Anda di halaman 1dari 8

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

Akuntansi Multiparadigma

Dosen: Bapak Ali Djamhuri, Ph.D

Tugas Ujian Tengah Semester ini diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai
Persyaratan Kelulusan Studi pada Mata Kuliah Akuntansi Multiparadigma Program
Magister Akuntansi Universitas Brawijaya

NAMA : AMILIA ROHMA


KELAS : EE (REGULER 1)
NIM : 196020300111011

MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
1. Paradigma non positif muncul sebagai jawaban atas keterbatasan dari paradigma
positif dalam menerjemahkan fenomena sosial. Ketika paradigma ini muncul, para
pendukung paradigma positif menganggap bahwa multiparadigma selain paradigma positif
adalah sebuah sebuah aliran filsafat yang tidak ilmiah. Suatu contoh ketika seorang
peneliti ingin meneliti tentang pengaruh kecocokan urutan kelahiran (sulung, tengah,
bungsu) pasangan suami istri terhadap kesuksesan pernikahan. Di dalam suatu
kepercayaan, jika ada pasangan yang ingin menikah maka harus diamati dan dicocokkan
urutan kelahirannya, seperti calon pengantin laki-laki adalah anak pertama dalam
keluarganya dan calon pengantin wanita adalah anak ketiga dalam keluarganya. Menurut
kepercayaan yang sudah turun-temurun, jika mereka menikah maka orangtua dari salah
seorang pengantin akan meninggal sehingga sebisa mungkin pria dan wanita tersebut
harus mencari pasangan yang cocok menurut kepercayaan tersebut. Jenis penelitian
seperti topik diatas akan sulit dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif, dan
kaum positivis menganggap bahwa penelitian ini bukan sesuatu yang nyata karena sangat
bersifat tidak “bebas nilai” (peneliti tidak bisa terpisah dengan obyek dan harus
mengobservasi fenomena secara mendalam dengan berinteraksi dengan obyek
penelitian), tidak bisa diamati (kepercayaan adalah sesuatu yang bersifat metafisik dan
sangat pribadi namun mengakar dalam perilaku), dan terikat dengan konteks yang sempit
(tidak semua orang memiliki kepercayaan serupa). Menurut saya, hal ini adalah salah satu
penyebab dari Judgement bahwa paradigma non positivis tidak benar. Menurut Biyanto
(2013), pemikiran positivistik adalah berpikir non-teologis. Menurut positivisme, terjadinya
setiap akibat mesti logis diterima sebagai konsekuensi dari suatu sebab sebagaimana
dengan kejadian di alam semesta yang tunduk pada suatu hukum yang bersifat universal
dan obyektif, kehidupan manusia pun selalu dapat dijelaskan dalam wujudnya sebagai
proses aktualisasi hukum sebab-akibat yang universal.
Menurut Biyanto (2013) menyatakan bahwa positivisme merupakan aliran filsafat
yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik.
Adapun pendekatan kuantitatif menurut Musianto (2002) memiliki 5 dasar pandangan
yaitu:
a. Pada dasar pandangan sifat realitas, maka pendekatan kuantitatif melihat realitas
sebagai sesuatu yang tunggal, konkrit, bisa diamati, dan dapat difragmentasi.
Sebaliknya, pendekatan kualitatif melihat realitas ganda (majemuk), hasil konstruksi
dalam pengertian holistik.
b. Pada dasar pandangan interaksi antara peneliti dengan obyek penelitiannya, maka
pendekatan kuantitatif melihat sebagai independen, dualistik bahkan mekanistik (to
solve the problem by surrounding the problem). Sebaliknya pendekatan kualitatif
melihat sebagai proses interaktif, tidak terpisahkan dan partisipatif (to solve the
problem by penetrating the problem).
c. Pada dasar pandangan posibilitas generalis, pendekatan kuantitatif bebas dari
ikatan konteks dan waktu (nomothetic statements), sedangkan pendekatan kualitatif
terikat dengan konteks dan waktu (idiographic statements).
d. Pada dasar pandangan posibilitas kausal, pendekatan kuantitatif selalu memisahkan
antara sebab riil temporal simultan yang mendahuluinya sebelum akhirnya
melahirkan akibat-akibatnya. Sebaliknya, pendekatan kualitatif selalu
memustahilkan usaha memisahkan sebab dengan akibat, apalagi secara simultan.
e. Pada dasar pandangan peranan nilai, maka pendekatan kualitatif melihat segala
sesuatu bersifat “bebas nilai”, obyektif, dan apa adanya. Sebaliknya, pendekatan
kualitatif melihat segala sesuatu tidak pernah “bebas nilai”, termasuk si peneliti
sendiri yang subyektif.

Perspektif suatu penelitian baik tidak bisa disimpulkan hanya dengan melihat
perbedaan tipe/jenis data seperti data yang berbentuk numerik maupun data observasi
atau wawancara. Penelitian positif bisa saja menggunakan bebagai macam data
tergantung dari tujuan akhir penelitiannya apakah untuk mencari “apa dan bagaimana”
atau menguji “apa”. Berdasarkan 5 dasar pandangan pendekatan kuantitatif dan kualitatif,
diperoleh sebuah garis besar rancangan penelitian yang tidak hanya membahas tentang
jenis data, tetapi juga karakteristik penelitian berdasarkan keyakinan peneliti untuk
membangun sebuah teori yang berdasar dari aktivitas faktual, atau menemukan kepastian
akan hubungan sebuah fenomena, kecenderungan peneliti untuk terlibat/tidak terlibat
dalam proses penelitiannya, siapa dan apa yang diteliti, seberapa luas dan seberapa
dalam proses penelitian, dan keterbatasan penelitian tersebut.

2. Menurut Flew (1984) dalam Biyanto (2013) Paradigma didefinisikan sebagai “a


philosophical framework within which teories (or) laws are formulated”. Paradigma
pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan
pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk masyarakat ilmiah dalam disiplin
tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, paradigma adalah tonggak dasar keyakinan
manusia seperti sebuah agama yang mendasari perilaku seseorang/kelompok dalam
bertindak dan berinteraksi (self filling prophecy). Paradigma juga bisa menjadi sebuah
dasar dari sebuah keilmuan. Sebelum multiparadigma berkembang, hanya ada paham
monism (paradigma tunggal) dalam metodologi keilmuwan. Kemunculan berbagai
paradigma setelah paradigma positif melengkapi kekurangan dari masalah kompleksitas
perilaku manusia yang tidak bisa dijabarkan sepenuhnya oleh paradigma positif yang
menyatakan bahwa semua hal yang terjadi di alam semesta secara fisik atau metafisik
bersifat kausalitas, digeneralisir dan terukur. Keberadaan paradigma positif sejak ratusan
tahun yang lalu, telah memunculkan nilai fundamental yang diterapkan ke dalam berbagai
aspek kehidupan seperti pembuatan peraturan perundang-undangan. Implikasinya adalah
bahwa peraturan dibuat oleh manusia yang subyektif atau bahkan memiliki kepentingan
tertentu, dimana peraturan perundang-undangan tersebut wajib untuk dipatuhi oleh
masyarakat dengan kompleksitas kehidupan yang beragam sehingga pada akhirnya,
peraturang tersebut tidak bisa menghasilkan kemakmuran bersama. Hukum positif
memang didasarkan pada temuan fakta dan teori terdahulu, yang bersifat kaku, based on
fact, general, kausal, dan empiris. Disinilah multiparadigma melengkapi keterbatasan
pengaplikasian paradigma positif dalam kehidupan sosial dengan melakukan
pengembangan analisis perilaku pada subyek dna obyek penelitian secra interaktif. Saya
setuju dengan penerapan multiparadigma untuk mengembangkan kajian keilmuan yang
memiliki peran sangat penting bagi peradaban manusia. Di satu sisi, paradigma positif
bersifat obyektif realis dan berdasarkan fakta mendasar yang diperoleh dari hasil
penelitian yang bersifat kausalitas, paradigma lainnya mengkombinasikan fenomena
sosial dengan pandangan subyektif peneliti dan obyek yang diteliti untuk memperoleh
suatu kesimpulan berdasarkan interaksi mendalam antar keduanya.

3. Sekarang ini penelitian – penelitian yang mengkaitkan akuntansi dengan aspek


lainnya menjadi semakin berkembang seperti penelitian yang dilakukan oleh
Widhianningrum dan Amah (2014) yang meneliti tentang “akuntansi ketoprak: sebuah
pendekatan etnografi masyarakat seni ketoprak di pati”; Salle (2015) yang meneliti tentang
akuntabilitas manuntungi: memaknai nilai kalambusang pada lembaga amil zakat kawasan
adat ammatoa; Pratiwi dan Sudaryanti (2016) yang meneliti tentang “akuntansi karapan
sapi pada masyarakat Madura dengan pendekatan etnografi”; Purwanti (2015) meneliti
tentang Refleksi pengguna laporan keuangan atas praktik manajemen laba dalam
perspektif Weton; Triyuwono (2015) yang meneliti tentang Akuntansi malangan: salam
satu jiwa dan konsep kinerja klub sepak bola. Hasil dari penelitian Widhianningrum dan
Amah (2014) adalah rekonstruksi konsep akuntansi pada masyarakat seni budaya
ketoprak menunjukkan bahwa akuntansi dipandang sebagai kegiatan pencatatan yang
berhubungan dengan angka serta kalkulasi dalam kegiatan ekonomi yang sarat dengan
nilai kejujuran serta tanggungjawab. Hasil dari penelitian Salle (2015) memberikan
pemaknaan akuntabilitas manuntungi yang menjunjung tinggi nilai kalambusang
(kejujuran) pada lembaga amil zakat di kawasan adat Ammatoa. Selain kalambusang,
untuk menuju manuntungi harus memenuhi tiga unsur lainnya yaitu: gattang (ketegasan),
sa’bara (kesabaran), dan nappiso’na (tawakkal). Hasil dari penelitian Pratiwi dan
Sudaryanti (2016) adalah bahwa pemaknaan praktik akuntansi menunjukkan bahwa
masyarakat Madura khususnya yang tergabung dalam paguyuban karapan sapi mengikuti
perlombaan karapan sapi sebagai bentuk kecintaan dan pelestarian nilai budaya.
Kompensasi ekonomi (seperti hadiah lomba) yang diperoleh hanyalah sebagai sarana
untuk melestarikan serta menjamin keberlangsungan hidup paguyuban karapan sapi.
Hasil dari penelitian Purwanti (2015) menunjukkan bahwa pemeriksa pajak (senin wage)
memaknai praktik manajemen laba sebagai lipstik dan manipulasi laba, sementara analis
kredit (senin pon) memaknai manajemen laba sebagai kosmetik. Investor (selasa pahing)
memaknai manajemen laba sebagai rekayasa laba. Perilaku pemeriksa pajak tidak
mencerminkan karakternya menurut weton, sedangkan perilaku analis kredit dan investor
mencerminkan karakternya. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan keluarga,
lingkungan kerja, pengalaman, dan mindset untuk berpikir positif. Hasil dari penelitian
Triyuwono (2015) adalah bahwa konsep kinerja klub sepakbola berorientasi kepada titik
terdalam spiritual manusia, yaitu takwa yang disimbolkan dengan titik terdalam spiritual
manusia, yaitu takwa yang disimbolkan dengan titik pusat bola dengan nilai budaya “salam
satu jiwa”. Orientasi ke dalam adalah refleksi dari basa walian yang membalik kepentingan
materi ke kepentingan spiritual. Setiap pihak dapat menggunakan jalur profesinya masing-
masing untuk masuk ke dalam titik Tuhan (takwa) melalui jalur kebenaran mental malang
kucecwara sebagai jembatan penghubung antara titik kesejahteraan materi, sebagai
bagian terluar dari bola, dengan titik Tuhan.
Saya juga ingin melakukan penelitian tentang Akuntansi dan perspektif untung-rugi
dalam tradisi begawe ngurisang dan ngereke (studi etnografi pada masyarakat yang
menjadi epen gawe di kecamatan Masbagik, NTB). Hal ini dikarenakan masih terbatasnya
penelitian yang membahas tentang tradisi begawe terutama melalui perspektif akuntansi.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang beragam, akuntansi tidak lagi dimaknai hanya
sebagai bahasa keuangan untuk pengambilan keputusan ekonomi, namun lebih kepada
fungsi akuntansi sebagai sebuah “bahasa” dari perilaku masyarakat, sebagai sebuah
fenomena antropologi, sebagai sebuah perilaku ekonomi, dalam memaknai kehidupannya
sehari-hari. ini adalah sebuah konsep akuntansi yang lebih luas dan unik berdasarkan
fenomena alamiah yang bebas dari nilai kapitalisme.

4. “Pencarian atas apa yang benar (true) dan apa yang salah (false) berdasarkan atas
dasar paradigma yang ditemukan sebagai pengalaman empirik. Positivisme meyakini
bahwa kebenaran sejati bermukim di alam indrawi manusia yang konkret dan fisikal,
bukan di alam pemikiran yang abstrak dan serba metafisikal. Positivisme kemudian
menjadi dasar bagi munculnya saintisme. Sains-disebut juga pengetahuan ilmiah, tidak
saja mencari jawaban mengenai persoalan kehidupan manusia dalam
masayarakatmelalui renungan-renungan kontemplatif, tetapi ia juga memfungsikannya
sebagai premis pembenar kesimpulan yang dinyatakan sebagai jawaban atas
persoalan yang diajukan (Biyanto, 2013)”. Oleh karena itu, positivisme memiliki sifat
yang rigid dan melihat sesuatu based on fact. Menutu Auguste Comte (1798-1857)
yang dijelaskan dalam Biyanto (2013), menyatakan bahwa kehidupan manusia selalu
dapat dijelaskan sebagai proses aktualisasi hukum sebab akibat.
Dengan keyakinan bahwa Paham positivisme sangat menjunjung tinggi segala
sesuatu yang bersifat ilmiah dan general, telah membentuk kaum positivism menjadi
penganut monoparadigm. Perspektif non positivism dalam proses kemunculan hingga
penerapannya di zaman sekarang pun tidak membuat sebuah pembatasan metodologi
penelitian dan metodologi pemikiran. Hal ini membuat orang-orang dengan perspektif
berbeda (walaupun antar paradigma non-positivism seperti paradigma interpretif dan
paradigma kritis) tidak akan pernah berhenti untuk melakukan penemuan dan
perubahan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan sosial karena hakikatnya, penelitian
dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah dimana solusi atas suatu masalah
tersebut bersifat unik & relatif serta digali dari asal masalahnya sendiri (tidak bisa
digeneralisasi).

5. Postmodernisme dipahami sebagai interpretasi tak terbatas (Soetriono & Hanafie,


2007:31) dalam Setiawan & Sudrajat (2018). Oleh karena itu, postmodernisme
memandang ilmu pengetahuan adalah resubyektif sehingga tidak ada yang dinamakan
ilmu bebas nilai. Adapun modernisme menganggap ilmu pengetahuan yang obyektif
maka bersifat bebas nilai (Jalauddin, 2013:67) dalam Setiawan dan Sudrajat (2018).
Oleh karena postmodernisme ini bersifat dinamis, menurut saya ia memiliki peluang
yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai sebuah kajian keilmuan. Di dalam kajian
akuntansi khususnya, postmodernisme telah mulai diterapkan di Universitas Brawijaya
sendiri sebagai sebuah keunikan diantara institusi pendidikan lainnya di Indonesia. Di
dalam kurikulum perkuliahan program magister sains akuntansi (MSA), mata kuliah
yang membahas mengenai multiparadigma telah menjadi mata kuliah wajib program
dimana tujuan pengajaran dualisme (positivisme dan non positivisme) diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang holistik sehingga mahasiswa dapat membuat sebuah
analisa kajian yang koheren dengan fenomena-fenomena akuntansi sejalan dengan
perkembangan teknologi secara global. Berkembangnya penelitian-penelitian dan
konferensi dalam lingkup multiparadigma menjadi sebuah fakta bahwa postmedernisme
diterima secara baik oleh berbagai kalangan. Selain ilmu akuntansi, ilmu ekonomi telah
lebih dahulu memiliki perspektif ekonomi islam atau ekonomi syariah dimana ilmu ini
merupakan kritisi dari ilmu ekonomi kapitalis yang sebagian prinsipnya tidak sesuai
dengan ajaran agama islam. Di suatu daerah bernama Ladakh yang berada di kawasan
pegunungan Himalaya – merupakan kawasan kering yang jauh dari akses “dunia luar” ,
sejak bertahun-tahun lalu telah berkembang sebuah sekolah bernama SECMOL
(Students’ educational an cultural movement of Ladakh) merupakan sebuah sekolah
alternatif yang berbasis eco-friendly. Sekolah ini didirikan sebagai wadah bagi siswa-
siswa dalam mengembangkan minatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan tanpa
dibatasi oleh kurikulum pada umumnya di sekolah lain. SECMOL berprinsip untuk
mendidik siswa sesuai minatnya masing-masing dengan pelajaran yang konseptual
langsung dipraktekkan secara langsung dalam kegiatan pembangunan (seperti
mengembangkan penyediaan sumber listrik secara mandiri). Selain dari institusi
pengetahuan, penerapan postmodernisme dalam sektor perbankan yaitu banyaknya
Bank besar Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang dikonversi menjadi BPD Syariah
setelah sebelumnya merupakan Bank Konvensional. Hal ini diharapkan bisa
mengurangi dampak negatif perbankan konvensional.
Melihat beberapa contoh implementasi postmodernisme dalam berbagai bidang,
saya melihat bahwa pendekatan postmodernisme akan memiliki peluang yang cukup
besar ke depannya yang didukung oleh perkembangan zaman, peluang
postmodernisme dalam hal-hal yang mendukung perkembangan sumber daya manusia
dan lingkungan kehidupan secara global dalam berbagai sektor, diharapkan akan
menjadi sebuah peradaban yang adil bagi rakyat. Tugas kita sebagai generasi muda
adalah melakukan pengembangan keilmuwan yang berbasis pro-masyarakat dan
mengiringi kebijakan-kebijakan pemerintah agar melaksanakan kegiatan pembangunan
yang menjamin kesejahteraan rakyat khususnya masyarakat golongan bawah.
Sumber referensi:

Biyanto. 2013. Positivisme dan Non-Positivisme dalam Jurisprudensi. Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam, Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
Musianto, Lukas S. 2002. Perbedaan Pendekatan Kuantitatif dan Penekatan Kualitatif
dalam Metode Penelitian. Jurnal. Jurusan Ekononomi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Kristen Petra.
Pratiwi, Amelia Ika dan Dwiyani Sudaryanti. 2016. Akuntansi Karapan Sapi pada
Masyarakat Madura dengan Pendekatan Etnografi. JIBEKA, Volume 10, Nomor 1
Februari: 6 – 9
Purwanti, Lilik. 2015. Refleksi Pelaku Pengguna Laporan Keuangan Atas Praktik
Manajemen Laba dalam Perspektif Weton.Jurnal Akuntansi
Multiparadigma,2015.12.6029
Salle, Ilham Z. 2015. Akuntabilitas Manuntungi: Memaknai Nilai Kalambusang pada
Lembaga Amil Zakat Kawasan Adat Ammatoa. Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
2015.04.6004
Setiawan, Johan dan Ajat Sudrajat. 2018. Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya
Terhadap Ilmu Pengetahuan. Jurnal Filsafat, Volume 28, No 1 (2018)
Triyuwono, Iwan. 2015. Akuntansi Malangan: Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub
Sepak bola. Jurnal Akuntansi Multiparadigma,2015.08.6023
Widhianningrum, Purweni dan Nik Amah. 2014. Akuntansi Ketoprak: Sebuah Pendekatan
Etnografi Masyarakat Seni Ketoprak di Pati. ASSETS: Jurnal Akuntansi dan
Pendidikan, Vol.3 No.2, Oktober 2014

Anda mungkin juga menyukai