Anda di halaman 1dari 7

logika sebagai sarana berpikir ilmiah

A.     Pendahuluan
Ada tiga hal pokok yang muncul bila manusia berpikir, yaitu : hal tentang ada
yang menjadi bahasan ontologi, hal tentang pengetahuan akan kebenaran sejati yang
menjadi bahasan epistemologi, dan hal tentang nilai yang menjadi bahasan aksiologi,
ketiga hal tersebut disimpulkannya oleh Imam Barnadib sebagai obyek kajian problem
filsafat yaitu realita, pengetahuan dan nilai.[1] Ketiga landasan ini saling berkaitan ;
jadi ontologi ilmu terkait epistemologi ilmu dan epistemolagi ilmu terkait dengan
aksiologi ilmu dan seterusnya. Ketika membicarakan epistemologi ilmu, maka harus
dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.[2] Epistemologi berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan
menangkap pengetahuan itu dan jenis-jenis pengetahuan. [3]
Selain metode ilmiah sebagai cara melakukan kegiatan ilmiah, juga diperlukan
juga sarana berpikir agar kegiatan tersebut menjadi teratur dan cermat.
Menurut Suhartono Suparlan bahwa : Manusia mempunyai kemampuan menalar,
artinya berpikir secara logis dan analitis. Kelebihan manusia dalam kemampuannya
menalar dan karena mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya
yang abstrak, maka manusia bukan saja mempunyai pengetahuan, melainkan juga
mampu mengembangkannya. Karena kelebihannya itu maka Aristoteles memberikan
identitas kepada manusia sebagai “animal rationale”.
Dengan demikian sarana berpikir ilmiah sangat penting bagi ilmuwan agar dapat
melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik. Sarana berpikir ilmiah membantu manusia
menggunakan akalnya untuk berpikir dengan benar dan menemukan ilmu yang
benar tanpa menguasai sarana berpikir ilmiah, kegiatan  ilmiah yang baik tak dapat
dilakukan.

B.     Pembahasan

1. Pengertian Berpikir Ilmiah

Berpikir merupakan suatu aktivitas pribadi yang mengakibatkan penemuan yang


terarah kepada suatu tujuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau
pengertian, pembentukan pendapat, dan simpulan atau keputusan dari sesuatu yang
dikehendaki. Menurut Suriasumantri manusia tergolong ke dalam homo sapiens, yaitu
makhluk yang berpikir. Hampir tidak ada masalah yang menyangkut dengan aspek
kehidupannya yang terlepas dari jangkauan pikiran.[4]
Berpikir secara ilmiah adalah upaya untuk menemukan kenyataan dan ide yang
belum diketahui sebelumnya. Ilmu merupakan proses kegiatan mencari pengetahuan
melalui pengamatan berdasarkan teori dan generalisasi. Ilmu berusaha memahami
alam sebagaimana adanya dan selanjutnya hasil kegiatan keilmuan merupakan alat
untuk meramalkan dan mengendalikan gejala alam. Adapun pengetahuan adalah
keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi tentang kebenaran atau
fakta. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan, sebaliknya setiap pengetahuan belum
tentu ilmu.
Untuk itu, terdapat syarat-syarat yang membedakan ilmu (science)  dengan
pengetahuan (knowledge), yaitu ilmu harus ada obyeknya, terminologinya,
metodologinya, filosofinya, dan teorinya yang khas. Di samping itu, ilmu juga harus
memiliki objek, metode, sistematika, dan mesti bersifat universal.
Dalam menghadapi bermacam masalah kehidupan di dunia ini, manusia akan
menampilkan berbagai alat untuk mengatasi masalahnya. Alat dalam hal ini adalah
pikiran atau akal yang berfungsi di dalam pembahasaannya secara filosofis tentang
masalah yang dihadapi. Pikiran atau akal yang digunakan mengatasi masalah ini
senantiasa bersifat ilmiah. Jadi, pikiran itu harus mempunyai kerangka berpikir ilmiah
karena tidak semua berpikir itu bisa diartikan berpikir secara ilmiah. [5]

2. Sarana Berpikir Ilmiah

Manusia disebut sebagai homo faber yaitu makhluk yang membuat alat; dan


kemampuan membuat alat dimungkinkan oleh pengetahuan. Berkembangnya
pengetahuan juga memerlukan alat-alat. Sarana merupakan alat yang membantu kita
dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan sarana berpikir ilmiah merupakan
alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik, dengan demikian
fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah, bukan merupakan ilmu
itu sendiri.[6]
Dalam proses penelitian harus memperhatikan dua hal, pertama sarana berpikir
ilmiah bukan merupakan kumpulan ilmu, tetapi merupakan kumpulan pengetahuan
yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Kedua tujuan mempelajari sarana berpikir
ilmiah adalah untuk memungkinkan menelaah ilmu secara baik.[7] Dari penjelasan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sarana berpikir ilmiah adalah alat berpikir
dalam membantu metode ilmiah sehingga memungkinkan penelitian dapat dilakukan
secara baik dan benar. 
Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat
dipertanggungjawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan atura-
aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar dari pada satu.[8]
Dalam penelitian ilmiah terdapat dua cara penarikan kesimpulan melalui cara
kerja logika yaitu adalah induktif dan deduktif. Logika induktif adalah cara penarikan
kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum
dan rasional. Logika deduktif adalah cara penarikan kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat umum rasional menjadi kasus-kasus yang bersifat khusus sesuai fakta di
lapangan.[9]

3. Logika Dalam Berpikir Ilmiah

Logika berasal dari kata Yunani Kuno (logos) yang berarti hasil pertimbangan
akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu,
logika disebut dengan logike episteme (latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu
pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan
teratur. Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan
kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke
dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan
masuk akal.
Nama ‘logika’ untuk pertama kali muncul pada filsuf Cicero (abad ke-1 sebelum
masehi), tetapi masih dalam arti ‘seni berdebat’. Alexander Aphrodisias (sekitar
permulaan abad ke-3 sesudah masehi) adalah orang yang pertama kali menggunakan
kata ‘logika’ dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Logika adalah cabang filsafat tentang berpikir. Logika membicarakan tentang
aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil
kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui cara atau aturan-aturan tersebut dapat
menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil keputusan. Logika sama tuanya
dengan umur manusia, sebab sejak manusia itu ada, manusia sudah berpikir, manusia
berpikir sebenarnya logika itu telah ada. Hanya saja logika itu dinamakan logika
naturalis, sebab berdasarkan kodrat dan fitrah manusia saja.
Manusia walaupun belum mempelajari hukum-hukum akal dan kaidah-kaidah
ilmiah, namun praktis sudah dapat berpikir dengan teratur. Akan tetapi, bila manusia
memikirkan persoalan-persoalan yang lebih sulit maka seringlah dia tersesat. Misalnya,
ada dua berita yang bertentangan mutlak, sedang kedua-duanya menganggap dirinya
benar. Dapatlah kedua-duanya dibenarkan semua? Untuk menolong manusia jangan
tersesat dirumuskan pengetahuan logikalah yang mengetengahinya. [10]

4. Macam-Macam Logika

a.       Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus
sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan
yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir. 
b.      Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Logika ilmiah
menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap
pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih
tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk
menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi. [11]

5. Cara Berpikir Logis Pengetahuan Ilmiah

a.       Logika Deduktif
Logika deduktif khususnya logika tradisional bermula dari zaman Yunani Kuno
sekitar abad ketiga sebelum Masehi (SM). Logika ini memproses pikiran baik secara
langsung maupun tidak langsung berdasarkan atas pernyataan umum yang sudah lebih
dahulu diketahui. Pernyataan yang berisi sesuatu yang sudah diketahui disebut
anteseden (premis) yang merupakan pernyataan dasar dan pernyataan yang berisi
pengetahuan baru yang ditarik dari pernyataan dasar itu disebut konsekuen
(kesimpulan). Untuk selanjutnya, dalam tulisan ini digunakan istilah premis dan
kesimpulan.
Penarikan pengetahuan baru secara langsung dilakukan berdasarkan satu premis
saja. Dari premis tersebut ditarik kesimpulan yang merupakan implikasinya. Contoh:
Dari premis “Bujur sangkar adalah bidang datar yang merupakan kurva tertutup yang
diapit oleh empat sisi sama panjang dan memiliki empat sudut siku-siku”, secara
langsung dapat ditarik kesimpulan: “Jika pada sebuah bujur sangkar ditarik garis
diagonal, akan terjadi dua segitiga sama kaki yang sama dan sebangun” yang
merupakan implikasi atau konsekuensi logis dari pernyataan pertama. Dari premis
tersebut, dapat pula ditarik pernyataan-pernyataan lain yang merupakan implikasinya,
antara lain:
1)      Suatu segi empat yang sisi-sisi horizontalnya tidak sama panjang dengan sisi-sisi
tegak lurusnya adalah bukan bujur sangkar.
2)      Jumlah sudut bujur sangkar 360 derajat.
3)      Jika pada sebuah bujur sangkar ditarik dua buah garis diagonal, akan terjadi empat
segitiga sama kaki yang sama dan sebangun.
4)      Segitiga sama kaki yang terbentuk masing-masing mempunyai satu sudut siku-siku
dan dua sudut lancip yang besarnya masing-masing 45 derajat.
Dengan demikian, implikasi merupakan pernyataan yang secara tersirat telah
ada dalam premis. Tentu saja, dalam hal ini kebenaran implikasi tergantung kepada ke-
benaran pernyataan dasar atau premisnya. Penarikan pengetahuan baru secara tidak
langsung dilakukan berdasarkan dua premis atau lebih; yang didasarkan atas dua
premis disebut silogisme. Jadi, dapat dikatakan, silogisme merupakan bentuk formal
sebagai sarana untuk menarik kesimpulan yang baru. Silogisme selalu terdiri atas tiga
proposisi yaitu dua premis dan kesimpulan. Premis yang pertama disebut premis mayor
yang bersifat lebih umum, dan yang kedua yang lebih khusus disebut premis minor.
Dalam logika deduktif arah pemikiran bergerak dari pernyataan-pernyataan umum
kepada kesimpulan yang lebih khusus. Logika deduktif modern lebih bersifat
matematis. Logika tersebut lazim disebut logika simbolis yang dalam tulisan ini tidak
dibahas.[12]
b.      Logika Induktif
Berbeda dengan logika deduktif, logika induktif memproses pengetahuan
berdasarkan fakta-fakta khusus yang diperoleh dari pengetahuan indriawi/yang
diperoleh melalui pengamatan. Dari sejumlah fakta atau gejala khusus itu ditarik
kesimpulan umum berupa pengetahuan yang baru yang berlaku untuk sebagian atau
keseluruhan gejala tersebut. Jadi, arah pemikiran bergerak dari data yang bersifat
khusus kepada kesimpulan yang bersifat lebih umum. Logika induktif seperti itu di
antaranya dilakukan dalam analisis statistik yang menggunakan data kuantitatif
sebagai dasar penarikan kesimpulan dan dalam analisis data kualitatif yang
menggunakan data yang bersifat verbal.[13]

6. Kegunaan Logika 

a.       Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis,
lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
b.      Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
c.       Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan
mandiri. 
d.      Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas
sistematis.[14]

C.     Penutup
Logika adalah cabang filsafat tentang berpikir. Logika membicarakan tentang
aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil
kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui cara atau aturan-aturan tersebut dapat
menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil keputusan.
Dalam menghadapi bermacam masalah kehidupan di dunia ini, manusia akan
menampilkan berbagai alat untuk mengatasi masalahnya. Alat dalam hal ini adalah
pikiran atau akal yang berfungsi di dalam pembahasaannya secara filosofis tentang
masalah yang dihadapi. Pikiran atau akal yang digunakan mengatasi masalah ini
senantiasa bersifat ilmiah. Jadi, pikiran itu harus mempunyai kerangka berpikir ilmiah
untuk mencari hasil kebenaran.
[1]
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia. 2010) h. 128.
[2]
Jujun S. Suriassumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan 2009) h. 105.
[3]
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia. 2010) h. 128.
[4]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997) h. 1.
[5]
http://www.logika-berpikir-ilmiah.com diakses pada tanggal 25 Oktober 2013.
[6]
Jujun S. Suriassumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, tt) h. 46.
[7]
Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: CAPS, tt) h. 228.
[8]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Grafindo Persada, 2004) h. 212.
[9]
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu (Bandung : Mulia Press, 2008) h. 150.
[10]
Aceng Rachmat, Filsafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Fajar Interpratama, 2011) h.
209.
[11]
Suriasumantri, Jujun S. 1997. Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan
Tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[12]
Aceng Rachmat, Filsafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Fajar Interpratama, 2011) h.
209.
[13]
Aceng Rachmat, Filsafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Fajar Interpratama, 2011) h.
211.
[14]
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu (Bandung: Mulia Press, 2008) h. 54.

Anda mungkin juga menyukai