Anda di halaman 1dari 11

BAB I

ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM ILMU SOSIAL


I. PENDAHULUAN

Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang teori-teori sosial dan
kita berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu
mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat
sekarang. Pada awalnya tulisan ini hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam
konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas, tulisan ini sekaligus juga
mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secar umum. Dalil kami adalah bahwa teori sosial
dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan
materi tentang sifat dasar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun
atas pandangan-pandangan yang berbda mengenai dunia soisal. Masing-masing pendirian menghasilkan
(melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma
melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental
yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya. Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita
berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan
pada ilmu sosial.

II. ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM ILMU SOSIAL

Tujuan utama dalam bab ini adalah mengemukakan bahwa semua teori tentang masyarakat
didasarkan pada (atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Filsafat dan teori ilmu sosial selalu
mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan tentang
manusia (human nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok kajian mereka
dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai dunia sosial dan cara dimana dunia
sosial diteliti. 1

a) Asumsi Ontologis (Hakekat Sesuatu) Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para
pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai
suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah
merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah realitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau
hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada
(given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.

b) Asumsi Epistemologis (Memperoleh Kebenaran) Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar


mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan
mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga
dengan bentuk- bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-
milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah itu sendiri menunjukkan
pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan
itu sendiri: apakah misalnya mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan
sebagai sesuatu yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atu
apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud), lebih mempribadi,
bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan (transendental) yang lebih didasarkan pengalaman
dan pengetahuan pribadi yang unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim:
apakah pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang
dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.

c) Asumsi Hakekat Manusia Ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya
adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat mengindentifikasi
pandanngan ilmu sosial, yang mengandung pandangan manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di
luar dirinya secara mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia bahwa manusia
dan pengalamnnya dihasilkan oleh lingkungan, manusia dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya.
Pandangan ini dipertentangkan dengan anggapan bahwa manusia memiliki peran penciptaan yang lebih
besar, memiliki kemauan bebas (free will), menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta
lingkungan sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang
(marionette).

d) Asumsi Metodologis (Cara Seseorang Mendapatkan Pengetahuan) Anggapan-anggapan dasar


tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan pengetahuan tentang
dunoia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan asumsi kecenderungan manusia akan
membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis, bahlkan di kalangan ahli ilmu alam
tradisional sekalipun yang jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang
digunakan kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya akan
dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-tatanan antara berbagai unsur yang membentuk
masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan keteraturan
(regularity). Cara ini merupakan upaya mencari hukum-hukum yang dapat diberlakukan secara umum
untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai
masalah masayarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya terpusat
memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia berada.
Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang pada kenyataa yang umum.
Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “tidak ilmiah” oleh
penganut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.

III. BAGIAN ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL (DIMENSI SUBYEKTIF-OBYEKTIF)


III. Dua Dimensi : Empat Paradigma

Paradigma dalam Menganalisis Ilmu Sosial

Dengan mengkombinasikan pandangan-pandangan mengenai asumsi sifat dasar ilmu sosial dan sifat
dasar masyarakat, paradigma untuk menganalisis teori sosial bisa dibagi menjadi empat, yaitu radical
humanist, radical structuralist, interpretive, dan functionalist. Untuk lebih jelas, klasifikasi tersebut bisa
digambarkan dalam kuadran seperti berikut:
Paradigma Functionalist

Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan menggunakan sudut pandang objektif. Ciri
khasnya adalah perhatian yang besar pada penjelasan-penjelasan mengenai status quo, keteraturan
sosial, konsensus, integrasi sosial, soliadritas, pemenuhan kebutuhan dan aktualisasi.

Paradgma functionalis lebih sering melakukan pendekatan yang berorientasi masalah, lebih
memerhatikan bagaimana menyediakan solusi praktis terhadap permasalahan praktis. Ia mengacu
kepada tradisi dari kaum sosial positif. Kaum fungsionalis cenderung untuk mengasumsikan bahwa
dunia sosial merupakan teridiri dari artefact empiris relatif dan hubungan, yang dapat
diidentifikasi, dipelajari dan diukur, pendekatan ini diturunkan dari pendekatan ilmu alam. Analogi
yang paling favorit adalah analogi-analogi mekanik dan biologi. Pendekatan ini merefleksikan
asumsi-asumsi mengenai alam ilmu sosial, yang berada pada oposisi paham sosiologi positif.

Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak dianut di
dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya
terhadap permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya
merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, ke
setiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya, kaum
fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas
lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi
pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada
pemecahan masalah yang berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga.
Mereka lebih mendasarkan pada “filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi usaha
perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau
mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial.

Paradigma ini pada dasamya berusaha me nerapkan metode pendekatan pengkajian masalah sosial dan
kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini
dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer,
Durkheim, dan Pareto. Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur
empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur dengan
pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu
meka nika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya
digunakan oleh aliran ini. Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi per geseran, terutama
setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge
Simmel dan George Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan
teoretis dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih
subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu per geseran
pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.

Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi “perubahan radikal” mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis
untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah ter jadi persentuhan dengan paradigma
lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objek tivisme dan
realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu
sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis.
Paradigma Interpretive

Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan sudut pandang subjektif. Perhatian utamanya
ada pada bagaimana memahami dunia sebagaimana adanya, memahami tabiat fundamental dari dunia
sosial dari pengalaman subjektif. Paradigma ini berupaya untuk menjelaskan dalam dunia kesadaran
seseorang dan subjektivitas, dalam bingkai rujukan orang yang terlibat langsung, bukan sebagai
pengamat.

Paradigma interpretasi diinformasikan dengan penekanan untuk memahami dunia apa adanya, untuk
memahami dasar alam dunia ilmu sosial pada level pengalaman subjektif. Ia berusaha mencari
penjelasan dunia alam sadar individu dan subjektivitas, dimana pola acuan peserta beroposisi dengan
aksi pengamat. Ia cenderung menjadi kaum nominalis, anti positif, volunter, dan ideographic.

Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi keteraturan seperti halnya


fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga
hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan
sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut
pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan
menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena
dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya, mereka berusaha menyelami jauh ke
dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik
kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan- anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan
pada pan dangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan,
kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka.
Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran
Kant yang lebih menekankan sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni
mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradgima Radical Humanist

Paradigma ini didefinisikan dengan perhatian utamanya untuk mengembangkan sociology of radical
change dari sudut pandang subjektif. Paradigma ini berpandangan bahwa dalam sebuah masyarakat
adalah penting untuk membuang atau melanggar batas-batas yang ada dalam pengaturan sosial.

Paradigma kemanusiaan radikal didefinisikan dengan penekanannya untuk mengembangkan sosiologi


dari perubahan radikal dari sudut pandang kaum subjektif. Pendekatannya terhadap ilmu sosial memiliki
banyak kesamaan dengan paradigma interpretif, dalam hal ini ia memandang dunia sosial dari
perspektif yang cenderung menjadi kaum nominalis, anti-positif, dan ideographic.

Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal
dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia. Pen dekatan terhadap ilmu sosial
sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis
radikal cenderung menekankan perlunya menghilang kan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan
sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa
kesadaran manusia telah di kuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang
menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya
dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya
sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam
membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya
sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat
sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa
memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk
mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan struktural
belum menjadi perhatian mereka. Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai tingkatan
kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan “konsientisasi”, yang pada dasarnya membangkit kan
kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma
humanis radikal.

Paradgima Radical Structuralist

Paradigma ini berangkat dari pandangan Sociology of radical change dari sudut pandang objektif. Radical
structuralist sangat gigih dalam membahas isu-isu perubahan radikal, emansipasi, dan potensiality,
analisis yang menekankan konflik struktural, dominasi, kontradiksi dan pengambilalihan (deprivation).
Kaum teori berada pada paradigma ini menganjurkan sosiologi dari perubahan radikal dari sudut
pandang kaum objektif.

Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal memperjuangkan perubahan
sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut
memiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling
berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan
pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cen derung realis, positivis, determinis,
dan nomotetis.

Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka dianggap tidak penting.
Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan -hubungan struktural yang terdapat
dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka
menciptakan tatanan sosial baru secara me nyeluruh. Penganut paradigma strukturalis radikal terpecah
dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci
untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan
dalam suatu masyarakat.

Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya perpecahan epistemologi
dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit
lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa
penganut kelompok kiri baru.

Perbandingan Dua Dimensi Empat Paradigma

Paradigma Radical
Fungsionalist Interpretive Radical Humanist
: Structuralist

Sudut Paradigma ini Paradigma ini Paradigma ini Paradigma ini


berakar
pada sociology didefinisikan dengan berangkat dari
berakar pandangan Sociolog
of perhatian utamanya
pada sociology of y of radical change
regulation deng untuk
Pandang regulation dengan dari
an mengembangkan sociolo
sudut pandang sudut pandang
menggunakan gy of radical change dari
subjektif objektif.
sudut pandang sudut pandang subjektif
objektif

Teori kritis (Jerman),


Akar Psikologi, Antropologi, studi kebudayaan Inggris Marxisme Jerman
Disiplin sosiologi sosiolinguistik dan Eksistensialisme dan Rusia
Perancis

Perhatian
utamanya
ada pada
bagaimana
memahami dunia
Ciri khasnya
sebagaimana
adalah
adanya,
perhatian yang Paradigma ini sangat
memahami tabiat
besar pada gigih dalam
fundamental dari
penjelasan- Paradigma ini membahas isu-isu
dunia sosial dari
penjelasan berpandangan bahwa perubahan radikal,
pengalaman
Ciri Khas mengenai dalam sebuah emansipasi, dan
subjektif.
dan status quo, masyarakat adalah potensiality, analisis
Paradigma ini
Karakteristi keteraturan penting untuk membuang yang menekankan
berupaya untuk
k sosial, atau melanggar batas- konflik struktural,
menjelaskan
konsensus, batas yang ada dalam
dalam dunia dominasi, kontradiksi
integrasi sosial, pengaturan social
kesadaran dan pengambilalihan
soliadritas,
seseorang dan (deprivation).
pemenuhan
subjektivitas,
kebutuhan dan
dalam bingkai
aktualisasi.
rujukan orang
yang terlibat
langsung, bukan
sebagai
pengamat.

Asumi Bahwa Memandang Bahwa realitas tercipta Ide totalitas:


Dasar masyarakat dunia sosial dan terpelihara secara menekankan pada
mempunyai sebagai proses sosial. hubungan dialektik
keberadaan yang diciptakan Humanis radikal antara totalitas dan
yang kongkrit oleh individu. cenderung memandang bagian unsur
dan mengikuti Bahwa dalam masyarakat sebagai anti pokoknya.
aturan tertentu. ilmu pengetahuan manusia. Ide struktur: fokusnya
Bahwa teori- alam, masalah adalah pada
teori ilmiah subyeknya Humanis radikal percaya konfigurasi
dapat dinilai bahwa segala sesuatu
bersifat spiritual.
secara obyektif dipegang secara hubungan sosial
dengan Bahwa ilmu keseluruhan karena yang disebut dengan
referensi pada pengetahuan keseluruhan struktur.
Ide kontradiksi:
struktur atau
pembentukan sosial,
berisi kontradiksi dan
hubungan
bukti empiris. antagonistis di dalam
mereka sehingga
Standar dapat menimbulkan
universal dari kerusakan mereka
ilmu sendiri.
pengetahuan terbentuk secara
menentukan sosial dan terjaga Ide krisis: kontradiksi
apa yang secara sosial, mendominasi bagian di dalam totalitas
membentuk signifikansi dan dalam seluruh mencapai titik di
penjelasan dari maknanya hanya pemahaman yang mana mereka tidak
sesuatu yang dapat dipahami di dipegang lagi dapat ditahan.
diamati. dalam konteks Menghasilkan krisis
sosial. ekonomi dan politik di
Bahwa aturan mana menunjukkan
eksternal dan titik transformasi dari
regulasi satu totalitas kepada
menguasai lainnya di mana
dunia eksternal. sekumpulan
struktur diganti oleh
sifat lainnya yang
secara fundamental
berbeda.

Realisme
Nominalisme
(realitas Realisme
(realitas dipahami Nominalisme
dipahami (realitas dipahami
sebagai hasil (realitas dipahami
sebagai sebagai sesuatu
konstruksi sebagai hasil konstruksi
sesuatu yang yang apa adanya dan
Ontologi pengalaman – pengalaman –
apa adanya terpisah dari
pengalaman pengalaman individu
dan terpisah pengalaman peneliti)
individu yang yang membentuk
dari
membentuk intereksi social)
pengalaman
intereksi social)
peneliti)

Positivistik
(pengetahuan Non Positivistik
Positivistik
didapatkan dari (pengetahuan Non Positivistik
(pengetahuan
hasil didapatkan dari (pengetahuan didapatkan
Epistemolo didapatkan dari hasil
pengamatan hasil interpretasi dari hasil interpretasi
gi pengamatan empiris
empiris terhadap terhadap fenomena dan
terhadap fenomena
terhadap fenomena dan gejala social)
social.)
fenomena gejala social)
social.)

Human Deterministik Volountaristik Volountaristik Deterministik


Nature (manusia (manusia bebas (manusia bebas dalam (manusia merupakan
merupakan
agen yang
dalam memilih agen yang sudah
sudah
perannya dalam memilih perannya dalam ditentukan perannya
ditentukan
relasi – relasi relasi – relasi social dalam setiap
perannya
social) interaksi social)
dalam setiap
interaksi social)

Deduksi –
induksi
Induksi
(penelitian
(penelitian Deduksi – induksi
dilakukan
dilakukan dengan Induksi (penelitian dilakukan
dengan metode
metode induksi, (penelitian dilakukan dengan metode
deduksi yaitu
yaitu meneliti dengan metode induksi, deduksi yaitu
pengamatan
secara grounded yaitu meneliti secara pengamatan
terhadap gejala
Metodologi di akar – akar grounded di akar – akar terhadap gejala –
– gejala umum
masyarakat, dan masyarakat, dan gejala umum
fenomenas
memberikan memberikan interpretasi fenomenas social,
social,
interpretasi terhadap gejala social kemudian menarik
kemudian
terhadap gejala yang ditemukan) generalisasi terhadap
menarik
social yang fenomena)
generalisasi
ditemukan)
terhadap
fenomena)

Bebas Nilai
(pengetahuan
bebas dari Sarat Nilai Bebas Nilai
kepentingan, (Pengetahuan (pengetahuan bebas
Sarat Nilai
pengalaman merupakan hasil dari kepentingan,
(Pengetahuan
peneliti. interpretasi, dan pengalaman peneliti.
merupakan hasil
Pengetahuan karenya Pengetahuan yang
interpretasi, dan karenya
Oksiologi yang diperolah pengetahuan diperolah sebisa
pengetahuan bersifat
sebisa mungkin bersifat sarat mungkin terbebas
sarat dengan nilai, yaitu
terbebas dari dengan nilai, dari bias – bias yang
kepentingan peneliti
bias – bias yaitu kepentingan mungkin bersumber
didalamnya.)
yang mungkin peneliti dari pengalaman
bersumber dari didalamnya.) peneliti)
pengalaman
peneliti)

Radikal
Radikal
(perubahan social
(perubahan social terjadi
Bertahap terjadi secara radikal,
Bertahap secara radikal, yaitu
(perubahan yaitu apabila sarana
(perubahan social apabila sarana – sarana
Perubahan social hanya – sarana infrstruktur
hanya dapat infrstruktur social berubah
Sosial dapat dilakukan social berubah
dilakukan secara secara cepat, maka
secara secara cepat, maka
bertahap) fenomena social pun
bertahap) fenomena social pun
akan berubah secara
akan berubah secara
cepat)
cepat)
Teori didapatkan
Teori
dari interaksi
didapatkan dari Teori didapatkan dari Teori didapatkan dari
pemikiran
pengamatan interaksi pemikiran pengamatan
individu-individu
Penekanan terhadap individu-individu yang terhadap fenomena
yang kemudian
Teori fenomena kemudian berkembang yang terjadi dalam
berkembang
inpiris yang menjadi consensus struktur-struktur
menjadi
terjadi dalam masyarakat realitas social
consensus
realitas sosial
masyarakat

Luis Althusser,
Comte,
Dilttey, Weber, Polantzas, Colletti,
Spencer,
Tokoh Husserl, dan Paulo Freire dan beberapa
Durkheim, dan
Schutz. penganut kelompok
Pareto
kiri baru.

Anda mungkin juga menyukai