Anda di halaman 1dari 4

Nama : Morelza Ordigoza Osmon

NIM : 201810360311297

Kelas : Teori Regionalisme A

Teori Fungsionalisme dan Neo-fungsionalisme

Teori fungsionalisme  merupakan suatu bangunan teori yang paling besar


pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad saat ini. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan
fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural
fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yakni menganggap masyarakat
sebagai organisme biologis yang terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan,
ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap
dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural
fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional
ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini
dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya
mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan
membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga
akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini
menjadi panduan bagi analisis substantif Spencer dan penggerak analisis fungsional.
Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik
tersebut.

Dengan demikian, teori fungsionalisme ialah suatu paham dalam sosiologi yang
melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang bagian-bagian di dalamnya saling berhubungan
antara satu dengan yang lainnya dan bagian-bagian tersebut saling bergantung untuk
melakukan fungsinya. Jika terjadi perubahan pada salah satu bagian, maka akan
mempengaruhi dan menciptakan perubahan pula pada bagian lainnya. Asumsi dasar dalam
teori ini, yaitu pada sistem organisasi semua bagian harus berfungsi atau fungsional sehingga
masyarakat dapat berfungsi dengan baik pula. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih
Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu,
antropologis fungsional yaitu Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk
berbagai perspektif fungsional modern.
Konsep fungsional tersebut dapat dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai
fungsi dalam aspek kebudayaan, yakni saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan
efeknya terhadap aspek lainnya; konsep oleh masyarakat yang bersangkutan; unsur-unsur
dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara fungsional; esensi atau inti dari
kegiatan / aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan dasar
“biologis” manusia. Teori ini menggambarkan masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana di
dalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut
mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian
tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak
berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem.

Dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara
berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap
struktur yang ada, fungsional bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada
diperlukan oleh sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun.
Masyarakat dilihat dari kondisi dinamika dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya jika
tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Kalau
terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme struktural memusatkan perhatiannya kepada
masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.

Neo-fungsionalisme muncul pada tahun 1958, dengan munculnya publikasi oleh


Ernst. B. Haas yang berjudul The Uniting of Europe: Political, Social, and Economic Forces.
Tujuan awal Haas dalam menulis hal tersebut adalah untuk menyediakan
sebuah grand theory yang dapat menjelaskan kerja sama regional secara objektif dan ilmiah,
serta dapat menjelaskan berbagai fenomena kerja sama regional lainnya di dunia (misalnya di
Amerika Selatan). Tetapi, dalam perkembangannya, teori ini cenderung diasosiasikan oleh
EU (European Union). Salah satu alasannya adalah terjadinya integrasi politik dan ekonomi
terbaik di Eropa. Eropa dan integrasi Eropa pun menjadi fokus utama para neo-fungsionalis
pada masa 1960-an dan 1970-an.

Neo-fungsionalisme adalah pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan fenomena


integrasi intenasional. Menurut Ernst Haas, Neo-Fungsionalisme adalah sebuah teori
Integrasi Internasional yang memiliki tujuan untuk mencapai sebuah entitas komunitas politik
yang lebih besar dari nation state. Para penganut Neo-Fungsionalisme percaya bahwa sebuah
proses integrasi yang dimulai dari sektor ekonomi akan menyebar ke sektor lainnya (Haas,
1968). Menurut Haas, ada tiga hal utama yang menjadi ide utama dalam teori neo-
fungsionalisme yaitu political community, political integration, dan spill-over.

Neo-fungsionalisme merupakan pengembangan dari struktural-fungsionalisme yang


mulai mengalami kemerosotan semenjak tahun 1960-an hingga 1980-an. Sehingga pada
tahun 1980-an ada upaya besar untuk menghidupkan kembali teori itu dengan judul baru
“Neo-fungsionalisme”. Istilah tersebut tidak hanya mencerminkan keinginan untuk
memelihara kelangsungan paradigma struktural-fungsionalisme yang banyak menuai kritik,
tapi juga upaya untuk menemukan jalan keluar dari kelemahan yang menjadi sasaran kritik
tersebut. Jeffrey Alexander (1985), seorang tokoh neo-fungsionalisme, menyebutkan bahwa
pendekatan ini sebagai: “Kritik introspektif teori fungsional yang mencoba memeperluas
cakupan intelektual fungsionalisme, seraya mempertahankan inti teorinya”. Sebenarnya
paradigma struktural-fungsionalisme mengandung unsur sintetis yang kuat. Talcott Parsons
dalam sosiologi, misalnya, mengembangkan bangunan integrasi dalam model sistem untuk
teori tindakan yang bersumber dari komponen-komponen analisis sosial. Parsons tertarik
untuk mempelajari keterjalinan hubungan antara ranah-ranah utama dalam kehidupan sosial,
terutama sistem budaya, sistem sosial dan sistem kepribadian.

Alexander (1985) mengindetifikasi beberapa kelemahan pendekatan Parsons yang


diasosiasikan dengan struktural fungsionalisme, yang perlu diatasi oleh neo-fungsionalisme.
Kelemahan-kelemahan tersebut, menurut Alexander, adalah: (a) anti-individu; (b)
antagonisme terhadap perubahan; (c) konservatisme; (d) idealisme; dan (e) anti-empiris.
Mengindefikasi lima kelemahan tersebut, Alexander berupaya memformulasikan solusi ke
dalam teorinya, yakni: (a) memasukkan faktor individu; (b) memerhatikan perubahan
sebagaia isu penting; (c) mengembangkan pemikiran nonkonsevatif; (d) memerhatikan aspek
praktis; dan (e) kajian empiris sangat penting. Namun, upaya tersebut tak begitu berhasil,
kerana ciri-ciri pemikiran neo-fungsionalisme yang digagasnya ternyata mirip dengan teori
tindakan sosial Bailey (1969) yang telah lama dikenal dalam teori antropologi.

Sedangkan Jensen mengungkapkan bahwa ada tiga karakteristik dari neo-


fungsionalisme yang dapat membantu memahami teori neo-fungsionalisme. Pertama, konsep
inti dari neo-fungsionalisme adalah spillover. Spillover mengacu pada sebuah proses dimana
kooperasi politik dilaksanakan dengan tujuan spesifik yang kemudian membuat terbentuknya
tujuan-tujuan baru untuk memastikan tercapainya tujuan-tujuan lama. Terdapat tiga tipe
spillover, yaitu functional spillover, political spillover, dan cultivated spillover. Functional
spillover dilakukan untuk kebutuhan yang bersifat fungsional atau teknikal. Contohnya
adalah dalam kasus single European market: untuk mengurangi trade barrier, dibuat regulasi
baru di bidang kesehatan dan keselamatan kerja, karena perbedaan regulasi nasional yang ada
dapat menghalangi kebebasan bergerak di EU. Political spillover adalah spillover yang terjadi
namun bukan didasari oleh alasan teknikal maupun fungsional, namun lebih karena alasan-
alasan ideologis atau politis. Contoh, salah satu negara anggota memiliki kepentingan di
bidang agrikultur, kemudian ada negara lain yang memiliki kepentingan di bidang kebijakan
industri, kemudian mereka sepakat, secara formal maupun informal, untuk mendukung satu
sama lain dalam negosiasi di tingkat regional. Sedangkan, cultivated spillover dapat dilihat
dalam situasi saat aktor supranasional, misalnya Komisi Eropa mendorong agenda /
kepentingan supranasional atau transnasional untuk diterapkan oleh anggota-anggotanya,
bahkan saat anggota-anggotanya tersebut ragu.

Jensen kemudian menulis bahwa teori neo-fungsionalisme mendapatkan kritik, baik


secara empiris maupun teoritis. Secara empiris, dikatakan bahwa teori neo-fungsionalisme
tidak relevan dengan kondisi Eropa pada tahun 1970-an karena tidak adanya (atau lambatnya)
proses integrasi politik di Eropa yang sebelumnya diprediksi akan terjadi oleh para neo-
fungsionalis. Haas sendiri juga mengakui adanya kekurangan-kekurangan pada teori neo-
fungsionalisme. Menurutnya, neo-fungsionalisme telah gagal menjelaskan kondisi Eropa
tahun 1970-an. Kegagalan ini, menurut Haas disebabkan oleh karena teori neo-
funsgionalisme meremehkan faktor-faktor seperti perbedaan kondisi dan ekspektasi di antara
para anggota.

teori neo-fungsionalisme tetap merupakan teori yang relevan dalam aspek - aspek
tertentu dari integrasi regional. Walaupun banyak dikritik dan hampir menghilang, teori neo-
fungsionalisme bangkit kembali pada masa 1980-an dan 1990-an. Hal ini disebabkan antara
lain oleh adanya European single market yang dianggap menandai fase baru kerja sama
ekonomi dan politik Eropa. Hal ini juga dianggap sebagai contoh dari spillover. Selain
itu, munculnya European Court of Justice juga menjadi contoh adanya otoritas dari organisasi
supranasional dan juga merupakan bukti adanya dinamika neo-fungsionalisme dalam EC.

Anda mungkin juga menyukai