Anda di halaman 1dari 9

1.

The Division of Labor in Society


The Division of Labor in Society (Durkheim, 1893/1964;Gibbs,2003) telah disebut sebagai
karya klasik pertama sosiologi. Di dalam karya tersebut, Durkheim mengamati
perkembangan relasi modern di antara para individu dan masyarakat. Secara khusus,
Durkheim ingin menggunakan ilmu sosiologinya yang baru untuk mengetahui pandangan
masyarakat pada saat itu mengenai krisis moralitas modern.
Di Prancis pada masa Durkheim, tersebar luasnya perasaan krisis moral. Revolusi Prancis
telah mencerminkan fokus pada hak-hak individu yang sering mengungkapkan diri sebagai
suatu serangan kepada otoritas tradisional dan kepercayaan-kepercayaan agamis. Tren itu
berlanjut bahkan setelah jatuhnya pemerintahan revolusioner. Pada pertengahan abad
kesembilan belas, banyak orang merasa bahwa tatanan sosial terancam karena masyarakat
cenderung individualistis dan egois. Dalam waktu kurang dari 100 tahun antara Revolusi
Prancis dan masa dewasa Durkheim, Prancis mengalami tiga monarki, dua kekaisaran, dan
tiga republik. Rezim-rezim itu menghasilkan empat belas konstitusi. Perasaan mengenai
krisis moral dipengaruhi juga oleh kekalahan Prancis, yang mencakup pencaplokan yang
dilakukan Prancis pada tempat kelahiran Durkheim. Hal itu di ikuti oleh revolusi yang
berlangsung singkat dan keras yang dikenal sebagai Komune Paris. Baik kekalahan maupun
revolusi berikutnya di anggap sebagai akibat individualisme yang merajalela.
Menurut Aguste Comte, banyak dari peristiwa di atas dapat di jelaskan melalui pembagian
kerja yang semakin bertambah. Di dalam masyarakat sederhana memiliki mata pencaharian
yang homogen yaitu bertani. Mereka mempunyai pengalaman yang sama sehingga memiliki
nilai-nilai bersama. Sebaliknya, di dalam masyarakat modern setiap orang mempunyai
pekerjaan yang berbeda. Setiap individu memiliki tugas yang berbeda dan terspesialisai.
Sehingga mereka tidak memiliki pengalaman bersama. Keberagaman itu menghancurkan
kepercayaan moral yang seharusnya dimiliki oleh suatu masyarakat. Akibatnya, individu
tidak akan berkorban secara sosial pada saat-saat dibutuhkan atau egoisme. Comte
menginginkan agar sosiologi menciptakan suatu pseudo-agama yang akan mengembalikan
lagi kohesi sosial. Dalam derajat yang besar, The Division of Labor in Society dapat di lihat
sebagai suatu penyangkalan atas analisis Comte (Gouldner,1962). Durkheim berpendapat
bahwa pembagian kerja tidak melambangkan lenyapnya moralitas sosial, tetapi lebih
melambangkan jenis moralitas sosial yang baru.
Tesis The Division of Labor ialah bahwa masyarakat modern tidak di satukan oleh
masyarakat yang homogen tetapi sudah heterogen. Pembagian kerja itulah yang menarik
setiap individu untuk saling bergantung satu sama lain. Telah tampak bahwa pembagian kerja
adalah suatu kebutuhan ekonomis yang merusak perasaan solidaritas, tetapi menurut
Durkheim layanan ekonomis tidak begitu penting di bandingkan dengan efek moral yang di
hasilkan dan fungsi sebenarnya ialah untuk menciptakan perasaan solidaritas antara dua
orang atau lebih.

2. Kepadatan Dinamis
Pembagian kerja ialah suatu fakta sosial material bagi Durkheim karena merupakan suatu
pola interaksi di dalam dunia sosial. Berdasarkan hal tersebut, fakta-fakta sosial harus di
jelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain. Durkheim percaya bahwa penyebab peralihan dari
solidaritas mekanis ke solidaritas organis ialah kepadatan dinamis. Konsep itu mengacu
kepada jumlah orang di dalam suatu masyarakat dan jumlah interaksi yang terjadi di antara
mereka. Semakin banyak orang akan mengakibatkan persaingan dalam pemenuhan
kebutuhan hidup. Begitu pula semakin banyak interaksi maka semakin berat perjuangan
dalam mempertahankan hidup di antara komponen masyarakat yang pada dasarnya sama.
Masalah-masalah yang di hubungkan dengan dinamika interaksi biasanya di pecahkan
melalui diferensiasi sehingga munculnya spesialisasi. Munculnya pembagian kerja atau
spesialisai memungkinkan orang-orang untuk saling melengkapi, di bandingkan berkonflik
dengan satu sama lain. Selanjutnya, pembagian kerja yang bertambah menghasilkan efisiensi
yang lebih besar. Akibatnya sumber-sumber daya bertambah dan membuat persaingan di
antara mereka lebih damai.
Hal itu menunjukkan perbedaan final antara solidaritas mekanis dan organis. Pada
masyarakat organis, kurangnya persaingan dan diferensiasi yang lebih banyak
memungkinkan individu untuk saling bekerja sama dan semua individu di dukung oleh
sumber daya yang sama. Karena itu dalam masyarakat organis perbedaan lebih banyak dari
pada persamaannya. Maka dalam solidaritas organis ada lebih banyak solidaritas dan juga
lebih banyak pula indivualitasnya di bandingkan dengan masyarakat solidaritas mekanis.
Sehingga individualitas bukanlah lawan dari ikatan-ikatan sosial yang erat melainkan suatu
persyaratan untuk itu.

3. Fakta Sosial
Istilah fakta sosial pertama kali di perkenalkan oleh Emile Durkheim. Ia mengartikannya
sebagai suatu cara bertindak yang tetap atau sementara yang memiliki kendala dari luar
(constraint). Fakta sosial di sebut juga suatu cara bertindak yang umum dalam suatu
masyarakat yaitu individu yang bebas dari manifestasi individual.
Durkheim menyajikan contoh-contoh dari fakta sosial yaitu pendidikan anak sejak bayi.
Seorang anak diwajibkan makan, minum, tidur pada waktu tertentu, diwajibkan taat dan
menjaga ketenangan serta kebersihan, di haruskan tenggang rasa terhadap orang lain,
menghormati adat dan kebiasaan. Di sini kita dapat menemukan unsur-unsur yang di
kemukakan oleh Durkheim yaitu ada cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang
bersumber pada suatu kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan
individu, dan berada diluar kehendak pribadi individu. Seorang anak yang tidak menaati cara
yang diajarkan padanya akan mengalami sanksi dari suatu kekuatan luar misalnya orang
tuanya.
Contoh dari fakta sosial lainnya ialah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian dan
kaidah ekonomi. Fakta sosial tersebut mengendalikan dan memaksa individu, karena bila melanggarnya ia akan
terkena sanksi. Fakta sosial inilah yang menurut Durkheim menjadi pokok perhatian sosiologi. Sehingga metode
yang harus di tempuh untuk mempelajari fakta sosial seperti metode untuk meneliti suatu fakta sosial,
menjelaskan fungsinya dan juga untuk menjelaskan faktor penyebabnya. Contohnya dalam buku Sucide (1968)
yaitu menjelaskan tentang penyebab terjadinya suatu fakta sosial yang konkret, angka bunuh diri.
Masyarakat secara paling sederhana di pandang oleh Durkheim sebagai kesatuan intergral
dari fakta-fakta sosial itu. Masyarakat memiliki “kesadaran kolektif” yang membuahkan
nilai-nilai dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang ideal bagi individu.
Durkheim pun menjadikan fakta solidaritas sosial sebagai unsur dasar dalam masyarakat. Ia
membagi masyarakat ke dalam dua tipe utama dengan cara pembagian yang mirip dengan
yang dilakukan Tonnies yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis.
Kedua jenis masyarakat hasil rumusannya itu dianalisis oleh dirinya untuk menjawab
permasalahan mengenai bagaimana caranya suatu transformasi solidaritas sosial dapat terjadi
serta bagaimana menentukan keadaan proses transformasi itu. Dia percaya bahwa bila
penduduk berkembang lebih banyak, maka masyarakat akan lebih kompleks. Pembagian
kerja akan sebanding dengan volume dan kepadatan masyarakat. Lebih dari itu, pertumbuhan
sosial terjadi pula dengan adanya kondensasi masyarakat. Formasi-formasi demikian
menuntut adanya pembagian kerja yang lebih besar.

4. Soldaritas Mekanis dan Solidaritas Organis


Konsep-konsep dalam The Division of Labor di lanjutkan Durkheim dalam The Rules of
Sociological Method (1895). Solidaritas sosial di pandang sebagai perpaduan kepercayaan
dan perasaan yang di miliki para anggota suatu masyarakat tertentu. Rangkaian kepercayaan
ini membentuk suatu sistem dan memiliki “ruh” tersendiri. Pada kajian lebih dalamnya,
Durkheim mengemukakan pernyataan yang lebih meyakinkan mengenai hakikat fakta-fakta
sosial dan juga menetapkan kriteria metode analisinya. Hasilnya adalah sebuah statemen
terbaik untuk mengungkapkan positivistik yang di terapkan di zamannya. Prestasi lainnya
adalah di perolehnya kepastian bahwa solidaritas sosial harus di analisis sampai kebeberapa
unsur komponennya.
Berdasarkan analisis Durkheim, persoalan tentang solidaritas di kaitkan dengan sanksi yang
di berikan kepada warga yang melanggar peraturan dalam masyarakat. Bagi Durkhem
indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang lingkup dan kerasnya
hukum-hukum dalam masyarakat yang bersifat menekan (represif). Hukum-hukum ini
mendefinisikan setiap perilaku penyimpangan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan
nilai serta mengancam kesadaran kolektif masyarakat. Hukuman represif tersebut sekaligus
bentuk pelanggaran moral oleh individu maupun kelompok terhadap keteraturan sosial (sosial
order). Sanksi dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis tidak di maksudkan sebagai
suatu proses yang rasional.
Hukuman tidak harus merepresentasikan pertimbangan rasional dalam masyarakat. Hukum
represif dalam masyarakat mekanis tidak termasuk pertimbangan yang di berikan yang sesuai
dengan bentuk pelanggarannya. Sanksi atau hukuman yang di kenakan kepada orang yang
menyimpang dari keteraturan, tidak lain merupakan bentuk atau wujud kesadaran kolektif
masyarakat terhadap tindakan individu tersebut.
Pelanggaran terhadap kesadaran kolektif merupakan bentuk penyimpangan dari homogenitas
dalam masyarakat. Karena dalam analisis Durkheim, ciri khas yang paling penting dari
solidaritas mekanis itu terletak pada tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan,
sentimen, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian
kerja (division of labor) bersifat terbatas.
Model solidaritas seperti ini biasa di temukan dalam masyarakat primitif atau masyarakat
tradisional yang masih sederhana. Dalam masyarakat seperti ini pembagian kerja hampir
tidak terjadi. Seluruh kehidupan di pusatkan pada sosok kepala suku. Pengelolaan
kepentingan kehidupan sosial bersifat personal. Keterikatan sosial terjadi karena kepatuhan
terhadap nilai-nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat. Demikian juga sistem
kepemimpinan yang di laksanakan berjalan secara turun-temurun.
Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat dapat muncul dalam berbagai kategori atas
dasar karakteristik sifat atau unsur yang membentuk solidaritas itu sendiri. Veeger, K.J.
(1992) mengutip pendapat Durkheim yang membedakan solidaritas sosial dalam dua kategori
:
1. Solidaritas mekanis
Solidaritas mekanis ini, terjadi dalam masyarakat yang memiliki ciri khas keseragaman pola-
pola relasi sosial, memiliki latar belakang pekerjaan yang sama dan kedudukan semua
anggota. Apabila nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, dapat menyatukan mereka
secara menyeluruh. Maka akan memunculkan ikatan sosial yang kuat dan di tandai dengan
munculnya identitas sosial yang kuat pula. Individu menyatukan diri dalam kebersamaan,
sehingga tidak ada aspek kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang
sama. Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat. Karena
itu, tidak terbayangkan bahwa hidup mereka masih dapat berlangsung apabila salah satu
aspek kehidupan di pisahkan dari kebersamaan.
Solidaritas mekanis menunjukan berbagai komponen atau indikator penting. Contohnya
yaitu, adanya kesadaran kolektif yang di dasarkan pada sifat ketergantungan individu yang
memiliki kepercayaan dan pola normatif yang sama. Individualitas tidak berkembang karena
di hilangkan oleh tekanan aturan atau hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman cenderung
mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau
pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya.
Singkatnya, solidaritas mekanis di dasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective
consciousness) yang di lakukan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total di
antara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen
dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan,
baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama.
Doyle Paul Johnson (1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok social
atau masyarakat yang di dasarkan pada solidaritas mekanis, yakni :
a) Pembagian kerja rendah
b) Kesadaran kolektif kuat
c) Hukum represif dominan
d) Individualitas rendah
e) Konsensus terhadap pola normatif penting
f) Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
g) Secara relatif sifat ketergantungan rendah
h) Bersifat primitif atau pedesaan.
Contoh masyarakat solidaritas mekanis dan organis. Yaitu masyarakat yang memiliki pola
pembagian kerja yang sedikit, seperti pada masyarakat desa. Masyarakat desa memiliki
homogenitas pekerjaan yang tinggi misalnya sebagai petani. Karena kesamaan yang dimiliki
oleh masyarakat desa, membuat membuat kesadaran kolektif antara individu di dalam
masyarakat itu sangat tinggi. Masyarakat desa juga homogenitas dalam hal kepercayaan di
bandingkan masyarakat kota. Homogenitas itulah yang mepersatukan masyarakat desa.
2. Solidaritas organis
Solidaritas organis terjadi di masyarakat yang relatif kompleks dalam kehidupan sosialnya
namun terdapat kepentingan bersama atas dasar tertentu. Pada kelompok sosialnya,
terdapat ciri-ciri tertentu, yaitu :
a) Adanya pola antar-relasi yang parsial dan fungsional
b) Terdapat pembagian kerja yang spesifik,
c) Adanya perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya.
Perbedaan pola relasi-relasi dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui pemikiran
yang membutuhkan kebersamaan serta diikat dengan kaidah moral, norma, undang-undang,
atau seperangkat nilai yang bersifat universal. Karena itu, ikatan solidaritas tidak lagi
menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.
Solidaritas organis muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini di
dasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini di akibatakan
karena spesialisasi yang tinggi di antara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus
mengurangi kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis. Akibatnya, kesadaran
dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser. Keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu,
munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang memiliki
spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah pembagian
kerja yang mengambil alih peran yang semula di dasarkan oleh kesadaran kolektif.
Contoh dalam solidaritas organis ialah perusahaan dagang. Alasan yang mempersatukan
organisasi itu kemungkinan besar ialah motivasi-motivasi anggotanya. Keinginan mereka
akan imbalan ekonomi yang akan di terima atas partisipasinya, dan di dalam organisasi
dagang masing-masing anggotanya akan merasa tergantung satu dengan yang lain. Misalnya
dalam suatu pabrik, ada kecenderungan orang berada di mesin teknisi, pengawas, penjual,
orang yang memegang pembukuan, sekretaris, dan seterusnya. Semua kegiatan mereka
memiliki hubungan spesialisasi dan saling ketergantungan. Sehingga sistem tersebut
membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi berdasarkan pada saling ketergantungan.
Contoh lainnya yaitu dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis, proses perubahan
kepemimpinan di lakukan secara turun temurun dari kepala suku atau etua adat. Berbeda
dengan masyarakat organis proses suksesi kepemimpinan di lakukan dengan melibatkan
partisipasi masyarakat atau individu. Contohnya seperti pemilihan umum presiden dan wakil
presiden di Indonesia melalui Pemilu yang melibatkan seluruh warga Negara Indonesia.

Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, di mana dalam solidaritas organis di
ciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial. Pembagian kerja tersebut membagi
aktivitas yang mulanya hanya dilaksanakan oleh satu individu menjadi lebih besar dengan
bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian kerja akan menimbulkan
sebuah integrasi sosial yang kuat, secara fungsional di butuhkan untuk saling melengkapi.
Karena itu untuk memunculkan suatu solidaritas sosial dalam kelompok berdasarkan
kepentingan bersama yang sifatnya tertentu.
Nampak bahwa pada solidaritas organis menekankan tingkat saling ketergantungan yang
tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di kalangan individu.
Perbedaan individu akan mengurangi kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai
dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organis menurut Durkheim di tandai
dengan eksistensi hukum yang bersifatrestitutif atau memulihkan, melindungi pola
ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang terspesialisasi atau kelompok-
kelompok dalam masyarakat.
Doyle Paul Johnson pun secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial atau
masyarakat pada solidaritas organis, yakni;
a) Pembagian kerja tinggi;
b) Kesadaran kolektif lemah;
c) Hukum restitutif/memulihkan dominan;
d) Individualitas tinggi;
e) Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;
f) Badan-badan kontrol sosial menghukum orang yang menyimpang;
g) Saling ketergantungan tinggi; dan
h) Bersifat industrial perkotaan.
Agar lebih jelasnya berikut ini adalah perbedaan solidaritas mekanis dan solidaritas organis :
Solidaritas Mekanis Solidaritas Organis

a.) Relatif berdiri sendiri (tidak bergantung a.) Saling keterkaitan dan mempengaruhi
pada orang lain) dalam keefisienan kerja. dalam keefisienan kerja.
b.) Terjadi di masyarakat sederhana. b.) Di langsungkan oleh masyarakat yang
c.) Ciri dari masyarakat tradisional kompleks.
(pedesaan) c.) Ciri dari masyarakat modern (perkotaan).
d.) Kerja tidak terorganisir d.) Kerja terorganisir dengan baik.
e.) Beban lebih berat e.) Beban ringan.
f.) Tidak bergantung dengan orang lain f.) Banyak saling bergantungan dengan yang
lain

Dapat di simpulkan bahwa solidaritas mekanis di bentuk oleh masyarakat yang masih
memiliki kesadaran kolektif yang sangat tinggi, kepercayaan yang sama, cita-cita dan
komitmen moral. Masyarakat yang menggunakan solidaritas mekanis, mereka melakukan
aktifitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama.
Sebaliknya, solidaritas organis di bentuk karena semakin banyak dan beragamnya pembagian
kerja. Sehingga pembagian kerja tersebut membuat spesialisasi pekerjaan di dalam
masyarakat yang menyebabkan kesadaran kolektif menjadi menurun. Semua kegiatan
spesialisasi mereka berhubungan dan saling tergantung satu sama lain, sehingga sistem
tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi didasarkan pada saling
ketergantungan.

5. Hukum Refresif dan Restitutif


Durkheim menghubungkan persoalan solidaritas organis dengan fenomena pemberian
hukuman atau sanksi. Kuatnya solidaritas organis di tandai oleh munculnya hukum yang
bersifat memulihkan (restitutive) bukan yang bersifat represif. Kedua model hukum pada
prakteknya juga memiliki tujuan yang berbeda.
Hukum represif yang di jumpai dalam masyarakat mekanis ialah ungkapan dari kemarahan
kolektif masyarakat. Sementara hukum restitutif berfungsi untuk mempertahankan atau
melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara sejumlah individu yang
memilki spesialisasi tersebut. Karena itu sifat sanksi yang di berikan kepada individu yang
melanggar keteraturan dalam dua kategori masyarakat ini juga berbeda. Tipe sanksi dalam
masyarakat mekanis bersifat restitutif sebagaimana di kemukan Durkheim: “bukan bersifat
balas dendam, melainkan sekedar memulihkan keadaan”.
Kemarahan kolektif tidak mungkin terjadi dalam masyarakat dengan tipe organis, karena
masyarakat sudah hidup dengan kesadaran individual bukan kesadaran kolektif. Sebagai
gantinya masyarakat dengan tipe solidaritas organis mengelola kehidupan secara rasional.
Karena itu, bentuk hukumannya pun bersifat rasional di sesuaikan dengan bentuk
pelanggaran tersebut. Pelaksanaan sanksi tersebut bertujuan untuk memulihkan atau
melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan.
Maka dari itu akan dengan adanya hukuman tersebut akan memulihkan kondisi
ketergantungan fungsional dalam masyarakat. Durkheim menjelaskan bahwa bentuk
solidaritas tersebut terutama dalam masyarakat modern. Pola-pola restitutif ini nampak dalam
hukum dan peraturan-peraturan kepemilikan, hukum kontrak, perdagangan dan peraturan
administratif atau prosedur-prosedur dalam sebuah institusi masyarakat modern.
Peralihan dari hukum represif menuju hukum restitutif seiring sejalan dengan semakin
bertambahnya kompleksitas dalam masyarakat. Kompleksitas tersebut berdampak pada
pembagian kerja (divison of labor) yang semakin beragam pula.

6. Normal dan Patologis


Pemikiran Durkheim yang paling kontroversial ialah bahwa sosiolog mampu membedakan
antara masyarakat yang sehat dan patologis. Setelah menggunakan buku itu di dalam The
Division of Labor, Durkheim menulis buku lain yaitu The Rules of Sosiological
Method (1895-1982). Di dalam buku tersebut, Durkheim mencoba membela ide itu. Dia
mengklaim bahwa masyarakat yang sehat dapat di kenali karena sosiolog akan menemukan
kondisi-kondisi serupa di dalam masyarakat lain pada tahap-tahap yang serupa. Apabila suatu
masyarakat menyimpang dari apa yang di temukan mungkin masyarakat itu patologis.
Ide tersebut bersifat kontroversial sehingga di tentang pada masa itu dan hanya segelintir
sosiolog yang mendukungnya. Namun Durkheim pun tidak lagi berusaha membela idenya
yang kontroversial. Hal itu terbukti dengan prakatanya untuk edisi ke dua The Rules : “
Tampaknya tidak berarti bagi kami kembali ke kontroversi-kontroversi lain yang telah
dimunculkan buku ini, karena hal itu tidak menyentuh hal yang hakiki. Orientasi umum
metode itu tidak bergantung pada prosedur-prosedur yang lebih suka mengklasifikasi tipe-
tipe sosial atau membedakan hal yang normal dari patologis”.
Akan tetapi, ada satu ide yang menarik yang di ambil Durkheim dari idenya itu. Ide yang
menunjukan bahwa kejahatan adalah normal (Smith:2008) ketimbang patologis. Dia
berargumen bahwa karena kejahatan di temukan di setiap masyarakat, kejahatan pastilah
normal dan memberikan suatu fungsi yang berguna. Durkheim mengklaim, kejahatan
membantu masyarakat mendefinisikan dan menggambarkan nurani kolektif mereka.
Di dalam The Division of Labor, dia menggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa
bentuk “abnormal” pembagian kerja yang di terima di dalam masyarakat modern. Dia
mengenali tiga bentuk abnormal yang mana Durkheim bersikeras bahwa krisis modernitas
oleh Comte dan orang-orang lain di samakan dengan pembagian kerja, sebenarnya di
sebabkan oleh bentuk-bentuk abnormal tersebut.
Ketiga bentuk abnormal itu ialah :
a. Pembagian kerja anomik
Pembagian kerja ini mengacu kepada kurangnya pengaturan di dalam suatu masyarakat yang
mengenal individualitas yang terisolasi dan menahan diri dari mengatakan apa yang harus di
lakukan orang-orang. Durkheim mengembangkan lebih lanjut konsep anomie itu di dalam
karyanya bunuh diri yang di diskusikan nanti. Di dalam kedua karya itu, dia menggunakan
istilah anomie untuk mengacu kondisi-kondisi sosial ketika manusia kekurangan
pengendalian moral yang memadai ( Bar-Haim, 1997; Hilbert, 1986). Bagi Durkheim,
masyarakat modern selalu condong kepada anomie, tetapi ia tampil ke permukaan pada masa-
masa krisis sosial dan ekonomi.
Tanpa moralitas bersama yang kuat dari solidaritas mekanis, mungkin orang-orang tidak
mempunyai konsep yang jelas mengenai apa yang tepat dan tidak tepat dan perilaku yang
dapat diterima. Meskipun pembagian kerja adalah suatu sumber kohesi di dalam masyarakat
modern, pembagian kerja tidak dapat menutupi secara keseluruhan kelemahan moralitas
bersama. Setiap individu dapat menjadi terasing dan terbawa di dalam kegiatan-kegiatan yang
terspesialisasi. Mereka dapat dengan mudah berhenti merasakan ikatan umum dengan orang-
orang yang bekerja dan yang tinggal di sekitarnya. Hal itu memunculkan anomie. Solidaritas
organis condong kepada patologi yang khusus itu. Pembagian kerja modern mempunyai
kemampuan untuk mendorong interaksi-interaksi moral yang bertambah dari pada mereduksi
orang kepada tugas-tugas dan posisi-posisi yang mengasingkan dan tidak bermakna.
b. Pembagian kerja yang di paksakan
Durkheim percaya bahwa masyarakat membutuhkan aturan-aturan dan pengaturan untuk
mengatakan kepada mereka apa yang harus dilakukan. Bentuk abnormal ini menunjukan
sejenis aturan yang dapat menyebabkan konflik dan pengasingan sehingga menambah
anomie. Patologi ini mengacu pada fakta bahwa norma-norma dan pengalaman-pengalaman
yang sudah ketinggalan zaman dapat memaksa para individu, kelompok, dan kelas-kelas ke
dalam posisi-posisi yang tidak cocok dengan mereka. Tradisi-tradisi, kekuasaan ekonomi atau
status dapat menentukan siapa yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dengan mengabaikan
bakat dan kualifikasi. Disinilah Durkheim datang paling dekat dengan pendirian Marxis.
Apabila satu kelas di haruskan agar dapat bertahan hidup ia akan membayar harga apapun
untuk pekerjaannya. Sementara kelas yang lain dapat mengabaikan situasi itu, karena
sumber-sumber daya sudah siap di gunakan, sumber-sumber daya yang bagaimanapun tidak
perlu sebagai hasil suatu superioritas sosial. Kelompok yang superior tersebut mempunyai
keuntungan yang tidak adil atas kelompok yang pertama berkenaan dengan hukum.
c. Pembagian kerja yang di koordinasikan dengan buruk
Bentuk pembagian kerja ini jelas ketika fungsi-fugsi yang terspesialisasi di laksanakan oleh
orang-orang yang berbeda yaitu di koordinasikan dengan buruk. Sekali lagi Durkheim
mengingatkan bahwa solidaritas organis mengalir dari saling ketergantungan masyarakat.
Apabila spesialisasi orang-orang tidak menghasilkan saling ketergantungan yang meningkat
tetapi hanya suatu pengasingan, maka pembagian kerja tersebut tidak menghasilkan
solidaritas sosial.

7. Keadilan
Agar pembagian kerja berfungsi sebagai kekuatan moral dan menekankan secara sosial di
masyarakat konsep modern, anomie, pembagian kerja yang dipaksakan, dan koordinasi
spesialisasi yang tidak tepat harus diperhitungkan. Masyarakat modern tidak lagi di satukan
oleh pengalaman-pengalaman bersama dan kepercayaan-kepercayaan bersama. Sebagai
gantinya, mereka di persatukan melalui perbedaan-perbedaan mereka sendiri, selama
perbedaan-perbedaan itu di izinkan berkembang dalam suatu cara yang mendorong saling
ketergantungan. Kunci bagi hal tersebut untuk Durkheim adalah keadilan sosial.
Maka, tugas bagi masyarakat yang paling maju adalah suatu pekerjaan mewujudkan keadilan.
Sebagaimana ide mengenai masyarakat-masyarakat yang lebih rendah ialah menciptakan atau
memelihara sekuat tenaga kehidupan bersama, yang menyerap individu. Begitu juga cita-cita
masyarakat adalah membuat relasi-relasi sosial selalu lebih pantas, sehingga menjamin
perkembangan bebas seluruh kekuatan kita yang bermanfaat secara sosial.
Moralitas, solidaritas sosial, keadilan, hal itu adalah tema-tema besar untuk seseorang yang
akan bekerja. Durkheim berkali-kali kembali kepada ide-ide tersebut di dalam karyanya,
tetapi dia tidak akan pernah melihatnya dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan. Dia memprediksi dalam bukunya yang kedua, The Rules Sociological
Method bahwa sosiologi sendiri akan takluk kepada pembagian kerja dan terpecah menjadi
suatu koleksi spesialitas-spesialitas. Apakah hal itu menimbulkan saling ketergantungan yang
bertambah dan solidaritas organis di dalam sosiologi, masih merupakan pertanyaan yang
terbuka.

8. Pilar pendukung masyarakat


Dalam buku Teori-teori Kebudayaan dipaparkan tentang pemikiran Emile Durkeim tentang
masyarakat, terdapat 4 pilar-pilar utama pendukung masyarakat budaya, yaitu :
a. The Sacred ( yang keramat )
The sacred ialah nilai-nilai yang di sepakati yang berperan menjaga keutuhan dan
ikatan sosial sebuah masyarakat serta secara normatif mengendalikan gerakan dinamika
sebuah masyarakat. Nilai-nilai tersebut adalah nilai yang disakralkan atau disucikan. Hal
yang sakral itu dapat berupa simbol utama, nilai-nilai, dan kepercayaan yang menjadi inti
sebuah masyarakat.
b. Klasifikasi
Klasifikasi masyarakat yang paling primordial di dasarkan pada dimensi normatif dan
religius. Dimensi normatif dan religius itu menjadi gambaran umum yang terdapat dalam
kesadaran kolektif masyarakat. Jadi, dengan adanya tindakan simbolik menghukum dan
hukuman yang berguna untuk menyadarkan kembali masyarakat pada tuntutan moral dan
untuk menjaga persatuan komunitas yang di butuhkan secara sosial dan kultural.
c. Ritus
Ritus ialah kesatuan yang dibangun atas dasar kepentingan bersama yang suci.
Bentuknya seperti perayaan-perayaan, festival, dan acara-acara budaya dalam masyarakat.
Ritus di adakan secara kolektif dan regular agar masyarakat peka akan pengetahuan dan
makna-makna kolektif. Di dalam ritus di hadirkan kembali makna realitas dan ikatan sosial
dalam masyarakat ( makna sosial ). Ritus merupakan proses rekreasi masyarakat, yaitu
melalui bentuk-bentuk ritus tersebut.

d. Ikatan Solidaritas
Pemahaman solidaritas dalam pemikiran budaya Durkheim hanya mungkin di
tempatkan dalam hal the sacred yaitu ikatan primordial yang mempersatukan masyarakat.
Sebenarnya, ketika membicarakan klasifikasi (the sacred and the profane), kita sudah
menyentuh satu bagian solidaritas yaitu solidaritas terluka. Kejahatan dalam sebuah
masyarakat di rasakan sebagai luka bagi seluruh anggota masyarakat tersebut. Solidaritas
yang terluka di akibatkan karena terjadinya pelanggaran terhadap the sacred.
Gejala-gejala sosial kerap ditafsirkan dengan perspekif religius.Terlebih masyarakat
akan berpaling pada agama untuk mencari jawaban atas kompleksitas sosial yang rumit.
Semakin permasalahan itu utama dalam kehidupan sosial, semakin agama dengan mudah
ditemukan (walaupun agama belum tentu dapat menyelesaikan masalah tersebut). Artinya,
agama menemukan makna aktualnya dalam interaksi dengan masyarakat. Agama menurut
Durkheim, merupakan representasi kolektif masyarakat. Agama dikaitkan dirinya dengan
aspek politis yaitu keseluruhan masyarakat. Jelas bagi kita bahwa agama dapat menjadi
ikatan solidaritas masyarakat. Terlebih lagi, agama memiliki fungsi regulatif yang dapat
menjadi batas antara yang diterima dan tidak diterima. Menurut Durkheim agama dalam
pengertian luas dapat ditemukan dalam setiap kelompok.
Dengan demikian, tampak bahwa the sacred merupakan bagian dan dinamika
kesadaran kolektif yang di libatkan secara prinsipial untuk memahami dan menghayati
realitas dunianya. Dapat dikatakan bahwa the sacred merupakan bagian dari kesadaran
kolektif.
Solidaritas masyarakat selain dibentuk oleh civil religion juga bersumber dari memori
kolektif. The sacred sebagai suatu nilai kultural kolektif dan pengikat idenditas di abadikan
dalam memori kolektif. The sacred bersumber dari peristiwa sejarah yang biasanya di
modifikasi oleh kelas otoritas, merekalah yang memprodukasi makna kolektif atas sebuah
peristiwa sebagai suatu yang keramat. Makna kolektif itu dapat merajai memori kolektif
karena ada sharing of experience, yaitu merasakan pengalaman yang sama atau berkat proses
sosialisasi. Sosialisasi ini di pelihara turun-temurun melalui perayaan, ritus-ritus, upacara-
upacara, serta penulisan sejarah yang bertujuan mengabadikan masa lalu. Begitulah proses
transfer makna kolektif. Karena itu memori kolektif sebagai salah satu simpul merupakan
kondisi yang semakin memungkinkan keutuhan masyarakat berkat adanya identitas yang
sama (the common source of identity).
Sehingga menurut Soerjono Soekanto (1985) bahwa masyarakat bukanlah semata-mata
merupakan penjumlahan individu-individu belaka. Sistem yang dibentuk oleh asosiasinya
merupakan suatu realitas khusus dengan karakteristik tertentu. Dapat di katakan benar bahwa
sesuatu yang bersifat kolektif tidak akan mungkin timbul tanpa kesadaran individual.
Kesadaran itu harus di kombinasikan dengan cara tertentu kehidupan sosial.

Anda mungkin juga menyukai