Anda di halaman 1dari 10

CRITICAL REVIEW

BUKU RAMLAN SUBAKTI

MEMAHAMI ILMU POLITIK

BAB VII

PARTAI POLITIK

OLEH:

DEDI MIZWAR

22118618023

SEKOLAH TINGGI PASCA SARJANA ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NASIONAL

JAKARTA
BAB VII

PARTAI POLITIK

7.1. Asal, Ciri dan Arti


Dalam pembahasan awal bab 7, Subakti menjelaskan tiga teori yang
membahas asal-usul partai politik. Pertama, teori kelembagaan yang melihat ada
hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik. Kedua, teori situasi
historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik
untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat luas. Ketiga,
teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi ekonomi.
Teori yang pertama tentang kelembagaan, yaitu munculnya partai politik
merupakan adanya kebutuhan dari anggota parlemen untuk menyerap aspirasi dari
masyarakat, dan pengangkatannya ditentukan langsung oleh anggota parlemen.
Selanjutnya Subakti menjelaskan, ketika sudah dibentuk dan menjalankan fungsinya,
partai politik bisa muncul dan di bentuk dari kalangan masyarakat. Namun dengan
catatan partai politik ini harus dari kelompok masyarakat yang punya kesadaran tinggi
terkait dengan politik, dan biasanya munculnya partai politik dari sekelompok
masyarakat ini karena partai politik yang dibentuk oleh pemerintah tidak berhasil
menampung aspirasi dan kepentingan mereka.
Teori kedua muncul karena konteksnya karena ada krisis di masa lalu, dimana
masyarakat mengalami perubahan sistem politik dari yang tradisional sederhana
bertransisi ke situasi modern yang kompleks. Faktor yang mendasarinya ialah adanya
perbaikan fasilitas kesehatan, perluasan pendidikan, perubahan dari pola pertanian
menggunakan alat industri, partisipasi media, adanya urbanisasi, ekonomi yang
berorientasi pada pasar, meningkatnya aspirasi serta semangat terhadap harapan-
harapan baru terhadap suatu perubahan. Faktor perubahan ini mengakibatkan
munculnya tiga krisis, yaitu krisis legitimasi, integrasi (menyatukan), dan partisipasi.
Karena adanya transisi perubahan tersebut maka masyarakat menjadi kritis dan mulai
memunculkan keraguan terhadap pemerintah dalam konteks legitimasi. Artinya disini
masyarakat sudah mulai sadar akan pentingnya mereka sebagai suatu bangsa. Maka
dengan beberapa konteks yang terjadi akhirnya partai politik yang terbentuk dan
berasal dari kalangan masyarakat sebagai upaya kontrol sekaligus penghubung antara
pemerintah dan masyarakat.
Teori ketiga yaitu adanya modernisasi sosial ekonomi, kemudahan teknologi
informasi berupa media massa dan transportasi, perluasan pendidikan, industrialisasi,
urbanisasi, adanya birokratisasi. Ada persamaan teori ketiga dengan kedua yaitu partai
politik merupakan hasil atau akibat adanya proses modernisasi, dan perbedaanya
terletak pada preses pembentukan partai politik. Teori kedua menjelaskan bahwa,
akibat adanya perubahan, munculah krisis, dan partai politik hadir untuk mengatasi
krisis tersebut. Sedangkan teori ketiga mengatakan bahwa perubahan-perubahan
inilah yang melahirkan partai politik.
Terakhir berkaitan dengan asal, ciri dan arti partai politik, Subakti mengutip
penjelasan dari Lapalombara dan Weiner, bahwa partai politik bukan organisasi
politik yang mempunyai hubungan terbatas dengan pendukungnya, namun partai
politik haruslah mempunyai hubungan yang berkesinambungan. Artinya lama atau
tidak adanya partai politik tidak bisa di sandarkan pada figur perseorangan atau masa
jabatan para pemimpinnya. Yang penting adalah partai politik tidak hanya bersandar
pada pengurus pusat, namun lebih-lebih pengurus daerah atau dalam istilahnya
masyarakat lokal menjadi unsur penting sebuah partai politik. Sebaliknya
sebagaimana yang dikutip oleh Subakti, Lapalombara dan Weiner mengatakan partai
politik yang tidak berakar ditengah masyarakat tidak memiliki cabang di daerah-
daerah, tidak mempunyai kegiatan yang berkesinambungan, dan tidak memiliki wakil
di parlemen, serta tidak ikut pemilu, maka tidak dikategorikan sebagai partai politik.
7.2. Fungsi Partai Politik
Fungsi dari partai politik sebagaimana yang ditulis oleh Subakti, yaitu
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan untuk mewujudkan program-program
yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Dalam sistem demokrasi kekuasaan bisa
di raih melalui pemilu. Biasanya dalam sistem demokrasi partai politik melaksanakan
fungsinya dengan menyeleksi calon-calon, kampanye, dan melaksanakan
pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif. Sedangkan dalam sistem otoriter, bisa
bersifat paksaan atau menggunakan cara-cara diktator seperti mengintimidasi baik
secara fisik maupun secara psikologis, dan ini dalam iklim diktator biasanya hanya
partai tunggal yang berkuasa. Contohnya Korea Utara dengan Partai Komunisnya.
Artinya disini Subakti menempatkan bahwa fungsi adanya partai politik ialah
lebih banyak pada porsi memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.
7.2.1. Sosialisasi Politik
Yang dimaksud dengan sosialisasi politik ialah proses pembentukan sikap dan
orientasi politik para anggota masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup yang
di peroleh secara sengaja melalui pendidikan formal dan nonformal, maupun yang di
dapatkan secara tidak sengaja dalam proses kehidupan sehari-hari, baik tetangga
sekitar maupun masyarakat luas.
Dari segi metode penyampaian pesan, sosialisasi politik dilakukan dengan dua
cara, yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan
proses dialogic antara pemberi dan penerima pesan. Contohnya pemberi disini
diartikan seperti pemerintah, partai politik. Sedangkan penerima diartikan masyarakat
umum yang langsung atau tidak langsung mendengarkan, melakukan proses-proses
politik. Indoktrinasi politik yaitu memobilisasi dan memanipulasi masyarakat untuk
menerima nilai, norma dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa ideal dan baik.
7.2.2. Rekrutmen Politik
Rekrutmen politik merupakan proses seleksi dan pengangkatan seseorang atau
sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada
umumnya dan pemerintahan khususnya. Subakti juga menegaskan bahwa rekrutmen
politik merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan.
7.2.3. Partisipasi Politik
Dalam Subakti, partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara dalam
mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan ikut
menentukan pemimpin pemerintahan. Contohnya, mengajukan tuntutan, membayar
pajak, melaksanakan kebijakan, juga mengajukan alternatif pemimpin. Jadi dalam
konteks ini, partai politik membuka kesempatan, mendorong, para anggota dan
anggota masyarakat yang lain untuk menggunakan partai politik sebagai saluran untuk
mempengaruhi proses politik. Partisipasi politik merupakan suatu keharusan dalam
sistem demokrasi, karena mengharuskan setiap warga negara terlibat aktif secara
mandiri dalam setiap proses politik.
7.2.4. Pemadu Kepentingan
Untuk menampung dan memadukan semua kepentingan berbeda bahkan
bertentangan, maka dibentuklah partai politik. kegiatan menampung, menganalisis,
dan memadukan semua kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan sehingga
menjadi alternatif kebijakan umum, lalu di perjuangkan dalam proses dan pelaksanaan
keputusan politik. Inilah yang di maksud dengan pemaduan kepentingan. Fungsi ini
merupakan fungsi utama partai politik sebelum mencari dan mempertahankan
kekuasaan.
7.2.5. Komunikasi Politik
Dalam Subakti, berkaitan dengan komunikasi politik sangatlah penting di
dalam proses bernegara. Komunikasi politik merupakan proses penyampaian
informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya dari
masyarakat ke pemerintah. Dalam sistem demokrasi keduanya dilaksanakan oleh
partai politik sebagai komunikator politik. Ditegaskan oleh Subakti, proses
penyampaian informasi berkaitan dengan kebijakan pemerintah haruslah bisa di
sampaikan dengan dengan bahasa yang dapat di mengerti oleh semua masyarakat.
Sebaliknya aspirasi dari masyarakat haruslah bisa diterjemahkan dengan baik oleh
partai politik untuk di sampaikan ke pemerintah. Jadi Subakti menegaskan sebagai
komunikator yang baik, partai politik harus menjadi penghubung antara pemerintah
dan masyarakat.
7.2.6. Pengendalian Konflik
Konflik yang dimaksud ialah dalam arti luas, mulai dari perbedaan pendapat
sampai pertikaian fisik individu maupun kelompok dalam masyarakat. Apalagi dalam
sistem demokrasi, setiap orang berhak menyampaikan pendapat atau aspirasi yang di
perjuangkan, sehingga konflik kepentingan tidak dapat di hindari. Partai politik
sebagai salah satu pilar demokrasi harus bisa mengendalikan konflik yang ada melalui
dialog dengan pihak yang berkonflik, kemudian memadukan berbagai aspirasi dibawa
ke badan perwakilan rakyat, atau dalam konteks Indonesia sekarang Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
7.2.7. Kontrol Politik

Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan dan


penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan yang di buat dan
dilaksanakan oleh pemerintah. Kemudian lebih lanjut Subakti menjelaskan tolak ukur
suatu kontrol politik berupa nilai-nilai politik yang dianggap ideal dan baik (ideologi)
yang dijabarkan kedalam kebijakan dan aturan perundang-undangan. Tujuan adanya
kontrol yakni untuk meluruskan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang
menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan dan pelaksanaanya
sejalan dengan tolak ukurnya.

7.3. Tipologi Partai Politik


Tipologi partai politik merupakan pengklasifikasian berdasarkan kriteria partai
tertentu,seperti asas dan orientasi, komposisi dan fungsi anggota, basis sosial dan
tujuan. Berikut tipologi partai politik yang di tulis oleh Subakti:
7.3.1. Asas dan orientasi

Berkaitan dengan asas dan orientasi Subakti mengelompokkan menjadi tiga


tipe. Pertama, partai politik pragmatis. Yaitu partai politik yang tidak terikat oleh
ideologi tertentu. Artinya perubahan waktu, kepemimpinan akan mengubah juga
program-program yang di rancang. Kedua, partai politik doktriner. Yaitu suatu partai
politik yang memiliki sejumlah program dan kegiatan yang konkret dari penjabaran
ideologi. Ideologi yang dimaksud adalah seperangkat nilai yang di rumuskan secara
konkret dan sistematis dalam bentuk program-program, serta di awasi secara ketat
oleh aparat dari partai tersebut. Ketiga, partai politik kepentingan. Yaitu suatu partai
politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti petani,
buruh, etnis, maupun agama, yang secara langsung ingin berpartisipasi langsung
dalam pemerintahan.

7.3.2. Komposisi dan fungsi anggota

Menurut komposisi dan fungsi anggotanya, partai politik digolongkan menjadi


dua. Pertama, partai massa yaitu partai yang mengandalkan kekuatan dan keunggulan
anggota dengan cara memobilisasi massa sebanyak-banyaknya, sebagai pelindung
berbagai kelompok, dan kesatuan nasional dapat di pelihara. Kelemahan dari partai
ini, tampak pada saat pembagian kursi jabatan, karena tampak berbagai kepentingan
dari setiap kelompok dan aliran sangatlah menonjol. Kedua, partai kader. Yaitu partai
yang mengandalkan kualitas anggota, keketatan organisasi, dan disiplin anggota
sebagai sumber kekuatan utama. Artinya kedua komposisi partai massa maupun partai
kader di atas terletak pada persoalan kuantitas (jumlah), dan partai kader lebih
mengandalkan kualitas (kekompakan).

7.3.3. Basis sosial dan tujuan

Menurut Almond sebagaimana yang dikutip oleh Subakti, partai politik


berdasarkan basis sosialnya dapat dibagi menjadi empat tipe:

1. Partai politik beranggotakan lapisan-lapisan sosial masyarakat, seperti


kelas atas, menengah, dan bawah.
2. Partai politik yang anggotanya berasal dari kelompok kepentingan tertentu,
seperti buruh, petani, dan pengusaha.
3. Partai politik yang anggotanya berasal dari agama tertentu, seperti islam,
katolik, protestan, hindu.
4. Partai politik yang anggotanya berasal dari budaya tertentu, seperti suku
bangsa, bahasa dan daerah tertentu.

Berdasarkan tujuanya, Almond membagi menjadi tiga:

1. Partai perwakilan kelompok, yaitu partai yang menghimpun berbagai


kelompok untuk memenangkan sebanyak-banyaknya kursi.
2. Partai pembinaan bangsa, yaitu partai yang mneciptakan kesatuan nasional
dan mengesampingkan kepentingan yang lebih kecil.
3. Partai mobilisasi, yaitu partai yang berusaha memobilisasi masyarakat
kearah tujuan yang ditetapkan oleh pemimpin partai, sedangkan partisipasi
dan perwakilan kelompok cenderung di abaikan.

Dari basis sosial dan tujuannya bisa dilihat bahwa apa yang menjadi teori
Almond sebagaimana yang dikutip oleh Subakti beberapa tujuanya bisa di rasakan
prakteknya dalam konteks keindonesiaan, namun beberapa juga tujuan dari teori
Almond tidak ada yang benar-benar menonjol pada konteks Indonesia saat ini.
Berdasarkan tujuanya di Indonesia masih tampak samar-samar penerapannya.

7.4. Sistem Kepartaian


Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah partai
politik dalam suatu sistem politik. Dua kata kunci diatas memberikan penegasan
bahwa perilaku dan interaksi antar partai menjadikan suatu sistem kepartaian berjalan
atau tidak.
7.4.1. Jumlah partai

Ramlan Subakti menjelaskan ada 3 bentuk kategori partai politik. Pertama,


partai tunggal (totaliter, otoriter, dominan). Dalam bentuk partai tunggal totaliter
terdapat satu partai tak hanya memegang kendali atas pemerintahan dan militer,
namun juga menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. Biasanya ciri partai
demikian ada didalam negara komunis dan fasis. Bentuk partai tunggal otoriter ialah
suatu sistem kepartaian yang didalamnya terdapat lebih dari satu partai, tetapi terdapat
satu besar yang digunakan oleh penguasa sebagai alat memobilisasi dan mengesahkan
kekuasaanya. Sedangkan partai lainya tidak terlalu menampilkan diri serta ruang
geraknya terbatas oleh penguasa. Biasanya sistem partai ini diterapkan di negara
berkembang yang bermasalah dengan ingtegrasi nasional dan keterbelakangan
ekonomi. Partai tunggal dominan ialah suatu sistem kepartaian yang di dalamnya
terdapat lebih dari satu partai saja yang terus dominan mendapat dukungan terus
menerus untuk berkuasa, sedangkan partai lainya tidak mampu bersaing terhadap
partai yang dominan. Kondisi seperti menurut penulis di Indonesia pernah terjadi pada
saat rezim orde baru, dimana pada saat itu golkar selalu memenangkan pemilu dengan
suara mayoritas. Sedangkan partai lain seperti PPP dan PDI hanya sebagai pelengkap.
Kedua, sistem partai bersaing, merupakan suatu sistem kepartaian yang didalamnya
terdapat dua partai yang bersaing untuk mempertahankan kewenangan memerintah
melalui pemilihan umum. Dalam sistem ini terdapat pembagian tugas diantara dua
partai, partai pemenang yang memerintah dan partai yang kalah otomatis menjadi
oposisi yang loyal. Sistem ini menurut penulis bisa di pelajari dalam sistem kepartaian
di Amerika Serikat, dimana hanya ada partai demokrat dan partai republik yang
bergantian berkuasa. Jika partai demokrat yang menang maka otomatis partai republik
akan menjadi oposisi yang loyal dan konsisten selama demokrat memerintah. Ketiga,
sistem banyak partai. Yaitu sistem yang terdiri lebih dari dua partai. Sistem ini
merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk baik secara kultural
maupun sosial ekonomi. Sistem partai ini biasanya banyak diterapkan dalam sistem
parlementer dan sistem presidensial. Banyak kita jumpai dalam sistem presidensial di
Indonesia dimana menjelang pemilu parta-partai saling membangun komunikasi
politik unruk membentuk koalisi guna memenuhi ambang batas presidensial
threshold. Fenomena politik seperti ini mencerminkan sistem banyak partai, atau lebih
dikenal umumnya di Indonesia dengan istilah multi partai.

7.4.2. Jarak ideologi

Ilmuwan politik asal Italia bernama Giovanni Sartori sebagaimana yang


dikutip dalam Subakti, menurutnya penggolongan sistem kepartaian bukan masalah
jumlah partai, melainkan jarak ideologi di antara partai-partai yang ada. Sartori
mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi tiga yaitu, pluralisme sederhana,
pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrim. Sistem dua partai di Amerika merupakan
contoh sistem pluralisme sederhana, yakni dua partai dan tidak terpolarisasi.
Sedangkan sistem banyak partai di Negeri Belanda merupakan contoh pluralisme
moderat. Disana lebih dari tiga atau empat partai dengan polaritas yang sangat kecil.
Di Italia merupakan negara yang mempunyai sistem kepartai pluralisme ekstrim.
Polaritas sangat besar karena jarak diantara kutub-kutub sangat jauh, seperti komunis
yang kiri, neofasis yang kanan, sosialis yang kiri tengah dan kristen demokrat yang
kanan tengah.

Tanggapan dan Analisis

Dari apa yang di ulas oleh Ramlan Subakti pada bab vii yang berkaitan dengan
partai politik, dari tiga teori awal kemunculan partai politik dari sisi pendekatan
kelembagaan, ada kebutuhan dari anggota parlemen yang membutuhkan organisasi
pendukung sebagai alat untuk menyambungkan antara kekuasaan dengan masyarakat.
Jadi dalam konteks teori pertama ini partai politik merupakan alat kekuasaan untuk
menambah menyerap aspirasi. Teori kedua melihat bahwa dalam sejarah
perkembanganya, manusia selalu punya kepentingan dan berkembang. Maka dengan
selalu berkembangnya dinamika kehidupan manusia, selama itu pula manusia mencari
kehidupan yang baik dan aman. Karena ada perkembangan dari tradisional ke
modern, kebutuhan manusia mulai berubah, termasuk dalam hal-hal yang mengatur
mereka sebagai warga negara. Partai politik dibentuk karena dianggap bisa mengatasi
konflik yang ada. Tapi nyatanya konteks partai politik mengatasi konflik tidak benar-
benar terjadi dalam konteks sekarang. Partai politik hanya berkutat pada wilayah
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sebagaimana yang di jelaskan oleh
Subakti. Teori ketiga berkaitan dengan dibentuknya partai politik, hampir sama
dengan teori kedua konteksnya. Hanya saja dari sisi perbedaanya ialah pada proses
pembentukan partainya.

Berkaitan dengan fungsi yang di tulis oleh Subakti, ada tujuh fungsi yang
dijelaskan. Fungsi sosialisasi yang dimiliki partai politik merupakan salah satu fungsi
penting dengan dilakukan dua cara yaitu, pendidikan politik dan indoktrinasi politik.
pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik pada konteks sekarang hampir
tidak dilakukan secara langsung. Mereka hanya mementingkan kepentingan anggota
partainya. Begitupun dengan indoktrinasi politik, kita tidak pernah di suguhkan
langsung oleh partai politik berkaitan dengan indoktrinasi, partai politik di era
sekarang hanya mementingkan anggota partai mereka. Artinya fungsi sosialisasi yang
seharusnya memberikan pemahaman politik kepada masyarakat, hanya berlaku
kepada anggota partai saja. Fungsi yang tidak berjalan dengan baik lagi ialah fungsi
pengendalian konflik. Dalam pembentukannya diharapkan partai politik mampu
mengelola konflik. Tetapi dalam era sekarang konflik yang terjadi beberapa
diantaranya disebabkan oleh partai politik. artinya jangankan untuk mengendalikan
konflik yang terjadi di masyarakat, untuk mengatasi konflik internal yang terjadi,
partai politik sendiri belum mampu menyelesaikan dengan baik. Ini menandakan
bahwa fungsi ini menjadi tidak relevan kalau di kaitkan dengan era sekarang. Fungsi
lainnya yang terlihat absurd, yaitu fungsi pemadu kepentingan. Diharapkan partai
politik menjadi wadah untuk mengakomodir segala kepentingan individu dan
kelompok. Tetapi dalam prakteknya partai politik tidak benar-benar menyampaikan
setiap aspirasi individu maupun kelompoknya dengan baik. Yang ada hanyalah
anggota partai harus mengikuti semua keputusan yang hanya bersumber dari ketua
umum partai. Dalam konteks Indonesia pun hampir banyak yang di praktekkan cara
partai mengambil keputusan hanya bepusat pada keputusan seorang ketua. Suara
anggota yang ada hanya sekedar formalitas untuk memenuhi syarat-syarat
pengambilan keputusan yang ada dalam AD/ART partai politik.

Pada intinya partai politik merupakan alat untuk memperoleh dan


mempertahankan kekuasaan. Makanya partai politik menjadi salah satu pilar
demokrasi karena konteksnya membicarakan dan meraih kekuasaan. Lebih luasnya
sebagaimana yang dijelaskan Subakti, partai politik merupakan penghubung antara
masyarakat dengan pemerintah. Subakti menempatkan partai politik sebagai subjek
yang paling penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun dalam
konteks Indonesia kepercayaan terhadap partai politik sebagai alat yang bisa
menampung aspirasi dan memperjuangkan aspirasi masyarakat, masih jauh dari kata
baik. Justru di Indonesia partai politik dianggap benalu bagisebagian masyarakat yang
harus segera diperbaiki keadanya.

Anda mungkin juga menyukai