Anda di halaman 1dari 7

TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL

DAN TEORI KONFLIK


A. PENDAHULUAN
Sebelum beralih ke fungsionalisme structural dan teori konflik yang spesifik, Kita
perlu mengikuti Thomas Bernard untuk menempatkan kedua teori ini dalam konteks
pembahasan yang lebih luas antara teori consensus (salah satu diantaranya adalah
fungsionalisme struktural) dan teori konflik.
Teori consensus memandang norma dan nilai sebagai landasan masyarakat,
memusatkan perhatian kepada keteraturan social berdasarkan atas kesepakatan diam-diam
dan memandang perubahan social terjadi secara lambat dan teratur, sebaliknya, teori konflik
menekankan pada dominasi kelompok social tertentu oleh kelompok lain, melihat keteraturan
social didasarkan atas manipulasi dan control oleh kelompok dominan dan memandang
perubahan social terjadi secara cepat dan menurut cara yang tak teratur ketika kelompokkelompok subordinat menggulingkan kelompok yang semula dominan.
Meski criteria tersebut mendefinisikan perbedaan esensial antara teori sosiologi
fungsionalisme structural dan teori konflik, tidak boleh lupa bahwa mereka mempunyai
kesamaan yang penting. Dan seorang tokoh sosiolog Bernard menyatakan bahwa area
kesamaan di antara keduanya jauh lebih ekstensif ketimbang perbedaannya. Misalnya,
kedua-duanya sama-sama berada di tingkat makro yang memusatkan perhatian pada
Struktur Social dan Institusi Sosial berskala luas. Akibatnya keuda teori itu ada dalam
paradigm fakta social atau sosiologi yang sama.
Sementara dalam makalah ini pemakalah mengangkat rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan fungsionalisme struktural?
2. Apakah yang dimaksud dengan teori konflik?

B. PEMBAHASAN
George Ritzer memperkenalakan paradigma ini sebagai paradikma yang pertama
dalam kajian sosiologi. Paradikma ini diambil dari Durkheim, melalui karyanya The Rules of
Sociological Method dan Suicide. Durkheim melihat sosiologi yang baru lahir itu, dalam
upaya untuk memperoleh kedudukan sebagai cabang ilmu yang berdiri kokoh, yakni filsafat
psikologi.[1] Menurut Durkheim fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan
penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakan sebagai sesuatu (think), yang berbeda dengan
ide. Sesuatu tersebut menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak
dapat dipahami melalui penyelidikan atau kegiatan mental murni (spekulatif). Untuk
memahaminya diperlukan data riil di luar pemikiran manusia. Fakta sosial tidak dapat
dipelajari melalui introspeksi, fakta sosial harus diteliti didalam dunia nyata.
Durkheim merumuskan dua bentuk fakta sosial yaitu :
1. Bentuk materil, yaitu sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi. Fakta ini
adalah bagian dari dunia nyata (external world). Contohnya: arsitek dan norma hukum.

2.

Bentuk non-materil, yaitu sesuatu yang dianggap tidak nyata (external). Fakta ini merupakan
fenomena yang sifatnya intersubjektif, yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran
manusia. Contohnya: egoisme, altruisme, serta opini.[2]
Sementara itu, fakta psikologi menurut Durkheim adalah fenomena yang dibawa oleh
manusia sejak lahir, bukan merupakan hasil pergaulan hidup masyarakat. Durkheim
menyatakan bahwa fakta sosial tidak dapat diterangkan dengan fakta psikologis, ia hanya
dapat diterangkan oleh faktor sosial pula. Secara lebih terperinci, fakta sosial itu sendiri
terdiri atas kelompok, kesatuan masyarakat (societies), sistem sosial, peranan, nilai-nilai
keluarga dan pemerintahan. Dalam menentukan teori fakta sosial, Ritzer mengemukakan ada
tiga macam teori, yaitu :
1. Fungsionalisme Struktural
Robert Nisbet menyatakan Jelas bahwa fungsionalisme structural adalah satu
bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu social di abad sekarang,
sedangkan Kingsley Davis berpendapat, fungsionalisme structural adalah sinonim dengan
sosiologi
Teori stratifikasi fungsional seperti diungkapkan Kingsley Davis dan Wilbert Moore
mungkin merupakan sebuah karya paling terkenal dalam fungsionalisme structural, mereka
menjelaskan bahwa mereka menganggap stratifikasi social sebagai fenomena universal dan
penting. Mereka menyatakan bahwa tak ada masyarakat yang tidak terstratifikasi atau sama
sekali tanpa kelas.menurut pandangan mereka.
Stratifikasi adalah keharusan fungsional. Semua masyarakat memerlukan system
seperrti ini dan keperluan ini menyebabkan adanya system stratifikasi. Mereka juga
memandang sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan menunjukan bahwa stratifiksi
tidak mengacu kepada individu di dalam system stratifikasi, tetapi lebih kepada system posisi
(kedudukan). Mereka memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana cara posisi tertentu
memengaruhi tingkat prestise yang berebeda dan tidak memusatkan perhatian pada masalah
bagaimana cara individu dapat menduduki posisi tertentu.[3]
Teori Fungsionalisme Struktural menurut Talcott Parsons
Teori Fungsionalisme Parsons ini dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua
system tindakan, yang terkenal dengan skema AGIL.
AGIL. Suatu fungsi (function) adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah
pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan system. Dengan menggunakan definisi ini,
Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting diperlukan semua system
adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L) atau pemeliharaan
pola. [4]
Secara bersama-sama, keempat imperative fungsional ini dikenal sebagai skema
AGIL. Agar tetap bertahan (survibe), suatu system harus memiliki empat fungsi ini:
1) Adaptation (adaptasi): sebuah system harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat.
System harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu
dengan kebutuhannya
2) Goal attainment (Pencapaian tujuan): sebuah system harus mendefinisikan dan mencapai
tujuan utamanya.
3) Integration (Integrasi): sebuah system harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang
menjadi komponennya.

4) Latency (latensi atau pemeliharaan Pola): sebuah system harus memperlengkapi memelihara
dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kulturalo yang menciptakan
dan menopang motivasi.

a)

b)

c)

d)

2.

Fungsional Struktural menurut Robert Merton


Robert Merton adalah salah satu muridnya Parsons, yang menulis beberapa
pernyataan terpenting tentang fungsionalisme structural dalam sosiologi. Merton mengecam
beberapa aspek fungsionalisme structural yang lebih ekstrem dan yang tak dapat
dipertahankan lagi. Tetapi, wawasan konseptual barunya membantu memberikan
kemanfaatan bagi kelangsungan hidup fungsionalisme structural.
Merton ini lebih menyukai teori yang terbatas atau teori tingkat menengah, hal ini
berbeda dengan gurunya Parsons yang menganjurkan penciptaan teori-teori besar dan luas
cakupannya.
Teori ini menekankan keteraturan (order), mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan
dalam masyarakat. Yang menjadi konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten,
fungsi manifest, dan keseimbangan.
Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang terdiri atas bagian atau elemen yang saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Dengan demikian perubahan yang terjadi
pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian lainnya.
Asumsinya, bahwa setiap struktur dalam sistem sosial berfungsi terhadap sistem yang
lainnya (fungsional). Sebaliknya kalau struktur itu tidak fungsional maka akan hilang atau
tidak ada dengan sendirinya.
Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya pada sumbangan satu sistem atau peristiwa
terhadap sistem yang lainnya, yang dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lain dalam
suatu sistem sosial.
Konflik
Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi terhadap fungsionalisme structural
dan akibat kritik. Pendirian teori konflik dan teori fungsionalis disejajarkan. Menurut
fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat masyarakat berada dalam keadaan
berubah secara seimbang. Tetapi menurut darendorf, dan teori konflik lainnya, setiap
masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan.fungsionalis menekankan keteraturan
masyarakat, sedangkan teoritisi konflik melihat pertikaian dan konflik dalam system social.
Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga
stabilitas. Teoritisi konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap
disintegrasi dan perubahan.
Fungsionals cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai
dan moral. Teoritisi konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat
berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas. Fungsionalis
memusatkian perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat. Teoritisi
konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam
masyarakat. Dahrendorf ia juga termasuk orang yang dipengaruhi oleh fungsionalisme
structural. Ia menyatakan bahwa, menurut fungsionalis, system social dipersatukan oleh kerja
sama sukarela atau oleh consensus bersama atau oleh kedua-duanya. Tetapi menurut teoritisi
konflik masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan.[5]

a)

b)
c)

d)

e)

f)

Teori ini dibangun untuk menentang secara langsung teori fungsionalisme struktural.
Tidaklah mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan
dengan teori fungsionalisme structural. Tokoh utama teori ini adalah Ralf Dahrendrof.
Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan pertentangan
yang terus menerus diantara unsure-unsurnya.
Setiap elemen dalam masyarakat akan memberi dukungan bagi disintegrasi sosial.
Bertentangan dengan teori fungsionalisme structural, yang menganggap bahwa setiap elemen
atau institusi dapat memberikan dukungan terhadap stabilitas.
Keteraturan dalam masyarakat itu hanya disebabkan oleh adanya tekanan atau pemaksaan
dari golongan yang berkuasa. Sedangkan dalam teori fungsionalisme struktural, semua yang
teratur dalam masyarakat adalah karena adanya nilai-nilai moralitas umum.
Tesis sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduaya merupakan fakta sosial. Intinya
adalah distribusi kekuasaan dan wewenang secara tidak merata, tanpa kecuali menjadi faktor
yang menentukan konflik secara sistematis.
Berghe mengemukakan empat fungsi dari adanya konflik (masalah), yaitu :
Sebagai alat untuk memelihara solidaritas.
Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lainnya.
Mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi.
Konflik berfungsi sebagai komunikasi.
Sementara itu, teori konflik ini juga telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya,
teori ini diserang karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas, sedangkan fungsionalisme
structural diserang karena mengabaikan konflik dan perubahan. Teori konflik juga dikritik
karena berideologi radikal, sedangkan fungsionalisme dikritik karena ideology
konservatifnya. Bila dibandingkan dengan fungsionalisme structural, teori konflik tergolong
tertinggal perkembangannya.[6]
Kritik yang dilancarkan terhadap teori konflik dan fungsionalisme struktural maupun
kekurangan yang melekat di dalam masing-masing teori itu, menimbulkan beberapa upaya
untuk mengatasi masalahnya dengan merekonsiliasi atau mengintegrasikan kedua teori itu.
Asumsinya adalah bahwa dengan kombinasi maka kedua teori itu akan menjadi lebih kuat
ketimbang masing-masing berdiri sendiri.
Pemikiran awal tentang fungsi konflik social berasal dari George Simmel, tetapi
diperluas oleh Coser, yang menyatakan bahwa konflik dapat membantu mengeratkan ikaatan
kelompok yang terstruktur secara longgar. Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau
berkonflik dengan masyarakat lain, dapat memperbaiki kepaduan integrasi.
Konflik sebagai agen untuk mempersatukan masyarakat adalah sebuah pemikiran
yang sejak lama diakui oleh tukang propaganda. Contoh, konflik dengan Arab menimbulkan
aliansi antara Israel dan Amerika Serikat. Berkurangnya konflik Israel dengan Arab mungkin
dapat memperoleh hubungan antara Israel dan Amerika Serikat.
Dalam satu masyarakat, konflik dapat mengaktifkan peran individu yang semula
terisolasi. Protes terhadap perang Vietnam memotivasi kalangan anak muda untuk pertama
kali berperan dalam kehidupan politik di Amerika. Dengan berakhirnya konflik Vietnam
muncul kembali semangat apatis di kalangan pemuda Amerika.
Konflik juga membantu fungsi komunikasi. Sebelum konflik, kelompok-kelompok
mungkin tak percaya terhadap posisi musuh mereka. Tetapi akibat konflik posisi dan batas

3.

a)
b)
c)
d)
e)
f)

a)
b)
c)

d)
e)

antarkelompok ini sering menjadi diperjelas. Karena itu individu bertambah mampu
memutuskan untuk mengambil tindakan yang tepat dalam hubungannya dengan musuh
mereka. Konflik juga memungkinkan pihak yang bertikai menemukan ide yang lebih
baikmengenai kekuatan relative mereka dan menigkatkan kemungkinan untuk saling
mendekati atau saling berdamai.
Sistem
Dari pemahaman sistem secara umum, pengertian-pengertian yang terkandung
didalamnya adalah :
Sistem itu berorientasi kepada tujuan.
Keseluruhan adalah lebih sekedar jumlah dari bagian-bagiannya.
Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkungannya (keterbukaan
sistem).
Bekerjanya bagian-bagian sistem itu menciptakan suatu yang berharga
Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan).
Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme control)
Dari pengertian-pengertian dasar sistem tersebut, komponen-komponen yang
mencirikan suatu sistem yaitu :
Suatu kompleks keseluruhan yang terdiri dari sejumlah elemen. Ada bagian yang menjadi
bagian dari sistem tersebut.
Yang ducirikan oleh adanya interelasi, saling mempengaruhinya bagian-bagian yang ada.
Adanya suatu kesatuan yang terintegrasi, bagian-bagian yang ada merupakan suatu kesatuan
yang otonom dibandingkan dengan keseluruhan lainnya. Dengan demikian keseluruhan
tersebut membentuk sebuah entitas.
Ditujukan kearah pencapaian sasaran tertentu.
Tujuan memberi makna bagi keberadaan sistem tersebut.[7]

C. KESIMPULAN
Fungsionalis menyatakan bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga
stabilitas. Teoritisi konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan menyumbang terhadap
disintegrasi dan perubahan.
Fungsionals cenderung melihat masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai
dan moral. Teoritisi konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat
berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang berada di atas.
Fungsionalis memusatkan perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama
masyarakat. Teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan
ketertiban dalam masyarakat. Dahrendorf ia juga termasuk orang yang dipengaruhi oleh
fungsionalisme structural. Ia menyatakan bahwa, menurut fungsionalis, system social
dipersatukan oleh kerja sama sukarela atau oleh consensus bersama atau oleh kedua-duanya.
Tetapi menurut teoritisi konflik masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan

D. PENUTUP
Demikian makalah kami tentang Teori Fungsionalisme Struktural, Dan Teori
Konflik yang pemakalah sampaikan. Pemakalah sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih banyak kesalahan dan kekurangan karena keterbatasan pemakalah dalam memahami
dan menelaah. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat pemakalah harapkan.
Akhirnya semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi pemakalah
khususnya.Wassalam.

DAFTAR PUSTAKA
George Riter, Douglas J. Goodman, Edit. Tri Wibowo Budi Santoso, Teori Sosiologi
Modern, Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2007.
Yesmil Anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT Gramedia Widiasara
Indonesia, Jakarta : 2008

[1] Yesmil anwar & Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, PT Gramedia Widiasara Indonesia,

Jakarta : 2008. Hal. 67


[2] Ibid, hal. 68
[3] George Riter, Douglas J. Goodman, Edit. Tri Wibowo Budi Santoso, Teori Sosiologi
Modern, Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2007 Hal 118
[4] Ibid Hal 121
[5] Ibid Hal 156
[6] Ibid Hal 157
[7] Ibid, hal. 68-70

Anda mungkin juga menyukai