Anda di halaman 1dari 11

UNIVERSITAS BUDI LUHUR

FAKULTAS TEKNIK

PERTEMUAN 5
TEORI FENOMENOLOGI (LANJUTAN)

Capaian : Mahasiswa mengetahui dan memahami teori


Pembelajaran fenomenologi
Sub Pokok : 5.1. Materi Perkuliahan
Bahasan 5.1.1. Kelebihan dan Kekurangan Fenomenologi
5.1.2. Manfaat Mempelajari Teori Fenomenologi
5.1.3. Tokoh Fenomenologi
5.2. Tugas dan Diskusi
Daftar : 1. Johnson, Paul Alan, The Teory of Architecture, Van
Pustaka Nostrand Reinhold, New York, 1994
2. Alexander, Christopher, Notes On The Synthesis of
Form, Harvard University Press, London, 1994
3. White, Edward T, Tata Atur, Pengantar Merancang
Arsitektur, Penerbit ITB, Bandung, 1986
ISI MODUL

5.1. Materi Perkuliahan


5.1.1. Kelebihan dan Kekurangan Fenomenologi

Fenomenologi sebagai bidang disiplin filsafat dan sebagai metodologi ilmu


manusia telah diakui kemampuannya dalam mempelajari suatu fenomena
sosial. Para peneliti komunikasi kontemporer menggunakan kelebihan
fenomenologi sebagai prinsip dasar yang kuat dalam penelitian komunikasi.
Selain itu, fenomenologi juga memberikan penawaran kepada para peneliti
komunikasi suatu pendekatan ilmu manusia untuk mempelajari fenomena
dengan cara yang tetap peka terhadap keunikan orang yang diteliti.

Disamping kelebihannya, fenomenologi juga tidak lepas dari kritik para


peneliti lainnya, salah satunya adalah Daniel Dennett. Daniel Dennet
menyatakan bahwa pendekatan orang pertama dalam fenomenologi
memiliki keterbatasan dalam meneliti keberadaan manusia secara efektif.
Pendekatan orang pertama dipandang sebagai pendekatan subyektif yang
merujuk pada terminologi autofenomenologi. Selain itu, fenomenologi juga
memiliki keterbatasan dalam ketidakmampuannya untuk menghasilkan
suatu intepretasi reduksi yang lengkap atau kecenderungan untuk
mempromosikan sebuah konseptualisasi esensialis dari suatu fenomena.

5.1.2. Manfaat Mempelajari Teori Fenomenologi

Mempelajari fenomenologi dapat memberikan manfaat dalam membantu


memahami fenomenologi yang mencakup sejarah, varian, serta
penerapannya dalam ilmu komunikasi secara umum.
5.1.3. Tokoh Fenomenologi
a. Edmud Husserl
Edmund Husserl (1859-1938) merupakan tokoh terpenting dalam
metode fenomenologi mengingat ialah yang untuk pertama kalinya
mempopulerkan nama fenomenologi sebagai metode atau cara
berpikir baru dalam ranah keilmuan sosial-humaniora. Beberapa
pemikiran Edmund Husserl terkait teori fenomonologi, sebagai
berikut:

Fenomenologi Sebagai Metode untuk Membangun Disiplin dasar


Pendiri fenomenologi sebagai sebuah gerakan filosofis, Edmund
Husserl (1859-1938) memiliki tujuan fundamental, yang diperlukan
untuk memiliki kejelasan dalam pikiran dalam menilai pekerjaannya
dan relevansinya bagi psikologi. Tujuan ini adalah untuk memberikan
dasar yang pasti untuk disiplin ilmiah yang berbeda dengan
membentuk makna konsep-konsep mereka yang paling dasar. Hal ini
harus dilakukan dengan klarifikasi struktur-struktur esensial penting
dari pengalaman yang membedakan satu disiplin dari yang lain dan
mengatur sifat dari masing-masing konsep disiplin itu.

b. Alfred Scrutz
Ahli teori sosiologi-fenomenologi yang paling menonjol adalah Alfred
Schutz, seorang murid Husserl yang berimigrasi ke Amerika Serikat
setelah munculnya fascism di Eropa, melanjutkan karirnya sebagai
bankir dan guru penggal-waktu (part-time). Dia muncul di bawah
pengaruh filsafat pragmatis dan interaksionisme-simbol; barngkali
cara terbaik untuk mendekati karyanya adalah melihatnya sebagai
bentuk interaksionisme yang lebih sistematik dan tajam. Akan tetapi,
dalam karya klasiknya yang berjudul The Phenomenology of the
Social World, bagaimanapun, dia tertarik dengan penggabungan
pandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui suatu kritik
sosiologi terhadap karya Weber. Dia mengatakan bahwa reduksi
fenomenologis, pengesampingan pengetahuan kita tentang dunia,
meninggalkan kita dengan apa yang ia sebut sebagai suatu “arus-
pengalaman” (stream of experience).

Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena


hal-hal yang kita sadari muncul kepada kita, dan cara yang paling
mendasar dari pemunculannya adalah sebagai suatu aliran
pengalaman-pengalaman inderawi yang berkesinambungan yang kita
terima melalui panca indera kita. Fenomenologi tertarik dengan
pengidentifikasian masalah ini dari dunia pengalaman inderawi yang
bermakna, suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran
individual kita secara terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam
interaksi antara kesadaran-kesadaran. Bagian ini adalah suatu bagian
dimana kesadaran bertindak (acts) atas data inderawi yang masih
mentah, untuk menciptakan makna, didalam cara yang sama
sehingga kita bisa melihat sesuatu yang bersifat mendua dari jarak
itu, tanpa masuk lebih dekat, mengidebtifikasikannya melalui suatu
proses dengan menghubungkannya dengan latar belakangnya.

Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna diluar dari arus


utama pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini
termasuk membentuk penggolongan atau klasifikasi dari pengalaman
dengan melihat keserupaannya. Jadi dalam arus pengalaman saya,
saya melihat bahwa objek-objek tertentu pada umumnya memiliki
ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke tempat,
sementara lingkungan sendiri mungkin tetap diam.
c. Peter L. Berger
Pengkajian fenomenologi Peter L. Berger berkaitan erat dengan
konsepnya mengenai konstruksi realitas sosial yang dianggapnya
bergantung pada posisi individu sebagai subyek. Dengan demikian,
asumsi awal pemikiran terkait layaknya struktural fungsional, hanya
saja pemaknaan dihasilkan oleh hubungan subyektif individu dengan
dunia obyektif. Dalam proses tersebut, Berger (1994: 4-5) meyakini
eksisnya dialektika tiga momentum yang dialami individu dalam
masyarakat, yakni eksternalisasi, internalisasi dan obyektivasi, yang
mana ketiganya menunjukkan eksistensi individu sebagai produk
masyarakat dan begitu pula sebaliknya: masyarakat sebagai produk
individu. Eksternalisasi adalah kondisi di mana individu lebih dominan
ketimbang masyarakat, dalam kondisi yang demikian individu aktif
memproduksi nilai, norma dan budaya bagi masyarakatnya.
Sebaliknya, internalisasi adalah kondisi tatkala individu lebih dormant
ketimbang masyarakatnya, dalam kondisi tersebut individu aktif
mengadopsi nilai, norma dan budaya yang terdapat dalam
masyarakat.

Lebih jauh, kontektualisasi dialektika tiga momentum di atas dapat


dimisalkan dengan proses bertransformasinya konstruksi sosial
menjadi kenyataan sosial. Sebagai misal, seorang individu yang
berpengaruh dalam masyarakat pada mulanya mempraktekkan
senyum simpul kala berpapasan dengan individu lain yang dikenalnya
sebagai bentuk penghormatan. Lambat-laun, perilaku tersebut ditiru
oleh individu-individu lain dan segera berubah menjadi suatu
konstruksi sosial, yakni senyum simpul sebagai bentuk penghormatan
kala berpapasan dengan individu lain yang dikenal. Bersamaan
dengannya, konstruksi sosial pun menemui bentuknya sebagai
kenyataan sosial. Sebagai misal, apabila terdapat individu yang
berpapasan dengan individu lain yang dikenalnya namun tak
melancarkan senyum simpul, maka ia akan segera mendapati cap
sombong, angkuh, dan lain sejenisnya.

Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu


pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat.
Titik awal dari proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman
atau penafsiran yang langsung dari peristiwa objektif sebagai suatu
pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi
menandai berlangsungnya proses sosialisasi.

d. Max Weber
Terkait dengan fenomonologi, Max Weber membahas tentang
Verstehen. Max Weber (1864-1920) merupakan tokoh sosiologi yang
paling berpengaruh dalam pemahaman nominalisme sosiologis.
Menurutnya, kajian sosiologi yang memfokuskan perhatian pada studi
mengenai entitas masyarakat, institusi atau lembaga-lembaga sosial
bersifat abstrak dan penuh spekulasi. Bagi Weber, satu-satunya
perihal yang konkret adalah motif berikut tindakan yang dimiliki
individu, “Tak ada sesuatu yang dinamakan masyarakat, melainkan
kumpulan individu dan kelompok yang menjalin hubungan sosial satu
sama lain”, pungkas Weber. Di satu sisi, pernyataan tersebut dapat
diasumsikan sebagai berikut, “Keluarkan individu dari masyarakat,
maka habislah masyarakat. Tetapi, bubarkan masyarakat beserta
lembaga-lembaganya, maka individu akan tetap ada”. Oleh
karenanya, obyek studi sosiologi Weber berfokus pada motif tindakan
sosial aktor.

Lebih jauh, guna menelisik penafsiran dan pemahaman dari


serangkaian tindakan sosial di atas, Weber mencetuskan metode
verstehen. Secara sederhana, verstehen mengajak peneliti (ilmuwan
sosial) untuk menempatkan diri dalam posisi aktor dan berusaha
memahami dunia sebagaimana yang dipahami aktor tersebut.
Keyakinan Weber akan tindakan aktor yang bersifat rasional,
menyebabkannya memetakan tindakan aktor ke dalam empat tipe
rasionalitas. Pertama, werktrational (rasionalitas nilai), yakni
tindakan aktor yang didasarkan pada sesuatu yang dianggap benar,
baik dan diharapkan keterwujudannya—sebagaimana pengertian nilai
pada umumnya. Sebagai misal, seseorang yang berkata jujur pada
orang lain dikarenakan menganggap kejujuran sebagai perihal yang
patut dijunjung tinggi. Kedua, zwerk rational (rasionalitas
instrumental), yakni tindakan yang didasarkan pada efisiensi dan
efektifitas tingkat tinggi dalam pencapaian tujuan. Semisal, seorang
wanita muda yang bersedia menerima pinangan duda tua nan kaya
raya dengan harapan bergelimang harta dalam waktu singkat.
Ketiga, affectual action (tindakan/ rasionalitas afektif), yakni
tindakan aktor yang didasarkan pada perasaan atau emosi. Sebagai
misal, seorang gadis yang berjingkrak kegirangan karena
memperoleh cokelat dari seorang pria yang disukainya. Keempat,
traditional action (tindakan/ rasionalitas tradisional), yakni tindakan
yang didasarkan pada perihal yang telah dilakukan secara turun-
temurun dan berulang-ulang. Semisal, seorang pemuda yang pergi
merantau dari kampung halamannya dikarenakan hal tersebut telah
menjadi tradisi dalam masyarakatnya.

Faktual, Weber berhasil membawa konsep pemahaman subyektif


pada pola-pola penalaran yang lebih bersifat rigorous “ketat”. Namun,
layaknya fenomenologi Husserl, verstehen Weber tak memiliki
penjelasan akan posisi subyek sebagai obyek. Seolah, subyek selalu
berpikir berikut bertindak proaktif, bahkan ketika subyek “tertelan”
oleh masyarakat, semisal mengikuti nilai, norma dan tradisi yang
terdapat di dalamnya, ia tetap dalam kondisi aktif menafsirkan serta
menciptakan dunia. Secara tak langsung, ini menjadi aib bagi konsep
rasionalitas Weber mengingat dimensi irasionalitas yang turut
termuat di dalamnya (tak sepenuhnya rasional) - bertindak karena
sekedar mengikuti atau meniru. Di satu sisi, hal terkait kiranya
membuat kita perlu mengkaji ulang pernyataan Weber yang kurang-
lebih berbunyi: “Seluruh tindakan manusia di dunia adalah rasional ”,
yang justru mengaburkan batas-batas antara dimensi rasionalitas
dengan irasionalitas.

Hal di atas berbeda halnya dengan konsep eksistensialisme Sartre


(1956: 48) yang mengenal istilah “keyakinan yang buruk”, yakni
kondisi ketika individu sekedar mengikuti individu atau kolektif
lainnya. Meskipun memang, Sartre menyatakan pula, “Anda memiliki
keyakinan yang buruk, tapi tak mengapa, gaya yang berbeda untuk
orang yang berbeda”. Bisa jadi, pernyataan tersebut justru
menunjukkan kapasitas eksistensialisme Sartre dalam upaya
menjembatani posisi individu dalam masyarakat tanpa harus
kehilangan dimensi eksistensinya. Pasalnya, bagi Sartre pengalaman
eksistensial dapat menjangkiti baik kala individu tegak berdiri
melawan masyarakat (menindak) maupun kala individu tak kuasa
melawan dominasi masyarakat (ditindak).

Pengalaman terakhir ini, menunjukkan eksistensi diri individu sebagai


etre en soi, semisal rasa malu, terobjekkan, pasrah, serta keharusan
menilai diri sendiri berdasarkan kerangka penilaian orang lain. Lebih
jauh, verstehen Weber tak memuat penjelasan akan kemampuan
individu dalam memanipulasi obyek, dalam hal ini terutama orang lain
dan ruang (tempat).
e. Max Scheler
Disamping Husserl, filsuf lain yang juga terlibat dalam filsafat
fenomenologi adalah Max Scheler. Scheler juga menggunakan
metode Husserl dan tidak berusaha untuk menganalisa dan
menerangkan lebih jauh tentang suatu obyek dan gejala-gejalanya.
Bagi Scheler, fenomenologi merupakan “jalan keluar”
ketidakpuasannya atas logisisme-transendentalis Immanuel Kant dan
Psikologisme Empiris. Dan pemikiran yang paling utama Scheler
adalah tentang fenomenologi etika.

Dalam pandangan Scheler tentang fenomenologi etis, benda


dianggap sebagai “sesuatu” yang bernilai; oleh karena itu, adalah
keliru menginginkan inti nilai dari benda-benda, atau memandang
keduanya dengan tempat berpijak yang sama. Dunia benda-benda
terdiri atas segala sesuatu, maka dapat dihancurkan oleh kekuatan
alam dan sejarah. Dan jika nilai moral kehendak kita tergantung pada
benda-benda, maka kehancuran tersebut akan mempengaruhinya.
Sebaliknya benda itu memiliki nilai empiris, induktif, dan prinsip yang
didasarkan diatasnya bersifat relatif.

Lebih jelasnya lagi, Scheler mengilustrasikannya dengan


membandingkan “nilai” dengan “warna” untuk menunjukkan bahwa
didalam kasus keduanya terdapat persoalan tentang kualitas yang
keberadaannya tidak tergantung pada benda. Scheler mengatakan
bahwa “merah” sebagai kualitas murni dalam spektrum, tanpa
mengalami perlunya untuk mengkonsepsikannya sebagai yang
meliputi permukaan yang berbadan. Dengan cara yang sama, “nilai”
yang terkandung didalam benda serta pembentukan atas suatu
“kebaikan” tidak tergantung pada benda tersebut. Menurut Scheler,
kita tidak memahami, misalnya nilai kenikmatan atau estetik melalui
induksi yang umum. Dalam kasus tertentu, satu obyek atau
perbuatan tunggal cukup memadai bagi kita untuk menangkap nilai
yang terkandung didalamnya. Sebaliknya, kehadiran nilai yang
menyertai obyek yang bernilai memiliki hakekat “baik”. Dengan cara
ini, kita tidak memeras keindahan dari benda yang indah; karena
keindahan mendahului bendanya. Dan bila dikaitkan dengan
perbuatan manusia, maka menurut Scheler, manusia bukanlah
pencipta nilai tingkah laku karena nilai-nilai itu berada diluar diri
manusia. Lebih lanjut Scheler mengatakan bahwa tugas manusia
adalah mengakui nilai-nilai itu serta mengikutinya dalam hidup.

5.2. Tugas dan Diskusi


Sesuai dengan pengetahuan yang anda kuasai tentang teori fenomenologi,
Anda diminta untuk membuat tulisan mengenai aplikasi teori tersebut. Tugas
dan Diskusi yang dikerjakan adalah:
1. Tugas individu/ Perorangan
2. Mahasiswa mencari penerapan teori fenomenologi di Indonesia
3. Format tugas paper dan PPT
4. Tugas dipresentasikan dan didiskusikan di kelas

Rangkuman
Fenomenologi sebagai bidang disiplin filsafat dan sebagai metodologi ilmu manusia telah
diakui kemampuannya dalam mempelajari suatu fenomena sosial. Disamping
kelebihannya, fenomenologi juga tidak lepas dari kritik para peneliti lainnya, salah
satunya adalah Daniel Dennett. Daniel Dennet menyatakan bahwa pendekatan orang
pertama dalam fenomenologi memiliki keterbatasan dalam meneliti keberadaan manusia
secara efektif.

Mempelajari fenomenologi dapat memberikan manfaat dalam membantu memahami


fenomenologi yang mencakup sejarah, varian, serta penerapannya dalam ilmu
komunikasi secara umum.

Anda mungkin juga menyukai