Dalam kajian sosiologi, manusia adalah bahasan utama yang akan selalu disinggung.
Manusia memiliki sifat yang sangat kompleks dan dinamis. Untuk memahami manusia
dengan beragam karakter dan permasalahannya inilah, dibutuhkan berbagai landasan
teori.
Terdapat setidaknya tiga teori utama sosiologi yang dapat dijadikan sebagai perspektif
dalam memandang berbagai kajian sosial. Tiga teori utama sosiologi ini meliputi teori
fungsionalisme struktural, teori konflik, dan teori interaksi simbolik.
Ketiga perspektif ini dinilai cukup berpengaruh dalam berbagai kajian sosiologi dan
sering digunakan untuk mengkaji berbagai fenomena sosial. Sekalipun dinamika teori
sosial terus mengalami perkembangan sehingga memunculkan perspektif -perspektif
baru mengenai sosiologi, namun ketiga perspektif ini masih banyak digunakan dan
dirasa masih relevan untuk menganalisa fenomena sosial yang berlangsung masa kini.
Dalam kajian ilmu, teori adalah hal penting untuk melakukan analisis dalam
memandang serangkaian fakta dan relasinya dengan sesuatu yang lain. Teori utama
sosiologi ini pun akan membantu kita lebih memahami fenomena sosial yang
berlangsung dalam masyarakat dan kaitannya dengan hal lain.
Baik teori fungsionalisme struktural, teori konflik, maupun teori konflik maupun teori
interaksi simbolik akan membantu menjelaskan mengenai apa, kenapa dan bagaimana
masyarakat bekerja, sehingga kita bisa mendapatkan kesimpulan mengenai apa yang
dapat kita lakukan terhadap masyarakat kita untuk menjadikannya lebih baik.
Dalam konteks sosiologi, persektif ini digunakan sebagai dasar untuk menilai
sekumpulan asumsi dan gagasan yang terjadi dalam proses sosial. Perspektif yang
digunakan dalam memandang proses sosial ini tidak secara tunggal benar maupun
salah. Masing -masing perspektif yang ada hanya memandang serta menganalisis
masyarakat dengan cara yang berbeda.
Perlu dipahami pula bahwa dalam perspektif sosiologi ini, ada dua aliran besar persektif
yang secara umum digunakan untuk mengukur permasalahan sosial yang terjadi, yakni
perspektif mikro dan makro. Masing -masingnya melihat dengan cara pandang yang
berbeda berdasarkan pada lingkup masyarakat yang terlibat di dalamnya, sekaligus
menawarkan jawaban berbeda untuk masalah yang diidentifikasi.
Dalam memandang proses sosial ini, perspektif struktural fungsional dan perspektif
konflik sosial menggunakan perspektif makro pada masyarakat, sementara perspektif
interaksionisme simbolik, mengambil perspektif mikro. Bedanya, perspektif makro ini
melihat pada lingkup yang lebih luas pada masyarakat di dalam kelompok atau sistem
sosial, sedangkan perpspektif mikro lebih menekankan pada relasi antar individunya.
Sebagaimana perspektif makro, teori ini mengulas perilaku manusia dalam konteks
organisasi (masyarakat) dan bagaimana perilaku tersebut berpengaruh terhadap
kondisi keseimbangan organisasi atau masyarakatnya.
Keseimbangan sistem dapat tercipta dan terjaga ketika setiap bagian dari sisem
tersebut menjalankan fungsinya masing -masing. Tiap -tiap bagian terhubung dan
saling tergantung satu sama lain, sehingga ketika satu saja bagian tidak berfungsi,
maka akan tercipta keadaan yang bersifat patologis, di mana keseimbangan sistem
akan terganggu.
Contoh teori struktural fungsional yang dikembangkan Durkheim ini dapat dilihat pada
kondisi masyarakat modern dengan segala kebutuhannya di berbagai aspek, termasuk
aspek teknologi informasi dan komunikasi.
Ketika akses teknologi informasi dan komunikasi terganggu, semisal karena satelit
telekomunikasi yang terganggu, maka hal ini akan mempengaruhi bagian lain dari
sistem masyarakat modern ini, hingga keseluruhan sistem terganggu. Kehidupan
ekonomi masyarakatnya misalnya, seperti transaksi ekonomi akan ikut terhenti.
Keadaan ini pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sampai tercipta keadaan
normal yang dapat dipertahankan. Keadaan normal ini biasa disebut oleh para
fungsionalis kontemporer sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang
seimbang. Adapun keadaan patologis menunjukkan kondisi ketidakseimbangan atau
perubahan sosial.
Empat komponen penting dalam teori struktural fungsional menurut Parsons yaitu :
Adaptation, Goal Atainment, Integration, dan Latency (AGIL). Berikut keterangannya :
Adaptation : sistem sosial atau masyarakat selalu megnalami perubahan sehingga
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, secara internal
maupun eksternal.
Goal Attainment : setiap sistem sosial atau masyarakat akan senantiasa terdapat
berbaga tujuan yang hendak dicapai sisstem sosial tersebut.
Integration : setiap bagian dari sistem sosial terintegrasi satu sama lain serta
cendeung bertahan pada equilibrium (keseimbangan).
Latency : sistem sosial senantiasa berusaha mempertahankan bentuk-bentuk
interaksi yang relatif tetap atau statis, sehingga setiap perilaku yang menyimpang
diakomodasi melalui kesepakatan-kesepakatan yang terus menerus diperbaharui.
Parsons memang banyak menyumbangkan pemikirannya dalam teori struktural
fungsional ini, sehingga dikenal pula danya teori fungsionalisme Parsons.
birokrasi adalah bentuk dari struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan
formal;
biroktasi meliputi suatu pola kegiatan dengan adanya batas-batas yang jelas;
kegiatan-kegiatan yang berlangsung dalam sistem secara ideal berhubungan dengan
tujuan-tujuan organisasi;
jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan dalam keseluruhan struktur
birokratis;
Status-status yang ada dalam birokrasi, tersusun dalam susunan hirarkis;
Kewajiban serta hak-hak dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terperinci;
otoritas terletak pada jabatan, bukan terletak pada orang;
hubungan-hubungan yang terjalin antara orang-orang dibatasi secara formal.
Model birokrasi seperti yang digambarkan Merton ini dapat diilustrasikan dalam bentuk
organisasi-organisasi yang berskala besar. Contohnya saja seperti perusahaan,
universitas atau akademi.
Paradigma analisa fungsional Merton dapat dirangkum dalam tiga postulat sebagai
analisa fungsional yang kemudian disempurnakannya satu demi satu. Secara ringkas,
postulat pertama, adalah postulat kesatuan fungsional masyarakat yang
menunjukkan bahwa kesatuan fungsional masyarakat memiliki bagian -bagian yang
saling bekerja sama dalam tingkat konsistensi internal yang memadai, tanpa
menghasilkan konflik berkepanjangan tidak teratasi (Merton, 1967: 80).
Postulat kedua adalah postulat fungsionalisme universal, beranggapan bahwa
seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang telah baku memiliki fungsi-fungsinya
sendiri yang positif, yang pada akhirnya dapat menetapkan keseimbangan dalam
sistem sosial.
Postulat ketiga melengkapi trio postulat fungsionalisme, berupa postulat
indispensability, yakni dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek
materil, dan kepercayaan, seluruhnya memenuhi beberapa fungsi serta tugas penting
yang harus dijalankan, sehingga tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai
keseluruhan (Merton, 1967: 86).
Sederhananya, dalam postulat ketiga ini, seluruh aspek standar masyarakat tidak
hanya memiliki fungsi positif saja, melainkan merepresentasikan pula bagian-bagian
yang tak terpisahkan dari keseluruhan. Postulat ini mengarah pada gagasan bahwa
seluruh struktur dan fungsi secara fungsional pada dasarnya diperlukan masyarakat.
Jadi, ide dasar dari teori konflik ini diambil dari pemikiran kedua pemikir ini. Marx dan
Weber secara tegas menolak gagasan yang menyatakan bahwa masyarakat cenderung
mengarah pada konsensus dasar atau harmoni, di mana struktur masyarakat yang
berlangsung bekerja untuk kebaikan setiap orang.
Padahal, konflik dan pertentangan kepentingan masing -masing individu dan kelompok
menurut Marx dan Weber adalah saling bertentangan, dan merupakan determinan
utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial.
Karl Marx (1818-1883) dianggap sebagai pelopor utama dari teori konflik. Bahkan,
Riyadi Soeprapto dalam “Interaksionisme Simbolik” menyebutnya sebagai sebagai
mahaguru perspektif konflik.
Dasar pemikiran Marx yang diambil adalah mengenai eksploitasi besar-besaran yang
dianggap sebagai penggerak utama kekuatan-kekuatan sejarah. Marx memandang
adanya perbedaan kelas yang salah satunya disebabkan oleh proyek industrialisasi,
dan hal ini hanya mengejar keuntungan secara ekonomi semata. (Soeprapto, 2002: 72).
Perjuangan masyarakat kelas adalah konsepsi mendasar yang saat itu banyak
dikonsepsikan oleh Karl Marx. Hal ini dipicu oleh kondisi masyarakat kala itu yang
dikepung oleh industrialisasi abad 19. Industrialisasi memunculkan kelas kaum buruh
dan industrialis yang pada akhirnya mendorong adanya alienasi.
Perspektif konflik yang berakar pada pemikiran Karl Marx diakui oleh para sosiolog
sebagai salah satu jalan keluar sehingga sangat erat dengan revolusi. Sekalipun
demikian, konflik di sini tidak dimaksudkan sebagai suatu revolusi yang radikal apalagi
sampai menumpahkan darah. Sebab, bagaimana pun Marx adalah seorang humanis.
Pada intinya, teori konflik melihat adanya pertikaian dan konflik dalam sistem sosial.
Jadi, dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Di dalam teori
ini, juga dibicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda, yang menghasilkan
superordinasi dan subordinasi.
Perbedaan kepentingan dari kedua hal inilah yang kemudian menimbulkan konflik.
Namun, teori konflik sendiri juga mengungkapkan bahwa konflik dalam proses sosial ini
diperlukan untuk menciptakan suatu perubahan sosial, baik ke arah yang negatif
maupun positif.
Teori konflik yang dimunculkan oleh Karl Marx ini pernah sekian lama diabaikan oleh
para sosiolog. Namun, baru di tahun 1960-an, teori ini kembali dimunculkan. Beberapa
sosiolog yang membangkitkan kembali teori konflik misalnya C. Wright Mills [1956-
1959], Lewis Coser: [1956] dan yang lain [Aron, 1957; Dahrendorf, 1959, 1964;
Chambliss, 1973; Collins, 1975].
Berbeda dengan para fungsionalis yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai
suatu keseimbangan yang statis, maka para teoritisi konflik cenderung melihat
masyarakat berada pada konflik terus-menerus dalam kelompok dan kelas.
Para teoritisi konflik, bahkan mengklaim bahwa para fungsionalis telah gagal
mengajukan pertanyaan “secara fungsional bermanfaat”, ini ditujukan untuk siapa.
Keseimbangan yang serasi yang dimaksud pada fungsionalis dianggap hanya
bermanfaat bagi sebagian orang saja, sementara bagi sebagian yang lain justru
merugikan.
Dalam teori Marx, eksistensi hubungan pribadi dalam produksi dan kelas-kelas sosial
dipandang sebagai elemen kunci yang ada dalam banyak masyarakat. Marx juga
berpendapat bahwa perubahan sosial yang tercipta banyak dipengaruhi oleh adanya
pertentangan yang terjadi antara kelas dominan dan kelas yang tersubordinasi.
Namun, ada pula tipe konflik lain yang juga dapat terjadi. Weber menekankan adanya
beberapa konflik yang paling penting yang berpengaruh terhadap perusabahan sosial.
Pertama, adalah konflik dalam arena politik. Konflik politik ini adalah sesuatu yang
sangat fundamental, karena kehidupan sosial dalam kadar tertentu adalah wujud
pertentangan dalam rangka memperoleh kekuasaan dan dominasi dari individu atau
kelompok tertentu. Weber juga melihat dalam kadar tertentu, bahwa pertentangan ini
sebagai tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Kedua, adalah tipe konflik terkait gagasan dan cita-cita. Weber mengungkapkan bahwa
orang seringkali tertantang untuk mendominasi pandangan dunia mereka, baik berupa
doktrin keagamaan, filsafat sosial ataupun konsepsi mengenai gaya hidup cultural yang
terbaik.
Gagasan cita-cita ini bukan hanya dipertentangkan, melainkan juga dijadikan sebagai
senjata atau alat untuk pertentangan yang lainnya, seperti misalnya pertentangan
politik. Dari sini, dapat diketahui bahwa Weber bukanlah seorang materialis ataupun
idealis.
Meski Dahrendorf memiliki kesamaan pemikiran dalam memandang konflik kelas, tapi
Dahrendorf tidak sepakat dengan proposisi yang ditawarkan Marx. Dahrendorf
menganggap pandangan Marx tidak relevan dengan situasi masyarakat pasca industri
(industri modern).
Itu sebabnya, teori dan konsep Marx dianjurkan untuk dimodifikasi sehingga dapat
disesuaikan dalam menganalisis masyarakat industri modern. Dahrendorf memandang
bahwa Marx hanya mengacu kepada masyarakat kapitalis saja. Padahal, sejak Marx
menulis pemikirannya, telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam struktur
sosial. (Dahrendorf 1988).
Itu sebabnya, Dahrendorf menawarkan sebuah konsep dan teori yang menaruh
perhatian lebih untuk menjelaskan masyarakat kapitalis maupun post kapitalis.
Dahrendorf kemudian membangun teori barunya melalui kerangka tersebut.
Lebih lanjut, Dahrendorf menilai sejumlah tesis Marx tidak didukung oleh kenyataan
empirik. Dalam kenyataannya, pembagian kelas tidak bisa hanya dilakukan
berdasarkan kepemilikan alat-alat produksi.
Dalam teori konflik, Ralf Dahrendolf mengasumsikan bahwa masyarakat setia saat
tunduk terhadap proses perubahan dan pertikaian. Konflik dan berbagai elemen
kemasyarakatan yang ada di dalam sistem sosial dianggapnya memberikan kontribusi
bagi disintegrasi dan perubahan.
Baginya, keteraturan yang dapat tercipta dalam masyarakat tak lain lantaran adanya
pemaksaan terhadap anggotanya, yang dilakukan oleh mereka yang memiliki
kekuasaan. Ini berarti bahwa kekuasaan dalam sistem sosial ini berperan dalam upaya
mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Dahrendorf juga mengajukan gagasan mengenai teori konflik dialektika. Dalam teori ini
disebutkan bahwa masyarakat adalah subjek dengan dua wajah, yakni konflik dan
konsesus. Dari sini, Dahrendorf mengusulkan pembagian teori sosiologi menjadi dua
bagian, yaitu teori konflik dan teori konsesus.
Dalam teori konflik, kita dapat menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan
di dalam masyarakat. Sedangkan dalam teori konsesus, kita bisa menguji nilai integrasi
yang terjadi dalam masyarakat.
Dahrendorf beranggapan bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa konsesus dan konflik
karena penyatuan masyarakat terjadi karena adanya ketidakbebasan yang dipaksakan.
Hal ini sekaligus mencerminkan bahwa pada posisi tertentu dalam masyarakat, terdapat
otoritas terhadap posisi yang lain yang mendelegasikan kekuasaan.
Ada beberapa tokoh sosiologi modern yang turut memunculkan dan mendukung teori
interaksionisme simbolik, seperti James Mark Baldwin, William James, Charles H.
Cooley, John Dewey, William I.Thomas, dan George Herbert Mead. Di antara para
tokoh ini, Mead adalah tokoh yang paling populer sebagai perintis dasar teori tersebut.
Teori interaksionisme simbolik mulai dikembangkan oleh Mead di tahun 1920-an dan
1930-an. Kala itu, Mead merupakan seorang professor filsafat di Universitas Chicago.
Sebagai seorang professor, ia banyak mengungkapkan gagasan-gagasannya
mengenai interaksionisme simbolik kepada para mahasiswanya.
Dari para mahasiswanya yang banyak menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya inilah,
teori interaksionisme simbolik milik Mead mulai berkembang peseta. Apalagi, ketika
buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni : Mind, Self , and
Society (1934) yang diterbitkan tak lama setelah Mead meninggal dunia.
Interaksi simbolik sendiri adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia,
yakni berupa komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Gagasan-gagasan
tentang interaksi simbolik ini ditulis ulang oleh Blummer dalam tulisannya, yang
kemudian juga diperkaya dengan gagasan gagasan dari John Dewey, William I.
Thomas, dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001 : 68).
Jika dirujuk lebih luas, perspektif interaksi simbolik berada di bawah perspektif yang
lebih luas, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Istilah
fenomenologis digunakan oleh Maurice Natanson sebagai suatu istilah yang merujuk
pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa untuk memahami
tindakan sosial, kita harus fokus pada kesadaran manusia dan makna subjektifnya
Teori interaksi simbolik ini lalu berkembang pesat hingga saat ini. Tokoh-tokoh
interaksionisme simbolik era tahun 1960-an, seperti Howard S.Becker dan Erving
Goffman, banyak menghasilkan kajian interpretif yang menawarkan pandangan
alternatif mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat (Mulyana,
2001:59).
Inti utama dari interaksionisme simbolik sendiri adalah berfokus pada mempelajari sifat
interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Perspektif ini memandang
bahwa individu pada dasarnya bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, serta
menampilkan perilaku yang rumit dan juga sulit diramalkan.
Individu adalah makhluk yang bersifat dinamis dan terus berubah. Karena individu ini
adalah unsur utama pembentuk masyarakat, maka ini artinya masyarakat pun berubah
melalui interaksi yang terjadi antar individu ini.
Fenomenologi Schutz pun juga sepakat dengan pemahaman ini, yang menyebutkan
bahwa tindakan, ucapan, dan interaksi individu adalah prasyarat bagi eksistensi sosial
siapa pun. Schutz memandang bahwa kategori pengetahuan pertama ini pada
dasarnya bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka
dengan orang lain (Mulyana, 2001:61-62).
A. Teori Evolusi
Veeger, Karel (1993:79), Charles Darwin(1809-1882) ia membuktikan bahwa variasi dan diferensiasi besar di alam
flora dan fauna merupakan hasil suatu proses yang amat lama. Proses itu bercirikan empat hal yaitu struggle for life,
survival of the fittest , natural selection dan progress.
Aguste Comte (1798-1857) mengambil ciri khas manusia yaitu akal budinya sebagai prinsip evolusi. Akal budi
manusia dikekang oleh suatu hukum atau daya gerak evolusioner dari dalam diri yang secara bertahap
menyebabkan umat manusia mula-mula berpikir kongkret dan partikular, lantas berpikir abstrak dan umum dan
akhirnya positif dan empiris.
Dadang supardan(155-156) menjelaskan bahwasannya dalam buku yang berjudul principles of sociology (1876-
1896) Herbert Spencer, seorang sosiologi inggris mengemukakan Teori Evolusi Sosial sebagai berikut:
1. Masyarakat yang merupakan suatu organisme, berevolusi menurut pertumbuhan manusia seperti tubuh yang
hidup, masyarakat bermula seperti kuman yang berasal dari massa yang dalam, segala hal dapat
dibandingkan dengan massa itu dan sebagian diantaranya akhirnya dapat didekati. (Spencer dalam Lauer,
2003:80).
2. Suku primitif berkembang melalui peningkatan jumlah anggotanya,perkembangan itu mencapai suatu titik dimana
suatu suku terpisah menjadi beberapa suku yang secara bertahap timbul beberapa perbedaan satu sama lain.
Perkembangan ini dapat terjadi, seperti pengulangan maupun terbentuk dalam proses yang lebih luas dalam
penyatuan beberapa suku. Penyatuan itu terjadi tanpa melenyapkan pembagian yang sebelumnya disebabkan oleh
pemisahan.
3. Pertumbuhan masyarakat tidak sekedar menyebabkan perbanyakan dan penyatuan kelompok, tetapi juga
meningkatkan kepadatan penduduk atau meningkatkan solidaritas, bahkan massa yang lebih akrab.
4. Dalam tahapan masyarakat yang belum beradab (uncivilised) itu bersifat homogen karena mereka terdiri dari
kumpulan manusia yang memiliki kewenangan, kekuasaan, dan fungsi yang relatif sama terkecuali masalah jenis
kelamin.
5. Suku nomaden memiliki ikatan karena dipersatukan oleh ketundukan kepada pemimpin suku. Ikatan ini mengikat
hingga mencapai masyarakat beradab yang cukup untuk diintegrasikan bersama selama “selama 1000 tahun lebih “.
6. Jenis kelamin pria, didentikkan dengan simbol-simbol yang menuntut kekuatan fisik, seperti keprajuritan, pemburu,
nelayan, dan lain-lain.
7. Kepemimpinan muncul sebagai konsekuensi munculnya keluarga yang sifatnya tidak tetap atau nomaden.
8. Wewenang dan kekuasaan seseorang ditentukan oleh kekuatan fisik dan kecerdikkan seseorang, selanjutnya
kewenagan dan kekusaan tersebut memiliki sifat yang diwariskan dalam keluarga tertentu.
9. Peningkata kapasitaspun menandai proses pertumbuhan masyarakat. Organisasi-organisasi sosial yang mulanya
masih samar-samar, pertumbuhannya mulai mantap secara perlahan-lahan, kemudian adat menjadi hukum, hukum
menjadi semakin khusus dan institusi sosial semakin terpisah berbeda-beda. Jadi, dalam berbagai hal memenuhi
formula evolusi. Ada kemajuan menuju ukuran, ikatan, keanekaragaman bentuk, dan kepastian yang semakin besar
(Spencer dalam Lauer, 2003:81).
10. Perkembanganpun ditandai oleh adanya pemisaha unsur-unsur religius da sekuler. Begitupun sistem
pemerintahan bertambah kompleks, diferensiasipun timbul dalam organisasi sosial, termasuk tumbuhnya kelas –
kelas sosial dalam masyarakat yang ditandai oleh suatu pembagian kerja.
Teori menekannkan pada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi,disfungsi,fungsi laten,fungsi manifest, dan keseimbangan. Asumsi dasarnya
adalah bahwa setiap stuktur dalam system social,fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional
terhadap yang lain maka struktur itu tidak aka nada atau akan hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini adalah
Robert K.Merton dan Talcott Parson.
Penganut teori ini hanya cenderung untuk melihat kepada sumbangan suatu system peristiwa terhadap system yang
lain dan karena itu mengabaikan bahwa suatu peristiwa atau suatu system dapat beroperasi menentang fungsi-
fungsi lainnya dalm suatu system social. Secara ekstrim teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua
struktur adalah funsional bagi masyarakat. Dengan demikian pada tingkat tertentu.misalnya
peperangan,ketidaksamaan social,perbedaan ras, bahkan kemiskinan,”diperlukan” oleh suatu masyarakat.
Perubahan dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik,penganut teori ini
memusatkan perhatiannya kepada masalah begaimana cara menyelesaikan sehingga masyarakat tetap dalam
keseimbangan.
Beberapa ahli teori modern yang dianggap sebagai wakil tradisi ‘ talcott pnarsons dan Robert K merot, para sosiolog
yang kurang terkenal juga mengemukan bahasa dan konsep fungsionalisme walaupun terkadang tanpa menguji
konsep secara krotis atau hanya mengapresiasikan implikasi penggunaan belaka.
Asumsi-asumsi dasarnya adalah bahwa seluruh struktur social atau setidaknya yang diprioritaskan, menyumbangkan
terhadap suatu interaksi dan adapti system yang berlaku. Pada umumnya para fungsionalis telah mencoba
menunjukkan bahwa suatu pola yang ada telah memenuhi “ kebutuhan system “ yang pital dan menjelaskan
eksistensi pola tersebut. Zeitlin (1998, hal 03).
C. Teori Konflik
Tokoh utama dalam teori ini, selain Karl Marx, adalah Ralp Dahrendorf,Georg Simmel,C.Wright Mills, dan L.A Coser.
Asumsi dasar teori konflik ini antara lain bahwa masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang
ditandai oleh pertentangan yang terus-menerus di antara unsur-unsurnya. Setiap elemen dalam masyarakat
memberikan sumbangan terhadap disintegrasi social. Keteraturan yang terdapat dalam suatu masyarakat itu
hanyalah disebabkn karena adanya tekanan atau pemaksaa kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.
Teori konflik ternyata agak mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat disamping
konflik itu sendiri.
Veeger, Karel J (1993 : 92), teori konflik menyatakan bahwa barang yang berharga seperti kekuasaan dan
wewenang, benda-benda material, dan apa yang menghasilkan kenikmatan, agak langka, sehingga tidak dapat
dibagi sama rata diantara rakyat. Maka telah muncul golongan-golongan dan kelompok-kelompok oposisi, yang
merasa diri dirugikan dan menginginkan porsi lebih besar bagi dirinya sendiri atau hendak menghalang-halangi atau
mencegah pihak lain memperoleh atau menguasai barang itu.
Teori konflik dalam sosiologi untuk sementara waktu membatasi diri dan hanya bermaksud menerangkan
antagonisme atau ketegangan antara pihak berkuasa dengan pihak yang dikuasai dalam rangka pengorganisasian
struktural yang tertentu.
1. Kedudukan orang-orang didalam kelompok atau masyarakat tidak sama, karena ada pihak yang berkuasa
dan berwenang dan ada pihak yang tergantung.
2. Perbedaan dalam kedudukan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berbeda pula.
3. Mula-mula sebagian kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda itu tidak disadari dan karenanya dapat
disebut “kepentingan sembunyi “(latent interests) yang tidak akan meletuskan aksi.
4. Konflik itu akan berhasil membawa perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial, kalau kondisi-
kondisi tertentu telah dipenuhi yaitu kondisi –kondisi yang menyangkut keorganisasian, kondisi-kondisi yang
menyangkut konflik sendiri dan ada kondisi-kondisi yang menentukan bentuk dan besarnya perubahan
struktural.
Teori konflik memandang bahwa kemiskinan didunia ketiga sebagai akibat proses perkembangan kapitalis didunia
barat. Kalau Negara yang berkembang ingin maju maka harus mampu melepaskan dan memutuskan hubungan
dengan Negara-negara kapitalis. Teori konflik ini meskipun sangat ringkih namun mendapat dukungan yang luas
terutama dari kalangan intelektual muda dikalangan Negara yang berkembang.
Perkembangan pendidikan hanya merupakan suatu proses strata pikasi social yang cenderung memperkuat posisi
kaum yang selam ini memiliki keistimewaan. Beberapa asumsi dari teori konflik ;
1. Manusia sebagai makhluk hidup memiliki sejumlah kepentingan yang paling dasar yang mereka inginkan dan
berusaha untuk mendapatkannya
2. Kekuasaan mendapatkan penekanan sebagai pusat hubungan social
3. Ideology dan nilai-nilai dipandang sebagai suatu senjata yang digunakan oleh kelompok yang berbeda dan
mungkin bertentangan untuk mengejar kepentingan sendiri
Teori konflik sangat bertentangan dengan teori structural fungsional, penganut paham teori konflik terdapat
perbedaan yang tajam dan tidak kalah serunya dengan perbedaan penganut struktural fungsional. Zamroni (1988,
hal 30-32).
Asumsi dasar teori konflik menurut karl marx menyatakan bawa masyarakat senantiasa berada dalam proses
perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya. Syamsir (2006, hal 09)
D. Teori Aksi
Syamsir ( 2006,hal 09-10) menjelaskan, Teori ini sepenuhnya mengikuti karya max weber. Tokoh teori ini antara lain
plorient znaniccki, Robert max iver talcol parson, hinkle parto dan Durkheim. Asumsi dasar teori aksi adalah bahwa
tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subjek dan dari situasi eksternal dalam posisinya
sebagai objek ; sebagai subjek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan tertentu.
Beberapa asumsi fundamental teori aksi yang dikemukakan oleh linkle dengan merujuk karya max iver znanniccki
dan parson adalah sebagai berikut :
1. Tindakan manusia muncul ari kesadarannya sendiri sebagai subjek dan dari situasi dalam posisinya sebagai
objek
2. Sebagai subjek manusia bertindak untuk mencapai tujuan tertentu
3. Dalam bertindak manussia menggunakan cara, teknik, prosedur, serta perangkat yang cocok untuk mencapai
tujuan
4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya
5. Manusia memilih menilai mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya
6. Aturan ukuran prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan study mengenai antar
hubungan social memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subjekti
7. E.Teori Interaksionisme Simbolik Istilah “ interaksionisme Simbolik” berasal dari Herbeart Blumer, yang telah
mengembangkan teori dari George Herbert Mead. Veeger,Karel J (1993 : 95), Blumer, Herbeart dan George
Herbert Mead menegaskan bahwa perilaku manusia tidak dapat diuraikan secara memadai dengan hanya
memakai skema-skema determinitis seperti skema stimulus-respons dari behaviorisme atau skema variable
independen –variabel dependen dari fungsionalisme.
Interaksionisme Simbolik memahami perilaku sebagai rancangan yang artinya manusia sendiri membentuk
perilakunya dengan memakai unsur-unsur yang disediakan oleh situasi. Gambaran masyarakat
Interaksionisme Simbolik berlainan dari gambaran yang dibuat oleh Funsionalisme. Dimana berhadapan dengan
suatu gambaran yang statis dan beku , Interaksionisme Simbolik memperlihatkan gambaran yang pluralistik dan
serba berubah-ubah.
F. Teori Fenomenologi
Syamsir (2006, hal 11), Alfred de eschutz berpendapat bahwa teori fenomenologi adalah tindakan manusia menjadi
suatu hubungan social bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakan tertentu dan manusia
lain memahami pula tindakannya itu sebagai suatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif terhadap sesuatu
tindakan sangat menetukan kelangsungan proses interaksi social.
Walaupun istilah fenomenologi untuk menandai suatu metode filsafat yang ditemukan oleh Edmund huserl, namun
mereka yang telah merujukkan diri mereka dengan menamakan kaum fenomenologis atau yang dianggap kaum lain.
Fenomenologi bukanlah suatu aliran atau suatu system. Bahkan istilah ” gerakan “ sebagai mana yang digunakan
penganut sejarah fenomenologi mengalamatkan suatu kesalahan, ketidak jelasan label fenomenologi tidak
menurunkan famornya yang telah diperkenalkan sejak decade abad 19-an. Zeidlin (1998, hal 208).
G. Etnometodologi
Entometodologi adalah cabang dari fenomenologi yang mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna
kehidupan sosial suatu masyarakat berdasarkan ungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka
ucapkan atau ungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Menurut teori ini seorang sosiolog tidak perlu memberikan
arti/makna kepada apa yang dibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas sosiolog adalah menemukan
bagimana orang-orang atau anggota masyarakat membangun dunia sosialnya sendiri dan mencoba menemukan
bagaimana mereka memberi arti atau makna kepada dunia sosialnya sendiri. Misalnya di Manggarai ada
istilah Bisbalar dan Gegerta. Kedua ungkapan ini sering ditemukan dalam sebuah perkawinan. ‘Bisbalar’ artinya
bisa dibawa larikah! Dan jawaban dari pemudi;”Gegerta’ artinya tunggu hingga pagi hari. Arti ungkapan itu adalah
bahwa pemudi mau di bawa lari tapi tunggu hingga pagi tiba. Dalam tiap masyarakat memiliki peribahasa atau
ungkapan-ungkapan semacam ini yang harus ditemukan artinya oleh seorang sosiolog.
Tokoh terkemuka teori ini adalah Harold Garfinkel.
1. Sekolah sebagai sarana sosialisasi. Dimana sekolah mengubah orientasi kekhususan ke universalita salah
satunya yaitu mainset selain mewarisi budaya yang ada juga membuka wawasan baru terhadapdunia luar.
Selain itu juga mengubah alokasi seleksi (sesuatu yang diperoleh bukan dengan usaha seperti hubungan
darah, kerabat dekat, dll) ke peran dewasa yang diberikan penghargaan berdasarkan prestasiyang
sesungguhnya.
2. Sekolah sebagai seleksi dan alokasi dimana sekolah memberikan motivasi-motivasi prestasi agar dapatsiap
dalam dunia pekerjaan dan dapat dialokasikan bagi mereka yang unggul.
3. Sekolah memberikan kesamaan kesempatan. Suatu sekolah yang baik pastinya memberikan kesamaan hak
dan kewajiban tanpa memandang siapa dan bagaimana asal usul peserta didiknya.
2. Teori Konflik
Dimana dalam teori ini tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat. Menurut Weber,stratifikasi merupakan
kekuatan sosial yang berpengaruh besar. Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau
status. Pendidikan akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang menuju kearah konsumeris
yang membedakan dengan kaum buruh. Namun tekanan disini bukan pada pendidikannya melainkan pada unsur
kehidupan yang memisahkan dengan golongan lain. Menurut Weber, dalam dunia kerja belum tetntu mereka yang
berpendidikan tinggi lebih trampil dengan mereka yang diberi latihan-latihan, namun pada kenyataanya mereka yang
berpendidikan tinggi yang menduduki kelas penting. Jadi pendidikan seperti dikuasai oleh kaum elit, dan
melanggengkan posisinya untuk mendapatkan status dan kekuasaannya.
Dimana teori ini berasumsi bahwa kehidupan sosial hanya bermakna pada tingkat individual yang realita sosial itu
tidak ada. Sebagai contoh buku bagi seorang berpendidikan merupakan suatu hal yang penting, namun bagi orang
yang tidak mengenyam pendidikan tidak bermanfaat
.4.Teori aksi
Bahwa tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subjek dan dari situasi eksternal dalam
posisinya sebagai objek ; sebagai subjek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi
usaha seorang guru sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan dalam bentuk motivasi
dan penguatan agar mereka lebih terpacu demi tercapainya suatu tujuan.
6. Teori Evolusi
Ciri khas manusia yaitu akal budinya sebagai prinsip evolusi. Akal budi manusia dikekang oleh suatu hukum atau
daya gerak evolusioner dari dalam diri yang secara bertahap menyebabkan umat manusia mula-mula berpikir
kongkret dan partikular, lantas berpikir abstrak dan umum dan akhirnya positif dan empiris. Dalam teori ini terjadinya
perubahan pola pikir manusia akibat dari perubahan yang terjadi baik dari dalam maupun dari luar diri manusia
tersebut,disini pendidikan juga berperan penting dalam mengubah pola pikir seseorang dari ia tidak tau menjadi tau
sehingga akal dan budinya pun akan berubah dan menjadi manusia yang lebih baik. Berguna untuk dirinya sendiri
maupun orang lain.
7.Teori fenomenologi
Tindakan manusia menjadi suatu hubungan social bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap
tindakan tertentu dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai suatu yang penuh arti. Pemahaman
secara subjektif terhadap sesuatu tindakan sangat menetukan kelangsungan proses interaksi social. Maka dari itu
pentingnya penanaman nilai tolong menolong dan saling memberi kepada anak semenjak dini. Seperti pepatah “
Siapa yang menuai benih ia akan menuai padi,Jika ia menuai angin maka ia akan menuai badai “.
8.Teori Etnometodologi
Entometodologi adalah cabang dari fenomenologi yang mempelajari dan berusaha menangkap arti dan makna
kehidupan sosial suatu masyarakat berdasarkan ungkapan-ungkapan atau perkataan-perkataan yang mereka
ucapkan atau ungkapkan secara eksplisit maupun implisit. Pendidikan tidak hanya akan mengubah kehidupan
seseorang melalui ilmu yang diberikan tetapi juga cara pemikiran seseorang melalui semua hal yang ia dapat baik
dari manusia itu sendiri (guru) tetapi juga alam
9.Teori perilaku
Teori ini memusatka perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan
actor dengan tingkah laku actor. Konsep dasar teori ini adalah mengenai “reinforcement”(penguatan) yang dapat
diartikan sebagai ganjaran (reword). Metode seperti ini dapat digunakan dalam pembelajaran diPAUD karena anak
usia dini memiliki rasa ingin ingin tahu yang sangat tinggi, biarkan ia melakukan apa yang ia hendak lakukan tugas
kita hanya mengawasi, maka ia akan tahu apa pembelajaran yang ia dapat dari aktifitas yang ia lakukan akan
mendapatkan penguatan atau reword .
10.Teori pertukaran
Bahwa tinggi ganjaran (reword) yang diperoleh atau yang akan diperoleh makin besar kemungkinan sesuatu tingkah
laku yang akan diulang, dengan demikian pula sebaliknya. Makin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment)
yang akan diperoleh, maka kecil kemungkinan tingkah laku yang serupa akan diulang. Adanya hubungan berantai
antara berbagi stimulus dan antara berbagi tanggapan Hampir sama dengan teori tingkah laku, teori pertukan ini
merupakan yang dampak dari apa yang telah kita lakukan,sama halnya dengan pembagian nilai disekolah jika anak
mendapatkan nilai yang tinggi dan ia mendapatka penguatan maka ia akan belajar lebih giat dan akan
mempertahankannya. Begitupun sebaliknya.