1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembelajaran tentang desentralisasi di Indonesia menjadi penting melihat
praktik otonomi daerah berjalan dalam kurun waktu yang cukup lama dengan berbagai
perubahan sistem politik di dalamnya. Praktik otonomi daerah tidak hanya diikuti oleh
juga menciptakan perdebatan mengenai format baru pemerintahan daerah yang sesuai
Baru, praktek otonomi daerah pasca Orde Baru pun berubah. Era Orde Baru, otonomi
1
Irawan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal
62.
1
era Orde Baru praktik otonomi daerah begitu sentralistik, berbeda dengan praktik
lebih terbuka. Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun
Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan
aspirasi masyarakat.2 Disini dapat terlihat bahwa semangat reformasi telah melahirkan
pemerintahan terutama dalam hal otonomi daerah, yang dalam peratutan perundang-
undangan lebih melibatkan daerah dalam praktiknya. Dalam konteks ini desentralisasi
juga dapat dimaknai sebagai terbukanya kesempatan besar sebuah status bagi daerah
1.2 Permasalahan
Otonomi daerah secara mendasar merupakan hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri. Hak tersebut diperoleh
daerah melalui penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat,3 yang juga
dikenal dengan istilah desentralisasi. Secara konseptual, otonomi daerah berguna bagi
pertimbangan geografis yang sangat luas, dan penduduk yang besar secara jumlah guna
2
Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daaerah.
3
Djohermansyah Djohan, Problematika Pemerintahan dan Politik Lokal, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, hal
52.
4
Ibid, hal 53.
2
kekuasaan Orde Baru desentralisasi muncul dan semakin diperkuat dengan asaz
Otonomi Daerah dimana daerah diakui secara otonom hingga akhirnya praktik otonomi
Dari pemaparan latar belakang masalah diatas maka muncul pertanyaan penelitian,
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pada masa awal Pasca Orde
Baru?”
2. Kerangka Teori
2.1 Desentralisasi6
Dalam studi ilmu politik, desentralisasi merujuk pada distribusi kekuasaan
kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) diserahkan melalui suatu hirarki secara
geografis dalam negara dan juga berkenaan dengan institusi dan proses yang
pembagian wilayah negara ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil serta pembentukan
5
Pasal 1 ayat b Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang mengalami
perbaharuan dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
diperbaharui kembali dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah.
6
Brian C. Smith, 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State, London: George Allen
& Unwin, UK, chapter 1 dan 7.
3
Pertama, secara ekonomis, desentralisasi dimaksudkan untuk memperbaiki
lokal. Sehingga mampu memperluas ruang lingkup terhadap pilihan konsumen di antara
output dan memanfaatkan sumber daya manusia secara lebih efektif. Kedua, secara
atas aspek geografi, ekonomi, etnik, sejarah dan ideologi. Desentralisasi juga diterima
secara berbeda, didasarkan atas kepentingan penguasa dan elite. Apapun bentuknya,
tidak terelakkan dalam menjamin integrasi nasional, tetapi kemajuan ekonomi sangat
tergantung pada usaha negara-negara bagian itu sendiri. Sedangkan pada sistem
perekonomian dan mengontrol tingkat inflasi yang kemudian berpengaruh pada tingkat
menghadapi kendala yang sama, yaitu pada aspek pembiayaan publik. Pemerintah
daerah dihadapkan pada masalah sumber pendapatan, seberapa besar cakupan yang
dapat dioptimalkan, dan seberapa besar dukungan pemerintah pusat, dan apakah
4
Smith menambahkan, berkaitan dengan institusi pemerintahan daerah, terdapat
tiga model desentralisasi institusi. Pertama, model liberal, dimana unit pemerintah
daerah seperti kabupaten, wilayah dan sektor, menjalankan tugas-tugas kecil yang rutin
(akses dan pelayanan), dengan derajat kemandirian yang besar, penekanan terhadap
nilai otonomi dan pemerintahan dengan tujuan umum sebagai wujud mempertahankan
kolonialisme. Adanya sistem kepegawaian yang hirarkhis antara pusat dan daerah, dan
daerah sebagai agen administrasi pusat. Ketiga, model komunis, yang memiliki ciri
integrasi dari aparat-aparat negara dan partai, adanya sistem sosialis yang meliputi
3. Pembahasan
3.1 Desentralisasi Pasca Orde Baru
Secara mendasar konsep desentralisasi dapat dipahami sebagai perluasan
otonomi lokal dengan pembagian kekuasaan dan tanggungjawab dari pemerintah pusat
pusat kepada suatu organisasi wilayah, satuan administratif daerah, organisasi semi-
negara dalam melakukan distribusi kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki baik
penyelenggaraan otonomi daerah di masa awal pasca Orde Baru adalah Undang-Undang
7
Dennis A. Rondinelli, Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing
Country, dalam Jerry L. Weaver, The Journal of Developing Areas, Vol.19, No.1, Oktober 1984, hal 107.
5
No.22 Tahun 1999. Undang-undang tersebut memiliki banyak sekali ketentuan-
ketentuan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip era Orde Baru yang sebagaimana
provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam
mensyaratkan pembagian wilayah negara ke dalam daerah-daerah yang lebih kecil serta
desentralisasi tidak semata-mata dengan sederhana merupakan kebalikan dari sentralisasi dan
hal tersebut meruupakan politik demokrasi. Politik demokrasi tidak mempersoalkan bagaimana
kesetaraan didistribusikan, sebab itu mengandaikan sebagai sosok yang pasif secara politik. 8
daerah terbaru pasca Orde Baru, jika dilihat dari asas desentralisasi, menyatakann
bahwa Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan
yang diterapkan pasca Orde Baru pada akhirnya membuka kewenangan daerah yang
begitu besar dalam mengurus urusan daerah. Terbukanya kewenangan yang besar bagi
daerah pasca Orde Baru dalam praktiknya pun juga masih terbatas. Meski begitu, hal ini
otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, yang berdimensi politik dan administrasi.
8
Donny Gahral Adian, Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, Depok: Kukusan,
2010, hal 41.
9
Pasal 1 ayat h Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
10
Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde
Baru ke Era Reformasi, Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Fisip UI, 2009op.cit, hal 14.
6
Dari dimensi politik, prinsip itu menghendaki agar otonomi yang berlangsung dapat
maupun gejolak yang terjadi di daerah. Dari dimensi administrasi, prinsip diatas
menuntut agar otonomisasi yang terjadi didasarkan pada faktor dan pertimbangan
objektif serta kebijakan yang dapat menjamin kemampuan daerah dalam mengemban
otonomi. Termasuk juga perlunya dukungan wewenang dalam bidang keuangan dan
pemerintahan daerah berasal dari pemerintah pusat dan distribusi kekuasaan maupun
bagi rakyat namun penerapannya hingga saat ini belum mampu meningkatkan
Munculnya berbagai daerah pemekaran baru, yang kemudian melahirkan local strong
kelemahan dalam aturan yuridis yang dianggap longgar, berdampak pada mudahnya
regulasi terkait desentralisasi telah terjadi berulangkali dalam kurun waktu 15 tahun
terakhir, menandakan Indonesia masih mencari format yang dianggap sesuai dengan
11
Ekonomi Indonesia sampai Triwulan IV 2015 tumbuh 5,04 Persen, dan Struktur ekonomi Indonesia
secara spasial tahun 2015 didominasi oleh kelompok Provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Data
rilis BPS februari tahun 2016. Diakses dari situs resmi BPS: http://www.bps.go.id (diakses pada 11
November 2017 pukul 14.52 WIB)
12
Lihat perjalanan aturan yuridis mengenai Desentralisasi pasca Reformasi : Penerapan UU No.22
Tahun 1999: sangat desentralistik (berjalan 5 tahun, efektif sejak 2001), kemudian berganti menjadi UU
No.32 Tahun 2004: Desentralistik (berjalan 10 tahun), dan terakhir diganti UU No.23 Tahun 2014 (in
7
Perbandingan Jumlah Daerah Otonom Sebelum dan Sesudah
Desentralisasi 199913
Daerah Otonom Sebelum Desentralisasi 1999 Sesudah Desentralisasi 1999
Provinsi 26 34
Kabupaten 234 415
Kota 59 93
Kecamatan 5.480 6.994
Kelurahan 5.935 8.309
Desa 59.834 72.944
Sumber: Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
seksama aspek regulasi, kondisi sosial politik, fiskal, dan perekonomian nasional.
Pemekaran daerah dilakukan melalui seleksi yang ketat dan bertahap dengan
maka sistem pemerintahan lokal merupakan hasil dari kekuatan politik dalam konflik.
Dapat diartikan juga bahwa desentralisasi yang diberlakukan merupakan hasil dari
dikarenakan rezim Orde Baru yang sentralistik dalam praktiknya. Secara menyeluruh,
kalangan swasta sangat terkonsentrasi pada usaha skala besar dan banyak melakukan
hubungan usaha yang tidak sehat yang akhirnya berdampak negatif pada sektor
search of equilibrium) yang diterapkan hingga saat ini. Hal ini disampaikan saat Pemaparan Materi oleh
Prof. Dr. H. Djoehermansyah Djohan, MA tentang Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah di
Indonesia Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014, tanggal 4 Oktober 2017. Depok: Universitas Indonesia.
13
Data Perbandingan Jumlah Daerah Otonom Sebelum dan Sesudah Desentralisasi 1999, diakses dari
situs resmi Direktorat Jenderal Otonomi Daerah – Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, 2016:
http://www.otda.kemendagri.go.id. (diakses pada 11 November 2017 pukul 20.00 WIB)
8
perbankan; (2) kesenjangan ekonomi antar-sektor yaitu antara sektor-sektor industri
yang padat modal dan industri-industri besar di perkotaan dengan sektor pertanian dan
terkosentrasi hanya pada wilayah tertentu; (6) kesenjangan pembangunan diri manusia;
Pasca Orde Baru ruang otonomi daerah begitu terbuka sehingga salah satu
konsekuensi otonomi daerah adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan
didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk
melakukan kegiatan, baik itu program rutin maupun program pembangunan. Daerah
harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya
publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan
skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam
14
Andrinof A. Chaniago, Gagalnya Pembangunan: Membaca Ulang Keruntuhan Orde Baru, Jakarta:
LP3ES, 2012, hal 195-208.
9
pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi.
Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan
koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable
dalam negara demokratis modern. Daerah seakan belum siap menghadap ruang otonomi
yang terbuka lebar pasca era Orde Baru. Orientasi otonomi daerah yang lebih
ketergantungan daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang terlalu kecil untuk diandalkan menjadi penyokong utama pembiayaan
mudah untuk mewujudkannya. Seperti diakui oleh Drs.Feishal Tamin (Jubir Depdagri)
dalam Kompas edisi 15 Juli 1987, bahwa pemerintah pusat berkeinginan memberikan
otonomi kepada daerah sejak lama, usaha ke arah itu sudah dilakukan, tetapi keadaan
mengakibatkan perwujudan keinginan tersebut tidak bisa maksimal atau masih jauh dari
yang dikehendaki. Selain itu dalam Kompas edisi 10 Juli 1987, Drs.Feishal Tamin juga
menyebutkan bahwa daerah yang mampu mengatur dirinya sendiri dilihat dari sudut
pandang kemampuan dana pendapatan asli daerah, baru DKI Jakarta yang mampu
mencapai 40-50%, yang lainnya dibawah 20%.15 Pada masa penghujung Orde Baru
tersebut jelas menunjukkan bahwa dari seluruh daerah yang ada hanya satu daerah saja
yang memenuhi syarat otonomi daerah yang seluas-luasnya, hal ini memperlihatkan
15
Djohermansyah Djohan, op.cit, hal 53-55.
10
tidak siap. Hasilnya dapat diketahui hingga saat ini pembangunan di Indonesia masih
lebih maju di DKI Jakarta secara khusus dan Pulau Jawa pada umumnya.
Berkaitan dengan hal diatas, jika dilihat dalam format aturan yuridis dan
dalam menjalankan desentralisasi dalam otonomi daerah yang terbuka dan cenderung
dipaksakannya praktik otonomi yang luas terhadap daerah. Smith memaparkan bahwa
tuntutan menyediakan pelayanan-pelayanan dan barang publik secara local dan secara
yang sesuai dengan perasaan dan nilai-nilai masyarakat.16 Dilihat secara konseptual,
desentralisasi sebetulnya lebih dekat dengan suatu bentuk pemeritahan yang demokratis.
daerah dimasa pasca Orde Baru sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 22
4. Kesimpulan
Penyelenggaraan desentralisasi pasca Orde Baru pada dasarnya terkendala
ketidak siapan daerah dalam praktik otonomi daerah yang terbuka karena budaya
1999 mulai menjalankan keotonomian bagi daerah secara terbuka dalam mengatur
daerahnya, namun memuculkan kendala baru. Hal ini dapat dilihat ketika menjelang
akhir era Orde Baru, dari semua daerah, hanya DKI Jakarta yang PAD-nya memenuhi
16
Brian C. Smith, Op. Cit.,
11
syarat desentralisasi pada otonomi daerah yang mulai diterapkan secara terbuka pada
masa awal pasca Orde Baru. Praktik otonomi daerah yang mulai terbuka dengan
politik, stabilitas politik, dan kehidupan pemerintahan yang sesuai dengan perasaan dan
melihat tujuan baik desentralisasi pada praktik otonomi daerah pasca Orde Baru untuk
memberikan peran bagi daerah dalam mengatur daerah telah memunculkan berbagai
permasalahan baru. Pasca Orde Baru ruang otonomi daerah terbuka sehingga
memunculkan inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya
12