Anda di halaman 1dari 12

Ringkasan Mata Kuliah Metodologi Penelitian Non Positif

(Paradigma Interpretif)

Dosen Pengampu:
Dr. Dra. Lilik Purwanti, M.Si., Ak.

Kelas Reguler 2:
1. Zahrudin Ma’ruf (196020302111015)
2. Maulana Fitri Agustin Nur Wahyuni (196020302111022)

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
PARADIGMA INTERPRETIF
A. Sejarah

Dalam buku The Principles of Philosophy, filosofis Rene Descartes (1596-1650)


berpendapat bahwa semua penjelasan dapat didasarkan pada observasi benda dan gerak.
Pendapat ini membangun landasan pendekatan terhadap pengetahuan yang digunakan
sebagai dasar positivisme dan post-positivisme dan juga sebuah perbedaan yang jelas
adanya dunia eksternal dan dunia internal subjek yang dikenal dengan Dualisme
Cartesian.

Timbul beberapa keberatan terhadap gagasan pencerahan pada pertengahan abad 18


tentang objektivitas, rasionalitas dan pengetahuan yang mendasari observasi eksternal.
Immanuel Kant berpendapat bahwa manusia mempunyai pengetahuna yang apriori yang
bersifat independen dari dunia luar. Menurut Max Weber prosedur positivism yang ada
dalam ilmu tidak tepat dijadikan metode pemahaman, dan ia menyokong gerakan
interprestasi ilmu social yang dapat mencatat makna subjektif individu yang tercakup
dalam perilaku sosial.

B. Pengertian Paradigma

Paradigma merupakan pijakan atau landasan filosofis yang mendasari suatu kegiatan
ilmiah, yang mana kegiatan ilmiah tersebut dilakukan secara sistematik, sistemik dan
terencana, mulai dari makna, hakikat, tujuan, hingga metodenya. Lalu apakah yang disebut
dengan paradigma? Denzin dan Lincoln (eds.) (1994: 99) paradigma adalah “a basic set of
believes that guide action. Paradigma deal with first principles, or ultimate”. Sedangkan
given (ed 1990: 591) mengartikan paradigma sebagai “a set of assumtions and perceptual
orientations shared by member of a research community”. Sedangkan Guba (dalam
Cresweel, 2007: 19) mengartikan paradigma sebagai “a basic set of beliefs that guide
action”

Menurut Newman (1997: 62) dikenal ada 3 paradigma, yaitu : paradigma positivistik
(positivistic paradigm), Paradigma interpretif (interpretif paradigm) dan paradigma
refleksif (reflexive paradigm). paradigma positivistik (positivistic paradigm) disepadankan
dengan pendekatan kuantitativ (quantitativeapproach). Pendekatan quantitative pada
umumnya digunakan oleh ilmu-ilmu alam (natural sciences). Sedangkan Paradigma
interpretif (interpretif paradigm) disepadankan dengan pendekatan kualitatif (qualitative
approach) dan pada umumnya digunakan oleh ilmu-ilmu sosial (social sciences).
Dalam melakukan penelitian sosial diperlukan paradigma yang tepat. Burrel dan
Morgan (1979: 23) merangkum empat paradigma yang dapat digunakan dalam penelitian
sosial, diantaranya fuctional paradigm, interpretif paradigm, radical humanistdan radical
structualist. Functional paradigmmerupakan akar dari sociology of regulation dengan
sudut pandang obyektif yang lebih dominan digunakan pada studi terkait organisasi.
Sedangkan interpretif paradigm juga merupakan akar dari sociology of regulation namun
dengan sudut pandang subyektif. Realitas sosial dibahas dengan memandang dunia
sebagaimana adanya dengan merujuk pada aktor yang terlibat langsung. Radical humanist
berfokus pada pengembangan sociology of radical change dari sudut pandang subyektif
yang memandang bahwa kesadaran sesorang lebih didominasi oleh ideologinya, cara
pandang terhadap hidup dan interaksi lingkungannya. Paradigmayang terakhir yaitu
radical structuralist. Pendekatan ini berangkat dari pandangan sociology of radical change
namun memandang suatu masalah dari sudut pandang obyektif.

Denzin (1989:10) menyatakan bahwa “Interpretif interactionism attempts to make the


world of lived experience directly accessible to the reader. It endeavors to capture the
voices, emotions, and actions of those studied. The focus of intepretive research is on
those life experiences that radically alter and shape the meanings persons given to
themselves and their experiences”.

Berdasarkan pernyataan Denzin tersebut menunjukkan bahwa penelitian sosial dengan


menggunakan paradigma interpretif memberikan suatu pengalaman baru yang dapat secara
langsung diakses oleh pembaca. Fokus pada penelitian interpretif adalah pengalaman
hidup yang secara radikal mengubah dan membentuk makna atau suatu arti yang mereka
berikan sendiri bersama dengan pengalaman mereka. Pendekatan secara interpretif
didasarkan pada filosofi penelitian yang sangat bertentangan dengan banyak tradisi dari
penelitian ilmiah secara tradisional pada ilmu sosial. Pendekatan ini hanya boleh
digunakan ketika peneliti menguji hubungan antara masalah pribadi dengan lembaga-
lembaga publik yang telah dibuat untuk mengatasi masalah pribadi. Pendekatan secara
interpretif berbicara tentang hubungan timbal balik antara kehidupan pribadi dan respon
publik pada masalah-masalah pribadi.

Melalui paradigma ini, peneliti melihat segala sesuatu langsung dari aktor yang
terlibat. Berusaha menjelaskan dan menyelesaikan realitas sosial langsung dari sumber
yang bersangkutan. Cara ini tidak diperoleh dari ketika peneliti menggungakan paradgima
positivis pada umumnya. Dengan menggunakan pendekatan ini maka peneliti dapat
menggali secara lebih dalam berbagai hal tentang realitas social dalam masyarakat.

Pengujian atau penelitian terkait dengan realitas sosial memunculkan 2 obyek, yaitu
aktor sebagai informan yang diteliti dan peneliti sebagai pencari informasi dilapangan.
Selanjutnya peneliti melakukan proses pencarian dan pengumpulan informasi kepada aktor
yang berperan langsung pada realitas dan sudut pandang yang diteliti. Paradigma
interpretif dinilai cocok untuk digunakan untuk memperoleh pemahaman yang tepat, dari
suatu realitas social yang ditinjau dari sudut pandang peneliti sebagai informan yang
diteliti atau dari sudut pandang peneliti sebagai pencari informasi dilapangan.

C. Pengertian Paradigma Interpretif

Salah satu metode yang digunakan dalam pendekatan paradigma interpretif adalah
fenomenologi. Kuswarno (2009:110) menyebutkan bahwa fenomenologi merupakan suatu
analisi yang merekonstruksi kehidupan manusia yang sebenarnya dalam bentuk apa yang
mereka sendiri alami. Anggota masyarakat saling berbagi persepsi dasar mereka terkait
dengan dunia dan realitas yang mereka hadapi yang diinternalisasikan melalui sosialisasi
yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan komunikasi.

Paradigma interpretif memiliki keunggulan (Denzin, 2009: 11), diantaranya adalah :


1. Dapat membantu peneliti untuk mengidentifikasi perbedaan pengertian atau
pemahaman dari masalah yang sedang diteliti;
2. Membantu menemukan dan membuktikan secara benar fakta-fakta yang sering
disembunyikan oleh aktor yang berhubungan dengan masalah;
3. Dapat mengidentifikasi titik strategi intervensi pada situasi sosial;
4. Dimungkinkan untuk melakukan sugesti terhadap kebijakan dan program untuk dapat
dinilai dan diinterprestasikan;
5. Batas dari stastistik dan evaluasi terhadapa nilai statistic dapat diekspose secara lebih
lanjut dan materi untuk menginterprestasi dapat lebih dilengkapi.
Dalam teori interpretif terdapat dua aliran pemikiran tentang interpretif searah yaitu
hermeneutika yang menunjuk pada interpretasi tekstual serta masih banyak yang
menggunakannya untuk kepentingan tersebut dan fenomenologi yakni studi mengenai
pengetahuan yang muncul dalam pengalaman yang diperoleh secara sadar.
D. Pandangan Dasar Paradigma Interpretif
Pandangan dasar pembentuk paradigma interpretif yang mendasari metode ilmu social
yang khas, yaitu bagaimana memeperlakukan manusia tidak sebagai benda-benda lebih
dari apa yang telah dicapai oleh post-positivisme awal. Berikut 3 dasar pembentuk
paradigma interpretif:
1. Fenomenologi
Edmund Husserl (1859-1938) mencetuskan bahwa fenomenologi melihat objek
dari ilmu-ilmu sosial meliputi segala sesuatu yang termasuk dalam tindakan social
manusia seperti percakapan, ungkapan, pikiran, keinginan, persaan, maupun endapan-
endapannya seperti teks, tradisi, barang kebudayaan, karya seni dan lain-lain. Dalam
fenomenologi terdapat 2 pemikiran yaitu fenomenologi trnasendental oleh Edmund
Husserl dan fenomenologi sosial yang telah digaris bawahi oleh Deetz dalam
hubunganya dengan studi komunikasi.
Fenomena transendental (fenomenologi klasik) dicetuskan oleh Edmund Husserl
(1859-1938) dimana fokus perhatiannya adalah tesis bahwa dalam keseharian hidup
kita, esensi dari objek dan pengalaman menjadi kabur dengan konsep yang diterima
begitu saja yang kemudian menjadi sebuah kebenaran umum. Contohnya, kita
berinteraksi di meja makan pada saat makan malam dikatakan sebuah kesepakatan
mengenai siapa kita sebagai anggota keluarga, namun kita biasa menerima interaksi ini
begitu saja serta makna yang mereka dapatkan. Karena adanya kekaburan ini, Husserl
percaya bahwa “inti usaha fenomenologi adalah untuk memurnikan sikap alamiah
kehidupan sehari-hari dengan tujuan menerjemahkannya sebagai sebuah objek untuk
penelitian filsafat secara cermat dan dalam rangka menggambarkan serta
memperhitungkan struktur esensialnya” (Natanson; 1996, Hal 3).
Fenomena sosial, Afred Schutz (1899-1959) menerima banyak prinsip dari
Husserl, kecuali ajaran tentang penundaan (pemberian tanda kurung) atas kehidupan
dunia agar kemurnian dapat diperoleh. Menurut Schutz kehidupan dunia ini dapat
dipahami dalam term-term yang kita sebut pelambangan/penipean yang digunakan
untuk mengorganisasikan dunia sosial. Penipean ini adalah konstruk interprestasi yang
berubah-ubah berdasarkan latar belakang kehidupan seseorang, budanyanya dan
konteks sosial tertentu.
2. Hermeneutika
Hermeneutika dalam hal ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana pencarian
metode ilmu sosial (dalam hal ini komunikasi) yang berbeda dengan ilmu sosial. Dalam
ilmu sosial cara bertindak dan berperilaku belum terstruktur, maka kita tidak bisa
menerima begitu saja apa yang diinginkan oleh positivisme. Hermeneutika menegaskan
bahwa fenomena khas manusia adalah bahasa, karena merupakan objektifitas realitas
dan kesadaran manusia yang dialami sipenutur sekaligus apa yang dipikirkannya.
Kontribusi pemikiran hermeneutika untuk teori interpretif kotemporer dalam
komunikasi dapat diringkas dalam beberapa gagasan sentral.
a. Hermeneutika menegaskan pentingnya sebuah pemahaman sebagai sebuah oposisi
dari penjelasan, prediksi dan kontrol sebagai tujuan dari analisis sosial dimana para
peneliti sosial harus mempertimbangkan isu-isu tentang makna dan signifikansi
subjektivitas ketimbang ketertarikan pada riset ilmiah tentang hukum-hukum
universal dan hubungan kausalitas. Berikut perbedaan dari metode ilmu sosial dan
metode ilmu alam: (a) yang dicari ilmu alam adalah dalil-dalil umum yang memang
dimungkinkan untuk mengukur uniformalitas gejala-gejala alam, yaitu anggapan
bahwa dalam kondisi yang sama, akan terjadi hal yang sama. Yang dicari ilmu alam
yaitu keuinikan dan individualitas dari setiap kejadian/aktivitas manusia. (b) dari
segi logikakeduanya punya perbedaan. Ilmu alam menggunakan logic of science
yang memandang gejala-gejala sebagai terpisah dari pengamat tanpa saling
pengaruh dengan pengamat dan karena itu gejala-gejala dapat diobjektifkan.
Sedangkan ilmu sosial menggunakan logic of hermeneutic. (c) logic of hermeneutic
justru bertolak dari anggapan bahwa antara pengamat dan objek yang diamatinya
(yaitu manusia dan masyarakat) terdapat satu hubungan yang erat dan saling
pengaruh yang kuat, dan karena itupun tidak dapat diobjektifkan lagi.
b. Hermeneutika menekankan konsep sentral teks dan berusaha meyakinkan bahwa
berbagai perilaku dan objek – objek yang terbentuk dalam kehidupan sosial dapat
dimaknai sebagai sebuah teks. Cheney dan Tompkins (1988) mengembangan
pendapat tentang konsep teks sebagai basis dari penyelidikan komunikasi manusia.
Dalam arti, teks teks yang dianalisis dalam studi komunikasi dapat berupa pidato,
acara televisi, pertemuan bisnis, percakapan, perilaku nonverbal atau arsitektur dan
dekorasi sebuah rumah.
c. Hermeneutika mendorong munculnya argumen yang menentang pemilahan antara
“subjek yang mengetahui” dan “pengetahuan/yang diketahui” sebagai prinsip dasar
tradisi post-positivis. Gadamer berpendapat bahwa “pemahaman” pada intinya
merupakan “pertukaran kerangka rujukan antara pengamat dan objek yang diamati”
(Miller, 2002:49).
Singkatnya, hermeneutika menunjukkan para ilmuwan pentingnya teks-teks dalam
dunia sosial dan pada metode analisis yang menekankan keterhubungan pengaruh
antara teks, pengarang, konteks dan kalangan teorisi.
3. Interaksionisme simbolik
Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha
mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah
fenomenologi. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih
mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan
aspek masyarakat dan atau kelompok. Perspektif interaksi simbolik berusaha
memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi
simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas.
Menurut Blomer (Spradley,1997:7) ada beberapa premis interaksionisme simbolik
yang perlu dipahami peneliti budaya, yaitu sebagai berikut: (1) manusia melakukan
berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka.
Misalkan, para polisi, mobil polisi, penjual minum, tipe orang, dan sebagainya dalam
suatu kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus.(2) dasar interaksionisme
simbolik adalah “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial
seorang dengan orang lain. (3) makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat
interaksi tersebut berlangsung.
E. Metateori Interpretif
1. Ontologi
Realitas sosial hadir dalam beragam bentuk konstruksi mental, berdasar pada situasi
sosial dan pengalamannya, bersifat lokal dan spesifik, kemudian bentuk dan formatnya
bergantung pada orang yang menjalaninya (Guba, 1990). Ontologi yang dipegang
adalah gagasan bahwa realitas tidak akan bisa dimengerti tanpa mempertimbangkan
proses sosial dan mental yang terus menerus membangun realitas tersebut.
2. Epistemologi
Epistemologi intepretatif merupakan epistemologi subjektif. Kaum interpretatif
meyakini tidak adanya hukum universal atau hubungan kausal yang bisa dijadikan
kesimpulan mengenai dunia sosial. Kaum interpretatif berupaya mengusahakan
pemahaman lokal dari kelompok sosial yang khusus dan kejadian yang khusus pula.
3. Aksiologi
Kebanyakan teoretisi interpretatif mengikuti argumen ketidakmungkinan pemisahan
nilai dari pengetahuan. Nilai-nilai personal dan profesional adalah sebuah lensa yang
melauinya sebuah fenomena sosial diamati. Perspektif interpretatif mendasari metode
ilmu sosial dengan memberikan peran subjek dalam menentukan fakta sosial sekaligus
memperlakukan manusia tidak sebagai benda-benda sebagaimana positivisme.
F. Teori Interpretif dalam Komunikasi
Dalam teori interpretif dipengaruhi oleh: fenomenologi, hermeneutika, dan
interaksionisme. Perbedaan pengaruh tersebut pada term asumsi, penekanan serta metode.
Sedangkan persamaan prinsip mereka menjadi inti dari sudut pandang teori interpretif.
Prinsip tersebut adalah:
1. Pengalaman subjektif.
2. Kreasi intersubjektif.
3. Pemahaman sebagai tujuan akhir dalam riset sosial.
4. Ketidakpastian antara “yang tahu” dan “yang diketahui”
Menurut Bates(2005) dalam bukunya ”An introduction to metatheories, theories, and
models”, metateori merupakan landasan filsafat dari sebuah teori; sebagai serangkaian ide
mendasar tentang bagaimana seharusnya sebuah fenomena tertentu dipikirkan dan
dipelajari. Teori interpretif bukanlah suatu usaha monolitis namun lebih
merepresentasikan tren umum daripada mengemukakan kerangka dari pemikiran teoritisi
interpretif. Berikut merupakan hubungan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi tidak bisa
dihindari karena keyakinan mengenai realitas, pengetahuan dan nilai-nilai.
1. Ontologi Teori Interpretif
Pandangan ontologis dari kebanyakan teori interpretif dalam ilmu komunikasi
menganggap, “Realitas sosial hadir dalam beragam bentuk konstruksi mental,
berdasarkan pada situasi sosial dan pengalamannya, bersifat lokal dan spesifik,
kemudian bentuk dan formatnya bergantung pada orang yang
menjalaninya.”(Guba.1900a:27). Pandangan ontologis para nominalis dan
konstruksionis sosial ini memiliki berbagai implikasi penting, yaitu:
a) Pandangan kalangan nominalis menekankan gagasan tentang realitas yang berlipat
(multiple), tidak satu pun yang terlihat lebih benar atau salah dari yang lain.
b) Aspek konstruksionis sosial dalam hal ini memberi tekanan pada jalannya proses
dimana realitas sosial dimengerti dan dijadikan dasar tindakan oleh pelaku sosial
tersebut.
Paradigma interpretif menuntut pendekatan holistik, menyeluruh (mengamati objek
secara keseluruhan), tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna
mendapat pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak mekanistis melainkan
humanistis.
2. Epistemologi Teori Interpretif
Epistemologis berdasarkan kepada keyakinan tentang realitas dan pada kekurangan
yang dirasa pada metode riset yang sudah mendominasi riset sosial pada abad ke-20.
Epistemologi Subjektif menyatakan bahwa tidak ada hukum universal atau hubungan
kausal yang bisa dijadikan kesimpulan mengenai dunia sosial. Realitas itu diciptakan
secara sosial maka para interpretivis ini percaya bahwa pemahaman hanya bisa
dicapai dari pandangan pelaku realitas tersebut. Dan para pakar interpretif mencoba
untuk mengurangi jarak antar subjek yang mengetahui (the knower) dan objek
pengetahuan (the known), dan temuan yang dihasilkan penelitian adalah sesuatu yang
timbul dari interaksi antara peneliti dan komunitas. Teori diciptakan secara induktif,
melalui interaksi antara peneliti dan kolektif (kelompok) sosial.Interpretivisme
menuntut menyatunya subjek dengan objek penilitiannya serta subjek pendukungnya
seperti observasi. Jadi sebenarnya epistemology teori interprentif itu adalah?
3. Aksiologi Teori Interpretif
Dalam fenomenologi mempertimbangkan konsep bracketing – suatu gagasan bahwa
seseorang peneliti sosial mesti mengesampingkan prasangka dari nilai-nilai ketika
meneliti sebuah kehidupan sosial (epoche). Konsep ini menyatakan bahwa para pakar
interpretif harus mempercoba memperkecil pengaruh nilai-nilai dalam proses
penelitian. Pendekatan mengenai peran nilai dalam pengembangan teori ini tidak
dipakai oleh kebanyakan teoritisi interpretif kontemporer. Kebanyakan teoritisi
interpretif dalam komunikasi sekarang ini cenderung mengikuti pemikiran
hermeuneutika dan interaksionisme simbiolisnya Mahzab Chicago dalam beragumen
mengenai ketidakmungkinan pemisahan nilai dari pengetahuan. Penilaian seseorang
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor luar tetapi juga oleh faktor dalam dirinya (seks/
jenis kelamin). Penelitiannya bebas nilai, karena memang tidak ada aspek yang benar-
benar bebas nilai.
4. Struktur dan Fungsi Teori Interpretif
Paradigma interpretif didasari oleh keinginan ontologis dan epistemologis yang sangat
berbeda dengan para teoritis post-positif. Para ahli ini lebih condong kepada
pemahaman khusus/lokal daripada penjelasan yang general. Teori interpretif
mengarahkan pemahaman kita kepada sebuah dunia yang dibangun secara sosial
melalui interaksi yang komunikatif dan bertujuan untuk merefleksikan kompleksitas
dunia sosial serta proses konstruksi sosial.
G. Komunikasi dalam Perspektif Interpretif
1. Etnografi - Komunikasi
Merujuk pada Clifford Geertz, menerangkan gambaran bagaimana lingkaran
hermeuneutika digunakan dalam proses penelitian komunikasi etnografis. Geertz
menegaskan bahwa penelitian bergerak dari konsep pengalaman dekat menuju konsep
pengalaman jauh. Konsep pengalaman dekat adalah konsep yang memiliki pengertian
dekat bagi anggota masyarakat budaya. Sedangkan konsep pengalaman jauh adalah
pengertian untuk pihak luar. Peneliti menerjemahkan keduanya dengan gerakan masuk
lingkaran sehingga peneliti dapat memahami apa yang sedang terjadi menuju lingkaran
dalam mengenai apa yang bagi pelaku sendiri sedang terjadi. Garry Philipsen
mengemukakan 4 asumsi komunikasi etnografi, yaitu:
a) Peneliti atau partisipan dalam sebuah komunikasi budaya lokal menciptakan
pengertian bersama dengan yang sedang dipahaminya.
b) Para komunikatir dalam kelompok budaya harus berada dalam suatu sistem
komunikasi.
c) Pengertian dan tindakan sifatnya khusus bagi masing-masing kelompok budaya.
d) Setiap kelompok dianggap memiliki cara-cara tersendiri untuk memahami kode dan
tindakan tertentu.
Metode pemahaman hermeneutika mengarahkan peneliti untuk menghargai
keberbedaan cara komunikasi antarbudaya. Walaupun demikian tidak berarti seorang
peneliti membiarkan proses penelitiannya tanpa sedikitpun rujukan. Rujukan adalah
prinsip sebagaimana dikemukakan oleh Philipsen, yaitu bahwa semua bentuk pesan
menuntut adanya kode bersama, komunikatornya mengetahui dan menggunakan kode
saluran dan memiliki saluran, memiliki setting tertentu, ada bentuk pesannya, jelas
topiknya dan berada dalam atau membentuk suatu peristiwa tertentu. Melalui prinsip ini
lingkaran hermeuneutika diberlakukan.
2. Dramatisme dan Narasi
Teori Dramatisme dan narasi merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh
interaksionisme simbolik. Teori dramatisme dan narasi memusatkan diri pada peristiwa
penggunaan simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai aktor diatas
panggung metaforis yang sedang memainkan peran mereka, dan komunikasi atau
penggunaan pesan dianggap sebagai perilaku untuk menghadirkan cerita tertentu.
Teori narasi memaknai pesan atau proses komunikasi sebagai sebuah proses
penceritaan dengan struktur tertentu. Kedua teori ini tidak bisa dipisahkan, karena
memainkan adegan berarti menceritakan kisah secara berturut-turut, sebalikanya
menceritakan kisah secara berturut-turut berarti sedang menampilkan adegan dari aktor
tertentu.
“Komunikasi dalam bentuk apapun merupakan suatu cara untuk berbagi cerita.
Kebanyakan cerita kelihatannya susah sangat pentingg untuk dibagikan. Pembagian
cerita ini mungkin merupakan fungsi utama dari cerita. Cerita dengan demikian
merupakan alat komunikasi. Pembagian cerita merupakan hal yang mengubah manusia
menjadi mahluk komunikatif. Dalam kegiatan pertukaran cerita kesana kemari, demi
kepentingan inspeksi, kesepakatan atau ketidaksepakatan, kita terlibat dalam sebuah
aktifitas yang menjadi diri kita anggota suatu masyarakat.Pertukaran cerita dalam skala
masyarakat merupakan inti dari keajaiban sosial masyarakat.” (Howard Kamler dalam
Littlejohn)
Teori Burke mengenai Dramatisme Pentad. Teori ini digunakan untuk menganalisis
suatu peristiwa sebagai sebuah peristiwa komunikasi. Bagi Burke ada 5 unsur yang
saling terkait yang dapat ditenggarai dalam suatu peristiwa komunikasi. Kelima unsur
tersebut adalah: (1) tindakan, (2) tempat kejadian, (3) Agen, (4) Agensi, (5) Maksud
Contoh pertanyaan menggunakan dramatistic pentad, yaitu:
a) Apa yang telah diperbuat pelakunya? Untuk apa yang melakukan tindakan itu?
b) Dimana tindakan itu dilakukan?
c) Siapa yang melakukannya? Bagaimana latar belakang si pelaku ini?
d) Apa yang digunakan si pelaku?
e) Apa maksud dari tindakan itu?
Penelitian David Ling,mengenai peristiwa kecelakaan yang terjadi pada tahun 1969 di
Massachusetts. “Edward Kennedy mengalami kecelakaan, dan seminggu setelah itu
menceritakan kisah kecelakaannya yang telah berlalu serta mengkomunikasikan nasib
diri dan jabatannya.”
H. Kesimpulan
Prespektif Interpretif tumbuh berdasarkan ketidakpuasan dengan teori post positivis,
karena dianggap terlalu umum, terlalu mekanis dan tidak mampu menangkap keruwetan,
nuansa, dan kompleksitas dari interaksi manusia. Perspektif interpretif mencari sebuah
pemahaman bagaimana kita membentuk dunia pemaknaan melaui interaksi dan bagaimana
kita berprilaku terhadap dunia yang kita bentuk itu. Dalam pencarian jenis pemahaman ini,
teori interpretif mendekati dunia dan pengetahuan yang sangat berbeda dengan cara teori
post positivis.
Paradigma interpretif dapat diaartikan apat diartikan cara pandang yang bertumpu pada
tumpuan untuk memahami dan melaksanakan dunia dari kacamata actor yang terlibat di
dalamnya. Oleh karena itu keilmiahannya, terletak pada ontology sifat manusia yang
viluntaristik. Subyektivitas justru memainkan peran penting dibandingkan obyektivitas
sebagaimana yang ditemukan pada paradigma fungsional.
 Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan memiliki konteks dan makna
yang khusus sebagai esensidalam memahami makna sosial.
 Interpretif melihat fakta sebagai hal yang cair yang melekat pada system makna dalam
system pendekatan interpretif.
 Fakta-fakta tidaklah impresial, objektif dan netral
 Fakta merupakan tindakan yang spesifik dan kontekstual yang bergantung pada
pemaknaan sebagai orang dalam situasi social.
 Interpretif menyatakan situasi social mengandung ambiguitas yang besar.
 Perilaku dan pernyataan dapat memiliki makna yang banyak dan dapat
diinterpretasikan denngan berbagai macam cara.
Tujuan paradigma interpretif adalah untuk menganalisis realitas sosial dan
bagaimana realitas sosial itu dibentuk. Penelitian interpretif tidak menempatkan
objektivitas sebagai hal terpenting, tetapi mengakui bahwa untuk memperoleh pemahaman
mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin. Misalnya dalam
kasus pelaksanaan pembelajaran, peneliti menggali tentang bagaimana pelaksana
pembelajaran dan bagaimana memandang pembelajaran tersebut.
Paradigma interpretif ini menitikberatkan pada penafsiran dan pemahaman ilmu
sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subyektif dari terhadap kejadian sosial dan
berusaha memahaminya dari kerangka berfikir objektif yang sedang dipelajarinya. Setiap
gejala interpretif yang diteliti bisa jadi memiliki makna yang berbeda. Intinya setiap
sumber yang diteliti tidak monoton, dalam arti berbeda-beda subjektifnya.

Anda mungkin juga menyukai