampilkan dirinya kepada orang-orang. Dan itulah yang diketahui
orang, bukan inti atau esensinya, hanya gejalanya, tetapi gejala itu dapat
dilihat dengan panca indera, dan itulah inti dari pengalaman manusia. Hal
ini mendorong Morleau Ponty, dalam bukunya Phenomenologie de la
Perception, untuk menyelidiki mekanika pengalaman, yaitu persepsi, suatu
cara penilaian.
Dalam fenomenologi, objek adalah fakta, gejala atau keadaan,
peristiwa atau objek, atau realitas simptomatis. Realitas simtomatis
menerima maknanya menurut tuntunan realitas itu sendiri, yang berarti
pemahaman yang benar tentang realitas itu, bukan makna yang tidak
orisinal. Misalnya pemahaman yang dipengaruhi oleh warna teori tertentu,
atau pemahaman yang populer pada masa lalu. Dari perspektif demikian,
persoalan agama dilihat sebagai gejala kemanusiaan yang menurut
fenomenologi bertujuan merekonstruksi konsep-konsep keagamaan
berdasarkan materi dokumenter yang ada. (Kementerian Agama R.I, 1992)
Fenomenologi dikembangkan sebagai metode untuk mendekati
fenomena dalam kemurniannya. Sebuah fenomena di sini dipahami
sebagai segala sesuatu yang terwujud dalam kesadaran kita dengan cara
tertentu. Baik berupa sesuatu hasil fiksi maupun berupa sesuatu yang
nyata, berupa gagasan atau kenyataan. Yang penting adalah
pengembangan metode yang tidak memalsukan fenomena, tetapi mampu
mendeskripsikannya sebagaimana tampak tidak memihak. Seorang
fenomenolog ingin membuang semua teori, asumsi, dan prasangka untuk
memahami fenomena sebagaimana adanya: "Untuk hal-hal itu sendiri".
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang
sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan
diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. (Bernard Delgauw,
2001)
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh
untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich
vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda
keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche
bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan
yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan
putusan benar salahnya terlebih dahulu.
Selanjutnya, Husserl berpendapat bahwa epoche memiliki empat
macam, yaitu :
a. Method of historical bracketing; sebuah metode yang mengecualikan
berbagai teori dan pemahaman yang telah kita terima dalam
kehidupan kita sehari-hari dari tradisi, agama, dan sains.
b. Method of existensional bracketing; untuk meninggalkan atau
menahan diri dari semua sikap keputusan atau sikap diam dan
penundaan.
c. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari
menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
d. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam
menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari
realitas itu

Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan


sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.

Metode fenomenologi Husserl dalam Denny Moeryadi (2009)


dimulai dari serangkaian reduksi-reduksi.Reduksi dibutuhkan supaya
dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek. Reduksi-
reduksi ini yang menying-kirkan semua hal yang mengganggu kalau kita
ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama, menyingkirkan segala
sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-
gejala yang harus “diajak bicara”. Kedua, menyingkirkan seluruh
pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber
lain. Ketiga:menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu
yang sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan.
Kalau reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan
diri, menjadi fenomin (memperlihatkan diri).

Dalam fenomenologi, tes dibuat dengan deskripsi dan refleksi pada


semua topik penting, terutama fenomena yang diberikan. Deskripsi
pengalaman fenomenologis hanyalah langkah pertama. Apa yang
sebenarnya tentang / lakukan pengujian adalah memiliki pengalaman
yang lebih umum. Pengujian dilakukan dengan cara bereksperimen dan
menentukan apa yang menjadi hakekat pengalaman subyektif dan apa
hakekat atau ide dari objek tersebut. (Smith, etc., 2009: 14).

Fenomenologi juga mencakup refleksi atas pengalaman langsung


atau refleksi atas gejala/fenomena. Melalui refleksi ini Anda
mendapatkan pemahaman yang benar dan terdalam. Dalam
fenomenologi kita ingin melihat apa yang dialami orang dari sudut
pandang orang pertama, atas nama orang yang mengalaminya.

C. Kelebihan dan Kekurangan Metode Fenomenologi


Metode fenomenologi sangat sering digunakan untuk melihat
keragaman gejala sosial budaya. Disiplin ilmu dalam lingkup humaniora
seperti sejarah, teologi, sosiologi, linguistik maupun antropologi telah
menerapkan metode ini. Alferd Schutz menyebut manusia sebagai
makhluk sosial ketika menggunakan fenomenologi. Kesadaran kehidupan
sehari-hari adalah kesadaran sosial. Tindakan manusia yang bermotif dan
bertujuan berfungsi sosial yang dilakukan dalam kesadarannya. Menurut
Schutz, kelebihan feneomenologi terletak pada apa kemampuannya
menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-
hari, sedangkan kegiatan dan pengalaman sehari-hari merupakan sumber
dan akar dari pengetahuan ilmiah. Dunia selalu bersifat sosial karena
lingkungan selalu mengkonstruksi secara implisit pada kesadaran manusia.
(Craib, 1986)
Kelemahan metode fenomenologi dalam psikologi eksistensial,
yang diakui oleh Karl Jaspers, adalah bahaya subjektifikasi ketika peneliti
terlibat dalam validasi intersubjektif. Fokus perhatian intersubjektif adalah
melihat kesamaan perilaku dalam situasi yang berbeda untuk mendapatkan
penjelasan. Keahlian dicapai ketika deskripsi yang ditemukan dengan
membandingkan hasilnya konsisten. Ini juga menjadi titik kritik
didedikasikan untuk psikologi humanistik.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yang asal katanya
adalah “phenomenon’’ dan “logos”. Phenomenon berarti: yaitu yang
muncul dalam kesadaran manusia. Sedangkan logos, berarti ilmu.
Phenomenologi berarti studi tentang phenomenon, atau yang muncul
dengan sendirinya. . Dengan keterangan ini mulai tampaklah tendensi
yang terdalam dari aliran phenomenologi yang sebenarnya merupakan
jiwa dan Mengenal Filsafat Fenomenologi cita-cita dari semua filsafat,
yaitu mendapatkan pengertian yang benar, yang menangkap realitas itu
sendiri.
Metode fenomenologi Husserl dalam Denny Moeryadi (2009)
dimulai dari serangkaian reduksi-reduksi.Reduksi dibutuhkan supaya
dengan intuisi kita dapat menangkap hakekat obyek-obyek. Reduksi-
reduksi ini yang menying-kirkan semua hal yang mengganggu kalau kita
ingin mencapai wesenschau. Reduksi pertama, menyingkirkan segala
sesuatu yang subyektif. Sikap kita harus obyektif, terbuka untuk gejala-
gejala yang harus “diajak bicara”. Kedua, menyingkirkan seluruh
pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain.
Ketiga:menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang
sudah dikatakan oleh orang lain harus, untuk sementara dilupakan. Kalau
reduksi-reduksi ini berhasil, gejala sendiri dapat memperlihatkan diri,
menjadi fenomin (memperlihatkan diri).
Selanjutnya, Husserl berpendapat bahwa epoche memiliki empat
macam, yaitu :
e. Method of historical bracketing; sebuah metode yang mengecualikan
berbagai teori dan pemahaman yang telah kita terima dalam
kehidupan kita sehari-hari dari tradisi, agama, dan sains.
f. Method of existensional bracketing; untuk meninggalkan atau
menahan diri dari semua sikap keputusan atau sikap diam dan
penundaan.
g. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari
menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
h. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam
menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari
realitas itu
Menurut Schutz, kelebihan feneomenologi terletak pada apa
kemampuannya menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan
pengalaman sehari-hari, sedangkan kegiatan dan pengalaman sehari-hari
merupakan sumber dan akar dari pengetahuan ilmiah. Kelemahan metode
fenomenologi dalam psikologi eksistensial, yang diakui oleh Karl Jaspers,
adalah bahaya subjektifikasi ketika peneliti terlibat dalam validasi
intersubjektif.
Daftar Pustaka

Bernard Delgaauw. 2001. Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono.


Yogyakarta: Tiara Wacana.

Creswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative & quantitativee approach.


Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage.

Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern; dari Parson sampai Habermas.
Jakarta: Rajawali Press.

Denny Moeryadi. 2009. Pemikiran Fenomenologi menurut Edmund Husserl.


Dipublikasi oleh jurnalstudi.blogspot

N. Diyarkara. 1962. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan

Romdon, MA. 1996. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Rajawali


Pers

Michael Crotty. 1998. Foundations of Social Research: Meaning and Perspective


in the Research Process. Australia: Allen & Unwin

Anda mungkin juga menyukai