Anda di halaman 1dari 9

RESUME TEORI SOSIOLOGI

TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN KONFLIK

Oleh:

Wafiq Mahmudi

NIM. 22161051

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (S2)

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2023
STRUKTURAL FUNGSIONAL

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali
mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.
Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu
menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang
saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar
organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.

Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga
bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya
berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh
Auguste Comte dan Herbert Spencer. Teori Fungsionalisme mengajarkan bahwa secara
teknis masyarakat dapat dipahami denan melihat sifatnya sebagai suatu analisis system sosial,
dan subsistem sosial, dengan pandangan bahwa masyarakat pada hakekatnya tersusun kepada
bagian-bagian secara struktural, dimana dalam masyarakat ini terdapat berbagai sistem-sistem
dan faktor-faktor yang satu sama lain mempunyai peran dan fungsinya masing-masing, saling
berfungsi, dan mendukung dengan tujuan agar masyarakat dapat terus bereksistensi, dimana
tidak ada satu bagian pun dalam masyarakat yang dapat dimengerti tanpa mengikutsertakan
bagian yang lain, dan jika salah satu bagian masyarakat yang berubah akan terjadi gesekan-
gesekan ke bagian lain dari masyarakat ini.

A. Talcotts Parsons

Teori fungsionalisme struktural Parsons berkonsentrasi pada struktur masyarakat


dan antar hubungan berbagai struktur tersebut yang dilihat saling mendukung menuju
keseimbangan dinamis. Perhatian dipusatkan pada bagaimana cara keteraturan
dipertahankan di antara berbagai elemen masyarakat Pemerhatian teori ini pada unsur
struktur dan fungsi dalam meneliti proses sosial dalam masyarakat dan pandangannya
pada masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari bagian-bagian atau subsistem
yang saling tergantung, teori ini menganggap integrasi sosial merupakan fungsi utama
dalam sistem sosial. Integrasi sosial ini mengonseptualisasikan masyarakat ideal yang
di dalamnya nilai-nilai budaya diinstitusionalisasikan dalam sistem sosial, dan
individu (sistem kepribadian) akan menuruti ekspektasi sosial. Maka, kunci menuju
integrasi sosial menurut Parsons adalah proses kesalingbersinggungan antara sistem
kepribadian, sistem budaya dan sistem sosial, atau dengan kata lain, stabilitas sistem

Kontribusi teori Parsons pada perkembangan teori sosial adalah pada


pengembangan teori dan analisis sosial, sistem sosial, integrasi sosial dan sistem
tindakan dalam sistem sosial (dioperasionalkan dalam empat skema tindakan: AGIL).
Prioritas Parsons adalah bagaimana membakukan suatu teori yang memadai tentang
sistem sosial, yang mampu memberikan seperangkat acuan struktural yang konsisten
untuk analisis (Turner 2012:160). Analisis sistem sosial Parsons memandang sistem
sosial sebagai satu kesatuan, meliputi semua jenis kehidupan kolektif sehingga ia
mengutamakan dominasi sistem sosial atas bagian-bagian atau subsistem/ individu
yang dikatakannya, mengendalikan individu, dan individu bertindak menurut
ekspektasi logis dari sistem masyarakat. Dengan kata lain, subsistem memang ingin
patuh pada sistem. Dalam mengoperasionalkan fungsi sistem sosial yang terkait
dengan subsistem, Parsons mengajukan empat skema fungsi penting untuk semua
sistem tindakan, yang terkenal dengan sebutan “skema AGIL”, yang dipercaya
Parsons diperlukan oleh semua sistem sosial. Menurut Parsons, suatu sistem sosial
agar tetap bertahan (survive), harus memiliki empat fungsi AGIL ini, yaitu: A
(Adaptation, adaptasi) – G (Goal Attainment, pencapaian tujuan) – I (Integration,
integrasi) – L (Latency, latensi, pemeliharaan pola), yang keempat-empatnya
beroperasi dalam relasi input-output dalam pertemuan yang kompleks, dan
didudukkan sebagai konsep analitis, bukan deskripsi empiris tentang kehidupan sosial
.

B. Robert K Merton

Teori Struktural Fungsional dari Robert K.Merton. Teori Fungsionalisme adalah


salah satu paham atau perspektif dalam sosiologi yang memandang masyarakat
sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu
sama lain dan bagian yang satu tak dapat berfungi tanpa ada hubungan dengan bagian
yang lain. Menurut Merton, Teori Fungsional merupakan suatu nilai yang
menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem sosial
yang terdiri atas bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu
dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan
menyebabkan ketidakseimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan
bagi yang lain.

Teori ini mengatakan bahwa segala sesuatu didalam masyarakat ada fungsinya,
termaksud hal-hal seperti kemiskinan, peperangan atau kematian. Selanjutnya
dinyatakan oleh Merton bahwa konsekuensi- objektif itu sangat penting karena dapat
digunakan dalam rangka pengembangan Teori Fungsional Struktural. Dalam hal ini
konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional justru dapat menimbulkan adanya
perubahan sosial. Hal tersebut karena menyebabkan adanya ketidakseimbangan dan
pertentangan yang dapat menghadirkan pemikiran yang bersifat alternatif untuk
menghilangkan suatu ketidakseimbangan dan menyebabkan pertentangan yang berupa
struktur substitusi.

Selain konsep disfungsi dan nonfungsi yang digagas oleh Merton, ia juga
menggagaskan konsep Fungsi Manifes dan Fungsi Laten dalam teori fungsional
strukturalnya. Fungsi disebut nyata, apabila konsekuensi tersebut disengaja atau
diketahui. Adapun fungsi disebut sembunyi, apabila konsekuensi tersebut secara
objektif ada tetapi tidak (belum) diketahui. Tindakan-tindakan mempunyai
konsekuensi yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Suatu pranata atau instansi
tertentu dapat fungsional terhadap suatu unit sosial tertentu dan sebaliknya akan
disfungsional terhadap unit sosial lain. Pandangan ini dapat memasuki konsepnya
yaitu mengenai sifat dan fungsi. Fungsi manifest dan fungsi laten. Kedua istilah ini
memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional. Fungsi manifes adalah fungsi
yang diharapkan Sedangkan fungsi laten adalah sebaliknya yang tidak diharapkan
Konsep mengenai fungsi manifes dan laten telah membuka fakta bahwa fungsi selalu
berada dalam daftar menu struktur.

Selain konsep disfungsi dan nonfungsi yang digagas oleh Merton, ia juga
menggagaskan konsep Fungsi Manifes dan Fungsi Laten dalam teori fungsional
strukturalnya. Fungsi disebut nyata, apabila konsekuensi tersebut disengaja atau
diketahui. Adapun fungsi disebut sembunyi, apabila konsekuensi tersebut secara
objektif ada tetapi tidak (belum) diketahui. Tindakan-tindakan mempunyai
konsekuensi yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Suatu pranata atau instansi
tertentu dapat fungsional terhadap suatu unit sosial tertentu dan sebaliknya akan
disfungsional terhadap unit sosial lain. Pandangan ini dapat memasuki konsepnya
yaitu mengenai sifat dan fungsi. Fungsi manifest dan fungsi laten. Kedua istilah ini
memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional. Fungsi manifes adalah fungsi
yang diharapkan Sedangkan fungsi laten adalah sebaliknya yang tidak diharapkan
Konsep mengenai fungsi manifes dan laten telah membuka fakta bahwa fungsi selalu
berada dalam daftar menu struktur.

Teori Konflik

Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme structural


dan akibat berbagai kritik seperti dibahas sebelumnya. Teori konflik brasal dari berbagai
sumber, antara lain teori Marxian dan pemikiran konfliksosial dari simmel. Masalah
mendasar dari teori ini adalah teori itu tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar
structural fungsionalnya. Teori ini lebih merupakan sejenis fungsionalisme structural yang
angkuh ketimbang teori yang benar benar berpandangan kritis terhadap masyarakat.

A. Karl Marx

Teori konflik menurut Karl Marx terjadi karena adanya pemisahan kelas di dalam
masyarakat, kelas sosial tersebut antara kaum borjuis dan kaum proletar, di mana
kaum borjuis yang mempunyai modal atas kepemilikkan sarana-sarana produksi
sehingga dapat menimbulkan pemisahan kelas dalam masyarakat. Karl Marx
menunjukkan bahwa dalam masyarakat pada abad ke-19 di Eropa terdiri dari kelas
pemilik modal (kaum borjuis) dan kelas pekerja miskin (kaum proletar). Kedua kelas
tersebut tentunya berada dalam struktur sosial hierarki yang jelas sekali
perbedaannya. Dengan jahatnya kaum borjuis kepada kaum proletar maka kaum
borjuis memanfaatkan tenaga dari kaum proletar. Kaum borjuis melakukan eksploitasi
terhadap kaum proletar dalam proses produksi, keadaan seperti ini akan terus berjalan
selama beriringnya waktu, karena kaum proletar yang pasrah, menerima keadaan yang
sudah ada, kaum proletar menganggap bahwa dirinya itu sudah takdirnya menjadi
buruh atau kaum pekerja. Dari ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum
borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar yang disebut revolusi, hal ini
bisa terjadi karena adanya kesadaran dari kaum proletar yang dieksploitasi kepada
kaum borjuis, dari kesadaran tersebut menjadikan persaingan yang merebutkan
kekuasaan, sehingga lahir tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu
membentuk tatanan ekonomi dan peradaban yang maju dalam masyarakat.

Teori konflik menurut Karl Marx menekankan pada tiga isu sentral yaitu:

1. Teori perjuangan kelas


2. Teori materialisme dialiektika/historis
3. Teori nilai lebih Yang pertama,t

Teori perjuangan kelas dimulai dari konsep revolusi, revolusi harus terjadi di
dalam kehidupan masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat Karl Marx membagi
dua kelas yaitu kelas buruh dan kelas majikan. Yang kedua, teori materialisme
dialektika, yang menentukan struktur masyarakat dan perkembangan dalam sejarah
adalah kelas-kelas sosial, bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan sosial,
melainkan sebaliknya, keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran manusia. Yang
ketiga, teori nilai dan nilai lebih artinya buruh mendapat upah sesuai dengan kerja
buruh tersebut, intinya hanya cukup untuk memulihkan tenaganya dengan kebutuhan
keluarganya. Karl Marx juga mengembangkan analisis politis dan ekonomi yang
beranggapan bahwa konflik adalah bagian yang terelakkan dalam sebuah masyarakat.
Semua peristiwa digerakkan oleh konflik antara kelas-kelas properti dan
ketidakpunyaan alat-alat produksi. Terdapat beberapa asumsi yang mendasari teori
Marx ini adalah:

a. Manusia tidak memiliki kodrat yang persis dan tetap


b. Tindakan, sikap dan kepercayaannya individu tergantung pada hubungan
sosialnya, dan hubungan sosialnya tergantung pada situasi kelasnya dan
struktur ekonomis masyarakatnya
c. Manusia tidak mempunyai kodrat, lepas dari apa yang diberikan oleh
posisi sosialnya
d. Dalam suatu sistem pasti ada benih-benih konflik kepentingan e. Konflik
adalah fakta sosial
e. Koflik merupakan suatu gejala yang ada dalam setiap sistem sosial
f. Konflik sangat mungkin terjadi terhadap distrbusi sumber daya yang
terbatas
g. Konflik merupakan suatu sumber terjadinya perubahan pada sistem sosial

Teori konflik menurut Karl Marx bahwa berpendapat bahwa bentuk-bentuk


konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama
melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. Jadi, Marx
beranggapan bahwa asas kepada pembentukan sesebuah masyarakat adalah
disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi seperti tanah, modal, industri dan
perdagangan. Asas kepada perubahan sebuah struktur masyarakat adalah disebabkan
faktor-faktor yang berkaitan dengan pengeluaran ekonomi. Faktor lain seperti agama,
institusi politik, kekeluargaan dan pendidikan pula menjadi superstruktur masyarakat.
Yang dapat berkuasa yaitu Kaum Kapitalis yang mana Kaum Kapitalis memiliki
modal sendiri milik pribadi seperti uang, mesin, peralatan, pabrik dan benda-benda
lain yang digunakan dalam sistem produksi. Sehingga terjadi struktur sosial antara
kaum borjuis dan kaum proletar.

Kaum borjuis dengan jahatnya mengeksploitasi besar-besaran kepada kaum


proletar, mereka hanya di upah sangat minim tidak sesuai dengan kerja ekstra mereka.
Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis dalam diri proletar,
yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Seiring
berjalannya waktu kaum proletar mulai sadar akan pengeksploitasian kepada dirinya
selama ini. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong
terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi karena
kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.

B. Lewis A Coser

Teori konflik menurut Coser dibagi menjadi dua, yang pertama konflik realistis
dan konflik non realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan terhadap adanya
tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan yang ditujukan kepada obyek
yang dianggap mengecewakan. Contohnya seperti para karyawan perusahaan yang
melakukan mogok kerja supaya gaji mereka dapat dinaikkan oleh atasannya.
Sedangkan konflik non realistis berasal dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan
yang paling tidak dari salah satu pihak. Contohnya pada masyarakat yang buta huruf
yang dalam membalaskan dendamnya dengan pergi ke dukun santet supaya dendam-
dendamnya terbayarkan, sedangkan pada masyarakat maju yang melakukan
pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan untuk melawan kelompok
yang seharusnya menjadi lawan mereka.

Teori konflik menurut Coser tidak selamanya konflik itu bersifat negatif bahkan
konflik dapat menjadikan positif. Konflik dapat menjadikan positif dalam hal
membantu mewujudkan rasa persatuan dan kesadaran akan hidup bermasyarakat.
Fungsi positif konflik yaitu menyebabkan perubahan dimana solidaritas kelompok
akan semakin erat untuk mengatasi masalah dengan kelompok lainnya. Dampak
positif lain dari konflik yaitu perubahan politik. Kita tahu di dalam dunia politik pasti
adanya persaingan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dengan saling
mempengaruhi satu sama lain dapat menjadikan keakraban antar anggota. Ada
perbedaan pendapat antara Coser dan Simmel.

Jika Coser tidak terlalu menaruh perhatian kepada hubungan timbal balik yang
lebih kompleks antara bentuk-bentuk konflik dan interaksi lainnya pada tingkat antar
individu, akan tetapi Coser lebih menyoroti pada konsekuensi-konsekuensi yang
timbul bagi sistem sosial yang lebih besar di mana konflik tersebut terjadi. Coser
menyatakan perselisihan atau konflik dapat berlangsung antara individu dan
kumpulan atau antar individu. Menurut Coser konflik merupakan unsur interaksi yang
sangat penting, tidak selalu konflik menimbulkan perpecahan atau dalam hal yang
tidak baik, bagi Coser konflik merupakan cara atau alat untuk mempertahankan ,
mempersatukan dan bahkan mempertegas sistem sosial yang ada. Contoh dari fungsi
positif konflik adalah hal-hal yang menyangkut dinamika hubungan antara in group
atau kelompok dalam dan out group atau kelompok luar. Kekuatan solidaritas dan
integrasi kelompok akan bertambah tinggi apabila tingkat permusuhan atau konflik
dengan kelompok luar bertambah besar. Coser lebih melihat pada sisi fungsinya
bukan sisi disfungsinya.

Dalam hal lain, Lewis A. Coser mengemukakan teori konflik dengan membahas
tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, fungsionalistas
konflik dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan
struktur kelompok sosial, sebagai berikut:

1. Permusuhan dalam hubungan sosial yang intim. Bila konflik berkembang


dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara
konflik realitis dan nonrealistis lebih sulit untuk dipertahankan. Karena
semakin dekat suatu hubungan, semakin besar rasa kasih sayang yang
sudah tertanamkan makin besar juga kecenderungan untuk menekan
ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangkan pada hubungan-
hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa
permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan.
2. Fungsionalitas konflik. Coser mengutip hasil pengamatan Georg simmel
yang menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan
ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan
keutuhah dan keseimbangan. sebagai contoh hasil pengamatan simmel
terhadap masyarakat Yahudi, bahwa peningkatan konflik dalam kelompok
dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan ke dalam
masyarakat secara keseluruhan. Karena homogenitas mungkin penting
bagi kelangsungan suatu kelompok terisolir yang berarti konflik internal
tidak ada, hal ini dapat juga berarti kelemahan integrasi kelompok tersebut
dengan masyarakat secara keseluruhan.
3. Kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan
struktur kelompok menurut coser, konflik dengan kelompok luar akan
membantu memantapkan batas-batas struktural. sebaliknya konflik dengan
kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok.
Tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi merupakan
hubungan timbal-balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat
mempertinggi kohesi kelompok. Bilamana konsensus dasar suatu
kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada
peningkatan kohesi, akibatnya kelompok terancam oleh perpecahan.

Coser memandang kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik


membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial
dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-
batasnya berbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan
para anggota kelompok melalui pengukuhan kembali identitas kelompok.
C. Ralp Dahrendrof

Teori konflik menurut Dahrendorf dalam setiap kelompok seseorang berada dalam
posisi dominan berupaya mempertahankan status quo yang berarti orang tersebut
mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti keadaan sebelumnya.
Sedangkan masyarakat yang dalam posisi marginal atau kaum yang terpinggirkan
berusaha mengadakan perubahan. Konflik dapat merupakan proses penyatuan dan
pemeliharaan stuktur sosial. Jadi tidak selamanya konflik itu bersifat negatif ada juga
segi positifnya. Konflik dapat saling menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok, konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak terpecah ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Ada beberapa model konflik bagi Dahrendorf diantaranya sebagai berikut:

1. Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan


2. Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik-konflik
sosial
3. Setiap elemen dalam masyatakat menyumbang pada disintegrasi dan
perubahan
4. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan atas beberapa anggotanya oleh
orang lain

Jadi menurut Dahrendorf konflik yang masih bersifat laten akan dapat berubah
menjadi manifes apabila masing-masing dari mereka sadar akan kepentingannya.
Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa adanya konsensus dan
konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain, jadi kita tidak akan punya konflik
kecuali ada konsensus sebelumnya. Teori konflik Dahrendorf ini merupakan sistem
campuran yang memiliki beberapa sifat dari kedua pendekatan alternatif. Titik awal
Darendorf adalah bahwa fungsionalisme struktural Marxisme dapat diterima
dimasyarakat yang maju. Hanya saja dia menyatakan bahwa, struktur fungsionalis
realitas mengabaikan konflik sosial dan bahwa Marx didefinisikan kelas terlalu sempit
dan dalam konteks historis spesifik. Selain itu, ia percaya bahwa secara tradisional,
Marx mengabaikan konsensus dan integrasi di struktur sosial modern.

Konflik menurut Dahrendorf berargumen bahwa sekali kelompok-kelompok


konflik muncul, mereka terlibat di dalam tindakan-tindakan yang menyebabkan
perubahan-perubahan di dalam struktur sosial. Ketika konflik disertai dengan
kekerasan, akan terjadi perubahan struktural yang mendadak. Konflik menurut
Dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dahrendorf membedakan
tiga kelompok yang luas. Yang pertama, kelompok kuasi yang kedua kelompok
kepentingan dan yang ketiga kelompok konflik.

Jadi asumsi Dahrendorf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap
saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem
sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi
dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan
terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan
tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban di dalam kehidupan
masyarakat. Perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan
konflik sosial sistematis.

Hubungan otoritas dan konflik sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi
yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang
berbeda-beda. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga
tidak bersifat statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam
lingkungan tertentu dan tidak mempunyai kuasa pada lingkungan lainnya. Mereka
yang berada pada kelompok atas atau penguasa ingin tetap mempertahankan status
quo sedangkan mereka yang berada dalam kelompok bawah berkeinginan supaya ada
perubahan. Sumber konflik menurut Dahrendorf yaitu adanya jenjang antara si kaya
dan si miskin, pejabat memperlakukan pegawainya secara semena-mena, majikan
yang memperlakukan seenaknya kepada buruh, kepentingan antara buruh dan majikan
antar kelompok, antar partai, dan adanya dominasi ketidakadilan atau diskriminasi
agama, dan juga kekuasaan.

Sumber
Jhonson, P. D. (1986). Teori Sosiologi Klasik Dan Modern Jilid II Terjemahan Robert M.Z.
Lawang. Jakarta: PT Gramedia.

Jones, P. (2009). Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Fungsionalisme hingga Post-


modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Soekanto, S. (2009). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Supardan, H. D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural.


Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai