BAB VII
PARTAI POLITIK
OLEH:
DEDI MIZWAR
22118618023
UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
BAB VII
PARTAI POLITIK
Dari basis sosial dan tujuannya bisa dilihat bahwa apa yang menjadi teori
Almond sebagaimana yang dikutip oleh Subakti beberapa tujuanya bisa di rasakan
prakteknya dalam konteks keindonesiaan, namun beberapa juga tujuan dari teori
Almond tidak ada yang benar-benar menonjol pada konteks Indonesia saat ini.
Berdasarkan tujuanya di Indonesia masih tampak samar-samar penerapannya.
Dari apa yang di ulas oleh Ramlan Subakti pada bab vii yang berkaitan dengan
partai politik, dari tiga teori awal kemunculan partai politik dari sisi pendekatan
kelembagaan, ada kebutuhan dari anggota parlemen yang membutuhkan organisasi
pendukung sebagai alat untuk menyambungkan antara kekuasaan dengan masyarakat.
Jadi dalam konteks teori pertama ini partai politik merupakan alat kekuasaan untuk
menambah menyerap aspirasi. Teori kedua melihat bahwa dalam sejarah
perkembanganya, manusia selalu punya kepentingan dan berkembang. Maka dengan
selalu berkembangnya dinamika kehidupan manusia, selama itu pula manusia mencari
kehidupan yang baik dan aman. Karena ada perkembangan dari tradisional ke
modern, kebutuhan manusia mulai berubah, termasuk dalam hal-hal yang mengatur
mereka sebagai warga negara. Partai politik dibentuk karena dianggap bisa mengatasi
konflik yang ada. Tapi nyatanya konteks partai politik mengatasi konflik tidak benar-
benar terjadi dalam konteks sekarang. Partai politik hanya berkutat pada wilayah
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sebagaimana yang di jelaskan oleh
Subakti. Teori ketiga berkaitan dengan dibentuknya partai politik, hampir sama
dengan teori kedua konteksnya. Hanya saja dari sisi perbedaanya ialah pada proses
pembentukan partainya.
Berkaitan dengan fungsi yang di tulis oleh Subakti, ada tujuh fungsi yang
dijelaskan. Fungsi sosialisasi yang dimiliki partai politik merupakan salah satu fungsi
penting dengan dilakukan dua cara yaitu, pendidikan politik dan indoktrinasi politik.
pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik pada konteks sekarang hampir
tidak dilakukan secara langsung. Mereka hanya mementingkan kepentingan anggota
partainya. Begitupun dengan indoktrinasi politik, kita tidak pernah di suguhkan
langsung oleh partai politik berkaitan dengan indoktrinasi, partai politik di era
sekarang hanya mementingkan anggota partai mereka. Artinya fungsi sosialisasi yang
seharusnya memberikan pemahaman politik kepada masyarakat, hanya berlaku
kepada anggota partai saja. Fungsi yang tidak berjalan dengan baik lagi ialah fungsi
pengendalian konflik. Dalam pembentukannya diharapkan partai politik mampu
mengelola konflik. Tetapi dalam era sekarang konflik yang terjadi beberapa
diantaranya disebabkan oleh partai politik. artinya jangankan untuk mengendalikan
konflik yang terjadi di masyarakat, untuk mengatasi konflik internal yang terjadi,
partai politik sendiri belum mampu menyelesaikan dengan baik. Ini menandakan
bahwa fungsi ini menjadi tidak relevan kalau di kaitkan dengan era sekarang. Fungsi
lainnya yang terlihat absurd, yaitu fungsi pemadu kepentingan. Diharapkan partai
politik menjadi wadah untuk mengakomodir segala kepentingan individu dan
kelompok. Tetapi dalam prakteknya partai politik tidak benar-benar menyampaikan
setiap aspirasi individu maupun kelompoknya dengan baik. Yang ada hanyalah
anggota partai harus mengikuti semua keputusan yang hanya bersumber dari ketua
umum partai. Dalam konteks Indonesia pun hampir banyak yang di praktekkan cara
partai mengambil keputusan hanya bepusat pada keputusan seorang ketua. Suara
anggota yang ada hanya sekedar formalitas untuk memenuhi syarat-syarat
pengambilan keputusan yang ada dalam AD/ART partai politik.