Oleh
1. Lola Karmila 2010003811026
2. Nissa Asniati 2010003811014
3. Aria Yuliardi 2010003811063
Dosen Pengampu
Yunesa Rahman, S.Sos, M.AP
C. Substansi
Pendekatan/teori struktural fungsional membahas perilaku manusia dalam
konteks organisasi (masyarakat) dan bagaimana perilaku tersebut berada dalam (dapat
mempertahankan) kondisi keseimbangan dalam organisasi/masyarakat. Persoalan
mendasar yang dihadapi setiap organisme sosial adalah bagaimana agar tetap dapat
bertahan dan pola interaksi antar-subsistem yang terjadi di dalamnya dapat
mempertahankan keutuhan sistem tersebut. Menurut Zeitlin (1995: 3), asumsi yang
dikembangkan pendekatan ini adalah bahwa setiap struktur sosial, atau setidaknya yang
diprioritaskan, menyumbangkan terhadap suatu integrasi dan adaptasi sistem yang
berlaku. Eksistensi atau kelangsungan struktur atau pola yang telah ada dijelaskan melalui
konsekuensi-konsekuensi atau efek-efek yang keduanya diduga perlu dan bermanfaat
terhadap permasalahan masyarakat.
Sekalipun cenderung berada dalam kondisi keseimbangan (ekuilibrium),
setiap sistem sosial tidak tertutup kemungkinan mengalami perubahan sosial. Hanya
saja dalam pandangan stuktural fungsional, perubahan tersebut berlangsung secara
gradual dan berdampak pada berbagai penyesuaian yang dilakukan masing-masing
unsur sistem. Apabila dilihat dari segi sumbernya, perubahan dapat berasal dari luar
(eksternal) maupun dari dalam (internal), seperti perubahan komponen genetik
penduduk yang berpengaruh terhadap perilaku dan peran-peran sosial. Sumber-
sumber perubahan dapat terorganisaasi secara politis seperti misalnya perang,
hubungan antar negara, dan difusi budaya.
Dalam menghadapi persoalan tersebut, terdapat paling tidak tiga alternatif, yakni
(1) resolusi: merestorasi konformitas dengan ekspektasi-ekspektasi normatif; (2) isolasi:
sekalipun konformitas penuh tidak tercapai, tetapi terdapat beberapa akomodasi yang dapat
diterima; (3) perubahan di dalam struktur.
Dalam setiap situasi tindakan, individu selalu menghadapi problem orientasisebagai
berikut:
1. Affectivity-neutral affectivity
2. Collectivity-Self orientation
3. Particularism-universalism
4. Ascription-achievement
5. Diffuseness-Specificity
D. Kritik/Tanggapan
Kritik utama yang ditujukan terhadap teori struktural fungsional adalah dalam
kaitannya dengan fungsi tindakan dan struktur sosial. Kaum struktural fungsional
mempunyai keyakinan bahwa setiap tindakan atau struktur sosial mempunyai fungsi bagi
sistem sosial secara keseluruhan. Hal ini menurut Merton tidak benar. Dalam sistem sosial,
terdapat tindakan-tindakan atau struktur sosial yang justru disfungsional atau bahkan
bertentangan dengan tujuan sistem (nonfungsional). Merton kemudian menjelaskan
hubungan antara fungsi-fungsi, konsekuensi-konsekuensi, dan intensi-intensi dengan
memperkenalkan konsep fungsi manifes dan laten. Perbedaan tersebut berdasarkan pada
ada tidaknya intesitas di dalamnya.
Selain itu, Merton juga membedakan antara fungsi dan disfungsi berdasarkan sifat
konsekuensi bagi sistem sosial, yakni apakah berdampak positif ataukah negatif. Dalam
pandangannya, institusi-institusi sosial tidak selamanya berfungsi bagi sistem sosial,
bahkan adakalanya institusi sosial mempunyai konsekuensi-konsekuensi disfungsional.
Inilah perbedaan mendasar antara Merton dan gurunya, Parsons. Belakangan, para ahli
teori fungsional ini mengembangkan konsep fungsional dan disfungsional, khususnya
dalam bidang agama. Fungsi laten menjadi konsep yang populer yang menurut Merton
diartikan sebagai konsekuensi-konsekuensi intensional (purposif) yang tidak diharapkan.
Kontribusi Merton terhadap teori struktural fungsional meliputi berbagai konsep, di
antaranya anomi, penyimpangan sosial (social deviance), peran (role), dan kelompok
referensi (reference goup). Kritik Merton terhadap teori struktural fungsional terefleksikan dari
pendapatnya bahwa komponen-komponen sistem sosial tidak selalu berada dalamkondisi
penuh harmoni, tetapi sering berada dalam relasi-relasi konflik. Efeknya tidak selalu
berupa keseimbangan (ekuilibrium), tatanan, dan keberlanjutan, tetapi kadang sebaliknya,
yakni disekuilibrium, disorder, disorganisasi, dan beberapa bentuk perubahansosial lainnya.
Mengikuti pemikiran Van den Berghe (Nasikun, 1984: 17–18), teori stuktural
fungsional beranggapan bahwa disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-
penyimpangan sosial merupakan sumber perubahan sosial dalam bentuk pertumbuhan
diferensiasi sosial yang semakin kompleks. Perubahan sosial terjadi terutama karena faktor-
faktor yang berasal dari luar. Anggapan semacam ini mengabaikan bebeberapa kenyataan
seperti berikut:
• Setiap struktur sosial, di dalam dirinya, mengandung konflik-konflik dan kontradiksi-
kontradiksi yang bersifat internal, yang pada gilirannya justru menjadi sumber bagi
terjadinya perubahan-perubahan sosial.
• Reaksi suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar
(extra-systemic change) tidak selalu bersifat adjustive.
• Suatu sistem sosial, di dalam waktu yang panjang, dapat mengalami konflik-konflik
sosial yang bersifat vicious circle.
• Perubahan-perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-
penyesuaian yang lunak, tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner.
E. Perkembangan/Prospek
Disfungsi didefinisikan sebagai kegagalan individu berkontribusi terhadap organsasi
atau sistem secara keseluruhan. Berikut adalah level-level disfungsi (Merton, 1968).
❖ Conformity: tujuan budaya yang terinternalisasi dan mempunyai akses untuk
memperbaiki sarana mencapai tujuan.
❖ Innovation: mempunyai tujuan budaya yang terinternalisasi, tetapi tidak
mempunyai akses untuk memperbaiki sarana pencapaian tujuan.
❖ Ritualism: mempunyai akses untuk memperbaiki sarana pencapaian tujuan,
tetapi kehilangan konteks tujuan budaya (inflexible bureaucracy).
❖ Retreatism: tujuan budaya tidak tercapai demikian juga perbaikan sarana
(outcast of society).
Menurut Cuff et. al. (2006: 274), neo-fungsionalis mengikuti alur analisis Parsonian
dengan memercayai beberapa prinsip berikut:
❖ Fungsionalisme mendeskripsikan masyarakat sebagai sebuah sistem yang relatif
mandiri, yang terorganisasi melalui interaksi antar-bagiannya, tetapi tanpa bahwa
❖ di sana tidak ada penolakan prinsip atau kekuatan yang mengarahkan sistem sebagai
suatu keseluruhan.
❖ Ide-ide tentang keseimbangan sistem dan integrasi sistem merupakan alat analisis
untuk membantu mendeskripsikan masyarakat meskipun tanpa asumsi bahwa
anggota masyarakat berusaha mencapai kondisi tersebut. Alexander (1985)
mengatakan bahwa integrasi adalah sebuah kemungkinan dan penyimpangan serta
kontrol sosial merupakan fakta. Dengan demikian, menjadi sangat jelas bahwa asumsi
bahwa masyarakat terintegrasi secara penuh bukan asumsi yang naïf.
❖ Diasumsikan terdapat beberapa tingkat integrasi kebudayaan, kepribadian, dan sistem
sosial. Asumsi naif bahwa integrasi sempurna kebudayaan, personalitas dan sistem
sosial harus ditolak, inter, dan antar-elemen tegangan yang menghasilkan tegangan
dan memprovokasi perubahan.
❖ Perubahan bukan hanya sebuah produk tegangan-tegangan. Sesungguhnya,
perubahan sering menghasilkan tegangan. Terdapat evolusi jangka panjang
masyarakat Barat melalui diferensiasi progesif budaya yang tidak tedeferensiasi
sebelumnya. Perubahan-perubahan ini mendorong masyarakat secara keseluruhan
dari yang relatif terintegrasi ke tingkat lain, dan kemudian mengalami reintegrasi
pada tingkat adaptabilitas yang lebih tinggi.
TEORI KONFLIK
A. Sejarah
Teori konflik berkembang pertama kali pada dekade 1950–an hingga 1960–an,
seiring dengan meredupnya pengaruh teori struktural fungsional. Sebagaimana teori
struktural fungsional, teori konflik pertama berkembang di daratan Eropa dan kemudian
menyeberang ke Amerika berkat peran sejumlah teoretikus.
Teori konflik merupakan teori yang berkembang sebagai reaksi dan kritik langsung
terhadap teori struktural fungsional. Para teoretikus konflik menganggap bahwa teori
struktural fungsional memiliki sejumlah kelemahan mendasar dalam menganalisis realitas
sosial. Kelemahan yang menyolok menurut para teoretikus konflik terletak pada sejumlah
asumsi yang digunakannya.
Teori konflik yang pada mulanya berkembang di benua Eropa berakar dalam
karya-karya Marx, Weber, dan Simmel. Karya-karya awal Marx dapat dipandang sebagaititik
tolak perkembangan teori konflik. Bagi Marx, sejarah manusia pada dasarnya
merupakan sejarah perjuangan manusia. Hubungan antara sumber daya material dan
akuisisi adalah sirkular. Pihak yang satu mengontrol yang lain karena memilikisumber
daya yang lebih banyak dibandingkan pihak yang dikontrol tersebut.
Pemikiran Weber juga dapat dianggap sebagai akar perkembangan teori konflik.
Weber, sebagaimana Marx, juga menaruh perhatian pada persoalan kekuasaan. Bagi Weber,
kekuasaan merupakan konsekuensi tindakan manusia intensional. Kekuasaan merupakan
aspek cara manusia berhubungan satu sama lain. Weber (Waters, 1994: 222)
mendefinisikan kekuasaan sebagai kemungkinan seorang aktor memaksakan kehendaknya
kepada orang lain sekalipun mendapat resistensi. Kualitas kepribadian seseorang dan
kombinasi dari beberapa kualitas yang dimilikinya memungkinkan seseorang mengontrol
orang lain. Weber memusatkan analisisnya pada bentuk-bentukkekuasaan yang mendasari
setiap relasi sosial. Tipe kekuasaan tersebut adalah dominasi (Herrschaft).
Sementara itu, Simmel mengembangkan konsep alienasi Marx ke dalam filsafatnya.
Aktivitas mental dapat didefinisikan sebagai memproduksi sesuatu yang mempunyai arti
dan mengatur diri, serta memiliki potensi menjadi asing dari asal-usulnya. Hidup tidak dapat
dilihat selain dalam cara lain subjek yang secara kontinu menguasai sesuatu yang tidak
familiar untuk seterusnya menjadi tidak asing bagi dirinya. Ketika Marx menyadari
adanya kebobrokan masyarakat kapitalis, Simmel melihat fenomena yang tak terelakkan
pada kondisi manusia secara umum. Seperti halnya dalam hubunganayah-anak, produk
mental lebih dilihat sebagai teremansipasikan daripada teralienasikan.Hal itu bukan suatu yang
mengada-ada, melainkan sesungguhnya ada dengan sendirinya.
Dalam perkembangannya, teori konflik ini tumbuh subur di Amerika terutama
pada pertengahan abad 20 yang diinspirasi teori kritik Eropa terhadap teori struktural
fungsional. Kritik paling awal terhadap fungsionalisme datang dari David Lockwood danRalf
Dahrendorf, yang berpendapat bahwa teori fungsional, khususnya versi Parsonian, terlalu
optimistik terhadap integrasi masyarakat dan tidak memperhitungkan konflik dan
perubahan sosial. Kritik semacam ini kemudian diteruskan oleh Lewis Coser yang
berpendapat bahwa, baik teori konflik maupun struktural fungsional, terlalu ekstremdalam
menilai fungsi konflik. Kritik-kritik terhadap teori struktural fungsional semakin kuat
dilancarkan pada era dekade 50-an hingga 60-an ketika terjadi eskalasi gerakan
mahasiswa di Amerika dan isu Perang Vietnam.
C. Substansi
Esensi teori konflik adalah pengakuannya bahwa realitas sosial diorganisasikan
berdasarkan ketimpangan distribusi nilai dan sumber daya, seperti kesejahteraan material,
kekuasaan dan prestise dan ketimpangan-ketimpangan lain yang secara sistematik
meningkatkan tegangan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Kondisi-kondisi khusus
seperti itu meningkatkan eskalasi berbagai bentuk konflik antara orang yang memiliki nilai
dan sumber daya dengan orang yang tidak memilikinya.
Teori konflik mengalami kebangkitan karena beberapa premisnya digunakan
untuk melawan bias konservatif dari teori fungsionalisme. Akan tetapi, selama
perkembangannya, teori konflik terpecah menjadi beberapa varian. Salah satu varian teori
konflik yang membuat teori menjadi lebih abstrak adalah berasal dari analisis Marxtentang
konflik kelas dan perluasan ke seluruh sistem sosial tempat terjadi ketimpangan kekuasaan
(Dahrendorf, 1959). Pendekatan ini mengambil apa yang digunakan Marx, kemudian
pendekatan tersebut dimodifikasi dengan menambahkan ide-ide dari Weber dan Georg
Simmel sehingga menghasilkan teori konflik abstrak yang meliputi sistem secara
keseluruhan.
Para teoretikus konflik tidak menghasilkan karya yang sebanding dengan teori
struktural fungsional, terutama teoriasi yang sistematik ala Parsons. Hal ini kemungkinan
karena ide sentral teori konflik secara esensial merupakan pernyataan kembali konsepsi-
konsepsi Marxian dan Weberian. Konsep Weber tentang masyarakat sebagai sebuah arena
konflik tempat kelompok berkompetisi memperoleh dominasi ekonomi, budaya, dan
politik.
Teori konflik memiliki sejumlah eksponen yang memberikan kontribusi bagi
perkembangan teori konflik (Johnson, 2008: 393). Berikut ini adalah pandangan
masing-masing eksponen teori tersebut:
1. Ralf Dahrendorf
Beberapa asumsi teori konflik Dahrendorf adalah sebagai berikut.
❖ Di mana pun bisa terjadi perubahan sosial, konflik sosial, pemaksaan, dan
kontribusi tiap-tiap elemen itu terhadap perubahan dan disintegrasi
masyarakat.
❖ Kelompok dalam masyarakat perlu dikoordinasikan dan dibentuk oleh dua
agregat dominasi dan kepatuhan.
❖ Tiap-tiap agregat memiliki kepentingan laten umum yang menggambarkan
basis kelompok semu (quasi group).
❖ Kepentingan laten tersebut dapat diartikulasikan dalam kepentingan yang
jelas sehingga kelompok semu menjadi kelas sosial (mempunyai kepentingan
nyata).
❖ Artikulasi tersebut bergantung pada adanya beberapa faktor, yakni kondisi
teknis, politis, sosial, dan psikologis.
❖ Apabila kondisi-kondisi ini ada, intensitas konflik kelas bergantung sejauh
mana kondisi itu eksis dan sejauh mana kelompok dan konflik itu diletakkan
sehingga bagian lain masih dapat terlihat, distribusi otoritas dan imbalan,
dan keterbukaan sistem kelas.
❖ Kekerasan konflik kelas tergantung pada sejauh mana kondisi-kondisi itu ada,
yaitu pada sejauh mana kemiskinan mutlak memberikan celah perubahan
menjadi kemiskinan yang relatif dan bagaimana konflik itu ditata secara
efektif.
2. Lewis Coser
Lahir di Berlin, dari keluarga Yahudi, Coser terlibat dalam gerakan
mahasiswa, sebuah kelompok protes sosial yang tidak memberikan toleransi
munculnya rezim Hitlerdan Nazi. Coser meninggalkan Jerman pada tahun 1933
dan pergi ke Paris. Di Prancis, dia kuliah di Sorbornne. Di sana dia melakukan
studi teori-teori sosial, khususnya karya-karya Durkheim. Coser juga
mengekspose ide-ide Karl Mark dan menyebut dirinyasebagai unorthodox Marxist
with strong admixtures of Durkheimian thought. Setelah berhasil melarikan diri dari
pengejaran terhadap orang-orang asing di Prancis, Coser terbang ke AS. Pada
tahun 1954, Coser memperoleh gelar Ph.D dari Columbia University setelah
menyelesaikan disertasinya di bawah bimbingan Robert Merton. Karya-karya
sosialisnya selalu merefleksikan perhatiannya pada politik dan hubungan-
hubungan antara idedan realitas sosial. Pada tahun 1954, Coser bersama Irving
Howe mendirikan majalah Dissent. Mereka berharap agar masyarakat,
khususnya kaum intelektualnya, tidak bersikap intoleran terhadap komunisme.
Lewis Coser (1913–2003) mempunyai beberapa kontribusi dalam
perkembangan sosiologi. Dia utamanya dikenal sebagai teori konflik yang
berbeda dengan kebanyakan teori lainnya dalam dua hlm. Pertama, dia
mendeskripasikan konflik sosial sebagai akibat dari kepentingan-kepentingan
kelompok yang saling bertentangan. Kedua, dia concern dengan konsekuensi-
konsekuensi konflik. Pengaruh Durkheim terhadap teori Coser juga tampak
nyata, seperti ketika dia mendiskusikan mengenai aspek-aspek fungsional
konflik dan aspek-aspek fungsional masyarakat (Burchel, 2006: 155).
3. György Lukács
Gyorgy Lukacs (1885–1971) adalah filsuf Hungaria penganut utama
Marxisme. Lukacs lahir pada tahun 1885 di Budapest, menghabiskan sebagian
besar waktu sebelum dan selama Perang Dunia I di Heidelberg, Jerman dalam
lingkaran intelektualitas Weber. Lukacs kembali ke Hungaria pada tahun
1917 dan bergabung dengan partai komunis yang baru dibentuk di tahun
1918. Setahun berikutnya, dia memegang urusan kebudayaan selama masa
pemerintahan Soviet di Hungaria. Setelah runtuhnya pemerintahan tersebut, dia
bermigrasi ke Wina, Berlin, dan pada tahun 1933 ke Moskow.Pada tahun 1928, ia
secara total menarik diri dari dunia politik praktis. Dia kembali keHungaria pada
tahun 1945, pada waktu itu karena terjadi konsolidasi rezim Stalinis, dia
kemudian terdorong masuk ke dunia politik lagi. Selama revolusi Hungaria pada
tahun 1956, dia dinominasikan sebagai Menteri Kebudayaan pada pemerintahan
Imre Nagy. Akibat intervensi Soviet, dia kemudian pertama kali memasuki
Rumania. Lukacs, menulisbuku-buku penting, seperti Soul and Form (1900) dan
Theory of the Novel (1910). Diameninggal pada tahun 1971.
Gyorgy Lukacs adalah salah satu tokoh teori kritis yang juga
mengembangkan teori Marx. Lukacs terkenal sebagai teori yang idealis.
Lukacs sering dikenal sebagai tokoh ultra-Marxis pada awal dekade 1920-
an. Ia mengembangkan dimensi-dimensi filosofis dan politik Marxisme
hingga akhirnya pada akhir dekade 1920-an kembali pada analisis kultural.
Ia meminjam ide Marx tentang fetishism of comodity dan kemudian
memperkenalkan istilah reification dalam semua objek, termasuk orang,
sebagai komoditas yang diperjualbelikan, harga jualnya ditentukan oleh
“nilai tukar”.
4. Randal Collins
Terdapat tiga kerangka dasar pendekatan konflik menurut Collins,
yakni (1) manusia hidup dalam dunia subjektif yang terkonstruksikan
dengan sendirinya; (2)manusia lebih dari sekadar aktor individual mungkin
mempunyai kekuasaan untuk memengaruhi pengalaman subjektif aktor; (3)
manusia selalu berusaha untuk mengontrol pengalaman aktor, yang mendorong
terjadinya konflik. Berdasarkan tiga kerangka dasar ini, Collins kemudian
merumuskan lima prinsip analisis konflik dalam stratifikasi sosial, yakni (1)
analisis tersebut harus lebih fokus pada pengalaman hidup nyata daripada
ideologi abstrak; (2) pengujian harus dilakukan untuk mengetahui bagaimana
setiap aktor dapat memanipulasi atau dibatasi oleh faktor-faktor kepemilikan
material; (3) sadar atau tidak sadar terdapat eksploitasi terhadap mereka yang
memiliki sumber daya yang lebih sedikit dari mereka yang memiliki sumber daya
yang lebih banyak; (4) kepercayaan dan sistem ide-ide harus dianalisis dengan
memerhatikan kepentingan-kepentingan, sumber daya-sumber daya, dan
kekuasaan; (5) studi tentang stratifikasi harus dilakukan secara ilmiah,
menggunakan uji hipotesis, riset empiris, dan apabila mungkin digunakan
penjelasan kausal (Ryan, 2005a: 799).
5. C.W. Mills
Wright Mills (1916–1962) adalah sosiolog Amerika yang dikenal
sebagi sosiolog yang produktif sekaligus kontroversial. Karya-karya Mills
yang terkenal berkaitan dengan struktur dan distribusi kekuasaan, terutama
di Amerika Serikat dan juga kritiknya terhadap teori dan metodologi
sosiologi mainstream. Antara tahun 1940 hingga 1962, ia menulis dan
mengedit 12 buku, memublikasikan sekitar 200 artikel, komentar dan
review, serta mengerjakan sejumlah proyek.
Berkaitan dengan konflik, Mills mengajukan beberapa asumsi sebagai
berikut: (1) kenyataan sosial menggambarkan kombinasi biografi, sejarah, dan
antarbagian dalam struktur sosial (2) industrialisasi meningkatkan rasionalitas
sosial (3) pengaruh besardari rasionalisasi adalah peningkatan sentralisasi dan
elitisme (4) rasionalisasi juga memengaruhi struktur pekerjaan (5) akibat
proses ini pada tingkat individu adalah menurunnya rasa kebebasan, rasa
keterasingan, dan rendah diri (minder).
Mills menaruh perhatian pada isu kekuasaan (power) dan kewenangan
(authority). Bagi Mills, terdapat tiga bentuk kekuasaan. Pertama, koersi atau
paksaan secara fisik. Mills mencatat bahwa koersi semacam ini tidak begitu
diperlukan dalam masyarakat demokratikmodern. Kekuasaan semacam itu hanya
diperlukan pada tingkat yang minimal. Kedua,apa yang ia sebut sebagai otoritas
(authority). Kekuasan jenis ini berkaitan dengan posisi seseorang dan mendapat
legitimasi dari bawahannya. Ketiga adalah kekuasaan “manipulasi” adalah
kekuasaan yang tidak disadari atau diakui oleh bawahannya. Ketika struktur
birokrasi berbasiskan otoritas, Mills melihat otoritas semacam ini cenderung
berubah ke arah manipulasi. Manipulasi tidak berdasarkan teror atau kekuatan
eksternalmeskipun kekuasaan polisi negara selalu mendukung kekuasaan tersebut.
D. Kritik/Tanggapan
Kritik utama yang sering dilontarkan para ahli terhadap teori konflik adalah teori
konflik tidak bisa membebaskan dirinya dari bayang-bayang teori struktural fungsional.
Teori konflik dikritik antara lain karena (1) mengabaikan ketertiban danstabilitas;
(2) berideologi radikal; (3) mengalami ketertinggalan dibandingkan dengan teori lain.
Penekanan Dahrendorf, misalnya, pada hal-hal, seperti sistem (asosiasi yangdikoordinasikan
secara imperatif), posisi, dan peran secara langsung mengaitkan diri dengan teori struktural
fungsional sehingga dengan demikian kelemahan teori konflik pada dasarnya hampir sama
dengan kelemahan yang ada pada teori struktural fungsional (Rizerdan Goodman, 2008: 157–
158).
E. Perkembangan/Prospek
Kontestasi teori dalam ilmu-ilmu sosial terus berlangsung hingga saat ini. Masing-
masingteori tumbuh dan mengalami kejatuhan seolah silih berganti dalam mewarnai
perkembangan sosiologi. Masing-masing teori berusaha bertahan dengan perspektif teorinya
guna mempertahankan “keabsahan” teorinya. Beberapa teori lain mempunyai pandangan
tersendiri terhadap prospek perkembangan suatu teori. Terdapat teori yang pesimistik,
namun ada juga yang optimistik. Demikian pula teori konflik, terdapat sejumlah teori
yang pesimistik, namun ada pula yang optimistik. Randal Collins, misalnya, termasuk
salah satu teori yang optimistik terhadap perkembangan teori konflik. Collins (Ritzer, 1988: 84)
menyatakan bahwa terdapat beberapa area empiris tempat teori konflik menjadi perspektif
utama dan hal itu akan terus berkembang di masa mendatang.Collins berusaha memperluas
ruang lingkup teori konflik dengan membahas temaproduksi sosial di kalangan komunitas
inteltekual. Menurutnya, sejarah perkembangan intelektualitas merupakan produk dari
proses konflik. Di kalangan intelektual, terdapat faksi-faksi yang saling berebut pengaruh atas
ide-ide yang dicetuskannya. Masing-masingfaksi bersuaha menunjukkan kelemahan ide-ide
dari faksi saingannya.
Collins selanjutnya berpendapat bahwa jalan utama perkembangan teori konflik
adalah pada jalur atau level analisis historis sosiologis tingkat makro. Pada ranah itu,
terdapat sejumlah teori neo-Marxian, seperti Barrington Moore, Perry Anderson, dan
Immanuel Wallerstein yang telah menghasilkan sejumlah premis konflik multi-
dimensional.
TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK
A. Sejarah
Teori interaksionisme simbolik pertama kali berkembang di Amerika Serikat terutama
diUniversitas Chicago pada awal abad 20. Tokoh utamanya berasal dari berbagai universitasdi
luar Chicago. Dua orang tokoh besarnya adalah filsuf John Dewey dan Charles HortonCooley
yang pindah dari Universitas Michigan dan memengaruhi tokoh lain, seperti W.I.Thomas dan
George Herbert Mead. Selain itu, Robert Ezra Park yang sedang melakukanstudi di Harvard
dan dibimbing teori interaksionisme simbolik lain, yakni WilliamJames dan Josiah Royce
kemudian juga pindah ke Universitas Chicago. Tokoh terakhirini datang membawa pengaruh
George Simmel yang ahli dalam pendidikan dan pers, mendorong pemikiran interaksionisme
simbolik bergeser ke arah empirisme. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila aliran
pemikiran Chicago ini lebih filosofis dan empirisdibandingkan dengan pengikut Parsons di
Harvard yang cenderung mengembangkan teori-teori abstrak (Ritzer, 1985: 59).
D. Kritik/Tanggapan
Lahirnya teori interaksionisme simbolik telah memberi warna tersendiri dalam teori
sosiologi kontemporer. Menurut Jones (2009), pengaruh interaksionisme paling umum
adalah pandangan bahwa kita menggunakan interpretasi orang lain sebagai bukti “kita pikir
siapa kita”.
Sementara itu, Fine (1990) memberikan penilaian yang cukup komprehensif
mengenai teori interaksionisme simbolik. Menurutnya, paling tidak teori ini memiliki enam
kontribusi bagi perkembangan teori sosiologi yang lain, yakni:
1. Teori self and identity. Kebanyakan citra tentang diri digunakan oleh kaum
interaksionis untuk menggambarkan bagaimana individu mencocokkan dirinya
dengan dunia sosial sekitarnya dan sebagai hasilnya teori ini menciptakan dan
memperluas konsep-konsep, seperti the looking glass self (Cooley), the
generalized other (Mead), role-taking (Mead), role-playing (Coutu), role-
making (Hewitt), identity salience (Stryker), the impulsive self (Turner,
Zurcher), the selfconcept (Gecas), role merging (Turner), atau altercasting
(Weinstein and Deutchberger). Metodologi yang dikembangkan juga berbeda
tidak lagi tipikal participant observation, tetapi juga menggunakan grounded,
in-depth interviews, open-ended questionnaires, experimental studies, bahkan
large-scale survey research. Selain itu, teori tentang self juga mempunyai
pengaruh terhadap studi-studi tentang emosi dan sosiologi organisasi. Studi
terakhir berpendapat bahwa selves berkaitan dengan organisasi dan institusi
tempat dia terlibat di dalamnya, seperti keluarga, sekolah, gerej, dan tempat
kerja. Teori tentang self di masa yang akan datang akan bergerak meninggalkan
perspektif psikologi sosial murni.
2. Teori dramaturgi, perhitungan, dan presentasi diri. Selain mendapat pengaruh
dari Blumer, Mead, Cooley dan Hughes, Goffman juga dipengaruhi Durkheim,
Simmel, dan Schutz. Ide Goffman mengenai kehidupan sebagai sebuah
panggung sandiwara sebenarnya bukanlah yang pertama kali dicetuskan. Lebih
dari 2.500 tahun yang lalu, ide mengenai kehidupan sosial sebagai sebuah
drama dan orang sebagai aktor digunakan oleh pemikir-pemikir, seperti Plato,
Thomas Hobbes, Adam Smith, Denis Diderot, dan Jean Jacques Rousseau.
Selanjutnya, publikasi Goffman memengaruhi para pemikir lain dan lahirlah
konsep-konsep baru, seperti masks (Strauss), performance (Messenger et. al.),
dan strategies (Scott and Lyman; Hewitt and Stokes). Konsep tentang account
(perhitungan) menunjuk pada teknik yang digunakan untuk me-manage kesan
tentang dirinya terhadap orang lain. Konsep ini selanjutnya diaplikasikan oleh
sejumlah peneliti dalam bidang yang beragam, seperti pembunuhan (Ray dan
Simons), kehidupan sekolah (Kalab), perkosaan (Scully dan Marolla), dan
pemalsuan (Fine).
3. Teori perilaku kolektif dan tindakan kolektif. Studi sosiologis tentang perilaku
kolektif meskipun aslinya bukan berasal dari teori interaksionisme simbolik,
melainkan sangat erat berkaitan dengan perspektif ini. Blumer menganalisis hal
itu melalui bertahannya jalur-jalur tindakan kolektif. Perilaku irasional yang
menjadi karakteristik tindakan kolektif tidak dapat secara mudah dianalisis
dengan menggunakan model tindakan aktor rasional. Teori ini kemudian
memengaruhi kemunculan teori norma (Turner dan Killian), frame analysis
(Snow et al.; Gamson; Fireman; dan Retyna) serta teori konvergensi (McPhail
dan Miller). Premis-premis teori interaksionisme simbolik yang digunakan oleh
ketiga teori di atas adalah premis tentang dinamika interaksi, konstruksi makna,
dan negosiasi makna. Di antara teori interaksionis, terutama Blumer, dalam hal
perhatiannya pada perilaku kolektif menunjukkan bahwa interaksionisme
simbolik bukan merupakan antitesa sosiologi makro. Blummer menggunakan
konsep fitting together dari jalur tindakan untuk menyatakan bahwa perilaku
bukan hanya merupakan fungsi determinasi-determinasi individual atau
negosiasi “lokal”.
4. Teori tentang budaya dan seni. Teori interaksionisme simbolik mempunyai
pengaruh terhadap semiotika, strukturalisme, dan etnometodologi. Studi-studi
budaya yang dilakukan Howard Becker juga sangat dipengaruhi oleh teori
interaksionisme simbolik. Dalam sosiologi kebudayaan, pendekatan teoretis
yang dominan adalah perspektif “produksi budaya” yang menyatakan bahwa
dunia seni haruslah dianalisis layaknya industri yang menghasilkan sebuah
produk. Selanjutnya, studi yang dilakukan Becker memengaruhi beberapa
kolega dan muridnya, seperti Rosenblum, Bennet, Kealy, Gilmore, Mukerji, dan
Lyon. Dalam satu dekade terakhir, sosiologi kebudayaan berkembang menjadi
sebuah disiplin yang serius dan penting, serta tetap berada dalam hubungan
antara kemanusiaan dan ilmu sosial yang diperluas dan diperdalam.
5. Pendekatan sosiolinguistik. Setiap pendekatan yang menekankan pentingnya
eksistensi simbol dalam tatanan sosial harus menyertakan sistem simbol yang
paling nyata dan penting, yakni bahasa. Bahasa merupan poin sentral teori
Mead, tetapi selalu diabaikan oleh teori interaksionisme simbolik generasi
selanjutnya, seperti Blumer dan Hughes. Revitalisasi studi sosiologis tentang
bahasa justru lebih banyak dilakukan oleh etnometodologis dan antropolog
budaya daripada teori interaksionisme simbolik. Analisis percakapan
etnometodologis dilakukan oleh Sack, Schegloff, Jefferson, Zimmerman, West,
Molotch, dan Boden. Sementara itu, pendekatan sosiolinguistik dikembangkan
oleh Sapir dan Whorf. Penelitian-penelitian sosiolinguistik ke depan meliputi
usaha-usaha untuk menempatkan kajian tersebut pada analisis keterkaitan
makro-mikro seperti yang dilakukan Deirdre Boden yang menyatakan bahwa
percakapan menstruktur organisasi sosial.
6. Teori problem-problem sosial. Teori interaksionisme simbolik memiliki peran
cukup besar terhadap studi-studi tentang problem sosial. Teori ini terlibat dalam
organisasi dan menerbitkan jurnal Social Problems. Teori Labeling dari Becker
telah merevolusi analisis sosiologis tentang problem sosial yang menyatakan
bahwa publik mempunyai tanggung jawab terhadap munculnya berbagai
perilaku menyimpang di masyarakat. Teori ini memiliki pengaruh terhadap
studi-studi problem sosial pada dekade 1960-an hingga 1970-an meliputi topik-
topik, seperti gangguan kejiwaan, kejahatan, dan penyimpangan perilaku
seksual. Belakangan, para teoretikus interaksionis tertarik pada problem sosial
yang ditempatkan pada formulasi yang lebih makro, seperti yang dilakukan oleh
Spector, Kitsuse, Conrad, dan Schneider. Teori interaksionisme simbolik juga
mempunyai kaitan erat dengan teori retorika Keneth Burke yang menyatakan
bahwa dunia hanya dapat dipahami melalui konstruksi metaforis, tempat orang
membentuknya, dan identifikasi-identifikasi yang dilakukannya berasal dari
konstruksi tersebut. Teori retorika ini selanjutnya digunakan oleh beberapa
kademisi, seperti Gusfield, Manning, Loseke, Fine, dan Lofland dalam
melakukan studi-studinya.
E. Prospek/Perkembangan
Media massa di era postmodern ini menampilkan berbagai mitos dan stereotype yang
pada ujungnya mengklasifikasi status individu berdasarkan kelas ekonomi, ras, suku, agama,
kelompok sosial, maupun gender. Terpaan pesan-pesan dan tanda-tanda melalui mediamassa
mampu mengonstruksikan kedirian (self) seseorang secara berbeda dibandingkan dengan
pesan dan tanda yang diterimanya ketika berinteraksi langsung dengan orang lain. Dengan
demikian, proses self identification tidak hanya merefleksikan hasil interaksinya dengan orang
lain secara face to face, tetapi juga dibantu oleh hadirnya media massa. Perkembangan
teknologi komunikasi yang sangat pesat juga dapat mengubah manajemen kesan (impression
management) dalam interaksi sosial. Realitas-realitas seperti ini dapatmeruntuhkan premis-
premis, preposisi-preposisi, dan berbagai teori yang telah dibangun kaum interkasionisme
simbolik.
Secara epistemologis, tradisi ilmu pengetahuan sejak abad pertengahan dipengaruhi
secara kuat oleh positivisme. Aliran filsafat ini tidak saja memengaruhi ilmu-ilmu alam
(natural science), tetapi juga ilmu-ilmu sosial (social science), terutama sejak Durkheimmulai
melakukan studi-studi intensif tentang berbagai fakta sosial. Aliran ini memandang bahwa
sesuatu (fakta) dapat dianggap benar apabila terukur dan dapat diuji kembali(verifikatif).
Setiap pernyataan pengetahuan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan ke fakta, tidak
mempunyai makna apa-apa. Ketika hal ini diterapkan pada ilmu sosial,akan terjadi reduksi
objek ontologis manusia dalam tataran kuantifikasi matematis.
Menurut Durkheim, sebagaimana dikutip Jones (2009), struktur sosial sama
objektifnya dengan alam. Sifat struktural diberikan kepada masing-masing warga
masyarakat sejak mereka lahir, sama seperti yang diberikan alam kepada fenomena alam,
yang hidup maupun tidak. Suatu masyarakat terdiri dari realitas fakta sosial yang bersifat
“eksternal dan menghambat” individu. Aturan-aturan kebudayaan yang sudah ada
menentukan gagasan dan perilaku individu melalui sosialisasi. Sama halnya dengan gejala
alam yang merupakan produk aturan alam, gagasan, dan tindakan manusia adalah produk
kekuatan sosial eksternal yang membentuk struktur sosial.
TEORI FEMINISME
A. Sejarah
Feminisme sebagai sebuah teori dan gerakan sosial mempunyai sejarah yang cukup
panjang. Josephine Donovan (2000: 11) membagi teori feminisme berdasarkan tahapanera
perkembangannya, yakni teori feminisme gelombang pertama (the first wave) yangdimulai
pada akhir abad 18 hingga awal abad 20, kemudian teori feminisme gelombang kedua (the
second wave) yang berlangsung kurang lebih dua dekade, yakni dimulai padadekade 1960-an
hingga 1980-an, dan terakhir feminisme gelombang ketiga (the third wave) yang dimulai
pada dekade 1990 hingga saat ini. Masing-masing gelombangterdapat teori feminisme
yang menjadi mainstream, seperti pada gelombang pertama yang sangat dipengaruhi oleh
teori feminisme liberal.
Setelah berlalu beberapa abad, nilai-nilai pencerahan, seperti kebebasan danhak-
hak, memengaruhi aliran liberalisme fundasional di Amerika Utara dan Eropa Barat.
Liberalisme berpengaruh selama abad 19 sebagai ideologi sentral berada di samping
sosialisme di kiri dan konservatisme di kanan. Liberalisme membantu tumbuhnya
gerakan feminisme gelombang pertama yang kemudian menjadi gerakan yang menjalar di
dunia Barat. Meskipun feminisme liberal menjadi ciri konstan masyarakat modern, versi
feminisme liberal melakukan kritik terhadap ide-ide pencerahan. Feminisme mempunyai
hubungan yang ambivalen dengan akar liberalisme. Kate Nash (2001) melihat
ambivalensi tersebut justru menjadi sangat produktif terhadap perkembangan teori
feminisme.
Kaum feminis yang termasuk dalam feminisme gelombang pertama berusaha
memperjuangkan hak pilih. Para tokoh feminisme ini terutama berasal dari AS dan
mereka memulai pertemuan pertama di New York tahun 1948. Tujuan gerakan
feminisme ini adalah memperjuangkan kebebasan berbicara di muka publik, hak milik, dan
hak-hak politik bagi perempuan. Perjuangan mereka mencapai puncaknya pada tahun
1920, ketika Amandemen Konstitusi AS ke-19 diratifikasi yang mengesahkan hak pilih bagi
perempuan. Sejumlah feminis yang menjadi tokoh gerakan feminismegelombang pertama
ini antara lain Susan B. Anthony; Elizabeth Cady Stanton; Lucretia Mott; Sojourner Truth;
dan Lucy Stone.
Feminisme gelombang kedua ini berlangsung hingga dekade 1980-an ketika
berbagai serangan ditujukan kepadanya hingga gerakan ini mengalami stagnasi. Beberapa
varian teori feminisme yang lahir pada era ini, antara lain feminisme Marxis, feminisme
radikal, feminisme psikoanalisis, feminisme sosialis, feminisme eksistensialis, dan feminisme
postmodernis. Teori feminisme gelombang ketiga muncul pada dekade 1990-an, terdiri
dari eksponen yang merupakan saudara ataupun juga keturunan para eksponen teori
feminisme gelombang kedua. Isu-isu yang dimunculkan adalah isu-isu yang saat ini menjadi
perhatian dari berbagai kalangan antara lain seperti isu tentang pengasuhan (penitipan
anak) sebagai dampak kesibukan orangtua yang meniti karier, pencapaian posisi yang
menentukan dalam perusahaan bisnis dan birokrasi pemerintahan, pembangunan
berkelanjutan, dan juga kepekaan gender pada tingkat global. Feminismegelombang ketiga
ini mempunyai gaung yang lebih besar karena lebih bersifat global, ditandai dengan
terbentuknya koalisi dan jejaring yang mendukung perkembanganfeminisme. Beberapa
tokoh feminisme gelombang kedua menjadi bagian dalam gerakan ini. Di AS gelombang
ketiga ini bersifat multikultural dan inklusif, mendapat dukungan dari berbagai kalangan
perempuan sebagaimana juga para lesbian dan gay.
Menurut Mamo (Ritzer, 2005), teori feminisme berkembang berdasarkan
pertanyaan esensial mengenai makna kategori “perempuan”. Perdebatan di kalangan
feminisme esensialis dan kontruksionis menjadi landasan teori feminisme sosial yang
tumbuh di sekitar dekade 1980-an hingga 1990-an. Intinya tidak hanya sekadar
perdebatan sekitar apakah “perempuan” merupakan sebuah karakteristik esensial atau secara
sosial merupakan subjek yang dikonstruksikan, tetapi juga perdebatan mengenai bagaimana
menggunakan atau “mengambil risiko” esensialisme untuk tujuan-tujuan politis.
Argumentasi sentral dalam hal ini adalah esensialisme strategis, seperti yang diusulkan
Gayatri Chakravorty Spivak.
C. Susbtansi
Teori feminisme merupakan salah satu teori sosial yang sulit dideskripsikan,
apalagi digeneralisasikan. Terminologi teori feminisme merupakan cabang akademik
yang muncul pada pertengahan hingga akhir abad 20. Terminologi tersebut menunjuk
pada sistematika ide-ide yang berusaha mendefinisikan posisi perempuan dalam
kebudayaan dan masyarakat, termasuk menjawab berbagai pertanyaan besar mengenai
gambaran perempuan. Tuchman (2008: 988) mengidentifikasi paling tidak terdapat tiga
hal yang menyebabkan kesulitan mendefinisikan teori feminisme tersebut. Pertama,
teori tersebut bersifat interdisipliner, Kedua, teori feminis berbasis pada gerakan sosial
yang sangat dipengaruhi oleh konsen politik yang bersifat lokalitas dan temporer,
Ketiga, teori feminis tidak hanya eksis dalam konteks sosiopolitik, tetapi mendapatkan
data dan informasi justru pada konteks tersebut.
Selain itu, perlu dicatat bahwa teori feminisme merupakan sesuatu yang sulit
didefinisikan karena banyaknya varian pemikiran yang masih eksis hingga saat ini.
Kebanyakan feminis percaya bahwa perempuan merupakan kelompok yang tertindas dan
berbeda dari laki-laki karena menjadi subjek diskriminasi, baik personal maupun
institusional. Para feminis umumnya juga percaya bahwa mekanisme-mekanisme yang
bekerja di masyarakat semuanya berdampak keuntungan yang lebih besar bagi laki-laki
dibandingkan perempuan. Hal ini bukan berarti semua laki-laki memperoleh keuntungan yang
sama karena masyarakat juga menindas laki-laki dalam derajat intensitas yang berbeda-beda.
Juga, bukan berarti bahwa semua laki-laki berperan dengan cara yang sama dalam sebuah
sistem karena laki-laki dapat pula membuat keputusan untuk menetang penindasan dari
kelompok lain. Akan tetapi, premis tadi (bahwa mekanisme dalam masyarakat lebih
menguntungkan laki-laki) berimplikasi bahwa terdapat perbedaan perlakukan antara laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat dan cara bagaimana merekamelihat dirinya dan kelompok
lain digenderkan.
Menurut Rosemarie Putnam Tong (1998: 280), kekuatan terbesar dari perspektif
teori feminisme terletak pada pengakuannya terhadap kompleksitas perilaku manusia dan
kemampuannya memberikan sebuah tawaran pandangan dunia kalei-doscopic. Akar teori
feminisme berasal dari berbagai macam disiplin, seperti liberalisme, Marxisme, sosialisme, teori
psikoanalisis, eksistensialisme, postmodernisme, dan multikulturalisme. Meskipun para
teorinya mempunyai kesamaan komitmen untuk memahami dan melawan setiap bentuk
penindasan perempuan di masyarakat, mereka memiliki perbedaan pendapat mengenai
penyebab persoalan-persoalan, seperti subordinasi perempuan. Pandangan- pandangan para
teori feminis terhadap persoalan tersebut tergantung pada perspektifpemikirannya.
Teori feminisme telah memberikan kontribusi cukup signifikan bagi perkembangan
teori sosiologi dan disiplin lain dan kontribusi tersebut terus meluas hingga saat ini. Teori
feminisme yang mengalami penguatan di dekade 1960-an berkaitan dengan gerakan
kebebasan perempuan yang merupakan kekuatan politik signifikan dan mempunyai
konsekuensi-konsekuensi besar terhadap sosiologi. Feminisme sebagai teori dan gerakan
pembebasan perempuan memiliki visi dengan cara pertama kali menunjukkan asal-usul
patriarkalisme di masyarakat dan bagaimana kemudian perempuan menjadi sadar dan
peduli dengan penindasan yang menimpa diri dan kaumnya.
Menurut Fagan dan Belknap (2002), kontribusi penting dari pemikiran feminis
kontemporer adalah analisisnya tentang berbagai isu-isu gender, khususnya yang berkaitan
dengan bentuk-bentuk penindasan lain, seperti penindasan yang berbasis pada kelas, rasatau
etnisitas, seksualitas, umur, kemampuan, dan sebagainya. Sebagai contoh, feminis
multikultural meyakini bahwa perempuan tidak akan eksis apabila hanya berperan sebagai
“perempuan” di masyarakat. Pengalamannya dibentuk oleh karakteristik penting lain dan
perempuan mungkin mengalami penindasan di berbagai level, seperti rasisme, klasisme,dan
heteroseksisme. Sebagai akibatnya, feminis aliran ini menekankan pentingnya perubahan
sistem apabila menghendaki masyarakat yang benar-benar adil.
Beberapa varian teori feminisme adalah sebagai berikut
❖ Teori standpoint yang dikembangkan Dorothy Smith. Teori ini menekankan
“kesadaran terbelah” dari pengalaman hidup perempuan karena perbedaan
pengalaman berada dalam posisi subordinat dan definisi official dunia sosial
juga dialami oleh laki-laki.
❖ Hierarki gender, ras, dan kelas. Perspektif ini berasal dari analisis Patricia Hill
Collins tentang perempuan Afro-Amerika yang menurutnya mengalami
dominasi hierarki ganda (multiple) berbasis ras, kelas, orientasi seksual,
kebangsaan, dan juga gender.
❖ Perbedaan gender tingkat mikro memfokuskan pada ketergantungan yang
terjadi dalam proses-proses biologis, kultural, dan sosial. Topik-topik khusus
yang berkaitan dengan hal ini meliputi: (1) analisis Nancy Chodrow tentang
perbedaan gender pada proses sosialisasi anak-anak tahap awal tempat pola-
pola keibuan direproduksi; (2) deskripsi Dorothy Dinnerstein tentang
bagaimana reaksi emosional laki-laki dan perempuan terhadap isu-isu
kehidupan dan kematian dan juga identitas personalnya yang berbeda karena
perbedaan perannya dalam reproduksi.
❖ Perbedaan gender tingkat makro (dan juga meso). Teori-teori yang termasuk
dalam jenis ini antara lain: (1) perspektif Marxis yang tecermin dalam spekulasi
Engels tentang struktur hak milik dan keluarga, (2) analisis Randall Collins
tentang perkembangan institusi-insitusi khusus yang mengontrol sarana
kekerasan dan paksaan. Analisis tersebut diaplikasikan dalam persoalan
hubungan-hubungan gender, (3) perspektif fungsionalis Miriam Johnson yang
memberikan kontribusi pada gerakan perempuan dalam konteks perbedaan
institusional masyarakat modern, (4) analisis Chafetz tentang implikasi ganda
perbedaan akses perempuan dan laki-laki terhadap sumber daya ekonomi dan
posisi elite, (5) penjelasan Dorothy Smith tentang bagaimana perempuan
dipengaruhi oleh efek “hubungan-hubungan kekuasaan” tempat pola-pola
dominasi dimediasikan melalui teks-teks otoriter atau official. Di samping
perbedaan analisis, baik Smith maupun Chafetz, menekankan hubungan antara
tingkat makro dan mikro.
• Feminisme Kultural
• Ekofeminisme
• Feminisme Multikultural
• Feminisme Postmodern
• Eksistensial dan Fenomenologi
• Feminisme Liberal
• Feminisme Marxian
• Feminisme Radikal
• Feminisme Sosialis
• Black Feminism
D. Kritik/Tanggapan
Awal feminisme gelombang kedua (antara dekade 1960 hingga 1970)
menekankan peran faktor-faktor struktural dan material dalam memahami penindasan
perempuan, ketika pendekatan-pendekatan yang lebih baru (terbesar sejak tahun 1980-
an) telah mengalihkan fokus kaum feminis ke isu-isu simbolik dan representasional,
berkutat pada pertanyaan-pertanyaan seputar kekuasaan, pengetahuan, dan
subjektivitas. Munculnya feminisme gelombang ketiga dengan demikian dapat
dipandang sebagai kritik terhadap feminisme gelombang kedua, terutama dari sisi
epistemologis teoriasinya. Menurut Yeatman (dalam Brooks, 2009: 22), kesulitan-
kesulitan yang berkaitan dengan teori feminisme gelombang kedua adalah pada
esensialisme biologisnya, kurangnya komponen lintas budaya, dan tendensi ke arah
konstruksionisme sosial.
Pemikiran postmodern dalam sosiologi berpandangan bahwa perspektif teoretis
feminisme yang ada sebelumnya dipandang sebagai tidak lagi cocok. Selain itu,
keberatan para teori terhadap teori-teori feminisme adalah kesulitannya dalam usahanya
mengklasifikasikan teori feminis disebabkan beragamnya teori yang tersebar dalam
berbagai ruang lingkup disiplin ilmu. Secara umum, teori feminisme dikritik karena
pandangannya tentang konstruksi ideologis yang dianggapnya berfungsi melegitimasi
ketimpangan seksual. Teori feminis umumnya mengambil posisi sebagai sebuah perspektif
“konstruksionis sosial”, berbasis pada perbedaan antara “seks”, dan “gender”. Fakta alamiah,
meskipun demikian, tidak cukup berhubungan dengan cara pendefinisian, baik laki-laki
maupun perempuan. Fenomena gender yang lahir belakangan merupakankreasi sosial.
Kritik terhadap feminisme dengan demikian sering berasal dari kalangan feminis.Di
antara teori-teori feminisme gelombang kedua, juga terdapat konflik dan munculnya suatu
teori merupakan kritik terhadap teori yang lain. Teori feminis sosialis, misalnya merupakan
kritik terhadap feminisme Marxis. Kritik-kritik terhadap feminisme memiliki karakteristik
yang berbeda berdasarkan varian teori feminisme. Secara teperinci, Murniati (2004)
mengidentifikasi beberapa kritik terhadap masing-masing varian teori feminisme,
sebagaimana tersaji dalam tabel berikut.
• Liberal
- Cenderung menerima nilai-nilai maskulin sebagai manusia sehingga gerakannya mengarah
pada emansipasi.
- Cenderung membentuk manusia individualis. Padahal, kenyataannya, manusia hidup
berkelompok di dalam masyarakat.
- Mempunyai pemikiran dualistik, kebebasan individu, dan bertindak rasional adalah konsep
maskulin. Padahal, secara alamiah terdapat perbedaan seks.
• Marxis
- Teori ini didasarkan oleh ajaran Engels tentang asal mula keluarga, kekayaan pribadi, dan
negara. Teori ini mendorong perempuan ke bidang publik, dunia industri sehingga membangun
sosialisasi pekerjaan rumah tangga dan pemeliharaan anak-anak.
- Teori ini memberi nilai ekonomis pada pekerjaan perempuan sehingga perempuan menjadi
mandiri secara ekonomi. Pekerjaan ibu rumah tangga terkesan menjadi pekerjaan komersial.
- Menyamakan keluarga dengan dunia industri sehingga dapat menghilangkan perkembangan
kasih sayang yang berasal dari nilai-nilai keluarga.
- Membuka keluarga ke arah publik, menciptakan konsekuensi negara akan mengatur keluarga,
bahkan setiap anggota keluarga.
- Teori ini belum memasukkan analisis gender sehingga belum dapat mengemukakan sebab
sesungguhnya dari penindasan perempuan.
• Radikal
- Fungsi reproduksi adalah alamiah (nature) bukan teknologis. Sebenarnya, justru perempuan
mempunyai kekuatan karena fungsi ini. Oleh karena itu, fungsi ini tidak bisa digantikan secara
teknis.
- Menggeser fungsi reproduksi kepada kaum laki-laki akan merugikan perempuan sendiri, karena
perempuan kehilangan kekuatan untuk membebaskan diri.
- Perjuangan konfrontatif akan menimbulkan kekerasan yang meningkat.
• Sosialis
- Keterbatasan dalam melaksanakan pembagian kerja berwawasan gender.
- Pernyataan pandangan atau pengertian konsep mengenai alienation oppressive dan dominance
yang memengaruhi relasi manusia, sukar dilakukan karena sudah membatu.
• Eksistensialis
- Teori second sex tidak dapat diterima oleh semua orang. Teori ini sangat abstrak, tidak semua
orang mengalaminya dalam hidup.
- Dasar pemikiran filosofis yang digunakan teori ini sangat maskulin
- Kesadaran perempuan yang berpangkal dari sejarah biologisnya, dapat mengurangi kebebasan
perempuan dalam menentukan haknya.
E. Prospek/Perkembangan
Teori feminisme terus mengalami perkembangan hingga saat ini dan perhatian
parateori semakin meluas. Teori-teori feminisme kontemporer dibangun atas dasar visi-visi
yang diusung gerakan feminis yang tumbuh di akhir abad 19 dan awal abad 20. Teori
feminisme kontemporer terus mengalami perbaikan, terutama dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan dan kritik terhadap berbagai asumsi-asumsi implisit sekitar “cara di
mana dunia ada”. Teori feminisme yang tumbuh belakangan mempunyai anggapan bahwa
realitas kehidupan keseharian yang bersifat taken for granted menjadi sumber berbagai
problem sosial. Selain itu, teori feminisme kontemporer berasumsi bahwa penderitaan yang
dialami perempuan dapat diubah. Hal ini berbeda dengan asumsi teori feminisme sebelumnya
yang menganggap hal itu sebagai tidak dapat dielakkan.
Teori-teori feminis yang muncul pada era gelombang ketiga sering diasosiasikan
dengan postmodernisme yang sama-sama menentang berbagai asumsi yang bersifat taken
for granted dalam ilmu sosial. Asumsi-asumsi baru dibangun demikian pula studi-studi
tentang gender terus mengalami perkembangan. Kesemuanya merupakan bentuk-bentuk
perkembangan teori feminisme. Teori-teori feminisme memiliki peran cukup penting bagi
perkembangan sosiologi pada khususnya dan ilmu sosial padaumumnya.
FENOMENOLOGI
A. Sejarah Fenomenologi
Setelah usai Perang Dunia II hingga dekade 1970-an, terjadi perkembangan yang pesat
baik dalam teori maupun penelitian ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi di Amerika Serikat
maupun di Benua Eropa yang merupakan “sumber” perubahan tersebut. Selama periode
tersebut ditandai dengan suatu ekspansi besar-besaran pada banyak segi: perkembangan
akademik, organisasi profesional, jurnal, dan publikasi ilmiah selain perkembangan
penelitian yang dilakukan pemerintah. Ketika program-program penelitian sosiologis dan
metodologi berkembang biak dalam berbagai arah, kecenderungan dalam teori sosiologi
menunjukkan perbedaan pola: pertama, konsolidasi di sekitar pradigma utama, yakni
struktural fungsional; dan kemudian pada tahun 1960-an terjadi pelarian dari dominasi
paradigma tersebut menuju beberapa teori termasuk interaksionisme simbolik, teori
pertukaran, fenomenologi, etnometodologi, teori konflik, dan teori kritis.
Fenomenologi dengan demikian merupakan salah satu teori yang menentang
paradigma yang menjadi mainstream dalam sosiologi, yakni struktural fungsional.
Tumbuhnya disiplin berlanjut hingga saat ini melalui berbagai insitusi pendidikan tinggi di
Inggris dan juga beberapa negara lain. Sosiologi sebagai sebuah disiplin mulai terpengaruh
oleh karya-karya tersebut. Pada dekade 1970-an, terdapatbeberapa orientasi teori sosiologi.
Fenomenologi menjadi salah satu di antaranya bersama sama dengan argumentasi Marxis,
analisis Althuser (ahli strukturalis Prancis), aliran Frankfurt, Habermas, dan Gramsci. Pada
tahun 1979, Giddens mengembangkan teori strukturasi untuk merekonsilasi perdebatan
teoretis sebelumnya. Analisis sistematik Giddens tentang modernitas adalah karyanya yang
paling ekstensif dan tersebar luas.
Fenomenologi dalam percaturan teori sosiologi baru dikenal luas sejak dekade
1960-an. Mamun demikian, teori ini mempunyai sejarah akar pemikiran yang cukup
panjang. Teori fenomenologi telah digagas sejak abad 19. Georg Wilhelm Friedrich Hegel
(1770–1831) yang lahir di Stuttgart, anak dari seorang pegawai pemerintah, yang memulai
memperkenalkan fenomenologi sebagai metode baru dalam mendekati realitas. Hegel pada
masa mudanya mempelajari teologi di Universitas Tubingen, bekerja sebagai tutor privat di
Berne dan Frankfurt, sebelum menjadi pengajar universitas di Jena hingga tahun 1807. Pada
tahun tersebut, ia memublikasikan Phenomenology of Mind yang diakui menjadi masterpiece-
nya. Menurut Cubbitt (2006: 269), dalam karya tersebut, Hegel berargumen bahwa alasan
mempunyai kekuatan yang tidak terbatas. Ketika realitas berkembang menjadi sesuatu,
muatan utamanya adalah jiwa atau pikiran.
Dalam pengetahuan nyata, filsafat menjadi ilmu pengetahuan sebagai sistem. Hal ini
berarti bahwa ilmu pengetahuan dan sistem hanya sinkron ketika terjadi konstruksi realitas
pikiran sehingga menjadi transparan. Konsep sentral dalam filsafat Hegel adalah dialektika.
Dia melihat bahwa dialektika merupakan seperangkat hukum yang mendasari pemikiran
dan realitas:setiap tesis terdapat di dalamnya antitesis. Keduanya melebur menjadi sintesis.
Bagi Hegel, fenomena dalam sejarah bukanlah suatu kejadian yang kebetulan, melainkan
merupakan tahap penting menuju organon yang lebih kaya. Sejarah semestinya dipahamidan
juga semestinya diinterpretasikan, sebagai bentukan ingatan pikiran (Kleiner, 2005: 319–
320).
C. Substansi
Di antara alternatif-alternatif teori selain fungsionalisme yang diterima luas di
dekade 60-an adalah fenomenologi. Pada mulanya, fenomenologi merupakan filsafat yang
berkembang di Eropa melalui pengaruh dan karya Husserl. Fenomenologi kemudian
memengaruhi benua Amerika berkat Alfred Schutz. Ia mengajarkan dan memengaruhi
muridnya, termasuk Peter Berger yang juga merupakan seorang imigran dari Eropa. Peter
Berger pada tahun 1966 memublikasikan karyanya yang terkenal, yakni The Social
Construction of Reality bersama Thomas Luckman. Karyanya tersebut termasuk dalamkajian
sosiologi agama. Ahli lain yang mendapat pengaruh dari Schutz adalah Harold Garfinkel
yang mempunyai kontribusi terhadap fenomenologi sosial yang dia rancang sebagai
etnometodologi. Pada tahun 1967, ia memublikasikan karyanya yang berjudul Studies in
Ethnomethodology.
Fenomenologi merupakan perspektif sosiologi yang concern pada kehidupan sehari-
hari selain interaksionisme simbolik, dramaturgi, teori labeling, ethnomethodologi, sosiologi
eksistensial, dan sosologi postmodern. Di antara perspektif-perspektif teoretis tersebut
terdapat ide yang sama, yakni dengan mempertahankan integritas fenomena. Fenomenologi
yang pada mulanya berkembang dalam studi filsafat, oleh beberapaorang murid Husserl dan
ahli-ahli yang lain, seperti Maurice Merleau-Ponty, Alfred Schutz, Sartre, dan de Beauvior,
digunakan untuk menganalisis pengalaman hidupsehari-hari. Analisis pengalaman hidup
sehari-hari berfokus, baik pada aspek-aspek subjektif maupun aspek-aspek intersubjektif.
Pengalaman subjektif menunjuk pada persepsi individual tentang pengalaman hidupnya
juga, termasuk realitas pengalaman hidup individual lain sebagai bagian dari kehidupannya.
Pengalaman intersubjektif menunjuk pada pemahaman resiprokal yang dimiliki masing-
masing individu (terjadi dalam pengalaman subjektif masing-masing individu).
Secara etimologis, fenomenologi menunjuk pada studi tentang fenomena atau
bagaimana fenomena muncul dalam kehidupan seseorang. Fenomenologi Sosiologis
merupakan versi terpisah dari sosiologi interpretatif. Pendekatan ini memiliki daya tarik
terhadap tipe sosiologi interpretatif lain, seperti etnometodologi (yang sangat dipengaruhi
fenomenologi), interaksionisme simbolik, dan hermeneutik. Untuk jangka waktu lama,
fenomenologi berada di “pinggiran” sosiologi karena premis-premisnya bertentangan
dengan paradigma ortodoks yang berkuasa. Pada dekade 1970-an, sosiologi tertarik dengan
fenomenologi, khususnya melalui tulisan-tulisan Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu.
Ironisnya, ketertarikan ini menular dengan tumbuhnya pengakuan bahwa tradisi filsafatnya
berat sebelah. Fenomenologi terlalu memfokuskan pada bagaimana individu
merasionalisasikan dunia kehidupannya dan melupakan hambatan serta faktor-faktor
eksternal dari struktur sosial. Para sosiolog kemudian mengasyikkan diri dengan
menjembatani jurang antara pendekatan fenomenologi dan strukturalisme dengan
mengambil kelebihan-kelebihan dari keduanya.
Fenomenologi digunakan dalam dua cara mendasar dalam sosiologi, yakni (1)
untuk meneorisasikan problem-problem sosiologi substantif; dan (2) untuk meningkatkan
keakuratan metode penelitian sosiologis. Oleh karena fenomenologi melihat masyarakat
sebagai sebuah konstruksi kemanusiaan, sosiologi beserta teori-teori dan metodenya juga
dikonstruksikan (Cicourel 1964, 1973 sebagaimana dikutip Orleans, 2000: 2099). Jadi,
fenomenologi berusaha untuk menawarkan sebuah konseptualisasi dan metode riset
korektif terhadap apa yang oleh kaum positivis dipandang sebagai taken for granted.
Fenomenologi menampilkan teknik-teknik teoretis dan metode-metode kualitatif yang
menjelaskan makna-makna kehidupan sosial manusia.
Tugas utama fenomenologi sosial adalah mendemonstrasikan interaksi-interaksi
resiprokal di antara proses-proses tindakan manusia, penstrukturan situasional, dan
konstruksi realitas. Tidak seperti kaum positivis yang melihat setiap aspek sebagai suatufaktor
kausal, fenomenolog melihat bahwa semua dimensi sebagai pembentuk realitas.Biasanya,
para fenomenolog menggunakan istilah refleksivitas untuk menandai cara ketika dimensi-
dimensi unsur pokok berfungsi, baik sebagai fondasi maupun konsekuensi dari seluruh
aspek kehidupan manusia. Tugas fenomenologi kemudian adalah untukmengungkapkan
(menjadikan sebagai sesuatu yang manifes) refleksivitas tindakan, situasi, dan realitas dalam
berbagai moda dari “sesuatu yang ada di dunia. Fenomenologi memulai dengan suatu
analisis sikap alamiah (natural attitude). Hal ini dipahami sebagai cara pada umumnya
individu berpartisipasi dalam kehidupan sosial, menggunakan pengetahuan yang diterima apa
adanya (taken for granted), mengasumsikan objektivitasnya, dan melakukan tindakan yang
sebelumnya telah ditentukan (direncanakan). Bahasa, budaya, dan common sense yang muncul
dalam sikap alamiah merupakan ciri objektif dari dunia eksternal yang dipelajari aktor dalam
proses kehidupannya.
Berikut ini adalah uraian singkat pemikiran-pemikiranfenomenologi dari beberapa tokoh.
1. Edmund Husserl
Edmund Husserl, sebagai peletak dasar perspektif fenomenologi, menghabiskan
sebagian besar karier akademiknya dengan tujuan membuat “korelasi karakteristik antar-
objek ideal mulai dari yang murni logik hingga pengalaman hidup yang secarasubjektif
membentuk tindakan” sebagai topik penelitian. Tujuan yang murni filosofis mempunyai
dampak luas bagi sosiologi karena membantu menjembatani antara pendekatan
sistematik logik terhadap problem epistemologis dan yang sebaliknya, yakni analisis
kesadaran sebagai sebuah arus pengalaman hidup di mana instrospeksi intuitif dipilih
sebagai metode. Padasaat yang sama, meskipun demikian, ia menunjukkan bahwa yang
logis membutuhkan fondasi filsafat dalam rangka untuk menjelaskan konteks letak
pemikiran logis berada. Ia melihat kesadaran sebagai sebuah arus tindakan yang selalu
“intensional” dan selaluberkorelasi dengan realitas yang dapat mereka ketahui.
Dalam karya pada periode keduanya, Husserl (1976) mengembangkan metode
khusus yang kemudiandikenal sebagai “reduksi fenomenologi” (epoche). Ia concern dengan
investigasi pengalaman sebagai pembentukan makna dari tindakan kesadaran dan
mencari metode untuk mencari bukti-bukti tersebut. Dia menyarankan untuk menempatkan
validitas self-evident pengalaman ke dalam “golongan” (brackets) dan merefleksikan
tindakan kesadaran yangmembentuk self evidence yang taken for granted (Srubar, 2005: 557).
Teknik bracketing merupakan teknik fenomenologi kontemporer dalam sosiologi.
Teknik ini mengangkat suatu item (pengalaman) yang diinvestigasi dari konteks
maknanya dalam kerangka common sense beserta semua penundaan penilaian lainnya.
Husserl berpendapat bahwa untuk mengungkapkan tindakan-tindakan tersebut
akan berarti menyingkapkan proses-proses dalam kesadaran manusia yang dipengaruhi
pengalaman beserta maknanya, yang kesemuanya itu membentuk semua fakta yang
berada dalam pikiran manusia. Setiap pengalaman dilihat sebagai fenomena yang
terjadi dan terbentuk dalam tindakan kesadaran sehingga fenomena menjadi sesuatu
bagi manusia. Oleh karena itu, Husserl menunjukkan bahwa pengalaman nyata dan logis
tidak hanya saling kontradiksi satu sama lain, tetapi juga menunjukkan bahwa
pengalaman- pengalaman tersebut sangat erat saling terjalin dan kita dapat
memperoleh bukti langsung hal itu ketika kita menggunakan fenomenologi sebagai
metode filsafat reflektif mendalam. Dengan demikian, analisis fenomenologi Husserl
tentang terbentuknya tindakan kesadaran muncul untuk mengindikasi cara
mengklarifikasi semua ilmu pengetahuan ilmiah dan dapat ditambahkan membuka area
riset yang berkaitan dengan kondisi-kondisi bagi terbentuknya seluruh pengetahuan
manusia.
2. Alfred Schutz
Alfred Schutz (1899–1959) lahir di Austria, kemudian hijrah ke Amerika Serikat
pada tahun 1939. Ia belajar hukum dan pengetahuan sosial di University of Viena. Schutz
adalah seorang intelektual yang tertarik oleh pemikiran Max Weber, tetapi berusaha
menjernihkan dan mengembangkannya dalam filsafat fenomenologis Edmund Husserl
yang ia kenal secara pribadi. Schutz-lah yang mengembangkan fenomenologi dalam
sosiologi dan sepanjang karier akademiknya dicurahkan untuk memperbaiki pemahaman
sosiologis mengenai dunia kehidupan (lifeworld). Ia menggunakan sumber fenomenologi
yang dikembangkan Edmund Husserl untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
sebagai pilar-pilar filosofis ilmu sosial. Ia juga mengkritik teori Max Weber tentang
tindakansosial dan interpretasi. Dia berusaha memahami bagaimana sebuah teori tindakan
harusilmiah. Argumentasi sentralnya adalah bahwa sosiologi harus memahami bagaimana
aktor sosial menggunakan tipifikasi untuk mengorganisasi pengetahuan umum (common
sense) dari dunia kehidupannya dan untuk memahami perbedaan-perbedaan dasar
antara pengetahuan sehari-hari dan pengetahuan ilmiah. Riset fenomenologis dengan
demikian merupakan studi relevansi perbedaan-perbedaan bentuk pengetahuan bagi
tindakan sosial.
Schutz adalah murid Husserl dan sangat kuat dipengaruhinya. Apabila pendekatan
Husserl adalah murni filsafat, Schutz mengeksplorasi relevansi fenomenologi ke dalam
sosiologi. Dalam karyanya The Phenomenology of the Social World (1967) dan koleksi
makalahnya, Schutz secara khusus tertarik cara-cara ketika individu menggunakan skema
interpretatifnya untuk merasionalisasikan fenomenologi personalnya dalam kehidupan
sehari-hari. Hal itu menjadi stock of knowledge yang memungkinkan dia memahami
makna dari apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain.
Stock of knowledge oleh Schutz adalah keseluruhan peraturan, norma, konsep tentang
tingkah laku yang tepat, dan lain-lain yang kesemuanya memberikan kerangka referensi
atau orientasi kepada seseorang dalam memberikan interpretasi terhadap segala sesuatu
yang terjadi di sekitarnya sebelum melakukan suatu tindakan. Beberapa ciri dari stock of
knowledge yang mendapat penekanan khusus dari Schutz adalah sebagai berikut.
1. Realitas yang dialami oleh orang-orang merupakan stok pengetahuan bagi
orang tersebut. Bagi anggota-anggota sebuah masyarakat, stok pengetahuan
mereka merupakan realitas terpenting yang membentuk dan mengarahkan
semua peristiwa sosial. Aktor-aktor menggunakan stok pengetahuan ini ketika
mereka berhubungan dengan orang-orang lain di sekitarnya.
2. Keberadaan stok pengetahuan ini memberikan ciri take for granted (menerima
sesuatu begitu saja tanpa mempertanyakannya) kepada dunia sosial. Stok
pengetahuan ini jarang menjadi objek refleksi sadar atau menjadi semacam
asumsi-asumsi dan prosedur implisit yang diam-diam digunakan oleh individu-
individu ketika mereka berinteraksi.
3. Stok pengetahuan ini dipelajari dan diperoleh individu melalui proses sosialisasi
di dalam dunia sosial dan budaya tempat dia hidup. Akan tetapi, kemudian stok
pengetahuan tersebut menjadi realitas bagi aktor di dalam dunia yang lain
karena ke mana saja ia membawa stok pengetahuan itu dalam dirinya.
4. Individu-individu bertindak berdasarkan sejumlah asumsi yang memungkinkan
mereka menciptakan perasaan “saling” atau timbal balik: (a) yang lain dengan
si aktor yang berhubungan atau berelasi dianggap pada waktu itu juga
menghayati atau memiliki stok pengetahuan si aktor; (b) yang lain biasa juga
menghayati atau memiliki stok pengetahuan yang khas dan berbeda dari stok
pengetahuan si aktor karena memiliki riwayat hidup yang berbeda, tetapi stok
pengetahuan ini tidak dipedulikan si aktor ketika ia berelasi dengan mereka.
5. Eksistensi dari stok pengetahuan dan perolehannya melalui sosialisasi. Asumsi
yang memberikan aktor rasa saling atau tumbal balik, semua beroperasi untuk
memberikan kepada aktor perasaan atau asumsi bahwa dunia ini sama untuk
semua orang dan ia menyingkapkan ciri-ciri yang sama kepada semua. Apa
yang membuat masyarakat bisa bertahan atau menjaga keutuhannya adalah
asumsi akan dunia satu yang sama.
6. Asumsi akan dunia yang sama itu memungkinkan si aktor bisa terlibat dalam
proses tipifikasi, yakni berdasarkan tipe-tipe, resep-resep, atau pola-pola
tingkah laku yang sudah ada. Tindakan atau perbuatan pada hampir semua
situasi kecuali yang sangat personal dan intim, dapat berlangsung melalui
tipifikasi yang bersifat timbal balik ketika si aktor menggunakan stok
pengetahuannya untuk mengategorikan satu sama lain dan menyesuaikan
tanggapan mereka terhadap tipifikasi-tipifikasi tersebut.
7. Dengan tipifikasi tersebut, si aktor dapat secara efektif bergumul di dalam dunia
mereka karena setiap nuansa dan karakteristik dari situasi mereka tidak harus
diperiksa. Selain itu, tipifikasi mempermudah penyesuaian diri karena
memungkinkan manusia memperlakukan satu sama lain sebagai kategori-
kategori atau objek dengan tipe-tipe tertentu (Schutz, 1967; Campbell, 1994).
3. Harold Garfinkel
Harold Garfinkel lahir tahun 1917 di Newark, New Jersey. Ia berguru pada Talcott
Parsons di Harvard University dan memperoleh gelar Ph.D-nya pada tahun 1952. Ia
bekerja di Universitas California sejak tahun 1954. Walaupun awalnya Garfinkel berminat
menjadi dokter bedah, namun kondisi depresi berat mendorongnya untuk belajar bisnis
dan membantu ayahnya berbisnis furnitur. Mata kuliah akuntasi di Universitas Newark
memengaruhi tugas-tugas selanjutnya sehingga ia tertarik pada pembuatan laporan
pertanggungjawaban akunting. Akan tetapi, selama di University Newark, ia berinteraksi
dengan sekelompok mahasiswa dari universitas tersebut dan dari ColumbiaUniversity, yang
membuatnya tertarik pada sosiologi. Setelah lulus, ia pergi ke sebuahkamp kerja Quaker di
Georgia dan bertemu dengan lebih banyak mahasiswa. Pada akhirmusim panas tahun 1939, ia
kuliah di University of North Carolina dan menyelesaikantesis menggunakan gagasan awal
tindakan yang menggambarkan hubungan ras dan pembunuhan. Ia juga mulai membaca
karya-karya teori yang kemudian memengaruhi bidang sosial, termasuk Talcott Parsons,
Edmund Husserl, Alfred Schutz, C. WrightMills, dan Kenneth Burke.
Teori etnomeodologi merupakan kritik terhadap aliran-aliran utama sosiologi yang
menurut Garfinkel terlalu memaksakan kategori-kategori sosial kepada orang awam. Secara
khusus, Garfinkel melalui etnometodologi mengkritik konsep Parsonian, yang sudah lama
diyakini sebelum gelombang baru teori mengubahnya menjadi fungsional-struktural.
Berbeda dengan teori Parsonian, etnometodologi tidak tertarik pada dunia sosial tertentu,tetapi
lebih tertarik pada bagian-bagian spesifik interaksi di antara anggota-anggotanya.
Penekanannya adalah tentang bagaimana keteraturan suatu tatanan social merupakan
pencapaian (yang tidak disadari) oleh partisipannya.
Akar intelektual etnometodologi antara lain adalah sebagai berikut.
❖ Interaksionisme simbolik: proses interaksi dan penciptaan arti-arti yang sama dalam
berhubungan satu sama lain. Hal ini sama dengan etnometodologi dengan pergerseran,
yaitu dalam hal apa aktor-aktor menciptakan suatu perasaan bahwa mereka memiliki
pandangan yang sama, dan bagaimana aktor-aktor itu sampai pada asumsi bahwa
ada sebuah dunia eksternal yang bersifat objektif. Etnometodologi mengurungkan
(bracketing) atau menunda (suspend) isu dunia eksternal dari norma, peran, nilai,
dan kepercayaan. Etnometodologi memusatkan perhatian pada bagaimana interaksi
menciptakan perasaan akan dunia fakta di luar.
❖ Analisis Dramaturgi Goffman: etnometodologi setuju dengan keprihatinan Goffman
dengan teknik-teknik yang dilakukan oleh aktor untuk menciptakan kesan-kesan di
dunia sosial. Dalam etnometodologi, bukan tentang manajemen kesan individu,
melainkan bagaimana aktor menciptakan perasaan terhadap realitas yang sama.
Etnometodologi memusatkan perhatian pada bagaimana teknik-teknik itu dapat
mempertahankan perasaan terhadap realitas sosial.
❖ Fenomenologi Alfred Schutz: etnometodologi menyesuaikan analisis fenomenologi
dengan isu bagaimana keteraturan sosial dipertahankan dengan praktik-praktik yang
biasa dilakukan aktor untuk mencapai rasa (sense) bahwa mereka menghayati dunia
kehidupan sehari-hari yang sama.
4. Peter Berger dan Thomas Luckmann
Peter Berger dan Thomas Luckmann melahirkan teori konstruksi sosial yang
sangat dipengaruhi oleh Alfred Schutz. Mereka merupakan tokoh penting yang
menjadikan fenomenologi sebagai pendekatan yang mudah digunakan dalam sosiologi
melalui karya-karyanya yang berjudul The Social Construction of Reality dan
Phenomenology and Sociology (1978). Berger dan Luckmann berusaha menjembatani
perbedaan yang semakin tajam dalam sosiologi akibat modernitas dan sekularisasi.
Beberapa tulisan Berger dan Luckmann menekankan sentralitas pengalaman manusia
dalam kehidupan sehari-hari dan pengalaman hidupnya, refleksi intersubjektivitas
komunikasi sehari-hari (hal ini memengaruhi teori Jurgen Habermas tentang tindakan
komunikatif). Berger dan Luckman mengembangkan tesis yang menghubungkan antara
modernitas/sekularisasi dan kehidupan agama. Mereka berpendapat bahwa agama
mengalami deinstitusionalisasi dan kehilangan fungsi monopolisasi kehidupan sosial
sebagai akibat meningkatnya deferensiasi di masyarakat.
Dalam teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann, terdapat hubungan dialektis
antara diri (self) dan dunia sosiokultural dan hubungan tersebut berlangsung secara simultan
melalui tiga “momen”, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi (Berger &
Luckmann, 1990; Berger, 1991: 4). Eksternalisasi merupakan penyesuaian diri dengan dunia
sosio-kulturalnya sebagai produk manusia. Objektivasi merupakan interaksi dalam dunia
intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Sementara
itu, internalisasi merupakan proses ketika individu mengidentifikasikan dirinya dengan
lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempatindividu menjadi anggotanya. Manusia
sebagai subjek individu dan masyarakat sebagai dunia sosio-kulturalnya terlibat dalam
hubungan dialektis yang saling berkelindan.
“Eksternalisasi” merupakan pernyataan lahiriah subjek-individu yang berasal dari
pemahamannya terhadap sebuah konteks sosial. Pemahaman terhadap realitas objektif yang
terbentuk kemudian mengalami proses internalisasi, yakniproses masuknya pengetahuan dan
kesadaran ke dalam tataran batin subjek-individu, yang kemudian melahirkan butir
kesadaran “baru”. “Internalisasi” adalah sebuah ruang tawar-menawar yang digunakan
subjek-individu untuk memetakan dunia luar serta menyatakan diri “ada”.
D. Kritik/Tanggapan
Sejauh ini, tidak banyak ahli yang melakukan kritik terhadap fenomenologi. Menurut
Marcel (Ferguson, 2005: 246), reduksi fenomenologi cenderung menghasilkan pandanganyang
valid, tetapi tidak mampu menghasilkan self-knowledge atau self-understanding. Apa yang
diungkapkan tidak lebih dari sekadar mistery tentang sesuatu yang tidak dapat
dihilangkan. Fenomenologi dengan demikian lebih merupakan fondasi bagi teologi
eksistensi kontemporer daripada filsafat modern tentang pengalaman yang dapat
mengklarifikasi dirinya. Metode yang dikembangkan Husserl lebih menekankan pada
bagaimana melacak pengetahuan seseorang secara intuitif, bukan bagaimana menemukan
pengetahuan “baru”. Problem esensial yang berkaitan dengan fenomenologi adalah
bagaimana menginterpretasikan sesuatu yang bermakna, bukan mengkritisi konsistensi
internal atau menolak asumsi-asumsinya.
Sementara itu, salah satu kritik terhadap etnomeodologi datang dari dari Paul
Atkinson (Ritzer dan Goodman, 2008: 326) yang menegaskan kurangnya koherensi dalam studi
etnometodologi dan selanjutnya menyatakan bahwa ada beberapa etnometodologis yang
menyimpang terlalu jauh dari premis-premis yang melandasi pendekatan ini. Dengandemikian,
meski etnometodologi ini merupakan teori sosiologi yang sangat bersemangat, namun tetap
“mengidap penyakit” yang makin parah di tahun belakangan ini. Tak salahdikatakan bahwa
etnometodologi, diversitasnya, dan juga masalah pokok yang menjadi sasaran studi
etnometodologi merupakan berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas. Oleh karena
itu, akan semakin banyak studi, makin banyak diversifikasinya dan makin growing paints.
E. Prospek/Perkembangan
Fenomenologi merupakan teori sosiologi yang mempunyai pengaruh luas.
Dalam sosiologi kontemporer, pengaruhnya dapat dilihat dari meningkatnya humanisasi,
baik dalam kerangka teori, metodologi riset, serta prosedur penilaian, dan model-model
instruksional dalam pendidikan. Pemikiran fenomenologi juga mempunyai pengaruh
terhadap teori postmodern, poststrukturalisme, teori kritis, dan juga neofungsional.
Konsep-konsep, seperti konstruksionisme, situasionalisme, dan refleksivitas, yang menjadi
core fenomenologi juga dikenal dalam teori-teori tersebut di atas (Orleans, 2000: 2101).
Habermas mengembangkan sebuah pandangan evolusioner tentang sejarah manusia,
mengombinasikan beberapa elemen teoretis dari beberapa tradisi teoretis kontemporer.
Argumentasi dasarnya adalah bahwa lifeworld (dunia kehidupan) “dikoloniasi” oleh negara
dan ekonomi. Melalui proses ini, kapasitas “tindakan komunikatif” seseorang direduksi.
Bagi Habermas, tindakan komunikatif adalah proses ketika makna-makna terbentuk,
tercipta dunia kehidupan yang merupakan instrumen dasar integrasi sosial. Karena dunia
kehidupan mengalami “kolonisasi”, reproduksi dunia kehidupan pun mengalami
interupsi, dan integrasi sosial dipertahankan hanya melalui media yang delinguistified,
seperti uang dan kekuasaan.
TEORI PERTUKARAN SOSIAL
A. Sejarah Teori Pertukaran Sosial
Teori pertukaran sosial muncul pada awal dekade 1960-an. George C. Homans,
seorang sosiolog Amerika yang menjadi pionir teori ini. Pada tahun 1961, ia
memublikasikan karyanya yang berjudul Social Behavior: Its Elementary Forms, yang
kemudian menjadi naskah pertama teori pertukaran sosial. Homans memulai kariernya
sebagai sejarawansebelum kemudian tertarik sosiologi dan antropologi berkat pengaruh
Lawrence Henderson dan Elton Mayo di Harvard Bussiness School tahun 1930-an. Setelah
Perang Dunia II, ia bersama-sama dengan Talcott Parsons berada di salah satu
departemen di universitas yang sama. Namun, berbagai publikasinya mencerminkan
bahwa iamenentang pikiran-pikiran koleganya tersebut.
Pada tahun 1964, Peter Blau mengembangkan teori pertukaran dengan mencoba
menghubungkan level analisis mikro ke level makro. Gagasannya tersebut ia tuangkandalam
karyanya yang berjudul Exchange and Power in Social Life. Seperti halnya Homans dan
Emerson, Blau memulai dengan tingkat primitif, yakni tingkat analisis yang
mempertanyakan mengapa orang mengembangkan asosiasi bersama yang lain dalam
segenap aspek kehidupan. Bagi Blau, hal itu sudah jelas, bahwa asosiasi manusia mempunyai
manfaat secara intrinsik oleh karena kebanyakan kenikmatan yang dirasakan manusia
kebanyakan berakar pada kehidupan sosial.
Teori pertukaran terus berkembang. Pada tahun 1983, Cook, Emerson, Gillmore, dan
Yamagishi memublikasikan The Distribution of Power in Exchange Networks: Theory and
Experimental Results. Artikel ini merupakan pengembangan gagasan Emerson yang didukung
dengan hasil-hasil penelitian empirik. Linda D. Molm adalah sosiolog lain yang sangat
antusias mengembangkan teori pertukaran sosial. Ketertarikannya pada teoripertukaran sosial
mulai tumbuh di akhir dekade 1970-an. Dari dekade 1980-an hingga1990-an, ia menguji
peran dan penggunaan kekuasaan koersif dalam relasi pertukaran.Buku yang dihasilkan dari
riset ini berjudul Coercive Power in Social Exchange (1997).Tokoh lain yang berkontribusi
bagi pengembangan teori ini adalah Peter Ekeh.
D. Kritik/Tanggapan
Para pengkritik teori pertukaran sosial tidak hanya datang dari luar tetapi juga berasal
dari kalangan teori pertukaran sosial. Peter Ekeh (Poloma, 1984: 72) mengkritik gambaran
manusia dariHomans. Menurutnya, kesalahan Homans adalah karena mengambil prinsip-
prinsip psikologi yang diterapkan pada spesies manusia yang berasal dari pengamatannya
terhadap perilaku binatang. Homans kehilangan apa yang mungkin paling esensial dalam
manusia: berbeda dengan binatang, tindakan manusia tidak perlu dikaitkan dengan masa lalu
mereka, tetapi manusia dapat bertindak sekarang walaupun masa lalu menyediakan perhitungan
berbagai kemungkinan masa depan yeng menguntungkan mereka.
Sementara itu, Collins (Cook et. al., 1990: 172) mengkritik teori pertukaran
sosial yang dinilainya membatasi diri pada orientasi-orientasi teoretis ilmu sosial yangsecara
eksplisit mengonseptualisasikan aktor bertujuan dalam hubungannya ke struktur yang lebih
besar. Menurutnya, teori pertukaran sosial menggambarkan individu sebagai memiliki
sisi bebas dan terikat sekaligus. Manusia mempunyai kapasitas untuk menciptakan atau
bernegosiasi, tetapi mereka selalu bertindak dalam situasi yang terstruktur sehingga
dampak-dampak dan kondisi kreativitas dan negosiasi mereka telah dipolakan oleh
struktur-struktur yang lebih besar yang berada di luar kontrolmereka.
Kritik lain yang ditujukan Homans datang dari Bengt Abrahamson dan juga
Jack N. Mitchell. Menurut Abrahamson, kegagalan terbesar Homans terletak pada
ketidakakuratannya dalam menganalisis kesadaran (consciousness). Pengetahuan mengenai
pengalaman individu dan persepsinya mengenai reward dari tindakan yang dilakukannya
sering menjadi penting bagi pemahaman dan memprediksi perilakunya. Mitchell disisi
lain mengkritik reduksionisme Homans dan kegagalannya dalam menganalisis dinamika
kesadaran. Ia mengatakan bahwa setiap teori yang berusaha menjelaskan atau “menangkap”
perilaku sosial manusia tidak dapat mengasumsikan, baik secara eksplisit maupun implisit.
Interaksi merupakan satu-satunya faktor yang bekerja memengaruhi rasionalitas kebutuhan,
dan juga proses-proses, baik aspek biologi, psikologi, maupun ekonomi (Ritzer, 1983: 383).
TEORI PILIHAN RASIONAL
A. Sejarah Teori Pilihan Rasional
Teori pilihan rasional merupakan teori sosiologi mikroskopik yang tumbuh mulai
akhir dekade 1960-an. Teori ini dipelopori oleh James S. Coleman ketika ia menulis esainya
yang berjudul “Purposive Action Framework” (1973). Ia mengusulkan sebuah analisis
tindakan kolektif yang bahkan dapat diperluas ke dalam analisis, seperti norma sosial,
marriage markets, sistem status, dan pencapaian tingkat pendidikan. Melalui karyanya
tersebut, Coleman mempertahankan tema bahwauntuk merumuskan definisi pilihan rasional
dalam sosiologi, fokus studi diarahkan padapenjelasan fenomena sosial makro berdasarkan
pilihan yang dibuat aktor sosial pada tingkat mikro.
Heckarthorn (2005: 604–605) membagi perkembangan teori pilihan rasional ke
dalam beberapa tahap. Tahap pertama, perkembangan teori pilihan rasional tumbuhsecara
perlahan-lahan dengan kontribusi beberapa teori yang melakukan studi di berbagai bidang. Di
antara teori tersebut, antara lain Anthony Obschall (1973) yang menganalisis gerakan sosial,
Pamela Oliver (1980) yang menganalisis proses-proses organisasional berdasarkan tindakan
sosial kolektif, Karl-Dieter Opp (1982) yang menganalisis norma-norma dan gerakan sosial,
dan Heckarthorn (1983) yang menganalisis bargainingdan jaringan tindakan kolektif serta
Lindenberg (1982) yang melakukan studi tentang sharing group.
Tahap kedua perkembangan teori pilihan rasional dalam sosiologi dimulai pada
pertengahan dekade 1980-an dengan ditandai publikasi dari dua tokoh pengembang
terpenting, yakni Coleman (1986) dan Hechter (1983). Kedua tokoh ini menekankan
pentingnya kontinuitas antara teori pilihan rasional dengan pendekatan-pendekatan
tradisional sebelumnya untuk membangun teori yang lebih komprehensif.
Tahap ketiga munculnya teori pilihan rasional muncul dalam sosiologi pada
pertengahan dekade 1990-an ketika beberapa orang menaruh harapan, beberapa yang lain
takut, dan ada juga yang tidak puas. Pilihan rasional bukan suatu disiplin yangmurni.
Perkembangan teori pilihan rasional ini terjadi ketika terjadi penurunan teori sosiologi
yang terus berlanjut. Pada dekade ini fokusperhatian tindakan intelektual dalam disiplin
mengalami perubahan ke bidang-bidang substantif, seperti ketimpangan, organisasi, dan
sosiologi politik. Pilihan rasional terus berkembang dan semakin interdisipliner dan
memberikan kontribusi pada karya-karya teori ilmu sosial mulai dari ekonomi, ilmu
politik, antropologi, hukum, dan filsafat. Perluasan ini juga berhubungan dengan suatu
perubahan dalam teori pilihan rasionalmikro, psikologi sosial, dan berbagai bentuk teori
permainan.
D. Kritik/Tanggapan
Terdapat empat kritik utama yang dialamatkan teori pilihan rasional. Namun
demikian, menurut Heckathorn (2001: 621) terdapat kesalahan konsep dalam kritik
tersebut. Pertama, pilihan rasional tidak dikawinkan dengan pandangan kuat bahwa
aktor merupakan seorang oportunis yang kejam. Kenyataannya, analisis pilihan rasional
sosiologi lebih memfokuskan pada perilaku altruistik dan non-egoistik lain (Hechter,
Principles of Group Solidarity [1987]; Mansbridge, Beyond Self-Interest [1990]). Kedua, pilihan
rasional tidak dikawinkan dengan posisi politik khusus. Kenyataannya, penganut pilihan
rasional cukup beragam mulai aliran konservatif tentang pasar bebas, seperti James
Buhanan hingga ilmuwan politik moderat, James Coleman dan aliran Marxis,John Elster,
dan John Roemer. Ketiga, pilihan rasional tidak memperhitungkan bahwa tindakan hanya
diarahkan pada konsekuensi-konsekuensinya. Kenyataannya, tekanan utama teori pilihan
rasional diletakan pada analisis mengenai dilema sosial, seperti dalam dilema tawanan
(prisoner’s dilema) ketika tindakan rasional individu dikombinasikan dengan tujuan
menghindari kerugian secara kolektif. Terakhir, pilihan rasional bukan merupakan barang
impor asing. Akan tetapi, kenyataannya seperti yang dipertahankan oleh Coleman dan
lainnya (Swedberg, MaxWeber and the Idea of Economic Sociology, [1998]), teori pilihan
rasional sebenarnya merupakan teori yang berakar cukup kuat dalam sosiologi,
khususnya aspek metodologi individualistik Weberian.
Feminis mengkritik perspektif pilihan rasional karena dua alasan. Pertama,
perempuan secara umum dikesampingkan dalam pertimbangan teoretis. Kedua, apabila
dilibatkan, secara umum gagal dalam membuat prediksi-prediksi (Friedman & Diem, 1993:
92). Pentingnya perbandingan interpersonal dalam hal utilitas pada teori ini, adalah,
situasi yang terjadi “ketika seorang individu berusaha mengakses utilitas lebih dari individu
lain yang berasal dari situasi sosial alternatif dan berusaha membandingkan utilitas-utilitas
tersebut dengan utilitas yang perempuan miliki yang berasal dari situasi sosial alternatif”
(Friedman & Diem, 1993: 112), kondisi-kondisi penting khususnya yang relevan dengan cara
perempuan membuat keputusan (England & Kilbourne, 1990), tidak diperhatikan dalam
model ini (Chafetz, 2006: 548).
TEORI KRITIK
A. Sejarah
Teori kritik muncul dari para ahli teori Jerman yang tergabung dalam sebuah
lembaga yang bernama Institut fur Sozialforschung (Institut untuk Riset Sosial). Institut
tersebutdidirikan oleh Felix Weil pada tahun 1923 dengan direktur pertamanya adalah
CarlGrundberg. Sebagaimana dikutip Ritzer dan Goodman (2008), teori kritik muncul
sebagai koreksi terhadap teori Marxian. Sekelompok neo-Marxis Jerman merasa tidakpuas
terhadap teori Marxian, terutama tentang determinisme ekonomi. Tokoh utama yang
menjadi “primadona” teori kritis tak lain adalah Max Horkheimer, seorang keturunan
Yahudi kelahiran 14 Februari 1895 di Zuffenhausen dekat Stuttgart.
Pada awal kelahirannya, teori kritik ini dikembangkan dari berbagai studi sosial
yang berusaha menggabungkan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu selain berusaha
menunjukkan perbedaan antara pengetahuan tradisional dan pengetahuan kritis. Di
bawah kepemimpinan Horkheimer, yang menjabat direktur Institut fur Sozialforschung
pada tahun 1931, teori kritik mengalami perkembangan pesat. Apa yang menjadi
keprihatinan Horkheimer waktu itu adalah bagaimana mengalihkan filsafat menjadi
teori kritik masyarakat.
Teori kritik adalah teori yang lahir dari ketidaksetaraan dalam suatu sistem, atau
yang disebut sebagai structural inequality yang inherent di dalam suatu masyarakat
khususnya masyarakat Barat di bawah sistem kapitalisme. Teori Kritik secara struktur
dikatakan sebagai teori kritik karena para teorinya mengkritik status quo dan berbagai
bentuk penindasan yang ada di masyarakat. Ada dua aliran utama dari teori kritik,yaitu
aliran positivis dan aliran post-positivisme. Teori-teori yang masuk dalam postivis adalah
marxisme, neo-marxisme, dan neo-gramscianisme. Bahkan, ada beberapa ahli yang
mengategorikan konstruktivisme sosial sebagai salah satu varian teori kritik dalam aliran
positivisme. Sedangkan, aliran post-positivisme adalah teori-teori yang “bergerak” beyond
positivism, yaitu teori-teori yang dapat dikategorikan sebagai supra-critical karena teori-teori
ini tidak bergerak sesuai dengan alur yang ada dan tetap dalam paham postivisme yang
begitu kental dengan nilai-nilai akurasi yang tinggi, anti-relativitas (universalitas), konsisten
dengan pengetahuan yang telah mapan, dan bersifat parsimonial(Sugiono, 2009).
Istilah teori kritik untuk pertama kali dipopulerkan oleh Max Horkheimer pada
tahun 1937 melalui sebuah esainya yang berjudul Traditional and Critical Theory. Menurut
Horkheimer, teori kritik merupakan teori sosial yang berorientasi perubahan masyarakat
secara keseluruhan dalam arti masyarakat yang adil dan bebas penindasan. Teori kritiksangat
berbeda dengan teori sebelumnya, yang pada umumnya hanya beorientasi pada
pendeskripsian, pemahaman, dan penjelasan terhadap fenomena sosial.
C. Substansi
Teori kritik lahir dalam konteks masyarakat yang sedang mengalami keresahan.
Berbagai fenomena sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, eksploitasi, dan penindasan
manusia atas manusia sangat kental mewarnai masyarakat Eropa Barat dan juga Amerika
seiringdengan berkembangnya kapitalisme. Kondisi sosial seperti ini terefleksikan dalam
pemikiran beberapa sosiolog dan pemikir sosial lainnya. Dennis H. Wrong dalam bukunya
Skeptical Sociology (1977) menyatakan bahwa di bidang sosiologi, gagasan-gagasan Sekolah
Frankfurt kurang lebih searus dengan pemikiran dari sosiolog, seperti Peter Berger, C. Wright
Mills, dan Daniel Bell. Menurutnya,sosiolog-sosiolog tersebut ingin menceburkan diri ke
dalam persoalan kehidupan manusiasecara menyeluruh, tidak membatasi diri pada analisis
teknis belaka tentang manusia dan masyarakatnya. Mereka ingin agar sosiologi juga bisa
menganjurkan perubahan masyarakat:keprihatinan mereka adalah kemanusiaan secara lengkap
(Sindhunata, 1983).
Konten utama teori kritik pada dasarnya adalah kritik terhadap berbagai hlm. Ritzer
dan Goodman (2008), menyebutkan paling tidak terdapat lima kritik utama, yakni: (1)kritik
terhadap teori Marx; (2) kritik terhadap positivime; (3) kritik terhadap sosiologi; (4) kritik
terhadap masyarakat modern; (5) kritik terhadap kultur.
E. Prospek/Perkembangan
Paradigma strukturalis dalam antropologi menyatakan bahwa struktur proses
pemikiranmanusia adalah sama pada semua budaya. Proses mental ini berada dalam
oposisi biner seperti, misalnya panas-dingin, pria-wanita, culture-nature, mentah-matang
dan sebagainya. Kaum strukturalis berpendapat bahwa oposisi biner tersebut direfleksikan
di berbagai institusi budaya. Antropolog menemukan dasar proses pemikiran tersebut
dengan menguji beberapa hal seperti kekerabatan, mitos, dan bahasa. Hal itu kemudian
dipreposisikan bahwa suatu realitas tersembunyi tetap bertahan di balik segala ekspresi
budaya. Tujuan kaum strukturalis adalah memahami makna yang terkandung dalam
pemikiran manusia yang diekspresikan dalam tindakan budaya.
Selanjutnya, pendekatan teoretis yang ditawarkan kaum strukturalis adalah bahwa
unsur-unsur budaya harus dipahami dalam terminologi hubungan-hubungannya dengan
keseluruhan sistem. Poin ini menunjukkan bahwa keseluruhan lebih besar daripada bagian,
sebagaimana dianut oleh aliran psikologi Gestalt. Esensinya, elemen-elemen budaya tidakdapat
dijelaskan dalam dan oleh dirinya sendiri. Hal itu merupakan bagian dari keseluruhansistem yang
penuh makna. Sebagai sebuah model analisis, strukturalisme mempunyai asumsi bahwa
universalitas proses pemikiran manusia dipakai untuk menjelaskan “struktur-dalam” (deep
structure) atau makna yang menjadi dasar fenomena budaya. Strukturalisme adalahseperangkat
prinsip untuk memahami superstruktur mental.
Pierre Bourdieu, mengembangkan teori sosialnya berdasarkan strukturalisme
Prancis seperti yang berasal dari Ferdinand de Saussure (1857–1913) dan Claude Lévi-
Strauss (1908). Dalam karyanya The Logic of Practice, Bourdieu meringkaskan
pandangan- pandanganya ke dalam sebuah kerangka teoretis yang menarik. Tujuannya
mencari model yang komplet dan konsisten secara logis dalam menganalisis fenomena
sosial. Subjek individual dan kolektif dipandang berperan penting dalam pembentukan
struktur sosial. Peneliti ilmiah berada dalam posisi istimewa yang memiliki
pengetahuan lengkap tentang konteks sosial daripada para pelaku (partisipan).
Selama dekade 1960-an hingga awal dekade 1980-an strukturalisme tidak hanya
mendominasi antropologi tetapi juga ilmu-ilmu lain, seperti sastra, filsafat, sejarah, bahkan
sinematografi. Beberapa penulis seperti Barthes, Foucault, Lacan, Althusser, dan beberapa
pengkritik strukturalisme terinspirasi dari karya-karya Lévi-Strauss dan mereka menyebut
dirinya sebagai “strukturalis”. Teori ini telah menarik perhatian banyakpihak. Menurut Bloch
(1996: 673-674), para pengikut teori ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok sebagai berikut:
1. Para antropolog Prancis yang memegang teguh prinsip-prinsip strukturalismeLévi-
Straussian, seperti F. Héritier dan koleganya yang mengembangkan beberapaaspek
pola kekerabatan (Héritier,1981). Sejumlah peneliti lain mengembangkan analisis
mitos dan simbolisme, sementara yang lain menekuni isu kepercayaan dan
pelanggaran hukum (belief and transgression), seperti karya yang diedit oleh Izard dan
Smith (1982 [1979]). Perlu dicatat bahwa para pengikut ini menggunakan kerangka
teoretis yang lebih luas daripada yang digunakan Lévi-Strauss dan membatasi aplikasi
metodologi strukturalisme.
2. Kelompok penulis antara dekade 1970-an hingga 1980-an yang berusaha
mengawinkan pandangan Marxisme baru dengan strukturalisme. Usaha pertama
dilakukan oleh L. Sebag yang menekankan ide dialektika Hegelian yang diperlakukan
sama seperti halnya yang dilakukan Lévi- Strauss (Sebag, 1964). Tema ini kemudian
diikuti M. Godelier (1978 [1973]) yang menerapkan strukturalisme hanya pada
superstruktur Marxian dan mencocokkan dengan teori dampak mode produksi
terhadap infrastruktur.
3. Teori yang berasal dari Inggris, seperti Edmund Leach dan Rodney Needham. Leach
memberikan kritik konstruktif terhadap strukturalisme. Ia menyebut dirinya sebagai
seorang strukturalis dan melalui karya-karyanya ia ingin menunjukkan bagaimana
struktur-struktur dan transformasi-transformasi antarteks dalam Injil yang saling
berkaitan.
Meskipun demikian, pendekatan ini lebih condong ke Durkheimian dibandingkan
dengan strukturalisme karena mengasumsikan kesatuan budaya yang berada di luar (beyond)
pikiran manusia, sementara Lévi-Strauss menekankan bagaimana budaya tidak pernah
membentuk kesatuan koheren serta bagaimanakomunikasi dan modifikasi terus menerus
antarindividu menyebabkan terjadinya transformasi.
TEORI POSTMODERN
A. Sejarah
Istilah postmodern merupakan istilah yang paling ambigu dan kontroversial, baik di
duniaakademik maupun di luar dunia akademik. Istilah ini memiliki banyak arti sehingga
menimbulkan pro dan kontra. Banyak tokoh yang memberikan pengertian pada istilah ini
dan keseluruhan pengertian itu sulit dicari titik temunya. Demikian pula, muncul
perdebatan apakah postmodern itu sebuah teori, pendekatan, ataukah paradigma.
Sebagian ahli berpendapat bahwa postmodern merupakan pemutusan secara total dari
mata rantai modernisme. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa postmodern merupakan
kelanjutan saja dari modernisme. Selain itu, juga terdapat sejumlah ahliyang menyatakan
bahwa postmodern merupakan sisi radikal dari modern. Secara umum dapat dikatakan bahwa
postmodernisme sebagai sebuah sistem pemikiran lahir sebagai reaksi terhadap kagagalan
modernisme dalam berbagai hal, terutama dalam mengangkatharkat dan martabat manusia.
Istilah postmodern mulai banyak digunakan orang dari berbagai kalangan pada
dekade 1970-an. Istilah postmodern tercatat pertama kali, menurut Ritzer (2009: 36), pada
1870-an. Konsep ini muncul pertama kali dalam sebuah judul buku pada 1926 dan
dimunculkan kembali pada 1930-an dan 1940-an. Pada 1960-an, Susan Sontagmenulis
“Against Interpretation”, yang merupakan literatur postmodern awal. Dalam karyanya ini,
ia berpendapat bahwa memahami interpretasi merupakan tindakan yang melumpuhkan dan
penindasan. Ia menekankan pentingnya sensasi langsung, dan bukannya memahami
“makna” dari interpretasi-interpretasi.
C. Substansi
Teori yang paling baru dalam sosiologi saat ini adalah postmodernisme.
Postmodernisme,seperti halnya teori kritik, cenderung bertentangan dengan ilmu pengetahuan
sebagaimana dikemukakan oleh Lyotard dan Rorty. Ada banyak teoretikus yang dapat
digolongkan sebagai postmodernis, yang masing-masing memiliki versi pandangan yang
berbeda, baik dalam hal ontologi dan epistemologi maupun aksiologi. Mengingat begitu
banyaktokoh yang dapat dikategorikan sebagai postmodernis, sebuah usaha untuk membuat
sistematika akan banyak menolong untuk memetakan teori yang satu ini. Ritzer dan
Goodman (2008: 666–667) dalam kaitan ini mengklasifikasikan teoretikus postmodern
menjadi 3 kategori. Pertama, kelompok yang menganggap bahwa telah terjadi kehancuran
radikal dan masyarakat modern telah digantikan oleh masyarakat postmodern (Jean
Baudrillard, Gilles Deleuze, dan Felix Gauttari). Kedua, kelompok yang menganggap
bahwa meskipun telah terjadi perubahan, postmodern tumbuh sebagai lanjutan dari
modernisme (pemikiran Marxisme seperti Frederich Jameson, Ernesto Laclau, Chantal
Mouffe, dan feminis postmodern sperti Nancy Fraser dan Linda Nicholson). Ketiga,
kelompok yang melihat bahwa antara modernisme dan postmodernisme hanyalah sebagai
epos. Keduanya terlibat dalam hubungan jangka panjang yang terus berlanjut, dengan
postmodernisme yang terus menunjukkan keterbatasan modernisme (Barry Smart).
teori postmodern memiliki karakteristik yang berbeda dengan modernisme.
Secara lebih jelas Hicks (2004: 6) merangkumteori postmodern ke dalam 3 aspek, yakni
metafisikal, epistemologi, dan etik/politik.Secara metafisikal, postmodernisme anti-realis
mempertahankan pendapat bahwa tidakmungkin menjelaskan suatu realitas yang berdiri secara
bebas. Postmodernisme cenderung menggunakan pendekatan sosiolinguistik untuk
mengonstruksikan realitas. Secara epistemologi, postmodernisme menolak ide tentang
realitas yang berdiri secara bebas.Postmodernisme juga menolak alasan apa pun atau metode
lain sebagai alat pembuktian pengetahuan objektif tentang realitas. Dengan menggunakan
pendekatan sosiolinguistik, postmodernisme menekankan subjektivitas, konvensionalitas,
dan incommensurability(sifat tak terbandingkan) dari konstruksi tentang realitas tersebut.
Postmodernisme memperlakukan bahwa kodrat manusia adalah kolektivis secara konsisten.
Identitas-identitasindividual dikonstruksikan terutama oleh kelompok-kelompok sosiolinguistik
di mana diaberada. Jadi, kelompok-kelompok berbeda secara radikal berdasarkan perbedaan
kelamin, ras, etnisitas, dan kekayaan. Postmodernisme juga menganggap bahwa kodrat
manusia secara konsisten terlibat dalam hubungan konflik antarkelompok tanpa alasan
mendasar dan konflik-konflik tersebut diatasi, terutama, dengan menggunakan kekuasaan
(forces),baik secara terang-terangan maupun tersembunyi.
a. Postmodern budaya yang memfokuskan pada sentralitas global dan dislokasiindividual
dari realitas yang dihadapinya ini memiliki 4 karakteristik sebagai berikut.
b. Pendekatan “dangkal” (apa yang dilihat adalah apa yang diperoleh). Produk
kultural tidak memiliki intensitas dan tidak emosi di belakangnya karena budaya
dipisahkan dari orang yang memproduksinya. Budaya adalah citra-citra yang dapat
digunakan.
c. Pendekatan “ahistoris” dan instan. Budaya tidak menghasilkan referensi dari
perjuangan dan kemandirian manusia. Tradisi-tradisi dapat “dicampur” dan
dicocokkan dengan praktik kehidupan sehari-hari untuk dirunut asal-usulnya.
d. Pendekatan yang mengabaikan aspek waktu (timeless). Pendekatan ini memfokuskan
pada bagian-bagian makna budaya di suatu tempat. Hubungan waktu antarfragmen
secara eksternal tidak berarti tetetapi secara internal dibentuk kembali oleh aktor
individual.
e. Pendekatan yang menganggap dunia lebih sebagai suatu entitas teknolog daripada
sebagai suatu yang alamiah dan lebih sebagai suatu jaringan komputer daripada
keseimbangan ekologis (Waters, 1990: 207).
D. Kritik/Tanggapan