Anda di halaman 1dari 10

Judul Artikel : Teori Struktural Fungsional dan Teori Struktural Konflik

Mata Kuliah : Sosiologi Politik

ABSTRAK

Teori-teori yang pernah ada sebelumnya tidak akan pernah using dengan kemunculan
teori baru, teori struktural fungsional dan teori struktural konflik merupakan dua diantara
berbagai teori sosiologi yang ada. Dua teori ini dipandang masih relevan dalam melihat suatu
realitas sosial dan peristiwa historis. Namun demikian, tidak ada ilmu yang abadi setelah
diketemukan bukti-bukti terbaru. Operasionalisasi teori struktural-fungsional didasarkan
keterjalinan elemen-elemen yang membentuknya. Setiap elemen itu memiliki fungsinya
masing-masing dan secara bersama-sama membentuk satu-kesatuan yang utuh.Begitu juga
dengan kedua aliran tersebut, bahwa selalu ada kritik dalam rangka penyempurnaan, bahkan
menolak teori yang ada sebelumnya karena dianggap tidak sesuai dengan perkembangan
keilmuan atau dianggap kurang kritis dalam melihat masalah-masalah sosial. Tulisan ini
mencoba melakukan analisis teori pada teori struktural fungsional dan konflik sesuai dengan
strukruralnya

METODELOGI

Sebagai metode ilmiah, para filosof dalam menetapkan hasil observasi berhati-hati
dan selalu melakukan percobaan sehingga ilmu yang dihasilkan mempunyai Ilmuwan
menggunakan teori untuk membantu menetapkan apa yang dibutuhkan dalam penelitian, dan
sebagai petunjuk membuat pertanyaan-pertanyaan penelitian dan memutuskan membuat
argumentasi. Teori bagi peneliti sebagai proses berpikir, sebagai dasar kerangka berpikir,
sebagai dasar acuan bagi peneliti, dan sebagai dasar untuk agenda penelitian. Menggunakan
Penelitian deduktif mengacu pada teori untuk melihat realitas, dan berdasarkan teori itulah
mereka mengembangkan intrumen.

PENDAHULUAN

Setiap teori tidak muncul begitu saja, tetapi selalu terkait atau dipengaruhi oleh
zeitgiest (jiwa jaman), apakah itu aspek temporal (waktu) dan spasial (tempat). Inilah yang
menyebabkan selalu ada penyempurnaan dari teori yang pernah berlaku sebelumnya,
walaupun berasal dari paradigma yang sama, seperti teori struktural fungsional dan konflik
sama-sama dari paradigma positivism. Teori-teori yang pernah ada sebelumnya tidak akan
usang sama sekali dengan munculnya teori yang baru. Memandang fenomena berdasarkan
kebenaran ilmu tidaklah mudah, karena pasti akan terjadi pertentangan antara kepentingan
“iman” dan ilmu. Tidak ada teori yang lahir tanpa dipengaruhi oleh teori lain sebelumnya.
Pengaruh suatu teori sosial terhadap teori sosial yang muncul kemudian, apabila teori sosial
yang dirumuskan mengikuti sebagaian kerangka konseptual dan teoritis teori sosial
sebelumnya atau mengkaunter teori sosial sebelumnya. Seperti, dalam teori fungsional,
bahwa analisis yang dikemukan oleh Robert King Merton tidak akan dapat dipahami apabila
kita belum membaca teori struktural-fungsional dari Talcot Parsons. Dalam hal ini R.M
Merton mengemukakan teorinya sebagai koreksi atas teori Parsons. Begitu juga dengan teori
konflik kelas Ralf Dahrendorf, hanya akan dapat dipahami apabila kita sudah membaca teori
konflik kelas Karl Marx. Inilah yang menyebabkan pentingnya teori-teori sosial untuk
menganalisis dunia sosial dengan segala permasalahnnya. Ini bisa dengan teknik
pengumpulan data kuantitif (deduktif) maupun kualitatif (induktif) yang dinyatakan dengan
angka, kata-kata, gambar atau objek

PEMBAHASAN

HAKIKAT TEORI STRUKTURAL-FUNGSIONAL


Teori struktural-fungsionalisme berangkat dari suatu landasan bahwa suatu
sistem terdiri atas berbagai komponen. Komponen-komponen itu berjalinan secara
erat dan terpadu membentuk “sebuah makna” sistem totalitas. Setiap komponen
memiliki fungsi dan perannya masing-masing, dan secara bersama-sama membentuk
satu-kesatuan sistem. Dalam aliran ini, harmoni dan integrasi (ekuilibrium) dipandang
sebagai sesuatu yang fungsional, bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan
konflik harus dihindarkan. Jadi, aliran ini menolak setiap usaha yang mengguncang
status quo, kemapanan yang telah dibangun selama ini.

TEORI FUNGSIONAL DURKHEIM


Emile Durkheim (1858—1917) dilahirkan di Epinal, bagian timur Perancis,
sebagai putra seorang rabi. Dalam usianya yang masih muda, ia sudah menjadi
mahaguru di Bordeaux, dan pada tahun 1902, ia menjadi guru besar di Sorbonne,
Perancis, untuk disiplin paedagogik (ilmu mendidik). Di tempat itu, pengaruhnya
begitu besar tidak hanya dalam disiplin sosiologi dan etnologi, tetapi juga dalam
disiplin filsafat dan ilmu hukum. Di luar ilmu yang sebenarnya, ia mempelajari bentuk
pengajaran di Perancis dan berkat usahanya, pengajaran di Perancis memiliki disiplin
yang tinggi, yang menjadi karakteristik Sorbonne sampai tahun 1970.
Dalam sosiologi, tema sentral karya Duekheim adalah mempertanyakan apa
yang mempersatukan masyarakat. Menurutnya, masyarakat mempunyai pengaruh
yang aneh pada manusia. Masyarakat berada di luar dan di atas manusia, tetapi
menyatakan dirinya dalam diri manusia. Meskipun dibentuk manusia, masyarakat
memiliki “hidupnya sendiri”. Masyarakat hidup terus setelah individu yang
membentuknya mati. Masyarakat berada di luar kekuasaan seseorang, memiliki hidup
dan keberadaannya sendiri yang tidak dapat dijelaskan dari individu-individu yang
lain (van Ball, 1987:201).
Durkheim membedakan struktur, fungsi, dan sebab-sebab. Menurutnya, jika
kebutuhan terpenuhi, fungsi dan struktur akan berbeda dengan sebab-sebab
munculnya struktur, yaitu berbagai peristiwa yang melahirkan struktur. Analisis
kausal dan analisis fungsional memiliki perbedaan yang signifikan. Analisis kausal
berupaya untuk menjawab pertanyaan mengapa struktur tersebut muncul dan apa
penyebabnya. Sebaliknya, analisis fungsional lebih menekankan persoalan kebutuhan
sistem apa yang lebih besar yang dipenuhi struktur tersebut. Oleh karena itu,
penjelasan-penjelasan Durkheim berangkat dari satu problem sentral, yaitu kebutuhan-
kebutuhan apa yang harus dipenuhi oleh masyarakat agar bisa hidup.
Persoalan tentang need ‘kebutuhan’ itu dibahasnya dalam bukunya tentang
pembagian kerja. Ia menjelaskan bahwa pertalian itu didasarkan solidaritas para
anggota persekutuan. Hal demikian bukan termasuk urusan kekerasan, melainkan
persoalan tatanan moral. Dalam masyarakat primitif, solidaritas adalah hasil ikatan
emosional yang kuat, yang menjadi ikatan atau akibat saling kebersamaan.
Kebersamaan itu terjadi secara sederhana dan karena itu disebut sebagai solidaritas
mekanis. Solidaritas ini hanya terjadi dalam masyarakat yang kecil. Jika masyarakat
tumbuh dan berkembang pesat, pembagian kerja menjadi perlu.

TEORI FUNGSIONAL SPENCER


Spencer memberikan lima dasar kesamaan masyarakat dengan organisme.
Pertama, keduanya berbeda dengan hal-hal yang anorganik. Kedua, keduanya
berubah dalam ukuran yang bermakna, kompleks, dan integrasi. Ketiga, peningkatan
struktur mengakibatkan peningkatan fungsi. Keempat, bagian dari keseluruhan atau
struktur-strukturnya bergantung satu sama lain sehingga perubahan satu elemen akan
mengubah elemen-elemen lain. Kelima, setiap bagian keseluruhan itu merupakan
wujud mikro dari keseluruhan itu.
Hal terpenting yang dilakukan Spencer adalah bahwa ia mulai membedakan
struktur dan fungsi yang sebelumnya belum dirumuskan oleh ahli-ahli sosiologi dan
etnologi lain. Perubahan-perubahan struktur, menurut Spencer, harus disertai dengan
perubahan fungsi. Jika struktur masyarakat berubah, fungsi masyarakat pun harus
berubah.

TEORI FUNGSIONAL RADCLIFFE-BROWN


Bersama Malinowski, Brown meneruskan teori fungsionalisme Durkheim.
Dalam karyanya yang berjudul The Andaman Inlanders, dengan sadar dan sengaja,
Brown merumuskan metodologi deskripsi dengan lima postulat sebagai berikut. (1)
Agar suatu masyarakat dapat bertahan hidup, di dalam jiwa warganya harus ada
sentimen yang merangsang mereka untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. (2) Sentimen itu ditimbulkan dalam pikiran individu warga masyarakat
sebagai akibat pengaruh hidup masyarakatnya. (3) Setiap unsur dalam sistem sosial
dan setiap gejala yang mempunyai efek pada solidaritas sosial menjadi pokok
orientasi dari sentimen tersebut. (4) Tradisi upacara merupakan wahana agar
sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada
saat-saat tertentu. (5) Ekspresi kolektif sentimen memelihara intensitas sentimen itu
dalam jiwa warga masyarakat dan bertujuan meneruskannya kepada warga dalam
generasi berikutnya (Koentjaraningrat, 1987:176). Untuk kepentingan tersebut, Brown
menyarankan untuk memamai terminologi fungsi sosial untuk menyatakan efek
keyakinan, adat-istiadat, atau pranata pada solidaritas masyarakat.
Berkaitan dengan konsep struktur sosial, Brown (Koentjaraningrat, 1987:180)
membeberkannya secara terperinci dalam pidatonya yang berjudul On Social
Structure. Beberapa pandangan, pikiran, dan gagasannya tentang hal itu disarikan
berikut ini. (a) Masyarakat yang hidup di tengah-tengah alam semesta sebenarnya
terdiri atas serangkaian gejala-gejala yang dapat disebut gejala sosial. (b) Masyarakat
yang hidup sebenarnya merupakan kelas dari gejala-gejala di antara gejala-gejala alam
yang lain dan dapat dipelajari dengan metodologi yang dipergunakan untuk
mempelajari gejala-gejala alam. (c) Masyarakat yang hidup merupakan sistem sosial
yang mempunyai struktur, seperti bumi, organisme, makhluk, dan molekul. (d)
Struktur sosial merupakan totalitas jaringan hubungan antara individu-individu atau
orang-orang, dan kelompok-kelompok. (e) Bentuk struktur sosial adalah tetap, dan
jika berubah biasanya berjalan lambat, sedangkan realitas struktur sosial selalu
berubah dan berganti. Di sini, perang dan revolusi, misalnya, membuat struktur sosial
mendadak berubah. (f) Struktur sosial dapat dipakai sebagai kriteria untuk
menetapkan batas sistem sosial atau kesatuan masyarakat sebagai organisme. Bagi
Brown, batas jaringan-jaringan struktur sosial itulah yang merupakan batas
masyarakat. (g) Ilmu antropologi sosial adalah ilmu sosial yang bertugas mempelajari
struktur-struktur sosial masyarakat sebagai kesatuan-kesatuan dan
membandingkannya dengan metode analisis komparatif untuk menemukan asas-
asasnya. (h) Klasifikasi aneka gejala alam telah terbukti mutlak bagi kemajuan ilmu
alam. Ilmu biologi baru maju pesat ketika mengklasifikasikan beribu-ribu jenis
makhluk hidup menjadi beberapa suku, infrasuku, keluarga, jenis, dan ras yang
terbatas. Dengaan demikian, ilmu antropologi juga akan maju jika mengembangkan
hipotesis-hipotesis teruji menjadi kaidah-kaidah sosial.

TEORI FUNGSIONAL MALINOWSKI


Dalam tulisannya Introduction in H.I. Hogbin: Law and Order in Polynesia,
Malinowski merumuskan fungsi sebagai the part which is played by any factor of a
culture within the general scheme. Akan tetapi, di tempat lain, ia menyebut fungsi
sebagai an instrumental reality (van Ball, 1988:51). Hal itu berarti bahwa fungsi
diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan (need); ia menjadi sesuatu yang melayani
kehidupan dan kelanjutan hidup.
Hal yang perlu dicatat tentang teori fungsional kebudayaan model ini adalah
suatu fakta bahwa Malinowski meletakkan dasar eksak bagi pemikirannya terhadap
hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur suatu kebudayaan. Inti teori ini adalah
sebuah pendirian bahwa segala aktivitas kebudayaan, sesungguhnya, bermaksud
memuaskan suatu rangkaian sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan
dengan seluruh kehidupannya. Kesenian (yang di dalamnya termasuk kesusasteraan),
misalnya, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan kebutuhan nalurinya
akan keindahan. Namun, banyak aktivitas kebudayaan juga terjadi karena kombinasi
beberapa kebutuhan manusia (human need). Dengan pandangan itu, menurut
Malinowski, seorang peneliti dapat menganalisis dan menerangkan banyak masalah
dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.

TEORI STRUKTUR-FUNGSIONAL PADA KARYA SASTRA


Pada karya sastra, teori struktural-fungsional (sosial-kebudayaan) mempunyai
kesamaan dengan teori struktural (baik struktural murni maupun struktural dinamik),
yang bagi Abrams (1979:26—35), termasuk pendekatan objektif. Strukturalisme
adalah suatu cara mencari realitas dalam hal-hal atau benda-benda yang saling
berjalinan antara sesamanya, dan bukan dalam hal-hal yang bersifat individual
(Scholes, 1977:4). Menurut teori ini, karya sastra merupakan sebuah struktur yang
terdiri atas bermacam-macam unsur pembentuk struktur. Antara unsur-unsur
pembentuknya ada koherensi (keterjalinan). Oleh karena itu, Teeuw (1984:134)
menyatakan bahwa analisis struktural mempunyai tujuan untuk membongkar dan
memaparkan secara cermat, teliti, dalam, dan detail keterkaitan dan jalinan semua
unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna totalitas.
Dalam kajian struktural, unsur-unsur pembangun tak dapat dipisahkan dan keutuhan
karya sastra diutamakan. Analisis terhadap satu unsur saja tidak tepat; tiap unsur harus
disoroti dalam konteks cerita. Lewat kajian struktural, sebuah karya sastra dikenali
dan dihadapi pada tempatnya (Sulastin, 1974:5).
Untuk memahami sebuah karya sastra, terlebih dahulu, pembaca/peneliti
membongkar, merenik, dan menganalisis unsur-unsur yang membangunnya dan
memahami bagaimana fungsi unsur-unsur itu dalam membangun karya sastra secara
totalitas. Menurut Wellek (1968:23), karya sastra merupakan struktur yang kompleks,
yang bermedium bahasa, yang pada umumnya bermakna ambigu atau poly-
interpretable atau konotatif. Oleh karena itu, Teeuw (1983:61) berpendapat bahwa
analisis struktural merupakan prioritas pertama sebelum analisis lainnya sebab tanpa
itu, kebulatan makna intrinsik, yang hanya digali dari karya sastra itu sendiri, tidak
akan tertangkap.
Culler (1977:123—130) menegaskan bahwa karya sastra mempunyai struktur
dan makna dalam jalinannya dengan satu perangkat konvensi sastra (literary
competence). Dalam kajiannya tentang puisi, ia (1977:161—178) menyebutkan tiga
konvensi dasar puisi lirik: (1) distance and deiksis (jarak dan deiksis), (2) organic
wholes (kesatuan organic), (3) theme and ephipany (konvensi tema dan perwujudan).
Deiksis adalah kata yang penunjukannya berubah-ubah sesuai dengan siapa yang
menjadi pembicara, waktu, dan tempat. Kesatuan organik merujuk pada makna bahwa
puisi itu merupakan keseluruhan makna yang bulat. Unsur-unsur puisi itu diandaikan
memiliki kebulatan makna dan koherensi. Sementara itu, konvensi tema dan
perwujudan memiliki makna yang relevan dengan konteks puisi. Pernyataan dalam
puisi memiliki makna meluas dari khusus ke umum, dari induktif ke deduktif. Dengan
kalimat lain, tema khusus itu diberi perwujudan umum.

TEORI STRUKTURAL KONFLIK

Konflik sosial muncul ketika perbedaan antarindividu atau kelompok dalam masyarakat tidak
dapat dinetralisir atau didamaikan. Konflik sosial tidak terjadi dengan sendirinya. Meski
penyebab utama konflik sosial adalah perbedaan di tengah masyarakat, banyak faktor yang
bisa terkait dengannya. Masih mengutip sumber dari Kemdikbud, setidaknya terdapat 4
faktor utama yang sering kali jadi penyebab konflik sosial. Keempatnya adalah: perbedaan
antar-individu; perbedaan kebudayaan dan latarbelakang individu maupun kelompok;
perbedaan kepentingan; dan perubahan sosial yang terlalu cepat. Selain itu, masih banyak
faktor lain yang bisa memicu konflik sosial. Maka itu, dalam studi sosiologi, konflik sosial
mendapatkan perhatian besar dan memunculkan apa yang disebut teori konflik. Berikut
contoh teori-teori konflik menurut sejumlah ahli sosiologi, yang dirangkum dari berbagai
sumber, termasuk modul pembelajaran terbitan Kemdikbud. Penyebab Terjadinya Konflik
Munculnya konflik terjadi karena ketimpangan yang ada pada masyrakat, terutama
antara kelas atas dan kelas bawah. Pada dasarnya, penyebab konflik dibagi menjadi dua,
yaitu : Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang
majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk secara sosial
dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi, seperti petani, buruh, pedagang,
pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir, cendekiawan, dan
lain-lain. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing
unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri

TEORI KONFLIK KARL MARX


Karl Marx sering kali menjadi tokoh utama dalam berbagai pembahasan terkait teori konflik
sosial. Karl Marx memandang teori konflik sebagai suatu bentuk pertentangan kelas. Dari
sudut pandang itu, ia memperkenalkan konsep struktur kelas di masyarakat. Teori Marx
melihat masyarakat sebagai arena ketimpangan (inequality) yang dapat memicu konflik dan
perubahan sosial. Marx menilai konflik di masyarakat berkaitan dengan adanya kelompok
yang berkuasa dan dikuasai. Di teori Marx, konflik kelas dipicu oleh pertentangan
kepentingan ekonomi. Selain itu, setidaknya ada 4 konsep dasar dalam teori ini: struktur kelas
di masyarakat; kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara kelas yang berbeda;
Adanya pengaruh besar dilihat dari kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang; Adanya
pengaruh dari konflik kelas terhadap perubahan struktur sosial. Mengutip penjelasan Novri
Susan dalam buku Sosiologi Konflik: Teori-teori dan Analisis (2009, hlm 22), pertentangan
kelas menurut Marx dipicu oleh perbedaan akses terhadap sumber kekuasaan, yakni modal.
Dalam masyarakat kapitalis, hal itu menciptakan dua kelas yang saling bertentangan, yakni
borjuis dan proletariat.

TEORI KONFLIK LEWIS A. COSER


Lewis Coser menilai konflik memiliki fungsi positif jika bisa dikelola dan diekspresikan
sewajarnya. Sosiologi konflik Lewis Coser mempengaruhi sosiologi konflik pragmatis, atau
multidispliner, yang digunakan untuk mengelola konflik dalam perusahaan ataupun
organisasi modern lainnya (Novri Susan, 2009, hlm: 46). Teori konflik menurut Lewis A.
Coser memandang sistem sosial bersifat fungsional. Menurut Coser, konflik tidak selalu
memiliki sifat negatif. Konflik juga dapat mempererat hubungan antar-individu dalam suatu
kelompok. Coser meyakini keberadaan konflik tidak harus bersifat disfungsional. Oleh
karena itu, keberadaan konflik dapat memicu suatu bentuk interaksi dan memicu konsekuensi
yang bersifat positif. Selain itu, dengan adanya konflik juga dapat menggerakkan anggota
kelompok yang terisolasi menjadi berperan aktif dalam aktivitas kelompoknya. Selain itu,
Coser mengelompokkan konflik sosial menjadi dua jenis, yaitu konflik realistis dan non-
realistis. Konflik Realistis adalah konflik yang berdasar dari kekecewaan individu maupun
kelompok atas berbagai bentuk permasalahan dalam hubungan sosial. Sementara Konflik
non-Realistis lahir karena ada kebutuhan melepaskan ketegangan dari salah satu atau 2 pihak
yang berkonflik.

TEORI KONFLIK RALF DAHRENDORF M


enurut Ralf Dahrendorf, konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem.
Maka itu, konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak
terhubung dalam sistem. Dalam teori Dahrendorf, relasi-relasi di struktur sosial ditentukan
oleh kekuasaan (Novri Susan, 2009, hlm: 39). Adapun kekuasaan yang dimaksud oleh
Dahrendorf adalah kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik
kekuasaan memberikan perintah dan meraih keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa.
Dalam pandangan Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan
dari relasi antara pemilik kekuasaan dan mereka yang tidak berkuasa. Pada awalnya,
Dahrendorf merumuskan teori konflik sebagai teori parsial yang digunakan untuk
menganalisis fenomena sosial. Lantas, Dahrendorf melihat masyarakat memiliki dua sisi
berbeda, yaitu konflik dan kerja sama. Berdasarkan pemikiran itu, Dahrendorf menganalisis
konflik sosial dengan perspektif dari sosiologi fungsionalisme struktural, untuk
menyempurnakan teorinya. Dia pun mengadopsi teori perjuangan kelas Marxian untuk
membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industri. Dehrendorf
mengaitkan pemikiran fungsional mengenai struktur dan fungsi masyarakat dengan teori
konflik antarkelas sosial. Selain itu, Dehrendorf tidak memandang masyarakat sebagai suatu
hal yang statis, melainkan bisa berubah oleh adanya konflik sosial

PENUTUP

KESIMPULAN

Tidak ada teori yang lahir tanpa dipengaruhi oleh teori lain
sebelumnya.
Pengaruh suatu teori sosial terhadap teori sosial yang muncul kemudian,apabila teori
sosial yang dirumuskan mengikuti sebagaian kerangka konseptual dan teoritis teori
sosial sebelumnya atau mengkaunter teori sosial sebelumnya. Seperti, dalam teori
fungsional, bahwa analisis yang dikemukan oleh Robert King Merton tidak akan dapat
dipahami apabila kita belum membaca teori structural fungsional dari Talcot Parsons.
Dalam hal ini Merton mengemukakan teorinya sebagai koreksi atas teori Parsons.
Begitu juga dengan teori konflik kelas Ralf Dahrendorf, hanya akan dapat dipahami
apabila kita sudah membaca teori konflik kelas Karl Marx. Dalam hal ini Dahrendorf
merumuskan teorinya sebagai koreksi dan pengembangan terhadap teori konflik kelas
Marx.
REFERENSI

Craib,I. (1986). Teori-teori sosiologi modern. CV. Rajawali: Jakarta.

Dwiningrum , S. I. A., dkk (2012). Ilmu sosial & budaya dasar. UNY Press: Yogyakarta.

Dahrendorf, R. 1958. Toward a Theory of Social Conflict. The Journal of Conflict


Resolution, Vol. 2, No. 2 (Jun., 1958), pp. 170-183. Published by: Sage
Publications, Inc.

Santosoa, Arif zainudin dalam “Pendidikan Dalam Perspektif Struktural Konflik”,


sosiologipendidikn.blogspot.com/2013/09/pendidikan-dalam-perspektif-
struktural.html?m=1,

Martono, N. 2014. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Neuman, W. 2000. Sosial Research Method Qualitative and Qualitative Approuches. USA:
Allyn and Bacon.

Pruit, D.G., Rubin, J.Z., 2011. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Ritzer, G. 2014. Teori Sosiologi Modern. (terjemahan: Triwibowo B.S.). Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.

Scott. J. 2012. Teori Sosial, Masalah-Masalah Pokok Dalam Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

So, A.Y. 1990. Social Change and Development, Modernization, Dependency and World
System Theories. United State of America: Sage Publication.

Surbakti, S. 2010. “Anatomi dan State of the Arts Teori Sosial” dalam, Anatomi dan
Perkembangan Teori Sosial, ed.

Bagong uyanto, M. Khusna Amal. Malang: Aditya Media Publising.

Anda mungkin juga menyukai