Anda di halaman 1dari 18

Hubungan antara Sistem Pemilu dengan Sistem Kepartaian adalah bahwa sistem Pemilu kita

selalu mengakomodir sistem kepartaian yang berhak, sehingga tidak ada partai yang lebih
berhak di negara ini daripada partai yang lain artinya setiap partai memiliki hak yang sama
untuk terdaftar sebagai peserta Pemilu. Selanjutnya hubungan antara sistem pemilu dan
sistem pemerintahan adalah agar hasil pilihan rakyat melalui Pemilu dapat turut mengawasi
jalannya roda Pemerintahan dengan baik (Good Governence) dimana Pemerintah tidak bisa
menjalankan tugasnya semena-mena tanpa ada pengawasan dari para wakil rakyat yang telah
dipilih melalui Pemilu. Antara sistem politik dan sistem pemerintahan adalah bahwa seluruh
partai dan wakil-wakil rakyatnya turut serta dalam mengatur pemerintahan artinya bukan
hanya satu atau dua partai saja yang diakui negara untuk mengatur pemeritahan, tetapi semua
partai yang mendapatkan kursi di legislatif berhak dan turut serta dalam mengawasi jalannya
pemerintahan. Hubungan antara sistem pemilu, sistem politik dan sistem pemerintahan
dengan memperhatikan penjelasan di atas maka akan sangat jelas bahwa pemilu memberikan
kebebasan untuk semua partai dalam memperebutkan kursi suara, dan akhirnya para Anggota
Legislatif, Kepala Negara, dan Kepala Daerah yang terpilih merekalah yang akan memimpin
dan mengawasi Pemerintahan, jika tidak ada ketiganya, Indonesia bukanlah Negara
Demokrasi.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/indonesialatif066/hubungan-antara-sistem-
pemilu-sistem-kepartaian-dan-sistem-pemerintahan_552def496ea834a4798b459c

Hubungan antara Sistem Pemilu dan Sistem Kepartaian dalam Usaha Untuk Merubah
Kualitas Kinerja Parlemen

Jika dikaji secara seksama, pada dasarnya kualitas parlemen lebih banyak ditentukan oleh
mekanisme-mekanisme pendukung sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Pada sistem
pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalkan, kualitas calon ditentukan pada daftar
urutan calon anggota DPR. Urutan yang paling kecil menunjukkan berbobot atau tidaknya
caleg yang diajukan, karena semakin kecil nomor urut, semakin besar kemungkinan menjadi
anggota DPR dan sebaliknya, karena kita memilih tanda gambar bukan memilih orang.
Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota DPR yang tidak mengerti akan
hak-haknya sebagai anggota DPR, karena partai yang menentukan dcantumkannya seorang
calon disana.

Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetaplah partai
yang menjadi penentu. Partai menentukan seseorang menjadi kandidiat atau tidak, hanya saja
memang setelah nama kandidat itu muncul barulah pemilih yang menentukannya secara
langsung.

Bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian lebih banyak memang terletak pada nilai
demokratis didalamnya, dalam artian hanya terkait dengan bagaimana pemilu dapat
memberikan hak kepada setiap pemilih untuk memberikan suaranya sesuai dengan keyakinan
pilihannya, dan bagaimana setiap kontestan pemilihan akan memperoleh dukungan secara
adil, yaitu peluang yang sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan.

Apakah sistem pemilihan menentukan secara langsung kualitas parlemen atau tidak bisa kita
lihat pula dari gagasan pokok keberadaan kedua sistem pemilihan.
1. Sistem Perwakilan Berimbang

Gagasan pokok sistem Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) terletak pada


sesuainya jumlah kursi parlemen yang diperoleh suatu golongan atau partai dengan jumlah
suara yang diperoleh dari masyarakat. Pada sistem ini negara dibagi dalam beberapa daerah
pemilihan yang besar, dan setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan
banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Dengan demikian kekuatan suatu partai
dalam masyarakat tercermin dalam jumlah kursi yang diperolehnya dalam parlemen, artinya
dukungan masyarakat bagi partai itu sesuai atau proporsional dengan jumlah kursi dalam
parlemen.

Menurut beberapa kalangan Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kelebihan,


diantaranya ialah :

1. Dianggap demokratis dan representatif, oleh karena semua aliran yang ada dalam
masyarakat terwakili dalam parlemen, sedangkan jumlah wakil dalam badan itu sesuai
dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dalam masing-masing daerah
pemilihan,
2. Kemudian juga Dianggap lebih adil karena golongan kecil sekalipun mempunyai
kesempatan untuk mendudukkan wakil dalam departemen;
3. Wakil rakyat yang dipilih dengan cara ini diharapkan lebih cenderung untuk
mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan daerah;

Demikian pula Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kekurangan, yakni :

1. Mempermudah fragmentasi partai dan menimbulkan kecendrungan kuat di kalangan


anggota untuk memisahkan diri dari partainya dan membentuk partai baru;
2. Wakil yang terpilih mersa dirinya lebih terikat kepada partai daripada kepada daerah
yang mewakilinya disebabkan partai lebih menonjol perannya daripada kepribadian
seseorang;
3. Banyaknya partai yang bersaing menyulitkan suatu partai untuk meraih mayoritas
(50%+1) yang perlu membentuk suatu pemerintahan. Terpaksa partai terbesar
mengusahakan suatu koalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas
dalam parlemen. Koalisi semacam ini sering tidak langgeng sehingga tidak membina
stabilitas politik.

Biasanya sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur
lain antara lain dengan sistem daftar (List System), yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem
daftar terbtutup dan sistem daftar terbuka. Dalam sistem daftar tertutup setiap partai
mengajukan satu daftar calon dan si pemilih memilih memilih satu partai dengan semua calon
yang dicalonkan oleh partai itu, untuk berbagai kursi yang diperebutkan.

Kelemahan sistem ini, yakni tidak dikenalnya calon wakil oleh pemilih direvisi oleh sistem
daftar terbuka dengan pemilih mencoblos wakilnya secara langsung dari daftar nama calon
selain memilih tanda gambar.

Selain itu Kelebihan Proposional Terbuka adalah :

1. Representatif, dukungan masyarakat tercermin dalam jumlah wakil DPR;


2. Memberi peluang bagi orang yang disegani di daerah untuk mendapat tempat di DPR;
3. Anggota DPR akan lebih independen dan kedudukannya dalam hubungan dengan
pimpinan partai dan tidak usah terlalu takut akan direcall jika berbeda pendapat
dengan pimpinan partai dan pihak lain; Kedudukan yang lebih kuat dari masing-
masing anggota DPR akan dapat meningkatkan kualitas DPR.

2. Sistem Distrik

Sistem DIstrik, merupakan sistem pemilihan yang paling tua didasarkan atas kesatuan
geografis. Setiap kesatuan geografis mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan
pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam
parlemen ditentukan oleh jumlah distrik.

Calon dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menag sedang suara-suara yang
diberikan kepada calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi,
bagaimana kecil pun selisih kekalahannya.

Kelebihan Sistem Distrik :

Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh penduduk distrik,
sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih
terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Kedudukan terhadap partai lebih
bebas, karen adalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seseorang merupakan faktor
yang penting;

Lebih mendorong integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik
pemilihan hanya satu. Juga mendorong ke arah penyederhanaan partai secara ilmiah;

Sederhana dan mudah untuk diselenggarakan;

Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai mempermudah


terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas nasional.

Kekurangan Sistem Distrik :

1. Kurang menguntungkan bagi partai kecil dan golongan minoritas;


2. Kurang representatives, calon yang kalah dalam suatu distrik kehilangan semua suara
yang mendukungnya(banyak suara yang hilang);
3. Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dan
jumlah kursi yang diperoleh atas parlemen, menguntungkan partai besar.

Dari gagasan-gagasan pokok di atas yang menjadi dasar keberadaan kedua sistem ini, lebih
banyak memang penekanannya terletak pada perwujudan pemerintahan yang representatif
dan legitimate dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk
Menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di badan-badan legislatif.
Sistem tersebut mungkin bisa memberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara
yang diraih dengan kursi yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara
(betapapun terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai
besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda;

Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubuing yang memungkinkan rakyat dapat
menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang telah mereka pilih.

Adapun pengaruh sistem pemilihan terhadap kualitas kinerja parlemen terdapat pada Watak
atau karakter persaingan dalam pemilu. Karakter persaingan berarti apakah ciri-ciri yang
menonjol dari kompetisi dalam pemilu dilaksanakan dan berjalan, berikut implikasi dan
konsekuensinya. Juga diartikan sebagai perilaku politik yang melekat pada partai-partai dan
tokoh-tokoh politik.

Sistem pemilihan mempengaruhi jumlah dan ukuran relatif parpol di parlemen. Sistem
pemilihan di negara yang menganut sistem dua partai berbeda dengan yang menganut
multipartai. Mekanisme regulasi dalam sistem politik otoriter dan sentralistik berbeda dengan
sistem demokrasi yang umumnya pembatasan dilakukan dengan memberikan prasyarat
minimal. Artinya kebebasan mendirikan partai tetap dijamin sepenuhnya (dimensi substansi)
tetapi disertai kondisionalitas agar kebebasan itu dapat dipertanggungjawabkan, terkontrol
dan diterjemahkan dalam mekanisme politik (dimensi prosedural).

Sistem pemilihan menentukan keterpaduan internal dan disiplin masing-masing partai,


sebagian sistem mungkin saja mendorong terjadinya faksionalisme, dimana beberapa sayap
yang berbeda dari satu partai terus menerus bertentangan satu dengan lainnya, sementara
sistem yang lain mungkin dapat memaksa partai-partai untuk bersatu suara dan menekan
pembangkangan.

Sebuah sistem pemilu juga bisa mengarah pada pembentukan koalisi atau pemerintahan satu
partai dengan kendala yang dihadapi partai mayoritas. Dengan kata lain, sistem pemilihan
bisa mendorong atau menghalangi pembentukan alinasi diantara partai-partai, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi iklim politik yang lebih luas.

2. Evaluasi Sistem dan Upaya Menuju Peningkatan Kualitas Kinerja Legislatif

Dari uraian di atas, nampaklah bahwa pilihan atas penerapan sistem pemilihan lebih banyak
didasarkan pada tercakupnya indikator akuntabilitas (accountability), keterwakilan
(representativeness), keadilan (fairness), persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas,
relyable, serta numerikal.

Begitu juga dengan pemilihan sistem kepartaian, yaitu bagaimana menciptakan sistem
kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang persaingan sehat dari pola interaksi antar
parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang format dan mekanisme kerja sistem
pemerintahan.
Dilihat dari indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini lebih
banyak dan memang sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping
suitable dengan kondisi keindonesiaan. Keberadaan sistem pemilihan lembaga perwakilan
saat ini, di mana pengisian keanggotaannya secara keseluruhan dipilih langsung oleh rakyat,
sudah cukup mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan rasionalisasi dari prinsip
demokrasi. Modifikasi yang diadakan dalam sistem terkini sudah banyak menghilangkan
kemungkinan kecendrungan sikap otoriter pelaksanaan sistem oleh penguasa.

Di sisi yang lain, selain dari prosesnya yang demokratis, nilai representasi dan legitimasi
sistemyang ada harus pula dicerminkan dalam kewenangan yang sepadan. Di sisi yang satu
inilah pembenahan perlu dilakukan. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai
kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan
sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang
lain.

Disorientasilah yang terjadi sebenarnya pada kewenangan lembaga ini oleh pembentuknya.
Dikatakan disorientasi, karena memang kalau kita telusuri dengan seksama, pemikiran
tentang keberadaan semacam DPD, sebagai representasi nilai lokalitas/geografis dalam
lembaga perwakilan yang dipilih langsung, adalah evaluasi atas keberadaan utusan
golongan/daerah yang pengisiannya melalui penunjukkan.

Dilihat dari keberadaanya, sebagaimana keberadaan utusan daerah/golongan pada Orde Baru,
bukan didasarkan pada logika normatif tentang peletakkan otonomi di tingkat daerah,
melainkan semata-mata hanya memenuhi kebutuhan demokratisasi prosedural yang
menganggap bahwa persoalan pemilihan anggota DPD melalui Pemilu sudah sangat
mencukupi untuk mengakomodasi kebutuhan konsolidasi sistem demokrasi pasca reformasi
serta keberadaan DPD merupakan sebuah modus kompromi dari Utusan Daerah di MPR yang
kontroversial.

Sehingga kewenangan DPD saat ini yang tidak seimbang, hanya terkait pengajuan usul, ikut
dalam pembahasan dan memberikan peretimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi
tertentu, bertentangan dengan kenyataan anggota DPD adalah mereka yang dipilih langsung
oleh rakyat daerah, yang dapat berarti memiliki legitimasi keterwakilan lebih kuat dibanding
rekan-rekannya anggota DPR.

Sedangkan jika dilihat dari indikator kualitas kinerja lembaga perwakilan secara umum,
sebagai produknya, seperti telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya, dalam beberapa
aspek lebih banyak disandarkan pada prosedur-prosedur pendukung dari pilihan sistem yang
digunakan.

Secara sederhana kualitas dari produk tersebut sebanding dengan pertama, kemampuan
Lembaga perwakilan dalam mengemban fungsi wakil rakyat yang terdiri dari pemahaman
terhadap permasalahan, perancangan, dan pemutusan solusi masalah, serta manuver politik
untuk memperjuangkan solusi masalah yang dipandang memenuhi kepentingan rakyat
banyak. Dan yang kedua, lingkungan strategis anggota yang terdiri dari tatanan nilai dan
kepentingan rakyat banyak, negara yang diwakili oleh penguasa dan pemerintah, organisasi
peserta pemilu atau golongan asal anggota, dan pribadi anggota itu sendiri. Ketepatan peran
anggota ditentukan oleh keberhasilannya bersikap dan bertindak berdasarkan kombinasi
ketiga kemampuan itu dengan imbangan keberpihakannya kepada rakyat banyak dan negara.
Langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengatasi lemahnya kualitas kinerja lembaga
perwakilan diantaranya ialah Secara internal perlu adanya penguatan kapasitas kelembagaan
dan individu anggota lembaga perwakilan. Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Program S2
Politik Lokal dan Otonomi Daerah 2005, memberikan gambaran kelemahan-kelemahan
mendasar yang dimiliki oleh partai politik baik secara kelembagaan maupun individual.

Asumsinya kelemahan kelembagaan partai politik dan individu politisi akan berpengaruh
terhadap lambannya kinerja DPR sebagai lembaga perwakilan. Lebih lanjut, jika lembaga
DPR yang anggotanya berasal dari partai politik dengan kelembagaan yang relatif kuat dan
individu politisi relatif berpengalaman saja masih memiliki kelemahan-kelemahan dalam
menjalankan fungsinya, tentulah demikian juga yang terjadi dengan DPD.

3. Mencari mekanisme yang tepat untuk meningkatkan kualitas parlemen dalam


perubahan sistem politik

Upaya penguatan partai politik secara kelembagaan maupun individu ini, dilakukan dengan
melakukan pembenahan terhadap 3 sisi partai politik, yakni dalam :

a. Partai dalam Partai yang kemudian melahirkan pembenahan Organisasi dan Manajemen
Kepartaian;

b. Partai dalam Pemilu yang melahirkan pembenahan dalam manajemen pemilu dan perilaku
pemilih;

c. Partai dalam Parlemen yang memunculkan gagaan perlunya pembenahan dalam


Manajemen Fungsi Partai dan Lembaga Perwakilan. Sebagai contoh bisa dilakukan melalui
program pendidikan dan pelatihan tugas dan fungsi legislatif secara sistematis dan terkendali.

Partai politik sebagai pengusul seorang anggota legislatif sudah sepatutnya mempunyai
kriteria yang jelas, terukur serta transparan dalam penentuan calon anggota legislatif.

Kriteria seorang calon dalam menjadi caleg dan peringkat kesekian di dalam daftar caleg pun
perlu dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas, terukur serta transparan ini penting bagi
pengikut parpol tersebut, dan menghindari kemungkinan terjadinya nepotisme dan kolusi
antar pengurus parpol dan anggotanya.

KESIMPULAN

Pada dasarnya jika kita bicara tentang kualitas parlemen lebih banyak ditentukan oleh
mekanisme-mekanisme pendukung sistem kepartaian dan sistem pemilihan. Adapun pilihan
atas penerapan sistem pemilihan lebih banyak didasarkan pada tercakupnya indikator
akuntabilitas (accountability), keterwakilan (representativeness), keadilan (fairness),
persamaan hak tiap pemilih (equality), lokalitas, relyable, serta numerikal. Begitu juga
dengan pemilihan sistem kepartaian, pilihan atas penerapan sistem kepartaian lebih banyak
pada bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang adil (nondiskriminatif), menunjang
persaingan sehat dari pola interaksi antar parpol dalam satu sistem politik, serta menunjang
format dan mekanisme kerja sistem pemerintahan.
Di sisi yang lain, selain dari prosesnya yang demokratis, nilai representasi dan legitimasi
sistem yang ada harus pula dicerminkan dalam kewenangan yang sepadan. Di sisi yang satu
inilah pembenahan perlu dilakukan. Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagai
kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan kewenangan
sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga perwakilan yang
lain.

Dilihat dari indikator yang ada, sistem pemilu yang diterapkan Indonesia saat ini lebih
banyak memang sudah memenuhi sisi nilai demokratis suatu sistem pemilihan disamping
suitable dengan kondisi keindonesiaan. Keberadaan sistem pemilihan lembaga perwakilan
saat ini, di mana pengisian keanggotaannya secara keseluruhan dipilih langsung oleh rakyat,
sudah cukup mencerminkan representasi kedaulatan rakyat dan rasionalisasi dari prinsip
demokrasi.

Modifikasi yang diadakan dalam sistem terkini sudah banyak menghilangkan kemungkinan
kecendrungan sikap otoriter pelaksanaan sistem oleh penguasa.Yang perlu dibenahi adalah
keseimbangan kewenangan pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keberadaan DPD,
sebagai kamar baru dari lembaga perwakilan saat ini, belum mencerminkan kesepadanan
kewenangan sebagaimana ia dipilih melalui proses yang sama dengan anggota lembaga
perwakilan yang lain.

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

Berkembangnya aspirasi-aspirasi politik baru dalam masyarakat yang disertai dengan


kebutuhan terhadap partisipasi politik lebih besar, dengan sendirinya menunutut pelembagaan
sejumlah saluran baru, diantaranya melalaui pembentukan partai politik baru. Tetapi
pengalaman dibeberapa dunia ketiga menunjukkan pembentukan partai baru tidak akan
banyak bermanfaat kalau sistem kapartaiannya sendiri tidak ikut diperbaharui.
Biasanya kajian teoritis tentang sistem kepartaian mengacu pada dua aspek. Pertama,
kajian yang menyoroti sistem kepartaian berdasarkan aspek tipologi numerik (numerical
typology), yaitu sejumlah partai yang dianutnya. Kedua, kajian yang menyoroti sistem
kepartaian berdasarkan basis pembentukan dan orientasi ideologisnya, yaitu antara partai
inklusif dan eksklusif. Berbagai kajian mengenai sejumlah sistem kepartaian di dunia
berdasarkan tipologi numerik menunjukkan, setiap sistem yang ada-partai tunggal, dwipartai,
atau multipartai memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing dalam hubungannya
dengan tinggi-rendahnya
indeks demokratisasi. Artinya tidak ada jaminan bahwa jumlah partai menentukan tingkat
demokratisasi.
Samuel Huntington menegaskan bahwa dalam konteks pembangunan politik, yang
terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan
adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Suatu sistem kepartaian baru disebut kokoh
dan adaptabel, kalau ia mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial baru yang
muncul sebagai akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan
menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran
kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi politik. Sistem kepartaian yang
kokoh, demikian Huntington, sekurang-kurangnya harus memiliki dua kapasitas.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sistem Kepartaian
1. Sistem Kepartaian

Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah partai politik
dengan kata lain sistem kepartaian adalah pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil,
yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada
jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada
kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat
perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik.
Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian
yang ada.

Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara
melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu politik.
Namun, yang paling mudah dan paling banyak dilakukan peneliti adalah menurut jumlah
partai yang berkompetisi dalam sistem politik. Peter Mair memuatnya dalam tabel berikut :

Tabel sistem kepartaian


Peneliti Kriteria klasifikasi Sistem kepartaian
Maurice Duverger Jumlah partai 1. Sistem dua partai

2. Sistem multi partai


Robert Dahl Kompetitif oposisi 1. Kompetitif-murni

2. Kompetitif-kooperatif

3. Kompetitif koalisi
4. Koalisi murni
Blondel Jumlah partai : ukuran
1. Sistem 2 partai
partai secara relatif 2. Sistem 2 partai dan
setengah partai

3. Multi partai dengan satu


partai yang dominan

4. Multi partai tanpa partai


yang dominan
Giovani Sartori Jumlah partai dan jarak
1. Sistem 2 partai
ideologi 2. Pluralisme moderat

3. Pluralisme terpolarisasi

4. Sistem partai yang


berkuasa
(http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/sistem-kepartaian-dan-partai-politik.html)
Dari tabel di atas, kelihatan beberapa cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian.
Maurice Duverger melakukannya menurut jumlah partai, Robert Dahl menurut skala
kompetisi yang opositif, Blondel melakukan menurut ukuran jumlah dan besar partai secara
relatif dan Giovani Sartori menurut jumlah partai dan jarak ideologi antar partai-partai
tersebut.
B. Sistem Pemilihan Umum

Pemilihan Umum adalah suatu peristiwa politik yang sangat menarik.


Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada
demokrasi perwakilan. Pemilu juga dapat diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan
pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Dalam
suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa
seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif
atau parlemen. Namun, ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif,
sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang
berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Dalam bahasa yang sederhana, sistem
pemilihan ini pada dasarnya berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan
pembagian kursi.
Setiap sistem pemilu, yang biasanya diatur dalam peraturan perundang undangan
setidak tidaknya mengandung tiga variabel pokok, yaitu penyuaran (balloting), distrik
pemilihan (electoral district), dan formula pemilihan (Ramlan, 1992 : 177). Sebagaimana
dinyatakan dalam Undang Undang Pemilu, tujuan dari sistem pemilu adalah melaksanakan
kedaulatan Rakyat (Ps. 1 ayat 1) dan membentuk pemerintahan perwakilan (Ps 1 ayat 3 dan 4
). Suatu ketentuan yang sejalan dengan prinsip demokrasi universal. Akan tetapi di dalam
pengoperasiannya, penguasa menjuruskan tujuan tersebut untuk membangun legitimasi bagi
suatu pemerintah yang stabil dan kuat melalui mobilisasi politik. Maka operasi pemilu secara
demokratis yakni menyeimbangkan tujuan operasional tersebut dengan penggunaanya
sebagai alat perjuangan kepentingan rakyat melalui pertisipasi politik dan sosialisasi politik,
menjadi terabaikan alam.

1. Formula Pemilihan
Fomula pemilihan, maksudnya rumus yang digunakan untuk menentukan siapa atau
partai politik apa yang memenangkan kursi di suatu daerah pemilihan. Formula di bedakan
menjadi tiga, yaitu formula pluralis (perolehan suara lebih banyak dari yang lain), formula
mayoritas (perolehan suara 50% +1), formula perwakilan berimbang (jmlah perolehan suara
dibagi dengan jumlah kursi yang diterapkan untuk daerah pemilihan yang bersangkutan)
Dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi perwakilan, sistem pemilihan penting
karena beberapa alasan. Pertama, sistem pemilihan mempunyai konsekuensi-konsekuensi
pada tingkat proporsionalitas hasil pemilihan. Sistem pemilu proporsional misalnya, diyakini
dapat menjamin tingkat proporsionalitas hasil pemilihan dibanding dengan sistem pemilu
yang lain
Kedua, sistem pemilihan mempunyai pengaruh pada jenis kabinet yang akan dibentuk,
apakah akan menghasilkan suatu bentuk kabinet satu partai atau koalisi antar partai. Sistem
pemilihan proporsional misalnya, cenderung menghasilkan kabinet koalisi antar partai
dibanding sistem pemilihan lainnya
Ketiga, sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada bentuk sistem kepartaian,
khususnya berkaitan dengan jumlah parpol di dalam sistem kepartaian. Sistem pemilu
proporsional diyakini cenderung menghasilkan sistem banyak partai dibandingkan sistem
kepartaian lainnya.
Keempat, sistem pemilihan mempunyai pengaruh kepada akuntabilitas pemerintahan,
khususnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihnya. Ada sistem pemilu yang secara
internal dapat memaksa para wakil terpilih bertanggung jawab kepada para pemilihnya,
sehingga tingkat akuntabilitas politiknya tinggi
Kelima, sistem pemilu mempunyai dampak pada tingkat kohesi partai politik. Misalnya
sistem pemilihan proporsional cenderung menciptakan fragmentasi partai-partai politik
dibandingkan sistem pemilihan yang lain.
Keenam, sistem pemilihan berpengaruh pada bentuk dan tingkat partisipasi politik
warga. Ada kecenderungan, negara-negara yang menerapkan sistem pendaftaran pemilihan
secara aktif (pemilih mendaftarkan diri ke panitia pemilihan) menyebabkan rendahnya tingkat
partisipasi politik dalam pemilu.
Ketujuh, sistem pemilihan adalah elemen demokrasi yang lebih mudah untuk di
manipulasikan dibandingkan dengan elemen demokrasi lainnya. Oleh karena itu, jika
seseorang bermaksud mengubah tampilan atau wajah demokrasi disuatu negara, hal itu dapat
dilakukan dengan mudah melalui perubahan sistem pemilihannya
Kedelapan, sistem pemilihan dapat dimanipulasi melalui berbagai peraturan yang tidak
demokratis dalam tingkat pelaksanaannya. Akibatnya, pemilu yang oleh banyak kalangan
dinilai sebagai tolok ukur demokrasi, dalam banyak hal tidak bisa menjadi parameter yang
akurat, khususnya di beberapa negara yang sedang berkembang.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bagaimana sebenarnya kerangka kerja
masing-masing sistem pemilihan dan perlu diperhatikan juga apa implikasi masing-masing
sistem pemilihan tersebut bagi kehidupan politik di suatu negara.
Pada sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalkan, kualitas calon
ditentukan pada daftar urutan calon anggota DPR. Urutan yang paling kecil menunjukkan
berbobot atau tidaknya caleg yang diajukan, karena semakin kecil nomor urut, semakin besar
kemungkinan menjadi anggota DPR dan sebaliknya, karena kita memilih tanda gambar bukan
memilih orang. Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota DPR yang tidak
mengerti akan hak-haknya sebagai anggota DPR, karena partai yang menentukan
dcantumkannya seorang calon disana.
Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetaplah
partai yang menjadi penentu. Partai menentukan seseorang menjadi kandidiat atau tidak,
hanya saja memang setelah nama kandidat itu muncul barulah pemilih yang menentukannya
secara langsung.

Bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian lebih banyak memnag terletak pada nilai
demokratis didalamnya, dalam artian hanya terkait dengan bagaimana pemilu dapat
memberikan hak kepada setiap pemilih untuk memberikan suaranya sesuai dengan keyakinan
pilihannya, dan bagaimana setiap kontestan pemilihan akan memperoleh dukungan secara
adil, yaitu peluang yang sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan.

2. Sistem Perwakilan Berimbang

Gagasan pokok sistem Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) terletak


pada sesuainya jumlah kursi parlemen yang diperoleh suatu golongan atau partai dengan
jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat. Pada sistem ini negara dibagi dalam beberapa
daerah pemilihan yang besar, dan setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai
dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Dengan demikian kekuatan suatu
partai dalam masyarakat tercermin dalam jumlah kursi yang diperolehnya dalam parlemen,
artinya dukungan masyarakat bagi partai itu sesuai atau proporsional dengan jumlah kursi
dalam parlemen. Menurut beberapa kalangan Sistem Perwakilan Berimbang memiliki
kelebihan, diantaranya :

Dianggap demokratis dan representatif, oleh karena semua aliran yang ada dalam
masyarakat terwakili dalam parlemen, sedangkan jumlah wakil dalam badan itu sesuai
dengan jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dalam masing-masing daerah pemilihan;

Dianggap lebih adil karena golongan kecil sekalipun mempunyai kesempatan untuk
mendudukkan wakil dalam departemen. Wakil rakyat yang dipilih dengan cara ini diharapkan
lebih cenderung untuk mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan daerah;

Demikian pula Sistem Perwakilan Berimbang memiliki kekurangan, yakni :

a. Mempermudah fragmentasi partai dan menimbulkan kecendrungan kuat di kalangan anggota


untuk memisahkan diri dari partainya dan membentuk partai baru.

b. Wakil yang terpilih mersa dirinya lebih terikat kepada partai daripada kepada daerah yang
mewakilinya disebabkan partai lebih menonjol perannya daripada kepribadian seseorang.

c. Banyaknya partai yang bersaing menyulitkan suatu partai untuk meraih mayoritas (50%+1)
yang perlu membentuk suatu pemerintahan. Terpaksa partai terbesar mengusahakan suatu
koalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas dalam parlemen. Koalisi
semacam ini sering tidak langgeng sehingga tidak membina stabilitas politik.
d. Biasanya sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur
lain antara lain dengan sistem daftar (List System), yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem
daftar terbtutup dan sistem daftar terbuka.

e. Dalam sistem daftar tertutup setiap partai mengajukan satu daftar calon dan si pemilih
memilih memilih satu partai dengan semua calon yang dicalonkan oleh partai itu, untuk
berbagai kursi yang diperebutkan. Kelemahan sistem ini, yakni tidak dikenalnya calon wakil
oleh pemilih direvisi oleh sistem daftar terbuka dengan pemilih mencoblos wakilnya secara
langsung dari daftar nama calon selain memilih tanda gambar.

Selain itu Kelebihan Proposional Terbuka adalah :

a) Representatif, dukungan masyarakat tercermin dalam jumlah wakil DPR;

b) Memberi peluang bagi orang yang disegani di daerah untuk mendapat tempat di DPR;

c) Anggota DPR akan lebih independen dan kedudukannya dalam hubungan dengan pimpinan
partai dan tidak usah terlalu takut akan direcall jika berbeda pendapat dengan pimpinan partai
dan pihak lain;

d) Kedudukan yang lebih kuat dari masing-masing anggota DPR akan dapat meningkatkan
kualitas DPR.

3. Sistem Distrik

Sistem DIstrik, merupakan sistem pemilihan yang paling tua didasarkan atas kesatuan
geografis. Setiap kesatuan geografis mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan
pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam
parlemen ditentukan oleh jumlah distrik. Calon dalam satu distrik memperoleh suara
terbanyak menag sedang suara-suara yang diberikan kepada calon lain dalam distrik itu
dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya.

Kelebihan Sistem Distrik :

Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh penduduk
distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih
terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Kedudukan terhadap partai lebih
bebas, karena dalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seseorang merupakan faktor
yang penting;

a. Lebih mendorong integrasi parpol karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik
pemilihan hanya satu. Juga mendorong ke arah penyederhanaan partai secara ilmiah.
b. Sederhana dan mudah untuk diselenggarakan.

c. Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai mempermudah


terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas nasional.

Kekurangan Sistem Distrik :

a. Kurang menguntungkan bagi partai kecil dan golongan minoritas.

b. Kurang representatives, calon yang kalah dalam suatu distrik kehilangan semua suara yang
mendukungnya(banyak suara yang hilang).

c. Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah suara yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah
kursi yang diperoleh atas parlemen, menguntungkan partai besar.

Dari gagasan-gagasan pokok di atas yang menjadi dasar keberadaan kedua sistem ini,
lebih banyak memang penekanannya terletak pada perwujudan pemerintahan yang
representatif dan legitimate dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu
dirancang untuk memenuhi :

a) Menerjemahkan suara yang diperoleh dalam pemilu menjadi kursi di badan-badan legislatif.
Sistem tersebut mungkin bisa memberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara
yang diraih dengan kursi yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara
(betapapun terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai
besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda;

b) Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubuing yang memungkinkan rakyat dapat
menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang telah mereka pilih (Ben Reilly : 1999,
Halaman 25)

C. Hubungan antara Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu dan Tertib Politik (Politik Order)

Merujuk pada proposisi yang dikemukan oleh Maurice Duverger dan Robert Michels,
pilihan suatu masyarakat pada sistem kepartaian tertentu yang dikombinasikan dengan
penerapan sistem pemilu yang sesuai dengan latar belakang masyarakat, memiliki
kemungkinan untuk menghasilkan suatu pemerintahan yang memiliki stabilitas politik
political order. Namun sebaliknya, kesepakatan masyarakat untuk menggunakan suatu
sistem kepartaian tertentu yang dikombinasikan dengan penerapan suatu sistem pemilu yang
tidak sesuai dengan latar belakang masyarakat, memiliki peluang untuk melahirkan suatu
kehidupan politik yang tidak stabil.
Secara lebih detail hubungan antara sistem kepartaian dengan sistem pemilu,
backgourd masyarakat, dan stabilitas politik dapat dielaborasi dalam enam hipotesis sebagai
berikut:
a) Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik yang diterapkan
pada masyarakat yang backgroundnya homogen, dari sisi etnis, aliran pemikiran politik,
agama memiliki peluang besar untuk menghasilkan stabilitas politik.
b) Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model proposional pada
masyarakaat yang memiliki background heterogen memiliki kecederungan untuk
menghasilkan kehidupan politik yang stabil. Namun, memungkinkan aspirasi politik
masyarakat yang heterogen yang tidak tertampung oleh dua partai politik.
c) Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik pada masyarakat
yang background heterogen memiliki peluang lebih besar pada kehidupan politik yang
kurang stabil, terutama pada awal perkembangannya.
d) Sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem pemilihan model distrik pada
masyarakat yang backgroundnya homogen akan memiliki kecenderungan menuju pada
kehidupan politik yang bergerak ke arah stabilitas. Hal tersebut dikarenakan akan mendorong
terjadinya evolusi sistem kepartaian menuju pada sistem dua partai.
e) Sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model proposional pada
masyarakat yang background heterogen akan memiliki kecenderungan menghasilkan suatu
kehidupan politik yang tidak stabil. Hal tersebut tidak mendorong untuk terjadi evolusi sistem
kepartaian menuju pada sistem kepartaian yang sederhana. (sistem dua partai).
f) Sistem multipartai dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik pada masyarakat
yang backgroundnya heterogen, memiliki kecenderungan untuk menghasilkan stabilitas
politik, namun memiliki peluang yang menimbulkan ketidakpuasan politik.
Sejarah perkembangan sistem pemilu secara umum telah berkembang melalui tiga
sistem yaitu;
1. Pluralisme- Mayoritas (di dalamnya meliputi FPTP, Block Vote, TRS dan Alternative Vote)
2. Semi Reprensentasi Proposional ( yang terdiri dari LIST, MMP, STV).
3. Sistem Proposional ( yang terdiri dari dalam Handbook of Voter Turnout 1945-1997:A global
Report on Political Partisipation, Internasional IDEA dinyatakan bahwa pada tahun 1945,
sebanyak 80% negara-negara Demokrasi menggunakan sistem Representatif Proposional
(RP). Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru, menggunakan Sistem First Past
the Post (FPTP) ; Kebanyakkan Negara-Negara Eropa menggunakkan Two Round System
(TRS). Pada 1950 Jepang menggunakan Singgle Non-Transforrable Vote (SNTV), sedangkan
Jerman, sesudah perang dunia kedua, menggunakan Mixed Member Protisonal (MMP).
Adanya berbagai varian sistem politik menunjukkan bahwa tidak ada suatu sistem
pemilu yang sempurna yang dapat dipakai untuk semua negara. Setiap sistem pemilu masing-
masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Suatu sistem pemilu mungkin sesuai dengan
kondisi masyarakat yang memiliki ciri-ciri tertentu dan kurang sesuai untuk masyarakat yang
memiliki ciri-ciri yang lain. Sebagaimana telah diuraikan misalnya sistem pemilu distrik
dimiliki kemungkinan kurang cocok jika diterapkan pada masyarakat yang memiliki
background majemuk dari berbagai aspeknya. Dan sebaliknya sistem distrik ini memiliki
tingkat kesesuaian yang lebih besar jika dipakai pada pelaksanaan pemilu bagi masyarakat
yang memiliki background sosial yang tidak terlalu heterogen.
Untuk kondisi di Indonesia, yang masyarakatnya memiliki background aliran
pemikiran politik, etnis, agama, budaya yang heterogen secara teoritis jika ingin
menghasilkan suatu tata kehidupan politik yang stabil adanya political order, maka perlu
pertimbangan untuk diterapkan sistem pemilu dengan model distrik. Penerapan sistem pemilu
model distrik memberi dorongan untuk terjadinya evalusi sistem kepartaian banyak partai
kepada dua sietem partai. Jika berhasil didorong berjalannya evolusi sistem kepartaian
menuju sistem dua partai melalui penerapan sistem pemilu distrik maka kehidupan politik di
Indonesia memiliki kemungkinan lebih besar untuk mencapai kestabilan politik. Namun
demikian, kondisi sebaliknya akan sering hadir jika proposisi tersebut tidak dapat dipenuhi.
Kehidupan politik di Indonesia sulit diharapkan untuk mampu menghadirkan suatu tatanan
politik yang stabil, jika tidak terjadi kombinasi yang harmonis antara pilihan sistem
kepartaian dengan sistem pemilu yang sesuaikan dengan background masyarakat Indonesia.
Kiranya perlu diberikan penjelasan mengapa pemilu dengan sistem distrik dengan
berbagai variannya yang merujuk pada model sistem pluralisme-mayoritas, memberikan
dorongan untuk secara alamiah terjadinya pengurangan jumlah partai yang ikut berkompetisi
dalam pemilu?. Pelaksanaan kegiatan yang merujuk pada model pluralitas-mayoritas yang
lebih dikenal dengan sistem distrik memiliki prinsip bahwa jumlah wakil rakyat yang akan
duduk di lembaga perwakilan politik seperti parlemen (DPR) sama dengan jumlah distrik
(daerah pemilihan yang ada pada suatu negara , sesuai dengan kesepakatan yang diambil oleh
kekuatan politik (partai politik) yang ada pada suatu negara. Setiap satu distrik daerah
pemilihan ditentukan hanya mempunyai satu wakil rakyat yang akan duduk di parlemen.
Dengan ketentuan sebagaimana dirujuk dalam sistem distrik tersebut, maka disetiap
distrik hanya ada satu partai politik yang memiliki wakil parlemen. Penerapan model tersebut
secara berulang-ulang mendorong untuk memunculkan suatu kondisi kehidupan kepartaian,
dimana hanya ada satu sampai dua partai yang mendapatkan dukungan yang kuat di suatu
distrik pemilu. Sementara itu, pemilu tidak berhasil mendatangkan dukungan yang memadai
secara alamiah akan mengalami kematian.
Bukti empiris dari negara-negara yang mempraktikan model sistem distrik secara
nasional, menunjukkan bahwa secara nasional akan lahir suatu kecenderungan lahirnya
sistem dua partai, yakni hanya ada dua partai politik yang bisa eksis dan memiliki pengaruh
yang signifikan dalam kehidupan politik nasional. Dengan terjadinya pengurangan jumlah
partai politik yang memiliki wakil formal di lembaga parlemen, maka juga dapat mengurangi
serta mereduksi sumber dan istrumen untuk terjadinya berbagai macam konflik dalam suatu
masyarakat, khususnya konflik politik. Pengurangan jumlah partai secara alamiah melalui
penerapan sistem distrik juga mampu memberikan iklim agar berbagai spektrum aliran
pemikiran politik yang memiliki kedekatan ideologi berkumpul pada satu partai politik
tertentu.
Jika kondisi tersebut dapat terwujud hal itu berati juga salah satu fungsi partai politik
untuk menjalankan fungsi manajemen konflik dapat diperankan. Dengan demikian, kiranya
dapat dinyatakan bahwa pilihan untuk menggunakan model sistem peilu distrik memberikan
peluang pada partai politik untuk memperkuat fungsi-fungsinya sebagai pengatur konflik.
Implikasi dan kondisi partai politik memiliki konstribusi bentuk menghadirkan adanya suatu
tertib politik-stabilitas kehidupan politik.
Dan pemaparan diatas, kiranya dapat ditarik suatu pemahaman bahwa antara sistem
pemilu dengan sistem kepartaian dan stabilitas politik memiliki hubungan. Sebagaimana telah
diuraikan bahwa pilihan untuk menerapkan suatu sistem pemilu tertentu misalnya sistem
pemilu distrik akan memiliki pengaruh pada munculnya sistem kepartaian yang dengan
sistem dua partai. Sementara itu, pilihan untuk menerapkan sistem proposional akan memberi
peluang untuk lahirnya sistem banyak partai pada suatu masyarakat yang secara sosial
fragmentasi dan mamiliki aliran pemikiran politik, dengan perpedaan yang tajam, akan
memberikan kemungkinan untuk sulit memberikan kontribusi bagi yang ada stabilitas politik.

BAB III
PENUTUP
Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi diantara sejumlah partai politik
dengan kata lain sistem kepartaian adalah pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil,
yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada
jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada
kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat
perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik.
Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian
yang ada.

Pemilihan Umum adalah suatu peristiwa politik yang sangat menarik. Pemilihan
Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada demokrasi
perwakilan. Pemilu juga dapat diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian
atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai.

Adanya berbagai varian sistem politik menunjukkan bahwa tidak ada suatu sistem
pemilu yang sempurna yang dapat dipakai untuk semua negara. Setiap sistem pemilu masing-
masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Suatu sistem pemilu mungkin sesuai dengan
kondisi masyarakat yang memiliki ciri-ciri tertentu dan kurang sesuai untuk masyarakat yang
memiliki ciri-ciri yang lain. Sebagaimana telah diuraikan misalnya sistem pemilu distrik
dimiliki kemungkinan kurang cocok jika diterapkan pada masyarakat yang memiliki
background majemuk dari berbagai aspeknya. Dan sebaliknya sistem distrik ini memiliki
tingkat kesesuaian yang lebih besar jika dipakai pada pelaksanaan pemilu bagi masyarakat
yang memiliki background sosial yang tidak terlalu heterogen.

Read more: http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/08/hubungan-antara-sistem-


kepartaian.html#ixzz45xHpqJWN

Anda mungkin juga menyukai