Oleh:
Wafiq Mahmudi
NIM. 22161051
PROGRAM PASCASARJANA
2023
STRUKTURAL FUNGSIONAL
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali
mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.
Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu
menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang
saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar
organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.
Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga
bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya
berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh
Auguste Comte dan Herbert Spencer. Teori Fungsionalisme mengajarkan bahwa secara
teknis masyarakat dapat dipahami denan melihat sifatnya sebagai suatu analisis system sosial,
dan subsistem sosial, dengan pandangan bahwa masyarakat pada hakekatnya tersusun kepada
bagian-bagian secara struktural, dimana dalam masyarakat ini terdapat berbagai sistem-sistem
dan faktor-faktor yang satu sama lain mempunyai peran dan fungsinya masing-masing, saling
berfungsi, dan mendukung dengan tujuan agar masyarakat dapat terus bereksistensi, dimana
tidak ada satu bagian pun dalam masyarakat yang dapat dimengerti tanpa mengikutsertakan
bagian yang lain, dan jika salah satu bagian masyarakat yang berubah akan terjadi gesekan-
gesekan ke bagian lain dari masyarakat ini.
A. Talcotts Parsons
B. Robert K Merton
Teori ini mengatakan bahwa segala sesuatu didalam masyarakat ada fungsinya,
termaksud hal-hal seperti kemiskinan, peperangan atau kematian. Selanjutnya
dinyatakan oleh Merton bahwa konsekuensi- objektif itu sangat penting karena dapat
digunakan dalam rangka pengembangan Teori Fungsional Struktural. Dalam hal ini
konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional justru dapat menimbulkan adanya
perubahan sosial. Hal tersebut karena menyebabkan adanya ketidakseimbangan dan
pertentangan yang dapat menghadirkan pemikiran yang bersifat alternatif untuk
menghilangkan suatu ketidakseimbangan dan menyebabkan pertentangan yang berupa
struktur substitusi.
Selain konsep disfungsi dan nonfungsi yang digagas oleh Merton, ia juga
menggagaskan konsep Fungsi Manifes dan Fungsi Laten dalam teori fungsional
strukturalnya. Fungsi disebut nyata, apabila konsekuensi tersebut disengaja atau
diketahui. Adapun fungsi disebut sembunyi, apabila konsekuensi tersebut secara
objektif ada tetapi tidak (belum) diketahui. Tindakan-tindakan mempunyai
konsekuensi yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Suatu pranata atau instansi
tertentu dapat fungsional terhadap suatu unit sosial tertentu dan sebaliknya akan
disfungsional terhadap unit sosial lain. Pandangan ini dapat memasuki konsepnya
yaitu mengenai sifat dan fungsi. Fungsi manifest dan fungsi laten. Kedua istilah ini
memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional. Fungsi manifes adalah fungsi
yang diharapkan Sedangkan fungsi laten adalah sebaliknya yang tidak diharapkan
Konsep mengenai fungsi manifes dan laten telah membuka fakta bahwa fungsi selalu
berada dalam daftar menu struktur.
Selain konsep disfungsi dan nonfungsi yang digagas oleh Merton, ia juga
menggagaskan konsep Fungsi Manifes dan Fungsi Laten dalam teori fungsional
strukturalnya. Fungsi disebut nyata, apabila konsekuensi tersebut disengaja atau
diketahui. Adapun fungsi disebut sembunyi, apabila konsekuensi tersebut secara
objektif ada tetapi tidak (belum) diketahui. Tindakan-tindakan mempunyai
konsekuensi yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Suatu pranata atau instansi
tertentu dapat fungsional terhadap suatu unit sosial tertentu dan sebaliknya akan
disfungsional terhadap unit sosial lain. Pandangan ini dapat memasuki konsepnya
yaitu mengenai sifat dan fungsi. Fungsi manifest dan fungsi laten. Kedua istilah ini
memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional. Fungsi manifes adalah fungsi
yang diharapkan Sedangkan fungsi laten adalah sebaliknya yang tidak diharapkan
Konsep mengenai fungsi manifes dan laten telah membuka fakta bahwa fungsi selalu
berada dalam daftar menu struktur.
Teori Konflik
A. Karl Marx
Teori konflik menurut Karl Marx terjadi karena adanya pemisahan kelas di dalam
masyarakat, kelas sosial tersebut antara kaum borjuis dan kaum proletar, di mana
kaum borjuis yang mempunyai modal atas kepemilikkan sarana-sarana produksi
sehingga dapat menimbulkan pemisahan kelas dalam masyarakat. Karl Marx
menunjukkan bahwa dalam masyarakat pada abad ke-19 di Eropa terdiri dari kelas
pemilik modal (kaum borjuis) dan kelas pekerja miskin (kaum proletar). Kedua kelas
tersebut tentunya berada dalam struktur sosial hierarki yang jelas sekali
perbedaannya. Dengan jahatnya kaum borjuis kepada kaum proletar maka kaum
borjuis memanfaatkan tenaga dari kaum proletar. Kaum borjuis melakukan eksploitasi
terhadap kaum proletar dalam proses produksi, keadaan seperti ini akan terus berjalan
selama beriringnya waktu, karena kaum proletar yang pasrah, menerima keadaan yang
sudah ada, kaum proletar menganggap bahwa dirinya itu sudah takdirnya menjadi
buruh atau kaum pekerja. Dari ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum
borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar yang disebut revolusi, hal ini
bisa terjadi karena adanya kesadaran dari kaum proletar yang dieksploitasi kepada
kaum borjuis, dari kesadaran tersebut menjadikan persaingan yang merebutkan
kekuasaan, sehingga lahir tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu
membentuk tatanan ekonomi dan peradaban yang maju dalam masyarakat.
Teori konflik menurut Karl Marx menekankan pada tiga isu sentral yaitu:
Teori perjuangan kelas dimulai dari konsep revolusi, revolusi harus terjadi di
dalam kehidupan masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat Karl Marx membagi
dua kelas yaitu kelas buruh dan kelas majikan. Yang kedua, teori materialisme
dialektika, yang menentukan struktur masyarakat dan perkembangan dalam sejarah
adalah kelas-kelas sosial, bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan sosial,
melainkan sebaliknya, keadaan sosiallah yang menentukan kesadaran manusia. Yang
ketiga, teori nilai dan nilai lebih artinya buruh mendapat upah sesuai dengan kerja
buruh tersebut, intinya hanya cukup untuk memulihkan tenaganya dengan kebutuhan
keluarganya. Karl Marx juga mengembangkan analisis politis dan ekonomi yang
beranggapan bahwa konflik adalah bagian yang terelakkan dalam sebuah masyarakat.
Semua peristiwa digerakkan oleh konflik antara kelas-kelas properti dan
ketidakpunyaan alat-alat produksi. Terdapat beberapa asumsi yang mendasari teori
Marx ini adalah:
B. Lewis A Coser
Teori konflik menurut Coser dibagi menjadi dua, yang pertama konflik realistis
dan konflik non realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan terhadap adanya
tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan yang ditujukan kepada obyek
yang dianggap mengecewakan. Contohnya seperti para karyawan perusahaan yang
melakukan mogok kerja supaya gaji mereka dapat dinaikkan oleh atasannya.
Sedangkan konflik non realistis berasal dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan
yang paling tidak dari salah satu pihak. Contohnya pada masyarakat yang buta huruf
yang dalam membalaskan dendamnya dengan pergi ke dukun santet supaya dendam-
dendamnya terbayarkan, sedangkan pada masyarakat maju yang melakukan
pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan untuk melawan kelompok
yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Teori konflik menurut Coser tidak selamanya konflik itu bersifat negatif bahkan
konflik dapat menjadikan positif. Konflik dapat menjadikan positif dalam hal
membantu mewujudkan rasa persatuan dan kesadaran akan hidup bermasyarakat.
Fungsi positif konflik yaitu menyebabkan perubahan dimana solidaritas kelompok
akan semakin erat untuk mengatasi masalah dengan kelompok lainnya. Dampak
positif lain dari konflik yaitu perubahan politik. Kita tahu di dalam dunia politik pasti
adanya persaingan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dengan saling
mempengaruhi satu sama lain dapat menjadikan keakraban antar anggota. Ada
perbedaan pendapat antara Coser dan Simmel.
Jika Coser tidak terlalu menaruh perhatian kepada hubungan timbal balik yang
lebih kompleks antara bentuk-bentuk konflik dan interaksi lainnya pada tingkat antar
individu, akan tetapi Coser lebih menyoroti pada konsekuensi-konsekuensi yang
timbul bagi sistem sosial yang lebih besar di mana konflik tersebut terjadi. Coser
menyatakan perselisihan atau konflik dapat berlangsung antara individu dan
kumpulan atau antar individu. Menurut Coser konflik merupakan unsur interaksi yang
sangat penting, tidak selalu konflik menimbulkan perpecahan atau dalam hal yang
tidak baik, bagi Coser konflik merupakan cara atau alat untuk mempertahankan ,
mempersatukan dan bahkan mempertegas sistem sosial yang ada. Contoh dari fungsi
positif konflik adalah hal-hal yang menyangkut dinamika hubungan antara in group
atau kelompok dalam dan out group atau kelompok luar. Kekuatan solidaritas dan
integrasi kelompok akan bertambah tinggi apabila tingkat permusuhan atau konflik
dengan kelompok luar bertambah besar. Coser lebih melihat pada sisi fungsinya
bukan sisi disfungsinya.
Dalam hal lain, Lewis A. Coser mengemukakan teori konflik dengan membahas
tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, fungsionalistas
konflik dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan
struktur kelompok sosial, sebagai berikut:
Teori konflik menurut Dahrendorf dalam setiap kelompok seseorang berada dalam
posisi dominan berupaya mempertahankan status quo yang berarti orang tersebut
mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti keadaan sebelumnya.
Sedangkan masyarakat yang dalam posisi marginal atau kaum yang terpinggirkan
berusaha mengadakan perubahan. Konflik dapat merupakan proses penyatuan dan
pemeliharaan stuktur sosial. Jadi tidak selamanya konflik itu bersifat negatif ada juga
segi positifnya. Konflik dapat saling menjaga garis batas antara dua atau lebih
kelompok, konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak terpecah ke dalam dunia sosial sekelilingnya.
Jadi menurut Dahrendorf konflik yang masih bersifat laten akan dapat berubah
menjadi manifes apabila masing-masing dari mereka sadar akan kepentingannya.
Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa adanya konsensus dan
konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain, jadi kita tidak akan punya konflik
kecuali ada konsensus sebelumnya. Teori konflik Dahrendorf ini merupakan sistem
campuran yang memiliki beberapa sifat dari kedua pendekatan alternatif. Titik awal
Darendorf adalah bahwa fungsionalisme struktural Marxisme dapat diterima
dimasyarakat yang maju. Hanya saja dia menyatakan bahwa, struktur fungsionalis
realitas mengabaikan konflik sosial dan bahwa Marx didefinisikan kelas terlalu sempit
dan dalam konteks historis spesifik. Selain itu, ia percaya bahwa secara tradisional,
Marx mengabaikan konsensus dan integrasi di struktur sosial modern.
Jadi asumsi Dahrendorf tentang masyarakat ialah bahwa setiap masyarakat setiap
saat tunduk pada proses perubahan, dan pertikaian serta konflik ada dalam sistem
sosial juga berbagai elemen kemasyarakatan memberikan kontribusi bagi disintegrasi
dan perubahan. Suatu bentuk keteraturan dalam masyarakat berasal dari pemaksaan
terhadap anggotanya oleh mereka yang memiliki kekuasaan, sehingga ia menekankan
tentang peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban di dalam kehidupan
masyarakat. Perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan
konflik sosial sistematis.
Hubungan otoritas dan konflik sosial Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa posisi
yang ada dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang
berbeda-beda. Otoritas tidak terletak dalam diri individu, tetapi dalam posisi, sehingga
tidak bersifat statis. Jadi, seseorang bisa saja berkuasa atau memiliki otoritas dalam
lingkungan tertentu dan tidak mempunyai kuasa pada lingkungan lainnya. Mereka
yang berada pada kelompok atas atau penguasa ingin tetap mempertahankan status
quo sedangkan mereka yang berada dalam kelompok bawah berkeinginan supaya ada
perubahan. Sumber konflik menurut Dahrendorf yaitu adanya jenjang antara si kaya
dan si miskin, pejabat memperlakukan pegawainya secara semena-mena, majikan
yang memperlakukan seenaknya kepada buruh, kepentingan antara buruh dan majikan
antar kelompok, antar partai, dan adanya dominasi ketidakadilan atau diskriminasi
agama, dan juga kekuasaan.
Sumber
Jhonson, P. D. (1986). Teori Sosiologi Klasik Dan Modern Jilid II Terjemahan Robert M.Z.
Lawang. Jakarta: PT Gramedia.