Akuntansi Multiparadigma
Tugas Ujian Tengah Semester ini diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai
Persyaratan Kelulusan Studi pada Mata Kuliah Akuntansi Multiparadigma Program
Magister Akuntansi Universitas Brawijaya
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
1. Paradigma non positif muncul sebagai jawaban atas keterbatasan dari paradigma
positif dalam menerjemahkan fenomena sosial. Ketika paradigma ini muncul, para
pendukung paradigma positif menganggap bahwa multiparadigma selain paradigma positif
adalah sebuah sebuah aliran filsafat yang tidak ilmiah. Suatu contoh ketika seorang
peneliti ingin meneliti tentang pengaruh kecocokan urutan kelahiran (sulung, tengah,
bungsu) pasangan suami istri terhadap kesuksesan pernikahan. Di dalam suatu
kepercayaan, jika ada pasangan yang ingin menikah maka harus diamati dan dicocokkan
urutan kelahirannya, seperti calon pengantin laki-laki adalah anak pertama dalam
keluarganya dan calon pengantin wanita adalah anak ketiga dalam keluarganya. Menurut
kepercayaan yang sudah turun-temurun, jika mereka menikah maka orangtua dari salah
seorang pengantin akan meninggal sehingga sebisa mungkin pria dan wanita tersebut
harus mencari pasangan yang cocok menurut kepercayaan tersebut. Jenis penelitian
seperti topik diatas akan sulit dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif, dan
kaum positivis menganggap bahwa penelitian ini bukan sesuatu yang nyata karena sangat
bersifat tidak “bebas nilai” (peneliti tidak bisa terpisah dengan obyek dan harus
mengobservasi fenomena secara mendalam dengan berinteraksi dengan obyek
penelitian), tidak bisa diamati (kepercayaan adalah sesuatu yang bersifat metafisik dan
sangat pribadi namun mengakar dalam perilaku), dan terikat dengan konteks yang sempit
(tidak semua orang memiliki kepercayaan serupa). Menurut saya, hal ini adalah salah satu
penyebab dari Judgement bahwa paradigma non positivis tidak benar. Menurut Biyanto
(2013), pemikiran positivistik adalah berpikir non-teologis. Menurut positivisme, terjadinya
setiap akibat mesti logis diterima sebagai konsekuensi dari suatu sebab sebagaimana
dengan kejadian di alam semesta yang tunduk pada suatu hukum yang bersifat universal
dan obyektif, kehidupan manusia pun selalu dapat dijelaskan dalam wujudnya sebagai
proses aktualisasi hukum sebab-akibat yang universal.
Menurut Biyanto (2013) menyatakan bahwa positivisme merupakan aliran filsafat
yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari studi filosofis atau metafisik.
Adapun pendekatan kuantitatif menurut Musianto (2002) memiliki 5 dasar pandangan
yaitu:
a. Pada dasar pandangan sifat realitas, maka pendekatan kuantitatif melihat realitas
sebagai sesuatu yang tunggal, konkrit, bisa diamati, dan dapat difragmentasi.
Sebaliknya, pendekatan kualitatif melihat realitas ganda (majemuk), hasil konstruksi
dalam pengertian holistik.
b. Pada dasar pandangan interaksi antara peneliti dengan obyek penelitiannya, maka
pendekatan kuantitatif melihat sebagai independen, dualistik bahkan mekanistik (to
solve the problem by surrounding the problem). Sebaliknya pendekatan kualitatif
melihat sebagai proses interaktif, tidak terpisahkan dan partisipatif (to solve the
problem by penetrating the problem).
c. Pada dasar pandangan posibilitas generalis, pendekatan kuantitatif bebas dari
ikatan konteks dan waktu (nomothetic statements), sedangkan pendekatan kualitatif
terikat dengan konteks dan waktu (idiographic statements).
d. Pada dasar pandangan posibilitas kausal, pendekatan kuantitatif selalu memisahkan
antara sebab riil temporal simultan yang mendahuluinya sebelum akhirnya
melahirkan akibat-akibatnya. Sebaliknya, pendekatan kualitatif selalu
memustahilkan usaha memisahkan sebab dengan akibat, apalagi secara simultan.
e. Pada dasar pandangan peranan nilai, maka pendekatan kualitatif melihat segala
sesuatu bersifat “bebas nilai”, obyektif, dan apa adanya. Sebaliknya, pendekatan
kualitatif melihat segala sesuatu tidak pernah “bebas nilai”, termasuk si peneliti
sendiri yang subyektif.
Perspektif suatu penelitian baik tidak bisa disimpulkan hanya dengan melihat
perbedaan tipe/jenis data seperti data yang berbentuk numerik maupun data observasi
atau wawancara. Penelitian positif bisa saja menggunakan bebagai macam data
tergantung dari tujuan akhir penelitiannya apakah untuk mencari “apa dan bagaimana”
atau menguji “apa”. Berdasarkan 5 dasar pandangan pendekatan kuantitatif dan kualitatif,
diperoleh sebuah garis besar rancangan penelitian yang tidak hanya membahas tentang
jenis data, tetapi juga karakteristik penelitian berdasarkan keyakinan peneliti untuk
membangun sebuah teori yang berdasar dari aktivitas faktual, atau menemukan kepastian
akan hubungan sebuah fenomena, kecenderungan peneliti untuk terlibat/tidak terlibat
dalam proses penelitiannya, siapa dan apa yang diteliti, seberapa luas dan seberapa
dalam proses penelitian, dan keterbatasan penelitian tersebut.
4. “Pencarian atas apa yang benar (true) dan apa yang salah (false) berdasarkan atas
dasar paradigma yang ditemukan sebagai pengalaman empirik. Positivisme meyakini
bahwa kebenaran sejati bermukim di alam indrawi manusia yang konkret dan fisikal,
bukan di alam pemikiran yang abstrak dan serba metafisikal. Positivisme kemudian
menjadi dasar bagi munculnya saintisme. Sains-disebut juga pengetahuan ilmiah, tidak
saja mencari jawaban mengenai persoalan kehidupan manusia dalam
masayarakatmelalui renungan-renungan kontemplatif, tetapi ia juga memfungsikannya
sebagai premis pembenar kesimpulan yang dinyatakan sebagai jawaban atas
persoalan yang diajukan (Biyanto, 2013)”. Oleh karena itu, positivisme memiliki sifat
yang rigid dan melihat sesuatu based on fact. Menutu Auguste Comte (1798-1857)
yang dijelaskan dalam Biyanto (2013), menyatakan bahwa kehidupan manusia selalu
dapat dijelaskan sebagai proses aktualisasi hukum sebab akibat.
Dengan keyakinan bahwa Paham positivisme sangat menjunjung tinggi segala
sesuatu yang bersifat ilmiah dan general, telah membentuk kaum positivism menjadi
penganut monoparadigm. Perspektif non positivism dalam proses kemunculan hingga
penerapannya di zaman sekarang pun tidak membuat sebuah pembatasan metodologi
penelitian dan metodologi pemikiran. Hal ini membuat orang-orang dengan perspektif
berbeda (walaupun antar paradigma non-positivism seperti paradigma interpretif dan
paradigma kritis) tidak akan pernah berhenti untuk melakukan penemuan dan
perubahan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan sosial karena hakikatnya, penelitian
dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah dimana solusi atas suatu masalah
tersebut bersifat unik & relatif serta digali dari asal masalahnya sendiri (tidak bisa
digeneralisasi).
Biyanto. 2013. Positivisme dan Non-Positivisme dalam Jurisprudensi. Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam, Volume 3 Nomor 2 Desember 2013
Musianto, Lukas S. 2002. Perbedaan Pendekatan Kuantitatif dan Penekatan Kualitatif
dalam Metode Penelitian. Jurnal. Jurusan Ekononomi Manajemen, Fakultas Ekonomi
Universitas Kristen Petra.
Pratiwi, Amelia Ika dan Dwiyani Sudaryanti. 2016. Akuntansi Karapan Sapi pada
Masyarakat Madura dengan Pendekatan Etnografi. JIBEKA, Volume 10, Nomor 1
Februari: 6 – 9
Purwanti, Lilik. 2015. Refleksi Pelaku Pengguna Laporan Keuangan Atas Praktik
Manajemen Laba dalam Perspektif Weton.Jurnal Akuntansi
Multiparadigma,2015.12.6029
Salle, Ilham Z. 2015. Akuntabilitas Manuntungi: Memaknai Nilai Kalambusang pada
Lembaga Amil Zakat Kawasan Adat Ammatoa. Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
2015.04.6004
Setiawan, Johan dan Ajat Sudrajat. 2018. Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya
Terhadap Ilmu Pengetahuan. Jurnal Filsafat, Volume 28, No 1 (2018)
Triyuwono, Iwan. 2015. Akuntansi Malangan: Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub
Sepak bola. Jurnal Akuntansi Multiparadigma,2015.08.6023
Widhianningrum, Purweni dan Nik Amah. 2014. Akuntansi Ketoprak: Sebuah Pendekatan
Etnografi Masyarakat Seni Ketoprak di Pati. ASSETS: Jurnal Akuntansi dan
Pendidikan, Vol.3 No.2, Oktober 2014