Disusun Oleh
Kelompok 2
ATIKA HARYATI
NURFITRIANI
ARLIANTO DWI CAHYADI
DEFRIYUZA
A. Pendahuluan
1. Latar belakang
Penelitian kualitatif merupakan penelitan yang bersifat deskriptif tanpa bermaksud
membuat generalisasi atas suatu hal. Kualitas dari penelitian kualitatif secara langsung
berasal dari kemampuan, pengalaman dan kepekaan dari peneliti dalam melakukan
wawancara. Salah satu pendekatan kualitatif adalah fenomenologi.
Fenomenologi, pada awalnya merupakan kajian filsafat dan sosiologi. Filsafat
merupakan sebuah sistem yang komprehensif dari ide-ide mengenai keadaan yang murni
dan realitas yang terjadi dalam hidup. Tak lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat
bersumber dari pertumbuhannya pola pikir manusia. Semua yang ada, atau yang telah ada
bisa diperhatikan dan dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas individu
dan manusia mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara mendalam untuk
menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berfilsafat adalah mendalami sesuatu secara
mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki seseorang dan pada akhirnya bisa
melahirkan aliran fenomenologi (Syamsi)
Edmund Husserl sendiri merupakan penggagas utamanya menginginkan fenomenologi
akan melahirkan ilmu yang lebih bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia, setalah sekian
lama ilmu pengetahuan mengalami krisis dan disfungsional. Fenomenologi kemudian
berkembang sebagai metode riset yang diterapkan dalam berbagai ilmu social, termasuk
didalamnya komunikasi, sebagai salah satu varian dalam penelitian kualitatif dalam payung
paradigma interpretif (Hasbiansyah, 2008)
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah sejarah metode fenomenologi dalam penelitian kualitatif?
b. Apakah yang dimaksud dengan penelitian fenomenologi?
c. Bagaimanakah teknik dan prosedur dalam penelitian fenomenologi?
d. Bagaimanakah evolusi dari penelitian fenomenologi?
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui sejarah metode fenomenologi dalam penelitian kualitatif?
b. Untuk mengetahui pengertian penelitian fenomenologi?
c. Untuk mengetahui teknik dan prosedur dalam penelitian fenomenologi?
d. Untuk mengetahui evolusi dari penelitian fenomenologi?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon yang merujuk pada arti “yang
menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman
manusia. Sehingga, suatu objek ada dalam relasi kesadaran. Dewasa ini, fenomenologi
dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari fenomena
manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut
serta realitas objektif dan penampakannya. Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat
pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I,
khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan
yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar
fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus
eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar atau jalan kehidupan
subjek-subjek sadar (Kuswarno, 2009). Edmund Husserl menyatakan bahwa pengetahuan
ilmiah sebenarnya telah terpisahkan dari pengalaman sehari-hari dari kegiatan-kegiatan
dimana pengalaman dan pengetahuan itu berakar. Maka ia menawarkan fenomenologi
dimana realitas adalah untuk dipahami bukan untuk dijelaskan.
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama
Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik
gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan
representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah. Sedangkan Hegel (1807) memperluas
pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman
kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada
pengetahuan yang sebenarnya.
Menurut Bertens (1981) apa yang disebut “metode fenomenologi” saat ini kerap kali
hampir tidak berkaitan dengan konsep fenomenologi menurut Husserl. Ia memahami
fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta intropeksitif mengenai kedalaman dari
semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung.
Maurice Morleau-Ponty banyak dipengaruhi pemikiran Husserl. Tetapi ia menolak
idealism Husserl. Bagi Merleau-Ponty manusia adalah kesatuan dari dimensi fisik dan
nonfisik yang menciptakan makna dalam dunia. Seseorang, sebagai subjek pengamat,
memiliki relasi dengan sesuatu di dunia ini. Ia dipengaruhi oleh dunia dan pada gilirannya
ia pun memaknai dunia itu (Hasbiansyah, 2008)
2. Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi mempelajari struktur pengalaman sadar (dari sudut pandang orang
pertama), bersama dengan kondisi – kondisi yang relevan. Sehingga fenomenologi akan
memimpin kita semua pada latar belakang dan kondisi – kondisi di balik sebuah
pengalaman. Pusat dari struktur kesadaran adalah “kesengajaan”, yakni bagaimana makna
dan isi pengalaman terhubung langsung dengan objek. (Kuswarno,2009).
Menurut Husserl Fenomenologi ialah ilmu tentang penampakan (fenomena). Artinya,
semua perbincangan tentang esensi di balik penampakan dibuang jauh – jauh. Berdasarkan
etimologi, istilah “fenomenologi” menunjukan bahwa istilah ini berasal dari dua kata
yunani, phainomenon (phainomai, menampakan diri) dan logos (akal budi).(Adian :2010)
Sebuah buku hasil komplikasi kuliah Husserl pada tahun 1910-1920 mengerucutkan
diskusi tentang fenomenologi pada konsep “aku”. “Aku” menurut Husserl adalah pusat dari
seluruh lingkungan (umgebung) yang dengan penegasan keberadaan “aku” membedakan
satu manusia dengan manusia yang lain karean pengalaman setiap “aku” akan membentuk
persepsi, ingatan, ekspektasi, serta fantasi yang berbeda. Oleh karena itu “aku” disini bukan
pengalaman namun yang mengalami; “aku” bukan aksi namun yang melakukan. Seorang
fenomenolog berkeinginan untuk memahami apa yang dialami oleh “aku” sehingga “aku”
melakukan pemaknaan atas suatu hal tertentu (Kamayarti, 2016)
Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam
kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau
diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkrontuksi makna dan konsep – konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas.
Intersubjektivitas karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita
dengan orang lain. Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan,
karya, dan aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya.
(Kuswarno, 2009)
Metodologi kualitatif dengan menggunakan metode fenomenologi merupakan riset
terhadap dunia kehidupan orang-orang, pengalaman subjektif mereka terhadap kehidupan
pribadi sehari-hari. Periset secara konsisten akan melakukan bracketing atau mengurung
asumsi-asumsi pribadi peneliti sehingga peneliti mampu melihat fenomena dari sudut
pandang responden. Fenomenologi berusaha mendekati objek kajian secara konstrukvis
serta pengamatan yang cermat, dengan tidak menyertakan prasangka oleh konsepsikonsepsi
manapun sebelumnya. (Albab, 2015)
Fenomenologi tidak membuat karakteristik dari pengalaman, ketika pengalaman itu
sedang dialami, karena ketika sebuah pengalaman seang dialami, maka ia akan menyita
seluruh perhatian pada saat itu, dan membuat bias kondisi – kondisi yang melatar
belakanginya. Pada hakikatnya kita mengklarifikasinya pengalaman berdasarkan aspek –
aspek “kesamaan” sebagai unsur utama dalam membuat klasifikasi pengalaman. Jadi,
fenomenologi lebih mecari kesamaan – kesamaan pengalaman yang bertahun, ketimbang
pengalaman yang vepat atau mudah dilupakan. Saat ini fenomenologi lebih dikenal sebagai
suatu disiplin ilmu yang kompleks karena memiliki metode dan dasar filsafat yang
komprehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah ilmu sosial
dari ilmu alam. Harus diakui, fenomenologi telah menjadi tonggak awal dan kesadaran bagi
ilmu perkembangan ilmu sosial saat ini. Tanpanya, ilmu sosial masih di bawah cengkraman
positivistik yang menyesatkan tentang pemahaman akan manusia dan realitas. (Kuswarno,
2009
1. Menetap kan lingkup fenomena yang akan di teliti :peneliti berusaha memahami
perospektif filosofis di balik pendekatan yang di gunakan terutama sebagai konsep bagai
mana orang memahami sebuah fenomena penelitian menetap kan fenomena yang hendak
di kaji melalui para informan.
3. pegumpulan data : Peneliti megumpulkan data dari individu yang megalami fenomena
yang di teliti.data di peroleh melalui wawancara yang cukup lama dan mendalam degan
sekitar 5-25 orang.jumlah ini bukan ukuran buku bisa saja subjek penelitian nya hanya 1
orang teknik pegumpulan data yang dapat di gunakan : oserfasi (langsung dan
partispan).penelusuran dokumen.
4. Analisis data : peneliti melakukan analisis data fenomenologis.
(a) tahap awal:peneliti medeskripsikan sepenuh nya fenomena yang di alami subjek
penelitian.seluruh rekaman hasil wawan cara mendalam degan subjek penelitian
distranskripskan ke dalam bahasa tulisan
6. peneliti melaporkan hasil penilaian nya laporan ini memberi pemahaman yang lebih
baik kepada pembaca tentang bagai mana sese orang megalami fenomena laporan
penelitian menunjukan adanya kesatuan makana tunggal dari pegalaman itu memiliki
steruktur yang penting.
5. Evolusi Fenomenologi
Dalam perkembangannya, fenomenologi mengambil bentuk ekstensi “aku” dengan
teknologi (techne) sebagai satu kesatuan saat alat menumbuh pada diri. Ini merupakan
posfenomenologi yang dikemukanan oleh Don Ihde. Ia berpendapat bahwa pengalaman
manusia kini tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang ia rasakan namun juga hasil dari
sebuah ekstensi alat/teknologi. Pemahaman tentang hal ini menyebabkan sebuah pandangan
alternative atas apa yang disebut dengan sains. Evolusi ini, bagi kaum religious masih
belum dianggap cukup karena seperti fenomenlogi, posfenomenologi masih menggunakan
kebenaran empiris semata untuk mendapatkan pengetahuan; belum kebenaran yang dipandu
dari kebenaran ilahiyah yaitu berdasarkan pada kesadaran akan tuhan (Kamayarti, 2016).
Sebagai suatu kesadaran, agama bisa bersifat individual, bisa pula sosial atau kolektif.
Ketika kajian agama yang dilakukan lebih mengarah pada kesadaran yang individual
sifatnya, maka kajian tersebut akan dapat bertemu dengan kajian psikologi agama, sedang
ketika kajian yang dilakukan lebih mengarah pada aspek sosialnya, maka kajian tersebut
akan merupakan kajian sosiologi agama atau antropologi agama, dengan perspektif
fenomenologi. Deskripsi fenomenologis agama yang bersifat individual ini akan
menekankan kesadaran-kesadaran, pengetahuan-pengetahuan, pandangan-pandangan
individual, yang khas sifatnya, yang kemudian mendorong munculnya perilaku-perilaku
khas pula, yang individual (Putra, 2012).
Dalam pendangannya, instrument dan sains adalah dua hal yang tidak terpisah. Bagi
Ihde, fenomenologinya bertumpu pada persepesi bahwa teknologi atau alat telah tertanam
pada budaya, dan malalui alat tersebut manusia melakukan aktivitasnya (Kamayarti, 2016)
BAB III
KESIMPULAN
C. Penutup
Penjelasan pada bab-bab sebelumnya dapat kita tarik kesimpulan bahwa fenomenologi
bukanlah studi tentang fenomena. Fenomenologi mempelajari struktur pengalaman sadar
(dari sudut pandang orang pertama), bersama dengan kondisi – kondisi yang relevan.
Sehingga fenomenologi akan memimpin kita semua pada latar belakang dan kondisi –
kondisi di balik sebuah pengalaman.
Fenomenologi dalam riset akuntansi dapat dimanfaatkan adalah riset yang menargetkan
pemahaman individu akuntan tentang simbol atau praktik akuntansi tertentu.
kontekstualitas tinggi tentang bagaimana pengalaman membentuk persepsi individu
merupakan keunggulan fenomenologi.
Daftar pustaka
http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal-filsafat-fenomenologi.html