Anda di halaman 1dari 32

The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Perkembangan Radikal dalam Pemikiran Akuntansi

Wai Fong Chua

Abstrak: Akuntansi mainstream didasarkan pada sekumpulan asumsi filosofis mengenai


ilmu pengetahuan, dunia empiris, dan hubungan antara teori dan praktik. Pandangan
dunia yang khusus semacam ini—dengan menekankan pada hypothetico-deductivism dan
pengaturan teknis—memiliki kekuatan tertentu, namun membatasi ruang lingkup
permasalahan yang diteliti dan penggunaan metode penelitian. Dengan mengubah
asumsi-asumsi ini, maka dapat diperoleh wawasan penelitian yang berpotensial lebih luas
dan kaya serta penelitian yang secara mendasar berbeda. Dua pilihan pandangan dunia
dan asumsi mendasar mereka yang akan dijelaskan lebih mendalam adalah
Interpretivisme—the interpretive dan Kritisisme—the critical. Konsukensi melaksanakan
penelitian dengan tradisi-tradisi filosofis ini akan dibahas melalui perbandingan antara
penelitian akuntansi yang dilakukan dengan rumusan masalah yang “sama”, namun
dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Selain itu, beberapa kesulitan yang
dihubungkan dengan pilihan sudut pandang ini akan diselesaikan secara singkat.

Sejarah pemikiran dan budaya—sebagaimana yang ditunjukkan oleh Hegel dengan


kecemerlangannya yang memukau—merupakan sebuah pola perubahan terhadap ide
atau gagasan hebat yang semula bebas terbuka, tanpa bisa terelakkan berubah
menjadi ide yang sangat dikekang dan dibatasi, yang dapat memicu kehancuran
mereka sendiri dengan emansipasi baru, dan di waktu yang sama, memperbudak
konsepsi. Langkah pertama untuk memahami manusia adalah membawa pada
kesadaran sebagai model atau contoh atau model yang mendominasi dan memasuki
pemikiran dan aksi mereka. Layaknya segala usaha yang dilakukan untuk menjadikan
manusia tahu dan sadar akan kategori-kategori yang mereka pikirkan, ini adalah
aktivitas yang sulit dan terkadang menyakitkan, yang mungkin memhasilkan hasil
yang benar-benar tak menentu. Tugas kedua adalah menganalisis model itu sendiri,
dan analis akan menerimanya, atau memdoifikasinya, atau malah menolaknya, lalu di
langkah terakhir adalah menyediakan model yang lebih memadai sebagai gantinya.

[Berlin, 1962, hal.19 ]

______________________________
Wai Fong Chua dalah dosen senior Universitas New South Wales, Australia. Penulis ingin mengakui dukungan
sepenuhnya yang diberikan oleh Tony Lowe dan komentar/masukan yang bermanfaat dari Ray Chambers, David
Cooper, Anthony Hopwood, Richard Laughlin, Ken Peasnell, Tony Tinker, Murray Wells, David Williams, peserta
Seminar Penelitian Universitas Sydney, dan pengulas tanpa nama jurnal ini.

Naskah diterima pada September 1984.


Revisi diterima pada Agustus 1985 dan Februari 1986.
Diterima pada Maret 1986.

1
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Sejak akhir tahun 1970-an, para akademisi merasakan kegelisahan terhadap keadaan
perkembangan penelitian akuntansi. Pada tahun 1977, pernyataan Asosiasi Akuntansi Amerika—
the American Accounting Association (AAA) terhadap Teori Akuntansi dan Penerimaan Teori
menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada teori pelaporan eksternal yang diterima. Sebagai
gantinya, persebaran paradigma yang menawarkan pedoman yang terbatas kepada pembuat
kebijakan. Selain itu, Komite pesimis bahwa konsensus dominan dapat dicapai semenjak pilihan
paradigma pada akhirnya merupakan sebuah kpeutusan berbasis nilai di antara cara-cara
kehidupan ilmiah yang tidak dapat disamakan. Pandangan akuntansi seperti ini merupakan
sebuah “ilmu pengetahuan multiparadigma” yang dibagikan oleh penulis, seperti Belkaoui
(1981).
Wells (1976), di sisi lain, membantah hal tersebut bahwa saat ini akuntansi kurang dalam
hal paradigma yang pasti atau matriks disipliner (Kuhn, 1970, hal.182). Menurut pendapat
tersebut, sebuah matriks disipliner yang dapat diidentifikasi muncul pada tahun 1940-an dan
meetapkan dasar atas aktivitas “sains normal”. Bagaimanapun juga, penelitian pada tahun 1960
dan 1970an menimbulkan kecaman terhadap matriks ini dan mengarah pada munculnya
beberapa “sekolah” akuntansi yang dimulai dari posisi aksiomatis yang berbeda. Namun, tidak
ada dari sekolah-sekolah tersebut telah membentuk landasan matriks disipliner baru. Akuntansi
nampaknya masih dalam pergolakan sebuah “revolusi ilmiah”.
Sementara itu, para akademisi berdebat apakah akuntansi merupakan kajian keilmuan
“multiparadigma” atau “multisekolah”. Mereka setuju bahwa perselisihan itu biar saja tersebar
luas. Selain kurangnya konsensus ini dalam area akademik, ada beberapa masalah dalam
hubungan antara memrancang teori akuntansi dan praktik organisasi. Komite “Schism” AAA
tahun 1977-78 menunjukkan bahwa para akademisi tidak berbicara bahasanya maupun melihat
masalah praktisi. Demikian pula, Hopwood (1984a) dan Burchell, dkk. (1980) berpendapat
bahwa alasan tertentu telah diperhitungkan terhadap prosedur akuntansi, dan ini mungkin
terlepas dari peran sebenarnya yang dimainkan prosedur ini dalam praktik. Baru-baru ini, Kaplan
(1984) telah membantah para akademisi yang asyik dengan jurnal manajemen dan ekonomi
esoterik, serta keengganan mereka untuk “terlibat dalam organisasi sebenarnya dan
berkecimpung dengan data dan hubungan-hubungan yang tidak beraturan” (hal. 415).
Bidang akuntansi, dengan demikian (a) dikelompokkan berdasarkan diskusi lintas
pragmatik yang nampaknya tidak dapat didamaikan, dan (b) terhambat oleh beberapa teori
tentang praktik, yang intinya, tidak ada sama sekali atau tidak diinformasikan dengan praktik itu
sendiri. Dari pernyataan kajian bidang studi ini, maka penelitian ini memiliki tujuan yang tiga
kali lipat lebih besar.
Bertentangan dengan kesimpulan pernyataan AAA tentang Teori Akuntansi dan Wells
(1976), penelitian ini mengemukakan bahwa penelitian akuntansi diarahkan oleh kumpulan
asumsi yang dominan dan tidak berlainan. Pasti ada satu pandangan dunia ilmiah yang umum
dan satu matriks disipliner utama. Para peneliti akuntansi, sebagai sebuah komunitas ilmuwan,
telah berbagi dan terus melanjutkan menyebarluaskan konstelasi keyakinan, nilai-nilai, dan
teknik-teknik. Keyakinan-keyakinan ini membatasi definisi “problematika yang penting dan
berguna” dan “bukti ilmiah/saintifik yang dapat diterima”. Untuk memperluas hal ini, mereka
2
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

terus ditegaskan oleh sesama peneliti akuntansi. Mereka sering tidak peduli atau tidak
menghargai, namun secara sadar menggunakannya. Dengan cara ini, pandangan dunia secara
umum dapat diburamkan oleh teori-teori yang tampaknya bertentangan.
Tujuan pertama penelitian ini adalah agar para peneliti akuntansi mampu merefleksi diri
terhadap asumsi-asumsi dominan yang mereka ungkapkan, dan lebih penting lagi, konsekuensi-
konsekuensi mengambil posisi ini. Pandangan dunia mainstream telah menghasilkan manfaat
bagi terlaksananya penelitian akuntansi dengan desakan pada publik, tes intersubjektif, dan bukti
empiris yang dapat dipercaya. Bagaimanapun juga, hal ini membatasi jenis permasalahan yang
diteliti, penggunaan metode penelitian, dan wawasan penelitian yang mungkin didapat. Batasan-
batasan semacam itu bisa menjadi jelas ketika hal ini diekspos pada tantangan pilihan
pandangan-pandangan dunia lainnya.
Tujuan kedua penelitian ini adalah untuk memperkenalkan kumpulan pilihan asumsi di
atas, menggambarkan bagaimana asumsi-asumsi itu mengubah baik definisi permasalahan dan
solusinya, serta menawarkan penelitian yang secara mendasar berbeda dari yang berlaku saat ini.
Pada akhirnya, penelitian ini mengemukakan bahwa tidak hanya pilihan pandangan-pandangan
dunia ini yang berbeda, namun pandangan-pandangan tersebut berpotensi memperkaya dan
memperluas pemahaman kita mengenai akuntansi dalam praktiknya, dan dengan demikian, dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan terkini untuk mengkaji jumlah akuntansi dalam konteks yang
mereka lakukan.

KLASIFIKASI SUDUT PANDANG AKUNTANSI TERKINI

Untuk mengetahui persamaan di tengah-tengah keragaman teoritis, seseorang harus


menguji asumsi-asumsi filosofis (meta-teoritis) yang diungkapkan oleh teori-teori yang ada.
Dalam akuntansi, ada beberapa usaha untuk menggambarkan asumsi-asumsi ini (Jensen, 1976;
Watts dan Zimmerman, 1978, 1979). Bagaimanapun juga, usaha-usaha ini hanya terfokus pada
beberapa dimensi dan telah dikritik dengan sangat kuat (Christenson, 1983; Lowe, Puxty, dan
Laughlin, 1983).
Baru-baru ini, dimensi yang lebih menyeluruh telah diajukan. Misalnya, Cooper (1983)
dan Hopper dan Powell (1985) mengandalkan hasil kerja Burrell dan Morgan (1979) dalam
bidang Sosiologis dan mengklasifikasikan literatur akuntansi yang sesuai dengan dua kumpulan
asumsi: tentang ilmu pengetahuan sosial dan tentang masyarakat. Asumsi-asumsi ilmu
pengetahuan sosial termasuk asumsi-asumsi mengenai ontologi dunia sosial (realisme v.
nominalisme), epistemologi (positivisme v. anti-positivisme), sifat manusia (determinisme v.
voluntarisme), dan metodologi (nomotetik v. ideografis). Asumsi mengenai masyarakat
dikategorikan sebagai asumsi yang teratur atau bergantung atas konflik yang mendasar. Menurut
Burrell dan Morgan (1979), dua asumsi ini menghasilkan empat paradigma: fungsionalis,
interpretif, radikal humanis, dan radikal strukturalis. Teori-teori akuntansi khusus dapat
diklasifikasikan menggunakan empat paradigma ini (Hopper dan Powell [1985] sebenarnya
menggabungkan dua paradigma radikal).

3
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Kerangka kerja Burrell dan Morgan , bagaimanapun juga, bukan sebuah kerangka kerja
tanpa adanya masalah. Pembahasan mendalam tentang kesulitan-kesulitan ini bisa ditemukan di
Appendix I (lampiran). Secara singkat, permasalahan-permasalahan tersebut berasal dari: (a)
penggunaan dikotomi mereka yang sama-sama eksklusif (determinisime v. voluntarisme); (b)
kesalahbacaan mereka tentang Kuhn sebagai pilihan paradigma irasional yang dapat menunjang
mereka; (c) relativisme kebenaran dan alasan tersembunyi yang didorong oleh kerangka kerja
mereka; dan (d) sifat alami yang kurang dapat dipercaya dari perbedaan antara paradigma radikal
strukturalis dan paradigma humanis. Selain itu, memindahkan kerangka kerja yang belum diubah
dari sosiologi menyiratkan beberapa kesetaraan di antara dua bidang studi tersebut. Karena
ketidakadaan penjelasan mendetail mengenai persamaan hal dan permasalahan-permasalahan
yang disebutkan di atas, maka diputuskan tidak memakai kerangka kerja Burrell dan Morgan.
Sebagai gantinya, sudut pandang akuntansi dibedakan dengan referensi untuk asumsi yang
mendasar tentang ilmu pengetahuan, fenomena empiris atas dasar penelitian dan kajian, serta
hubungan antara teori dan dunia praktik yang berurusan dengan orang-orang.

KLASIFIKASI ASUMSI-ASUMSI

Seluruh pengetahuan manusia merupakan sebuah artefak sosial. Ini adalah sebuah produk
dari kerja keras manusia ketika mereka berusaha menghasilkan dan mereproduksi eksistensi dan
kesejahteraan mereka (Habermas, 1978). Pengetahuan dihasilkan oleh manusia, untuk manusia,
dan tentang manusia, serta lingkungan fisik dan sosial mereka. Akuntansi tidak ada bedanya.
Layaknya wacana berbasis empiris lainnya, pengetahuan berusaha menengahi hubungan antara
orang-orang, kebutuhan dan lingkungan mereka (Tinker, 1975; Lowe dan Tinker, 1977).
Sedangkan dalam sebuah hubungan timbal balik, pemikiran akuntansi itu sendiri berubah seiring
dengan manusia, lingkungan mereka, dan persepsi mereka akan perubahan kebutuhan mereka
berubah. Berdasarkan hubungan saling interaktif ini antara pengetahuan dan manusia, dunia
fisik; dibatasi oleh aturan—rules dan keyakinan—beliefs1 buatan manusia yang menetapkan
sampai batas mana pengetahuan, fenomena empiris, dan hubungan antar keduanya. Secara
kolektif, tiga kumpulan keyakinan ini menggambarkan sebuah cara melihat dan mengkaji dunia.
Keyakinan pertama berkaitan dengan gagasan pengetahuan. Keyakinan-keyakinan ini dapat
dibagi lagi menjadi dua asumsi epistemologis dan metodologis. Asumsi epistemologis
menetapkan apa yang harus dihitung sebagai kebenaran yang dapat diterima dengan merinci dan
menentukan kriteria dan proses menilai klaim atas kebenaran. Misalnya, sebuah asumsi
epistemologis bisa jadi menyatakan bahwa sebuah teori dianggap benar jika berulang kali tidak
dipalsukan oleh peristiwa empiris. Asumsi metodologis menunjukkan metode penelitian
dianggap benar dan sesuai untuk pengumpulan bukti yang valid. Sebagai contohnya, survei
sampel berskala besar atau eksperimen laboran yang “secara statistik bersuara” dapat dianggap
1
Kata “beliefs” digunakan untuk menunjukkan sifat yang berubah-ubah, terbuka, dan terikat secara
historis terkait asumsi-asumsi seperti yang disebutkan di atas. Seiring dengan perubahan konteks sosial
dan sejarah, maka akan berubah pula aturan meta-teoritis. Secara bergantian, “revolusi ilmiah” ini
sebenarnya akan mempengaruhi orang-orang dan lingkungan mereka.

4
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

sebagai metode-metode penelitian yang dapat diterima. Sudah sangat jelas bahwa kedua asumsi
tersebut sangatlah dekat dan berkaitan. Seberapa “benar” sebuah metode penelitian akan
bergantung pada bagaimana kebenaran itu didefinisikan.
Kedua, terdapat asumsi-asumsi tentang “objek” penelitian. Berbagai macam asumsi ada,
namun hal-hal berikut ini yang perlu diperhatikan mengenai ontologi, tujuan manusia, dan
hubungan bermasyarakat telah mendominasi banyak perdebatan dalam ilmu pengetahuan sosial.2
Untuk memulainya, semua teori empiris berakar dari sebuah asumsi tentang hakikat dan esensi
fenomena yang diteliti. Realitas fisik dan sosial, misalnya, dapat dianggap ada dalam sebuah
bidang objektif yang eksternal bagi ilmuwan dan ahli independen. Dalam perspektif ini, orang-
orang dapat dipandang sebagai objek identik ke objek fisik, dan dapat diteliti dengan cara yang
sama. Sebagai alternatif, keyakinan-keyakinan ini dapat dikritik untuk membuat seorang individu
merasa lebih nyata dan mengaburkan peran agen manusia. Manusia—yang mungkin
diperdebatkan—tidak bisa diperlakukan sebagai objek ilmiah alami, karena manusia adalah
makhluk yang menginterpretasi diri mereka sendiri yang menciptakan struktur-struktur di sekitar
mereka (lihat Habermas [1978] dan Winch [1958] untuk pembahasan). Namun, posisi ontologis
lainnya yang berusaha secara dialektis menghubungkan dengan debat reifikasi-voluntarisme ini
juga telah didukung (Bhaskar, 1979). Apapun posisi yang diambil, permasalahan ontologi sudah
ada sebelumnya dan mengatur asumsi epistemologis dan metodologis selanjutnya.
Ilmu pengetahuan sosial juga berdasarkan pada model niat, tujuan, dan rasionalitas
manusia. Model-model seperti itu dibutuhkan karena seluruh pengetahuan dimaksudkan
memiliki tujuan dan didasari oleh kebutuhan dan tujuan manusia. Ekonomi dan akuntansi,
misalnya, berdasarkan pada asumsi-asumsi yang berkaitan dengan kebutuhan informasi
masyarakat dengan akses terbatas yang diberikan untuk sumber daya. Oleh karena itu,
penggunaan pemahaman atau gagasan seperti “manusia ekonomis”, “ rasionalitas terbatas”,
“lebih menyukai waktu luang sepuasnya”, atau “keinginan terhadap informasi tentang dividen
masa depan dan arus kas”.
Lebih lanjut lagi, ada beberapa asumsi tentang bagaimana setiap individu berkaitan dan
terhubung dengan individu lain dan juga pada masyarakat secara keseluruhan. Sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Burrell dan Morgan (1979), setiap teori sosial membuat asumsi tentang sifat
alami masyarakat manusia, sebagai contoh:penuh dengan konflik atau pada dasarnya sudah stabil
dan teratur? Apakah ada ketegangan yang tidak dapat diselesaikan antara kelas-kelas yang
berbeda, atau perbedaan-perbedaan semacam itu secara efektif selalu terkandung melalui
distribusi sumber daya yang pluralistik?

TABEL 1
KLASIFIKASI ASUMSI-ASUMSI

2
Untuk pembahasan lebih lanjut, lihat Weeks (1973), Fay (1975), Bernstein (1976, 1983), Driggers
(1977), Bhaskar (1979), Brown dan Lyman (1978), Burrell dan Morgan (1979), Habermas (1978), Van de
Ven dan Astley )1981), Astley dan Van de Ven (1983), Gadamer (1975), Schulz (1967), dan Winch
(1958).

5
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

A. Keyakinan tentang Pengetahuan


Epistemologis
Metodologis

B. Keyakinan tentang Realitas Fisik dan Sosial


Ontologis
Niat dan Rasionalitas Manusia
Tatanan/Konflik Sosial

C. Hubungan antara Teori dan Praktik

Ketiga, asumsi-asumsi yang dibuat tentang hubungan antara pengetahuan dan dunia
empiris. Apa tujuan adanya pengetahuan di dunia praktik? Bagaimana ini dapat digunakan untuk
kesejahteraan masyarakat yang lebih baik? Apakah hal tersebut dimaksudkan untuk
membebaskan orang-orang atau masyarakat dari penindasan atau menghadirkan jawaban-
jawaban teknik untuk tujuan-tujuan yang ditentukan sebelumnya? Sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Fay (1975), teori dapat dihubungkan dengan praktik dalam beberapa cara.
Setiap teori menunjukkan posisi nilai tertentu pada bagian dari ilmuwan.
Tabel 1 merangkum asumsi-asumsi ini. Tiga kategori umum ini: keyakinan tentang
pengetahuan, dunia empiris, dan hubungan antara keduanya, diperdebatkan untuk
menggolongkan sebuah matriks disipliner secara komprehensif. Bagaimanapun juga, daftar
pernyataan tertentu dari kondisi umum ini tidaklah lengkap. Begitulah, asumsi-asumsi penting
lainnya dalam kategori “keyakinan tentang dunia fisik dan sosial” dapat muncul. Asumsi-asumsi
tersebut tidaklah kekal, namun secara historis spesifik, dan dipilih karena asumsi-asumsi itu
mencerminkan tema dominan yang baru-baru ini sedang diperdebatkan di ilmu pengetahuan
sosial. Selain itu, asumsi-asumsi ini dapat membedakan dengan sangat baik antara matriks
disipliner alternatif yang sekarang muncul dalam penelitian akuntansi. Menggunakan dimensi
lain seperti konsep berbeda pada pemasukan, pengukuran, atau nilai tidak akan menyoroti
perbedaan filosofis yang mendasar antara sudut pandang-sudut pandang akuntansi ini. Asumsi-
asumsi ini juga tidak dikemukakan sebagai dikotomi yang sama-sama khusus, namum dapat
meliputi usaha-usaha untuk menghubungkan akhir dari sebuah posisi spektrum yang berlawanan.

6
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Akhirnya, tidak seperti hasil kerja Burrell dan Morgan,3 sekumpulan asumsi ini
digunakan untuk menilai kekuatan dan kelemahan sudut pandang alternatif pada akuntansi.
Penelitian ini bukanlah sebuah usaha untuk mendeskripsikan pandangan-pandangan dunia yang
berbeda dalam sebuah bahasa yang bebas nilai dan tidak evaluatif. Debat filosofis baru-baru ini
(Kuhn, 1970; Popper, 1972a; Feyerabend, 19750 telah mempertunjukkan kebodohan dalam
pencarian kerangka kerja yang murni dan permanen yang bersaing dengan paradigma dan teori
yang dapat dinilai. Tidak ada jalan lain untuk bukti deduktif, begitu juga generalisasi induktif
yang menyediakan landasan bagi pilihan paradigma rasional, bahkan juga tidak pada ilmu
pengetahuan yang disebut dengan ilmu pengetahuan berat—hard sciences (Hesse, 1980).
Mengabaikan konsep pilihan rasional ini, bagaimanapun juga, mau tidak mau tidak
mengarah pada irasionalisme dan relativisme yang mengklaim bahwa tidak ada perbandingan
rasional antar paradigma dan bentuk pelaksanaan ilmiah yang berbeda. Seorang ilmuwan selalu
berkewajiban memberikan sebuah pernyataan rasional mana yang benar dan yang salah dalam
teori yang digantikan dan bagaimana sebuah alternatif itu merupakan alternatif yang lebih baik.
Tentu saja, argumen-argumen kebenaran dan kesalahan ini dapat membuktikan “salah” dalam
perjalanan waktu. Kriteria untuk perbandingan paradigma dan evaluasi pada dasarnya
menghakimi, terbuka untuk perubahan, dan berdasarkan pada praktik sosial dan historis
(Bernstein, 1983; Rorty, 1979). Gagasan tentang apa itu ilmiah adalah selalu dalam proses
ditempa dan dibentuk. Kesalahan manusia, bagaimanapun juga, tidaklah sama dengan
irasionalisme, dan para peneliti tidak dipaksa untuk dikunci dalam penjara kerangka kerja
mereka sendiri. Kerangka kerja alternatif secara rasional dapat dibandingkan (Bernstein, 1983)
sehingga kita tidak hanya akan dapat memahami paradigma yang tidak dapat dibandingkan,
namun juga prasangka mereka sendiri.

PEMIKIRAN AKUNTANSI MAINSTREAM—ASUMSI-ASUMSI

Keyakinan tentang Realitas Fisik dan Sosial

3
Ini adalah perbedaan utama antara penggunaan klasifikasi dalam penelitian ini dan sikap tidak evaluatif
Burrell dan Morgan. Selain itu, klasifikasi saat ini tidak menggunakan dikotomi yang saling
mengkhususkan satu sama lain/ saling eksklusif dan tidak mengklaim untuk mengkategorikan seluruh
sudut pandang sosial dan akuntansi secara menyeluruh dalam sebuah klasifikasi yang permanen. Karena
asumsi-asumsi pada contohnya tentang tatanan masyarakat dan rasionalitas manusia yang dilihat sebagai
sesuatu yang bergantung pada konteks dan dapat berubah-ubah sesuai waktu, maka klasifikasi hanya
berusaha untuk mengidentifikasi sudut pandang terbaru yang sedang muncul. Perbedaan-perbedaan ini
memiliki hasil-hasil berikut, meskipun asumsi individu digunakan untuk klasifikasi yang muncul, mirip
dengan klasifikasi Burrell dan Morgan (ontologis, epistemologis, metodologis). Klasifikasi tersebut
secara keseluruhan dan penggunaannya berbeda dalam hal penting. Kesamaan yang jelas terlihat itu
muncul karena kedua kerangka kerja tersebut berusaha untuk merangkum dan mengumpulkan
pembahasan-pembahasan yang terpisah dalam bidang sosial dan filosofis sehingga sifat khas dari matriks
disipliner dapat diidentifikasi.

7
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Secara ontologi, penelitian akuntansi mainstream didominasi oleh keyakinan realisme


fisik—menegaskan bahwa ada sebuah dunia realitas objektif yang menghadirkan manusia secara
independen dan menentukan sifat alami atau esensi atau hakikat yang dapat diketahui. Realisme
terkait erat dengan perbedaan yang sering muncul di antara subjek dan objek. Apa yang ada “di
luar sana” (objek) dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dari orang-orang yang tahu
(subjek). Selain itu, pengetahuan diterima ketika subjek dengan benar mencerminkan dan
“menemukan” realitas objektif ini.
Karena perbedaan objek-subjek ini, individu, sebagai contoh: peneliti akuntansi atau
objek penelitian mereka, tidak dikelompokkan sebagai orang-orang berperasaan yang
membangun realitas di sekeliling mereka. Orang-orang tidak dilihat sebagai pembuat aktif pada
realita sosial mereka. Objek secara simultan bukanlah subjek. Sebagai gantinya, orang-orang
dianalisis sebagai entitas yang dapat dideskripsikan secara pasif dengan cara objektif (contohnya:
sebagai mekanisme proses informasi [Libby, 1975] atau ketika memiliki kepemimpinan tertentu
atau gaya anggaran [Brownell, 1981; Hopwood, 1974]).
Keyakinan ontologis ini tercermin dalam penelitian akuntansi sama beragamnya seperti
teori kontingensi akuntansi manajemen (Govindarajan, 1984; Hayes, 1977; Khandwalla, 1972),
studi pembelajaran probabilitas multiisyarat (Hoskins, 1983; Kessler dan Ashton, 1981; Harrell,
1977; Libby, 1975), penelitian pasar modal yang efisien (Gonedes, 1974; Beaver dan Dukes,
1973; Fama, 1970; Ball dan Brown, 19680, dan literatur perantara utama (Baiman, 1982;
Zimmer-man, 1979; Demski dan Feltham, 1978). Seluruh teori ini dikemukakan sebagai usaha
untuk menemukan apa yang bisa diketahui, realitas objektif. Kesimpulan ini berdasarkan pada
ketidakadaan keraguan apapun yang diungkapkan bahwa fenomena empiris yang diamati atau
“ditemukan” dapat menjadi sebuah kegunaan bagi para peneliti, asumsi a priori mereka, dan
lokasi mereka dalam sebuah konteks sosio-historis khusus. Oleh karena itu, pengembalian pasar
saham dibahas sebagai sebuah fakta objektif yang dapat diklasifikasikan sebagai normal atau
abnormal. Demikian pula, lingkungan yang “kompetitif”; teknik akuntansi manajemen yang
“mutakhir”; “menghindari”, “seleksi yang tidak cocok”, dan respon terhadap umpan balik”
dicirikan sebagai gambaran sebuah realitas objektif dan eksternal.

Keyakinan-keyakinan tentang Pengetahuan


Asumsi sebelumnya ini mengarah pada perbedaan antara observasi dan konstruksi
teoretis yang digunakan untuk merepresentasikan realitas empiris ini. Terdapat dunia observasi
yang terpisah dengan teori tersebut, dan yang pertama dapat digunakan untuk membuktikan
keabsahan ilmiah yang berikutnya. Dalam filosofi, keyakinan pada testabilitas empiris (dapat
diuji secara empiris) ini telah diungkapkan pada dua cara utama: (a) Dalam keyakinan
positivisme di mana terdapat kumpulan pernyataan observasi yang tidak bergantung dengan
teori yang bisa digunakan untuk mengkonfirmasi dan membuktikan kebenaran sebuah teori
[Hempel, 1966], dan (b) Dalam argumen Popper, dikarenakan dalam pernyataan observasi
bergantung pada teori dan dapat terpatahkan, teori ilmiah tidak dapat dibuktikan namun dapat
dipalsukan [Popper, 1972a, 1972b].

8
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Para peneliti akuntansi percaya pada testabilitas empiris dalam teori-teori ilmiah.
Sayangnya, mereka seimbang dalam hal konfirmasi gagasan dan falsifiabilitas dengan beberapa
ketidaksadaran kritik pada kedua kriteria [Popper, 1972a; Lakatos,1970; Feyerabend, 1975] dan
mengenai perbedaan antara keduanya. Dengan demikian, Sterling [1979, pp. 39-41, pp. 213-218]
menunjuk pada testability empiris dengan kutipan dari Hempel [1966]. Akan tetapi seperti yang
ditunjukkan oleh Stamp [1981], Sterling juga merupakan pendukung skripsi Popper tentang
falsifiabilitas dan mengajaknya mencoba untuk memalsukan argumennya. Demikian pula dengan
Chambers [1966, p. 33] menulis bahwa “Kondisi pengetahuan merupakan apa yang belum
dipalsukan,” namun pada halaman 34 berbicara tentang teori ilmiah yang dapat berupa peristiwa
dalam fenomena pada studi. Hal ini, dan juga banyak contoh lainnya, tidak sesuai dengan teori
ideal Popper yang menentukan apa yang tidak seharusnya terjadi dan ilmuwan yang ingin
menemukan peristiwa tersebut yang menyangkal teori mereka.
Pada akhirnya, seperti yang ditunjukkan oleh Christenson [1983], posisi filosofis dari
pendukung akuntansi positif telah campur aduk—menyesuaikan diri tidak dengan
instrumentalisme milik Friedman dan juga tidak dengan standar falsifikasi Popper, namun
rupanya menarik untuk posisi orang-orang positif logis dahulu yang didiskreditkan. Abdel-
Khalik dan Ajinkya [1979, p. 9] juga dalam keadaan sulit yang sama dengan pernyataan mereka
bahwa “Peneliti mengikuti metode ilmiah… membuktikan hipotesis mereka dengan uji empiris.”
Singkatnya, peneliti akuntansi percaya pada gagasan (membingungkan) testability
empiris. Meskipun kurangnya kejelasan tentang apakah sebuah teori telah “Terbukti” atau
“Dipalsukan”, ada suatu penerimaan secara luas terhadap hypothetico-deductive milik Hempel
[1965] yang mendasari “Penjelasan ilmiah.”
Hempel berpendapat bahwa suatu penjelasan harus memiliki tiga komponen jika ingin
dikatakan ilmiah. Pertama, harus memasukkan satu atau lebih prinsip atau peraturan umum.
Kedua, harus memiliki beberapa kondisi sebelumnya, yang biasanya merupakan pernyataan
observasi, dan ketiga, harus ada pernyataan yang menggambarkan apa yang dijelaskan.
Penjelasan menunjukkan kejadian yang akan dijelaskan mengikuti prinsip umum, mengingat
bahwa juga berpegang pada kondisi sebelumnya.
Sebagai contoh: Premis 1 (hukum universal): lingkungan kompetitif selalu mengarah
pada penggunaan lebih dari satu pengendalian akuntansi manajemen. Premis 2 (kondisi
sebelumnya): Perusahaan A menghadapi lingkungan kompetitif. Oleh karena itu: Kesimpulan
(explanandum): Perusahaan A menggunakan pengendalian akuntansi manajemen lebih dari satu.
Penjelasan ilmiah mengenai narasi hypothetico-deductive ini memiliki dua konsekuensi.
Pertama, menunjukkan pencarian hukum atau prinsip universal dari deduksi hipotesis dengan
level lebih rendah. Menjelaskan suatu kejadian berarti menyajikannya sebagai contoh dari
hukum universal. Kedua, ada hubungan erat antara penjelasan, prediksi, dan pengendalian teknis.
Jika suatu kejadian dijelaskan hanya pada saat kejadiannya dapat dideduksi dari suatu premis,
karenanya mengetahui premis sebelum kejadian terjadi dapat memungkinkan adanya prediksi
bahwa itu akan terjadi. Hal ini juga dapat memungkinkan untuk mengambil langkah-langkah
untuk mengendalikan terjadinya suatu kejadian. Memang, kemungkinan dari pengendalian dan
manipulasi merupakan elemen pokok dari gambaran penjelasan ilmiah ini.
9
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Penggunaan model hypothetico-deductive pada penjelasan ilmiah merupakan


karakteristik paling konsisten dari penelitian akuntasi yang masih ada. Abdel-khalik dan Ajinkya
[1979] dan Mautz dan Sharaf [1961] merujuk padanya sebagai metode ilmiah. Peasnell [1981],
Hakansson [1973], Gonedes dan Dopuch [1974], dan Scapens [1982], melalui ulasan mereka
tentang akuntansi keuangan dan manajemen, menggambarkan bahwa melakukan penelitian
ilmiah adalah melakukannya dengan mode hypothetico-deductive. (Peasnell menggunakan istilah
“hypothetico-positive.”)
Berhubungan dengan hypothetico-deductivism, asumsi umum lainnya adalah pencarian di
mana-mana untuk keteraturan universal dan hubungan kausal. Pendekatan kontingensi pada
akuntansi manajemen, teori agensi positif [Fama dan Jensen, 1982], dan teori biaya transaksi
[Chandler dan Daems, 1979; Johnson, 1980] mencari hubungan umum antara perkembangan
sistem akuntansi, kondisi perubahan lingkungan, dan bentuk organisasi. Hubungan yang dapat
digeneralisasi juga dicari dalam studi Multi-Cue Probability Learning (antara respons individu
dan jumlah akuntansi pada kinerja tugas tertentu), penelitian pasar modal efisien (antara jumlah
akuntansi dan respon pasar agregat) dan principal-agent literature (antara principal agent
tertentu mengontrak pengaturan dan penggunaan teknik akuntansi seperti alokasi biaya atau
pengawasan anggaran). Memang, pencarian untuk generalizable relations (hubungan yang dapat
digeneralisasi) sangat luas hingga para peneliti akuntasi percaya bahwa dunia empiris tidak
hanya objektif, tapi utamanya juga dikarakterisasikan sebagai hubungan yang dapat diketahui
dan konstan.
Asumsi yang berhubungan dengan penjelasan “ilmiah” ini telah mempengaruhi pilihan
metode penelitian. Laporan penelitian selalu dimulai dengan pernyataan hipotesis, diikuti oleh
diskusi data empiris dan disimpulkan dengan taraf penilaian dimana data “mendukung” atau
“menguatkan” hipotesis. Sebagai tambahan, pengumpulan data dan analisis difokuskan pada
“penemuan” dari hubungan yang tepat dan dapat digeneralisasi (generalizable). Oleh karena itu,
ada pengabaian secara relatif pada metode “halus” seperti studi kasus [Hagg dan Hedlund, 1979]
dan sebagai gantinya, penggunaan sampel besar, metode survey, desain penelitian eksperimental
laboratorium, dan metode analisis statistik dan matematis menyebar luas.

Keyakinan-keyakinan tentang Dunia Sosial


Penelitian akuntansi mainstream membuat dua asumsi penting tentang dunia sosial.
Pertama, diasumsikan bahwa perilaku manusia itu purposive (bertujuan). Dengan demikian,
meski orang-orang hanya memiliki bounded rationality (rasionalitas terbatas) [Simon, 1976],
mereka selalu dapat menetapkan tujuan rasional [Chambers, 1966; Fama dan Jensen, 1982],
dimana tujuan ditetapkan sebelum aksi strategis dipilih dan diimplementasikan. Dan juga,
manusia dicirikan memiliki tujuan yang satu dan sangat tinggi: “Utilitas-maksimum.”
(“Maksimalisasi utilitas”) Dengan utilitas gagasan abstrak ini, teori berbeda menjadi apa yang
menyediakan utilitas. Teori principal-agent berasumsi agent akan selalu memilih lebih sedikit
pekerjaan [Baiman, 1982], sedangkan teori keuangan berasumsi bahwa pemegang
saham/pemegang obligasi menginginkan maksimalisasi dari yang diharapkan, Risk Adjusted
Return dari investasi. Selain itu, meskipun hanya individu yang memiliki tujuan [Cyert dan
10
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

March, 1963; Jensen dan Meckling, 1976], kolektivitas mungkin menunjukkan perilaku
purposive (bertujuan) yang berarti tujuan konsensual atau common means (artian umum) yang
diterima oleh seluruh anggota – misalnya, maksimalisasi discounted cash flow (arus kas
terdiskon) atau minimalisasi transaction cost (biaya transaksi). Asumsi tentang perilaku
bertujuan ini penting karena informasi akuntansi telah lama dianggap alasan teknis untuk
eksistensi dan kemakmurannya: ketentuan informasi keuangan yang “berguna” dan “relevan”
untuk membuat keputusan ekonomi [Paton dan Littleton, 1940; AICPA, 1973; FASB, 1978]. Dan
kegunaan menganggap beberapa kebutuhan lebih dulu atau objektif.
Kedua, memberikan keyakinan dalam tujuan individu dan organisasi, terdapat asumsi
implisit dari tatanan sosial terkendali. Sementara konflik tujuan diakui, misalnya, antara principal
dan agen dan antara departemen fungsional, mereka dikonseptualisasikan sebagai yang dapat
dikelola. Memang, adalah tugas manajer yang efektif untuk menghilangkan atau menghindari
konflik tersebut melalui desain yang sesuai dari kontrol akuntansi seperti anggaran, standar
biaya, alokasi biaya, dan kriteria kinerja divisi [Hopwood, 1974; Zimmerman, 1979; Demski dan
Feltham, 1978]. Konflik organisasi tidak dilihat sebagai reflektif dari konflik sosial yang lebih
dalam antara golongan orang dengan akses yang tidak setara ke sumber sosial dan ekonomi.
Konstruksi seperti dominasi terus menerus, eksploitasi, dan kontrakdisi struktural tidak muncul
dalam mainstream accounting literature (literatur akuntansi mainstream). Kelompok kepentingan
yang berkonflik diklasifikasikan sebagai yang memiliki hak-hak hukum yang berbeda dalam
sebuah sistem properti hak – misalnya, kreditur terhadap pemegang saham. Mereka tidak
dikategorikan menggunakan dimensi antagonis seperti kelas atau kepemilikan kekayaan.
Selanjutnya, konflik biasanya dianggap sebagai ‘disfungsional’ dalam kaitannya dengan
tujuan perusahaan yang lebih besar (apapun itu). Contoh “disfungsional” konflik yang meliputi
“bias anggaran,” “perilaku oportunistik,” “Kepentingan diri dengan tipu daya,” dan “kekakuan,
perilaku birokrasi.” Perilaku disfungsional terjadi ketika kepentingan individu atau kelompok
saling berkejaran untuk memperoleh yang terbaik bagi organisasi dalam beberapa arti abstrak
[Tiessen dan Waterhouse, 1983; Williamson, Wachter, dan Harris, 1975; Hopwood, 1974].
Peneliti akuntansi kemudian berusaha untuk menentukan prosedur dimana disfungsi tersebut
dapat diperbaiki.
Akhirnya, beberapa peneliti utama menyiratkan bahwa organisasi dan pasar “bebas”
memiliki kecenderungan yang melekat untuk mencapai tatanan sosial. Bagi mereka sendiri,
organisasi tampak secara “natural” mengembangkan sistem administratif dan akuntansi yang
meminimalisasikan biaya transaksi dalam kondiri perubahan lingkungan [Fama dan Jensen,
1982; Chandler dan Daems, 1979]. Selain itu, pengungkapan keuangan yang diinginkan dapat
ditentukan oleh kebebasan dari kekuatan pasar dengan Intervensi negara yang minimal [Benston,
1979-1980]. Memang, Jensen dan Meckling [1980] menghubungkan suatu krisis finansial,
misalnya kebangkrutan Penn Central Railroad, dengan kondisi abrogasi (pencabutan) hak
property individual. Manusia dan pasar kemudian muncul untuk mencapai pesanan dari mereka
sendiri.

11
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Teori dan Praktik


Dalam hal hubungan antara teori dan praktik, para peneliti akuntansi mainstream (utama)
bersikeras atas dikotomi means-end. Artinya, akuntan harus hanya berurusan dengan pengamatan
yang paling ‘efisien dan efektif’ dengan cara memenuhi kebutuhan informasi dari pembuat
keputusan, tetapi tidak harus melibatkan diri dengan penilaian moral tentang kebutuhan atau
tujuan pembuat keputusan. Misalnya, seorang akuntan mungkin bisa memberikan informasi
kepada pembuat keputusan bahwa operasional berhasil (biasanya didefinisikan melalui
pengertian profitabilitas) di lingkungan yang tidak pasti, kaku, sistem anggaran tidak cocok.
Namun, akuntan tidak dapat menginstruksikan pembuat keputusan untuk beroperasi dalam
lingkungan tertentu dan pasti juga dalam mengadopsi sistem pengangguran tertentu. Demikian,
hanya pernyataan “kondisional preskriptif” dari bentuk “Jika kamu ingin X, maka aku
merekomendasikan Y” ditawarkan.
Bahwa ini seharusnya sikap ‘nilai bebas’ itu sendiri merupakan pilihan posisi moral,
nilai-sarat tidak sering diakui. Sebaliknya, yang jelas ‘netralitas’ secara luas diterima dan
dianjurkan oleh anggota komunitas akuntansi akademik. Oleh karena itu, Chambers [1966, hal
40-58] berpendapat bahwa akuntan hanya dapat memberikan informasi tentang sarana keuangan
tersedia untuk keputusan akhir yang diberikan. Karena informasi tersebut independen dari setiap
tujuan dan nilai ditempatkan pada tujuan tersebut, akuntansi mungkin dianggap sebagai
informasi “Netral” dan “nilai bebas” dalam pengertian itu. Demikian pula Sterling [1979, hal 89]
memperdebatkan bahwa akuntan sebagai ilmuwan “seharusnya” dapat membuat penyataan
tentang sarana yang pantas untuk pencapaian tujuan yang diberikam. Dan Gonedes dan Dupoch
[1974] berpendapat bahwa peneliti hanya bisa menilai efeknya tapi tidak keinginan akan metode
akuntansi alternatif.
Tabel 2 merangkum asumsi-asumsi ini, yang menyediakan kerangka umum untuk
penelitian akuntansi utama.

AKUNTANSI UTAMA—KONSEKUENSI DAN BATASAN

Ada beberapa konsekuensi yang mengalir dari kumpulan asumsi-asumsi dominan.


Pertama, karena keyakinan di dikotomi means-end, penelitian akuntansi mengambil sebagai yang
diberi dan natural [Tinker, 1982] kerangka institusional pemerintah saat ini, pasar, harga, dan
bentuk organisasional. Pertanyaan-pertanyaan mengenai tujuan dari pembuat keputusan,
perusahaan, atau masyarakat dilihat sebagai wewenang luar akuntan. Demikian pula
kekhawatiran tentang sistem hak properti, pertukaran ekonomi, dan distribusi dan alokasi
kekayaan dan kesempatan menciptakan kekayaan tidak dinaikkan. Penelitian akuntansi utama
tidak memilikinya karena satu diantaranya menyatakan tujuan mencoba untuk mengevaluasi dan
mungkin mengubah struktur instusional. Masyarakat mungkin kapitalis, sosialis, atau campuran,
dan pasar mungkin monopolistik atau eksploitatif perusahaan. Namun, akuntan, dikatakan untuk
mengambil posisi nilai netral dengan tidak mengevaluasi end-states (kondisi akhir) ini. Tugasnya
hanya membekali informasi finansial yang relevan yang berarti mencapai states (kondisi) ini.
12
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Dan seperti tujuan demikian, memerintah struktur, atau pertukaran hubungan dan perubahan
produksi, dan juga sistem akuntansi yang fleksibel.

TABEL 2
ASUMSI DOMINAN PADA AKUNTANSI MAINSTREAM

A. Keyakinan-keyakinan tentang Pengetahuan


Teori terpisah dari observasi yang mungkin digunakan untuk menguji atau memalsukan suatu
teori. Penjelasan ilmiah tentang narasi hypothetico-deductive diterima.

B. Keyakinan-keyakinan tentang Realitas Sosial dan Fisik


Realitas empiris itu objektif dan eksternal pada subjek. Manusia juga dicirikan sebagai objek
pasif; tidak dilihat sebagai pencipta realitas sosial.
Tujuan utama maksimalisasi utilitas diasumsikan untuk individual dan perusahaan. Rasionalitas
means-end diasumsikan.
Masyarakat dan organisasi pada pokoknya stabil; konflik yang “disfungsional” dapat dikelola
melalui desain pengendalian akuntansi yang sesuai.

C. Hubungan antara Teori dan Praktik


Akuntansi menspesifikasikan makna, bukan akhir. Penerimaan struktur instusional masih ada.

Hal ini seharusnya berada pada posisi netral, namun terdapat beberapa kesulitan. Ini
sendiri merupakan posisi nilai yang tidak dapat diperdebatkan secara logis sebagai “superior”
pada posisi menilai tujuan demi ideal. Weber [1949] mengakui bahwa perbedaan mendasar
antara fakta dan nilai adalah mereka sendiri merupakan value judgement (pertimbangan nilai).
Dan juga, hal itu merupakan dukungan konservatif, meski tidak langsung dari status quo. Dengan
tidak mempertanyakan tujuan yang masih ada, terdapat persetujuan diam-diam dengan apa yang
ada. Tinker, Merino, dan Neimark [1982] juga pernah memperdebatkan bahwa dukungan seperti
itu akan membantu mengesahkan pertukaran hubungan yang sudah ada (extant relations of
exchange), produksi, dan bentuk penekanan.
Lebih lanjut, asumsi tentang tujuan manusia pada penelitian akuntansi utama telah
merusak dikotomi means-end. Untuk sekali gagasan “disfungsi” diakui, menjadi sulit untuk
memisahkan prescription of means dari prescription of ends. Sangat jarang bagi para akuntan
untuk menulis “Teknik X disebut disfungsional hanya bila tujuan perusahaan adalah untuk
memaksimalkan the discounted value (nilai yang didiskon) pada arus kas di masa yang akan
datang,” Memang, akhir yang digambarkan/ditentukan menjadi semakin diterima sampai
menjadi bagian dari pengetahuan “akal sehat” kita.
Batasan kedua berhubungan dengan asumsi tujuan manusia, rasionalitas, dan konsensus.
Saat tujuan konsensual “maksimalisasi utilitas” ini diperiksa, mereka selalu berupa tujuan dari

13
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

penyedia modal. Meski para akuntan dan auditor terkadang menyarankan bahwa mereka
bertindak di “kepentingan publik,” telah diterima secara umum bahwa laporan finansial
managerial dan eksternal diharapkan untuk melindungi hak investor dan kreditor [The Corporate
Report, 1975; AICPA, 1973]. Sebagai tambahan, pengendalian internal dan prosedur konstruksi
telah sesuai dengan tujuannya untuk mencegah manajerial dan pekerja “kelebihan” dan
melindungi hak-hak “penuntut residual.” [Fama dan Jensen, 1982]. Dipengaruhi oleh ekonomi
mikro tradisional, pemikiran akuntansi utama berdasarkan pada gagasan dari klaim sebelumnya
dari “pemilik” dan kemudian mengimplikasikan bahwa kepuasan terhadap klaim ini
menyediakan sarana untuk memuaskan semua klaim yang lainnya. Misalnya, diasumsikan bahwa
pekerja menginginkan maksimalisasi arus kas atau keuntungan jangka panjang, dimana tanpanya
mereka tidak bisa dibayar.
Bisakah seseorang membuat asumsi sederhana tentang fungsi kesejahteraan perusahaan?
Apa semua anggota organisasi setuju dengan common end ambigu atau means (sarana) dari end
(akhir) tersebut? Atau apakah keyakinan seperti itu meninggalkan kita dengan aksi model
manusia yang terlampau rasional dan konsensual dan peran akutansi [Cooper, 1983; Burchell et
al., 1980]? Teori organisasi terbaru [Weick, 1979; Meyer dan Rowan, 1977; March dan Olsen,
1976;Georgiou, 1973] telah dimulai untuk mempertanyakan basis rasional aksi organisasi dan
individu yang digerakkan oleh tujuan ini, dasar rasional dari tindakan individu dan organisasi.
Hal Ini telah melampaui gagasan Simon [1976] tentang rasionalitas terbatas dan perdebatan
tentang mungkin orang-orang tidak mencapai tujuan melainkan merekonstruksi secara retrospek
untuk memberi makna dari tindakan tersebut. Pernyataan tujuan untuk menjadikan mereka ‘anak’
dari pada ‘ayah’ dari tunas, dan orang yang ingin masalah cepat kelar begitupun sebaliknya.
“Longgarnya” pelanggaran asumsi rasionalitas ini telah disertai serangkaian metafora
baru yang menekankan bukan pada yang terstruktur, pola kausal dari kehidupan organisasi tapi
fluiditas dan ketidakjelasan tindakan dan proses manusia. Konsep seperti “permintaan negosiasi”
[Strauss et al., 1963], “anarki yang terorganisir,” “kopling longgar,” “pengundangan dan
pengorganisasian,” [Weick, 1979], “tempat sampah organisasi” [Cohen, March, dan Olsen,
1972], dan organisasi yang “berantakan” ]Mintzberg, 1979] semuanya menekankan tentang
kumpulan interaksi rumit dan aturan yang secara konstanta selalu dinegosiasi, produksi, dan
direproduksi
Sebagai tambahan bagi proses orientasi, terdapat minat baru dalam kekuasaan dan
perjuangan politik [Benson, 1977a, 1977b] di dalam dan di antara organisasi [Burawoy, 1979;
Benson, 1975; Marglin, 1975] dan interest group (kelompok kepentingan) [Larson, 1977;
Heydebrand, 1977]. Sudah tidak ada lagi organisasi yang berasumsi untuk mengoleksi ketika
konflik dapat dimediasi melalui kontrak aransemen dan “pasar.” Mereka dilihat sebagai tempat
penyimpanan tentang konflik dalam yang merefleksikan kontradiksi sosial dan krisis yang
melebar [Burrell, 1981; Clegg, 1981]. Peneliti akutansi mainsream sebagian besar mengabaikan
perkembangan ini yang menawarkan wawasan baru sebagai efek kemampuan dari akutansi dan
akuntan di dalam organisasi dan masyarakat.
Tiga keterbatasan dari kumpulan keyakinan dominan adalah kurangnya kesadaran akan
kontroversi di dalam filosofi ilmu sosial yang mempertanyakan realisme dan testabilitas empiris
14
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

dari sebuah teori. Dimulai dari Popper [1972a] dan dilanjutkan melalui argument Kuhn [1970],
Lakatos [1970], dan Feyerabend [1975], filosofi pasca empiris secara umum sepakat bahwa
pengamatan adalah proporsi yang keliru yang bergantung pada teori dan karenanya tidak dapat
bertindak sebagai penengah netral antara teori-teori yang bersaing. Memang, pencarian kriteria
trans-historis, kemampuan menerima permanen sekarang dipandang sebagai latihan yang sia-sia
[Bersntein, 1983]. Konsensus ini diikuti oleh revived interest (kebangkitan minat) [Geertz, 1979;
Winch, 1958] dalam suatu tren di filosofi Jerman [Gadamr, 1975; Wittgenstein, 1953] yang
menekankan sifat terikat secara historis dari semua bahasa konseptual.
Argumen-argumen ini telah menyatu sehingga filosofi sains berada dalam kondisi yang
berubah-ubah; tanpa kenyamanan netral, realitas objektif, hal tersebut menghadapi ancaman
relativisme mutlak dari kebenaran dan pilihan teori yang tidak rasional [Barnes and Bloor, 1982;
Feyerabend, 1975], dan dilalui oleh berbagai upaya yang melandasi serangkaian kriteria rasional
untuk teori ajudikasi [Hsbernas, 1978; Popper, 1972a; Kuhn, 1970]. Pemikiran arus utama
akutansi telah mencurahkan perhatian yang tidak memadai pada debat filosofis ini. Terdapat
beberapa diskusi tentang kriteria kepalsuan Popper, tetapi hanya sedikit dari extensions
(perluasan) Lakato maupun konsep lain dari fungsi teori dan standar yang diperlukan untuk
menerima sebuah teori. Sebaliknya, peneliti akutansi bekerja dalam beberapa gagasan samar
tentang realitas objektif dan mengkonfrontasi teori menggunakan data.
Meskipun terdapat keterbatasan seperti ini, penting ntuk mengenali keutamaan dari
asumsi filosofis yang menjadi landasan penelitian akutansi mainstream. Seperti yang ditunjukkan
Bernstein [1976, p. xxii], di saat yang terbaik mereka bersikeras atas kejelasan dan ketelitian,
telah berkomitmen pada tes umum dan intersubjektif yang ideal, dan telah menanamkan
pandangan skeptis yang sehat pada “spekulasi yang tak terkendali dan pemikiran ahli obsikaris
yang suram.” Keutamaan intelektual ini juga telah dikaitkan dengan keyakinan khusus bahwa
pengetahuan empisis yang netral tidak hanya dapat membantu orang untuk melepaskan diri dari
mitos dan prasangka, melainkan menyediakan penilaian berdasarkan informasi yang dapat
membuat relasi seseorang dengan lingkungan sosial dan naturalnya menjadi lebih baik.
Peneliti akutansi mainstream (utama) telah mencoba mengembangkan pengetahuan yang
bermanfaat dan generalizable (dapat digeneralisasi) yang dapat diterapkan dalam organisasi
untuk memprediksi dan mengontrol fenomena empiris. Ini menekankan validitas standar
tertentu , ketelitian, dan objektivitas dalam melakukan penelitian ilmiah. Tetapi, asumsi-asumsi
yang dulu pernah bebas ini, telah mengabaikan pertanyaan baru yang diajukan pada disiplin lain,
memaksakan batasan-batasan yang jauh lebih parah (keras) pada apa yang dianggap sebagai
pengetahuan asli dan mengaburkan wawasan penelitian yang berbeda. Sisa makalah ini menguji
konsekuensi dari mengubah asumsi filosofis. Ini membahas dua alternatif pandangan dunia;
interpretatif (interpretasi) dan kritis.

PILIHAN INTERPRETASI LAINNYA–ASUMSI-ASUMSI

Alternatif ini diturunkan dari peminatan filsuf jerman yang menekankan peran bahasa,
interpretasi, dan pemahaman dalam ilmu pengetahuan sosial. Sebagaimana Schultz (1967, 1966,
15
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

1964, 1962) telah menjadi salah satu pendukung paling berpengaruh dalam alternatif ini, ide-
idenya menjadi inti dari deskripsi ini.

Keyakinan tentang Realitas Fisik dan Sosial


Schutz memulai dari pemikiran bahwa apa yang mula-mula diberikan pada kehidupan
sosial adalah aliran kukuh tentang pengalaman langsung. Aliran kesadaran ini tidak memiliki arti
atau identitas yang nyata sampai manusia mengalihkan perhatiannya (refleksi diri) pada bagian
dari aliran ini dan menganggap aliran ini ada artinya. Pengalaman pada arti masing-masing yang
telah disokong sebagai pengulangan masa lalu disebut sebagai perilaku. Ilmu sosial pada
umumnya berfokus pada kelas kelas khusus pada perilaku bermakna, yaitu tindakan, yang
berorientasi masa depan dan mengarah kepada prestasi dan menentukan tujuan. Karena tindakan
itu secara intrinsik disertai dengan arti subjektif oleh pelaku dan pasti ada maksudnya, tindakan
tidak dapat dimengerti tanpa melihat maknanya apa.
Walau begitu, dalam tindakan hidup sehari-hari tidak terjadi dalam arti yang terisolir dan
subjektif. Sembari manusia terus menerus meminta dan mengklasifikasikan pengalaman yang
terus berlanjut berdasar skema interpretasi, skema-skema ini pada dasarnya bersifat sosial dan
bisa dijadikan bahan bertukar pikiran. Kita tidak hanya menginterpretasi tindakan kita sendiri
tapi juga orang lain yang kita ajak berinteraksi, begitu pula sebaliknya. Melalui proses interaksi
sosial yang terus menerus, makna dan norma menjadi jelas dan nyata bagi setiap orang. Mereka
membentuk kenyataan sosial yang mudah dipahami yang menentang setiap individu dengan cara
yang sejalan dengan dunia. Sebagai tambahan, meskipun pembaruan dan modifikasi
berkelanjutan dalam sekelompok pengetahuan sosial, ada beberapa susunan yang stabilnya hanya
sementara tapi diyakini dan digunakan untuk melambangkan (menstrukturkan) pengalaman.
Pelambangan ini adalah bagian penting dari kerangka sosial didalam suatu lingkungan terjadinya
sebuah tindakan yang jelas.

Keyakinan tentang Pengetahuan


Dengan adanya pandangan yang dibuat secara subjektif, kenyataan sosial yang muncul,
perumusan masalah yang terkait adalah: bagaimana akal sehat pada tatanan sosial itu dibuat dan
dibuat ulang dalam kehidupan sehari hari; apa saja aturan-aturan yang tertanam dalam yang
akhirnya menstruktur kehidupan sosial; bagaimana pengelompokan ini terjadi, dan bagaimana
merka dijaga dan dimodifikasi; dan apa saja motif-motif yang umumnya menjelaskan suatu
tindakan? Dalam intinya, ilmuwan interpretif mencari masuk akalnya tindakan manusia dengan
mencocokkannya pada sekelompok tujuan individual dan struktur sosial pada makna.
Penjelasan berikut ini atau model dari kehidupan di dunia harus sejajar dengan kriteria-
kriteria tertentu. Pertama adalah konsistensi logika. Schutz (1962:43) menulis bahwa sistem
konstruksi umum didesain oleh ilmuwan harus didirikan dengan derajat kejelasan yang jelas
dank has pada kerangka konseptual yang tersirat, dan harus sangat cocok dengan prinsip prinsip
logis formal. Dalil ini diharuskan untuk meyakinkan “validitas objektif pada objek yang
dipikirkan disusun oleh ilmuwan sosial”. Yang kedua adalah “interpretasi subjektif” yang berarti
para ilmuwan mencari arti pada sebuah tindakan yang dilakukan pelaku. Akhirnya, ada dalil
16
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

kecukupan. Karena tidak ada dunia yang netral dan objektif mengenai fakta yang bertindak
sebagai juri, kecukupan sebuah teori (atau penjelasan maksud) dinilai melalui pada tingkat mana
para pelaku setuju dengan penjelasan dari maksud mereka.4
Bagaimana seseorang bisa membawa tugas pemahaman interpretatif? Pada awalnya, ia
disalah kenali sebagai pemikiran bahwa pengamat harus merasakan kehidupan seseorang yang
diamati. Pemikiran seperti itu sudah ditolak. Walau bagaimanapun, tetaplah susah untuk
menspesifikkan prosedur yang tepat untuk pelaksanaan penelitian interpretatif, metode tersebut
sama dengan metode yang digunakan antropolog. Mereka menekankan observasi, kesadaran
isyarat bahasa, dan perhatian detail yang kuat. Tiap poin informasi harus diinterpretasi pada
sorotan dari poin lain dari bahasa dan ideologi dari suku yang diinvestigasi (Feyerabend,
1975:251) ketimbang melalui definisi a priori. Makna-makna itu sendiri dibangun pada makna
yang lain dan praktik sosial. Sebagai contoh, studi kasus yang berat dilaksanakan di kehidupan
pelaku lebih disukai yang samplingnya besar atau model matematika untuk kecenderungan
manusia.
Dalil ini sama dengan pemikiran positif pada verifikasi dan mencerminkan kesepakatan
Schulz dengan Nagel dan Hempel dalam sejumlah permasalahan penting. Yaitu: a) semua
pengetahuan nyata melibatkan penemuan melalui proses dari penalaran terkontrol, harus bisa
dinyatakan dalam bentuk proposisional, dan harus bisa diverifikasi dengan observasi. b) teori
berarti formulasi eksplisit untuk menentukan hubungan antara satu set variabel yang menjelaskan
kelas yang cukup luas dalam hal keumuman empiris, dan c) ilmuwan sosial harus berusaha
menjadi tidak tertarik dalam konstruksi penjelasan objektif.
Posisi Schultz, walaupun bagaimanapun, tidak semerta-merta diterima oleh filsuf
interpretif lainnya. Gadamer (1975), contohnya, menolak kemungkinan “pengamat yang tidak
tertarik” dan menyiratkan bahwa menyaingkan teori hanya bisa dinilai oleh kriteria tak spesifik
yang terikat sejarah, yang seccara sementara disetujui sekelompok ilmuwan.

TABEL 3
ASUMSI UMUM PADA PERSPEKTIF INTERPRETATIF

A. Keyakinan tentang Pengetahuan


Penjelasan ilmiah tentang niat manusia dicari. Kecukupannya dinilai melalui kriteria konsistensi
logis, interpretasi subjektif, dan kesepakatan interpretasi akal sehat pelaku.

4
Schutz mengatakan bahwa “tiap istilah di model ilmiah tindakan manusia harus dikonstruk pada jalan
yang dilakukan manusia dalam dunia kehidupannya oleh actor individual, dalam cara yang ditunjukkan
oleh konstruksi umum bisa dimengerti oleh aktornya sendiri dan juga sesame manusia dalam hal
menginterpretasi akal sehat untuk kehidupan sehari-hari. Pemenuhan dengan dalil ini menjamin
konsistensi susunan ilmuwan sosial dengan susunan pengalaman akal sehat pada kenyataan sosial
(Schultz, 1962:44)

17
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

B. Keyakinan tentang Realitas Fisik dan Sosial


Kenyataan sosial itu datang tiba-tiba dan dibuat secara subjektif, dan menjadi objektif oleh
interaksi manusia.

C. Hubungan antara Teori dan Praktik.


Teori hanya mencari penjelasan tindakan dan memahami struktur sosial dibuat dan direproduksi.

Keyakinan tentang Dunia Sosial


Keyakinan utama tentang masyarakat adalah a) anggapan tujuan tindakan manusia, dan
b) anggapan mengenai dunia bermakna yang teratur dan sudah ada sebelumnya, yang mengatur
tindakan. Walau bagaimanapun, schutz meyakini bahwa tujuan selalu memiliki elemen masa
lalu, karena hanya yang sudah berpengalaman bisa mendapatkan makna dalam kilas balik. Lebih
jauh, tujuan itu dipendam dalam konteks skosial dan bukan sesuatu yang sudah ada sebelumnya.

Teori dan Praktik


Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Fay (1975), pengetahuan interpretif menunjukkan
pada masyarakat apa yang mereka lakukan ketika mereka bertindak dan berbicara seperti itu. Ia
berlaku seperti itu dengan menekankan struktur simbolik dan tema-tema yang diterima apa
adanya yang menyusun pola dunia dengan cara yang hebat. Ilmu interpretasi tidak mencari
fenomena empiris, ia tidak memiliki aplikasi teknis. Sebagai gantinya, tujuan ilmu interpretasi
adalah untuk memperkaya pemahaman manusia pada arti dari tindakannya, jadi meningkatkan
kemungkinan untuk komunikasi mmutual dan pengaruh. Dengan menunjukkan apa yang
dilakukan manusia, kita jadi bisa memahami bahasa baru dan makna kehidupan. Table 3 adalah
rangkuman asumsi-asumsi itu.

PILIHAN INTERPRETASI—KONSEKUENSI

Beberapa peneliti telah berusaha meneliti akuntansi dalam tindakan dan


menginvestigasikan perannya sebagai mediator simbolik. (Hopwood (1983, 1985, akan datang);
Tomkins dan Grove, 1983; Colville, 1981; Gambling, 1977). Konsekuensi dari mengadopsi
perspektif interpretasi dengan penekanan pada pemahaman, bisa ditekankan dengan
membandingkan dua karya dalam sistem pengontrolan anggaran: Demski dan Feltham (1978)
serta Boland dan Pondy (1983). Yang pertama dilakukan dalam asumsi umum dan yang kedua
merefleksikan pemikiran interpretif.
Untuk Demski dan Feltham, pengaturan sistem anggaran ada sebagai sebuah kenyataan
yang diluar dunia peneliti, dan tentu saja pada kepala dan agen. Sistem ini timbul dan
keberadaannya diyakini begitu saja, ia merupakan variabel yang terikat dengan hal-hal luar.
Anggaran tidak dilihat sebagai sesuatu yang dikonstruk secara sosial, dan dilakukan melalui
interaksi. Para penulis kemudia nmencari kondisi umum yang bisa menjelaskan penggunaan
control system seperti itu di keadaan tertentu. Keadaan ini dijabarkan dalam bahasa abstrak
ekonomi, dalam hal kontrak antara pemberi modal dan agen, dan di pasar untuk pertukaran

18
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

informasi dimana titik ekuilibrium dan solusi pareto-optimal bisa ditemukan. Model matematis
pada perilaku pemodal-agen kemudian dikonstruksi dengan beberapa variabel yang bisa diatur:
keadaan dunia, usaha pekerja, bakat, dan jumlah modal. Berdasarkan analisis dari model ini,
beberapa kesimpulan umum dibuat, contohnya “ketidak lengkapan pasar” dan “keengganan
resiko” adalah kondisi yang dibutuhkan untuk memilih system anggaran. Tidak ada usaha yang
terbatas untuk membuktikan validitas model ini dengan menilai sebagus apa ia menjelaskan
praktik yang diamati.
Satu satunya tujuan maksimalisasi kegunaan dilekatkan pada pemodal dan agen. Pemodal
“memberi kontrak untuk jasa kerja jadi dia bisa mendapatkan keuntungan dari modalnya tanpa
mengeluarkan usaha, ia mencapai kesenangan maksimal : (hal 338). Kegunaan agen bergantung
pada tingkatan luaran/masukan dan juga jumlah usaha yang dilakukan (ia lebih suka usaha yang
lebih sedikit (hal 342)). Peneliti lain yang juga bekerja dalam kerangka berpikir ini menggunakan
model yang sama untuk maksud manusia. Zimmerman (1979:506), contohnya, menganggap
semua individu adalah “penuh akal, evaluatif, dan maksimal (atau REMMs)” sebagai tambahan,
baiman (1982,:170) menunjukkan bahwa tiap individu dianggap bertindak sesuai minatnya dan
mengharapkan semua manusia yang lain untuk bertindak semata-mata untuk memaksimalkan
minat terbaik mereka.
Ada juga anggapan implisit mengenai apakah yang ‘tidak berfungsi’ untuk sebuah
organisasi, yakni, untuk pemodal dan agen. Demski dan feltham berbicara tentang bahaya moral
dan pemilihan masalah yang berbahaya. Semua ini secara dasar adalah masalah berdasar
informasi yang timbul karena pemodal tidak dapat melaporkan secara akurat pilihan input agen,
dan memferivikasi informasi pribadi agen. Sebagai tambahan, “kelalaian” baik dari pemodal
maupun agen dianggap tidak membantu dan harus dikontrol, dalam hal ini, melalui kontrak
berdasar anggaran. Walaupun begitu, nampaknya ada penekanan lebih tinggi yang dijadikan
control oleh agen. Ia nnampaknya lebih terlibat dalam situasi merugikan. Jadi, Demski dan
Feltham menulis bahwa kontrak berbasis anggaran itu digunakan untuk mempelajari sesuatu
tentang perilaku agen (339). Begitujuga dengan Zimmerman (1979:506) berpendapat bahwa
“kita akan mengharapkan – sebagaimana pemodal juga harusnya demikian – bahwa agen akan
mencoba meningkatkan kesejahteraan dengan melibatkan diri dalam aktifitas yang tidak melulu
berada dalam minat terbaik pemodal (seperti kelalaian, bersenang-senang ditengah pekerjaan,
menikmati penghasilan tambahan, pencurian)”
Boland dan Pondy, sebaliknya, tidak menganggap anggaran sebagai sesuatu yang
permanen dan tetap. Sebaliknya, ia adalah sesuatu yang simbolis, tidak asli, samar bukannya
tepat, penuh nilai dan bukan tanpa nilai (hal 229). Pada waktu tertentu, anggaran memainkan
peran yang aktif dalam membentuk kenyataan (hal 228) dan pada gilirannya dipengaruhi minat
politik (contohnya pada kasus gubernur Illinois), dan beberapa definisis sosial dari “berterima
dan nyata” (kategori seperti pemeliharaan dan perawatan” menjadi lebih giat daripada
penelitian). Tidak ada asumsi negatif bahwa anggaran memiliki tujuan yang rasional dan teknis,
sebaliknya, peran simbolis yang seketika itu terlihat terpendam dalam proses sosial pada
organisasi dan lingkungannya. Tiada usaha untuk menyesuaikan prioritas untuk tujuan tertentu

19
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

dan membicarakan tentang kelakuan yang cacat. Faktanya, para penulis menyarankan bahwa
tujuan organisasi ditemukan melalui proses anggaran.
Lebih jauh, anggaran dan pengaturannya terdapat di bahasa akal sehat harian dari peserta.
Tentu saja, salah satu tujuan penulis adalah meneliti akuntansi melalui definisi para pelaku
tentang situasi (hal 225). Juga, tidak seperti Demski dan Feltham, Boland dan Pondy tidak
mencari pengembangan penjelasan yang bisa digeneralisasikan mengenai perilaku yang mungkin
bisa digunakan untuk memprediksi dan mengontrol perilaku seperti itu di cara yang sama.
Pernyataan mereka yang lebih bisa digeneralisasikan adalah: ada perpindahan konstan antara
raspek rasional dan kuantitatif dari organisasi dan juga aspek natural dan kualitatif (hal 226).
Karena generalisasi bukanlah tujuan mereka, para penulis membela penggunaan studi kasus
untuk memahami akuntansi sebagai pengalaman yang dialami (hal 226). Sayangnya, Boland dan
Pondy tidak jelas bagaimana kecukupan penjelasan mereka bisa dievaluasi. Pada halaman 226,
mereka menulis bahwa seorang peneliti harus memberi pandangan kritis pada definisi pelaku
tentang situasi. Ini semua berangkat dari ide Schutz tentang ilmuwan yang tidak mengevaluasi
dan tidak tertarik, dan dalilnya tentang kecukupan.
Perbedaan antara dua pendekatan ini pada penelitian ini menggambarkan kontribusi
penting pada penekanan interpretif. Pertama, perspektif ini mengindikasikan bahwa dalam
praktiknya informasi akuntansi bisa mengandung arti yang luas. Keluasan itu merupakan dasar
dari kenyataan tiba-tiba sosial dan akuntansi yang secara berkelanjutan didefinisikan ulang.
Sebagai tambahan, arti-arti ini akan didasari oleh perubahan konteks sosial, politik, dan sejarah.
Mereka tidak serta merta sejalan dengan definisi rasional negatif, seperti “berguna untuk
pembuatan keputusan yang efisien”. Jumlah akuntansi adalah representasi barang-barang dan
kejadian yang tidak cukup sebagaimana dialami oleh manusia. Karenanya, pelaku akan
cenderung melampaui formalitas angka angaka dan memanipulasi arti simbolis untuk
menyesuaikan dengan maksud tertentu mereka (Boland and Pondy (1983), Cooper, Hayes dan
Wolf (1981)) tentu saja Hayes (1983) menyarankan bahwa minat yang terus meluas terhadap
informasi akuntansi bisa jadi karena ambiguitas intrinsik yang mengizinkan pertukaran antar
grup kepentingan.
Yang kedua, tak hanya makna akuntansi yang didasari oleh struktur dan proses interpretif
yang rumit, mereka membantu menyusun kenyataan sosial yang terwujud (Berry, dkk., 1985;
Hayes, 1983; Boland dan Pondy, 1983; Cooper, Hayes dan Wolf 1981, Burchell, dkk., 1980).
Contohnya, tanggung jawab akuntansi tradisional memetakan organisasi membantu
menggabungkan pandangan tertentu hirarki, proritas, dan kekuasaan. Angka akuntansi memberi
pandangan kepada beberapa definisi dari keefektifan, efisiensi, dan mana yang diharapkan dan
mana yang memungkinkan. Dalam hal ini, angka akuntansi bisa digunakan untuk secara aktif
mengarahkan bias, mendefinisi parameter yang diijinkan dalam debat organisasi, dan untuk
mengesahkan minat bagian tertentu.
Informasi akuntansi secara khusus berguna untuk aktifitas pengesahan karena mereka
nampaknya memiliki rasionalitas netral dan teknis. Angka-angka tersebut sering diterima sebagai
hal yang lebih tepat dan ilmiah dibanding bukti bukti kualitatif.

20
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Bahkan diantara pelaku yang sadar mengenai ketidak tepatan angka-angka tersebut,
perdebatan publik terus diadakan di seputar angka tersebut karena itu dianggap arena yang tepat
buat diskusi. Jadi, dalam Boland dan Pondy (1983), gubernur Illinois melanjutkan menggunakan
anggaran sebagai bukti dari kesetiaannya yang bagus meski pada faktanya ia telah secara nyata
mengotak-atik angkanya. Akuntansi sering dianggap bahasa yang “sakral” (Bailey, 1977) yang
secara publik diterima. Sebaliknya, sebagai contoh, dengan mengekspos asal usul yang
meragukan dari angka-angka itu atau dengan meragukan prinsip-prinsip mentereng (minat
publik), bisa dianggap tidak sopan. Bailey berpendapat perketaan tidak sopan biasanya dilakukan
secara pribadi dimana kompromi asal asalan yang kemudian diterjemahkan sebagai bahasa
publik yang sakral seperti rasionalitas dan kemunculan urutan yang dijaga.
Yang ketiga, pertanyaan perspektif yang bisa diinterpretasikan adalah pandangan
tradisional tentang informasi sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah diberikan.
Informasi bisa digunakan untuk menyelaraskan rasionalitas setelah kejadian (Weick, 1979;
Cohen, March dan Olsen, 1972). Begitu juga informasi akuntansi bisa digunakan untuk meninjau
ulang dan merasionalisasikan tindakan dan juga untuk menunjukkan tujuan seolah olah tujuan itu
selalu ada. Sebagai tambahan, walaupun tujuan lokal bisa menmulai harapan untuk beberapa tipe
akuntansi, semua ini bisa saja bergabung dengan keberagaman yang lain, tujuan yang rawan
benturan seperti itu hasilnya tidak bisa dikatakan oleh pihak lain manapun. Seperti yang
dikatakan Burchell, Clubb, dan Hopwood (1985), walaupun akuntansi punya tujuan, entah tujuan
yang sengaja, akuntansi adalah mengenai investigasi empiris yang detail.
Terakhir, perspektif interpretif tidak menganggap bahwa konflik itu mau tidak mau
“cacat”. Konsep “cacat” tidaklah muncul karena tiadanya prioritas yang diberikan untuk tujuan
manusia tertentu. Tujuan dan prioritasnya dianggap diikut sertakan dalam interaksi manusia.
Seperti yang bisa dilihat, mengganti serangkaian asumsi filosofis tentang pengetahuan dan dunia
nyata memberi kita tujuan baru untuk membuat teori, permasalahan yang beda dalam riset, dan
standar alternative untuk mengevaluasi validitas bukti penelitian. Banyak yang perlu diraih
dengan mengarahkan akuntansi menjadi bagian dari kehidupan nyata pelaku. Daripada
menyusun model yang membosankan tapi palsu pada tindakan manusia yang menganggap
adanya tujuan rasional yang disepakati. Akuntansi mencari definisi pelaku pada situasi dan
menganalisi bagaiman ini semua disatukan dalam kerangka sosial yang lebih besar. Penekanan
interpretative ini berharga sebagaimana yang ditunjukkan Burchell, dkk. (1980) kita tahu
bagaimana angka akuntansi harusnya berfungsi tapi kita hanya tahu sedikit tentang arti-artinya
dan peran yang mereka sebenarnya jalankan. Kecuali kalau informasi seperti itu didapatkan, kita
hanya mendapatkan gambaran abstrak dari wacana akuntansi yang terfosil dalam jurnal dan buku
teks yang tidak berkaitan dengan praktik.

ALTERNATIF YANG PENTING – ASUMSI-ASUMSI

Pekerjaan interpretif, walau bagaimanapun, ada kelemahannya. Telah ada tiga kritik
utama dalam pendekatan ini (habermas, 1978, Bernstein, 1976, dan fay, 1975). Pertama, telah
banyak didebatkan bahwa menggunakan tingkat kesepakatan pelaku sebagai standar menilai
21
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

kecukupan sebuah penjelasan itu sangat lemah. Bagaimana caranya seseorang bisa
menyelaraskan perbedaan mendasar antara peneliti dan pelaku? Juga, bagaimana seseorang
memilih antara penjelasan alternatif, seperti pada Marxist dan non-Marxist? Sampai saat ini isu
isu tersebut belum tuntas. Yang kedua, perspektif ini kurang dimensi efaluatif. Habermas (1978)
khususnya, berpendapat bahwa peneliti interpretif tidak bisa mengevaluasi kritis bentuk dari
hidup yang ia amati, jadi dia tidak bisa menganalisi bentuk dari “kesadaran yang salah” dan
dominasi yang mencegah pelaku dari mengetahui minat aslinya. Ketiga, peneliti interpretif
memulai dengan anggapan perintah sosial dan konflik yagng terkandung dalam skema
inetpretatif pada umumnya. Dengan keadaan ini dan fokus pada interaksi mikrososial, ada
kecenderungan untuk menafikan konflik utama pada minat diantara kelas-kelas sosial.
Kesulitan-kesulitan ini telah menaikkan berbagai macam usaha untuk menaikkan masalah dari
perspektif umum dan interpretif. Dalam filsafat dan sosiologi, beberapa penelitian yang
dicontohkan penulis seperti Poulantzas (1975), Lukacs (1971), Habermas (1970, 1978, 1976,
1971), dan Foucoult (1981, 1980, 1977). Meski ada beberapa perbedaan utama antara semua
tulisan itu, ada juga kesamaannya.

Keyakinan tentang Realitas Fisik dan Sosial


Pemikiran paling khusus bahwa mayoritas peneliti dalam perspektf ini sama-sama
menggunakan karya Plato, Hegel, dan Marx. Ini adalah keyakinan bahwa di setiap keadaan,
entah individu atau masyarakat, selalu ada potensial yang sudah tersusun sejak masa lampau
yang belum terisi. Semuanya diarenakan oleh keadaannya dan apa yang bukan keadaannya.
Secara khusus, manusia tidak terbatas untuk ada di keadaan tertentu, keberadaannya dan
lingkungan materinya tidak terkikis oleh keadaan mereka (Held, 1980:234). Sebaliknya, manusia
bisa mengenali, meraih, dan mengembangkan kemungkinan yang ada dalam setiap keadaan.
Inilah kualitas yang meembedakan manusia sebagai makhluk universal yang bebas. (Marcuse,
1968, 1941)
Walau begitu, potensi manusia dibatasi oleh sistem dominasi yangberlaku yang
mengasingkan manusia dari pernyataan diri. Hambatan material ini beroperasi pada level
kesadaran melalui material ekonomi dan hubungan politik. Pada level tertentu, konstruksi
ideologis bisa saja disematkan pada cara-cara konseptualisasi, dalam kategori akal sehat dan
keyakinan yang diterima begitu saja mengenai praktik sosial yang bisa diterima (lehman dan
tinker, 1985). Pada karya lainnya, represi bisa menjadi akibat melalui peraturan yang menguasai
interkasi sosial dan kepemilikan dan distribusi kesejahteraan.
Keyakinan lain mengenai hubungan antara bagian (individu, grup, organisasi) dan
keseluruhan (masyarakat). Peneliti kritis berpendapat bahwa karena smua hal yang terbatas
adalah hal itu sendiri dan lawannya, hal hal tersebut dianggap perincian terbatas yang selalu
tidak lengkap. Perincian itu ada hanya dalam dan melalui totalitas hubungan yang mana ia adalah
bagian dari hubungan tersebut. Maka dari itu, sesuatu yang terbatas itu apa, dan apa yang tidak
termasuk sesuatu yang terbatas, hanya bisa diraih oleh memahami serangkaian hubungan yang
mengelilinginya. Contohnya, akuntan bukanlah sesuatu yang terisolir. Mereka ada hanya dalam
konteks sebuah grup, kelas, dan institusi. Mereka adalah diri mereka sendiri dengan kebaikan
22
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

hubungan mereka sebagai penjual jasa, pegawai, professional, dan lain sebagainya. Dalam cara
ini, bentuk sejati dari kenyataan tidak terletak pada partikuler tapi juga keseluruhan dunia yang
datang dan melewati partikuler.
Penekanan totalitas mengarah pada pandangan tertentu pada perbedaan subjek dan objek.
Struktur sosial dikonsepkan sebagai praktik objektif dan kesepakatan yang mana tiap individu
membuat ulang dan mengubahnya, tapi tidak akan ada sampai mereka yang mengadakan. Seperti
yang dikatakan Bhaskar (1979:45-46), “Masyarakat tidak berdiri independen dari aktivitas
manusia (kesalahan dalam menjadikan objek itu nyata). Tapi itu semua tidak semata-mata produk
dari kesalahan kesukarelaan)”. Malah, masyarakat menyediakan kondisi material yang
diperlukan untuk subjek kreatif agar beraksi. Pada waktu yang sama, aksi yang disengajakan
adalah kondisi yang diperlukan untukstruktur sosial. Masyarakat hanya ada dalam tindakan
manusia, dan tindakan manusia selalu menunjukkan dan menggunakan beberapa bentuk sosial
atau yang lainnya. Walaupun begitu, ia tidak bisa ddntifikasi dengan atau dikurangi pada yang
lainnya. Kenyataan sosial itu, pada akhirnya secara subjektif terbentuk dan secara objektif asli.
Lebih jauh, karena keyakinan dalam potensi manusia, ada penekanan dalam meneliti
perkembangan sejarah pada entitas yang terkonsep sebagai yang akan terjadi. Kenyataan sebagai
keseluruhan, sebagaimana tiap bagian partikulernya, dipahami sebagai perkembangan dari tahap
lebih awal dari keberadaannya dan berproses menjadi hal yang lain. Tentu saja, stiap tahap
keadaan ditangkap hanya melalui pergerakan dan perubahan, dan identitas dari fenomena
tertentu hanya dapat dikuak dengan merekonstruksi proses dimana entitas itu mengubah diriniya
sendiri. “untuk mengetahui seperti apa sesuatu itu aslinya, kita harus melihat lebih jauh dari
keadaan aslinya….. dan mengikuti proses dimana ia berubah menjadi sesuatu yang lebih
darinya…. Kenyataannya adalah seluruh dinamika dari perubahannya menjadi sesuati yang lain
dan menyatukan ia dengan lainnya” (Marcuse, 1941:49).

Keyakinan tentang Pengetahuan


Para filsuf kritis meyakini bahwa standar-standar yang menilai sebuah penjelasan ilmiah
sudah memadai adalah pengertian yang temporal dan terikat konteks. Kebenaran sedang dalam
proses disepakati dan didasarkan pada praktik-praktik sosial dan historis. Tidak ada fakta teori-
independen yang dapat membuktikan atau menyangkal sebuah teori secara meyakinkan. Selain
itu, standar interpretatif (tingkat konsensus antara peneliti dan aktor) dianggap tidak memadai. Di
luar konsensus yang lemah ini, para filsuf kritis tidak setuju dengan apa yang diklaim oleh
kriteria yang digunakan untuk menilai kebenaran.
Foucault, misalnya, menghindari kriteria transenden dalam membentuk kebenaran. Dia
menulis [1977, hal. 131], "kebenaran berasal dari dunia ini: kebenaran dibuat karena ada
berbagai bentuk kendala. Dan kekuasaan menimbulkan efek kekuatan reguler. . . ." Ilmuwan
tidak dapat membebaskan kebenaran dari setiap sistem kekuasaan; ia hanya dapat melepaskan
kekuatan kebenaran dari bentuk-bentuk dominasi di mana ia beroperasi pada waktu tertentu.
Sebaliknya, Habermas [1976] berupaya membangun proses kuasi-transendental untuk pilihan
teori rasional, yang secara simultan mengakui sifat semua norma yang berlandaskan historis dan

23
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

berusaha untuk melampauinya. Dalam menghadapi keragaman substantif seperti itu, tidak
mungkin kita menetapkan standar umum untuk evaluasi teori dalam perspektif kritis.
Akhirnya, metode penelitian yang disukai oleh peneliti kritis cenderung
mengesampingkan pemodelan matematis atau statistik untuk situasi-situasi yang ada. Penelitian
dilakukan di organisasi dan lingkungan sosial mereka. Selain itu, metode kuantitatif
pengumpulan dan analisis data digunakan pada tingkat yang lebih rendah. Ada penekanan yang
lebih besar pada penjelasan historis yang terperinci (Foucault menekankan "pendekatan
genealogis") dan studi etnografi yang "tebal" tentang struktur dan proses organisasi yang
menunjukkan hubungan sosial mereka. Penekanan pada studi sejarah jangka panjang sangat
penting mengingat keyakinan sebelumnya bahwa identitas suatu objek/peristiwa hanya bisa
didapat melalui analisis sejarahnya — apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan apa yang
tidak akan terjadi. Analisis historis semacam itu juga memberikan fungsi kritis untuk
mengungkap kekakuan dan hubungan ahistoris yang membatasi potensi manusia.

Keyakinan tentang Dunia Sosial


Peneliti kritis melihat individu bertindak dalam matriks makna intersubjektif. Dengan
demikian, seperti halnya peneliti interpretatif, bisa dipahami kalau para ilmuwan sosial perlu
mempelajari bahasa subjek/objek mereka. Proses berkomunikasi menuju sebuah pemahaman
juga disepakati tergantung pada konteks karena para ilmuwan sosial perlu tenggelam dan terlibat
langsung dengan konteks sosial historis mereka. Namun, para peneliti kritis berpendapat bahwa
interpretasi itu sendiri tidak cukup. Interpretasi tidak dapat mengakui bahwa dunia tidak hanya
dimediasi secara simbolis, tetapi juga dibentuk oleh kondisi dan dari dominasi material. Bahasa
itu sendiri dapat menjadi media represi dan kekuatan sosial. Oleh karena itu, bagi Habermas,
tindakan sosial hanya dapat dipahami dalam suatu kerangka yang didasari oleh bahasa,
pekerjaan, dan dominasi. Melalui kerangka seperti itu, skema dan tradisi simbolis juga akan
dikritik sehingga hubungan mereka dengan bentuk-bentuk dominasi materi lainnya terungkap
[Held, 1980, hlm. 307-317].
Sebuah kritik terhadap ideologi dianggap perlu karena konflik kepentingan dan
perpecahan yang mendasar tampak dalam masyarakat (memang, bersifat endemik bagi
masyarakat kontemporer) dan diwujudkan melalui bentuk-bentuk budaya dan organisasi.
Pembentukan seperti ini dipandang sebagai konstruksi kelas menengah, sebuah mikrokosmos
masyarakat yang mencerminkan dan mengkonsolidasikan hubungan-hubungan yang
mengasingkan. Oleh karenanya, perbedaan antara analisis tingkat sosial dan organisasi menjadi

24
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

kabur. Satu tingkat tampak mendukung dan didukung oleh pihak lainnnya, dan konflik dalam
organisasi menciptakan dan diciptakan oleh divisi-divisi sosial.

Teori dan Praktik


Teori pada saat ini memiliki hubungan khusus dengan dunia praktik. Hal ini sebaiknya
dibahas bersamaan dengan "kebebasan semangat manusia," yaitu, menumbuhkan kesadaran
terhadap kondisi-kondisi terbatas. Hal ini melibatkan pendemonstrasian apa yang disebut dengan
hukum sosial objektif dan universal hanyalah produk dari bentuk-bentuk dominasi dan ideologi
tertentu. Melalui analisis semacam itu, perubahan sosial dimaksudkan5 agar dapat dimulai
sedemikian rupa sehingga ketidakadilan dan ketidaksetaraan dapat diperbaiki. Peneliti kritis
menolak posisi nilai yang secara tradisional didukung oleh para ilmuwan sosial ortodoks -
seorang ilmuwan tidak dapat mengevaluasi tujuan - dengan alasan bahwa hal itu mendukung
bentuk ketidakadilan yang melekat pada sistem hak properti saat ini dan dalam penggunaan nilai
surplus ekonomi untuk kepentingan kapitalis. Posisi moral mereka adalah bahwa dominasi
seperti itu harus diekspos dan diubah. Oleh karena itu, teori sosial dipandang memiliki imperatif
kritis. Memang, hal ini identik dengan kritik sosial.
Tabel 4 menguraikan asumsi-asumsi ini.

TABEL 4
ASUMSI DOMINAN DARI PERSPEKTIF KRITIS

A. Keyakinan tentang Pengetahuan


Kriteria untuk menilai teori bersifat temporal dan terikat konteks. Penelitian dan studi kasus
historis dan etnografis lebih umum digunakan.

B. Keyakinan tentang Realitas Fisik dan Sosial


Manusia memiliki potensi batiniah yang teralienasi (dicegah kemunculannya secara penuh)
melalui mekanisme restriktif. Objek hanya dapat dipahami melalui studi tentang perkembangan
historis nya dan perubahan dalam totalitas hubungan.

Realitas empiris ditandai dengan hubungan nyata yang objektifyang ditransformasikan dan
direproduksi melalui interpretasi subjektif.

5
Peneliti kritis berbeda pendapat mengenai peran yang tepat untuk ahli teori nantinya ketika menginisiasi
perubahan sosial. Habermas [1974], misalnya, membedakan antara (a) pembentukan teori kritis yang
dapat diterapkan secara terapeutik untuk memulai proses "pencerahan" dan refleksi diri di antara para
aktor, dan (b) pemilihan strategi politik yang tepat. Tugas (a) adalah tugas ilmuwan sosial sementara tugas
(b) milik para aktor (komunitas). Habermas bersusah payah untuk menekankan bahwa teori tidak
memberikan dasar, kondisi, atau justifikasi untuk keputusan politik sehari-hari. Posisi ini dapat
dikontraskan dengan Althusser [1969] dan Poulantzas [1975] yang melihat Marxisme sebagai ilmu yang
dapat digunakan dalam mengembangkan strategi politik untuk membawa kelas pekerja ke tampuk
kekuasaan.

25
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Niat, rasionalitas, dan tindakan manusia diterima, tetapi masih dianalisis secara kritis menilik
pada keyakinan terhadap kesadaran dan ideologi palsu.

Konflik mendasar bersifat endemik bagi masyarakat. Konflik muncul karena ketidakadilan dan
ideologi dalam ranah sosial ekonomi dan politik yang mengaburkan dimensi kreatif orang.

C. Hubungan antara Teori dan Praktik.


Teori memiliki imperatif kritis: identifikasi dan penghapusan dominasi dan praktik-praktik
ideologis.

PERSPEKTIF KRITIS—KONSEKUENSI

Minat yang cukup besar telah ditunjukkan dalam mengembangkan penelitian akuntansi
dalam perspektif kritis.6 Untuk mengilustrasikan perbedaan antara pendekatan arus utama dan
perspektif kritis, dua penjelasan historis tentang pengembangan teori dan praktik akuntansi
dibandingkan: Chandler dan Daems [1979] dan Tinker, Merino, dan Neimark [1982].
Chandler dan Daems [1979] fokus pada pengembangan praktik akuntansi dari akhir abad
ke-19 hingga 1920-30. Mereka mulai dengan berargumen bahwa ada tiga fungsi ekonomi inti
yang perlu dilakukan dalam setiap sistem ekonomi. Ketiga fungsi tersebut adalah alokasi,
pemantauan, dan koordinasi kegiatan. Fungsi-fungsi ini dapat dilakukan oleh sejumlah struktur
alternatif di mana perusahaan dan pasar adalah yang paling penting. Pilihan struktur tergantung
pada mekanisme mana yang lebih efisien, yang dapat melakukan fungsi-fungsi ini dengan biaya
transaksi yang lebih rendah. Oleh karena itu, jika struktur perusahaan digunakan untuk mengatur
produksi ekonomi, hal ini dikarenakan perusahaan lebih efisien daripada pasar. Sebagai
tambahan, bagi perusahaan untuk terus mempertahankan keunggulan komparatif ini, ia harus
terus mengembangkan kontrol akuntansi yang efisien terhadapt biaya yang menyediakan
informasi yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan lingkungan yang berubah.
Bagi Chandler dan Daems, kontrol perusahaan dan akuntansi adalah bagian dari realitas
konkrit yang berkembang secara rasional sebagai respons terhadap kebutuhan terhadap
organisasi yang efisien. Perusahaan digambarkan sebagai sistem organik yang rasional,
berpikiran tunggal, yang berusaha bertahan dan mengadaptasi sistem akuntansinya untuk
mempertahankan keunggulan ekonominya. Pada hal. 4 gambaran tentang hal ini diperjelas
dengan mengidentifikasi perusahaan dengan aktivitas para pemilik dan manajer. Namun, orang-
orang sebagai konstruktor realitas tidak tampil dalam diskusi, dan ada sedikit diskusi mengenai
konflik dalam dan antar organisasi. Selain itu, konsep alokasi, pemantauan, hierarki, dan efisiensi
dianggap tidak bermasalah. Mereka tidak dianggap melanggengkan bias manajerial yang
ideologis dan memperkuat hubungan ekonomi yang tidak setara.
6
Lihat Armstrong [1985], Cooper dkk. [1985), Laughlin [1985), Lehman dan Tinker [19851, Puxty
119851, Tinker dan Neimark [akan datang], dan Willmott [1984, akan datang].

26
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Sebagai perbandingan, Tinker, Merino, dan Neimark [1982] menganggap wacana


akuntansi secara aktif terlibat dalam kontrol sosial dan konflik antara orang dari berbagai kelas.
Teori akuntansi tidak menyatakan kebenaran yang tidak ambigu yang terbebas dari nilai dan
independen dari konflik sosial dan historis. Para penulis fokus pada pengembangan konsep nilai
dari Abad Pertengahan sampai abad ke-20 dan berpendapat bahwa ini tidak dapat dijelaskan
sebagai evolusi rasional di mana lebih banyak kebijaksanaan secara bertahap berkumpul.
Sebaliknya, konsep nilai merupakan dan didasari oleh perjuangan sosial, khususnya dalam
bidang ekonomi. Secara khusus, konsep nilai tertentu menjadi dominan karena mereka
menguntungkan kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat selama periode tertentu.
Dengan demikian, dalam periode pra-perdagangan, nilai didefinisikan sebagai pekerjaan
yang diperlukan secara sosial untuk suatu produk [hal. 176]. Konsep nilai semacam itu dapat
diterima karena perdagangan pada waktu itu terjadi antar produsen kecil yang independen.
Namun, ketika perdagangan berkembang, konsep nilai dimodifikasi untuk memasukkan utilitas
dan harapan subjektif dari pemilik dan konsumen [hal. 177]. Ini terjadi karena keuntungan
pedagang berasal dari konsumen, khususnya dari perbedaan harga yang dibebankan dan yang
dibayarkan kepada produsen utama. Melalui modifikasi konsep nilai seperti itu, para pedagang,
disebutkan, mampu memperkuat posisi tawar mereka tergantung pada para produsen dan mampu
melegitimasi keuntungan mereka sebagai adil.
Demikian pula, asumsi neo-marginalis yang mendasari banyak akuntansi arus utama
dianggap tertarik (didasarkan pada kepentingan kelas dominan) dibandingkan menjadi netral
secara teoritis. Selain itu, asumsi-asumsi ini bersifat ideologis karena mereka mengaburkan
realitas lain seperti "ketidaksempurnaan pasar," distribusi pendapatan yang tidak merata, dan
ketidakadilan yang tertanam dalam sistem hak properti yang masih ada [hal. 191]. Akhirnya,
Tinker, Merino, dan Neimark [1982] berusaha untuk menetapkan peran baru untuk akuntansi dan
akuntan yang dianggap lebih adil dan tidak membingungkan.
Perbandingan singkat ini menunjukkan bahwa penelitian terhadap akuntansi sebagai
kritik sosial memiliki beberapa karakteristik penting. Pertama, akuntansi tidak lagi dipandang
sebagai aktivitas layanan yang rasional secara teknis yang terpisah dari hubungan masyarakat
yang lebih luas. Sebaliknya, akuntansi sebagai wacana dengan mode rasionalitas kalkulatif
tertentu dianggap merupakan dan didasari oleh konflik makro antar kelas yang berbeda
(misalnya, kapitalis/manajer vs pekerja, negara v perusahaan multinasional) [Knighs dan Col-
linson, 1985; Tinker, 1984; Tinker, Merino, dan Neimark, 1982]. Pada tingkat organisasi mikro,
kalkulus akuntansi melukiskan gambaran "kue" yang tersedia untuk distribusi dan melaporkan
bagaimana distribusi tersebut telah dibuat. Pada tingkat makro-sosial, angka-angka ini
mempengaruhi pembuatan kebijakan perpajakan, tawar-menawar upah, dan restrukturisasi
ekonomi. Dalam semua situasi ini, transfer kekayaan terlibat dan kalkulus akuntansi dipandang
memainkan (atau berpotensi bermain) peran penting dalam melakukan transfer tersebut.
Kedua, kritik menekankan totalitas hubungan (sosial, ekonomi, politis, ideologis).
Akibatnya, perspektif tersebut menimbulkan minat baru dalam fenomena makro-struktural
tertentu yang diabaikan dalam penelitian akuntansi arus utama. Contohnya adalah peran
informasi akuntansi di dalam regulasi dari dan oleh negara [Cooper dkk, 1985; Cooper, 1984;
27
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

Hopwood, 1984b; Tinker, 1984]. Negara memegang posisi penting dalam kompleks hubungan
manusia dan memperluas penggunaan informasi akuntansi. Di Inggris dan Australia, misalnya,
negara secara konstan menekankan perlunya audit efisiensi atau audit yang bernilai uang dan
pengembangan indikator kinerja untuk sektor publik. Namun, respon terhadap seruan untuk
akuntabilitas publik yang lebih besar ini mungkin tidak mengindikasikan bahwa mereka yang
ada di pemerintahan percaya pada keunggulan teknis dari metode manajemen keuangan yang
"rasional". Itu karena angka-angka akuntansi dapat diperoleh untuk melakukan tugas-tugas di
mana mereka tidak memiliki ap yang mereka butuhkan: kuantifikasi tukaran kesejahteraan dalam
kegiatan-kegiatan di mana input maupun output yang diinginkan tidak ditentukan secara jelas.
Oleh karena itu, informasi akuntansi/audit hanya dapat digunakan secara simbolis untuk
merasionalisasi atau melegitimasi hubungan kekuasaan.
Selain itu, penggunaan perhitungan akuntansi yang lebih besar di sektor publik bisa
terjadi karena negara merasa kesulitan untuk mengelola tuntutan modal dan tenaga kerja yang
terorganisir. Konflik struktural semacam itu dapat mewakili masalah makro-ekonomi yang harus
dilihat oleh negara untuk dikelola: inflasi, stagflasi, pengangguran jangka panjang, birokrasi
negara yang terus meningkat, dan peluang yang terbatas untuk meningkatkan pendapatan negara
dan mengurangi pengeluaran. Bagaimana prosedur akuntansi terlibat dalam pengelolaan
masalah-masalah ini? Lebih lanjut lagi, bagaimana masalah tersebut berhubungan dengan upaya
negara untuk mengatur perusahaan bisnis melalui akuntansi badan pembuat kebijakan dan
penetapan standar? Apakah standar akuntansi tidak lebih dari kompromi politik dalam arena
kompleks modal dan tenaga kerja yang terorganisir, pemerintah, dan profesi akuntansi? Apa jenis
peran yang dimainkan oleh pernyataan profesional ini mengingat minat yang berbeda tempat dan
tidak sama di lingkungan kerja? Tujuan publik mereka mungkin kontrol sektor publik atau ekses
manajerial/perusahaan. Bagaimana, jika kontrol semacam itu dilakukan?
Ketiga, pertanyaan seperti itu tidak hanya menekankan negara sebagai konstituensi
penting, pertanyaan-pertanyaan tersebut berfokus pada para akuntan sebagai kelompok
kepentingan yang terorganisir. Dalam perspektif kritis, profesi akuntansi tidak lagi dianggap
sebagai kelompok netral yang berkembang sebagai respon terhadap tuntutan rasional untuk
informasi yang berguna. Sebaliknya, ini adalah monopoli pekerjaan yang bercita-cita tinggi yang
berupaya memajukan kepentingan sosial dan ekonominya sendiri melalui (a) ideologi profesional
tertentu (misalnya, etika layanan universal), dan (b) pengaturan hubungan yang dapat berubah
dan ambigu dengan profesi dan perusahaan yang lain serta pemerintah [Puxty, 1984; Chua,
1982]. Misalnya, untuk mempertahankan keunggulan teritorialnya dari tantangan para insinyur,
penasihat investasi, dan negara, profesi akuntansi di AS, Inggris, dan Australia harus
melembagakan kontrol keanggotaan baru dan badan penetapan standar. Namun, reformasi
semacam itu, sering diklaim sebagai "perlindungan publik" (lihat Willmott [1985] untuk kritik
terhadap gagasan ini), bukan terhadap profesi tersebut.
Keempat, fokus pada totalitas juga mempromosikan studi dari organisasi yang
mengintegrasikan tingkat analisis mikro dan makro. Hal ini berdampak penghindaran perbedaan
tradisional antara manajemen dan akuntansi keuangan. Misalnya, hubungan eksploitatif atau
bentuk dominasi di tingkat masyarakat dianggap tercermin dan dipengaruhi lewat organisasi
28
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

[Habermas, 1978; Foucault, 1977]. Foucault menulis bahwa kontrol sosial tersebar luas secara
diam-diam di lembaga-lembaga seperti sekolah, keluarga, penjara, dan rumah sakit dan berada di
tangan para ahli di mana pengetahuan mereka memiliki efek kekuatan.
Argumennya diambil oleh Crawford [1984] dan Miller dan O'Leary [1984] yang
berpendapat bahwa ahli akuntansi menggunakan kekuatan di pabrik melalui prosedur seperti
akuntansi biaya standar. Teknik akuntansi semacam itu membentuk alat manajerial yang kuat
untuk mendisiplinkan dan mengendalikan pekerja. Hal tersebut menetapkan norma-norma
perilaku yang "tepat" dan hasil yang "diinginkan", sehingga membatasi (menormalkan) variasi
dan kreativitas individu. Ini juga mengingatkan para pekerja bahwa mereka selalu diamati,
diawasi, dan diperintah. Melalui kontrol sosial semacam itu, pekerja menjadi unit yang lebih bisa
diatur di dalam perusahaan dan masyarakat secara umum.
Akhirnya, teori kritis mengklaim bahwa pandangan informasi akuntansi sebagai kontrol
sosial dan sebagai mediator konflik sering dikaburkan (dibingungkan) oleh ide-ide ideologis
yang kuat yang tertanam dalam pemikiran akuntansi arus utama. Akuntansi diklaim sebagai
kegiatan layanan yang "tidak memperdulikan efek, tapi lebih kepada bagaimana caranya
mencapai tujuan manusia," ketika faktanya tujuan para pemilik modal secara implisit diberi
prioritas. Juga, akuntan digambarkan sebagai profesional yang independen terhadap bias dan
menawarkan layanan universal kepada masyarakat. Namun, klaim semacam itu dipandang sangat
meragukan. Akibat sulitnya pemenuhan pengaturan terhadap cita-cita profesional independensi
dan kompetensi pada tingkat praktisi individu, pengawasan teman sebaya seringkali hanya
bersifat retoris dan tidak nyata [Larson, 1977].
Riset akuntansi arus utama juga dikritik karena melanggengkan sebuah pandangan yang
diobjeckkan (terasing) terhadap manusia. Pekerja dipandang sebatas angka, biaya yang harus
diminimalkan sementara laba yang diperoleh orang lain lebih diutamakan. Seperti yang
ditunjukkan Cherns [1978], dalam akuntansi, alih-alih organisasi dipandang sebagai sumber daya
bagi orang-orang, mereka didorong untuk menganggap diri mereka sebagai sumber daya untuk
tujuan organisasi yang lebih besar dari laba dan arus kas yang lebih banyak. Akhirnya, seperti
yang dibahas sebelumnya, konsep konflik struktural dan dominasi yang tidak adil tidak masuk ke
dalam model akuntansi utama dari tujuan organisasi. Melalui pemeliharaan ide-ide ini, teori dan
praktik akuntansi yang masih ada dipandang sebagai bentuk ideologi yang mengisolasi orang
dari esensi "sejati" mereka.
Memang, Lehman dan Tinker [1985] berpendapat bahwa wacana akuntansi merupakan
bagian dari "alat ideologis" negara. Dengan menggunakan karya Alt-husser, mereka berpendapat
bahwa ideologi lebih kepada ide-ide palsu yang diabadikan oleh, misalnya, media massa.
Ideologi adalah "representasi dari hubungan imajiner individu dengan kondisi nyata keberadaan
mereka" [Lehman dan Tinker, 1985, hal. 9]. Ia mewarisi praktik-praktik sosial dan simbol-simbol
yang diterima begitu saja yang digunakan orang untuk menafsirkan dan mengatur dunia mereka.
Literatur akuntansi, dengan secara halus mempromosikan pandangan khusus negara, "pasar
bebas," dan pentingnya bisnis, dikatakan melembagakan versi bias konflik struktural.
Penelitian yang dimulai oleh perspektif kritis jelas berbeda dari yang ditawarkan oleh
pendekatan arus utama atau interpretatif. Ini menimbulkan tantangan khusus bagi peneliti
29
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

akuntansi dan akuntansi sebagai disiplin ilmu untuk mengadopsi posisi nilai yang sangat berbeda
yang mungkin tidak mudah diterima oleh akuntan arus utama. Ada banyak juga kritik dan
perdebatan intra-disiplin. Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, ahli teori kritis tidak memiliki
standar filosofis yang sama untuk evaluasi teori. Teori atau penjelasan apa yang bisa diterima
masih diperdebatkan. Selain itu, para pendukung dari suatu bentuk teori kritis dapat dikritik pahit
oleh penulis lain yang juga bekerja dalam tradisi Marxis (misalnya, lihat diskusi karya Haber-
mas oleh Anderson [1976] dan Slater [1977]). Namun, karakteristik terakhir dari perbedaan
pendapat utama di antara para akademisi ini juga hadir dalam perspektif arus utama dan
perspektif interpretatif.
Singkatnya, perspektif ini menawarkan wawasan baru yang layak dipertimbangkan.
Karena negara memainkan peran yang semakin meningkat dalam domain ekonomi, karena
penggunaan informasi akuntansi meluas di sektor ekonomi swasta dan publik, dan ketika
akuntan menjadi lebih terlibat dengan pembuatan kebijakan di tingkat makro, mungkin tidak lagi
berguna untuk membedakan efek politis/sosial• dari dampak ekonomi jumlah akuntansi. Juga
tidak ada gunanya memisahkan organisasi dari hubungan struktural yang lebih luas. Kritik
kemudian dapat menawarkan cara memahami peran akuntansi dalam konteks yang kompleks ini.

KESIMPULAN

Tulisan ini telah berusaha untuk memindahkan debat akuntansi dari jalan buntu
paradigma "tidak dapat dibandingkan" yang tidak dapat dievaluasi secara rasional. Pendapatnya
adalah bahwa pemikiran akuntansi arus utama didasarkan pada serangkaian asumsi umum
tentang pengetahuan dan dunia empiris yang mencerahkan sekaligus memperbudak. Asumsi-
asumsi ini menawarkan wawasan tertentu tetapi mengaburkan yang lain. Dengan mengubahnya,
wawasan baru dapat diperoleh yang berpotensi dapat memperluas pengetahuan kita tentang
sepak terjang akuntansi dalam konteks tindakan organisasi dan masyarakat. Dua alternatif utama
didiskusikan: interpretatif dan kritis. Diharapkan bahwa tantangan yang ditimbulkan oleh
alternatif ini akan merangsang pertimbangan dan perdebatan.

LAMPIRAN 1
KESULITAN YANG DIALAMI DENGAN KERANGKA THE BURRELL DAN MORGAN
[1979]
Pertama, semua asumsi disajikan sebagai dikotomi yang ketat; misalnya, seseorang dapat
berasumsi bahwa manusia ditentukan oleh lingkungan sosialnya atau mereka sepenuhnya
mandiri dan berkemauan bebas. Ini tidak mencakup posisi-posisi seperti yang dimiliki Bhaskar
[1979, hlm. 31-91], yang berpendapat bahwa meskipun masyarakat ada sebelum individu dan
berbeda dari individu, mereka terus bertambah dan diubah oleh tindakan manusia yang
disengaja. Juga tidak mengarah pada apresiasi penuh terhadap argumen Liabermas [1978] bahwa
30
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

meskipun individu bertindak dan membentuk makna, mereka mungkin masih hidup dalam
struktur dominasi dalam masyarakat. Penggunaan dikotomi yang saling tidak berinteraksi dan
derivasi paradigma yang tidak dapat "disintesis" [Burrell dan Morgan, 1979, hal. 25] gagal
menemukan upaya filosofis untuk mengatasi dikotomi yang tidak memuaskan tersebut.
Kedua, kerangka ini menganut gagasan relativistik yang kuat tentang kebenaran dan
alasan ilmiah. Dipengaruhi oleh gagasan Kuhn [1970] tentang pengalaman konversi, Burrell dan
Morgan [1979, hlm. 24-25] menyiratkan bahwa pilihan dan evaluasi paradigma tidak dapat
dibenarkan atas dasar ilmiah yang rasional. Penafsiran Kuhn ini mendorong irasionalisme (tidak
ada alasan yang baik untuk lebih memilih satu teori daripada yang lain) sebagai dasar bagi
pilihan teori untuk salah membaca niatan rasionalnya [lihat Bernstein, 1983; Gutting, 1980].
Sebaliknya, Kuhn [1970, hlm. 199-200) secara eksplisit menulis bahwa menerima tesis yang
menyatakan bahwa pilihan teori bukanlah hanya masalah bukti deduktif tidak menyiratkan
bahwa tidak ada alasan bagus untuk didorong dengan cara tertentu. Kuhn melanjutkan dengan
mengutip kriteria evaluatif tertentu yang "biasanya disebutkan oleh para filsuf ilmu" seperti
akurasi, kesederhanaan, dan keberhasilan. Namun kriteria ini tidak universal dan tetap tetapi
terbuka dalam penerapan dan pembobotannya.
Membaca Kuhn sebagai penganjur irasionalisme berarti kehilangan pokok utamanya:
bahwa gagasan tradisional tentang sesuatu yang membentuk pilihan ilmiah rasional tidak
memadai dan perlu dimodifikasi agar dapat lebih dipahami dalam artian bahwa pilihan itu adalah
sebuah kegiatan rasional. Selain itu, ada ketegangan mendasar dalam argumen Burrell dan
Morgan. Di satu sisi, mereka tampaknya menerima argumen Kuhn bahwa tidak ada bahasa
transhistoris, netral, permanen (serangkaian kriteria) untuk mengevaluasi teori-teori ilmiah. Ini
barangkali merupakan dasar untuk berpendapat bahwa setiap paradigma saling tidak berinteraksi
satu sama lain, tidak dapat dibandingkan, dan tidak dapat disintesis secara valid. Namun dengan
mengadopsi sikap non-evaluatif, Burrell dan Morgan mencoba apa yang Kuhn tolak —
penggunaan bahasa atau kerangka yang sepenuhnya netral di mana paradigma saingan dapat
sepenuhnya diungkapkan! Burrell dan Morgan mengaku memberikan setiap paradigma
kesempatan untuk berbicara bagi dirinya sendiri [hal. 395]. Di mana tepatnya "posisi kelima"
yang istimewa dan non-evaluatif ini berada? (Mungkin itu ada di luar empat paradigma yang
diusulkan oleh penulis!) Dengan demikian, Burrell dan Morgan tampaknya menerima sekaligus
menolak secara bersamaan keberadaan bahasa netral untuk diskusi lintas-paradigmatik.
Selain itu, relativisme laten Burrell dan Morgan telah banyak dikritik oleh para filsuf
sains [lihat Hollis dan Lukes, 1982; Gutting, 1980; Lakatos dan Musgrave, 1970]. Relativisme
itu referensial diri dan paradoksal. Karena, secara implisit atau eksplisit, relativis menyatakan
bahwa posisinya benar, namun relativis juga menegaskan bahwa karena kebenaran itu relatif, apa
yang dianggap benar mungkin juga salah. Akibatnya, relativisme itu sendiri mungkin benar dan
salah.
Akhirnya, seperti yang ditunjukkan Hopper dan Powell [1985], pemisahan strukturalis
radikal dari paradigma humanis radikal tidak didukung dengan baik di dalam sosiologi itu
sendiri, yang didasarkan pada bacaan perdebatan argumen Marx yang kontroversial. Selain itu,
pemisahan seperti itu tidak cukup menempatkan pekerjaan yang berupaya untuk
31
The Accounting Review, Vol. 61, No. 4 (Okt, 1986), 601-632.

mengintegrasikan aspek strukturalis dan idealis dari tulisan-tulisan Marx (Habermas, 1976;
Poulantzas, 1973).

32

Anda mungkin juga menyukai