Anda di halaman 1dari 15

Teori Fungsionalisme Struktural &

Teori Konflik
Teori Fungsionalisme Struktural & Teori Konflik

1. Teori Fungsionalisme Struktural


Teori ini menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik serta perubahan dalam masyarakat.
Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest, dan keseimbangan (equilibrium).

Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa
perubahan pula terhadap bagian yang lain. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan
satu sistem atau peristiwa terhadapa sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu
peristiwa atau suatu sistem dapat menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim
penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.
Maka jika terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah
bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.

Singkatnya adalah masyarakat menurut kaca mata teori (fungsional) senantiasa berada dalam keadaan berubah
secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur fungsional
bagi sistem sosial itu. Demikian pula semua institusi yang ada, diperlukan oleh sosial itu, bahkan kemiskinan serta
kepincangan sosial sekalipun. Masyarakat dilihat dalam kondisi: dinamika dalam keseimbangan.

1. Teori Konflik
Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang teori Fungsionalisme Struktural. Karena itu tidak mengherankan
apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat adalah Teori
Fungsionalisme Struktural. Tokoh utama Teori Konflik adalah Ralp Danrendorf.

Jika menurut Teori Fungsionalisme Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam
kondisi keseimbangan, maka menurut Teori Konflik malah sebaliknya. Kalau menurtu Teori Fungsionalisme
Struktural setiap elemen satau setiap institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas, maka Teori Konflik melihat
bahwa setiap elemen atau institusi memberikan sumbangan terhadap disintegerasi sosial. Kontras lainnya adalah
bahwa penganut Teori Fungsionalisme Struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-
norma, nilai-nilai dan moralitas umum, maka Teori Konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu
hanyalah disebabkan karena adanya teknan atau pemaksaan kekuasaan atas golongan yang berkuasa.

Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe. Kelompok semu (quasi group)dan
kelompok kepentingan (interest group). Kelompok semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau
jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok-kelompok kepentingan.
Sedangkan kelompo dua, yakni kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok
kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan
inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.

Adapun mengenai fungsi dari adanya konflik, Berghe mengemukakan ada empat hal:

1) Sebagai alat untuk solidaritas.

2) Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain.

3) Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.

4) Fungsi komunikasi. Sebelum sebuah konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan. Tapi
dengan adanya konflik, posisi dan batas antara kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan kelompok tahu secara
pasti di mana mereka berdiri, dan karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih
tepat.

Singkatnya, Teori Konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam
masyarakat dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri. Masyarakat selalu dipandangnya dalam kondisi
konflik. Mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan
dalam masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Antropologi sebagai suatu Ilmu yang mempelajari makhluk antrhopos atau manusia
merupakan suatu integrasi dari beberapa ilmu yang masing-masing mempelajari suatu kompleks
masalah khusus mengenai makhluk manusia. Pada masa kini di Indonesia ada bermacam-macam
penataran dalam metode penelitian masayrakat, dari yang hanya berlangsung dua minggu hingga
yang berlangsung satu tahun penuh.
Teori Fungsional-struktural adalah sesuatu yang urgen dan sangat bermanfaat dalam suatu
kajian tentang analisa masalah social. Hal ini disebabkan karena studistruktur dan fungsi
masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telahmenembus karya-karya para
pelopor ilmu sosiologi dan para ahli teori kontemporer.Oleh karena itu karena pentingnya
pembahasan ini maka kami dari kelompok 3 mengangkat tema ini. Mudah-mudahan dapat
bermanfaat.Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan struktural fungsionalmerupakan
hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di manapendekatan fungsionalisme yang
diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara
mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal
dari linguistik,menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan
sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau analisa sistem pada prinsipnya berkisar pada
beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur.

BAB II
PEMBAHASAN

1. TEORI-TEORI FUNGSIONAL DAN STRUKTURAL


a. Fungsionalisme Malinowski
Teori-teori fungsional dalam ilmu antropologi mulai dikembangkan oleh seorang tokoh yang
sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia
dilahir di Cracow, Polandia sebagai putera keluarga bangsawan polandia. Ayahnya adalah guru
besar dalam Ilmu Sastra Slavik, jadi tidaklah mengherankan apabila Malinowski memperoleh
pendidikan yang kelak memberikannya suatu karier akademik juga.
Bronislaw Malinowski menurut pandangannya setiap unsur kebudayaan mempunyai fungsi
penting, sebagaimana dari kutipan berikut “ …..in every type civilization, every costum, material
object, idea and belief fulfills some vital function, has some tasks to accomplish, represent an
indispensable part within a working whole.” [1]
Dalam tahun 1940 ia diundang sebagai guru besar tamu di Universitas Yale pada saat itulah
ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untyuk menganalisa fungsi dari kebudayaan
masyarakat manusia, yang disebutnya suatu teori fungsional tentang kebudayaan atau a
functional theory of cultur. Hal yang sangat unik dari etnografi Malinowski yang belum pernah
dilakukan pengarang etnografi lain sebelumnya adalah cara Malinowski menggambarkan
hubungan berkait natara sistem kula dengan lingkungan alam sekitar pulau-pulau serta berbagai
macam unsur kebudayaan dan masyarakat penduduknya, yaitu ciri-ciri fisik dari lingkungan
alam tiap pulau, keindahan laut kerangnya, aneka-aneka floranya, pola-pola pemukiman
komunitas serta kebun-kebunnya.
Cara mengarang etnografi seperti yang dilakukan oleh Malinowski itu memang merupakan
cara baru yang unik dalam metode penulisan etnografi pada waktu itu. Namun ia sendiri mula-
mula agaknya tidak sengaja bermaksud mengintroduksikan sesuatu metode antropologi yang
baru. Tetapi setelah ia mendapat reaksi dan respons yang begitu luas, berkembanglah
pemikirannya mengenai metode untuk mendeskripsi berbagai kaitan berfungsi dari unsur-unsur
kebudayaan dalam suatu sistem sosial yang hidup.
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara
fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian
lapangan dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriad. Dalam
hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tingkat abstraksi yaitu:
a. Fungsi Sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi
pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah-laku manusia dan pranata sosial
yang lain dalam masyarakat.
b. Fungsi Sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua
mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk
mencapai maksudnya seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
c. Fungsi Sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai
pengaruh atau efeknya terhadap kebutuha mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari
suatu sistem sosial yang tertentu.
Walaupun demikian, setiap ahli antropologi mempunya fokus perhatian tertentu. Ada
misalnya ahli antropologi yang memperhatikan sistem ekonomi sebagai pokok utama dari
deskripsinya. Lainnya memfokus pada kehidupan kekerabatan, sistem pelapisan masyarakat atau
sistem kepemimpinan. Pengarang etnografi dengan suatu fokus perhatian seperti itu biasanya
dimulai dengan unsur pokoknya. Bisa juga ia mempergunakan cara susunan etnografi yang lain
dan mulai dengan unsur-unsur lainnya sebagai pengantar kebudayaan.[2]
Meringkas kembali yang terurai sebelumnya, maka sebuah karangan tentang kebudayaan
suatu suku bangsa yang disusun menurut kerangka etnografi akan terdiri dari bab-bab seperti
terdaftar dibawah ini:
a. Lokasi, lingkungan alam dan demografi.
b. Asal mula dan sejarah suku bangsa.
c. Bahasa.
d. Sistem Teknologi.
e. Sistem mata pencaharian.
f. Organisasi sosial.
g. Sisem pengetahuan.
h. Kesenian.
i. Sistem Religi.[3]
Malinowski juga pernah mempersoalkan azas dari aktivitas pengendalian sosial atau hukum.
Ia menganalisa masalah itu sebagai berikut :
a. Dalam masyarakat modern, tata tertib kemasyarakatan dijaga antara lain oleh suatu sistem
pengendalian sosial yang bersifat memaksa, yaitu hukum. Untuk melaksanakannya hukum
disokong oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan (kepolisian,pengadilan dsb).
b. Dalam masyrakat primitif alat-alat kekuasaan serupa itu kadang-kadang tidak ada.
c. Dengan demikian apakah dalam masyarakat primitif tidak ada hukum? Seandainya demikian
maka timbul suatu soal lain, yaitu bagaimana suatu masyarakat serupa itu dapat menjaga tata
tertib dan kelancaran dari segala kehidupan sosialnya.
Suatu pendirian penting lain dari Malinowski adalah mengenai mitologi atau himpunan
atau himpunan dongeng-dongeng suci dalam masyrakat orang Trobriand pada khusunya, dan
menurut Malinowski juga dalam semua masyarakat pada umumnya. Adapun sistem kepercayaan
dan gagasan, pelajaran, aturan agama, dongeng suci tentang riwayat dewa-dewa (mitologi),
biasanya tercantum dalam suatu himpunan buku-buku yang biasanya juga dianggap suci. [4]
Sistem upacara keagamaan secara khusus mengadung empat aspek yang menjadi
perhatian khusus dari para ahli antropologi ialah: a. tempat upacara keagamaan dilakukan, b.
saat-saat upacara keagamaan dijalankan, c. benda-benda dan alat upacara, d. orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara.
Aspek pertama berhubungan dengan tempat-tempat keramat yang dilakukan, yaitu makam,
candi, pura, kuil, gereja, langggar, surau, masjid dan sebagainya. Aspek kedua adalah aspek
mengena saat-saat beribadah, hari-hari keramat dan suci sebagainya. Aspek ketiga adalah tentang
benda-benda yang dipakai dalam upacara termasuk patung-patung yang melambangkan dewa-
dewa, alat bunyi-bunyian seperti lonceng suci, serling suci, gendering suci dan sebagainya.[5]
Keistimewaan metode Malinowski yang membedakannya dengan sarjana lain yang pernah
menganalisa metode mitologi adalah bahwa ia mengobservasi dongeng-dongeng suci tadi dalam
kenyataan kehidupan dan tidak hanya naskah-naskah atau teks-teks yang berpisah dari hubungan
sosialnya.

b. Teori fungsional tentang kebudayaan


Secara garis besar Bronislaw Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis
fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang kebudayaan atau
“a functional theory of Culuture”. Dan melalui teori ini banyak antropolog yang sering
menggunakan teori tersebut sebagai landasan teoritis hingga dekade tahun 1990-an, bahkan
dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini untuk menganalisis data penelitian untuk
keperluan skripsi dan sebagainya (Andi, 2010). Malinowski berpendapat bahwa pada dasarnya
kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun yang bersifat
psikologis dan kebudayaan pada pokoknya memenuhi kebutuhan tersebut. Menurut pendapatnya,
ada tiga tingkatan yang harus terekayasa dalam kebudayaan, yaitu:
1. kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi.
2. kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan
pendidikan.
3. kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian.[6]

Inti dari teori fungsional Malinowski adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu
sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk
manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kebutuhan itu meliputi kebutuhan
biologis maupun skunder, kebutuhan mendasar yang muncul dari perkembangan kebudayaan itu
sendiri. Sebagai contoh, Malinowski menggambarkan bahwa cinta dan seks yang merupakan
kebutuhan biologis manusia, harus diperhatikan bersama-sama dalam konteks pacaran, pacaran
menuju perkawinan yang menciptakan keluarga, dan keluarga tercipta menjadi landasan bagi
kekerabatan dan klen, dan bila kekerabatan telah tercipta akan ada sistem yang mengaturnya.[7]
Dalam sebuah bukunya, Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur
kebudayaan yang sangat komplek. Tetapi inti dari teori tersebut adalah pendirian bahwa segala
aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah
kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian
sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan misalnya terjadi karena mula-mula manusia
ingin memuaskan kebutuhan nalurinya akan keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena
kebutuhan naluri manusia untuk tahu. Di samping itu, masih banyak aktivitas kebudayaan terjadi
karena kombinasi dari beberapa kebutuhan masyarakat. Misalnya budaya yang muncul akibat
kepentingan kelompok masyarakat tertentu, umpamanya kelompok masyarakat petani, nelayan,
atau para politikus, akademisi dan lain-lain . Masing-masing dari kelompok tersebut akan selalu
berusaha menjaga eksistensinya agar dapat menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan
dari kelompoknya sendiri.
Contoh lain dari unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasan, ciptaan pikiran,
cerita dan sayir yang indah. Namun kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi
berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar,
penonton, dan konsumen hasil kesenian. Tetapi selain itu semua kesenian juga berupa benda-
benda indah, candi, kain tenun yang indah dan sebagainya.[8]
Manusia, melalui instrumentalisasi kebudayaan, maka di dalam mengembangkan maupun
memenuhi kebutuhannya, ia harus mengorganisasi peralatan, artefak, dan kegiatan menghasilkan
makan melalui bimbingan pengetahuan, dengan kata lain yaitu melalui proses belajar manusia
dapat meningkatkan eksistensinya. Jadi kebutuhan akan ilmu dalam proses belajar adalah
mutlak. Dan di samping itu tindakan manusia juga harus dibimbing oleh keyakinan, demikian
pula magik. Karena tatkala manusia mengembangkan sistem pengetahuan ia akan terikat dan
dituntut untuk meneliti asal mula kemanusiaan, nasib, kehidupan, kematian dan alam semesta.
Jadi, sebagai hasil langsung kebutuhan manusia untuk membangun sistem dan mengorganisasi
pengetahuan, timbul pula kebutuhan akan agama.
Konsep kebudayaan terintegarasi secara menyeluruh dalam upaya pemenuhan kebutuhan
manusia. Kebudayaan sebagai seperangkat sarana adalah masalah mendasar. Kepercayaan, dan
magik sekalipun, harus mengandung inti utilitarian, karena ia memenuhi fungsi psikologis.
Aturan-aturan dan ritual magik dan agama tertentu dapat memantapkan kerjasama yang
diperlukan, di samping juga untuk memenuhi kepuasan pribadi sesorang. [9]

2. STRUKTURALISME RADCLIFE-BROWN
Teori-teori structural dalam ilmu antropologi ada beberapa macam, tetapi konsepnya untuk
pertama kali 1881-1955. Ia dilahirkan di Inggris pada tahun 1881, bealajar filsafat yang
mengandung psikologi experimental, ekonomi dan filsafat. Dalam tahun 1910 Radclife-Brown
melakukan penelitian lapanagan di antara suku bangsa Kariera, penduduk pribumi australi di
Australia Barat. Penelitian yang berpusat kepada masalah tetosisme itu menghasilkan buku three
Tribes of western Australia (1913).
Dibandingkan dengan etnografi Malinowski tentang penduduk Trobriand, maka etnografi
Radclife-Brown mengenai kebudayaan penduduk kepulauan Andaman berjudul The Andaman
Islanders (1922). Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya dan
malahan dirumuskan pada bagian pertama dari bab mengenai upacara sebagai berikut:
1. Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentiment dalam jiwa para
warganya yang merangsang mereka utnuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai
efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dan sentiment tersebut.
3. Sentiment itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh
hidup masyarakatnya.
4. Adat istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentiment-sentimen itu dapat diexpresikan
secara kolektif dan berulang pada saat-saat tertentu.
5. Expresi kolektif dari sentiment memelihara intensitas sentiment itu dalam jiwa warga
masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga dalam generasi berikutnya.

a. Konsep-konsep Radcliffe-Brown Mengenai Hukum.


Kalau pandangan Radcliffe-Brown mengenai pentingnya arti penelitian lapangan bagi studi
antropologi (walaupun dalam metode penelitian ia sendiri sangat lemah ), dan pendiriannya
mengenai fungsi sama dengan pendirian Malinowski mengenai hal itu dalam tingkat abstraksi
ketiga, maka pendiriannya mengenai hukum pada dasarnya berbeda. Hal ini dapat dilihat dari
karangannya berjudul Law, Primitiveyang sebenarnya merupakan suatu entre
dalam Encyclopedia of the Social Sciences, IX (1935). Dalam tulisan itu ia menyatakan bahwa
istilah hukum sebagai istilah teknis, sebaikya dibataskan kepada sistem pengendalian sosial yang
ada dalam masyarakat bernegara, karena hanya dalam suatu organisasi sosial seperti itulah
mungkin ada alat-alat seperti polisi bersenjata, pengadilan, penjara, dan sebagainya. yang
semuanya merupakan sarana-sarana mutlak bagi keberlangsungan hidup hukum.
b. Metodologi Ilmu Alam Untuk Ilmu Sosial.
Jasa Radcliffe Brown dalam perkembangan ilmu antropologi adalah usahanya untuk
membuat ilmu itu suatu ilmu yang mengembangkan suatu metodologi seperti yang ada dalam
ilmu-ilmu alam, khususnya fisika dan biologi. Ini merupakan cita-cita lama, tetapi yang utama
dikonsepsikannya ketika ia menjadi guru besar di Chicago, dimana ia memberikan kuliah yang
bersifat teori yaitu mengenai “Ilmu Kebudayaan Komparatif” atau Comparative Science of
Culture. Radcliffe-Brown mengakui bahwa suatu ilmu seperti tersebut diatas belum ada, kecuali
dalam fase yang masih sangat dini. Ia yakin bahwa perkembangan suatu ilmu sosial dasar seperti
itu, yang dapat menganalisa azas-azas dari masyarakat mahluk manusia itu itu sangat mungkin
asal dua buah syarat dapat terpenuhi. Syarat mutlak pertama ke arah suatu metode seperti itu
adalah suatu metode komparatif yang seksama, yang dapat membandingkan secara sistematis
berbagai tipe sistem sosial yang mungkin ada dalama masyarakat mahluk manusia didunia, dan
mengembangkan suatu klasifikasi dari tipe-tipe sistem sosial itu. Namun suatu metode
komparatif seperti itu sebaliknya memerlukan syarat lain lagi, yaitu metodologi yang lebih
seksama untuk mengobservasi dan mendeskripsi sistem-sistem sosial, sehingga fakta-fakta yang
harus dipakai dalam metode komparatif tersebut diatas itu benar-benar betul. Dalam metode
komparatif itu perlu dipergunakan suatu konsep dasar yang menjadi kesatuan dalam analisa
komparatif, yaitu konsep “struktur sosial” atau social structure.
Radcliffe-Brown juga mengakui bahwa perkembangan kearah kematangan dari suatu ilmu
sosial dengan metodologi ilmu alam tidak akan dapat terjadi dengan cepat, karena ada empat
faktor yang menghambatnya, yaitu : (i) sifat multipal, yaitu jumlah yang besar dan beraneka-
warna dari gejala-gejala sosial, (ii) cara berfikir historis yang telah berakar dalam alam pikiran
kebanyakan sarjana ilmu sosial, (iii) konsep-konsep psikologi yang seringkali juga sudah berakar
dalam alam pikiran kebanyakan sarjana ilmu sosial, padahal konsep-konsep psikologi hanya
dapat menerangkan sebab-musabab tingkah laku seseorang, tetapi tidak mungkin dapat
menerangkan sebab-sebab dari suatu gejala sosial, (iv) penelitian ilmu-ilmu sosial terlampau
banyak dipengaruhi oleh pandangan umum yang menghendaki jawaban segera terhadap suatu
masalah sosial yang mendesak atau yang menghendaki fakta untuk melaksanakan suatu tindakan
atau untuk menyusun suatu kebijaksanaan.
c. Konsep Mengenai Struktur Sosial Dan Ilmu Antropologi Sosial.
Uraian mengenai apa yang dimaksudkan oleh Radcliffe Brown dengan istilah Social
Structure sudah sering diberikannya dalam berbagai tulisan. tetapi suatu uraian yang jelas dan
ringkas diberikannya dalam pidato pengukuhannya sebagai ketua lembaga atropologi Royal
Anthropological Institute Of Great Britain and Ireland dalam tahun 1939. Dalam pidati yang
berjudulnya On Social Structure itu ia menerangkan bahwa :
1. masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya terdiri dari serangkaian
gejala-gejala yang dapat kita sebut gejala sosial.
2. Masyarakat yang hidup sebenarnya juga merupakan suatu klas dari gejala-gejala diantara gejala-
gejala alam yang lain dan dapat juga dipelajari dengan metodologi yang sama.
3. Suatu masyarakat yang hidup merupakan suatu sistem sosial, dan suatu sistem sosial yang
mempunyai struktur juga seperti halnya bumi, organisma, mahluk, atau molekul.
4. Suatu Ilmu mengenai masyarakat seperti ilmu sosial , yang mempelajari struktur sistem-sistem
sosial adalah sama halnya dengan ilmu geologi yang mempelajari struktur kulit bumi.
5. Suatu struktur sosial merupakan total dari jaringan hubungan antara individu atau lebih baik
person dan kelompok-kelompok person.
6. bentuk dari struktur sosial adalah tetap dan kalau berubah proses itu biasanya berjalan lambat
sedangkan realitas struktur sosial atau wujud dari struktur sosial yaitu person-person atau
kelompok-kelompok yang ada didalamnya, selalu berubah dan berganti.
7. dalam penelitian masyarakat dilapangan seorang peneliti mengobservasi wujud dari struktur
sosial, tetapi analisanya harus sampai kepada pengertian tentang bentuknya yang bersift lebih
abstrak.
8. seorang ahli ilmu sosial yang mendeskripsi suatu struktur sosial dalam keadaan seolah-olah
berhenti menjadi morfologi sosial, tetapi juga dalam keadaan berproses menjadi fisiologi sosial.
9. struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriterium untuk menentukan batas dari suatu sistem
sosial atau suatu kesatuan masyarakat sebagai organisma.
10. Ilmu antropoli sosial adalah salah satu ilmu sosial yang bertugas mempelajari struktur-struktur
sosial dari sebanyak mungkin masyarakat sebagai kesatuan-kesatuan dan membandingkannya
dengan metode analisa komparatif untuk mencari azas-azasnya,.
11. klasifikasi dari aneka-warna gejala alam itu telah terbukti mutlak untuk kemajuan ilmu alam.

3. TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL HOCART


a. Riwayat Hidup Arthur Maurice Hocart, (1883-1939).
Hocart dilahirkan dekat kota Brussel di belgia, dimana ayahnya seorang warga negara inggris
bekerja sebagai pendeta Gereja Unitarian. Ia lulus Universitas Oxford dalam tahun 1902 sebagai
sarjana Ilmu Sastra Klasik dan kemudian belajar ilmu psikologi dan filsafat di Universitas Berlin.
Dalam tahun 1909 ia turut dalam Percy Sladen Trust Expedition ke kepulauan solomon di
melanesia, sebagai asisten dari ahli antropologi terkenal W.H.R Rivers. Sesudah perang dunia I
ia diangkat menjadi pegawai Dinas Arkeologi di Sri langka pada tahun 1918, tetapi ia diwajibkan
untuk belajar bahasa sanskrit, pali, tamil, dan singhal dahulu di universitas oxford. Pada tahun
1934 ia menjadi guru besar antropologi di universitas Raja fuad I di kairo. dalam masa itulah ia
menerbitkan banyak buku, a.l. The Progress Of Man and Kings and Councellors (1936). Namun
ia tidak lama diperkenankan bekerja ; lima tahun sesudah pengangkatannya ia meninggal di
fayun, mesir.
4. ANTROPOLOGI SOSIAL DI INGGRIS SESUDAH MALINOWSKI DAN RADCLIFFE-
BROWN.
Envans-Pritchard Tentang Sejarah dan Antropologi. Pada tahun 1926 Evans-Pritchard pergi
ke lapangan penelitian di afrika, dimana ia berkali-kali hingga enam kali selama lima tahun,
melakukan penelitian. Antara tahun 1926 dan 1930 Evans-Pritchard menjadi lektor dalam ilmu
antropologi sosial pada london school of economics, dan antara 1931 dan 1934 menjadi guru
besar ilmu sosiologi di universitas Raja fuad I Ddikairo. Ia kemudian kembali ke inggries untuk
menjadi ahli peneliti dalam ilmu sosiologi di universitas Oxford pada tahun 1934. Waktu perang
dunia II pecah Evans-Pritchard masuk tentara dan berjuang di afrika. Setelah perang selesai
dalam tahun 1945 ia diangkat menjadi lektor dalam ilmu antropologi sosial di universitas
Cambridge dan menjadi guru besar di universitas Oxford tahun berikutnya. Sampai saat itu
Evans-Pritchard telah menulis lebih dari seratus empat puluh buah karangan besar-kecil, tetapi ia
baru dapat mulai menggarap bahan etnografinya yang utama yaitu mengenai suku bangsa Nuer
setelah pelaksanaannya di Oxford.

a. Konsep Evans-Pritchard Mengenai Hubungan Antara Antropologi Sosial Dan Sejarah.


walaupun dalam penelitian lapangan ia menerapkan metode-metode penelitian kualitatif yang
dianjurkan oleh Malinowski, dan walaupun dalam analisa dan penggarapan bahan data ia
menerapkan konsep struktur sosial secara fungsional yang dianjurkan oleh Radcliffe-Brown,
namun dalam sikapnya terhadap ilmu sejarah dan dalam pandangannya tentang tujuan dari ilmu
antropologi sosial, Evans-Pritchard sangat berbeda, baik dengan Malinowski maupun dengan
Radcliffe-Brown. Ia berpendapat bahwa ahli antropologi sosial pada dasarnya tidak berbeda
dengan ahli sejarah, khususnya ahli sejarah sosial. kedua-duanya bertujuan merekonstruksi dan
membuat deskripsi mengenai struktur sosial dari suatu masyarakat tertentu. Bedanya hanyalah
bahwa ahli antropologi melakukannya didalam suatu masyarakat masa kini, yang terletak jauh
diluar masyarakatnya sendiri, sedangkan ahli sejarah melakukannya dalam masyarakat dari suatu
zaman yang lampau yang menyebabkan bahwa sumber data dan metode serta teknik penelitian
antara kedua ilmu itu berbeda (Evans-Pritchard 1961). Beliau sendiri malahan juga
mempergunakan data bahan sejarah dan sumber-sumber data sejarah dengan metode-metode dan
teknik-teknik pengumpulan data seperti yang digunakan oleh para ahli sejarah.

b. Mayers Fortes Dan Masalah Dimensi Waktu Dalam Struktur Sosial.


Fortes (1905) juga seorang tokoh antropologi inggris yang pernah belajar dibawah
malinowski dan Radcliffe-Brown. Ia dilahirkan di afrika selatan dalam tahun 1905. Belajar ilmu
psikologi du Universitas Cape Town , dan melanjutkannya di universitas London. Dalam tahun
1930 ia mendapat gelar P.h.D. dari universitas London dalam ilmu psikologi. Dalam daftar
karang-karangannya yang sampai tahun 1973 terdiri dari seratus satu judul, terlihat bahwa
hingga tahun 1933 karya-karyanya masih tetap dalam bidang ilmu psikologi dan baru sejak tahun
1936 muncul karang-karangan nya yang pertama dalam ilmu antropologi sosial. Karya yang
membuatnya ia terkenal dalam ilmu antropologi adalah karyanya mengenai suku bangsa Tallensi
yang tinggal di bagian utara Ghana di afrika barat. Terutam dua yang terpenting diantara
serangkaian karangannya mengenai berbagai unsur dan aspek masyarakat dan kebudayaan
Tallensi adalah The Dynamics of Clanship Among the Tallensi (1945) dan The Web of Kinship
Among the Tallensi (1949). Sebagai seorang ahli antropologi sosial inggris M.Fortes telah
melakukan penelitian lapangan dengan metode-metode kualitatif intensif menurut standar
malinowski. Dalam menganalisa bahan dan data etnografinya ia mempergunakan konsep
struktur sosial seperti yang dirumuskan Radcliffe-Brown secara ketat. Kemudian Fortes
menyatakan bahwa struktur sosial selalu berubah baik dalam bentuknya maupun dalam
wujudnya yang nyata . Struktur sosial tidak boleh kita bayangkan sebagai suatu hal yang diam;
struktur sosial selalu hidup, dan karena itu juga bergerak,. Namun geraknya itu ada tiga macam
yaitu:
1. Bergerak. Karena suatu hubungan itu merupakan aktifitas yang berlangsung dalam ruang waktu
dan ada duration time-nya.
2. Bergerak, dalam arti kontinuitas dari struktur sosial dalam rangka waktu.
3. Bergerak, dalam arti proses pertumbuhan dari struktur sosial. misalnya suatu rumah tangga
terdiri dari dua angkatan yaitu orang tua dan anak-anaknya.

c. Raymond Firth dan Mikro-Sosiologi.


Ahli antropologi bernama Raymond Firth (1901) adalah satu-satunya diantara para ahi
antropologi inggris yang umumnya dikenal dikalangan ilmiah di indonesia, karena buku
pelajarannya yang kecil berjudul Human Types pernah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia
dengan judul Tijri-Tijri Dalam Alam Hidup Manusia. Raymond Firth lahir di selandia baru, dan
pendidikan universitasnyadimulainya dalam ilmu ekonomi. Dalam tahin 1924 ia melanjutkan ke
london school of economics. Karena mengikuti kuliah malinowski ia menjadi tertarik kepada
ilmu antropologi, lalu pindah studinya. Setelah lulus dan mendapat gelar doctor, ia tetap di
london school of economics sebagai lector dalam antropologi sosial, dan kemudian menjadi guru
besar hingga ia dipensiun menjadi guru besar emeritus di universitas itu dalam tahun 1966.
Dalam garis besarnya Firth mempunyai pendirian yang sama dengan M. Fortes mengenai arti
struktur sosial, yaitu jaringan hubungan antara bagian-bagian dari suatu masyarakat yang
memelihara azas-azasnya untuk jangka waktu secontinue mungkin. Karena itu struktur sosial itu,
menurut Firth, sebenarnya adalah hubungan yang ideal antara bagian-bagian masyarakat,
sedsngkan di dalamnya dinamik kehidupan individu yang konkret dari satu angkatan ke angkatan
berikutnya menyebabkan suatu proses perubahan yang dapat berlangsung lambat, tetapi dapat
juga cepat dan memberi dimensi waktu kepada suatu "struktur sosial". Hanya saja, berbeda
dengan Fortes, kecuali menyatakan secara explisit bahwa "sturktur sosial" merupakan pola
hubungan yang ideal, Firth juga membatasi sturktur sosial itu pada hubungan-hubungan dalam
rangka hanya sejumlah sektor hidup yang terbatas, yaitu kehidupan dalam rangka sistem
kekerabatan, sistem stratifikasi sosial (terutama yang tradisional, dan yang mengenai kedudukan
manusia dalam pemilikan tanah), serta dalam rangka sistem kehidupan keagamaan (Firth 1951 :
31-32).
Pendirian Firth mengenai konsep "fungsi sosial" adalah sama dengan pendirian Malinowski
tentang fungsi dalam tingkatabstraksi ketiga. Serupa dengan itu Firth menganggap bahwa fungsi
dari suatu gejala sosial adalah untuk memelihara kebutuhan masyarakat untuk hidup langsung
sebagai kesatuan holistik. Dalam hal itu Firth menganggap penting konsep pranata atau
institution seperti yang dikonsepsikan Malinowski karena Firth juga beranggapan bahwa semua
gejala sosial yang pada hakekatnya terdiri dari tingkah laku manusia berpola, adalah selalu
tindakan yang terorganisasi, dan organized action itu hanya terjadi dalam rangka pranata-pranata
yang tertentu (1951 : 34-35).
Erat sangkut-pautnya dengan pemikiran di atas, Firth mengusulkan agar istilah "struktur
sosial" dan "organisasi sosial" yang oleh banyak ahli antropologi yang lain dianggap sinonim
sebagai dua istilah untuk satu konsep yang sama. Dipisahkan dengan tajam. Organisasi sosial,
menurut Firth, adalah pengaturan dari keseluruhan jaringan struktur-struktur sosial maupun
pranata-pranata di mana manusia yang hidup. Bersama manusia lain itu biasanya begerak (1951 :
35-40).
d. Tokoh-Tokoh Antropologi Sosial Lain Sesudah Malinowski dan Radcliffe-Brown.
Serupa dengan karya-karya Evans-Prit-chard, Fortes dan Firth terurai di atas, semua tokoh
antropologi sosial lain yang pernah belajar antropologi sosial di bawah bimbingan Malinowski
dan Radcliffe-Brown, atau yang paling sedikit terpengaruh oleh kedua tokoh tersebut,
menganggap masyarakat dan kebudayaan yang menjadi obyek penelitiannya sebagai suatu
kesatuan hoslistik yang terdiri dari pranata-pranata, yang masing-masing terjaring erat. Mereka
semua mempergunakan konsep dasar dalam penelitian dan analisa mereka. Banyak diantaranya
bekerja di negara-negara jajahan Ingris di Afrika, India, Birma, Malaysia, Papua Nuiguni,
diantara juga yang menganut pendirian bahwa tujuan ilmu antropologi sosial adalah untuk
mencapai pengertian tentang azas-azas masyarakat dan kebudayaan manusia pada umumnya,
tetapi dengan cara mempelajari masyarakat yang wujudnya kurang komplex. Kecuali itu ada
yang bekerja dalam lapangan antropologi praktikal, atau antropologi terapan yang dalam
kenyataan berarti mengembangkan pengertian tentang masyarakat dan kebudayaan suku bangsa
penduduk daerah jajahan Inggris, guna kepentingan pemerintahan jajahan, atau guna mengamati
perobahan kebudayaan tradisional mereka dalam menghadapi zaman modern ini.
Di antara tokoh-tokoh antropologi sosial yang seangkatan dengan Evans-Pritchard, Fortes,
dan Firth, terdapat L. Hogbin, S.F. Nadel, I. Schapera, dan E. Leach, serta para tokoh antropologi
wanita Inggris A. Richard, L. Mair dan M. Wilson. Di antara mereka juga M.N. Srinivas, yang
menjadi tokoh antropologi sosial India yang terkenal. Kecuali Hogbin, Leach dan Srinivas,
semua ahli antropologi Inggris tersebut merupakan ahli Afrika. Hogbin adalah ahli kebudayaan
suku-suku bangsa di Polinesia; leach pernah meneliti suku bangsa kachin di Birma; sedangkan
Srinivas adalah ahli kebudayaan suku suku bangsa di negaranya sendiri, India.
Di antara para ahli antropologi sosial yang seangkatan lebih muda lagi, yaitu para bekas
mahasiswa Evans-Pritchard, Fortes, dan Firth, ada beberapa yang masih berkesempatan
mengikuti kuliah-kuliah Radcliffe-Brown. Beberapa malahan masih sempat mengikuti kuliah
Malinowski. Banyak di antara ahli antropologi sosial yang menjadi tokoh terkenal di kalangan
ilmu antropologi sedunia, dan karena mereka adalah sarjana yang sejaman dengan kita sekarang
maka ada baiknya kita mengetahui lebih banyak mengenai tokoh-tokoh itu. Mereka adalah
M.Freedman, J.A. Barnes, J. Goody, M. Gluckman, R. Neddham, J.D. Freeman, A. Forge,
M.Swift, Chie Nakane, C.S. Belshaw, dan F. Barth.

5. TEORI STRUKTURAL PARA AHLI ANTROPOLOGI BELANDA


Teori-teori antropologi struktural juga berkembang di Negeri Belanda. Bagi kita hal itu
penting, karena daerah penelitian para sarjana Belanda., terutama sebelum Perang Dunia ke II
biasanya adalah di Indonesia. Namun pengaruh dari teori struktural yang dikembangkan para ahli
antropologi Belandaitu tidak berasal dari Radcliffe-Brown, melainkan dari sumber yanglebih
awal yaitu, E. Durkheim. Pengaruh Durkheim sampai kepada para ahli antropologi Belanda
melalui analisanahli hukum adat Belanda, F.D.E. Van Ossenburggen, terhadap sistem federasi
lima desa di Jawa yang terkenal dengan sebutan sistem macapat, dan juga melalui penelitian ahli
folklorBelanda, W.H. Rasses.
Van Ossenbruggen telah menganalisa sistem macapat di Jawa, dalam karangannya De
Oorsprong van het Primitieve Classificaties (1917).27 Sistem macapat di jawa adalah sistem
federasi antara satu desa induk dengan empat sub-desa yang terletak disebuah utara, timur,
selatan, dan barat desa induk itu, untuk bekerjasama dalam saat-saat ada bencana, dan untuk
memberantas kejahatan. Dalam hal itu ia mempergunakan teori Durkheim dan Mauss (hlm. 89-
102 di atas) mengenai cara klasifikasi oleh manusia yang hidup dalam masyarakat primitif.
Sistrem pembagian masyarakatlah yang menjadi kerangka umum untuk segala macam klasifikasi
dalam segala bidang berpikir dalam kebudayaan yang bersangkutan. Dengan demikian menurut
Van Ossenbruggen sistem macapat menjadikerangkaklasifikasi dengan lima kategori dengan satu
kategori pusat yang dikelilingi empat suib-kategori, dan kedalam rangka itulahdogolongkan
segala macam konsep yang dikenal dalam kebudayaan Jawa.
W.H. Rasses adalah ahli folklor Belanda yang pernah menganalisa rangkaian cerita Panji
dalam suatustudi untuk dissertasinya berjudul De Pandji-Roman(1922). Berdasarkan karangan
Van Ossenbruggen ia mengajukan pendapat bahwa di zaman dahulu struktur masyarakat Jawa
terbagi ke dalam dua paroh, atau moiety yang secara nyata terwujud sebagai desa indukdi satu
pihak, dan empat sub-desa di pihak lain. Dalam struktur yang konsentris itu kedua paroh
masyarakat yang exogam itu saling tukar-menukar wanitauntuk dikawinkan. Kecuali itu kedua
paroh masyarakat itu menurut adat bekerjasama secara gptong-royong, tetapi juga saling
bersaing. Mite-mite kuno yang menjdi “pototipe” atau contoh dan sumber asli dari ceritera Panji
adalah cerita sejarah keramat mengenai kelahiran dan perjuangan hidup para nenek moyangdari
kedua paroh masyarakat. Mite-mite itu didongengkan dsalam bentuk nyanyian pada upacara
inisiasi anak-anak muda dari kedua paroh itu masing-masing. Kecuali itu, berdasarkan teori Van
Ossenbruggen dan teori Durkheim Mauss, Rasses berpendirian bahwa kedua paroh masyarakat
dan sub-sub bagiannyatadi juga dipergunakan orang Jawa zaman kuno sebagai kerangka pikiran
untuk mengklaskan segala hal yang ada dalam golongan-golongan tertentu.
Penelitian Rasses terhadap mitologi Jawa dalam bentuk-bentuk cerita Panji itu menarik
perhatian J.PB. de Josselin de Jong, gurubesar antropologi di Universitas Leiden. Ia kemudian
berpikir bahwa dengan metode itu para ahli antropologi bisa menganalisa pula berbagai komplex
dongeng mitologi didaerah lain di Indonesia untuk mendapat pengertian tentang struktur sosial
Indonesia. Struktur sosial seperti yang di kontruksikan Rasses itu diperkirakannya merupakan
azas organisasi dari masyarakat semua suku bangsa di Nusantara. Hipotesa itu diajukan Josselin
de Jong dalam karangannya yang terkenal De Maleische Archipel als Ethnologish
Studieveld (1935).
Dalam kuliah-kuliahnya De Josselin de Jong menganjurkan kepada para mahasiswanya
untuk menguji hipotesanya itu, dan dengan demikian ia menggerakkan suatu aktivitas penelitian
yang luas diantara sejumlah ahli antropologi Belanda di berbagai daerah di Indonesia. Para
peneliti itu berusaha dengan penelitian perpustakaan, tetapi diantara satu-dua diantara mereka
juga dengan penelitian lapangan untuk mengumpulkan bahan organisasi sosial dan mitologi yang
dapat membuktikan bahwa struktur sosial Indonesia Kuno seperti yang dikonstruksi oleh Rasses
dan de Josselin de jong itu benar-benar ada, dan merupakan azas keseragaman dibelakang aneka
warna bentuk organisasi sosial yang secara lahiriah tampak di daerah Nusantara masa kini.
Para ahli antropologi Belanda dan Frieddericy dan R.E. Downs yang meneliti organisasi
sosial di Sulawesi Selatan dan tengah; H. Scharer yang meneliti Kalimantan; Koes Sardjono,
yang meneliti anak gembala di Jawa; P.E. de Josselin de Jong (kemenakan J.P.B. De Josselin de
jong), yang meneliti Sumatera Barat, dan G.J. Held, yang dengfan metode penelitian lapangan
meneliti, organisasi sosial suku bangsa waropen di pantai timur Teluk Cendrawasih, di Irian
Jaya, dan organisasi sosial kerajaan Dompu di sumbawa Timur. Sayang, perhatian yang
terlampau besar terhadap masalah struktur sosial Indonesia Kuno ini menyebabkan bahwa para
ahli antropologi Belanda yang bekerja di Indonesia itu kemudian mengabaikan masalah-masalah
perobahan kebudayaan masa kini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat adanya perbedaan pandangan tentang teori Fungsionalis dan structural dari
beberapa teori para tokoh-tokoh. Diantaranya Tokoh Malinowski berpendapat bahwa setiap
unsur kebudayaan mempunyai fungsi penting. Secara garis besar Bronislaw Malinowski merintis
bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu
teori fungsional tentang kebudayaan atau “a functional theory of Culuture”.
Sedangkan menurut Radclife-Brown dengan istilah Social Structure sudah sering
diberikannya dalam berbagai tulisan. tetapi suatu uraian yang jelas dan ringkas diberikannya
dalam pidato pengukuhannya sebagai ketua lembaga atropologi Royal Anthropological Institute
Of Great Britain and Ireland dalam tahun 1939. Dalam pidati yang berjudulnya On Social
Structure itu ia menerangkan bahwa salah satunya: masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam
semesta sebenarnya terdiri dari serangkaian gejala-gejala yang dapat kita sebut gejala sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Sunarto, Kamanto, 2004. Edisi Revisi : Pengantar Sosiologi. Jakarta : Lembaga penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Prof. Dr. Koentjaraningrat, 2009. Edisi Revisi : Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT.
Rineka Cipta
Koentjaraningrat, 2010. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
http://maychan9.blogspot.com/2013/10/may-anjars-world-bagi-ilmu.html
http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html

[1] Pengantar Sosiologi edisi Revisi, Kamanto Sunarto hal 217


[2] Pengantar Ilmu Antropologi edisi Revisi 2009, Prof. Dr.Koentjaraningrat hal 256
[3] Ibid hal 257.
[4] Ibid hal 296.
[5] Pengantar Ilmu Antropologi edisi Revisi 2009, Prof. Dr.Koentjaraningrat hal 296
[6] http://maychan9.blogspot.com/2013/10/may-anjars-world-bagi-ilmu.html, diunduh pada tanggal 01 April 2014
[7] http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html, diunduh pada tanggal 01 April 2014
[8] Pengantar Ilmu Antropologi edisi Revisi 2009, Prof. Dr.Koentjaraningrat hal 166
[9] http://teologihindu.blogspot.com/2011/03/aplikasi-teori-pungsional-struktural.html, diunduh pada tanggal 01 April 2014

Anda mungkin juga menyukai