2. Kepadatan Dinamis
Pembagian kerja ialah suatu fakta sosial material bagi Durkheim karena merupakan suatu
pola interaksi di dalam dunia sosial. Berdasarkan hal tersebut, fakta-fakta sosial harus di
jelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain. Durkheim percaya bahwa penyebab peralihan dari
solidaritas mekanis ke solidaritas organis ialah kepadatan dinamis. Konsep itu mengacu
kepada jumlah orang di dalam suatu masyarakat dan jumlah interaksi yang terjadi di antara
mereka. Semakin banyak orang akan mengakibatkan persaingan dalam pemenuhan
kebutuhan hidup. Begitu pula semakin banyak interaksi maka semakin berat perjuangan
dalam mempertahankan hidup di antara komponen masyarakat yang pada dasarnya sama.
Masalah-masalah yang di hubungkan dengan dinamika interaksi biasanya di pecahkan
melalui diferensiasi sehingga munculnya spesialisasi. Munculnya pembagian kerja atau
spesialisai memungkinkan orang-orang untuk saling melengkapi, di bandingkan berkonflik
dengan satu sama lain. Selanjutnya, pembagian kerja yang bertambah menghasilkan efisiensi
yang lebih besar. Akibatnya sumber-sumber daya bertambah dan membuat persaingan di
antara mereka lebih damai.
Hal itu menunjukkan perbedaan final antara solidaritas mekanis dan organis. Pada
masyarakat organis, kurangnya persaingan dan diferensiasi yang lebih banyak
memungkinkan individu untuk saling bekerja sama dan semua individu di dukung oleh
sumber daya yang sama. Karena itu dalam masyarakat organis perbedaan lebih banyak dari
pada persamaannya. Maka dalam solidaritas organis ada lebih banyak solidaritas dan juga
lebih banyak pula indivualitasnya di bandingkan dengan masyarakat solidaritas mekanis.
Sehingga individualitas bukanlah lawan dari ikatan-ikatan sosial yang erat melainkan suatu
persyaratan untuk itu.
3. Fakta Sosial
Istilah fakta sosial pertama kali di perkenalkan oleh Emile Durkheim. Ia mengartikannya
sebagai suatu cara bertindak yang tetap atau sementara yang memiliki kendala dari luar
(constraint). Fakta sosial di sebut juga suatu cara bertindak yang umum dalam suatu
masyarakat yaitu individu yang bebas dari manifestasi individual.
Durkheim menyajikan contoh-contoh dari fakta sosial yaitu pendidikan anak sejak bayi.
Seorang anak diwajibkan makan, minum, tidur pada waktu tertentu, diwajibkan taat dan
menjaga ketenangan serta kebersihan, di haruskan tenggang rasa terhadap orang lain,
menghormati adat dan kebiasaan. Di sini kita dapat menemukan unsur-unsur yang di
kemukakan oleh Durkheim yaitu ada cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang
bersumber pada suatu kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan
individu, dan berada diluar kehendak pribadi individu. Seorang anak yang tidak menaati cara
yang diajarkan padanya akan mengalami sanksi dari suatu kekuatan luar misalnya orang
tuanya.
Contoh dari fakta sosial lainnya ialah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian dan
kaidah ekonomi. Fakta sosial tersebut mengendalikan dan memaksa individu, karena bila melanggarnya ia akan
terkena sanksi. Fakta sosial inilah yang menurut Durkheim menjadi pokok perhatian sosiologi. Sehingga metode
yang harus di tempuh untuk mempelajari fakta sosial seperti metode untuk meneliti suatu fakta sosial,
menjelaskan fungsinya dan juga untuk menjelaskan faktor penyebabnya. Contohnya dalam buku Sucide (1968)
yaitu menjelaskan tentang penyebab terjadinya suatu fakta sosial yang konkret, angka bunuh diri.
Masyarakat secara paling sederhana di pandang oleh Durkheim sebagai kesatuan intergral
dari fakta-fakta sosial itu. Masyarakat memiliki “kesadaran kolektif” yang membuahkan
nilai-nilai dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang ideal bagi individu.
Durkheim pun menjadikan fakta solidaritas sosial sebagai unsur dasar dalam masyarakat. Ia
membagi masyarakat ke dalam dua tipe utama dengan cara pembagian yang mirip dengan
yang dilakukan Tonnies yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis.
Kedua jenis masyarakat hasil rumusannya itu dianalisis oleh dirinya untuk menjawab
permasalahan mengenai bagaimana caranya suatu transformasi solidaritas sosial dapat terjadi
serta bagaimana menentukan keadaan proses transformasi itu. Dia percaya bahwa bila
penduduk berkembang lebih banyak, maka masyarakat akan lebih kompleks. Pembagian
kerja akan sebanding dengan volume dan kepadatan masyarakat. Lebih dari itu, pertumbuhan
sosial terjadi pula dengan adanya kondensasi masyarakat. Formasi-formasi demikian
menuntut adanya pembagian kerja yang lebih besar.
Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, di mana dalam solidaritas organis di
ciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial. Pembagian kerja tersebut membagi
aktivitas yang mulanya hanya dilaksanakan oleh satu individu menjadi lebih besar dengan
bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian kerja akan menimbulkan
sebuah integrasi sosial yang kuat, secara fungsional di butuhkan untuk saling melengkapi.
Karena itu untuk memunculkan suatu solidaritas sosial dalam kelompok berdasarkan
kepentingan bersama yang sifatnya tertentu.
Nampak bahwa pada solidaritas organis menekankan tingkat saling ketergantungan yang
tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di kalangan individu.
Perbedaan individu akan mengurangi kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai
dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organis menurut Durkheim di tandai
dengan eksistensi hukum yang bersifatrestitutif atau memulihkan, melindungi pola
ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang terspesialisasi atau kelompok-
kelompok dalam masyarakat.
Doyle Paul Johnson pun secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial atau
masyarakat pada solidaritas organis, yakni;
a) Pembagian kerja tinggi;
b) Kesadaran kolektif lemah;
c) Hukum restitutif/memulihkan dominan;
d) Individualitas tinggi;
e) Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;
f) Badan-badan kontrol sosial menghukum orang yang menyimpang;
g) Saling ketergantungan tinggi; dan
h) Bersifat industrial perkotaan.
Agar lebih jelasnya berikut ini adalah perbedaan solidaritas mekanis dan solidaritas organis :
Solidaritas Mekanis Solidaritas Organis
a.) Relatif berdiri sendiri (tidak bergantung a.) Saling keterkaitan dan mempengaruhi
pada orang lain) dalam keefisienan kerja. dalam keefisienan kerja.
b.) Terjadi di masyarakat sederhana. b.) Di langsungkan oleh masyarakat yang
c.) Ciri dari masyarakat tradisional kompleks.
(pedesaan) c.) Ciri dari masyarakat modern (perkotaan).
d.) Kerja tidak terorganisir d.) Kerja terorganisir dengan baik.
e.) Beban lebih berat e.) Beban ringan.
f.) Tidak bergantung dengan orang lain f.) Banyak saling bergantungan dengan yang
lain
Dapat di simpulkan bahwa solidaritas mekanis di bentuk oleh masyarakat yang masih
memiliki kesadaran kolektif yang sangat tinggi, kepercayaan yang sama, cita-cita dan
komitmen moral. Masyarakat yang menggunakan solidaritas mekanis, mereka melakukan
aktifitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama.
Sebaliknya, solidaritas organis di bentuk karena semakin banyak dan beragamnya pembagian
kerja. Sehingga pembagian kerja tersebut membuat spesialisasi pekerjaan di dalam
masyarakat yang menyebabkan kesadaran kolektif menjadi menurun. Semua kegiatan
spesialisasi mereka berhubungan dan saling tergantung satu sama lain, sehingga sistem
tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi didasarkan pada saling
ketergantungan.
7. Keadilan
Agar pembagian kerja berfungsi sebagai kekuatan moral dan menekankan secara sosial di
masyarakat konsep modern, anomie, pembagian kerja yang dipaksakan, dan koordinasi
spesialisasi yang tidak tepat harus diperhitungkan. Masyarakat modern tidak lagi di satukan
oleh pengalaman-pengalaman bersama dan kepercayaan-kepercayaan bersama. Sebagai
gantinya, mereka di persatukan melalui perbedaan-perbedaan mereka sendiri, selama
perbedaan-perbedaan itu di izinkan berkembang dalam suatu cara yang mendorong saling
ketergantungan. Kunci bagi hal tersebut untuk Durkheim adalah keadilan sosial.
Maka, tugas bagi masyarakat yang paling maju adalah suatu pekerjaan mewujudkan keadilan.
Sebagaimana ide mengenai masyarakat-masyarakat yang lebih rendah ialah menciptakan atau
memelihara sekuat tenaga kehidupan bersama, yang menyerap individu. Begitu juga cita-cita
masyarakat adalah membuat relasi-relasi sosial selalu lebih pantas, sehingga menjamin
perkembangan bebas seluruh kekuatan kita yang bermanfaat secara sosial.
Moralitas, solidaritas sosial, keadilan, hal itu adalah tema-tema besar untuk seseorang yang
akan bekerja. Durkheim berkali-kali kembali kepada ide-ide tersebut di dalam karyanya,
tetapi dia tidak akan pernah melihatnya dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan. Dia memprediksi dalam bukunya yang kedua, The Rules Sociological
Method bahwa sosiologi sendiri akan takluk kepada pembagian kerja dan terpecah menjadi
suatu koleksi spesialitas-spesialitas. Apakah hal itu menimbulkan saling ketergantungan yang
bertambah dan solidaritas organis di dalam sosiologi, masih merupakan pertanyaan yang
terbuka.
d. Ikatan Solidaritas
Pemahaman solidaritas dalam pemikiran budaya Durkheim hanya mungkin di
tempatkan dalam hal the sacred yaitu ikatan primordial yang mempersatukan masyarakat.
Sebenarnya, ketika membicarakan klasifikasi (the sacred and the profane), kita sudah
menyentuh satu bagian solidaritas yaitu solidaritas terluka. Kejahatan dalam sebuah
masyarakat di rasakan sebagai luka bagi seluruh anggota masyarakat tersebut. Solidaritas
yang terluka di akibatkan karena terjadinya pelanggaran terhadap the sacred.
Gejala-gejala sosial kerap ditafsirkan dengan perspekif religius.Terlebih masyarakat
akan berpaling pada agama untuk mencari jawaban atas kompleksitas sosial yang rumit.
Semakin permasalahan itu utama dalam kehidupan sosial, semakin agama dengan mudah
ditemukan (walaupun agama belum tentu dapat menyelesaikan masalah tersebut). Artinya,
agama menemukan makna aktualnya dalam interaksi dengan masyarakat. Agama menurut
Durkheim, merupakan representasi kolektif masyarakat. Agama dikaitkan dirinya dengan
aspek politis yaitu keseluruhan masyarakat. Jelas bagi kita bahwa agama dapat menjadi
ikatan solidaritas masyarakat. Terlebih lagi, agama memiliki fungsi regulatif yang dapat
menjadi batas antara yang diterima dan tidak diterima. Menurut Durkheim agama dalam
pengertian luas dapat ditemukan dalam setiap kelompok.
Dengan demikian, tampak bahwa the sacred merupakan bagian dan dinamika
kesadaran kolektif yang di libatkan secara prinsipial untuk memahami dan menghayati
realitas dunianya. Dapat dikatakan bahwa the sacred merupakan bagian dari kesadaran
kolektif.
Solidaritas masyarakat selain dibentuk oleh civil religion juga bersumber dari memori
kolektif. The sacred sebagai suatu nilai kultural kolektif dan pengikat idenditas di abadikan
dalam memori kolektif. The sacred bersumber dari peristiwa sejarah yang biasanya di
modifikasi oleh kelas otoritas, merekalah yang memprodukasi makna kolektif atas sebuah
peristiwa sebagai suatu yang keramat. Makna kolektif itu dapat merajai memori kolektif
karena ada sharing of experience, yaitu merasakan pengalaman yang sama atau berkat proses
sosialisasi. Sosialisasi ini di pelihara turun-temurun melalui perayaan, ritus-ritus, upacara-
upacara, serta penulisan sejarah yang bertujuan mengabadikan masa lalu. Begitulah proses
transfer makna kolektif. Karena itu memori kolektif sebagai salah satu simpul merupakan
kondisi yang semakin memungkinkan keutuhan masyarakat berkat adanya identitas yang
sama (the common source of identity).
Sehingga menurut Soerjono Soekanto (1985) bahwa masyarakat bukanlah semata-mata
merupakan penjumlahan individu-individu belaka. Sistem yang dibentuk oleh asosiasinya
merupakan suatu realitas khusus dengan karakteristik tertentu. Dapat di katakan benar bahwa
sesuatu yang bersifat kolektif tidak akan mungkin timbul tanpa kesadaran individual.
Kesadaran itu harus di kombinasikan dengan cara tertentu kehidupan sosial.