Anda di halaman 1dari 10

PARADIGMA KRITIS

2.1. PARADIGMA KRITIS CHUA


Chua (1986) mengungkapkan bahwa pendekatan interpretif memiliki kelemahan.
Terdapat tiga kritik terhadap paradigma interpretif ini (Habermas, 1978; Bernstein, 1976; Fay,
1975 dalam Chua, 1986) sebagai berikut. Pertama, persetujuan pelaku sebagai standar penilaian
kelayakan penjelasan masih menjadi ukuran yang sangat lemah. Kedua, perspektif kurang
mempunyai dimensi evaluatif. Habermas (1978) berpendapat bahwa peneliti interpretif masih
tidak mampu mengevaluasi bentuk kehidupan sehingga tidak mampu menganalisa bentuk
“kesadaran yang salah” dan dominasi yang mencegah pelaku untuk mengetahui kepentingan
akan kebenaran. Ketiga, peneliti interpretif memulai dengan asumsi order sosial dan konflik yang
berisi skema interpretif, sehingga terdapat kecenderungan untuk mengacuhkan konflik
kepentingan antar kelas dalam masyarakat.
Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam paradigma interpretif, maka paradigma
kritis dikembangkan dari konsepsi kritis terhadap berbagai pemikiran dan pandangan yang
sebelumnya. Paradigma kritis menggunakan bukti ketidakadilan sebagai awal telaah, dilanjutkan
dengan merombak struktur atau sistem ketidakadilan dan dilanjutkan dengan membangun
konstruksi baru yang menampilan sistem yang adil.
Chua (1986) membagi paradigma krits menjadi empat prespektif, yaitu keyakinan atas
kenyataan sosial dan fisik (Beliefs about Physical and Social Reality), keyakinan atas
pengetahuan (Beliefs about Knowledge), keyakinan atas dunia sosial (Beliefs about the Social
World) dan hubungan antara teori dan praktek (Theory and Practice). Kesulitan-kesulitan ini
telah melahirkan berbagai upaya untuk mengatasi masalah perspektif mainstream dan interpretif.
Dalam filsafat dan sosiologi, karya semacam itu dicontohkan oleh para penulis seperti
Poulantzas [1975], Lukacs [1971], Habermas [1979, 1978, 1976, 1971], dan Foucault [1981,
1980, 1977]. Meskipun ada perbedaan besar antara karya para penulis ini, namun ada juga
kesamaan.

1
1. Prespektif Teori Kritis
a. Keyakinan atas Kenyataan Sosial dan Fisik (Beliefs about Physical and Social
Reality),
Gagasan paling khas dari sebagian besar peneliti berasal dari karya Plato, Hegel dan
Marks, yaitu keyakinan bahwa setiap keadaan eksistensi, baik individu atau masyarakat,
memiliki potensi yang secara historis merupakan bagian yang tidak terpenuhi.
Segalanya terjadi apa adanya dan apa yang tidak ada. Peneliti kritis berpendapat bahwa
setiap hal adalah terbatas, baik terbatas sendiri atau kebalikannya. Sesuatu yang khusus
hanya terjadi di dalam dan melalui totalitas hubungan di mana ia menjadi bagiannya.
Oleh karena itu, hal yang terbatas dan yang mustahil hanya dipahami dengan
memahami himpunan relasi yang mengelilinginya.
Struktur sosial dikonseptualisasikan sebagai praktik obyektif dan konvensi yang
direproduksi serta diubah oleh individu. Bhaskar (1979) mengatakan bahwa masyarakat
tidak ada yang terlepas dari aktivitas manusia (error of reifikation) tetapi bukan semata-
mata hasil dari aktivitas tersebut (error of voluntarism).

b. Keyakinan atas Pengetahuan (Beliefs about Knowledge)


Kebenaran disepakati dan didasarkan pada praktik-praktik sosial dan historis.
Tidak ada teori fakta independen yang dapat membuktikan atau menyanggah teori
secara meyakinkan. Selain itu, standar interpretif (tingkat konsensus antara peneliti dan
aktor) dianggap tidak cukup. Di luar konsensus yang lemah ini, para filsuf kritis tidak
setuju mengenai kriteria tepat yang dapat digunakan untuk menilai klaim kebenaran.
Foucault (1977) menyatakan bahwa kebenaran adalah sesuatu dari dunia ini. Hal
tersebut diproduksi hanya berdasarkan berbagai bentuk kendala yang menginduksi efek-
efek reguler dari kekuasaan. Ilmuwan tidak dapat membebaskan kebenaran dari setiap
sistem kekuasaan dan hanya dapat menangkap kekuatan kebenaran dari bentuk-bentuk
dominasi di mana hal tersebut beroperasi pada waktu tertentu.
Metode penelitian yang disukai oleh peneliti kritis cenderung mengecualikan
pemodelan matematika atau statistik situasi. Penelitian berlokasi di organisasi dan

2
lingkungan sosial mereka. Selain itu, metode kuantitatif pengumpulan data dan analisis
digunakan untuk tingkat yang lebih rendah.

c. Keyakinan atas Dunia Sosial (Beliefs about Social World)


Peneliti kritis memandang individu bertindak dalam matriks makna
intersubjektif. Seperti peneliti interpretatif, ilmuwan sosial perlu mempelajari bahasa
subjek atau objeknya. Proses untuk mencapai suatu pemahaman menjadi tergantung
pada konteks ketika para ilmuwan sosial tenggelam dan terlibat dalam konteks
sosiohistoris mereka. Namun, para peneliti kritis berpendapat bahwa interpretasi itu
sendiri tidak mencukupi. Ia tidak dapat menghargai bahwa dunia tidak hanya dimediasi
secara simbolis, tetapi juga dibentuk oleh kondisi-kondisi material dari dominasi.

d. Hubungan antara Teori dan Praktek (Theory and Practice)


Teori memiliki keterkaitan dengan dunia praktik. Teori harus berkaitan dengan
"freedom of human spirit", yaitu membawa kesadaran akan kondisi-kondisi yang
membatasi. Hukum sosial obyektif dan universal hanyalah produk-produk dan bentuk-
bentuk tertentu dari dominasi dan ideologi. Melalui analisis tersebut, perubahan sosial
dimulai sehingga ketidakadilan dan ketidakadilan dapat diperbaiki.

2. Karakteristik Akuntansi Sebagai Kritik Sosial


Chua (1986) menunjukkan bahwa penelitian akuntansi sebagai kritik sosial memiliki
beberapa karakteristik sebagai berikut.
a. Akuntansi tidak lagi dilihat sebagai teknis secara rasional, namun aktivitas pelayanan
yang dipisahkan dari hubungan sosial yang luas. Akuntansi sebagai wacana dengan
modus tertentu dari rasionalitas kalkulatif disebut untuk membentuk dan dibentuk oleh
konflik makro antara berbagai kelas.
b. Kritik menekankan totalitas hubungan (sosial, ekonomi, politik, ideologis). Akibatnya,
perspektif ini menimbulkan minat baru dalam fenomena makro-struktural tertentu yang
diabaikan dalam penelitian akuntansi mainstream.
c. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak hanya menekankan Negara sebagai konstituen
yang penting, mereka berfokus pada akuntan sebagai kelompok kepentingan

3
terorganisir. Dalam perspektif kritis, profesi akuntansi tidak lagi berteori sebagai
kelompok netral yang berevolusi sebagai tanggapan terhadap tuntutan rasional untuk
informasi yang berguna. Sebaliknya, ini adalah monopoli pekerjaan yang bercita-cita
yang berusaha untuk memajukan kepentingan sosial dan ekonominya sendiri melalui
ideologi profesional tertentu dan kebijakan yang dapat diubah dan memiliki hubungan
ambigu antara profesi lain, korporasi dan pemerintah.
d. Fokus pada totalitas juga mendorong studi organisasional yang menganalisa tingkat
mikro dan makro. Hal ini memiliki efek menghindari perbedaan tradisional antara
manajemen dan akuntansi keuangan.
Perspektif teori kritis menawarkan wawasan baru yang layak dipertimbangkan. Negara
memainkan peran yang semakin meningkat dalam domain ekonomi, karena penggunaan
informasi akuntansi meluas di sektor ekonomi swasta dan publik. Akuntan menjadi lebih
terlibat dengan pembuatan kebijakan di tingkat makro, sehingga terdapat efek politik atau
sosial atas pelaporan keuangan.

2.2 PARADIGMA KRITIK BURREL DAN MORGAN


1. Paradigma Humanis Radikal
a. Struktur Paradigma
Paradigma humanis radikal terdiri dari aliran pemikiran idealis subjektif dan
objektif, yang keduanya berasal dari idealisme Jerman. Selain itu, dimungkinkan
untuk mengidentifikasi pengaruh pembentukan solipsisme dan kategori pemikiran
anarkis yang sebagian besar berasal dari Hegelianisme. Terdapat empat stuktur
paradigma yaitu, solipsism, French existentialism, anarchistic individualism, dan
critical theory.
Solipsism memiliki karakter paling subjektif diantara paradigma lainnya.
Solipsism merepresentasikan posisi filosofikal tanpa pengaruh sosiologikal yang
ekuivalen. French existentialism menempati rentang di bagian tengah. French
existentialisme mendapat pengaruh dari interpretasi dan beberapa psikiater dan
filosofis. Anarchistic individualism merupakan yang kurang subjektif diantara
paradigma yang lain. Critical theory mewakili garis utama perkembangan dalam

4
tradisi idealis objektif dan terletak di wilayah yang paling tidak subjektivis dari
paradigma humanis radikal.

b. Critical Theory
Teori kritis merepresentasikan pemikiran sosilogi yang dibangun oleh Marx.
Teori kritis adalah merek filsafat sosial yang berusaha beroperasi secara simultan
pada tingkat filosofis, teoretis, dan praktis. Teori tersebut merupakan tradisi idealis
Kant di mana pendukungnya berusaha untuk mengungkapkan masyarakat apa
adanya, untuk membuka kedok esensi dan mode operasinya dan meletakkan dasar
bagi emansipasi manusia melalui perubahan sosial yang mendalam. Para penganut
teori kritis berada pada kondisi yang sama dalam melakukan pekerjaan. Semuanya
merupakan hubungan atara konsep-konsep kunci seperti totality, consciuness,
alienation dan critique.
1) Konsep Utama dan Orientasi
Totality, gagasan bahwa setiap pemahaman masyarakat harus
merangkul secara keseluruhan dunia objektif dan subjektif yang menjadi ciri
zaman tertentu. Totalitas mencakup segalanya dan tidak memiliki batas.
Pemahaman tentang totalitas ini harus mendahului pemahaman elemen-
elemennya, karena keseluruhan mendominasi bagian-bagian dalam arti yang
mencakup semua.
Consciusness, kekuatan yang pada akhirnya menciptakan dan
menopang dunia sosial. Kesadaran dihasilkan secara internal tetapi
dipengaruhi oleh bentuk-bentuk yang diasumsikannya melalui proses
objektifikasi dan dialektika antara dunia subjektif dan objektif.
Alienation, keadaan di mana, dalam totalitas tertentu, sebuah irisan
kognitif didorong antara kesadaran manusia dan dunia sosial yang
diobjektifkan, sehingga manusia melihat apa yang pada dasarnya adalah
ciptaan kesadarannya sendiri dalam bentuk realitas eksternal yang keras dan
mendominasi. Irisan ini adalah irisan keterasingan, yang menceraikan

5
manusia dari dirinya yang sebenarnya dan menghalangi pemenuhan
potensinya sebagai manusia.
Critique, dalam kritik mereka terhadap masyarakat kontemporer, para
ahli teori kritis memusatkan perhatian pada bentuk dan sumber keterasingan,
yang mereka lihat sebagai penghambat kemungkinan pemenuhan manusia
yang sebenarnya. Berbagai eksponen dari perspektif memiliki pendekatan
yang berbeda pada berbagai tingkat umum.

2) Pandangan Teori Kritis


a) Lukács berfokus pada konsep reifikasi, yang memberikan solusi
sosiofilosofis untuk masalah epistemologis dan praktis yang dihadapi
Marxisme pada 1920-an.
b) Gramsci berfokus pada gagasan hegemoni ideologis sebagai cerminan
sistem kepercayaan di antara proletariat yang dipupuk oleh kelas
penguasa. Dalam pandangannya, sistem kepercayaan menekankan
pentingnya ketertiban, otoritas dan disiplin, dan disebarkan melalui
institusi seperti keluarga, sekolah, dan tempat kerja.
c) Marcuse melalui gagasannya tentang manusia satu dimensi, memusatkan
perhatian pada karakteristik yang mengasingkan yang dilihatnya tertanam
dalam pertumbuhan rasionalitas bertujuan dalam masyarakat industri
maju. Secara khusus, ia menekankan peran teknologi, sains, dan logika
yang mengasingkan. Ini melengkapi kekuatan lain yang diidentifikasi
dalam karyanya sebelumnya yang berkaitan dengan represi libido yang
berlebihan dan pemeliharaan tenaga kerja yang bahagia melalui
penciptaan kemakmuran dan kebutuhan palsu.
d) Habermas berfokus pada peran yang dimainkan bahasa sebagai kekuatan
asing dalam semua aspek atau kehidupan sosial. Teorinya tentang
kompetensi komunikatif mencari kesamaan dalam interaksi manusia,
baik verbal, seksual, produktif atau apa pun, dan berusaha menunjukkan
bagaimana dalam masyarakat Barat kontemporer ada unsur distorsi

6
komunikatif yang terletak di jantung, dan tingkat paling dasar, dari
keterasingan manusia.

c. Anarchistic Individualism
Individualisme anarkistik mewakili satu perspektif yang menganjurkan
kebebasan individu total, tidak terhalang oleh segala bentuk regulasi eksternal atau
internal. Penolakan individualisme anarkis terhadap kategori 'sosiologis'
menempatkannya di luar perhatian Marxis untuk mengganti satu bentuk masyarakat
dengan yang lain melalui cara-cara revolusioner. Paradigma ini memberikan contoh
yang baik tentang filosofi perubahan radikal yang menekankan pentingnya faktor
subjektivis. Tidak menuntut banyak penganut sosiologis, namun menjadi gambaran
sebuah perspektif ekstrem dalam paradigma humanis radikal.

d. French Existentialism
Eksistensialisme Prancis mencerminkan perspektif filosofis yang secara tegas
ditempatkan dalam tradisi idealis subjektif yang diturunkan dari karya Fichte dan
Husserl. Dalam hal dimensi subjektif-objektif kita, ia menempati posisi antara
solipsisme dan karakteristik idealisme objektif dari teori kritis. Fenomenologi dan
eksistensialisme sering dilihat sebagai aliran pemikiran yang terkait, dan kadang-
kadang dianggap identik. Sartre mendefinisikan eksistensialisme dalam tradisi
Kierkegaard sebagai keyakinan bahwa “eksistensi mendahului esensi”. Keyakinan ini
menyiratkan bahwa 'kita harus mulai dari subyektif', yaitu individu ada sekarang
adalah dasar perhatian dari perusahaan filosofis.

2. Paradigma Strukturalis Radikal


a. Struktur Paradigma
Paradigma strukturalis radikal merupakan kumpulan teori sosial yang
kompleks yang merupakan hasil perpaduan dari pluralitas tradisi filosofis, politik dan
sosiologis. Paradigma ini dibagian menjadi Russian social theory, contemporary
Mediterranean Marxism, dan conflic theory.

7
Russian Social Theory berdiri dalam tradisi Engels, yang telah diperkenalkan
ke dalam pemikiran pra-revolusioner oleh Plekhanov. Pendekatan ini berbeda secara
politis. Pendekatan ini berbagi seperangkat asumsi meta-teoritis yang tidak diragukan
lagi positivistik dan naturalistik. Russian Social Theory berada di wilayah paradigma
yang paling objektif. Contemporary Mediterranean Marxism menempati posisi yang
berbeda pada dimensi perubahan regulasi-radikal skema analitis. Conflic Theory
adalah ekspresi sosiologis Weberianisme radikal dan melibatkan pemanfaatan
beberapa konsep Marxian.

b. Russian Social Theory


Pendekatan ini digunakan untuk mencari hubungan sosiofilosofikal
berdasarkan pendekatan ortodhox Marxism oleh Bukharin dan pendekatan
anarchistic communism oleh Kropotkin. Baik Kropotkin maupun Bukharin akrab
dengan ilmu-ilmu alam, keduanya menggunakan konseptualisasi 'ilmiah' sebagai
landasan sistem mereka dengan cara yang sepenuhnya positivistik dan keduanya
berkomitmen pada penggulingan revolusioner pemerintah Tsar pada khususnya dan
kapitalisme pada umumnya.

c. Contemporary Mediteraenan Marxism


Pendekatan ini digagas oleh Althusser dan Colleti. Mereka berusaha meredam
apa yang mereka lihat sebagai objektivisme ekstrem dari Marxisme 'vulgar' dan
subjektivisme teori kritis dengan mengambil posisi perantara. Mereka berpendapat
bahwa perspektif ekstrem dari arus pemikiran yang luas ini ditolak demi posisi
'perantara' yang, meskipun tidak diragukan lagi objektivis, akrab dengan, dan tidak
sepenuhnya tidak simpatik terhadap idealisme Jerman.

d. Conflict Theory
Teori ini digagas oleh Dahrendorf dan Rex. Kedua gagasan yang dinyatakan
oleh mereka menekankan bahwa perhatian utama harus dicurahkan pada struktur
kekuasaan dan otoritas dalam setiap analisis masyarakat kontemporer. Mereka

8
berdua menggunakan konsep kelas sebagai alat analisis dan mengakui konflik antara
kelompok kepentingan sebagai motor penggerak perubahan sosial

2.3 RAGAM TEORI KRITIS MUHADJIR


Menurut Muhadjir (2000) terdapat lima model teori kritis modern pada era
postpositivisme yang dikembangkan oleh berbagai cabang ilmu sebagai berikut.
1. Teori Kritis Freirian
Teori ini dikembangkan oleh Paulo Freire dengan memproblemakan realitas alam,
budaya, dan sejarah di mana masyarakat terlibat langsung. Sedangkan problem solving
menurut teori ini adalah teknokrat yang strategi dan kebijakannya telah mengalami
distorsi sehingga berjarak dengan realitas kehidupan dan tidak dipahami oleh rakyat.
Sintesis dari teori ini adalah praxis.

2. Teori Kritis dalam Studi Sosiologi


Teori ini merupakan kritik terhadap teori stratifikasi di mana teori ini mengakui
adanya perbedaan-perbedaan alami (seperti warna kulit, rambut, dan lain-lain), namun
menyikapi secara kritis jika perbedaan tersebut digunakan sebagai dasar dan
konsekuensi peluang pendidikan, peluang kerja, akses jabatan, dan peluang-peluang
lainnya.

3. Teori Kritis Habermas


Teori ini dikembangkan oleh Juergen Habermas sebagai kritik atas pemikiran
Marxis di mana teori ini mengganti paradigma kerja menjadi paradigma komunikasi dan
menawarkan konsensus sebagai pengganti jalan revolusioner.

4. Teori Kritis di Bidang Hukum


Kritisme dalam bidang hukum dikembangkan oleh Roberto Mangabeira Unger di
mana terdiri atas kritik objektivisme hukum dan formalisme hukum. Dalam kritik atas
objektivisme hukum, Unger membangun tiga teori, yaitu teori transformasi sosial,
konsep cita kelembagaan, dan konsep hubungan hokum dengan masyarakat. Sementara

9
itu, dalam kritik atas formalisme hukum, dikembangkan expanded or deviationist
doctrene.

5. Realisme Metaphisik
Realisme metaphisik berupaya menemukan grand theory untuk diuji secara
empirik dengan metodologi pembuktian Popper, yaitu dengan menggunakan uji
falsifikasi bukan uji verifikasi. Metodologi ini mencari bukti-bukti empirik kesalahan,
bukan mencari bukti pendukung teori-teori besar tersebut.

10

Anda mungkin juga menyukai