Anda di halaman 1dari 12

Kelompok 8 : Artikel

Teori Struktural Fungsional dan Teori Struktural Konflik


Mata Kuliah : Sosiologi Politik

Reni Okta Mulyana, Wahyu Hairil Al Ansori


UIN Mataram, UIN Mataram
190603037.mhs@uinmataram.ac.id, 200603054.mhs@uinmataram.ac.id

ABSTRAK

Teori-teori yang pernah ada sebelumnya tidak akan pernah using dengan kemunculan
teori baru, teori struktural fungsional dan teori struktural konflik merupakan dua diantara
berbagai teori sosiologi yang ada. Dua teori ini dipandang masih relevan dalam melihat suatu
realitas sosial dan peristiwa historis. Namun demikian, tidak ada ilmu yang abadi setelah
diketemukan bukti-bukti terbaru. Operasionalisasi teori struktural-fungsional didasarkan
keterjalinan elemen-elemen yang membentuknya. Setiap elemen itu memiliki fungsinya
masing-masing dan secara bersama-sama membentuk satu-kesatuan yang utuh.Begitu juga
dengan kedua aliran tersebut, bahwa selalu ada kritik dalam rangka penyempurnaan, bahkan
menolak teori yang ada sebelumnya karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan
keilmuan atau dianggap kurang kritis dalam melihat masalah-masalah sosial. Tulisan ini
mencoba melakukan analisis teori pada teori struktural fungsional dan konflik sesuai dengan
strukruralnya
Kata kunci : Teori Struktural Fungsional, Teori Struktural Konflik

A. PENDAHULUAN

Setiap teori tidak muncul begitu saja, tetapi selalu terkait atau dipengaruhi oleh
zeitgiest (jiwa jaman), apakah itu aspek temporal (waktu) dan spasial (tempat). Inilah yang
menyebabkan selalu ada penyempurnaan dari teori yang pernah berlaku sebelumnya,
walaupun berasal dari paradigma yang sama, seperti teori struktural fungsional dan konflik
sama-sama dari paradigma positivism. Teori-teori yang pernah ada sebelumnya tidak akan
usang sama sekali dengan munculnya teori yang baru. Memandang fenomena berdasarkan
kebenaran ilmu tidaklah mudah, karena pasti akan terjadi pertentangan antara kepentingan
“iman” dan ilmu. Tidak ada teori yang lahir tanpa dipengaruhi oleh teori lain sebelumnya.
Pengaruh suatu teori sosial terhadap teori sosial yang muncul kemudian, apabila teori sosial
yang dirumuskan mengikuti sebagaian kerangka konseptual dan teoritis teori sosial
sebelumnya atau mengkaunter teori sosial sebelumnya. Seperti, dalam teori fungsional,
bahwa analisis yang dikemukan oleh Robert King Merton tidak akan dapat dipahami apabila
kita belum membaca teori struktural-fungsional dari Talcot Parsons.

Dalam hal ini R.M Merton mengemukakan teorinya sebagai koreksi atas teori
Parsons. Begitu juga dengan teori konflik kelas Ralf Dahrendorf, hanya akan dapat dipahami
apabila kita sudah membaca teori konflik kelas Karl Marx. Inilah yang menyebabkan
pentingnya teori-teori sosial untuk menganalisis dunia sosial dengan segala permasalahnnya.
Ini bisa dengan teknik pengumpulan data kuantitif (deduktif) maupun kualitatif (induktif)
yang dinyatakan dengan angka, kata-kata, gambar atau objek

B. METODELOGI

Sebagai metode ilmiah, para filosof dalam menetapkan hasil observasi berhati-hati
dan selalu melakukan percobaan sehingga ilmu yang dihasilkan mempunyai Ilmuwan
menggunakan teori untuk membantu menetapkan apa yang dibutuhkan dalam penelitian, dan
sebagai petunjuk membuat pertanyaan-pertanyaan penelitian dan memutuskan membuat
argumentasi. Teori bagi peneliti sebagai proses berpikir, sebagai dasar kerangka berpikir,
sebagai dasar acuan bagi peneliti, dan sebagai dasar untuk agenda penelitian. Menggunakan
Penelitian deduktif mengacu pada teori untuk melihat realitas, dan berdasarkan teori itulah
mereka mengembangkan intrumen.

C. PEMBAHASAN

1. HAKIKAT TEORI STRUKTURAL-FUNGSIONAL


Teori struktural-fungsionalisme berangkat dari suatu landasan bahwa suatu
sistem terdiri atas berbagai komponen. Komponen-komponen itu berjalinan secara
erat dan terpadu membentuk “sebuah makna” sistem totalitas. Setiap komponen
memiliki fungsi dan perannya masing-masing, dan secara bersama-sama membentuk
satu-kesatuan sistem. Dalam aliran ini, harmoni dan integrasi (ekuilibrium) dipandang
sebagai sesuatu yang fungsional, bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan
konflik harus dihindarkan. Jadi, aliran ini menolak setiap usaha yang mengguncang
status quo, kemapanan yang telah dibangun selama ini.
a. TEORI FUNGSIONAL DURKHEIM
Emile Durkheim (1858—1917) dilahirkan di Epinal, bagian timur Perancis,
sebagai putra seorang rabi. Dalam usianya yang masih muda, ia sudah menjadi
mahaguru di Bordeaux, dan pada tahun 1902, ia menjadi guru besar di Sorbonne,
Perancis, untuk disiplin paedagogik (ilmu mendidik). Di tempat itu, pengaruhnya
begitu besar tidak hanya dalam disiplin sosiologi dan etnologi, tetapi juga dalam
disiplin filsafat dan ilmu hukum. Di luar ilmu yang sebenarnya, ia mempelajari bentuk
pengajaran di Perancis dan berkat usahanya, pengajaran di Perancis memiliki disiplin
yang tinggi, yang menjadi karakteristik Sorbonne sampai tahun 1970.
Dalam sosiologi, tema sentral karya Duekheim adalah mempertanyakan apa
yang mempersatukan masyarakat. Menurutnya, masyarakat mempunyai pengaruh
yang aneh pada manusia. Masyarakat berada di luar dan di atas manusia, tetapi
menyatakan dirinya dalam diri manusia. Meskipun dibentuk manusia, masyarakat
memiliki “hidupnya sendiri”. Masyarakat hidup terus setelah individu yang
membentuknya mati. Masyarakat berada di luar kekuasaan seseorang, memiliki hidup
dan keberadaannya sendiri yang tidak dapat dijelaskan dari individu-individu yang
lain (van Ball, 1987:201).
Durkheim membedakan struktur, fungsi, dan sebab-sebab. Menurutnya, jika
kebutuhan terpenuhi, fungsi dan struktur akan berbeda dengan sebab-sebab
munculnya struktur, yaitu berbagai peristiwa yang melahirkan struktur. Analisis
kausal dan analisis fungsional memiliki perbedaan yang signifikan. Analisis kausal
berupaya untuk menjawab pertanyaan mengapa struktur tersebut muncul dan apa
penyebabnya. Sebaliknya, analisis fungsional lebih menekankan persoalan kebutuhan
sistem apa yang lebih besar yang dipenuhi struktur tersebut. Oleh karena itu,
penjelasan-penjelasan Durkheim berangkat dari satu problem sentral, yaitu kebutuhan-
kebutuhan apa yang harus dipenuhi oleh masyarakat agar bisa hidup.
Persoalan tentang need ‘kebutuhan’ itu dibahasnya dalam bukunya tentang
pembagian kerja. Ia menjelaskan bahwa pertalian itu didasarkan solidaritas para
anggota persekutuan. Hal demikian bukan termasuk urusan kekerasan, melainkan
persoalan tatanan moral. Dalam masyarakat primitif, solidaritas adalah hasil ikatan
emosional yang kuat, yang menjadi ikatan atau akibat saling kebersamaan.
Kebersamaan itu terjadi secara sederhana dan karena itu disebut sebagai solidaritas
mekanis. Solidaritas ini hanya terjadi dalam masyarakat yang kecil. Jika masyarakat
tumbuh dan berkembang pesat, pembagian kerja menjadi perlu.
b. TEORI FUNGSIONAL SPENCER
Spencer memberikan lima dasar kesamaan masyarakat dengan organisme.
Pertama, keduanya berbeda dengan hal-hal yang anorganik. Kedua, keduanya
berubah dalam ukuran yang bermakna, kompleks, dan integrasi. Ketiga, peningkatan
struktur mengakibatkan peningkatan fungsi. Keempat, bagian dari keseluruhan atau
struktur-strukturnya bergantung satu sama lain sehingga perubahan satu elemen akan
mengubah elemen-elemen lain. Kelima, setiap bagian keseluruhan itu merupakan
wujud mikro dari keseluruhan itu.
Hal terpenting yang dilakukan Spencer adalah bahwa ia mulai membedakan
struktur dan fungsi yang sebelumnya belum dirumuskan oleh ahli-ahli sosiologi dan
etnologi lain. Perubahan-perubahan struktur, menurut Spencer, harus disertai dengan
perubahan fungsi. Jika struktur masyarakat berubah, fungsi masyarakat pun harus
berubah.

c. TEORI FUNGSIONAL RADCLIFFE-BROWN


Bersama Malinowski, Brown meneruskan teori fungsionalisme Durkheim.
Dalam karyanya yang berjudul The Andaman Inlanders, dengan sadar dan sengaja,
Brown merumuskan metodologi deskripsi dengan lima postulat sebagai berikut.
(1) Agar suatu masyarakat dapat bertahan hidup, di dalam jiwa warganya
harus ada sentimen yang merangsang mereka untuk berperilaku sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
(2) Sentimen itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat
sebagai akibat pengaruh hidup masyarakatnya.
(3) Setiap unsur dalam sistem sosial dan setiap gejala yang mempunyai efek
pada solidaritas sosial menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut.
(4) Tradisi upacara merupakan wahana agar sentimen-sentimen itu dapat
diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu.
(5) Ekspresi kolektif sentimen memelihara intensitas sentimen itu dalam jiwa
warga masyarakat dan bertujuan meneruskannya kepada warga dalam generasi
berikutnya (Koentjaraningrat, 1987:176). Untuk kepentingan tersebut, Brown
menyarankan untuk memamai terminologi fungsi sosial untuk menyatakan efek
keyakinan, adat-istiadat, atau pranata pada solidaritas masyarakat.
Berkaitan dengan konsep struktur sosial, Brown (Koentjaraningrat, 1987:180)
membeberkannya secara terperinci dalam pidatonya yang berjudul On Social
Structure. Beberapa pandangan, pikiran, dan gagasannya tentang hal itu disarikan
berikut ini.
(a) Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya terdiri
atas serangkaian gejala-gejala yang dapat disebut gejala sosial.
(b) Masyarakat yang hidup sebenarnya merupakan kelas dari gejala-gejala di
antara gejala-gejala alam yang lain dan dapat dipelajari dengan metodologi yang
dipergunakan untuk mempelajari gejala-gejala alam.
(c) Masyarakat yang hidup merupakan sistem sosial yang mempunyai struktur,
seperti bumi, organisme, makhluk, dan molekul.
(d) Struktur sosial merupakan totalitas jaringan hubungan antara individu-
individu atau orang-orang, dan kelompok-kelompok.
(e) Bentuk struktur sosial adalah tetap, dan jika berubah biasanya berjalan
lambat, sedangkan realitas struktur sosial selalu berubah dan berganti. Di sini, perang
dan revolusi, misalnya, membuat struktur sosial mendadak berubah.
(f) Struktur sosial dapat dipakai sebagai kriteria untuk menetapkan batas
sistem sosial atau kesatuan masyarakat sebagai organisme. Bagi Brown, batas
jaringan-jaringan struktur sosial itulah yang merupakan batas masyarakat.
(g) Ilmu antropologi sosial adalah ilmu sosial yang bertugas mempelajari
struktur-struktur sosial masyarakat sebagai kesatuan-kesatuan dan
membandingkannya dengan metode analisis komparatif untuk menemukan asas-
asasnya.
(h) Klasifikasi aneka gejala alam telah terbukti mutlak bagi kemajuan ilmu
alam. Ilmu biologi baru maju pesat ketika mengklasifikasikan beribu-ribu jenis
makhluk hidup menjadi beberapa suku, infrasuku, keluarga, jenis, dan ras yang
terbatas. Dengaan demikian, ilmu antropologi juga akan maju jika mengembangkan
hipotesis-hipotesis teruji menjadi kaidah-kaidah sosial.

d. TEORI FUNGSIONAL MALINOWSKI


Dalam tulisannya Introduction in H.I. Hogbin: Law and Order in Polynesia,
Malinowski merumuskan fungsi sebagai the part which is played by any factor of a
culture within the general scheme. Akan tetapi, di tempat lain, ia menyebut fungsi
sebagai an instrumental reality (van Ball, 1988:51). Hal itu berarti bahwa fungsi
diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan (need); ia menjadi sesuatu yang melayani
kehidupan dan kelanjutan hidup.
Hal yang perlu dicatat tentang teori fungsional kebudayaan model ini adalah
suatu fakta bahwa Malinowski meletakkan dasar eksak bagi pemikirannya terhadap
hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur suatu kebudayaan. Inti teori ini adalah
sebuah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan, sesungguhnya, bermaksud
memuaskan suatu rangkaian sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan
dengan seluruh kehidupannya. Kesenian (yang di dalamnya termasuk kesusasteraan),
misalnya, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya
akan keindahan. Namun, banyak aktivitas kebudayaan juga terjadi karena kombinasi
beberapa kebutuhan manusia (human need). Dengan pandangan itu, menurut
Malinowski, seorang peneliti dapat menganalisis dan menerangkan banyak masalah
dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.

e. TEORI STRUKTUR-FUNGSIONAL PADA KARYA SASTRA


Pada karya sastra, teori struktural-fungsional (sosial-kebudayaan) mempunyai
kesamaan dengan teori struktural (baik struktural murni maupun struktural dinamik),
yang bagi Abrams (1979:26—35), termasuk pendekatan objektif. Strukturalisme
adalah suatu cara mencari realitas dalam hal-hal atau benda-benda yang saling
berjalinan antara sesamanya, dan bukan dalam hal-hal yang bersifat individual
(Scholes, 1977:4).
Menurut teori ini, karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri atas
bermacam-macam unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur pembentuknya ada
koherensi (keterjalinan). Oleh karena itu, Teeuw (1984:134) menyatakan bahwa
analisis struktural mempunyai tujuan untuk membongkar dan memaparkan secara
cermat, teliti, dalam, dan detail keterkaitan dan jalinan semua unsur dan aspek karya
sastra yang bersama-sama menghasilkan makna totalitas. Dalam kajian struktural,
unsur-unsur pembangun tak dapat dipisahkan dan keutuhan karya sastra diutamakan.
Analisis terhadap satu unsur saja tidak tepat; tiap unsur harus disoroti dalam konteks
cerita. Lewat kajian struktural, sebuah karya sastra dikenali dan dihadapi pada
tempatnya (Sulastin, 1974:5).
Untuk memahami sebuah karya sastra, terlebih dahulu, pembaca/peneliti
membongkar, merenik, dan menganalisis unsur-unsur yang membangunnya dan
memahami bagaimana fungsi unsur-unsur itu dalam membangun karya sastra secara
totalitas. Menurut Wellek (1968:23), karya sastra merupakan struktur yang kompleks,
yang bermedium bahasa, yang pada umumnya bermakna ambigu atau poly-
interpretable atau konotatif. Oleh karena itu, Teeuw (1983:61) berpendapat bahwa
analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum analisis lainnya sebab tanpa
itu, kebulatan makna intrinsik, yang hanya digali dari karya sastra itu sendiri, tidak
akan tertangkap.
Culler (1977:123—130) menegaskan bahwa karya sastra mempunyai struktur
dan makna dalam jalinannya dengan satu perangkat konvensi sastra (literary
competence). Dalam kajiannya tentang puisi, ia (1977:161—178) menyebutkan tiga
konvensi dasar puisi lirik:
(1) distance and deiksis (jarak dan deiksis),
(2) organic wholes (kesatuan organic),
(3) theme and ephipany (konvensi tema dan perwujudan).
Deiksis adalah kata yang penunjukannya berubah-ubah sesuai dengan siapa
yang menjadi pembicara, waktu, dan tempat. Kesatuan organik merujuk pada makna
bahwa puisi itu merupakan keseluruhan makna yang bulat. Unsur-unsur puisi itu
diandaikan memiliki kebulatan makna dan koherensi. Sementara itu, konvensi tema
dan perwujudan memiliki makna yang relevan dengan konteks puisi. Pernyataan
dalam puisi memiliki makna meluas dari khusus ke umum, dari induktif ke deduktif.
Dengan kalimat lain, tema khusus itu diberi perwujudan umum.

2. TEORI STRUKTURAL KONFLIK

Konflik sosial muncul ketika perbedaan antarindividu atau kelompok dalam


masyarakat tidak dapat dinetralisir atau didamaikan. Konflik sosial tidak terjadi dengan
sendirinya. Meski penyebab utama konflik sosial adalah perbedaan di tengah masyarakat,
banyak faktor yang bisa terkait dengannya. Masih mengutip sumber dari Kemdikbud,
setidaknya terdapat 4 faktor utama yang sering kali jadi penyebab konflik sosial. Keempatnya
adalah: perbedaan antar-individu; perbedaan kebudayaan dan latarbelakang individu maupun
kelompok; perbedaan kepentingan; dan perubahan sosial yang terlalu cepat. Selain itu, masih
banyak faktor lain yang bisa memicu konflik sosial.
Maka itu, dalam studi sosiologi, konflik sosial mendapatkan perhatian besar dan
memunculkan apa yang disebut teori konflik. Berikut contoh teori-teori konflik menurut
sejumlah ahli sosiologi, yang dirangkum dari berbagai sumber, termasuk modul pembelajaran
terbitan Kemdikbud. Penyebab Terjadinya Konflik Munculnya konflik terjadi karena
ketimpangan yang ada pada masyrakat, terutama antara kelas atas dan kelas bawah.
Pada dasarnya, penyebab konflik dibagi menjadi dua, yaitu : Kemajemukan
horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara kultural,
seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan
pekerjaan dan profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri,
militer, wartawan, alim ulama, sopir, cendekiawan, dan lain-lain. Kemajemukan
horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut
mempunyai karakteristik sendiri

a. TEORI KONFLIK KARL MARX


Karl Marx sering kali menjadi tokoh utama dalam berbagai pembahasan terkait teori
konflik sosial. Karl Marx memandang teori konflik sebagai suatu bentuk pertentangan kelas.
Dari sudut pandang itu, ia memperkenalkan konsep struktur kelas di masyarakat. Teori Marx
melihat masyarakat sebagai arena ketimpangan (inequality) yang dapat memicu konflik dan
perubahan sosial. Marx menilai konflik di masyarakat berkaitan dengan adanya kelompok
yang berkuasa dan dikuasai. Di teori Marx, konflik kelas dipicu oleh pertentangan
kepentingan ekonomi. Selain itu, setidaknya ada 4 konsep dasar dalam teori ini: struktur kelas
di masyarakat; kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara kelas yang berbeda;
Adanya pengaruh besar dilihat dari kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang; Adanya
pengaruh dari konflik kelas terhadap perubahan struktur sosial.
Mengutip penjelasan Novri Susan dalam buku Sosiologi Konflik: Teori-teori dan
Analisis (2009, hlm 22), pertentangan kelas menurut Marx dipicu oleh perbedaan akses
terhadap sumber kekuasaan, yakni modal. Dalam masyarakat kapitalis, hal itu menciptakan
dua kelas yang saling bertentangan, yakni borjuis dan proletariat.

b. TEORI KONFLIK LEWIS A. COSER


Lewis Coser menilai konflik memiliki fungsi positif jika bisa dikelola dan
diekspresikan sewajarnya. Sosiologi konflik Lewis Coser mempengaruhi sosiologi konflik
pragmatis, atau multidispliner, yang digunakan untuk mengelola konflik dalam perusahaan
ataupun organisasi modern lainnya (Novri Susan, 2009, hlm: 46). Teori konflik menurut
Lewis A. Coser memandang sistem sosial bersifat fungsional. Menurut Coser, konflik tidak
selalu memiliki sifat negatif. Konflik juga dapat mempererat hubungan antar-individu dalam
suatu kelompok. Coser meyakini keberadaan konflik tidak harus bersifat disfungsional.
Oleh karena itu, keberadaan konflik dapat memicu suatu bentuk interaksi dan memicu
konsekuensi yang bersifat positif. Selain itu, dengan adanya konflik juga dapat
menggerakkan anggota kelompok yang terisolasi menjadi berperan aktif dalam aktivitas
kelompoknya. Selain itu, Coser mengelompokkan konflik sosial menjadi dua jenis, yaitu
konflik realistis dan non-realistis. Konflik Realistis adalah konflik yang berdasar dari
kekecewaan individu maupun kelompok atas berbagai bentuk permasalahan dalam hubungan
sosial. Sementara Konflik non-Realistis lahir karena ada kebutuhan melepaskan ketegangan
dari salah satu atau 2 pihak yang berkonflik.

c. TEORI KONFLIK RALF DAHRENDORF


Menurut Ralf Dahrendorf, konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam
sistem. Maka itu, konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak
terhubung dalam sistem. Dalam teori Dahrendorf, relasi-relasi di struktur sosial ditentukan
oleh kekuasaan (Novri Susan, 2009, hlm: 39). Adapun kekuasaan yang dimaksud oleh
Dahrendorf adalah kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik
kekuasaan memberikan perintah dan meraih keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa.
Dalam pandangan Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan
dari relasi antara pemilik kekuasaan dan mereka yang tidak berkuasa.
Pada awalnya, Dahrendorf merumuskan teori konflik sebagai teori parsial yang
digunakan untuk menganalisis fenomena sosial. Lantas, Dahrendorf melihat masyarakat
memiliki dua sisi berbeda, yaitu konflik dan kerja sama. Berdasarkan pemikiran itu,
Dahrendorf menganalisis konflik sosial dengan perspektif dari sosiologi fungsionalisme
struktural, untuk menyempurnakan teorinya. Dia pun mengadopsi teori perjuangan kelas
Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industri.
Dehrendorf mengaitkan pemikiran fungsional mengenai struktur dan fungsi masyarakat
dengan teori konflik antarkelas sosial. Selain itu, Dehrendorf tidak memandang masyarakat
sebagai suatu hal yang statis, melainkan bisa berubah oleh adanya konflik sosial
PENUTUP

KESIMPULAN

Tidak ada teori yang lahir tanpa dipengaruhi oleh teori lain
sebelumnya. Pengaruh suatu teori sosial terhadap teori sosial yang muncul
kemudian,apabila teori sosial yang dirumuskan mengikuti sebagaian kerangka
konseptual dan teoritis teori sosial sebelumnya atau mengkaunter teori sosial
sebelumnya. Seperti, dalam teori fungsional, bahwa analisis yang dikemukan oleh Robert
King Merton tidak akan dapat dipahami apabila kita belum membaca teori
structural fungsional dari Talcot Parsons. Dalam hal ini Merton mengemukakan teorinya
sebagai koreksi atas teori Parsons. Begitu juga dengan teori konflik kelas Ralf
Dahrendorf, hanya akan dapat dipahami apabila kita sudah membaca teori konflik
kelas Karl Marx. Dalam hal ini Dahrendorf merumuskan teorinya sebagai koreksi
dan pengembangan terhadap teori konflik kelas Marx.
REFERENSI

Craib,I. (1986). Teori-teori sosiologi modern. CV. Rajawali: Jakarta.

Dwiningrum , S. I. A., dkk (2012). Ilmu sosial & budaya dasar. UNY Press: Yogyakarta.

Dahrendorf, R. 1958. Toward a Theory of Social Conflict. The Journal of Conflict


Resolution, Vol. 2, No. 2 (Jun., 1958), pp. 170-183. Published by: Sage
Publications, Inc.

Santosoa, Arif zainudin dalam “Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Konflik”,


sosiologipendidikn.blogspot.com/2013/09/pendidikan-dalam-perspektif-
struktural.html?m=1,

Martono, N. 2014. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Neuman, W. 2000. Sosial Research Method Qualitative and Qualitative Approuches. USA:
Allyn and Bacon.

Pruit, D.G., Rubin, J.Z., 2011. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Ritzer, G. 2014. Teori Sosiologi Modern. (terjemahan: Triwibowo B.S.). Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.

Scott. J. 2012. Teori Sosial, Masalah-Masalah Pokok Dalam Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

So, A.Y. 1990. Social Change and Development, Modernization, Dependency and World
System Theories. United State of America: Sage Publication.

Surbakti, S. 2010. “Anatomi dan State of the Arts Teori Sosial” dalam, Anatomi dan
Perkembangan Teori Sosial, ed.

Bagong uyanto, M. Khusna Amal. Malang: Aditya Media Publising.

Anda mungkin juga menyukai