Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

METODE PENELITIAN FENOMENOLOGI

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Dr.Yudi, S.E., M.Si.

Disusun Oleh
Kelompok 2

ATIKA HARYATI
NURFITRIANI
ARLIANTO DWI CAHYADI
DEFRIYUZA

PROGRAM PASCA SARJANA


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU AKUNTANSI
UNIVERSITAS JAMBI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
1. Latar belakang
Penelitian kualitatif merupakan penelitan yang bersifat deskriptif tanpa bermaksud
membuat generalisasi atas suatu hal. Kualitas dari penelitian kualitatif secara langsung
berasal dari kemampuan, pengalaman dan kepekaan dari peneliti dalam melakukan
wawancara. Salah satu pendekatan kualitatif adalah fenomenologi.
Fenomenologi, pada awalnya merupakan kajian filsafat dan sosiologi. Filsafat
merupakan sebuah sistem yang komprehensif dari ide-ide mengenai keadaan yang murni
dan realitas yang terjadi dalam hidup. Tak lepas dari semua ini, pada dasarnya filsafat
bersumber dari pertumbuhannya pola pikir manusia. Semua yang ada, atau yang telah ada
bisa diperhatikan dan dipikirkan secara rasional. Karena berpikir adalah aktifitas individu
dan manusia mempunyai kemerdekaan untuk berpikir. Berpikir secara mendalam untuk
menghasilkan suatu ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berfilsafat adalah mendalami sesuatu secara
mendalam berdasarkan penalaran yang dimiliki seseorang dan pada akhirnya bisa
melahirkan aliran fenomenologi (Syamsi)
Edmund Husserl sendiri merupakan penggagas utamanya menginginkan fenomenologi
akan melahirkan ilmu yang lebih bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia, setalah sekian
lama ilmu pengetahuan mengalami krisis dan disfungsional. Fenomenologi kemudian
berkembang sebagai metode riset yang diterapkan dalam berbagai ilmu social, termasuk
didalamnya komunikasi, sebagai salah satu varian dalam penelitian kualitatif dalam payung
paradigma interpretif (Hasbiansyah, 2008)
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah sejarah metode fenomenologi dalam penelitian kualitatif?
b. Apakah yang dimaksud dengan penelitian fenomenologi?
c. Bagaimanakah teknik dan prosedur dalam penelitian fenomenologi?
d. Bagaimanakah evolusi dari penelitian fenomenologi?

3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui sejarah metode fenomenologi dalam penelitian kualitatif?
b. Untuk mengetahui pengertian penelitian fenomenologi?
c. Untuk mengetahui teknik dan prosedur dalam penelitian fenomenologi?
d. Untuk mengetahui evolusi dari penelitian fenomenologi?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon yang merujuk pada arti “yang
menampak”. Fenomena adalah fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman
manusia. Sehingga, suatu objek ada dalam relasi kesadaran. Dewasa ini, fenomenologi
dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari fenomena
manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut
serta realitas objektif dan penampakannya. Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat
pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I,
khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan
yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar
fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus
eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar atau jalan kehidupan
subjek-subjek sadar (Kuswarno, 2009). Edmund Husserl menyatakan bahwa pengetahuan
ilmiah sebenarnya telah terpisahkan dari pengalaman sehari-hari dari kegiatan-kegiatan
dimana pengalaman dan pengetahuan itu berakar. Maka ia menawarkan fenomenologi
dimana realitas adalah untuk dipahami bukan untuk dijelaskan.
Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama
Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik
gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan
representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah. Sedangkan Hegel (1807) memperluas
pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman
kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada
pengetahuan yang sebenarnya.
Menurut Bertens (1981) apa yang disebut “metode fenomenologi” saat ini kerap kali
hampir tidak berkaitan dengan konsep fenomenologi menurut Husserl. Ia memahami
fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta intropeksitif mengenai kedalaman dari
semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung.
Maurice Morleau-Ponty banyak dipengaruhi pemikiran Husserl. Tetapi ia menolak
idealism Husserl. Bagi Merleau-Ponty manusia adalah kesatuan dari dimensi fisik dan
nonfisik yang menciptakan makna dalam dunia. Seseorang, sebagai subjek pengamat,
memiliki relasi dengan sesuatu di dunia ini. Ia dipengaruhi oleh dunia dan pada gilirannya
ia pun memaknai dunia itu (Hasbiansyah, 2008)

2. Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi mempelajari struktur pengalaman sadar (dari sudut pandang orang
pertama), bersama dengan kondisi – kondisi yang relevan. Sehingga fenomenologi akan
memimpin kita semua pada latar belakang dan kondisi – kondisi di balik sebuah
pengalaman. Pusat dari struktur kesadaran adalah “kesengajaan”, yakni bagaimana makna
dan isi pengalaman terhubung langsung dengan objek. (Kuswarno,2009).
Menurut Husserl Fenomenologi ialah ilmu tentang penampakan (fenomena). Artinya,
semua perbincangan tentang esensi di balik penampakan dibuang jauh – jauh. Berdasarkan
etimologi, istilah “fenomenologi” menunjukan bahwa istilah ini berasal dari dua kata
yunani, phainomenon (phainomai, menampakan diri) dan logos (akal budi).(Adian :2010)
Sebuah buku hasil komplikasi kuliah Husserl pada tahun 1910-1920 mengerucutkan
diskusi tentang fenomenologi pada konsep “aku”. “Aku” menurut Husserl adalah pusat dari
seluruh lingkungan (umgebung) yang dengan penegasan keberadaan “aku” membedakan
satu manusia dengan manusia yang lain karean pengalaman setiap “aku” akan membentuk
persepsi, ingatan, ekspektasi, serta fantasi yang berbeda. Oleh karena itu “aku” disini bukan
pengalaman namun yang mengalami; “aku” bukan aksi namun yang melakukan. Seorang
fenomenolog berkeinginan untuk memahami apa yang dialami oleh “aku” sehingga “aku”
melakukan pemaknaan atas suatu hal tertentu (Kamayarti, 2016)
Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam
kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau
diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkrontuksi makna dan konsep – konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas.
Intersubjektivitas karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita
dengan orang lain. Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan,
karya, dan aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya.
(Kuswarno, 2009)
Metodologi kualitatif dengan menggunakan metode fenomenologi merupakan riset
terhadap dunia kehidupan orang-orang, pengalaman subjektif mereka terhadap kehidupan
pribadi sehari-hari. Periset secara konsisten akan melakukan bracketing atau mengurung
asumsi-asumsi pribadi peneliti sehingga peneliti mampu melihat fenomena dari sudut
pandang responden. Fenomenologi berusaha mendekati objek kajian secara konstrukvis
serta pengamatan yang cermat, dengan tidak menyertakan prasangka oleh konsepsikonsepsi
manapun sebelumnya. (Albab, 2015)
Fenomenologi tidak membuat karakteristik dari pengalaman, ketika pengalaman itu
sedang dialami, karena ketika sebuah pengalaman seang dialami, maka ia akan menyita
seluruh perhatian pada saat itu, dan membuat bias kondisi – kondisi yang melatar
belakanginya. Pada hakikatnya kita mengklarifikasinya pengalaman berdasarkan aspek –
aspek “kesamaan” sebagai unsur utama dalam membuat klasifikasi pengalaman. Jadi,
fenomenologi lebih mecari kesamaan – kesamaan pengalaman yang bertahun, ketimbang
pengalaman yang vepat atau mudah dilupakan. Saat ini fenomenologi lebih dikenal sebagai
suatu disiplin ilmu yang kompleks karena memiliki metode dan dasar filsafat yang
komprehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah ilmu sosial
dari ilmu alam. Harus diakui, fenomenologi telah menjadi tonggak awal dan kesadaran bagi
ilmu perkembangan ilmu sosial saat ini. Tanpanya, ilmu sosial masih di bawah cengkraman
positivistik yang menyesatkan tentang pemahaman akan manusia dan realitas. (Kuswarno,
2009

3. Teknik analisis Fenomenologi Transendental


Terdapat beberapa konsep dasar dalam teknik analisis Fenomenologi Transendental
(Kamayarti, 2016) yaitu sebagai berikut:
a. Noema dan noesis
Noesis adalah sisi ideal objek dalam pikiran kita, bukan objek yang sebenarnya.
Dengan noesis, suatu objek dibawa dalam kesadaran, muncul dalam kesadaran, dan
secara rasional ditentukan. Lebih jauh manusia berpikir, merasa, menilai, dan mengingat
dengan menggunakan noesis. Deskripsi noesis adalah deskripsi subjektif, karena sudah
ada pemberian makna padanya (Qoharuddin, 2011)
Lawan dari noesis adalah noema, yakni sesuatu yang diterima oleh panca indera
manusia. Menurut Husserl noema itu faithfully and in the light of perfect self-evidence
Dalam arti kata noema itu tetap dan disertai 67 bukti-bukti yang akurat. deskripsi noema
adalah deskripsi objektif, berdasarkan pada bagaimana objek tersebut nampak dalam
panca indera kita. Terdapat kaitan yang erat antara noema dan noesis, walaupun secara
prinsip keduanya sangatlah berbeda. Noema akan membimbing kita pada noesis
(Qoharuddin, 2011)
b. Ephoce (Bracketing)
Epoche merupakan konsep yang terkait dengan upaya mengurangi atau menunda
penilaian (bracketing) untuk memunculkan pengetahuan di atas setiap keraguan yang
mengkin. Dalam epoche menurut Mustakas (1994) pemahaman, penilaian, dan
pengetahuan sehari-hari dikesampingkan dahulu dan fenomena dimunculkan dan
direvisi secara segera, apa adanya dalam pengertian yang terbuka, dari tempat yang
menguntungkan dari ego murni atau ego transcendental (Hasbiansyah, 2008)
c. Intentional analysis
Menurut Kamayarti (2016) pahamanan akan relasi noema dan noesis akan
memungkinkan fenomenolog mengambil sebuah pemahaman lanjutan bagaimana noesis
membentuk noema. Ini adalah pemahaman intentional analysis.
Setiap aktivitas intensionalitas (neotic) termasuk aktivitas menyadari sesuatu.
Pengertian kesadaran selalu dihubungkan dengan kutub objektifnya, yakni objek yang
disadari. Yang paling penting dalam reduksi ini, bukan terletak pada persoalan
menempatkan penampakan fenomena dalam tanda kurung, melainkan pada bagaimana
subjek memberikan interpretasi terhadap objek selanjutnya (Albab, 2015).
d. Eidetic Reduction
Eiditik adalah memahami fenomena melalui pemahaman atas ungkapan-ungkapan
atau ekspresi-ekspresi yang digunakan subjek. Dalam hal ini, peneliti melakukan empati,
mencoba memasuki wilayah pengalaman pemikiran subjek melalui proses imajinatif.
Sedangkan reduksi semacam netralisasi bahwa ada tidaknya dunia bukanlah hal yang
relevan dalam penelitian fenomenologi (Hasbianysah, 2008)
Menurut Kamayarti (2005) akhir proses fenomenologi yaitu ketika seorang
fenomenolog akan mampu mendapatkan hasil sebuah kondensasi dari seluruh proses
pemaknaan atau ide yang melandasi keseluruhan murni tersebut (Eidetic Reduction)

Adapun pokok-pokok pikinan Husserl mengenai fenomenologi, adalah sebagai berikut


ini: (Albab, 2015)
a. Fenomena adalah realitas sendiri yang tampak.
b. Tidak ada batas antara subjek dengan realitas.
c. Kesadaran bersifat intensional.
d. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dengan objek yang disadari
(noema).

Kesadaran seseorang bukan berarti mengharuskan peneliti masuk ke dalam lingkungan


individu yang diteliti. Istilah bracketing atau memberi tanda kurung atau epoche
menegaskan hal ini. Analisis fenomenologi selalu dimulai dengan identifikasi noema atau
analisis tekstural. Berdasarkan identifikasi noema ini, peneliti melakukan bracketing pada
apa yang ia tangkap lain dibawah tekstur (analisis structural) untuk mendapatkan noesis,
sebagai level pemaknaan yang lebih dalam. Ketika epoche dilakukan maka pengurungan
makna tersebut disertai pemahaman bahwa pemaknaan tersebut muncul pada waktu
(allraum) dan tempat (weltzeit) tertentu yang menjadikannya pengalaman bagi sang “aku”.
(Kamayarti, 2016)
Husserl menyebutnya konsep “melihat” fenomenologi. Konsekuensinya adalah ketika
kita berfenomenologi, berarti kita mencoba menghadirkan dunia yang dihayati dan
kesadaran kita terarah padanya, tentu saja itu berarti penghadiran dunia tertentu. Disinilah
dapat dilihat bahwa penghadiran dunia yang dihayati atau obejk – objek tertentu pada
kajian fenomenologi husserl melibatkan intuisi.Bagi Husserl, intuisi berperan sebagai unsur
konstitutif yang memungkinkan pengetahuan – intensionalitas dalam fenomenologi
Husserl, menunjukkan bahwa aktivitas – aktivitas intensionalitas (noesis) berfungsi
mengkonstitusikan objek – objek internasional (noema).(Adian,2010)

4. Prosedur penelitian dalam metode Fenomenologi


Terdapat peresedur penting dalam melaksanakan studi fenomenologis-sebagai hasil
adaptasi dari hasil pemikiran Stevick.Colaizzi,dan keen-(lihat Creswell 1998:54-55.147-150
Moustakas 1994:235-237 sebagai berikut :

1. Menetap kan lingkup fenomena yang akan di teliti :peneliti berusaha memahami
perospektif filosofis di balik pendekatan yang di gunakan terutama sebagai konsep bagai
mana orang memahami sebuah fenomena penelitian menetap kan fenomena yang hendak
di kaji melalui para informan.

2. Menyusun daftar pertanyaan : Peneliti menuliskan pertanyaan penelitian yang


megungkap para pegalan dari individu serta menanya kan kepada mereka untuk
meguraikan pegalaman penting setiap hari nya

3. pegumpulan data : Peneliti megumpulkan data dari individu yang megalami fenomena
yang di teliti.data di peroleh melalui wawancara yang cukup lama dan mendalam degan
sekitar 5-25 orang.jumlah ini bukan ukuran buku bisa saja subjek penelitian nya hanya 1
orang teknik pegumpulan data yang dapat di gunakan : oserfasi (langsung dan
partispan).penelusuran dokumen.
4. Analisis data : peneliti melakukan analisis data fenomenologis.

(a) tahap awal:peneliti medeskripsikan sepenuh nya fenomena yang di alami subjek
penelitian.seluruh rekaman hasil wawan cara mendalam degan subjek penelitian
distranskripskan ke dalam bahasa tulisan

(b)Tahap Horizonalization : dari hasil transkripsi peneliti meginventarisasi pernyataan-


pernyataan penting yang relefan degan topik pada tahap ini peneliti harus bersabar dalam
menunda penilayan nya (bracketing/epoche) : artinya unsur subjektif nya jagan
mencampuri upaya merinci point-point penting sebagai data penelitian.sebagai data
penelitian yang di peroleh dati hasil wawancara tadi

(c) Tahap Cluster of meaning.selanjut nya peneliti mengkelifikasikan pertanyaan-


pertanyaan tadi kedalam tema-tema atau unit-unit makna yang menyisih kan pertanyaan
yang tumpang tindih atau berulang-ulang pada tahap ini di lakukan :(A) Textural
description (deskeripsi tekstural):peneliti menulis apa yang di alami yakni diskeripsi
tentang apa yang di alami individu (B)stuctural description (deskeripsi steruktural) penulis
menuliskan bagai mana fenomena itu di alami oleh individu peneliti juga meneliti segala
makna yang mungkin berdasar kan referensi peneliti sendiri berupa opini penilayanan
perasaan subjek penelitian tentang fenomena yang di alami nya.

5. Tahap deskripsi esensi : peneliti mengonteruksi kan (membagun) deskeripsi menyeluruh


megenai makna dan esensi pegalaman para subjek

6. peneliti melaporkan hasil penilaian nya laporan ini memberi pemahaman yang lebih
baik kepada pembaca tentang bagai mana sese orang megalami fenomena laporan
penelitian menunjukan adanya kesatuan makana tunggal dari pegalaman itu memiliki
steruktur yang penting.

5. Evolusi Fenomenologi
Dalam perkembangannya, fenomenologi mengambil bentuk ekstensi “aku” dengan
teknologi (techne) sebagai satu kesatuan saat alat menumbuh pada diri. Ini merupakan
posfenomenologi yang dikemukanan oleh Don Ihde. Ia berpendapat bahwa pengalaman
manusia kini tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang ia rasakan namun juga hasil dari
sebuah ekstensi alat/teknologi. Pemahaman tentang hal ini menyebabkan sebuah pandangan
alternative atas apa yang disebut dengan sains. Evolusi ini, bagi kaum religious masih
belum dianggap cukup karena seperti fenomenlogi, posfenomenologi masih menggunakan
kebenaran empiris semata untuk mendapatkan pengetahuan; belum kebenaran yang dipandu
dari kebenaran ilahiyah yaitu berdasarkan pada kesadaran akan tuhan (Kamayarti, 2016).
Sebagai suatu kesadaran, agama bisa bersifat individual, bisa pula sosial atau kolektif.
Ketika kajian agama yang dilakukan lebih mengarah pada kesadaran yang individual
sifatnya, maka kajian tersebut akan dapat bertemu dengan kajian psikologi agama, sedang
ketika kajian yang dilakukan lebih mengarah pada aspek sosialnya, maka kajian tersebut
akan merupakan kajian sosiologi agama atau antropologi agama, dengan perspektif
fenomenologi. Deskripsi fenomenologis agama yang bersifat individual ini akan
menekankan kesadaran-kesadaran, pengetahuan-pengetahuan, pandangan-pandangan
individual, yang khas sifatnya, yang kemudian mendorong munculnya perilaku-perilaku
khas pula, yang individual (Putra, 2012).
Dalam pendangannya, instrument dan sains adalah dua hal yang tidak terpisah. Bagi
Ihde, fenomenologinya bertumpu pada persepesi bahwa teknologi atau alat telah tertanam
pada budaya, dan malalui alat tersebut manusia melakukan aktivitasnya (Kamayarti, 2016)

BAB III
KESIMPULAN

C. Penutup

Penjelasan pada bab-bab sebelumnya dapat kita tarik kesimpulan bahwa fenomenologi
bukanlah studi tentang fenomena. Fenomenologi mempelajari struktur pengalaman sadar
(dari sudut pandang orang pertama), bersama dengan kondisi – kondisi yang relevan.
Sehingga fenomenologi akan memimpin kita semua pada latar belakang dan kondisi –
kondisi di balik sebuah pengalaman.
Fenomenologi dalam riset akuntansi dapat dimanfaatkan adalah riset yang menargetkan
pemahaman individu akuntan tentang simbol atau praktik akuntansi tertentu.
kontekstualitas tinggi tentang bagaimana pengalaman membentuk persepsi individu
merupakan keunggulan fenomenologi.
Daftar pustaka

Adian,G,Donny. 2010. Pengantar Fenomenologi. Jakarta. Koekoesan

Hasbiansyah, O. 2008. Pendekatan Fenomenologi: pengantar praktik penelitian dalam ilmu


dan komunikasi. Jurnal Mediator Vol. 9 No. 1

Kamayanti. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religiositas


Keilmuan. Jakarta Selatan: Yayasan Rumah Peneleh.

Kuswarno, Engkus. , 2009. Metode Penelitian Komunikasi : Fenomenologi, Konsepsi,


Pedoman dan Contoh Penelitiannya, Widya Padjajaran, Perpustakaan Pusat UII

Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2012. FENOMENOLOGI AGAMA: Pendekatan Fenomenologi


untuk Memahami Agama. Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 2

http://digilib.uinsby.ac.id/9563/5/bab3.pdf (MA Qoharuddin, 2011)

http://digilib.uinsby.ac.id/4283/5/Bab%202.pdf (U Albab, 2015)

http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/05/mengenal-filsafat-fenomenologi.html

Anda mungkin juga menyukai