Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk akan muncul berbagai fenomena.
Fenomena yang sering terjadi adalah bentuk penyimpangan dan konflik sosial di
masyarakat. Di belahan dunia manapun, masyarakat yang dinamis dengan berbagai gejala
sosialnya akan ditemukan berbagai bentuk penyimpangan dan konflik.
Teori-teori mengenai masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat. Dari waktu ke waktu, teori-teori itu mengalami perkembangan dan
perubahan bahkan ada yang turut tenggelam bersama dengan bertumbuhnya teori baru.
Dalam konteks itu, kita tidak bisa menyangkali bahwa perubahan-perubahan teori
mengenai masyarakat itu terjadi di dalam suatu masyarakat yang dinamis dengan daya
mobile yang tinggi.
Beragam teori mengenai masyarakat itu memperlihatkan bahwa kemampuan
masyarakat untuk berubah itulah yang menjadi faktor penting dalam memahami
masyarakat. Artinya, masyarakat tidak bisa dimengerti dari suatu konstruk teori,
melainkan mesti dilihat secara riil atau kontekstual.
Menarik memang ulasan beberapa pemikir di awal abad ke-21, bahwa “mesin
peradaban” masyarakat sedang berfungsi untuk membawa suatu tatanan baru di dalam
masyarakat. Bangkitnya turbin “mesin peradaban” itu adalah suatu gejala dari semakin
pentingnya eksistensi masyarakat, termasuk eksistensi kelokalan yang tampak melalui
berbagai bentuk kearifan lokal, atau dalam terminologi sosiologi disebut sebagai “modal
sosial” (social capital).
Persoalan pokok di sini bukan pada apa sumbangan teori sosiologi mengenai
masyarakat transisi dan modern itu, sebaliknya apakah masyarakat transisi dan modern itu
membuat teori-teori yang ada barubah secara signifikan? Pertanyaan itu pun penting
dikemukakan untuk melakukan refleksi kritis terhadap peta pemikiran Emile Durkheim.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah teori-teori Emile Durkheim mengenai masyarakat masih relevan dan dapat
dijadikan sebagai suatu cara pandang memahami masyarakat dewasa ini (masyarakat
transisi dan modern)?
2. Bagaimana memahami teori-teori Durkheim melalui kritikan?.
3. Bagaimana realitas peranan individu dalam sebuah kelompok?

1.3 Batasan Masalah


Dalam pembahasan makalah ini, kami menitikberatkan pada teori-teori Emile
Durkheim.

1.4 Tujuan
1. Untuk mengetahui relvansi teori Emile Durkheim dengan keadaan masyarakat saat ini
2. Untuk memahami lebih jauh teori Emile Durkheim melalui kritikan.
3. Untuk mengetahui realitas peranan individu dalam sebuah kelompok.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Fungsional Struktural


Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim,
dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer.
Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi
oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat
dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan
requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan
penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam
kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat
adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan.
Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing – masing yang
membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain
dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan
sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan
Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski
dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif fungsional
modern.Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh
pemikiran Max Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai
pengaruh kuat adalah :
• Visi substantif mengenai tindakan sosial.
• Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.
Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan
pemikiran Parsons dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam
menginterpretasikan keadaan.
Adapula asumsi dasar menurut Talcott Parsons. Menurut Parson, ada empat
komponen penting dalam teori struktural fungsional, yaitu : Adaptation, Goal Atainment,
Integration, dan Latency (AGIL).
a. Adaptation : sistem sosial (masyarakat) selalu berubah untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara internal ataupun eksternal.
b. Goal Attainment : setiap sistem sosial (masyarakat) selalu ditemui tujuan-tujuan
bersama yang ingin dicapai oleh system sosial tersebut.
c. Integration : setiap system sosial selalu terintegrasi dan cendeung bertahan pada
equilibrium (keseimbangan). Kecenderungan ini dipertahankan memalui kemampuan
bertahan hidup demi system.
d. Latency : system sosial selalu berusaha mempertahankan bentuk-bentuk interaksi
yang relatif tetap dan setiap perilaku menyimpang selalu di akomodasi melalui
kesepakatan-kesepakatan yang diperbaharui terus menerus.

2.1.1 Teori Fungsional Parsons


Suatu keyakinan akan perubahan dan kelangsungan sistem. Pada saat
depresi kala itu, teorinya merupakan teori sosial yang optimistis. Akan tetapi
agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi oleh keberhasilan Amerika dalam
Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan setelah depresi yang parah itu.
Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya galau dan kemudian
diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka optimisme teori
Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Gouldner (1970: 142):
”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki
batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah
tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal
kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.

2.1.2 Emile Drukheim


a. Solidaritas dan Pembagian Kerja Sosial ( The Division of Labour)
Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu
dan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral yang dianut bersama dan
diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Dalam bukunya Durkheim
menganalisa tentang pengaruh kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja
dalam struktur dan perubahan – perubahan yang diakibatkan dalam bentuk –
bentuk pokok solidaritas social. Pertumbuhan dan pembagian kerja
meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial pada solidaritas mekanik
dan solidaritas organik.
 Solidaritas Mekanik
Menurut Durkheim solidaritas mekanik terbentuk atas dasar
kesadaran kolektif yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-
kepercayaan dan sentimen- sentimen bersama yang rata- rata ada pada
masyarakat zaman tersebut. Kesatuan ini disebut mekanis karena
anggotanya cenderung mengarah pada pola hidup bersama yang kuat,
pembagian kerja bersifat rendah, hukum represif diberlakukan secara
dominan, individualitas yang rendah, consensus terhadap pola- pola yang
normative, keterlibatan komunitas dalam menghukum orang
menyimpang, tingkat saling ketergantungan rendah serta bersifat
primitive. Solidaritas ini biasa ditemui pada masyarakat yang tinggal di
pedesaan. Solidaritas mekanik ini identik dengan masyarakat kuno yang
bersifat tradisional.
 Solidaritas Organik
Solidaritas ini muncul atas dasar pembagian kerja yang
bertambah besar dengan tingkat saling ketergantungan yang sangat
tinggi. Menurut Durkheim solidaritas ini ditandai dengan hukum yang
bersifat memulihkan daripada yang bersifat represif (restitutif). Dalam
masyarakat pada solidaritas ini sifat individualistis seseorang semakin
tinggi dan kesadaran kolektif masing- masing anggota makin lemah.
Selain itu solidaritas ini juga dicirikan pada konsensus terhadap nilai-
nilai abstrak dan umum yang penting, penyelenggaraan hukuman
terhadap orang yang menyimpang dilakukan oleh badan- badan kontol
social, serta bersifat industrial. Solidaritas organic biasa ditemui pada
masyarakat yang tinggal di perkotaan. Solidaritas organic ini identik
dengan masyarakat modern dengan segala kemajuan- kemajuan yang
dimilikinya.
b. Fakta Sosial ( The Rule of Sociological Method)
Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi itu adalah mempelajari
dengan apa yang disebut fakta social. Dalam pendekatannya terhadap perilaku
individu, fakta social merupakan suatu hal yang riil, mempengaruhi kesadaran
individu serta perilakunya yang berbeda dan bersifat karakteristik psikologi,
biologis, maupun karakteristik individu lainnya atau bisa juga diartikan
sebagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu
dan memiliki kekuatan memaksa yang mengendalikannnya. Fakta social dapat
dipelajari melalui metode empiric karena diibaratkan sebagai sebuah benda
yang nyata. Fakta social tidak terlepas dari tiga karakteristik yaitu bersifat
eksternal, memaksa dan bersifat secara umum. Maksud dari ketiganya yaitu
pertama, bersifat ekternal terhadap individu misalnya bahasa, system moneter,
norma- norma dan professional. Kedua, bersifat memaksa yaitu individu
dipaksa, dibimbing, diyakini, didorong atau dengan cara tertentu dipengaruhi
oleh berbagai tipe fakta social yang ada dalam lingkungannya. Ketiga, fakta
social bersifat umum dan meluas dalam masyarakat maksudnya fakta social
merupakan milik bersama dan bukan milik individu. Diterangkan dalam
bukunya, Durkheim membedakan antara dua tipe fakta social yaitu:
- Fakta Sosial Material
Fakta sosial material lebih mudah dipahami karena bisa diamati.
Fakta sosial material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral
yang lebih besar yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa
mereka. Misalnya birokasi, hukum.
- Fakta Sosial Non Material
Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki
batasan tertentu, ia ada dalam fikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa
ketika orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan
mematuhi hukumnya sendiri. Individu masih perlu sebagai satu jenis
lapisan bagi fakta sosial nonmaterial, namun bentuk dan isi partikularnya
akan ditentukan oleh interaksi dan tidak oleh individu. Oleh karena itu
dalam karya yang sama Durkheim menulis : bahwa hal-hal yang bersifat
sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah produk
aktivitas manusia. Yang termasuk jenis fakta social non material seperti :
moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif, arus social, pikiran
kelompok.
Dalam fakta social pehatian Durkheim lebih tertuju pada fakta social
non material daripada fakta social material. Melalui fakta social non
material Durkheim menganalisis tentang apa yang menyebabkan
masyarakat bisa dikatakan dalam keadaan primitive maupun modern. Ia
menyimpulkan bahwa masyaakat primitive dipersatukan dengan fakta
social non material yang berupa ikatan moralitas yang kuat yang disebut
sebagai kesadaran kolektif yang kuat. Namun karena tergeser dengan
kompleksitas masyarakat modern, maka lama kelamaan kekuatan kesadaran
itu menurun.
Durkheim juga menyajikan beberapa contoh dari fakta social itu
sendiri, seperti proses pendidikan anak yang pada dasarnya telah ada dan
dilakukan sejak bayi. Seorang anak diwajibkan makan, minum, tidur pada
waktu tertentu, diwajibkan taat dan menjaga ketenangan serta kebersihan,
diharuskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat dan
kebiasaan. Di sini kita dapat menemukan unsur-unsur yang dikemukakan
oleh Durkheim yaitu adanya cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang
bersumber pada suatu kekuatan diluar individu, bersifat memaksa dan
mengendalikan individu, dan berada diluar kehendak pribadi individu. Jika
individu tersebut tidak mampu melaksanakan ataupun melanggar suatu
ketentuan yang telah ada sebelumnya maka akan ada sanksi yang
diterapkan.
Contoh lain dari fakta social ialah hukum, moral, kepercayaan, adat
istiadat, tata cara berpakaian dan kaidah ekonomi. Fakta social tersebut
mengendalikan dan memaksa individu, karena apabila ada yang melanggar
ia akan terkena sanksi. Fakta social inilah yang menurut Durkheim menjadi
pokok perhatian sosiologi. Sehingga menurutnya, metode yang harus
ditempuh untuk mempelajari fakta social yaitu, metode yang sifatnya
empiris dalam meneliti suatu fakta- fakta social, untuk menjelaskan
fungsinya dan juga untuk menjelaskan factor penyebabnya. Dapat
dicontohkan,dalam buku Sucide (1968) yang menjelaskan tentang penyebab
terjadinya suatu fakta social yang konkret, yaitu angka bunuh diri.
c. Bunuh Diri
Pentingnya arti solidaritas sosial dalam masyarakat bagi seorang
individu ditunjukkan oleh Durkheim dalam menganalisis tindakan bunuh diri.
Tindakan yang demikian tampak individual tidak dapat dijelaskan melalui cara
individual, karena selalu berhubunganan dengan perkara sosial. Studi
Durkheim tentang bunuh diri adalah contoh keterkaitan teori yang
dikemukakan oleh Durkheim dengan penelitian. Durkheim memilih studi
bunuh diri karena persoalan ini realtif merupakan fenomena konkret dan
spesifik, di mana tersedia data yang bagus secara komparatif. Dengan tujuan
utama untuk menunjukkan kekuatan ilmu sosiologi. Bunuh diri yang adalah
tindakan pribadi dan personal dapat dianalisa dengan menggunakan ilmu
sosiologi. Durkheim tidak memfokuskan diri pada mengapa orang bunuh diri,
tetapi pada mengapa angka bunuh diri dalam satu kelompok (masyarakat) bisa
lebih tinggi dari kelompok (masyarakat) yang lainnya. Kesimpulan Durkheim
akan hal tersebut adalah bahwa faktor terpenting dalam perbedaan angka
bunuh diri akan ditemukan dalam perbedaan level fakta sosial. Kelompok
yang berbeda memiliki sentimen kolektif yang berbeda sehingga menciptakan
arus sosial yang berbeda pula. Arus sosial itulah yang mempengaruhi
keputusan seorang individu untuk bunuh diri. Teori bunuh diri Durkheim
dapat dilihat dengan jelas melalui memahami dua fakta sosial utama yang
membentuknya, yakni: integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk pada kuat
tidaknya keterikatan dengan masyarakat dan regulasi merujuk pada tingkat
paksaaan eksternal yang dirasakan oleh individu. Menurut Durkheim, kedua
arus sosial tersebut adalah variabel yang saling berkaitan dan angka bunuh diri
meningkat ketika salah satu arus menurun dan yang lain meningkat.
Berdasarkan hal tersebut maka terdapat empat jenis bunuh diri, yakni: bunuh
diri egoistis, bunuh diri altruitis, bunuh diri anomik, dan bunuh diri fatalistis.
Keempat jenis bunuh diri dapat dijelaskan dengan bagan:
Empat jenis Bunuh Diri
Rendah Bunuh Diri Egoistis
Integrasi
Tinggi Bunuh Diri Altruirtis
Rendah Bunuh Diri Anomik
Regulasi
Tinggi Bunuh Diri Fatalistik

Dalam kasus bunuh diri egoistis, manusia berlaku sebagai pribadi dan
manusia sosial. Manusia sosial mengandalkan adanya suatu masyarakat
tempat ia mengungkapkan dan mengabdikan dirinya. Jika di dalam keadaan
masyarakat ini tidak erat fakta sosialnya, maka individu tidak lagi merasakan
kehadiran masyarakat sebagai pelindungnya, dan hilanglah tempat berpijak
individu, yang tinggal hanyalah kesepian yang menekan. Makin lemah atau
longgar ikatan sosial anggotanya anggotanya, makin kecil ketegantungan si
individu terhadap masyarakat itu. Dalam keadaan seperti ini, individu
bergantung pada dirinya sendiri, dan hanya mengakui aturan-aturan yang
menurutnya benar dan menguntungkan dirinya. Dalam kasus bunuh diri
altruistik, terjadi ketika adanya kewajiban untuk membunuh dirinya yang
diakibatkan oleh ketatnya aturan adat. Disini integrai individualnya sangat
kokoh. Contoh bunuh diri pada kasus ini adalah bunuh diri seorang istri akan
kematian suaminya, bunuh diri seorang pelayan pada kematian tuannya, atau
seorang prajurit pada kematian pemimpinnya. Dalam kasus bunuh diri
anomik, masyarakat bukanlah hanya merupakan tempat tumpuan perasaan
individu, dan aktivitas sekelompok individu yang berkumpul menjadi satu,
tetapi masyarakat juga memiliki kekuatan untuk menguasai individu-individu
anggota masyarakat tersebut. Antara cara regulatif itu terlaksana dan jumlah
bunuh diri terdapat kaitan yang sangat erat. Kurangnya kekuatan mengatur
dari masyarakat terhadap individu, menyebabkan terjadinya kasus bunuh diri.
Bunuh diri semacam ini terjadi dalam masyarakat modern. Kebutuhan seorang
individu dan pemenuhannya diatur oleh masyarakat. Kepercayaan dan
praktek-praktek yang dipelajari individu membentuk dirinya dalam kesadaran
kolektif. Jika pengaturan terhadap individu ini melemah, maka kondisi bunuh
diri memuncak. Fakta menunjukkan bahwa krisis ekonomi membangkitkan
kecenderungan bunuh diri dan sebaliknya, keadaan kemakmuran yang
datangnya lebih cepat juga mempengaruhi kejiwaan anggota masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka bunuh diripun dapat dianalisis
secara sosial, dalam bunuh diri egoistis, hidup individu seolah-olah kosong,
karena pemikiran terserap ke dalam diri individu, tidak lagi mempunyai objek.
Bunuh diri atruistik, individu melepaskan diri sendiri dalam antusiasme
kepercayaan religius, politik. Bunuh diri anomik, si individu telah kehilangan
dirinya larut ke dalam nafsu yang tidak terbatas.

2.1.3 Teori Merton ; Struktur sosial, Anomie, adn Deviance


Adapun Pemikiran Robert K. Merton mengennai anomie:
 Anomie terjadi ketika kebutuhan dan keinginan melampaui apa yang dapat
dipenuhi melalui “socially acceptable ways”
 Keinginan manusia sebenarnya didefinisikan oleh masyarakat itu sendiri.
Setiap masyarakat menciptakan hal-hal yang dianggap berharga dan layak
diupayakan pemenuhannya
 Bila masyarakat ingin tetap sehat, kesediaan seseorang untuk tetap
mempergunakan cara-cara yang sah perlu dihargai.
 Jika tekanannya pada tujuan tanpa kendali pada bagaimana mencapainya,
situasi anomik terjadi
 Selain kesenjangan antara cara dan tujuan, kriminalitas juga disebabkan oleh
perasaan diperlakukan tidak adil atau karena kesempatan berbeda
 Inilah teori penyimpangan perihal “tujuan” (structural means) dan “cara”
(desired goals):
A typology of modes of individual adaptation
Modea of adaptation Cultural Goals (Tujuan) Institutionalized means
(cara)
Conformity + +
Innovation + -
Ritualism - +
Retreatism - -
Rebillion ± ±

Konformitas (Conformity) , yaitu suatu keadaan dimana warga masyarakat


tetap menerima tujuan-tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat
karena adanya tekanan moral;. Inovasi (Innovation) , yaitu suatu keadaan di mana
tujuan yang terdapat dalam masyarakat diakui dan dipelihara tetapi mereka
mengubah sarana21 sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Misalnya untuk mendapatkan / memiliki uang yang banyak seharusnya mereka
menabung. Tetapi untuk mendapatkan banyak uang secara cepat mereka
merampok bank;. Ritualisme (Ritualism) , adalah suatu keadaan di mana warga
masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan dan memilih sarana-sarana yang
telah ditentukan;. Penarikan Diri (Retreatisme) merupakan keadaan di mana para
warga menolak tujuan dan sarana-sarana yang telah tersedia dalam masyarakat;.
Pemberontakan (Rebellion) adalah suatu keadaan di mana tujuan dan sarana-sarana
yang terdapat dalam masyarakat ditolak dan berusaha untuk mengganti/ mengubah
seluruhnya.

2.1.4 Kingsley Davis dan Wilbert Moore


Menurut mereka, dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas,
stratifikasi sosial merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal.
Stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem
seperti dan keperluan ini sehingga memerlukan stratifikasi. Mereka memandang
sistem stratifikasi sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada stratifikasi
individu pada system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan).
Pusat perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat
prestise berbeda dan bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut.
Masalah fungsionalnya ialah bagaimana cara masyarakat memotivasi dan
menempatkan setiap individu pada posisi yang tepat. Secara stratifikasi
masalahnya ialah bagaimana meyakinkan individu yang tepat pada posisi tertentu
dan membuat individu tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi
tersebut.
Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi masalah karena tiga alasan
mendasar,
 Posisi tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain
 Posisi tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat
daripada posisi yang lain.
 Setiap posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak
diminati tetapi penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga
memerlukan bakat dan kemampan terbaik. Pada keadaan ini masyarakat
dianjurkan agar memberi reward kepada individu yang menempati posisi tersebut
agar dia menjalankan fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka
masyarakat akan kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang berakibat
pada tercerai-berainya masyarakat.

2.2 Teori Konflik


Menurut Marx dalam sejarah manusia dipenuhi oleh konflik sosial. Teori Marx
menyatakan hanya ada dua kelas dalam masyarakat (kelas borjuis dan kelas proletar).
Revolusi proletar memusnahkan /menghilangkan satu kelas (kelas borjuis). Materialisme
sejarah berhenti setelah terjadinya revolusi. Paska revolusi tidak ada lagi perjuangan
kelas.
Dalam Materilisme sejarah, ekonomi dianggap sebagai faktor determinan
“penentu “ sementara faktor lain diabaikan . pendekatan deterministik ini banyak
digunanakan oleh ilmuawan sosial dan dianggap menyederhanakan persoalan
(simplifikasi).. padahal faktor – faktor lain saling berinteraksi. Pemakaian teori
deterministik untuk mempermudah persoalan yang rumit,karena ia mengabaikan
beberapa faktor. Pendekatan ini sarat dengan kritik.
Garis besar teori Marx tentang konflik mencakup beberapa pokok bahasan :
Penyebab konflik, siapa yang konflik intensitas konflik dan penyelesaian konflik.
a. Apa penyebab terjadinya konflik.
Konflik terjadi karena faktor ekonomi ( determinasi ekonomi ). Yang dimaksud
dengan Faktor ekonomi disini adalah penguasaan terhadap alat produksi
b. Siapa yang konflik.
Konflik terjadi antara dua kelas (Borjuis dan Proletar ). Konflik ini bersifat mendalam
dan sulit diselesaikan. Perbedaannya bukan dalam cara hidup melainkan perbedaan
dalam kesadaran kelas. Dalam teori Marx eksistensi sosial menentukan kesadaran dan
perbedaan kelas (kaya miskin) .Perbedaan ini mencakup dalam materi dan psikologi.
Perbedaan antara kelas borjuis dan kelas proletar tidak hany terdapat pada cara hidup
melainkan juga cara berfikir. Orang komunis menganggap penting kesadaran,
makanya mereka mementingkan sosialisasi dan indoktrinasi dan Brainwashing.

Pola Konflik : Kelas sosial ----- Konflik ------ Revolusi.

Dalam konflik sosial kaum proletar tidak mau dan tidak bisa melepaskan diri .
Mereka terpaksa dan ditindas. Dalam paksaan dan penindasn ini hukum tidak dapat
dijatuhkan kepada majikan.
Sesuai dengan faham determinisme ekonomi yang dianut oleh Marx bahwa
konflik hanya terjadi dalam dunia Industri, sedangkan konflik yang lain merupakan
perpanjangan tangan dari konflik yang terjadi dalam dunia Industri. Dalam pandangan
determinisme ekonomi bangunan infrastruktur ekonomi atau alat produksi menentukan
bangunan suprastruktur yang berupa politik dan pemerintahan. Dalam pandangan Marx ,
konflik dimulai dari infrastruktur ekonomi kemudian menjalar ke supra-struktur. Teori
Infrastruktur yang mempengaruhi suprastruktur ini merupakan teori Ekonomi- politik
Marx yang masih relevan samapai sekarang.

c. Sumber Konflik
Sumber konflik itu sendiri dapat dikaji dari teori perjuangan kelas yang
dikemukakan oleh Marx . Menurutnya sejarah manusia itu dipenuhi oleh perjuangan
kelas.antara kebebasan dan perbudakan ,bangsawan dan kampungan ,tuan dan
pelayan,Kepala serikat pekerja dan tukang. Dengan kata lain posisi penekan dan yang
ditekan selalu bertentangan (konflik) dan tidak terputus.(The Manifesto dikutip dari
PPB A Suhelmi 269). Perjuangan kelas bersifat inheren dan terus menerus .
Penekanan itu dapat berupa penindasan . Marx juga melihat bahwa perkembangan
selalu terjadi dalam konflik kelas yang terpolarisasi antara kelas yang bersifat salaing
menindas. Hubungan antara kelas ini menurut Marx akan menciptakan Antagonisme
kelas yang melahirkan krisis revolusioner. Revolusi yang dimaksud oleh Marx
tentunya bukan revolusi damai, melainkan revolusi yang bersifat kekerasan. (PBB A
Suhelmi 270).Konflik terjadi karena adanya penindasan yang dilakukan oleh kaum
borjuis yang memiliki alat –alat produksi kepada kaum proletar atau buruh yang
bekerja untuk para borjuis dapat dijelaskan melalui “The Theory of Surplus Value” .
Teori ini secara singkat dapat diartikan sebagai sebuah perbandingan yang lebih
rendah antara gaji yang diterima buruh dibandingkan dengan tenaga yang
disumbangkan untuk menghasilkan suatu komoditi. Lalu mengapa buruh mau dengan
gaji yang rendah itu ?. karena posisi tawar buruh dibanding terhadap majikan sangan
rendah. Untuk menghitung niali tenaga kerja dapat digunakan teory Locke “Labor
theory of value,untuk menentukan nilai suatu benda dapat dihitung dari nilai tenaga
kerja yang diserap oleh benda itu. Dengan kata lain semakin komoditi itu memerlukan
tenaga kerja ,maka semakin mahal komodity tersebut .Komodity = Bahan mentah +
alat produksi + Buruh . Harga bahan mentah dan alat produksi bersifat tetap. Sisa nilai
tenaga kerja dengan niali buruh diambil oleh kaum majikan sebagai keuntungan.
Disinailah terjadinya penindasan dimana majikan memeras buruh karena gaji yang
dibayarkan oleh majikan kepada buruh itu hanya pas –pasan tidak wajar . dan ini
bertentangan dengan hak Azazi manusia . Dampak dari penindasan ini adalah
terjadinya proses pemiskinan dalam buruh, karena seberapapun keuntungan yang
diterima majikan, gaji buruh akan tetap tidak naik. Dampak penindasan adalaha
menumpuknya modal ditangan para majikan .(MR). Akar konflik konflik juga
disebabkan oleh hubungan pemilikan dan penggunaan produksi aktif yang
mengakibatkan ketimpabngan dalam distribusi kekayaan dan produksi industrial.
Prinsip dasar teori Marx adala memberikan kepercayaan kepada orang miskin untuk
dapa memperbaiki diri sendiri.
Penindasan ini kahirnya akan menyebabkan frustasi dan keteransingan.
Keterasingan ini selanjutnya akan melahirkan revolusi proletariat. . Ada tiga macam
keterasingan menurut F Magniz. S :
 Keterasingan terhadap diri sendiri karena tidak bisa mengontrol labor.
 Keterasingan dari komoditas yang dihasilkan karena, komoditas dikontrol oleh
majikan.
 Keterasingan dari masyarakat karena terpaksa bekerja
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kesesuaian Teori Durkheim dengan Perkembangan Masyarakat Masa Kini

Seperti pada rumusan masalah yang mempertanyakan, apakah teori Durkheim itu
masih relevan menjadi referensi tentang masyarakat dewasa ini kaum Postmodernisme
pun akan mengatakan bahwa untuk bertahan di era modernisasi dewasa ini orang harus
masuk ke dalam kawasan “meta-“ artinya kawasan yang mampu melampaui segala sekat
dan batas (boundaries) di dalam hidup masyarakat.
Kita mungkin akan kesulitan mencari benang merah antara teori Durkheim
dengan masyarakat transisi dan modern dewasa ini. Tetapi satu hal yang tidak bisa kita
lupakan bahwa Durkheim mengembagkan teorinya di dalam konteks Jerman yang
berubah secara gradual. Orang baru saja lepas dari Revolusi Prancis dan masuk ke masa
Pencerahan. Suatu titik transisi dan perubahan yang berdampak sampai saat ini.
Di sinilah mengapa teori Durkheim dan para sosiolog sezamannya tidak bisa
dilihat lepas dari konteks Revolusi Politik (1789), Revolusi Industri dan Kemunculan
Kapitalisme (abad 19 dan awal abad 20), kemunculan sosialisme (lewat Marx), dan
bangkitnya feminisme (1780-an – 1790-an).
secara sosiologis, perubahan di dalam masyarakat, termasuk misalnya transisi
hukum pasca meninggalnya Soeharto, adalah suatu bukti bahwa rasio manusia semakin
tertantang, dan tantangan pertama adalah moralitas manusia itu sendiri.
Karena itu tidak heran jika setiap orang akan menyusun klaim dan memiliki motif
tersendiri dalam mengantisipasi perubahan dalam masyarakat modern/postmodern ini.
Begitu pun lembaga-lembaga sosial akan memiliki dan membentuk sistem regulasi
tersendiri dalam menanggulangi berbagai peran sosialnya.
Mengikuti Durkheim, suatu perubahan yang terjadi tidak bisa diterima sui
generis, melainkan perlu mengolah kesadaran kolektif untuk menata peran sosial dan
membangun regulasi sosial yang lebih beradab.

3.2 Kritik Terhadap Teori Durkheim


Dalam teori pembagian kerja Emile Durkheim dikenal yaitu solidaritas mekanik
dan solidaritas organic yang masing- masing ada pada masyarakat. Menurut kami kedua
solidaritas tersebut tidak dapat berlaku secara bersamaan pada kehidupan masyarakat,
karena masing- masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang sulit untuk saling
melengkapi. Namun yang bisa terjadi seperti pada saat ini adalah terjadinya transformasi
masyarakat dari solidaritas mekanik ke solidaritas organic. Bisa dilihat pada masa
sekarang sangat sedikit sekali ditemui masyarakat yang menganut solidaritas mekanik
seutuhnya walaupun notabene mereka hidup di desa. Keadaan itu terjadi disebabkan
karena masyarakat menganggap solidaritas mekanik tidak lagi bisa memenuhi apa yang
menjadi kebutuhan mereka, dan solidaritas mekanik sulit untuk menyeimbangkan dengan
segala kemajuan ditengah arus globalisasi saat ini. Sehingga yang saat ini sesuai
diterapkan pada masyarakat adalah solidaritas yang cenderung bersifat organic. Hal ini
dapat terlihat dengan adanya spesialisasi pada bidang pekerjaan, industrialisasi yang
sudah mulai merambah pada daerah sehingga tidak memusat pada ibukota saja, tingkat
individualisme yang semakin tinggi ditunjukkan dengan dibangunnya pagar – pagar
pembatas rumah yang menjulang tinggi, budaya gotong royong mulai memudar, interaksi
yang dilakukan bersifat sesaat hanya didasarkan pada kepentingan tertentu saja. Namun
dengan segala kenyataan yang ada bukan berarti solidaritas mekanik hilang sama sekali
pada kehidupan masyarakat pedesaan, tetap masih ada desa yang masyarakatnya masih
bercirikan solidaritas mekanik dengan mempertahankan segenap kearifan local yang
dimilikinya walaupun berdasarkan kuantitas jumlahnya tidak banyak.
Kritisisasi teori fakta social Durkheim mengambil pernyataan bahwa mereka
mengalami daya-daya kekuatan yang memaksa, memerintahkan, dan mengontrol pikiran,
kemauan, maupun perilaku individu. Menurut kami hal tersebut dirasa kurang
sependapat, sebab Durkheim tidak pernah menjelaskan bahwa individu bergantung
sepenuhnya pada segala kekuatan yang memaksa tersebut, dan lepas dari kesadaran
manusia itu sendiri. Walaupun kita mengenal gejala “membebek” atau “membeo”, serta
“memainkan peran” bukan berarti manusia seperti binatang yang segala halnya harus
diatur dan dipaksa melainkan individu tetap mempunyai pendirian walaupun berbeda-
beda satu sama lainnya. Sehingga ada keadaan dimana suatu fakta social tidak mampu
mempengaruhi pendirian individu maupun masyarakat.
Dalam pandangan kami teori fakta social adalah teori yang masih relevan dengan
keadaan masa sekarang, sebab pada dasarnya manusia sebagai makhluk social tidak
dapat hidup terlepas dari pengaruh lingkungan dan individu lain. Oleh sebab itu manusia
dituntut untuk bisa menyesuaikan diri sehingga bisa tercipta suatu keselarasan hidup baik
dengan lingkungan maupun individu lain yang akan berpengaruh pada kehidupan
manusia itu sendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh : memakai baju yang sopan
ketika ke kampus, mematuhi rambu – rambu lalu lintas, bisa dikatakan sebagai fakta
social yaitu berada diluar individu dan individu melakukannya sebagai tuntutan dan juga
paksaan.
Teori bunuh diri Durkheim menurut kami teori yang kecil kemungkinannya untuk
dikritik sebab hal – hal yang ada pada teori tersebut sudah sempurna dan masih relevan
jika diterapkan pada zaman sekarang, baik pada jenis bunuh diri egoistic yang paling
sering terjadi, ataupun bunuh diri anomi yang juga berpotensi terjadi pada tiap individu
jika dihadapkan pada krisis- krisis yang terjadi pada zaman sekarang baik ekonomi,
maupun moral. Serta bunuh diri tipe altruitik yang dapat terjadi juga pada individu saat
ini dikarenakan tingginya loyalitas terhadap sesuatu yang telah menjadi pilihan dan
kewajibannya, misal para pelaku bom bunuh diri, para pelaku penganut aliran sesat yang
rela mati demi apa yang telah dianutnya.

3.3 Realitas Peranan Individu dalam Sebuah Kelompok


a. “Melebur” Dalam “Kelompok Sendiri” (In-Group) sebagai “Energi” Pengorbanan
Diri Yang Dissosiatif.
Konflik sosial merupakan suatu fenomena sosial politik yang menarik untuk
dikaji secara mendalam. Konflik ini selalu membutuhkan suatu akar sosial
tertentu serta selalu diikuti oleh kelompok-kelompok yang memiliki anggota
dengan karakteristik sebagai “pemeluk teguh “(True Believer) yang
memperjuangkan tujuan tertentu yang dianggap sebagai “tujuan suci”. kelompok-
kelompok seperti ini biasanya didasarkan pada kriteria kesamaan tertentu, baik
kesamaan suku, kesamaan kehidupan sosial ekonomi, budaya, pendidikan,
agama, ras, dan sebagainya. Kelompok dengan tipe seperti ini seringkali pula
diikuti oleh beberapa karakteristik lain sebagai kelompok sendiri (In-group) yang
erat, yang diidentifikasi oleh anggotanya memiliki kesamaan tertentu.
Apapun sifat gerakan massa yang menjadi landasan sebuah konflik yang
melibatkan kekerasan (agama, rasial, sosial, politis, atau ekonomi), semuanya
mempunyai sekelompok ciri yang sama, yaitu mampu membangkitkan pada diri
para pengikutnya kerelaan untuk “berkorban sampai mati”, kecenderungan untuk
beraksi secara kompak, fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian,
intoleransi, kepercayaan buta, kesetiaan, serta memejamkan mata dan menutup
telinga dari kebaikan orang lain. Berbagai kerusuhan seperti kerusuhan rasial di
Sambas, kerusuhan antar agama di Ambon, kerusuhan buruh di Bandung Jawa
Barat, kerusuhan politik pada 27 Juli di Jakarta, kerusuhan “semanggi” yang
dipelopori oleh mahasiswa di Jakarta, konflik antar kampung di Nusa Tenggara
Barat, dan banyak lagi kerusuhan lain yang juga sangat “kental” dengan
karakteristik seperti itu.
Beberapa ahli tentang kelompok (Krech, Crutchfield, Ballachey : 1962;
Garvin : 1987; Raven dan Rubin : 1976) menyebutkan bahwa kelompok
merupakan sarana bagi seseorang untuk memperoleh kekuatan untuk bergerak,
bahkan juga gerak untuk memberontak. Selain itu, melalui kelompok erat pula
seseorang akan menyalurkan rasa sakit dan penderitaannya, sehingga rasa sakit
dan penderitaan tersebut tidak lagi dirasakan sebagai penderitaan pribadi.
Seseorang akan memperoleh kekuatan luar biasa untuk bergerak, atau mencapai
tujuan dengan “meleburkan diri” dalam kelompok erat, kelompok kental, atau
kelompok sendiri, (Raven dan Rubin : 1976) sehingga ciri dan tanda yang
membedakannya sebagai pribadi yang mandiri hilang dan mewujud dalam
kesatuan kelompok “Ku” yang solid. Sehubungan dengan proses-proses dalam
kelompok erat inilah maka individu anggotanya memperoleh “energi” untuk
berubah, bergerak, tumbuh, menampilkan peran, sekaligus juga menolak,
melawan, atau juga membangkang. Kelompok sendiri ini memiliki karakteristik
tertentu yang sangat erat dan memiliki semangat untuk menolak orang luar yang
tidak menjadi anggota kelompok serta menganggapnya sebagai musuh yang perlu
dilawan atau minimal dicurigai.
Perwujudan lebih lanjut dari kelompok sendiri, menurut Hoffer (1988) dapat
digambarkan melalui ungkapan-ungkapan sederhana yang kuat seperti : Aku
termasuk dalam “Keluargaku”, “Klikku”, “Kerabatku”, “Agamaku”,
“Kampungku”, “Sukuku”, dan sebagainya, atau semua kelompok yang berakhir
dengan kata kepunyaan “Ku”. Semua itulah yang dimaksud dengan kelompok
sendiri, karena “aku” termasuk di dalamnya. Semua kelompok di mana bukan
diakhiri dengan kata kepunyaan “Ku” merupakan kelompok luar, karena “Aku”
berada di luarnya, kelompok seperti ini akan dipandang sebagai orang asing atau
orang luar ras yang akan menempati posisi mirip sebagai “musuh”
Kecenderungan manusia untuk melibatkan diri ke dalam suatu kelompok
nampaknya secara sosial merupakan suatu dorongan dasar dari manusia itu
sendiri. Jika seseorang bertemu dengan orang asing atau baru dalam suatu situasi,
maka mereka seketika itu juga akan segera mencari kesamaan diantaranya (Raven
dan Rubin, 1976). Mereka akan bertanya dari mana asalnya, apa tujuannya, apa
dan bagaimana aliran pemikirannya, apa agamanya, dan seterusnya. Jika
keduanya berasal dari satu kota yang sama, maka kesamaan itu akan diperkecil
lagi menjadi kampung atau desa mana dia berasal. Jika mereka memiliki berbagai
kesamaan tertentu, maka mereka akan mudah untuk bergabung dan menjalin
hubungan sosial secara akrab. Sebaliknya, setelah pengumpulan data secara
singkat ini, kemudian tidak ditemukan kesamaan-kesamaan, maka mereka akan
menganggap orang tersebut berada di luar kelompoknya yang harus diwaspadai,
dicurigai, atau minimal tidak diajak untuk bergabung dengan kelompoknya.
Kecenderungan orang untuk mencari kesamaan tertentu diantara kumpulan orang-
orang mendorong orang untuk lebih mementingkan kelompoknya sendiri yang
bersifat erat, tatap muka secara intens, kompak, serta mengidentifikasikan
kepribadiannya kepada kelompoknya. Sebaliknya, sejalan dengan proses
identifikasi terhadap kelompok erat ini, akan mengakibatkan berkurang atau
menurunnya identifikasi maupun upaya untuk mengikatkan diri pada kesatuan
masyarakat yang lebih luas. Meningkatnya keeratan huubungan di dalam
kelompok-kelompok kecil yang dibarengi oleh berkurangnya ikatan dalam satu
kesatuan masyarakat yang lebih luas akan menjadi sumber panas bagi
pertentangan kepentingan antar kelompok.
Durkheim (Johnson : 1988) menjelaskan hal ini dalam bahasannya tentang
sumber-sumber ketegangan dalam masyarakat organik. Dia mengatakan bahwa
salah satu ancaman paling besar pada solidaritas organik adalah berkembangnya
heterogenitas yang mengakibatkan ikatan bersama yang menyatukan suatu
masyarakat luas menjadi kendur. Hal itu mendorong individu-individu mulai
mengidentifikasikan diri pada kelompok-kelompok yang bersifat terbatas, erat,
dan memiliki solidaritas mekanik yang tinggi. Jika solidaritas pada tingkat ini
(tingkat kelompok kecil yang kuat) digabungkan dengan melemahnya identifikasi
dengan masyarakat yang lebih luas, maka kemungkinan konflik menjadi semakin
besar.
Kondisi melemahnya solidaritas dan kesatuan dalam suatu masyarakat yang
lebih luas serta munculnya kelompok-kelompok dengan solidaritas mekanik yang
kuat inilah yang melatar belakangi berbagai macam konflik yang terjadi di
Indonesia. Konflik di Ambon, Lombok Mataram, Sampit, dan sebagainya juga
dilandasi oleh latar belakang sosial yang mirip dengan gejala seperti disebut di
atas.
Untuk membuat serta mematangkan seseorang agar dia bersedia berkorban
untuk melakukan gerakan massa dalam sebuah konflik, maka semua ciri dan
tanda yang membedakannya sebagai pribadi harus dihilangkan. Seseorang harus
dijauhkan dari ciri “Atom Insani” yang memiliki kepribadian sendiri, akan tetapi
harus dileburkan dalam suatu kelompok sendiri yang erat, yang memiliki
kepribadian yang berbeda dengan kepribadian individual (Hoffer : 1988) yang
juga sejalan dengan pemikiran Raven dan Rubin. Selanjutnya Hoffer juga
menjelaskan bahwa cara yang paling cepat dan efektif untuk membangun
kerelaan untuk berkorban adalah dengan cara membuat agar orang “terserap
habis” dalam kelompok erat, orang yang sudah “terserap habis” ke dalam sebuah
kelompok sudah tidak lagi melihat dirinya sebagai sebuah pribadi yang bebas.
Jika anggota kelompok sendiri tersebut ditanya “siapa dirinya”, maka dengan
lantang dan tegas dia akan menjawab bahwa dirinya adalah orang yang berasal
dari kampung tertentu, agama tertentu, suku tertentu, aliran politik tertentu, kaum
tertentu, dan sebagainya yang memiliki kepribadian tersendiri yang berbeda
dengan kepribadian individualnya yang mandiri. Keadaan inilah yang kemudian
menjadi “kekuatan luar biasa” untuk menganggap bahwa orang lain di luar
kelompoknya adalah orang asing yang patut untuk dicurigai, dan dijadikan seteru
dalam menghadapi situasi sosialnya. Setelah keadaan peleburan diri secara penuh
ke dalam kelompok, maka orang sebagai sebuah pribadi ini akan rela melakukan
apa saja demi kelompoknya.
Dalam setiap tindakannya, seseorang yang sudah meleburkan diri ke dalam
kelompok erat, selalu mengkaitkan dirinya, kepribadiannya, dan nilai-nilainya
kepada sesuatu yang lebih besar, lebih kuat, yang memiliki identitas tersendiri,
yaitu kelompok sendiri, atau kelompok erat. Inilah yang juga terjadi pada
sebagian besar konflik atau kerusuhan sosial. Kesedihan dan kegembiraan, rasa
bangga dan percaya diri, keinginan dan harapan, keputus asaan dan penderitaan
yang dialami sangat terkait erat dengan kelompoknya. Jika seseorang “terdampar”
pada suatu situasi yang sangat buruk, menderita fisik, sosial, maupun ekonomi
menyakitkan, mengalami penyingkiran yang rumit, serta ketidak mampuan
pribadi yang parah, maka pribadi tersebut tetap menganggap atau merasa bahwa
“mata dan tangan” kelompoknya tetap menatap dan melindunginya. Jiwa dan
kekuatan diri yang terpusat pada kelompok begitu kuat, sehingga dia tidak
melihat dirinya sebagai sebuah pribadi yang unik, melainkan sebuah kekuatan
kolektif yang menjadi energi penggerak dalam menghadapi segala situasi. Jika
dia mengalami suatu kemiskinan, maka dia tidak melihat hal itu sebagai akibat
dari ketidak mampuan atau kemalasan diri. Dikeluarkannya seorang individu dari
kelompok seperti ini akan dirasakan sebagai “perenggutan” yang sangat parah
dari kehidupan. Orang ini akan merasa bahwa kehidupannya sudah tidak berarti
lagi, karena kekuatan kolektif yang diberikan oleh kelompok kepada dirinya
sudah tidak ada lagi. Dia akan mengalami “Lethargy” yang sangat parah, serta
rasa keputus asaan yang “mematikan”.
Berbagai konflik suku, agama, ras, kampung, partai, maupun beraneka
gerakan kerusuhan dan pemberontakan massa yang menakutkan, nampaknya
seringkali dimotori oleh benturan kekuatan-kekuatan semacam ini dengan
kekuatan sejenis yang berasal dari kelompok lain. Anggota satu kelompok yang
terlibat konflik semacam ini akan dengan sukarela mencurahkan segala
kehidupannya kepada kelompoknya. Dia bersedia “hancur” demi kelompoknya.
Dengan demikian, tidaklah heran jika seseorang rela mengorbankan harta
bendanya, jiwa dan raganya, kehidupannya demi kelompoknya untuk mencapai
tujuan yang sebenarnya secara logis kurang bermanfaat atau tidak bermanfaat,
bahkan seringkali berupa penghancuran kehidupan orang lain atau kelompok lain.
Contoh nyata yang sangat baik dan dapat diamati secara nyata adalah Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) dimana anggotanya bersedia menderita lahir dan batin,
luar dan dalam, sosial maupun material untuk membela dan terlibat penuh untuk
mencapai tujuan suci dari kelompoknya.
b. Kebencian Bersama yang Menyatukan Gerakan Dalam Sebuah Konflik.
Berbagai macam bentuk konflik serta pemberontakan yang keras selalu
diawali oleh kondisi kebencian yang sangat parah dari anggota kelompok yang
terlibat. Kebencian ini nampaknya merupakan suatu unsur dasar utama yang ada
dalam gerakan-gerakan seperti itu. Hal inilah yang seringkali dimanfaatkan oleh
para “provokator” sebuah konflik yang melibatkan kekerasan, yang sangat
memahami sifat dari sebuah gerakan massa.
Konflik kekerasan yang berlatar belakang agama di Ambon nampaknya
mustahil akan mengakibatkan penghacuran mengerikan seperti yang selama ini
terjadi, karena Ambon sebenarnya merupakan suatu masyarakat yang sangat
bersahabat, terbuka, memiliki kehidupan sosial yang indah. Mereka adalah
masyarakat yang mampu mengekspresikan keindahan melalui nyanyian-nyanyian
serta kesenian tradisionalnya yang memukau. Selain itu, latar belakang
keagamaan nampaknya akan sulit diterima sebagai faktor yang mendorong
munculnya konflik. Agama-agama besar yang ada di dunia ini, apapun agamanya,
memiliki ajaran tentang keharmonisan serta kesucian pribadi yang sangat kuat,
yang sesungguhnya justru akan mencegah munculnya konflik. Akan tetapi
kebersamaan serta keharmonisan ini akan rusak dengan sekejap mata hanya
karena adanya suatu rekonstruksi kebencian bersama (antar kelompok-kelompok
dalam / sendiri) terhadap sesuatu atau suatu kelompok lain.
Agamaku adalah yang terbaik, karena aku berada di dalamnya, dan dengan
solidaritas mekanik yang tinggi, yang cenderung menganggap bahwa identitas
pribadinya yang unik telah menyatu dengan identitas keagamaannya, dan
dibarengi oleh memudarnya ikatan kemasyarakatan yang luas, maka solidaritas ini
akan diikuti oleh adanya anggapan bahwa agama di luar agamaku adalah sesuatu
yang buruk yang perlu diwaspadai, perlu dicurigai, dan harus ditempatkan dalam
posisi sebagai musuh. Penanaman kebencian kolektif ini memerlukan proses
sosilisasi yang intensif, jika proses sosialisasi ini dilakukan terus menerus
semenjak seseorang berusia dini, maka kebencian ini akan berurat dan berakar
dalam kepribadian tanpa disadari.
Seorang pemimpin dari sebuah gerakan pemberontakan berdarah sangat
ditentukan oleh kemampuannya dalam menciptakan kebencian atau musuh
bersama ini. Masyarakat Afganistan yang terpecah belah dalam beraneka ragam
suku yang saling bermusuhan serta berperang satu sama lain, secara cepat akan
bersatu karena mendapat ancaman bersama. Mereka akan melupakan permusuhan
internal dan memusatkan perhatian untuk mengusir kekuatan asing yang mampu
menimbulkan kebencian kolektif. Mungkin Saddam Husein perlu berterima kasih
kepada Amerika Serikat karena justru Amerikalah yang telah menyatukan Irak
menjadi suatu kekuatan yang tak terkalahkan karena seluruh rakyatnya bersatu
untuk melawan intervensi luar. Demikian pula sistem politik “memecah belah”
yang dijalankan penjajah pada hampir semua bentuk penjajahan yang bertujuan
untuk mengurangi konsentrasi kebencian pada satu musuh saja, dengan demikian
perlawanan dan pemberontakan kaum terjajah diupayakan untuk dikurangi
seminimal mungkin.
Penentuan musuh bersama yang dapat membangkitkan kebencian kolektif
inilah yang menjadi syarat bagi seorang pemimpin pemberontakan. Kemampuan
memahami keadaan dan kelihaian mereka yang pandai mengarahkan
pemberontakan tercerrmin dalam memilih musuh bersama yang tepat untuk
dianut. Bahkan Hitler yang merupakan pakar dalam mengobarkan kebencian
kolektif mengatakan bahwa keunggulan seorang pemimpin terletak pada
kemampuannya untuk memusatkan sedemikian rupa semua rasa benci pada satu
musuh, sehingga musuh-musuh yang sangat berbeda satu sama lain tampak seperti
satu kelompok saja. (Hoffer : 1988).
Kebencian suatu golongan kepada golongan lain, atau satu kelompok kepada
kelompok lain ini dipicu oleh beraneka ragam kepentingan yang sangat bervariasi.
Kebencian kaum miskin terhadap kaum yang lebih kaya, misalnya, bukan hanya
disebabkan oleh ketertindasan yang mengakibatkan revolusi sosial seperti yang
dikemukakan oleh Marx, akan tetapi kecenderungan kelompok miskin ini untuk
mengidentifikasikan diri pada kelompok-kelompok yang dianggap memiliki
kesamaan tertentu (dalam hal ini adalah kemiskinaannya) dan memfokuskan
kebenciannya pada kelompok lain yang memiliki perbedaan yang sangat
menonjol. Hal inilah yang perlu diperhatikan dengan seksama dalam memahami
konflik diantara golongan kaya dan golongan miskin di perkotaan. Hal yang
sejenis juga dapat terjadi antara kelompok sipil dan birokrat, sipil dan militer,
suku yang satu dengan lainnya, antara agama yang satu dengan agama lainnya,
dan seterusnya.
Kebencian seringkali ditularkan kepada orang lain dengan lebih mudah
dibandingkan dengan menularkan rasa cinta. Seseorang tidak akan mencari kawan
untuk mencintai, bahkan orang lain yang sama-sama memiliki posisi mencintai
sesuatu dianggap sebagai saingan yang berniat menyerobot. Orang seperti ini akan
menganggap pesaingnya harus disingkirkan atau dilenyapkan. Sebaliknya
seseorang akan mencari sekutu sebanyak-banyaknya bila kita membenci.
Pertumbuhan dan perluasan kebencian menjadi kebencian kolektif inilah yang
akan menyatukan suatu gerakan menghancurkan dari sebuah konflik.
c. Rayuan Yang Mengobarkan Kekerasan Dalam Konflik.
Banyak pendapat dari para pakar ilmu sosial, para politisi, serta birokrat dalam
pemerintahan yang mengulas tentang konflik serta kerusuhan sosial yang melebih-
lebihkan arti penting dari sebuah bujukan untuk membangkitkan konflik, yang
belakangan memunculkan istilah provokator. Pendapat ini, menurut hemat saya,
kurang benar, karena, bagaimanapun kuat dan besarnya rayuan, dan ahlinya
seorang provokator, tidak akan mampu membangkitkan suatu konflik jika tidak
ada prakondisi penting yang menjadi motor penggerak konflik.
Rayuan atau provokasi saja tidak akan mampu mempengaruhi jiwa dari orang-
orang yang tidak ingin dipengaruhi. Harus ada luka mendalam yang dapat
membangkitkan semangat orang untuk membalas. Luka mendalam juga tidak
akan membangkitkan konflik luas jika tidak ada kebencian kolektif yang
mendalam dari sebuah kelompok atau kaum. Provokasi tidak akan berhasil
membujuk orang untuk melakukan konflik jika orang tersebut tidak memiliki
“bahan bakar” untuk melakukan konflik. Provokasi atau rayuan untuk melakukan
tindakan konflik secara terbuka dan luas hanya mampu menjalar ke dalam dada
orang yang sudah terluka. Fungsi rayuan ini bukan untuk menanamkan pendapat
baru tentang ketidak adilan, melainkan hanya berfungsi untuk mengungkapkan
luka yang terpendam, kedengkian yang sudah membara, serta membangkitkan
perasaan-perasaan terdalam dari orang yang tertindas. Orang hanya akan terbujuk
untuk mempercayai sesuatu yang sudah diketahuinya tetapi tidak muncul ke
permukaan.
Rasa tidak puas, kebencian akibat terjadinya penindasan yang lama
berlangsung, kemiskinan diantara melimpahnya sumber, fanatisme buta yang
mendapat rongrongan dari luar, fanatisme buta yang menganggap alirannyalah
yang terbaik serta memunculkan kecurigaan, kecemburuan, stereotipe terhadap
suatu golongan masyarakat tertentu atau terhadap aliran lain, ketidak adilan,
nampaknya merupakan bara yang siap berkobar menunggu tiupan angin dari para
provokator. Kita tidak perlu terlalu takut kepada para perayu atau provokator ini,
jika kita mampu meniadakan atau mengurangi semaksimal mungkin prakondisi
penting yang akan berfungsi sebagai energi penggerak sebuah pemberontakan
atau sebuah konflik terbuka yang luas.
Akhirnya, kebencian yang dirasakan oleh orang banyak yang tergabung dalam
suatu kelompok sendiri (In-group) yang memiliki kekuatan berontak yang sangat
besar, didukung oleh pra kondisi seperti ketimpangan, kemiskinan, penindasan,
kecemburuan dan kecurigaan yang membara akan dengan senang hati menyambut
tiupan angin propaganda yang dilakukan oleh para provokator (perayu dan
pengobar konflik). Anggota kelompok erat ini akan secara kompak dan sangat
bersemangat serta penuh angkara murka menghancurkan apa saja yang menjadi
bagian dari sesuatu yang dibenci. Konflik secara kelompok yang dikobarkan
melalui propaganda akan menjadi semakin seru dan kejam bila dilakukan bersama
dengan kekerasan dibandingkan dengan bila hanya semata-mata bersandar pada
kemampuannya sendiri. Hal seperti inilah yang harus dipahami oleh para
penganalisis konflik, sehingga langkah penanganan serta upaya pencegahan
terjadinya konflik kekerasan juga melihat kondisi sistemik yang melahirkan
kebrutalan.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan

4.2 Saran
Untuk penelitian selanjutnya diharapkan pengkajian teori-teori sosiologi lebih akurat dan
mendalam

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. JAKARTA : PT RajaGrafindo
Persada.
Ritzer, Georg, Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern, edisi keenam.
JAKARTA : Kencana.

Internet
Maspaitella, Elifas Tomix. 2008. Masyarakat Transisi dan Modern Emile. Tersedia :
http://kutikata.blogspot.com/2008/05/masyarakat-transisi-dan-modern-emile.html.
[diunduh : 15 September 2012]
Nasution, Zulkarnaen. 2010. Konflik dan lunturnya solidaritas sosial masyarakat desa
transisi. Tersedia: http://berkarya.um.ac.id/2010/02/05/konflik-dan-lunturnya-
solidaritas-sosial-masyarakat-desa-transisi-oleh-zulkarnain-nasution/ [diunduh : 15
September 2012]
Tricahyono, Sandi. Teori Struktural Fungsional dan Teori Konflik. Tersedia:
http://sanditricahyo.blogdetik.com/2011/03/20/teori-struktural-fungsional-dan-teori-
konflik/ [diunduh : 15 September 2012]

Anda mungkin juga menyukai